Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN KASUS

Dengue Syok Sindrom

Sebagai salah satu syarat untuk


Menyelesaikan Program Internship Dokter Indonesia

Disusun Oleh :

dr. Linna Asni Zalukhu

Pembimbing :

dr. Timoriaty Morinda, Sp.PK, M.Kes

dr. Paramita

Wahana Rumah Sakit Umum Daerah MAMUJU UTARA

Sulawesi Barat

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus

Nama : dr. Linna Asni Zalukhu

Bidang keilmuan : Ilmu Kesehatan anak

Dengan judul/topic : Dengue Syok Sindrom

Tanggal presentasi :

Nama Wahana : Rumah Sakit Umum Daerah Mamuju Utara

Pendamping

dr. Timoriaty Morinda, Sp.PK, M.Kes

2
ABSENSI PRESENTASI LAPORAN KASUS

Hari, Tanggal : Desember, 2019


Judul/Topik : Dengue Syok Sindrom
Penyaji : dr. Linna Asni Zalukhu

No. Nama Peserta Tanda Tangan

1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

5. 5.

6. 6.

7. 7.

8. 8.

9. 9.

10. 10.

Pendamping,

dr. Paramita

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini yang berjudul
“Dangue Syok Sindrom” Laporan kasus ini kami susun untuk menyelesaikan program
internship dokter indonesia. Kami mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dr. Timoriaty Morinda, Sp.PK, M.Kes dan dr. Paramita yang telah
mendampingi dan membantu kami dalam menyelesaikan program intership dokter
Indonesia dan dalam menyusun laporan kasus ini.

Penulis menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan
dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penulis dalam
ruang lingkup ilmu penyakit dalam, khususnya yang berhubungan dengan laporan
kasus ini

Penulis

BAB I

4
ILUSTRASI KASUS

I.1 IDENTITAS
Identitas Pasien

Nama pasien : An. TH


Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pasang Kayu
Tanggal lahir/umur : 17 Juni 2001/15 tahun 10 bulan
Masuk RSUP Pasangkayu : 24 Juni 2019

I.2 ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan kakak kandung
pasien pada tanggal 27 Juni 2019 pukul 16.00 WIB di bangsal Cempaka
Keluhan Utama:
Demam tinggi sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Keluhan Tambahan:
Mual muntah
Nyeri otot dan sendi
Bintik bintik merah
Nafsu makan menurun
Riwayat Penyakit Sekarang:
Empat hari sebelum masuk rumah sakit, pasien demam, suhu tubuh pasien
menurut kakak pasien diperkirakan sekitar 38 C Ibu pasien memberikan obat penurun
panas (paracetamol ) namun demam pasien tidak kunjung membaik, keluhan juga
disertai mual dan muntah, pasien Muntah sebanyak 2 kali , muntah berupa cairan dan
makanan yang dimakan pasien sebelumnya, pasien juga mengeluh nyeri ulu hati yang
membuat pasien tidak nafsu makan. Pasien juga mengaku badannya pegal pegal dan

5
lemas sehingga pasien merasa sangat lelah untuk beraktifitas. Buang air kecil sedikit
dan keluhan buang air besar bercampur darah atau berwarna hitam disangkal.
Dua hari sebelum masuk rumah sakit, pasien masih demam dan saat diukur
suhu pasien 39 C, keluhan disertai keluarnya bintik bintik kemerahan pada tangan dan
kaki pasien, wajah pasien terlihat kemerahan dan keluhan juga disertai pusing pada
kepala. Keluhan mimisan, gusi berdarah dan buang air besar berdarah disangkal pasien.
Pasien dan anggota keluarga lainnya tidak pernah berpergian ke daerah endemis
malaria.
Sembilan jam sebelum masuk rumah sakit, demam pasien masih belum turun
dan saat diukur suhu pasien mencapai 40 C, ibu pasien membawa pasien ke IGD
Rumah Sakit Umum Daerah Pasangkayu, anak terlihat lemah, seluruh ekstremitas
terasa dingin, nafas cepat. Buang air besar tidak cair atau berwarna hitam, muntah
warna hitam disangkal. Di IGD Rumah Sakit Umum Daerah Pasangkayu pasien
mendapat terapi cairan Ringer laktat 500 cc loading selama 30 menit, selain itu pasien
mendapat terapi paracetamol tablet untuk penurun panasnya. Setelah keluhan sudah
teratasi pasien kemudian dipindahkan ke ruang rawat inap di bangsal anak untuk tata
laksana lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


Anak baru pertama kali seperti ini hingga dirawat di rumah sakit. Riwayat
berasal dari daerah endemis malaria atau riwayat berpergian ke daerah endemis malaria
disangkal. Riwayat suka jajan sembarangan diakui terutama dilingkungan sekitar
rumah dan sekolah. Riwayat alergi obat disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini. Tetangga ada yang sedang sakit demam
berdarah.
Riwayat Sosial dan Lingkungan
Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dan tinggal bersama kedua orang
tuanya dan kakak adiknya.Rumah pasien berukuran 12 m x 10 m yang terletak di
daerah perkampungan dan padat penduduk, jalan masih bisa dilalui oleh mobil.Pasien

6
tidur satu kamar sendiri.udara cukup baik. Keadaan lingkungan pasien diakui cukup
bersih dan ibu sering membersihkan rumah paling tidak 1x dalam sehari. Dalam 6 bulan
terakhir ini di lingkungan belum ada dilakukan fongging (penyemprotan malaria) untuk
pencengahan demam berdarah.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Kehamilan Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Periksa rutin ke bidan
Ibu pasien mengaku lupa frekuensi kontrol
kehamilan
Persalinan Tempat kelahiran Klinik Bersalin
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Spontan
Masa gestasi 37 minggu
Keadaan bayi BBL: 3000 gram
PBL: 49 cm
Langsung menangis, warna kulit merah
Tidak ditemukan kelainan saat lahir

Kesimpulan: Riwayat kehamilan dan persalinan baik

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


1. Pertumbuhan
Ibu pasien menyatakan An.TH lahir cukup bulan (9 bulan), menurut ibu An.TH
tumbuh normal seperti anak anak lain. Ibu menyatakan BBL sekitar 3000 gram dan
PB 49 cm, untuK BB sekarang: 44 kg, dengan PB: 49 cm
2. Perkembangan
Menurut keterangan ibunya an. TH saat usia 11 bulan sudah bisa berjalan dengan
dipegangi kedua lengannya. Perkembangan bahasa an. TH sudah mulai mengoceh

7
sejak usia 6,5 bulan dan bicara mulai lancar saat umur 3 tahun. Perkembangan anak
sesuai dengan usia perkembangannya.
Riwayat Makan
Menurut keterangan ibunya an. TH mengkonsumsi ASI sampai usia dua tahun
dengan dikombinasikan susu formula. Saat an. TH usia enam bulan, an.TH
mendapatkan makanan pendamping ASI terdiri dari bubur susu, biskuit regal. Saat an.
TH mencapai usia satu tahun an. TH sudah diberikan nasi tim setiap kali makan. Saat
ini an.TH berusia lima belas tahun, dalam mengkonsumsi makanan sehari hari an. TH
merupakan tipe anak pemilih makanan, anak TH lebih sering makan dua kali sehari,
dikarenakan anak TH sering lupa untuk makan malam dan lebih mengutamakan hobi
nya bermain futsal.
Dari status gizi menurut WHO yang diukur sesuai berat badan dan tinggi badan
anak TH sesuai dengan umur anak TH yang saat ini berumur lima belas tahun anak TH
masuk dalam status gizi kurang.

Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur dalam Bulan) Ulangan (Umur)
BCG √ (2)
DPT √ (2) √ (4) √ (6) √ (24)
Hepatitis B √ (0) √ (1) √ (6) Tidak ada
Polio √ (0) √ (2) √ (4) √ (6) √ (24)
Campak √ (9) √ (24)

Kesan: imunisasi dasar lengkap sesuai PPI 2014. (Ibu membawa kartu imunisasi dari
puskesmas)

8
I.3 PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan di bangsal anak Cempaka tanggal 27 Juni 2019)

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis

Data Antropometri
Berat badan : 44 kg
Tinggi badan : 165 cm

Status gizi
44
 BB/U :61 𝑋100% = 72%

Kesan : Berat badan kurang


165
 TB/U : 173 𝑋 100% = 95%

Kesan : Tinggi badan normal


44
 BB/TB : 51 𝑋 100% = 86%

Kesan : Gizi kurang


Kesimpulan : Status gizi menurut NCHS: gizi kurang.

Tanda Vital
 Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
 Kesadaran:Compos Mentis
 Tekanan Darah: 90/60mmHg
 Nadi : 62 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 37 C
 Saturasi: 99%

9
Rambut : Hitam, lurus, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, palpebra cekung -/-,
pupil bulat isokor Ø 3 mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks
cahaya tidak langsung +/+
Telinga : Sekret -/-, nyeri tekan -/-, nyeri tarik -/-
Hidung : Nafas cuping hidung +/+, sekret -/-, deviasi septum (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks
Inspeksi : Normochest, simetris, retraksi (-) suprasternal
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada kedua hemithoraks
Auskultasi : Suara nafas vesikular, Rhonki halus -/-, Wheezing-/-
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen
Palpasi : Supel, tidak ada pembesaran hepar dan lien, turgor baik, nyeri
tekan epigastrium (+)
Genitalia eksterna : Laki laki, tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-)

I.5 DIAGNOSIS KERJA


Dengue Syok Sindrom dengan perbaikan

10
I.6 PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa :
- Edukasi mengenai penyakit, penatalaksanaan, prognosis

- Medikamentosa :
1. O2 dengan NC 2 liter per menit
2. RL 10-20

I.7 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Ad bonam

11
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 DEFINISI

Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.

Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara
hari ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
vaskular sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura
dan peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang
mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena, preload miokard, volume
sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan
perfusi organ. (1,2)

Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem homeostasis dalam bentuk takikardi, vasokonstriksi,
penguatan kontraktilitas miokard, takipnea , hiperpnea, dan hiperventilasi.
Vasokonstriksi perifer mengurangi perfusi non esensial di kulit yang menyebabkan
sianosis, penurunan suhu permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian
kapiler (>2detik). Perbedaan suhu kulit dan suhu tubuh yang >2oC menunjukkan
mekanisme homeostasis masih utuh. Pada tahap sindrom syok dengue kompensasi,
curah jantung dan tekanan darah normal kembali.

Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat sindrom syok


dengue, berarti sistem homeostasis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik
sudah berat, sudah terjadi dekompensasi.

12
Pasien awalnya terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok
yang ditandai dengan kulit dingin lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat lemah,
tekanan nadi ≤ 20 mmhg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih dalam keadaan
sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. (2)

Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme


homeostasis. Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak, perfusi
miokard dan curah jantung menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, dan
terjadi iskemia jaringan dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel,
terjadi kerusakan sel dan organ dan pasien akan meninggal dalam 12-24jam.(11)

2.2 ETIOLOGI (2,4,5)

Virus dengue merupakan small single stranded RNA. Infeksi dengue


disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal dengan genus Flavivirus, famili Flaviviride,
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.

Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe


yang bersangkutan, sehingga tidak memberikan perlindungan memadai terhadap
serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat
terinfeksi 3-4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue ditemukan
di berbagai daerah di Indonesia. Di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa
keempat serotipe ditemukan dan versirkulasi sepanjang tahun di Indonesia.
Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak
menimbulkan manifestasi klinis yang berat.

Virus dengue

13
2.3 VEKTOR (4,16)

Aedes aegypti adalah vektor utama nyamuk demam beradrah. Nyamuk ini
merupakan nyamuk yang berada di daerah tropis dan subtropis. Nyamuk dewasa
biasanya berada di ruangan tertutup dan menggigit pada siang hari. Mereka
beradaptasi dan berkembang biak di sekitar tempat tinggal manusia, dalam
kemasan air,vas, kaleng, ban bekas, dll.

Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation


period) sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incibation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari sebelum timbul demam. (2)

2.4 TRANSMISI (4,5,15)

Virus DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti


betina yang infektif. Nyamuk medapatkan virus saat menghisap darah manusia
yang terinfeksi virus dengue. Setelah masa inkubasi, nyamuk yang terinfeksi dapat
menularkan virus selama sisa hidupnya. Bahkan nyamuk betina yang terinfeksi
juga dapat menularkan virus kepada anak-anak mereka dengan transovarial
(melalui telur) transmisi, tetapi peran penularan virus ke manusia belum
didefinisikan.

14
Manusia yang terinfeksi virus adalah pembawa utama dan pengganda virus,
karena sebagai sumber infeksi bagi nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus beredar
dalam darah manusia yang terinfeksi selama dua sampai tujuh hari, sekitar waktu
yang sama mereka mengalami demam, nyamuk Aedes bisa mendapatkan virus saat
periode ini.

2.5 EPIDEMIOLOGI (3,4,5,13)

Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara
simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik,
dimana suhu panas dan praktik penyimpanan air dirumah menyebabkan populasi
Aedes aegypti besar dan permanen. Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue
dari semua semua tipe sering ada, dan infeksi kedua dengan tipe heterolog sering
terjadi. Sesudah umur 1 tahun hampir semua penderita dengan sindrom syok
dengue mempunyai kenaikan sekunder antibodi terhadap virus dengue, yang
menunjukkan infeksi sebelumnya dengan virus yang terkait erat.

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa itu
infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang
tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit ini
menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari 35

15
tahun terjadi peningkatan yang pesat, baik dalam jumlah penderita maupun daerah
penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD sudah ditemukan di seluruh
profinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah melaporkan adanya kejadian luar
biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100.00 penduduk pada tahun
1968, menjadi 43,42 per 100.000 pendududuk pada akhir tahun 2005.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus


DBD sangat kompleks, yaitu :

 Pertumbuhan penduduk yang tinggi


 Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
 Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis
 Peningkatan sarana transportasi

16
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk transmisi virus
dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola
berjangkit virus dengue dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Pada suhu panas
(28-32oC) dengan kelembaban tinggi, nyamuk aedes aegypti akan tetap bertahan
hidup untuk jangka waktu yang lama. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki. Di Indonesia pengaruh musim terhadap
demam berdarah dengue tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus
meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada
bulan Januari.

2.6 PATOGENESIS (2,3,5)

Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna; penelitian


epidemiologi memberi kesan bahwa biasanya disertai dengan infeksi dengue tipe
2,3, dan 4 sekunder. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai demam dengue.
Reaksi tubuh memberikan reaksi yang berbeda ketika seseorang mendapat infeksi
yang berulang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk. Hal ini merupakan
dasar teori yang disebut the secondary heterologous infection atau the sequential
infection hypothesis. Infeksi virus yang berulang ini akan menyebabkan suatu
reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi
dengan konsentrasi tinggi.

Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasi oleh tubuh
sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga

17
mengenai antbodi dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok.

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
tiap pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa
hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan
titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah
banyak. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang kaan
mengaktifkan sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan
C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskuler. Pada
pasien yang syok berat volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan
berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya
peningkatan hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan pada
rongga serosa (efusi pleura,ascites). Syok yang tidak ditangani secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia.

Selain aktifkan komplemen, reaksi ini pun menyebabkan agregasi


trombosit dan mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut menyebabkan perdarahan oada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP, sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini membuat trombosit dihancurkan oleh
RES sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III sehingga terjadi koagulopati konsumtif (KID),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga ada
penurunan faktor pembekuan.

18
Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehinga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan pada DBD akibat
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan akibat KID, kelainan fungsi
trombosit, kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan memperberat
syok yang terjadi.

Dampak metabolik lain yang terjadi pada infeksi virus dengue ialah
memposisikan tubuh host dalam kondisi hipermetabolik. Pada kondisi
hipermetabolik tubuh menuntut mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP.
Dampak sampingnya ialah peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS).
ROS bersama sitokin proinflamatori menyebabkan penurunan elastisitas otot polos
kapiler, miokard dan berpengaruh pada sistem konduksi jantung terutama pada
sindrom syok dengue. Dapat dipahami bahwa syok pada infeksi DBD dapat terjadi
akibat perpindahan plasma, perdarahan, kelumpuhan otot polos vaskuler,
kelumpuhan miokard.9

a. Volume plasma10

Penyelidikan volume plasma pada kasus demam berdarah dengue dengan


menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan
bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa
demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara
akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok
menimbulkan bahwa syok terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular
melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung ialah meningkatnya berat badan,
ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium,
pleura, dan perikardium.

19
b. Trombositopenia

Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah
pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan
nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit.
Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyebab
peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi
penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama
terjadinya perdarahan pada demam berdarah dengue 10

Tabel mengenai hubungan jumlah trombosit dengan risiko perdarahan11

Trombositopenia dan Risiko Perdarahan

Jumlah Trombosit (sel/µl) Risiko

>100.000 Tidak ada risiko tinggi

50.000-100.000 Risiko trauma mayor

20.000-50.000 Risiko trauma minor

<20.000 Risiko perdarahan spontan

<10.000 Risiko perdarahan yang mengancam


nyawa

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis10

20
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan demam berdarah
dengue. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin
parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk
faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan
fibrinogen degradation products. Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan
adanya penurunan aktivitas Antitrombin III. Kelainan fibrinolisis pada demam
berdarah dengue dibuktikan dengan penurunan aktifitas α-2 plasmin inhibitor dan
penurunan aktifitas plasminogen.

Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa pada demam berdarah dengue


stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis. Koagulasi Intravaskular
Diseminata juga secara potensial dapat terjadi pada demam berdarah dengue tanpa
syok. Pada masa dini demam berdarah dengue, peran Koagulasi Intravaskular
Diseminata tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila
penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat
Koagulasi Intravaskular Diseminata. Syok dan Koagulasi Intravaskular Diseminata
akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai
perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan
kematian.

Karena adanya faktor-faktor etiologi dari DIC maka terjadilah pelepasan bahan-
bahan mediator yaitu zat-zat yang dapat memacu secara terus menerus sistem
protombotik (koagulasi primer dan koagulasi sekunder) hingga terjadilah trombosis
yang luas di organ-organ tubuh hingga menimbulkan Multipel Organ Dysfunction
(MOD) dan faktor-faktor koagulasi ( trombosit dan plasma faktor) akan terpakai hingga
terjadi juga defisiensi faktor-faktor tersebut dan dapat menimbulkan perdarahan.

Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya maupun melalui
kerusakan endotel pembuluh darah yang merupakan pusat kendali sistem hemostasis.

Faal anti trombosis mengimbangi proses koagulasi di atas dengan memacu :

21
1. Subsistem antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus, hingga
terjadi juga konsumsi dan defisisiensi faktor-faktor dalam sub sistem ini
(AT.III, prot C dan S) dan lain-lain
2. Subsistem fibrinolisis juga dipacu untuk melisis trombus yang telah terjadi
hingga menyebabkan defisiensi trombosit.
Jadi pada DIC, terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi plastin
(faktor VIII, fibrinogen dan lain-lain) yang dapat menyebabkan perdarahan
disertai juga dengan defisiensi AT III, prot C danS dan plasminogen yang dapat
menyebabkan trombosis. Jadi perdarahan dan trombosis terjadi bersama-sama.

d. Sistem komplemen10

Penelitian sistem komplemen pada demam berdarah dengue memperlihatkan


penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok
maupun tidak. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan
kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen. Aktivasi ini
menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi
sel mast untuk melepas histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok
hipovolemik.

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita demam


berdarah dengue ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam 24 jam,
adanya kompleks imun yang bersirkulasi, dan adanya korelasi antara kadar kuantitatif
kompleks imun dengan derajat berat penyakit.

22
Secondary heterologus infection

Komplek virus - antibody

XII XIIa

Fibrinolisis Kinin Komplemen


koagulasi

plasmin Peningkatan
Permeabilitas

Fibrin FDP

Perdarahan Syok

2.7 MANIFESTASI KLINIK

Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis. Penyakit ini


memiliki spektrum klinis yang. Setelah masa inkubasi, dilanjutkan dengan 3 fase
yaitu fase demam, kritis dan resolusi/pemulihan.

Fase pertama yang relatif ringan dengan demam mendadak , malaise, mual,
muntah, nyeri kepala, anoreksia. Pada fase kedua, biasanya terdapat ekstremitas
dingin, lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak, gelisah, iritabel, nyeri
mid epigastrium. Seringkali ptekie tersebar pada dahi dan tungkai. Pernafasan
cepat dan sering berat. Nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung halus. Hati
mungkin membesar dibawah tepi kosta dan biasanya keras dan agak nyeri. Kurang
dari 10% penderita menderita ekimosis atau perdarahan saluran cerna yang nyata,
biasanya pasca masa syok yang tidak terkoreksi.

23
1. Fase demam
 Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun
tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40oC
dan dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah,
eritema, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun
bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia,
mual, dan muntah sering juga dikeluhkan. Sulit membedakan demam
karena infeksi dengua dengan demam non dengue pada fase awal seperti
ini, tetapi dengan positifnya uji torniket meningkatkan kemungkinan
demam dengue.

2. Fase kritis
 Akhir fase demam merupakan fase kritis , anak terlihat seakan sehat, hati-
hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke 3-7

24
adalah fase kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi kurang dari 24-48
jam.
 Progresif leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak mengalami
kebocoran plasma akan membaik keadaannya, sedangkan yang mengalami
kebocoran plasma sebaliknya karena kehilangan volume plasma. Ascites
dan efusi pleura bisa terdeteksi tergantung dari keparahan kebocoran
plasma dan volume terapi cairan.
3. Fase resolusi
 bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis, keadaan
umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
 Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.

Demam
 Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun
tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40oC dan
dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema,
myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada
gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan
muntah sering juga dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi
dengua dengan demam non dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan
positifnya uji torniket meningkatkan kemungkinan demam dengue. (5)
Tanda-tanda perdarahan
 Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan
tanda perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada hari
pertama tetapi dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain seperti
epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis. Kadang terdapat
juga hematuria.
Hepatomegali

25
 Umumnya dapat ditemukan apada permulaan penyakit. Pembesaran hepar
bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus kosta.
Nyeri sendi

Pada demam berdarah dengue terdapat gejala pada nyeri pada tulang
disebabkan replikasi virus dan dekstruksi seluler pada sumsum tulang.14Pada
kira-kira sepertiga kasus, setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan
umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah
demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.

Syok
 Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu
terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh mulai
menurun hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada tahap awal
syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan darah
normal sistolik juga menyebabkan takikardi dan vasokontriksi perifer
dengan penurunan perfusi pada kulit menyababkan akral menjadi dingin
dan lambatnya cappilary reffill.
 Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini
menandakan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan
plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Terdapat tanda
kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
jari dan kaki, sianosis disekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat
dan lemah dan kecil sampai tidak teraba. Sesaat sebelum syok seringkali
pasien mengeluh nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
 Denyut nadi cepat dan lemah
 Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun
kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini
disebabkan kegagalan sirkulasi serebral

26
 Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi
menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena
kolap sirkulasi.
 Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
 Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80
mmHg atau kurang
 Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki,
tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini
disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang menyebabkan
peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.
 Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam
waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai.
Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul. Nyeri
abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita sindrom syok dengue.
Gejala ini patut diwaspadai oleh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan
gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai
prognosis buruk.

27
1. Patofisiologi Syok Hipovolemik
(Respon tubuh terhadap kehilangan darah sampai dengan 20%)

Suplai darah pusing


otak menurun
Penurunan volume &
tekanan darah Osmolalitas
plasma darah haus
meningkat

Respon Jangka Panjang Respon Jangka Pendek

Saraf
Hormonal: Hormonal:

ADH ADH
Stimulasi SSP
Angiotensin II
baroreseptor &
2. kemoreseptor

Urin
pekat, Perangsangan
sistem
kardiovaskuler
 RR meningkat
3.
Kenaikan  Denyut
Aktivasi saraf
jantung
4. darah
volume simpatis
meningkat
5.  Nadi lemah
6.
Hormonal:

Adrenalin &

Vasokonstriksi
 Pucat
perifer,
 Ekstremitas terasa
peningkatan
dingin
aliran balik
 Pengisian kapiler
vena
memanjang

Peningkatan curah jantung

7. Peningkatan volume &


tekanan darah

28
(Respon tubuh terhadap kehilangan darah lebih dari 30%)

Kompensasi
hipovolemik

Penurunan sangat
Peningkata besar pada volume
n
permeabilita
Curah jantung Kerusakan
menurun Jantun
miokardium
g

Penurunan aliran
balik vena Aliran darah ke
jantung menurun

Tekanan arteri menurun

Penggumpalan darah
pada pembuluh darah Aktivasi simpatis &
respon iskemik

Peningkatan asam Aliran daraf


laktat, pH, CO2 perifer menurun
Jaring Kerusakan
an ireversibel
miokardium
Jaringan
kekurangan Kulit
Asidosis pucat &
metabolik Penurunan curah
Aktivitas simpatis jantung bertahap
menurun

Kerusakan SSP Tekanan


Ota
ireversibel arteri

Aliran darah ke
Disorientasi SSP menurun

penurunan

Perubahan kimia Aliran darah


Vasodilatasi yang drastis pada perifer
kematia Sirkulasi
general jaringan sangat
n kolaps
rendah

29
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih
dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh),
dan ireversibel (tidak dapat pulih).
Fase1 : kompensasi

Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui
mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu
meningkatnya resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah dari
organ perifer non vital ke organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah
sistolik tetap normal sedangkan tekanan darah diastolik meningkat akibat peninggian
resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi menyempit).

Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara temporer


dengan meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi
vasopressin dan renin – angiotensin – aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk
menahan natrium dan air dalam sirkulasi.

Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin
dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat > 2 detik.

Fase II : Dekompensasi.

Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah


jantung yang adekuat dan system sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan
perfusi yang buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme
berlangsung secara anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan
penumpukan asam laktat dan asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis.
Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam karbonat intra selular akibat
ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.

Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap


katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme
energy dependent NaK-pump ditingkat selular, akibatnya integritas membrane sel

30
terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapast berakhir
dengan kerusakan sel. Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta
system koagulasi dapat memperburuk keadaan syok dengan timbulnya agregasi
tombosit dan pembentukan trombos disertai tendensi perdarahan.

Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin,


serotonin, sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin,
oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor).
Pelepasan mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan
stress atau injury, pada keadan syok yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan
karena terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat
volume intravaskular yang kembali kejantung (venous return) semakin berkuarang
diserai timbulnya depresi miokard.

Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan


darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary
refilling bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan dalam)
dengan depresi susunan syaraf pusat (penurunan kesadaran).

Fase III : Irreversible

Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut,


sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi system multi organ lainnya.
Cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar,
sintesa ATP yang baru hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi.
Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi kejaringan maka metabolisme menjadi
metabolisme anaerobic yang tidak efektif dan hanya menghasilkan 2 ATP dari setiap
molekul glukosa. Pada metabolism oerobik dengan oksigen dan nutrisi yang cukup
dengan pemecahan 1 molukel glukosa akan menghasilkan 36 ATP. Akibat dari
metabolism anaerobic ini akan terjadi penumpukan asam laktat dan pada khirnya
metabolism tidak akan mampu lagi menyediakan energy yang cukup untuk
mempertahan homeostasis seluler, terjadi kerusakan popma ionic dinding sel, natrium

31
masuk ke dalam sel dan kalium keluar sel sehingga terjadi akumulasi kalsium dalam
sitosol, terjadi edema dan kematian sel. Pada akhirnya terjadi banyak kerusakan sel
organ-organ tubuh atau terjadi kegagalan organ multiple dan renjatan yang ireversibel.
Kematian akan terjadi walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali.
Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan
kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda kegagalan system
organ lain.

Tabel 3.2 Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik

Tanda klinis Kompensasi Dekompensasi I reversible

Blood loss ( %) Sampai 25 25 – 40 >40

Heart rate Takikardia + Takikardia ++ Taki/bradikardia

Tekanan Normal Normal/menurun Tidak terukur


Sistolik

Nadi/volume Normal/menurun Menurun + Menurun ++

Capillary refill Normal/meningkat Meningkat >5 Meningkat ++


detik
3-5 detik

Kulit Dingin, pucat Dingin/mottled Dingin+/deadly


pale

Pernafasan Takipneu Takipneu + Sighing


respiration

32
Kesadaran Gelisah Lethargi Reaksi -/ hanya
terhadap nyeri
bereaksi

Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer dari syok. Namun secara
umum bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon
untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital
melalui reflex neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang
beredar, tonus pembuluh darah dan sistem pompa jantung.Gangguan dari salah satu
fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila terjadi syok hipovolemik
maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah melalui:

- .Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tagangan dalam pembuluh
darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor
akan menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga berkurang
sehingga akan terjadi:

- Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre


- Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor

Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia.
Baroreseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan,
ventrikel kiri dan dalam sirkulasi paru.Baroreseptor sinus karotikus merupakan
baroreseptor perifer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah.

- Kemoreseptor

Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai
60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila terjadi

33
hipoksia dan asidosis jaringan.Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah
vasokonstriksi yang luas dan rangsangan pernafasan.

- Cerebral ischkemic reseptor

Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi sympathetic
discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari pada reseptor-reseptor
perifer .

- Reseptor humoral

Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormone-hormon


stress seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormone yang
mempunyai efek kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari hormone ini
adalah terjadinya takikardia, vasokonstriksi dan hiperglikemi. Vasokonstriksi
diharapkan akan meningkatkan tekanan darah perifer dan preload, isi sekuncup dan
curah jantung. Sekresi ADH aleh hipofisee posteriosr juga meningkat sehingga
pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.

- Retensi air da garam oleh ginjal

Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran rennin oleh apparatus
yukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi angiotensin I. angiotensin I ini
oleh converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat:

- Vasokonstriksi kuat
- Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi
natrium di tubulus ginjal.
- Meningkatkan sekresi vasopressin.

34
Volume sirkulasi↓

Preload ↓

Volume sekuncup ↓

Baroreseptor, kemoreseptor, cerebral ischemic

Cardio inhibitor center Aktivasi cardiostimulator center

Output simpatetik
meningkatkat,output parasimpatetik
menurun
HR↑, kontraktilitas otot jantung ↑,
vasokonstriksi

Ginjal

Angiotensi, vasopressin, aldosteron

Gambar 3.1 Refleks kardiovaskular pada hipotensi

WHO mempunyai kriteria diagnosis DBD yang semuanya harus terpenuhi,


yaitu:
1. Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari
2. Adanya perdarahan spontan atau uji torniket positif
3. Trombositopenia (≤ 100.000/ul)
4. Hemokonsentrasi atau adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura, ascites)

35
2.8 DERAJAT/GRADE DEMAM BERDARAH MENURUT WHO (9)

 Grade I
 Demam dan gejala konstitusional
 Uji torniket +
 Grade II
 Grade 1 + Perdarahan spontan (pada kulit ataupun perdarahan
lainnya)
 Grade III
 Kegagalan sirkulasi, tekanan nadi < 20mmhg
 Tekanan Sistolik normal
 Grade IV
 Syok mendalam
 Hipotensi, tekanan darah tidak terdeteksi
 Grade III dan IV adalah sindrom syok dengue
 Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah yang membedakan DBD grade
I dan II dengan Demam dengue

36
2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG (1,2)

 Laboratorium
a. Leukosit
 normal, biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Akhir
fase demam jumlah leukosit dan neutofil menurun, sehingga jumlah
limfosit relatif meningkat. Peningkatan jumlah limfosit atipikal
atau limfosit plasma biru (LPB >4%) di daerah tepi dijumpai pada
hari sakit ke 3-7.
b. Trombosit
 jumlah trombosit ≤ 100.000/ul atau kurang dari 1-2
trombosit/lpb. Pada hari ke 3-7
c. Hematokrit
 gambaran hemokonsentrasi. Merupakan indikator yang peka
akan terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan secara berkala. Hemokonsentrasi dengan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih mencerminkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Nilai hematokrit
dipengaruhi oleh pergantian cairan atau perdarahan.
d. Kadar albumin menurun sedikit dan besifat sementara
e. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
f. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinotik yaitu fibrinogen,
protrombin seperti faktor V, VII, IX, X
g. Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang
h. Hipoproteinemia
i. Hiponatremia
j. SGOT/SGPT sedikit meningkat
k. Asidosis metabolik beratdan peningkatan kadar urea nitrogen
terdapat pada syok yang berkepanjangan.

37
 Radiologi
 Pada foto thoraks DBD grade III / IV dan sebagian grade II didapatkan
efusi pleura, biasanya sebelah kanan. Posisi foto adalah lateral dekubitus
kanan. Ascites dan efusi pleura dapat di deteksi dengan pemeriksaan USG.

 Serologis
1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test)
 Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai dan
dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
Meskipun begitu, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji
HI ini : (a) Uji HI sensitif tetapi tidak spesifik, artinya tidak dapat
menunjukkan tipe virus apa yang menginfeksi, (b) antibodi HI
bertahan sangat lama dalam tubuh (sampai > 48 tahun), sehingga
sering dipakai dalam studi sero-epidemiologi, (c) untuk diagnosis
membutuhkan kenaikan titer konvalesens 4x lipat dari titer serum
akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau
konvalesens dianggap sebagai positif infeksi dengue yang baru
terjadi (recent dengue infection).
2. Uji Komplemen fiksasi (CF test)
 Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji diagnostik
rutin, oleh karena cara pemeriksaan yang rumit dan memerlukan
tenaga yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi
CF hanya bertahan beberapa tahun saja (2-3 tahun).
3. Uji Neutralisasi (NT test)
 Merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus
dengu. Uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plague
reduction Neutralization Test (PRNT) yang berdasarkan adanya
reduksi dari plak yang terjadi. Antibodi neutralisasi dideteksi
hampir bersamaan dengan HI antibodi dan bertahan lama (> 4-8

38
tahun). Tetapi uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu
yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgG dan IgM Elisa
 Setelah satu minggu terinfeksi virus dengue, terjadi viremia
yang diikuti oleh pembentukan IgM antidengue. IgM hanya berada
dalam waktu yang relatif singkat dan akan disusul dengan
pembentukan igG. Pada kira-kira hari ke 5 terbentuklah antibodi
yang bersifat menetralisasi virus. Imunoserologi berupa IgM
(merupakan penanda infeksi saat ini) dan IgG (merupakan penanda
infeksi masa lalu). IgM akan terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari
setelahnya. Sedangkan IgG terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi
primer dan hari ke-2 pada infeksi sekunder.

5. NS1-Ag tes
 tes yang dapat mendiagnosis DBD dalam waktu demam 8 hari
pertama yaitu antigen virus dengue yang disebut dengan antigen
NS1. Keuntungan mendeteksi antigen NS1 yaitu untuk mengetahui
adanya infeksi dengue pada penderita tersebut pada fase awal
demam, tanpa perlu menunggu terbentuknya antibodi.

39
 Pemeriksaan antigen NS1 diperlukan untuk mendeteksi adanya
infeksi virus dengue pada fase akut, dimana pada berbagai
penelitian menunjukkan bahwa NS1 lebih unggul sensitivitasnya
dibandingkan kultur virus dan pemeriksaan PCR maupun antibodi
IgM dan IgG antidengue. Spesifisitas antigen NS1 100% sama
tingginya seperti pada gold standard kultur virus maupun PCR.
Antigen NS1 merupakan glikoprotein tersekresi 48 kDa yang
tidak terdapat pada partikel virus yang terinfeksi namun
terakumulasi di dalam supernatan dan membran plasma sel selama
proses infeksi. NS1 merupakan gen esensial di dalam sel yang
terinfeksi dimana fungsinya sebagai ko-faktor untuk replikasi virus,
yang terdapat bersama di dalam bentuk replikasi RNA double-
stranded (Mackenzie, 1996). Immune recognition dari permukaan
sel NS1 pada sel endotel dihipotesiskan berperan dalam mekanisme
kebocoran plasma yang terjadi selama infeksi virus dengue yang
berat. Sampai saat ini, bagaimana NS1 berhubungan dengan
membran plasma, yang tidak berisi motif sekuens membrane-
spanning masih belum jelas.

NS1 terikat secara langsung pada permukaan berbagai tipe sel


epitelial dan sel mesensimal, juga menempel secara kurang lekat
terhadap berbagai sel darah tepi.NS1-Ag tes adalah tes untuk
deteksi protein non struktur NS-1 Ag yang ada dalam sirkulasi dan
dapat mendeteksi ke empat serotipe. Keunggulannya dapat
mendeteksi virus lebih awal, mulai dari hari ke-1 demam sampai
demam hari ke-9 dan mempunyai sensitivitas DEN-1 : 88,9%,
DEN-2 : 87,1%, DEN-3 : 100%, DEN-4 : 93,35%.

40
2.10 DIAGNOSIS (1,2,3)

Definisi kasus untuk sindrom syok dengue ialah harus memenuhi


kriteria demam berdarah dengue ditambah bukti gagal sirkulasi. Kriteria
demam berdarah dengue yaitu:

Gejala klinis

 Demam berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik


 Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut
ini:
-tes tornikuet positif

-ptekie, ekimosis atau purpura

-perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau


lokasi lain

-hematemesis atau melena

 Hepatomegali
 Syok
Laboratorium

 Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)


 Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih besar dari
20%diatas rata-rata, atau ditandai dengan hipoproteinemia)
 Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG)
dengan enzym-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi
moniklonal, atau tes hemaglutinasi

 Kimia darah: ketidakseimbangan elektrolit, asidemia, peningkatan


basa urea nitrogen

 Tes fungsi hati: transaminase yang meningkat

41
 Tes Guaiac sebagai pemeriksaan darah samar pada tinja

Pemeriksaan penunjang lain:

 Radiografi dada: efusi pleura

 CT-Scan kepala tanpa kontras: Perdarahan intrakranial, edema serebri.

2.11 PENATALAKSAAN (5,10)

Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis,


setiap menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang
adekuat sangat diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma. Pemberian cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan
multisistem disfungsi organyang dapat menyebabkan kematian. Gangguan
elektrolit (natrium dan kalsium), ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi
dan meningkatkan potensi terjadinya disseminated intravascular coagulopathy
(DIC).

Syok merupakan keadaan kegawatan.Cairan pengganti adalah pengobatan yang


utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak
akan cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.2

Indikasi perawatan:

 Takikardi
 Capillary refill yang lebih lama dari normal (>2detik)
 Dingin dan pucat
 Perubahan status neurologik
 Oliguria
 Hematokrit mendadak tinggi
 Tekanan nadi menyempit (<20 mmHg)
 Hipotensi

42
Mengingat sindrom syok dengue merupakan keadaan kritis, maka penyebab
langsungnya harus segera ditentukan apakah akibat perdarahan atau akibat
perpindahan plasma.9

Obat pertama yang diberikan pada kegawatan DBD ialah oksigen.


Hipoksemia harus dicegah dan dikoreksi. Lalu buatlah akses vena dan ambil
contoh darah untuk analisa gas darah, kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit, golongan darah, dan crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl,
Ca, Mg, dan asam laktat. Lalu pasang kateter urin dan lakukan penampungan urin
, urinalisis dan pengukuran berat jenis urin. Jumlah diuresis dihitung setiap jam
(normal 2-3 ml/kgBB/jam). Bila diuresis kurang 1 ml/kgBB/jam maka terdapat
hipoperfusi ginjal. Pemasangan pipa oro/nasogastrik pada anak sakit gawat
berguna untuk dekompresi, memantau perdarahan saluran cerna dan melakukan
bilasan lambung dengan garam fisiologik.

Tabel perbandingan cairan kristaloid dengan cairan koloid

Cairan Kristaloid Cairan Koloid

 Mengandung zat dengan  Mengandung zat dengan berat


berat molekul rendah (<8000 molekul tinggi (>8000 dalton)
dalton)  Tekanan osmotik tinggi,
 Cairan kristaloid dengan atau sebagian besar akan tetap tinggal
tanpa dekstrosa di ruang intravaskuler
 Larutan RL atau dekstrosa
5% dalam larutan RL.
Larutan RA atau dekstrosa
5% dalam larutan RA.
Larutan NaCl 0,9% atau
dekstrosa 5% dalam larutan
garam faali

43
 Tekanan onkotik rendah,
cepat terdistribusi ke ruang
ekstraseluler

 Menurunkan tekanan  Respon metabolik adalah


osmotik koloid plasma dan meningkatkan pengiriman
cenderung menimbulkan oksigen ke jaringan dan
edema konsumsi O2 serta menurunkan
laktat serum
 Koloid isoonkotik mengisi ruang
intravaskuler tanpa mengurangi
volume interstisial
 Mempertahankan tekanan
osmotik koloid plasma dan
menurunkan akumulasi cairan
interstisial
 Larutan yang mempunyai efek
menyumpal, paling baik koloid
dengan BM 100.000-300.000
dalton
Cairan koloid yang dapat dipakai adalah :

1. DEKSTRAN:larutan 10% dekstran 40 dan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik


dan hiperonkotik, maka cairan ini akan menambah volume plasma karena menarik
cairan dari ekstravaskular ke intravaskular.efeknya dipertahankan masing - masing 3,5-

44
4,5 jam dan 6-8 jam.Efek samping meggangu mekanisme pembekuaan darah dengan
cara menurunkan jumlah fibrinogen dan menggangu fungsi trombosit.Tidak boleh
diberikan pada DIC

2. Gelatin : haemasel dan gelofusin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat
isotonik dan isoonkotik.efeknya menetap sekitar 2-3 jam dan tidak menggangu
pembekuan darah.

3. Hydroxy Ethyl Starch (HES) : 6% hes 200/0,5;6% HES 450/0,7 adalah larutan
isotonik dan isoonkotik, sedangkan 10 % HES 200/0,5 isotonik dan
hipoonkotik.gangguan pembekuan darah tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari
1500cc/24jam

45
Diagram5
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue

1. oksigenasi (berikan O2 2-4 l/menit)


2. penggantian volume plasma segera
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balans cairan selama pemberian cairan
intravena

syok teratasi syok tidak teratasi


kesadaran membaik kesadaran menurun
nadi terabakuat nadi lembut/tidak teraba
tekanan nadi>20 mmHg tekanan nadi <20mmHg
tidak sesak nafas/sianosis distres pernapasan/sianosis
ekstremitas hangat ekstremitas dingin
diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam periksa kadar gula darah
cairan dan tetesan disesuaikan lanjutkan cairan
10 ml/kgBB/jam 20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat tambahkan koloid/plasma
Tanda vital dekstran/FPP
Tanda perdarahan 10-20(max 30) ml/kgBB/jam
Diuresis
Hb, Ht, trombosit Koreksi asidosis Syok belum teratasi

46
Evaluasi 1 jam
Stabil dalam 24 jam/Ht <40
Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Syok teratasi
Tetesan 3 ml/kgBB/jam Ht turun
Ht tetap tinggi/naik

Infus stop tidak melebihi 48 jam tranfusi darah segar 10 ml/kgBB


10-20ml/kgBB koloid
setelah syok teratasi diulang sesuai kebutuhan

Pertimbangkan
pemakaian inotropik Syok belum teratasi
dan koloid HES BM
100.000-300.000 D

6. Penatalaksaan pasien dengan syok yang terkompensasi:


Berikan cairan isotonik kristaloid secara intravena dengan dosis 5-10
ml/kgBB/jam, habis dalam 1 jam. Lalu periksa tanda vital, cappilary refill time,
hematokrit, dan produksi urin.
Jika keadaan pasien membaik, cairan kristaloid diturunkan secara perlahan.
Turunkan 5-7 ml/kgBB/jam dalam waktu 1-2 jam. Lalu 3-5 ml/kgBB/jam dalam
waktu 2-4 jam. 2-3 ml/kgBB/jam dalam waktu 2-4 jam. Jika keadaan terus
membaik, maka cairan dapat terus dikurangi.
Bila keadaan pasien tidak membaik, dimana tanda vital tetap tidak stabil, periksa
hematokrit setelah pemberian bolus pertama. Bila hematokrit meningkat atau tetap
tinggi (≥ 50%), berikan bolus kristaloid kedua dengan dosis 10-20 ml/kgBB/jam
dalam 1 jam. Bila setelah pemberian cairan kedua ini ada perbaikan, kurangi dosis
cairan kristaloid menjadi 7-10 ml/kgBB/jam dalam 1-2 jam, dan terus kurangi

47
dosis seperti yang telah dijelaskan di atas. Bila nilai hematokrit menurun dari nilai
hematokrit awal (< 40% pada anak dan wanita dewasa, < 45% pada pria dewasa),
ini menunjukan adanya perdarahan, lakukan cross match, dan memerlukan
transfusi darah secepatnya.
Selanjutnya bolus larutan kristaloid ataupun koloid mungkin perlu diberikan
selama 24-48 jam berikutnya.

7. Penataksaan pasien dengan syok yang tidak terkompensasi


Beri cairan isotonik ataupun kristaloid (bila tersedia) secara intravena
dengan dosis 20 ml/kgBB/jam selama 15 menit
Bila keadaan pasien membaik, berikan cairan kristaloid/koloid 10
ml/kgBB/jam dalam 1 jam. Lalu lanjutkan dengan pemberian cairan
kristaloid dan kurangi dosis secara perlahan, 5-7 ml/kgBB/jam dalam
1-2 jam. Lalu 2-5 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam. Dan 2-3

48
ml/kgBB/jam atau kurang, yang dapat dipertahankan selama 24-48
jam.
Bila tanda vital masih tidak stabil, periksa nilai hematokrit sebelum
pemberian cairan pertama. Jika nilai hematokrit rendah (< 40% pada
anak dan dewasa muda, <45% pada pria dewasa), ini menunjukan
adanya perdarahan, lakukan cross match, dan memerlukan transfusi
darah secepatnya.
Bila nilai hematokrit lebih tinggi dari nilai hematokrit awal, maka
danti cairan dengan berikan cairan koloid 10-20 ml/kgBB dalam
waktu 30 menit sampai 1 jam. Bila keadaan pasien membaik,
turunkan dosis 7-10 ml/kgBB/jam dalam 1-2 jam, lalu ganti cairan
dengan cairan kristaloid dan turunkan dosis seperti yang telah
disebutkan diatas. Jika masih belum stabil, periksa kembali
hematokrit.
Bila nilai hematokrit turun dari nilai sebelumnya (< 40% pada anak
dan dewasa muda, <45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya
perdarahan, lakukan cross match, dan memerlukan transfusi darah
secepatnya. Bila nilai hematokrit meningkat dari nilai sebelumnya
atau tetap tinggi (> 50%), lanjutkan pemberian koloid 10-20
ml/kgBB sebagai bolus ketiga dalam waktu 1 jam. Lalu ganti cairan
dengan cairan kristaloid dan turunkan dosis seperti yang telah
disebutkan diatas saat keadaan pasien mulai membaik.
Bolus cairan mungkin perlu diberikan selama 24 jam ke depan.
Pasien dengan sindrom syok dengue harus dimonitor rutin hingga tanda-
tanda bahaya berkurang atau menghilang. Saat pemberian cairan, tanda vital dan
perfusi perifer harus dimonitor setiap 15-30 menit sampai pasien terlepas dari
keadaan syok, lalu monitor setiap 1-2 jam. Secara umum, semakin tinggi tingkat
cairan infus, pasien lebih sering harus dipantau dan ditinjau untuk menghindari
overload cairan sementara memastikan penggantian volume yang memadai.

49
Produksi urin harus dipantau juga. Kateter dipasang untuk memudahkan
menghitung produksi urin. Hematokrit harus dipantau sebelum dan sesudah bolus
cairan samapi keadaan pasien stabil, lalu setelah itu setiap 4-6 jam. Terkadang
diperlukan juga pemeriksaan analisis gas darah , laktat, karbondioksida/bikarbonat
(setiap 30 menit sampai 1 jam hingga pasien stabil, lalu diperiksa kembali sesuai
kebutuhan), gula darah (sebelum dan sesudah pemberian cairam,periksa kembali
sesuai indikasi), dan pemeriksaan fungsi organ lainnya ( ginjal, hepar, koagulasi,
dll).

50
51
Indikasi pemberian darah:2

 terdapat perdarahan secara klinis


 Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit
turun, diduga telah terjadi perdarahan. Berikan darah segar 10 ml/kgBB
 Apabila kadar hematokrit tetap > 40vol%, maka berikan darah dalam volume
kecil.
 Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular diseminata pada syok berat yang
menimbulkan perdarahan masif.
 Pemberian tranfusi suspensi trombosit pada Koagulasi Intravaskular
Diseminata harus selalu disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang
diperlukan), untuk mencegah perdarahan lebih hebat.

Pencatatan sering terhadap tanda vital dan penentuan hematokrit penting dalam
mengevaluasi hasil pengobatan. Bila pasien menunjukkan tanda-tanda syok, terapi
cermat harus diberikan segera. Pasien kemudian harus dibawah observasi konstan dan
cermat sampai ada ketentuan bahwa bahaya telah lewat. Tindakan berikut harus
dilakukan rutin pada situasi tersebut:

 Nadi, tekanan darah dan pernapasan harus dicatat setiap 30 menit sampai syok
teratasi.11 Dinilai juga apakah terdapat pembesaran hati, tanda ensefalopati.14
Kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit tiap 6 jam, minimal 12 jam.

 Lembar periksa keseimbangan cairan harus dipertahankan, pencatatan tipe


cairan dan kecepatan serta volume pemberiannya untuk evaluasi keadekuatan
penggantian cairan.Frekuensi dan volume keluaran urin juga harus dicatat, dan
kateter urin mungkin diperlukan pada kasus syok sulit teratasi.
Pada demam berdarah dengan syok dilakukan cross match darah untuk persiapan
tranfusi darah apabila diperlukan.11

52
Pasien demam berdarah dengue perlu dirujuk ke ICU Anak atas indikasi:16

 Syok berkepanjangan (syok tak teratasi lebih dari 60 menit)


 Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal)
 Perdarahan saluran cerna hebat
 Demam berdarah dengue ensefalopati
Kriteria pasien pulang:1

 Bebas panas sedikitnya 24 jam tanpa pemakaian obat antipiretik


 Nafsu makan membaik
 Tampak perubahan klinis
 Output urin baik
 Hematokrit stabil
 Melewati 2 hari setelah syok
 Tidak ada distres pernafasan karena efusi pleura atau asites
 Trombosit >50.000/mm3

2.11 KOMPLIKASI (5,9)

 Overload cairan
 Kelebihan cairan dengan efusi pleura yang luas dan ascites merupakan
penyebab distress pernafasan akut tersering pada dengue berat. Penyebab
kelebihan cairan pada dengue adalah :
 Pemberian cairan intravena yang berlebihan dan atau yang terlalu
cepat
 Salah penggunaan cairan. Dimana lebih memakai cairan hipotonik
daripada cairan isotonik.

53
 Pemberian dosis cairan intravena yang kurang tepat pada pasien
dengan perdarahan masif yang tidak diketahui
 Pemberian yang tidak tepat pada transfusi fresh frozen plasma,
trombosit konsentrat, dan kriopresipitat
 Pemberian cairan intravena lanjutan setelah kebocoran plasma telah
membaik (24-48 jam setelah suhu kembali normal)
 Keadaan komorbid
 Berikan oksigen, lalu hentikan pemberian cairan secara intravena karena
selama masa penyembuhan cairan pada pleura dan rongga peritoneum akan
kembali ke intravaskuler.
 Perdarahan (biasanya gastrointestinal)
 Biasanya muncul pada fase penyembuhan. Pasien dengan trombositopenia
yang cukup rendah harus istirahat di tempat tidur dan hindari dari trauma
untuk mencegah perdarahan. Tidak semua pasien mengalami perdarahan
yang cukup banyak. Hanya pada keadaan-keadaan tertentu. Pemberian
transfusi darah harus dilakukan sesegera mungkin begitu diketahui atau
terlihat adanya tanda-tanda perdarahan yang masif. Tetapi pada pemberian
transfusi darah pun harus di monitor sebaik mungkin untuk menghindari
kelebihan cairan pada pasien. Jangan menunggu nilai hematokrit terlalu
rendah untuk memutuskan pemberian transfusi darah. Berikan 5-10
ml/kgBB PRC atau 10-20 ml/kgBB whole blood.
 Hiperglikemia dan hipoglikemia
 Hiponatremi, hipokalemi, hiperkalemi, ketidakseimbangan serum kalsium
 Asidosis metabolik
Disfungsi hepar, biasanya bisa akibat dari virus dengue hepatitis atau syok
 DIC
Secara klinis, DIC sering kali menyertai proses penyakit sistemik yang berat,
tanda-tanda perdarahan sering terjadi pada bekas tusukan jarum yang dimasukkan
ke dalam pembuluh darah atau sayatan pembedahan. Di kulit dapat ditemukan

54
tanda petekie dan ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi pada banyak organ dan
terlihat tanda infark yang luas di kulit, di jaringan subkutan atau ginjal.
 Ensefalopati, biasanya muncul sebelum onset kebocoran plasma
Ensefalopati adalah komplikasi yang jarang dari infeksi virus dengue dan
mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari perdarahan intrakranial, edema serebri,
hiponatremia, anoksia serebri, perdarahan mikrokapiler atau pelepasan produk
toksik.9

Pada umumnya ensefalopati terjadi pada DBD dengan komplikasi syok yang
berkepanjangan disertai perdarahan, namun dapat juga terjadi pada DBD yang
tanpa disertai syok.Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau
perdarahan dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati.Hal ini mungkin pula
disebabkan oleh thrombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari
koagulasi intravaskular menyeluruh.Adapun perihal yang menyatakan bahwa
ensefalopati dengue berhubungan dengan kegagalan hati akut.

Pada ensefalopati dengue, kesadaran menurun menjadi apatis atau somnolen dan
dapat disertai atau tanpa disertai kejang. Pada DSS, keadaan syok harus diatasi
terlebih dahulu untuk melihat ada tidaknya kondisi ensefalopati.

 Kelainan ginjal (akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut).
Kelainan ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal akibat kondisi syok
yang tidak teratasi dengan baik.Dapat dijumpai sindrom hemolitik uremikum
yang jarang terjadi. Pada keadaan syok berat dapat ditemukan nekrosis tubular
akut yang ditandai dengan oligouria/anuria disertai peningkatan kadar ureum
dan kreatinin.

 Oedem paru
Keadaan ini mungkin terjadi pada pemberian cairan yang berlebihan.Pemberian
cairan yang tidak dikurangi pada masa terjadinya reabsorpsi cairan pada sekitar
hari sakit ke 7 dapat menimbukan keadaan ini.Ditandai dengan sesak napas,

55
kelopak mata sembab, dan ditunjang dengan gambaran oedem paru pada
pemeriksaan radiologi toraks.

 Co-infection dan infeksi nosokomial

2.12 PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat segera dan


pemantauan ketat syok. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardi,
takipneu, dan kesadaran, munculnya diuresis dan kembalinya nafsu makan.(8)

Demam berdarah dengue mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan


kematian, tetapi bila berkembang menjadi sindrom syok dengue akan
meningkatkan kematian hingga 40%. (7)

Prognosis buruk pada koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom syok


dengue dengan renjatan berulang atau berkepanjangan. (1)

56
BAB III
PEMBAHASAN

UKK Infeksi dan Pediatri IDAI mendefinisikan, infeksi virus dengue adalah
penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus flavivirus, famili flaviviridae
dan ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti. Infeksi virus dengue pada manusia
mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling
ringan ( puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus
dengue ringan (silent dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya. Pada
pasien ini diagnosa dengue shock syndrome/ DSS dengan ditegakan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan, sebagai berikut :
Pasien adalah seorang anak laki laki berusia 15 tahun 10 bulan.Dengue syok
sindrom dapat timbul pada segala umur, dimana di Indonesia kasus DBD semakin
meluas dan diikuti dengan variasi serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus
berat.
Pasien datang ke IGD RSUD Pasangkayu tanggal 24 Juni 2019 dengan keluhan
Demam tinggi sudah 4 hari SMRS.Demam dirasakan naik turun dan saat diukur suhu
mencapai 40 C, ibu pasien sudah mencoba menurunkan obat penurun panas, namun
keluhan yang dirasa hanya membaik sementara lalu kemudian suhu kembali tinggi.
Demam pada pasien disertai keluhan rasa tidak enak pada ulu hati sehingga pasien
merasa mual dan muntah.Menurut literature, karakteristik gejala demam dengue yaitu
demam yang mendadak tinggi 2-7 hari kadang bifasik, mual muntah, nyeri pada tengah
epigastrium, nyeri kepala, nyeri otot, lesu dan tidak mau makan, konstipasi, nyeri
tenggorok dan depresi umum.
Keluhan yang dirasakan pasien adalah pertama kalinya, pasien tidak pernah
menderita keluhan yang serupa. Di lingkungan pasien dimana tetangga pasien satu
bulan yang lalu dirawat karena demam dengue, dan menurut keluarga pasien, keluarga
tinggal didaerah yang padat penduduk dan jarang sekali dilakukan foging atau

57
penyuluhan mengenai pencegahan Demam berdarah. Sesak yang dialami pasien bukan
kejadian yang pertama kali.
Pada awal demam, wajah pasien tampak kemerahan (flushing), leher, dan dada.
Dan pada hari ke empat muncul bintik bintik merah pada kaki , lengan atas dan tangan.
Menurut literatur demam dengue bermanifestasi pada hari 1-3 tampak flushing pada
muka (muka kemerahan) akibat proses inflamasi dimana pasien dalam kondisi viremia,
selain itu ditemukan tampaknya bintik bintik kemerahan pada ekstremitas saat
dilakukan uji bedung hal tersebut menguatkan diagnosis demam dengue.
Pada saat dibawah ke IGD pasien sudah demam 4 hari dan pada saat dilakukan
pengambilan lab darah pasien, tanda tanda tanda adanya kompesasi dari shtok demam
dengue, dimana terjadi peningkatan hematrokrit yang menurut menurut literatur salah
satu kriteria shock adalah terjadi peningkatan hematokrit yang menandakan
peningkartan permebilitas pembuluh darah sehingga terjadi perembesan plasma.
Menurut data hasil pemeriksaan fisik di Bangsal pada tanggal 27 Juni 2019 pukul
16.00 WIB, didapatkan hasil pasien sudah lebih tenang, namun terlihat masih lemah(+),
RR 20x/mnt, suhu 37,1 C, nadi 62x/menit, dan saturasi 99%. Tidak tampak adanya
perdarahan dan pasien terpasang 1 line RL dengan 10 tpm. Hal ini mengambarkan
bahwa pada shock pada pasien sudah diatasi dan pemberian dosis cairan pada pasien
sudah dikurangi.
Pada hasil follow up tanggal 28/06/2019 psien merasa lebih baik namun demam
masih ada.Gambaran sesak sudah tidak ada yakni RR 24x/menit, PCH (-) dan retraksi
(-).Hasil follow up tanggal 28/06/2019 demam sudah tidak tinggi, batuk (+) dan tidur
sudah lebih nyenyak.Dilakukan pemeriksaan lab serial dan didapatkan hasil leukosit
normal, trombosit sudah mulai dalam batas normal. Hasil follow up tanggal 30/06/2019
demam sudah tidak ada, batuk (+) dengan pemeriksaan fisik dalam batas normal
sehingga pasien diperbolehkan untuk pulang keesokan harinya.

58
BAB IV

KESIMPULAN

Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.

Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari
ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular
sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan
peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang mengakibatkan
berkurangnya aliran balik vena, preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung
sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ.

Syok ditandai dengan :

 Denyut nadi cepat dan lemah


 Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral
 Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
 Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau
kurang
 Kulit dingin dan sembab
 Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu
12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai.
Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis, setiap menit
menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat sangat diperlukan

59
untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Pemberian cairan
adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem disfungsi organyang dapat
menyebabkan kematian. Gangguan elektrolit (natrium dan kalsium),
ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan potensi terjadinya
disseminated intravascular coagulopathy (DIC)

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS.Buku


Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua.Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010.
Hal.155-181
2. Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 1-43
3. Hardiono D., Sri Rezeki. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004.
4. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Demam Berdarah
Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. II. E/15.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.20001. Hal 1134-1135
5. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever, Degue Shock Syndrome In The
Context Of The Integrated Management Of Childhood Illness. 2005. Hal 1-34
6. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control.
2009. Hal 3-147
7. Wills Bridget. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome. 2001. Dengue
buletin vol 25. Hal 50-55
8. Fitri Sari A. Gejala Awal Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor Prediktor Syok
Pada Demam Berdarah Dengue di Instalasi Kesehatan Anak RS Dr. Sardjito. 2004.
Hal 10-11
9. Tim Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen
Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Jakarta: Balai Penerbit RSCM. 2007.
10. Sri Rezeki, Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.2005
11. Sungkar Saleha. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia. 2002.

61
12. Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.unboundmedicine.com/medline/ebm/record/19445771/full_citation/
Dengue_haemorrhagic_fever_or_dengue_shock_syndrome_in_children_ diunduh
pada tanggal 5 Juli 2012
13. Fluid Solutions in Dengue Shock Syndrome.Didapat dari :
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200512083532317 diunduh pada 5
Juli 2012
14. Dengue Shock Syndrome. didapat dari :
http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=6628 diunduh pada
5Juli 2012
15. Sri Rezeki H.H., Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Didapat dari :
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/dengue-shock-syndrome.html
diunduh pada tanggal 10Juli 2012
16. Dengue Fever, Dengue haemorrhagic fever, Dengue shock Syndrome. Didapat
dari : http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.htm diunduh
pada 10Juli 2012
17. Dengue Virus Fusion Pathway. Didapat dari :
http://www.microbiologybytes.com/blog/tag/dengue/ diunduh pada tanggal 10
Juli 2012
18. Dengue Fever and Dengue haemorrhagic fever. Didapat dari :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ diunduh pada tanggal 10
Juli 2012
19. Dengue Haemorrhagic Fever. Didapat dari :
http://www.denguevirusnet.com/dengue-haemorrhagic-fever.html diunduh pada
tanggal 10 Juli 2012

62
LAMPIRAN

1.1 Tabel Observasi Tanda Vital Anak Taufik

Tanggal Jam Suhu Nadi TD RR Terapi

25 Juni 2019 07.30 36 74 90/70 18 Loading RL 500


cc, lanjut RL 30
tpm
08.00 36 72 90/60 18

08.30 36 72 100/70 18

09.00 37.3 64 90/70 18

09.30 64 90/70 18

37.3

10.00 64 90/70 18

37.3

10.15 62 90/70 18 Loading


Gelofusin 500
37.8 ml
11.00 64 100/70 18 IVFD 2 line :
36.8
 30 tpm
12.00 60 100/70 18  30 tpm

36.8

63
13.00 62 90/80 18

36

13.30 55 100/80 18

36

14.00 60 110/80 18

36

16.00 60 100/70 18

36

20.00 65 110/80 20

37

22.00 70 100/70 20

37

00.00 70 90/60 20

37

26 Juni 2019 12.30 37.3 75 100/70 24

1.2 Data Antropometri pasien


 Berat badan : 44 Kg
 Tinggi Badan : 165 cm
 Usia : 15 tahun 10 bulan

64
Kesan: Status gizi kurang

65

Anda mungkin juga menyukai