Anda di halaman 1dari 16

Pendidikan dalam Keluarga

Diajukan untuk memenuhi syarat Ujian Tengah Semester

Dosen Pengampu
Hj. Adliyah Ali Md, Dra, M.Pd.I
Disusun oleh:
Syifa Defya Fadilla
10030116065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019
Nama : Syifa Defya Fadilla
NPM : 10030116065

1. a. Dalil al-Qur’an dan as-Sunnah tentang pembentukan keluarga

 Q.S Az-Zariyat/51:49
‫ج ي ْ ِن ل َ ع َ ل َّ ك ُ مْ ت َ ذ َ كَّ ُر و َن‬
َ ‫ي ٍء َخ ل َ ق ْ ن َا َز ْو‬
ْ َ ‫َو ِم ْن ك ُ ل ِ ش‬
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah.
 Q.S An-Nur/24:32
ْ َ‫َّللاُ ِم ْن ف‬
َّ ‫ض ِل ِه ۗ َو‬
‫َّللاُ َوا ِس ٌع َع ِلي ٌم‬ َّ ‫َوأَ ْن ِك ُحوا ْاْلَيَا َم ٰى ِم ْن ُك ْم َوال‬
َّ ‫صا ِل ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم ۚ إِ ْن يَ ُكونُوا فُ َق َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم‬

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
 Q.S Ar-Rum/30:21
‫س ك ُ مْ أ َ ْز َو ا ًج ا ل ِ ت َسْ ك ُ ن ُ وا إ ِ ل َ ي ْ هَ ا َو َج ع َ َل ب َ ي ْ ن َ ك ُ مْ َم َو د َّ ة ً َو َر ْح َم ة ً ۚ إ ِ َّن‬
ِ ُ ‫ق ل َ ك ُ مْ ِم ْن أ َ ن ْ ف‬ َ َ ‫َو ِم ْن آ ي َ ا ت ِ هِ أ َ ْن َخ ل‬
‫ت ل ِ ق َ ْو ٍم ي َ ت َف َ كَّ ُر و َن‬
ٍ ‫ك ََل ي َ ا‬َ ِ ‫ف ِ ي ذٰ َ ل‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
 H.R Ibnu Majah No 1836

ُ‫س بس َّنتي يَع َملُ لَمُ فَ َمنُ سنَّتي منُ النِّكَاح‬


َُ ‫طولُ ذَا كانَُ َو َمنُ اْل َم َُم بكمُ مكَاثرُ فَإنِّي َوت َزَ َّوجوا منِّي فَلَي‬َ ُ‫فَ َعلَُيهُ يَجدُ لَمُ َو َمنُ فَليَنكح‬
ُ‫الصيَام‬
ِّ ‫ن ب‬ َّ ‫و َجاءُ لَهُ ال‬
َُّ ‫صو َُم فَإ‬
“Pernikahan itu termasuk sunnahku, barang siapa yang tidak mengerjakan sunnahku,
maka tidak termasuk dari (umat)-ku. Dan menikahlah kamu sekalian, sesungguhnya aku
membanggakan banyaknya umat atas kamu sekalian. Dan barang siapa yang telah
mempunyai kemudahan, menikahlah. Dan barang siapa yang belum menemukan
(kemudahan), maka hendaknya berpuasa, sesungguhnya puasa dapat menjadi tameng
baginya.”
b. Makna dalil al-Qur’an dan as-Sunnah tentang pembentukan keluarga

Berdasarkan Q.S Az-Zariyat : 49 dapat diambil makna bahwa segala sesuatunya,


Allah ciptakan dengan berpasang-pasangan. Seperti malam dengan siang, dingin dengan
panas, daratan dengan lautan, termasuk manusia; laki-laki dengan perempuan. Hal ini
merupakan salah satu tanda dari kekuasaan Allah SWT agar manusia senantiasa selalu
ingat dengan kekuasaanNya.
Kemudian pada Q.S An-Nur :32 Allah memerintahkan menikahi orang-orang yang
sendirian. Yang tentu saja, orang yang dimaksud disini adalah orang yang sudah
pantas/sudah siap untuk menikah. Dalam ayat ini dijelaskan pula bahwa menikah dapat
membuka pintu rezeki. Dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir dijelaskanُ “Barangُ
siapa menikah, maka Allah akan membuatnya kaya dengan kekayaan jiwa dan harta.
Allah adalah Dzat yang Maha Kaya yang sangat luas wujudNya dan maha mengetahui
perbuatan-perbuatan baik ciptaanNya. Dia memberi rezeki mereka sesuai dengan
kebijaksanaanya.”ُNamunُmeskiُdemikian,ُtentuُtetapُsajaُharusُdisertaiُdenganُikhtiar.ُ
Dalam Q.S Q.S Ar-Rum : 21 salah satu tujuan dalam menikah atau membentuk
keluarga agar mendapat ketenangan serta ketentraman, serta adanya rasa kasih sayang
dan cinta antar suami kepada istri dalam satu ikatan pernikahan. Dalam ayat ini pula
dapat diketahui bahwa ada satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh keduanya yaitu saling
membahagiakan baik bersifat rohani ataupun jasmani.
Pernikahan yang nantinya akan membentuk satu keluarga merupakan salah satu
sunnah Nabi SAW yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh umatnya. Hal ini
berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah No 1836 yang disana Rosulullah SAW secara
terang-terangan menyatakan bahwa siapa saja yang tidak mengikuti sunnahku (dalam
artian enggan untuk menikah seumur hidup) ia tidak termasuk umat nabi SAW.
Pernikahan merupakan satu fitrah manusia. Semua manusia memiliki naluri
kemanusiaan atau disebut juga dengan Garizah Insaniyah. Untuk menyalurkan naluri
tersebut, islam sudah mengaturnya dengan jalan pernikahan. Sehingga yang tadinya
haram, akan berubah menjadi halal dengan satu kali ucap yaitu akad.

c. Pentingnya Mempelajari Pendidikan dalam Keluarga

 Secara Teoritis
Dalam perspektif Pendidikan, terdapat tiga Lembaga utama yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya dikenal dengan istilah
tripusat Pendidikan. dalam GBHN (Tap. MPR no. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa
“Pendidikanُ berlangsungُ seumurُ hidupُ danُ dilaksanakanُ dalamُ lingkunganُ rumahُ
tangga,ُsekolahُdanُmasyarakat.”ُ(Darajat, 1992)
Pendidikan dalam keluarga penting, sama pentingnya dengan Pendidikan di
sekolah. Faktanya, setiap orang yang bersosialisasi dalam masyarakat berasal dari
keluarga. Sosialisasi dalam keluarga bertujuan membentuk
1. Penguasaan diri
Setiap anak perlu diajarkan tentang self controlled sebab masyarakat menuntut
hal ini. Orang tua perlu menanamkan kepada anak bahwa masyarakat umum
memiliki kepribadian yang berbeda-beda.
2. Nilai-nilai
Nilai-nilai yang bisa diajarkan kepada anak secara bersmaan dengan penguasaan
diri adalah mengajarkan anak untuk meminjamkan mainan kepada temannya.
Nilai yang terkandung disini adalah berbagi / tidak pelit. Usia 6 tahun merupakan
usia yang paling baik untuk mengajarkan nilai-nilai kepada anak.
3. Peran-peran sosial
Interaksi dalam keluarga bermanfaat untuk pengenalan peran-peran sosial. Anak
dapat mengenali peran orang tua (ayah dan ibu), kakak, adik, dan perannya
sendiri. Dengan mengenali peran-peran sosial, anak dapat berinteraksi dengan
dunia luar tanpa mengesampingkan perannya tersebut.

 Secara Praktis
Urgensi mempelajari Pendidikan dalam Keluarga khususnya secara praktis
yaitu agar kita dapat mengetahui bagaimana awal yang baik untuk pernikahan.
Melaluiُprosesُta’rufُmisalnya.ُSelainُitu,ُdenganُmempelajariُPendidikanُdalamُ
keluarga kita dapat mengantisipasi pertengkaran atau perdebatan kecil pada awal
pernikahan (karena sudah tahu ilmunya). Menyiapkan mental dengan menyadari
bahwa pernikahan bukan hanya tentang kisah romansa yang indah-indahnya saja.
Selainُitu,ُpernikahanُyaituُtentangُ‘saling’. saling menerima, saling memahami,
saling memaklumi dan saling-saling lainnya.
Dan yang terakhir yaitu agar mempersiapkan diri menjadi orang tua yang
terbaik untuk anak kita pada masa yang akan datang. Memahami peran ibu dan
ayah, menjalani peran sebagai ibu dan ayah dengan sebaik-baiknya, Sehingga
mampu melahirkan generasi terbaik yang menjadi tonggak kebangkitan umat.

2. a. Masa Ta’aruf

Secara Bahasa ta’arufُberasalُdariُta’arrofaُyangُartinyaُmenjadiُtahu,ُyangُasalُ


akarnyaُ‘a-ro-fa yang berarti mengenal-perkenalan. (Akbar, 2015)

Menurutُ Abdullah,ُ ta’arufُ adalahُ suatuُ prosesُ penjajakanُ danُ mengenalُ calonُ
pasangan hidup dengan menggunakan bantuan dari seorang atau bisa juga dengan
menggunakan lembaga yang bisa dipercaya sebagai mediator atau perantara dalam
memilih pasangan sesuai dengan kriteria yang diinginkan seseorang yang merupakan
suatu proses awal untuk menuju jenjang pernikahan. (Fillah, 2012)

Tata Cara Ta’aruf

a.ُPerkenalanُ(ta‟aruf)ُTentunya,ُdalamُbatas-batas yang diperbolehkan menurut


agama Islam, seperti tidak berkhalwat (berdua-duaan) atau ikhtilat (campur baur
dengan yang bukan mahram).

b. Adanya kejelasan visi tentang laki-laki dan wanita yang ideal menurut Agama
Islam.

c. Melibatkan orang tua/wali agar bisa mengarahkan pada pilihan yang tepat.

d. Pilihan didasarkan pada alasan yang logis dan ketertarikan, dua-duanya harus
berperan secara seimbang.

e. Bila ada kebimbangan bisa diselesaikan secara konsultasi atau shalat Istikharah.

Adab-adab Ta’aruf

a. Melalui perantara
Menghadirkan perantara dalam ta’aruf ibarat menghadirkan bumbu dalam
masakan.ُ Perantaraُ merupakanُ solusiُ dalamُ sebuahُ ta’aruf.ُ Selainُ memberiُ
kemaslahatan juga dapat menghindari dari fitnah.ُPerantaraُta‟arufُmerekaُbisaُ
saja orang tua, ustadz atau ustadzah, teman, kerabat, ataupun orang yang
terpercaya. Syarat-syaratُyangُwajibُdimilikiُolehُperantaraُdalamُta‟arufُyaituُ
mereka yang paham Agama, dapat dipercaya, diutamakan yang sudah menikah,
sertaُyangُadaُkedekatanُdenganُkeduaُcalonُyangُakanُdita’arufkan.

b. Tidak ada rasa memiliki

Proses ta’aruf didalamnya tidak ada rasa memiliki satu sama lain. Batasan
tertentu membentangi dua orang yang sedang dalam masa ta’aruf. Diantaranya
tidak melakukan dua proses ta’aruf dengan orang yang berbeda dalam waktu
yang bersamaan.

c. Atas kemauan sendiri

Seperti halnya pernikahan, ta’aruf yang merupakan proses menuju kesana harus
dilakukan atas kemauan sendiri. Tidak boleh ada unsur paksaan atau tekanan.

d. Ada niat baik diantara kedua belah pihak

Dua orang yang bertemu karena ukhuwah, insyaallah akan berakhir dengan
indah.ُSebelumُmelakukanُta’arufُkeduaُbelahُpihakُharusُmemilikiُniatُyangُ
baik. Yang denikian merupakan awal menuju kebahagiaan. Niat baik yang
muncul ini akan mendorong keduanya untuk sling memberikan yang terbaik.

e. Terjaga rahasia

Disinilahُ indahnyaُ ta’aruf.ُ Selamaُ masaُ tersebutُ danُ selanjutnya,ُ segalaُ


informasi yang diperoleh akan saling dijaga kerahasiaannya sehingga ketika
proses terpaksa diputuskan tidak menimbulkan fitnah. Kerahasiaan ini begitu
diutamakan mengingat semua orang punya hak untuk dijaga privasinya.

f. Mengatakan apa adanya


Banyak pasangan yang berpacaran sebelumnya mengaku, suaminya kini berbeda
pada saat masih pacaran. Baik karakter maupun kebiasaannya. Maklum saja
lantaran dalam pacaran pelakunya sering menampilkan hal-hal yang semu.
Berbedaُhalnyaُdenganُta’aruf,ُbiasanyaُ akanُsalingُmenyampaikanُdataُ apaُ
adanya. Namun demikian, tetap perlu digali informasi yang dalam dari berbagai
pihak. (Pusparini, 2013)

b. Masa Awal Pernikahan

Ketika pasangan memasuki kehidupan pernikahan tidak berarti proses


mengenal dan memahami berhenti. Masa awal pernikahan merupakan masa
penyesuaian diri yang menyulitkan bagi pasangan suami-istri karena seringkali banyak
terjadi hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Contohnya mungkin calon istri
tidak mengetahui bahwa calon suaminya tidak suka tidur dengan lampu menyala,
padahal si calon istri terbiasa tidur dengan lampu terang karena si istri agak penakut.
Hal ini bukan tidak mungkin akan sedikit memancing keributan di awal tidur bersama.
(Chairy)

Dalam buku Psikilogi Pernikahan karya Muhammad Iqbal menjelaskan


bahwa adaptasi dalam pernikahan adalah proses bersama antarpasangan suami istri
dalam upaya saling memahami, sebagai konsekuensi bahwa mereka datang dari kultur
yang berbeda. Perjalanan yang membutuhkan waktu tidak sebentar ialah adaptasi dalam
pernikahan. Rasanya, dalam rumah tangga muda, setiap hari adalah pejuang adaptasi.

Tahun pertama pernikahan adalah masa yang cukup menantang terkait


adaptasi. Suami-istri datang bagai air dan minyak. Tak bisa laru menjadi satu, tetapi bisa
menjadi satu kesatuan, bisa berdampingan, bahkan menjadi bergantung.

Keduanya (suami dan istri) harus belajar untuk mengelola ekspektasi. Tidak
meletakan harapan yang terlalu tinggi meskipun kepada pasangan sendiri. Bagaimana
pun juga, pasangan merupakan manusia biasa, banyak kekurangannya. Serta harus
belajar ikhlas untuk mengikhlaskan berbagai kekurangan pasangan. Meluaskan
penerimaan, menerimanya sepaket, tak bisa hanya kelebihannya saja. Mengubah
pasangan begitu saja adalah sebuah kemustahilan. Semuanya butuh proses. (Afifah,
2019)

c. Masa memiliki anak usia balita

Tahun-tahun pertama merupakan kurun waktu yang penting bagi tumbuh kembang
fisik, perkembangan kecerdasan, ketrampilan motorik dan sosial, emosi, berjalan
demikian cepatnya, sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan tahun-tahun pertama
sebagian besar menentukan masa depan anak tersebut, bila tidak terdeteksi secara nyata
akan mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak dikemudian hari. Faktor penentu
bagi perkembangan anak baik fisik maupun mental adalah peran orang tua, terutama
peran seorang ibu, karena ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi anak- anak yang
dilahirkan sampai dia dewasa. Dalam proses pembentukan pengetahuan,melalui
berbagai pola asuh yang disampaikan oleh seorang ibu sebagai pendidik pertama
sangatlah penting. Pendidikan dalam keluarga sangat berperan dalam mengembangkan
watak, kepribadian, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta
ketrampilan sederhana. Dalam konteks ini proses sosialisasi dan enkulturasi terjadi
secara berkelanjutan. Hal ini bertujuan untuk membimbing anak agar menjadi manusia.
yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, tangguh, mandiri, inovatif, kreatif, beretos
kerja, setia kawan, peduli akan lingkungan, dan lain sebagainya (Desain Pembangunan
Karakter, 2010).

Peran orang tua dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak sangat penting,
salah satunya mengajarkan cara berbahasa dalam pergaulan sehari-hari kepada anak.
Tentunya masih banyak contoh lain yang bisa dikembangkan, yaitu pembiasaan-
pembiasaan lainnya sesuai lingkungan budaya masing-masing, misal membiasakan
menghargai hasil karya anak walau bagaimanapun bentuknya dan tidak
membandingkan hasil karya anak dengan hasil karya saudara-saudaranya sendiri.
Keluarga dapat berperan sebagai fondasi dasar untuk memulai langkah-langkah
pembudayaan karakter melalui pembiasaan bersikap dan berperilaku sesuai dengan
karakter yang diharapkan. Pembiasaan yang disertai dengan teladan dan diperkuat
dengan penanaman nilai. (Permono, 2013)

d. Masa memiliki anak usia remaja


Pendapat umum mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa
peralihan antara tahap kanak-kanak dengan tahap dewasa. Wright mengatakan bahwa
masa remaja merupakan suatu masa krisis terus-menerus dengan diselingi beberapa
masa reda dengan pengalaman yang menegangkan, stres, badai bahkan tekanan sosial
memuncak. Mereka beranjak dari ketergantungan kepada orangtua menuju
kemandirian, otonomi, dan kematangan. Perubahan ini tentunya setiap budaya akan
memiliki ciri tersendiri, misalnya mengenai batasan umur. Di Indonesia, meskipun
belum ada kesepakatan tentang hal ini, kategori remaja umumnya di Indonesia berkisar
usia dua belas tahun hingga dua puluh tahun.

Pembentukan jati diri merupakan suatu proses berkesinambungan


melampaui masa remaja. Identitas atau jati diri adalah gambar atau pemahaman tentang
siapakah kita ini. Pada masa kanak-kanak, kita sangat tergantung pada orangtua
sedangkan pada masa remaja dapat dikatakan sudah dapat hidup secara mandiri, kecuali
dalam aspek keuangan. Pada saat itu kita mulai bisa melihat gambar atau pemahaman
tentang jatidiri dan semakin menyadari keinginan-keinginan dalam diri kita. ada masa
remaja, kehidupan sosial meluas sehingga peran orangtua mulai menciut. Orangtua yang
tadinya merupakan pusat kehidupan sosial anak sekarang tersisihkan dan digantikan
dengan teman-teman sebayanya. Sebelumnya anak selalu bertanya bila hendak
melakukan sesuatu. Sekarang anak mulai menunjukan keengganannya meminta
pendapat apalagi izin orangtua. Jika dahulu anak selalu menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya, sekarang anak mulai menyimpan rahasia. Acapkali orangtua
menafsirkan perilaku anak ini secara negatif, seolah anak merahasiakan hal yang buruk.

Kesalahan orangtua dalam merespons sikap remaja terkadang mengarah


kepada pengekangan. Tindakan ini akan membuat potensi mereka tumpul, tidak
berkembang, dan banyak di antara mereka menjadi frustasi. Pengekangan tentu akan
merugikan perkembangan seorang remaja yang akan mengakibatkan: tidak mandiri dan
tidak berani berkompetisi; tidak berani mengambil keputusan; tidak mampu melakukan
lompatan besar dalam studi; tidak berani memulai sesuatu yang baru dan tidak
bertanggung jawab; lebih senang dipimpin daripada memimpin; sulit bersosialisasi
(inferior). Beberapa hal tersebut merupakan dampak akibat pengekangan yang
berlebihan. Orangtua perlu arif dan bijaksana dan perlu memberikan toleransi kepada
anak remajanya.

Adakalanya anak menyimpan hal yang buruk, namun biasanya mereka


merasa tidak perlu lagi untuk menceritakan setiap peristiwa yang dialaminya kepada
orangtua. Hal inilah yang disebut dengan gap antara orangtua dan anak-anak. Menurut
Susabda gap atau jurang pemisah terjadi karena kekurangtahuan orangtua tentang
prinsip-prinsip pendidikan anak-anak yang berakibat renggannya hubungan antara
orangtua dan anak-anak. Anak remaja cenderung mengungkapkan pengalamannya
dengan teman sebaya bahkan akan lebih bersemangat dalam penyampaian. Teman
sebaya sudah pasti lebih memiliki kesamaan dengannya karena hidup dalam dunia yang
sama. Di sinilah dituntut kesediaan orangtua untuk mempelajari dunia anak remaja agar
mereka dapat melihat bahwa orangtuanya sungguh memahami pikirannya. (Peter, 2015)

e. Masa memiliki anak usia dewasa

Pada banyak praktek, mengajar orang dewasa dilakukan sama saja dengan
mengajar anak. Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap
dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang
diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang terkait dengan anak.
Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak misalnya
dalam kondisi wajib hadir dan semua teori mengenai transaksi guru dan siswa
didasarkan pada suatu definisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan.
Namun, orang dewasa sebagai pribadi yang sudah matang mempunyai kebutuhan dalam
hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya.

Pendidikan orang dewasa dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan


yang diorganisasikan, mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa
yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun non-formal,
baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun sebagai pengganti
pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan kerja maupun di perguruan tinggi,
yang membuat orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan,
memperkaya khasanah pengetahuan, meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau
keprofesionalannya dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda yakni di suatu sisi
mampu mengembangankan pribadi secara utuh dan dapat mewujudkan
keikutsertaannya dalam perkembangan sosial budaya, ekonomi, dan teknologi secara
bebas, seimbang, dan berkesinambungan.

Dalam hal ini, terlihat adanya tekanan rangkap bagi perwujudan yang ingin
dikembangankan dalam aktivitas kegiatan di lapangan. Pertama untuk mewujudkan
pencapaian perkembangan setiap individu, dan kedua untuk mewujudkan peningkatan
keterlibatannya (partisipasinya) dalam aktivitas sosial dari setiap individu yang
bersangkutan. Tambahan pula, bahwa pendidikan orang dewasa mencakup segala aspek
pengalaman belajar yang diperlukan oleh orang dewasa, baik pria maupun wanita,
sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya masing-masing.

Dengan demikian hal itu dapat berdampak positif terhadap keberhasilan


pembelajaran orang dewasa yang tampak pada adanya perubahan perilaku ke arah
pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan yang memadai. Di sini, setiap
individu yang berhadapan dengan individu lain akan dapat belajar bersama dengan
penuh keyakinan. Perubahan perilaku dalam hal kerjasama dalam berbagai kegiatan,
merupakan hasil dari adanya perubahan setelah adanya proses belajar, yakni proses
perubahan sikap yang tadinya tidak percaya diri menjadi perubahan kepercayaan diri
secara penuh dengan menambah pengetahuan atau keterampilannya. Perubahan perilaku
terjadi karena adanya perubahan (penambahan) pengetahuan atau keterampilan serta
adanya perubahan sikap mental yang sangat jelas, dalam hal pendidikan orang dewasa
tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan, tetapi harus dibekali juga
dengan rasa percaya yang kuat dalam pribadinya. Pertambahan pengetahuan saja tanpa
kepercayaan diri yang kuat, niscaya mampu melahirkan perubahan ke arah positif
berupa adanya pembaharuan baik fisik maupun mental secara nyata, menyeluruh dan
berkesinambungan.

Perubahan perilaku bagi orang dewasa terjadi melalui adanya proses pendidikan
yang berkaitan dengan perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini,
sangat memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk meningkatkan
kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang lain, disebabkan
produktivitas yang lebih meningkat. Bagi orang dewasa pemenuhan kebutuhannya
sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu terpenuhi ia dapat beralih ke arah usaha
pemenuhan kebutuhan lain yang lebih masih diperlukannya sebagai penyempurnaan
hidupnya. (Asmin)

Pendidikan orang dewasa adalah kegiatan membimbing dan membantu orang


dewasa belajar, merupakan suatu proses penemuan (pengetahuan, ketrampilan, dan
sikap) spanjang hayat terhadap sesuatu yang dibutuhkan dan diperlukan untuk
kehidupanya, prosesnya tidak di dasarkan pada pertimbangan pendidik, akan tetapi di
dasarkan pada kepentingan peserta didik.

Karakteristik Pendidikan Orang dewasa adalah konsep untuk mengembangkan 4


hal pokok antara lain, konsep diri, peranan pengalaman, kesiapan belajar dan orientasi
belajar.

Implikasinya dalam proses pendidikan antara lain diperlukan pengaturan


lingkungan fisik,lingkungan sosial dan psikologis, diagnosis kebutuhan belajar,
perencanaan yang matang, tujuan belajar yang jelas, model belajar yang partisipatif,
materi dan tehnik pembelajaranya disesuaikan dengan pengalaman dan kemampuan
fisiknya. (Sunhaji, 2013)

3. Problematika Ketika Masa Ta’aruf

Dikutip dari Arrahman.id Seorang Ikhwan sedang menjalani masa ta’arufُdenganُ


seorang akhwat. Beberapa kali sering mengobrol lewat sosmed terkait pernikahan dan
akhwat itupun tidak risih dengan obrolan itu bahkan ia pun mengaminkannya. Namun
hampir 4 bulan sang akhwat tidak memberikan kabar dan tidak bisa dihubungi.
Akhirnya, Ikhwan ini merasa digantung dan berfikir untuk mengakhiri harapan dengan
akhwat tersebut. Disisi lain, ada seorang akhwat yang baik serta shaliha yang
mendekatinya. Sempat terfikir untuk melamar akhwat tersebut, tapi hati masih terasa
ada yang mengganjal dan ragu.

Dari kisah diatas dapat disimpulkan bahwa salahُsatuُproblemُketikaُmasaُta’arufُ


adalahُmenggantungnyaُjawabanُta’aruf,ُsertaُdatangnyaُlaki-laki atau perempuan lain
yang membuat kita diharuskan untuk memilih.
Komunikasiُpentingُdalamُmasaُta’aruf.ُSepertiُkisah diatas, seorang Ikhwan yang
hanya berkomunikasi melalui sosial media. Ada baiknya, mereka bertemu dengan
mediatorُatauُmurabbiُ untukُ memperjelasُlanjutُ atauُtidak.ُKarenaُta’arufُituُuntukُ
memperjelas.ُ Tidakُ adaُ kataُ “gantung”ُ disana.ُ Danُ adaُ baiknyaُ juga,ُ dalamُ ta’arufُ
memberikan batas waktu jawaban.

Problemُyangُkeduaُyangُseringُterjadiُadalah,ُketikaُmemasukiُmasaُta’arufُada
Ikhwan atau akhwat lain yang datang. Atau pun masa lalu yang tiba-tiba datang
menyapa kembali. Membuat kita harus memilih, bertahan atau menyudahi. Tentu saja,
jawabannya setelah melalui shalat istikharah.

Problematika Ketika Masa Awal Masa Pernikahan

Teman saya bercerita, pada awal masa pernikahan dia hampir akan bercerai karena
masalah finansial. Sebelum menikah memang sudah mengetahui bahwa calonnya ini
belum memiliki pekerjaan tetap. Tetapi dia tidak menyangka jika perkara ini dapat
menyebabkan perselisihan yang cukup besar. Setelah menikah, pasangan suami-istri ini
masih tinggal di rumah mertua karena belum menemukan kontrakan yang pas sesuai
dengan budget yang mereka sediakan untuk rumah. Belum lagi biaya-biaya lainnya
seperti untuk keperluan sehari-hari, biaya listrik, air, dan pengeluaran-pengeluaran
lainnya yang tidak terduga.

Masalah finansial ini memang sensitif. Hampir semua pasangan yang baru menikah
mengalami culture shock perihal ini. Dari sini semestinya semua calon pasangan suami
istri menyadari bahwa utamanya seputar ekonomi ini akan naik turun, tidak selalu lurus.
Namun yang harus disadari, bahwa ketika akan menikah, pastikan lebih dahulu untuk
merencanakan perihal keuangan. Jika belum memiliki pekerjaan tetap, minimalnya
darimana peluang mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Sembari mencari pekerjaan
tetap, bisa juga dibarengi dengan merintis usaha.

Adanya keterbukaan masalah finansial pun sangat penting. Berapa penghasilan


perbulan yang didapat, atau adakah calon istri/suami ini memiliki hutang. Sehingga
kedepannya setelah menikah dapat meminimalisir perselisihan.

Problematika Memiliki Anak Usia Balita


Berdasarkan masalah yang dialami oleh Ibu Yati, anaknya mengalami tantrum
ketika usianya sekitar 4 tahun. Hauzan seringkali berteriak dan menangis histeris jika
keingannya tidak dipenuhi. Karena ini adalah anak pertama, Ibu Yati cukup
kebingungan sehingga dia selalu memenuhi keinginan anaknya supaya berhenti
menangis. Tak jarang, Ibu Yati ikut tersulut emosinya ketika tantrum anaknya sudah
mulai kumat.

Tantrum pada anak memang umum sekali terjadi. Hal ini disebabkan oleh
terbatasnya kemampuan Bahasa anak, juga merupakan cara anak dalam meluapkan
emosinya. Tantrum ini tidak bisa dibiarkan terus menerus, karena jika begitu, ini akan
menjadi senjata anak dalam meminta keinginannya dengan cara menangis / berteriak
dikemudian hari.

Problematika Memiliki Anak Usia Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Yang dikeluhkan oleh Ibu Tini ketika memiliki anak usia remaja adalah ketika anaknya
mengalami masa-masa pubertas. Ada kekhawatiran terjerumus pada pergaulan bebas
yang akhir-akhir ini marak terjadi.

Problem lain ketika anak memasuki usia remaja adalah komunikasi yang terjadi
antara anak dan orangtua. Apalagi anak dari bu Tini laki-laki, itu menjadikan beliau
semakin bingung untuk berkomunikasi pada hal-hal yang privasi. Anak cenderung
menjadikan teman sebayanya sebagai teman cerita berbagai hal dari yang umum sampai
ke privasi.

Berdasarkan permasalahan diatas, ada baiknya menjalin komunikasi yang baik itu
sedari kecil. Jadilah orangtua dengan pendengar yang baik bagi anak, sehingga anak
senang bercerita pada orangtua dan menjadikan orangtua sebagai pendengar awal dari
cerita anak. Dikhawatirkan ketika anak bercerita kepada temannya, justru temannya ini
memberikan solusi dengan menjerumuskan pada hal-hal yang dilarang. Berbeda jika
bercerita dengan orangtua, anak akan diberikan solusi atau nasihat-nasihat terbaiknya.

Problematika Memiliki Anak Usia Dewasa


Dikutip dari Suar.Id ternyata ketika anak sudah memasuki usia dewasa tak lantas
membuat para orangtua bisa tidur nyenyak. Sebuah penelitian juga menunjukan bahwa
orangtua dengan anak-anak dewasa masih saja kurang tidur. Hal tersebut dikarenakan
mereka merasakan kekhawatiran tentang anak-anak mereka yang sudah dewasa. Seidel
menyarankan bahwa orangtua harus merefleksikan keterlibatan mereka dalam
kehidupan anak-anak dewasa mereka benar-benar ingin membantu mereka dan
memberikan dukungan.

Berdasarkan permasalahan diatas, meskipun anak sudah dewasa namun orangtua


tetap memiliki kekhawatiran. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya
‘keterbukaan’ antara anak dan orangtua sehingga orangtua dihantui kekhawatiran. Lagi-
lagi komunikasi antara anak dan orangtua memegang peranan yang penting. Karena
yang penulis lihat pada kehidupan sehari-sehari, ketika anak sudah dewasa mereka
mulai merasa bisa segalanya sehingga melupakan peran orangtua, yang tanpa disadari
mereka sudah membuat orangtuanya khawatir. Setidaknya mengabari bahwa semua
baik-baik saja melalui media sosial (jika sangat sibuk) pun sudah cukup membuat hati
kedua orangtua menjadi tenang. Dan akan lebih baik lagi jika mengunjungi orangtua
dengan keluarga kecilnya yang terlihat harmonis, maka hal itu tentu akan menambah
kesenangan bagi kedua orangtuanya, dan meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, A. N. (2019). Melangkah Searah. Yogyakarta: Qultum Media.


Akbar, E. (2015). Ta'aruf dalam Khitbah Perspektif Syafi'i dan Ja'fari. Musawa, 56.
Asmin, D. (n.d.). Konsep dan Metode Pembelajaran Untuk Orang Dewasa. Create Indonesian
Community of Psychology Studies.
Darajat, Z. (1992). Ilmu Jiwa Agama . Jakarta: Bulan Bintang.
Fillah, S. A. (2012). Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Yogyakarta: Pro-U Media.
Permono, D. H. (2013). Peran Orangtua dalam Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak untuk
Membangun Karakter Anak Usia Dini. Prosiding Seminar Nasional Parenting, 35.
Peter, R. (2015). Peran Orangtua dalam Krisis Remaja. Humaniora, 455.
Pusparini, A. (2013). Agar Ta’aruf Cinta Berbuah Pahala. Yogyakarta: Pro-U Media.
Sunhaji. (2013). Konsep Pendidikan Orang Dewasa . Jurnal Kependidikan, 10.

Anda mungkin juga menyukai