DISKRIPSI SINGKAT
1
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN
A. Gambaran Umum TB ;
1. Patogenesis dan Penularannya,
2. Perjalanan alamiah TB bila tidak diobati,
3. Risiko Menjadi Sakit TB dan Pengaruh HIV-AIDS terhadap Masalah
TB,
4. Upaya pengendalian TB
5. TB Resistan OAT,
6. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)
B. Situasi TB di Dunia dan Indonesia
1. Situasi TB di Dunia
2. Situasi TB di Indonesia
C. Visi, misi, tujuan, dan kebijakan operasional program pengendalian TB;
1. Visi
2. Misi
3. Tujuan
4. Kebijakan Operasional
D. Strategi dan kegiatan pengendalian TB;
1. Strategi
2. Kegiatan
E. Pengorganisasian pengendalian TB (Gerdunas di pusat , provinsi dan
kabupaten/kota);
1. Flipchart,
2. Whiteboard
3. Alat tulis (ATK)
4. Materi Inti 1
V. METODE PEMBELAJARAN
1. CTJ
2. Curah Pendapat
3. Pembelajaran dalam kelompok
4. Tugas baca
5. Penugasan (Latihan soal)
2
VI. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun
langkah-langkah sebagai berikut :
A. Langkah 1 : Penyiapan Proses pembelajaran
1. Kegiatan Pelatih
a. Pelatih memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana dikelas
b. Pelatih menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas mulailah
dengan memperkenalkan diri, Perkenalkan diri dengan
menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang
akan disampaikan.
d. Menggali pendapat peserta (apersepsi) tentang apa yang dimaksud
dengan Program Pengendalian TB dengan metode curah
pendapat.
e. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
tentang Program Pengendalian TB yang sebaiknya dengan
menggunakan CTJ
2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan Pelatih
c. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
d. Mengajukan pertanyaan kepada Pelatih bila ada hal-hal yang
belum jelas dan perlu diklarifikasi.
3
b. Mengamati peserta dan memberikan bimbingan pada proses
penyelesaian latihan, menyimpulkan hasil diskusi.
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan bertanya pada hal-hal yang kurang jelas
pada pelatih.
b. Melakukan proses membaca materi secara bergantian.
c. Mengikuti diskusi dalam kelompok.
4
Berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron, lebar 0,2 – 0,6
mikron, berwarna merah pada pemeriksaan mikroskopis dengan
pewarnaan ZN.
Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl
Neelsen.
Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein
Jensen, Ogawa.
Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup
dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai -70°C.
Sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet
akan mati dalam beberapa menit.
Dalam dahak pada suhu antara 30 – 37°C akan mati lebih
kurang 1 minggu.
Dapat bersifat dormant (”tidur” / tidak berkembang).
b. Cara Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan
dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien
TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak dapat
menularkan, karena sensitivitas dengan pemeriksaan
mikroskopis hanya 60%.
Infeksi akan terjadi bila seseorang menghirup udara yang
mengandung percikan dahak pasien TB.
Pada waktu pasien batuk,bersin dan bicara dapat mengeluarkan
sampai satu juta percikan dahak (droplet nuclei).
5
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk
terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan
seseorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal
dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi
Reaksi immunologi
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian
terjadi komplek antigen – antibody.
Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)
Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam
lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
c. Sakit TB
Faktor risiko untuk Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
menjadi sakit TB adalah Lamanya waktu sejak terinfeksi
tergantung dari : Usia seseorang yang terinfeksi
Tingkat daya tahan tubuh seseorang.
Seseorang dengan daya tahan tubuh yang
rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan
berkembangnya TB aktif (sakit TB).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian Akibat dari keterlambatan diagnosis dan
karena TB: atau kesalahan diagnosis
Pengobatan tidak adekuat
Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk
atau penyakit penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan selama 5 tahun, 50% akan meninggal
dan risiko ini akan meningkat pada pasien dengan HIV positif.
6
Hal lain yang mempermudah penularan TB yaitu :
Hunian padat, misalnya di penjara dan tempat-tempat
pengungsian.
Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan,
misalnya kemiskinan dan pelayanan kesehatan yang
buruk.
Lingkungan kerja, misalnya laboratorium klinik, rumah
sakit.
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
transmisi
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan : Risiko menjadi TB bila
Ventilasi dengan HIV:
Kepadatan • 5-10% setiap tahun
Dalam ruangan • >30% lifetime
SEMBUH
Faktor Perilaku
HIV(+)
KRONIS/
TB RESISTEN
OBAT
TERPAJAN INFEKSI
10%
TB MATI
Konsentrasi Kuman Keterlambatan diagnosis
Lama kontak dan pengobatan
Malnutrisi Tatalaksana tak memadai
Penyakit DM, Kondisi kesehatan
immunosupresan
4. Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada tahun 1993 WHO
menyatakan Global Emergency TB, dan merekomendasikan
pengendalian TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Short-course).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
7
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang
terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi
pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu
memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program.
8
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien mengacu kepada akses
universal dan pelayanan tanpa batas. dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi
semua dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan
populasi berisiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita
resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada
kebutuhan pasien (patient-centred support).
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok
rentan dan berisiko tinggi serta pemberian vaksinasi BCG untuk
mencegah TB berat pada anak.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang tegas dan jelas
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan
layanan dan pencegahan TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan
dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health
coverage) dan kerangka kebijakan lain yang mendukung
pengendalian TB seperti Mandatory Notification, tata kelola dan
penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk
mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB.
5. TB Resistan OAT
M. tuberculosis dikatakan resistan terhadap OAT, jika M. tuberculosis
kebal terhadap OAT.
9
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain.
Untuk lebih jelasnya secara rinci isi dari ISTC 3 tahun 2014 dapat
dilihat pada lampiran.
10
B. Situasi TB di Dunia dan Indonesia
2. Situasi TB di Indonesia
11
HIV dan HIV+).
12
C. Visi, Misi, Tujuan, Target dan Kebijakan Program Pengendalian TB
1. Visi
“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan
berkeadilan”
2. Misi
a) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat madani dalam pengendalian TB.
b) Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata,
bermutu, dan berkeadilan.
c) Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian
TB.
d) Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
b) Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.
Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah
kasus TB per 100,000 penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase
kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi
90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
disembuhkan dari 85% menjadi 88%. Keberhasilan yang dicapai
pada RPJMN 2010-2014 akan menjadi landasan bagi RPJMN
berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan
disesuaikan dengan target pada RPJMN II dan harus disinkronkan
pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015 dan target
SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama
pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan
insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2% per tahun
menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-
5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa
mencapai target penurunan insidensi sebesar 20% dan angka
mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.
4. Kebijakan Operasional
13
a. Pengendalian TB dilaksanakan secara nasional
b. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai azas
desentralisasi dengan titik berat di Kabupaten/kota.
c. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi
DOTS sebagai kerangka dasar dan memperhatikan strategi global
untuk mengendalikan TB (Global Stop TB Strategy).
d. Penguatan komitmen daerah untuk program pengendalian TB
dengan peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk
penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya TB resistan obat.
e. Penemuan dan pengobatan dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
f. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama
dan kemitraan antara sektor pemerintah, swasta dan masyarakat
dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB
(Gerdunas TB).
g. Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat
pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dijamin ketersediaannya oleh
pemerintah di fasilitas kesehatan yang melaksanakan strategi
DOTS.
i. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
j. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan
pekerjaannya.
k. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi
global pengendalian TB.
14
e. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB.
f. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap
program TB.
g. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.
2. Kegiatan
a. Tatalaksana TB Paripurna
Promosi Tuberkulosis
Pencegahan Tuberkulosis
Penemuan pasien Tuberkulosis
Pengobatan pasien Tuberkulosis
Rehabilitasi pasien Tuberkulosis
b. Manajemen Program TB
Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis
Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis
Pengembangan ketenagaan program pengendalian
Tuberkulosis
Promosi program pengendalian Tuberkulosis.
c. Pengendalian TB Komprehensif
Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;
Public-Private Mix Tuberkulosis;
Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi
buruk;
Kolaborasi TB-HIV;
TB Anak;
Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;
Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung
Health = PAL);
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat
(MTPTRO)
Penelitian tuberkulosis.
15
E. Pengorganisasi Pengendalian TB
b. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi Gerdunas-TB Provinsi yang terdiri dari Tim
Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi
disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat provinsi dikordinasikan
Dinas Kesehatan Provinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota Gerdunas-TB kabupaten / kota yang
terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur
organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota.
16
Secara umum konsep pelayanan pasien TB di Balai
Pengobatan dan Dokter Praktek Mandiri (DPM) sesuai dengan
kemampuan pelayanan yang diberikan.
17
IX. EVALUASI
A. LATIHAN 1
18
d. Percikan dahak (droplet)
e. Suntikan
X. REFERENSI
1. BPN, 2014
2. Strategi Nasional Pengendalian TB, 2014-2019.
3. RAN Program Pengendalian TB, 2014-2019
19
XI. LAMPIRAN
A. LAMPIRAN 1.
Prinsip dasar ISTC tidak berubah. Penemuan kasus dan pengobatan tetap
menjadi hal utama. Selain itu juga tanggungjawab penyedia pelayanan
kesehatan untuk menjamin pengobatan sampai selesai dan sembuh. Seperti
halnya pada edisi sebelumnya, edisi 2009 ini tetap konsisten berdasarkan
rekomendasi internasional dan dimaksudkan untuk melengkapi bukan untuk
menggantikan rekomendasi lokal atau nasional.
Standar 2
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita
tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal
2 kali yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin. Jika
mungkin paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
*) lihat addendum
Standar 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita
tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya
diambil untuk pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan histopatologi.
*) lihat addendum
Standar 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
20
Standar 5
Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan
kriteria berikut: minimal dua kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif
(termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai
tuberkulosis; dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas
(catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M.
tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada
penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini biakan dahak harus dilakukan.
Pada pasien yang sakit berat atau diketahui atau diduga terinfeksi HIV,
evaluasi diagnostik harus disegerakan dan jika bukti klinis sangat
mendukung ke arah tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis harus dimulai.
Standar 6
Pada semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks (yakni
paru, pleura, dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi
bakteriologis harus dilakukan dengan pemeriksaan dahak (dengan cara
batuk, kumbah lambung, atau induksi dahak) untuk pemeriksaan
mikroskopik dan biakan. Jika hasil bakteriologis negatif, diagnosis
tuberkulosis harus didasarkan pada kelainan radiografi toraks sesuai
tuberkulosis, riwayat terpajan kasus tuberkulosis yang menular, bukti infeksi
tuberkulosis (uji tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan
temuan klinis yang mendukung ke arah tuberkulosis. Untuk anak -yang
diduga menderita tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari lokasi yang
dicurigai harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopik, biakan,
dan histopatologis.
*) lihat addendum
21
kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol)
sangat direkomendasikan.
*) lihat addendum
Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) terhadap pengobatan,
suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien,
berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien
dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua
pasien. Pengawasan dan dukungan seharusnya berbasis individu dan harus
memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan dan
layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan
pasien. Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah
penggunaan berbagai upaya untuk menilai dan mengutamakan kepatuhan
terhadap paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Upaya ini
seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua
belah pihak, yaitu pasien dan penyelenggara pelayanan. Upaya ini dapat
mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy-
DOT) serta identifikasi dan pelatihan bagi pengawas menelan obat (untuk
tuberkulosis dan, jika memungkinkan, untuk HIV) yang dapat diterima dan
dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan. Insentif dan dukungan,
termasuk dukungan keuangan dapat diberikan untuk mendukung
kepatuhan.
Standar 10
Respons terhadap terapi pada pasien tuberkulosis paru harus dimonitor
dengan pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) saat fase
inisial selesai (dua bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial,
apus dahak harus diperiksa kembali pada bulan ketiga dan jika positif,
biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus dilakukan.
Pada pasien tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, penilaian respons
pengobatan terbaik adalah secara klinis.
*) lihat addendum
tandar 11
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan
terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan
prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada
semua pasien. Uji sensitivitas obat seharusnya dilakukan pada awal
pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien
yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan
pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah
pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien
dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitivitas/resistensi
obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan
22
segera untuk meminimalkan kemungkinan penularan. Upaya pengendalian
infeksi yang memadai seharusnya dilakukan sesuai tempat pelayanan.
Standar 12
Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis
yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya
diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti
tuberkulosis lini kedua. Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau
sesuai pola sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti.
Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat
suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan.
Tindakan yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara
pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan
MDR/XDR TB harus dilakukan.
Standar 13
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis,
dan efek samping seharusnya dibuat untuk semua pasien.
23
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak
menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberkulosis
laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan.
Standar 17
Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang
menyeluruh terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons
atau hasil pengobatan tuberkulosis. Saat rencana pengobatan mulai
diterapkan, penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-
layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua
pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana
penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup penilaian dan perujukan
pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus
pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti
diabetes mellitus, program penanganan kecanduan alkohol dan obat-obatan
terlarang, program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososial
lain, atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamilan,
setelah melahirkan dan perawatan bayi.
Standar 18
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya
memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan
pasien tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana
sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan prioritas evaluasi
kontak didasarkan pada kecenderungan bahwa kontak: 1) menderita
tuberkulosis yang tidak terdiagnosis; 2) berisiko tinggi menderita
tuberkulosis jika terinfeksi; 3) berisiko menderita tuberkulosis berat jika
penyakit berkembang; dan 4) berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien. Prioritas
tertinggi evaluasi kontak adalah:
Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis.
Anak berusia <5 tahun.
Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais,
khususnya infeksi HIV.
Kontak dengan pasien MDR/XDR TB.
Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah.
Standar 19
Anak berusia <5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang
memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi
dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai
infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid.
Standar 20
24
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang
menderita atau diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan
menjalankan rencana pengendalian infeksi tuberkulosis yang memadai.
Standar 21
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus
tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil
pengobatannya ke kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan
peraturan hukum dan kebijakan yang berlaku.
*) lihat addendum
ADDENDUM
Standar 1
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat badan
yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.
Standar 2
Bila hasil pemeriksaan BTA 1 negatif, maka dilakukan pemeriksaan sputum kedua
pagi hari. Satu spesimen harus berasal dari pagi hari.
Standar 3
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya
TB paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila mungkin, pada
anak.
Standar 6
Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan dari
kasus tuberkulosis yang menular , bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin
positif atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai
TB.
Standar 8
Secara umum terapi TB diberikan selama 6 bulan, namun pada TB Ekstraparu
(meningitis TB, TB tulang, TB milier, TB Kulit, dan lain-lain) terapi TB dapat
diberikan lebih lama sesuai evaluasi medis.
Khusus untuk anak, rejimen yang diberikan terdiri atas RHZ. E ditambahkan bila
penyakitnya berat.
Standar 10
Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru BTA
negatif dapat dinilai dengan foto toraks.
Standar 18
Apabila menangani TB anak dan TB Kulit maka cari sumber penularnya
Standar 19
Pemberian Isoniazid untuk profilaksis sedang dalam proses persiapan menjadi
program nasional
Standar 21
Pelaksanaan pelaporan akan difasilitasi dan dikoordinasikan oleh dinas kesehatan
setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.
25