Anda di halaman 1dari 106

PROFIL WANITA SHALIHAH:

ANALISIS KEPRIBADIAN FATIMAH AZ-ZAHRA


BINTI RASULULLAH SAW DAN PERAN
EDUKATIFNYA DALAM KELUARGA
( Sebuah Kajian Sejarah )

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat


guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam
dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam

Oleh :
ROBI’ATUL ‘ADAWIYYAH
063111071

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ABSTRAK

Robi’atul ‘Adawiyyah (NIM. 063111071). Profil Wanita Shalihah: Analisis


Kepribadian Fatimah Az-Zahra Binti Rasulullah SAW dan Peran
Edukatifnya dalam Keluarga (Sebuah Kajian Sejarah). Skripsi. Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2010

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui konsep wanita shalihah


menurut Al Qur’an. (2) Mengetahui kepribadian dan peran edukatif Fatimah Az-
Zahra dalam buku al Mar’ah an Namudzjiyah fi al Islam karya Ibrahim Amini. (3)
Mengetahui pandangan Ibrahim Amini tentang relevansi akhlak Fatimah Az-
Zahra dengan konsep wanita shalihah menurut Al Qur’an.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode
riset kepustakaan (library research) dengan menggunakan data primer dan
sekunder. Data penelitian yang terkumpul kemudian di analisis dengan
menggunakan metode content analysis yaitu metode yang menitikberatkan pada
analisis terhadap makna yang tekandung dalam pemikiran, menganalisis dan
memahami sebuah pendapat atau buku baik sebagian atau keseluruhan untuk
mengetahui, memahami, dan menjelaskan isi buku tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria utama untuk menyebut
wanita sebagai wanita shalihah adalah taat kepada agamanya sebagaimana telah
dijelaskan dalam surat An Nisa’ ayat 34, wanita shalihah akan selalu tunduk dan
taat kepada agamanya yakni yang selalu mendekatkan diri dan taqwa kepada
Allah.
Menurut pandangan Ibrahim Amini dalam bukunya, Fatimah Az-Zahra
telah berhasil memberikan teladan agung bagi wanita yang ingin mengamalkan
kandungan surat An Nisa’ ayat 34 tentang bagaimana menjadi seorang wanita
shalihah. Sebagai seorang putri manusia teragung, Fatimah Az-Zahra mampu
mengamalkan ajaran-ajaran dari ayahnya dalam segala bidang kehidupan,
ketakwaan kepada Allah, kesetiaan kepada Rasul-Nya, kesederhanaan hidup,
ketabahan menderita, serta keutamaan akhlak dan budi pekerti. Fatimah Az-Zahra
telah memberikan peranan penting sebagai seorang wanita shalihah yaitu sebagai
seorang putri ia ikut menyebarkan nilai-nilai moral untuk bisa mewarnai
kehidupan manusia. Sebagai seorang istri, Fatimah Az-Zahra telah memberikan
teladan kepada masyarakat untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah demi
terwujudnya masyarakat yang bermoral. Fatimah juga telah berhasil mendidik
anak-anak yang shalih dan shalihah dengan menanamkan perilaku yang baik
kepada anak-anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan akan menjadi masukan
untuk menambah kepustakaan tentang sejarah kehidupan Fatimah Az-Zahra agar
khalayak mengetahui keagungan budi pekertinya serta bisa menjadi tauladan bagi
para wanita yang ingin menjadi perhiasan dunia.
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
Alamat: Prof. Dr. Hamka Kampus II Telp. 7601295 Fak. 7615387 Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Semarang, 6 Desember 2010


Lamp : 4 (Empat) Eksemplar
Hal : Naskah Skripsi Kepada Yth.
An. Sdr. Robi’atul ‘Adawiyyah Dekan Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo
di Semarang

Assalamu alaikum Wr. Wb

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini


saya kirim naskah skripsi saudari:

Nama : Robi’atul ‘Adawiyyah


NIM : 063111071
Judul : PROFIL WANITA SHALIHAH: ANALISIS
KEPRIBADIAN FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI
RASULULLAH SAW DAN PERAN EDUKATIFNYA
DALAM KELUARGA (SEBUAH KAJIAN SEJARAH)

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat


dimunaqosahkan.

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.


DEKLARASI

Penulis mengatakan dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang pernah ditulis orang lain atau diterbitkan. Demikian
juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain kecuali informasi referensi
yang penulis jadikan bahan rujukan.

Semarang, 10 Desember 2010


Deklarator,

Robi’atul ‘Adawiyyah
NIM. 063111071
MOTTO

ÇËÑÈ Ü>qè=à)ø9$# ’ûÈõyJôÜs? «!$# Ì•ò2É‹Î/ Ÿwr& 3 «!$# Ì•ø.É‹Î/ Oßgç/qè=è% ’ûÈõuKôÜs?ur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tentram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
(Q. S. Ar Ra’du: 28)1

1
Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahannya, (Surabaya: Pustaka Agung
Harapan, 2006), hlm. 341
PERSEMBAHAN

Untuk:
Ibu Bapak yang pertama kali mengenalkanku pada ketaatan dan keikhlasan
Kakak-kakakku yang senantiasa memberikan dukungan
Sahabat-sahabatku seperjuangan
Putra-putriku yang kelak insya Allah shalih dan shalihah. Semoga kalian menjadi
penerus perjuangan Nabi dan penganut kebenaran Allah
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam atas
limpahan rahmat dan didayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul “Profil Wanita Shalihah: Analisis Kepribadian Fatimah Az-
Zahra dan Peran Edukatifnya dalam Keluarga”. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada beliau Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat
manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang penuh sinar terang melalui
ajaran Islam, juga kepada keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah mendukung terselesainya penulisan skripsi ini, diantaranya adalah:
1. Dr. Suja’i, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Alis Asikin, M. A. dan H. Ahmad Maghfurin, M. A. selaku Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu dosen yang telah membekali ilmu pengetahuan selama kuliah,
dan karyawan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
4. Bapak dan Ibu yang senantiasa memberikan do’a dan mencurahkan kasih
sayang, perhatian dan motivasi kepada penulis, hormat dan baktiku selalu
tertuju kepada beliau.
5. Kakak-kakakku yang membantu memberikan dukungan baik secara spiritual
maupun material dan selalu memberi semangat dalam perjalanan hidupku.
6. Sahabat-sahabatku seperjuangan yang sangat berarti karena senantiasa
mengiringi langkahku selama ini.
7. Adik-adik kos An-Nur yang selalu kompak dalam memberikan motivasi dan
dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Semua pihak yang turut serta membantu dalam menyelesaikan skripsi ini dan
semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah
SWT membalas kalian dengan sebaik-baik balasan.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, 10 Desember
2010
Penulis,

Robi’atul ‘Adawiyyah
063111071
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


HALAMAN ABSTRAK .............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... v
HALAMAN MOTTO .................................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Alasan Pemilihan Judul............................................................ 8
C. Penegasan Istilah ..................................................................... 10
D. Rumusan Masalah.................................................................... 12
E. Manfaat dan Tujuan Penelitian ................................................ 12
F. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 13
G. Metode Penelitian ................................................................... 17

BAB II : KONSEP WANITA SHALIHAH MENURUT AL QUR’AN


A. Kriteria Wanita Shalihah
1. Qanitat ............................................................................... 24
2. Hafidzat lil Ghaib............................................................... 26
B. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Islam
1. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga ...................... 30
2. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Masyarakat................... 32
C. Peran Wanita Shalihah dalam Keluarga dan Masyarakat
1. Peran Wanita Shalihah dalam Keluarga.............................. 34
2. Peran Wanita Shalihah dalam Masyarakat .......................... 37
BAB III : KEPRIBADIAN DAN PERAN EDUKATIF FATIMAH AZ-
ZAHRA
A. Kehidupan Fatimah Az-Zahra .................................................. 39
1. Latar belakang Kehidupan Fatimah Az-Zahra .................... 37
2. Kelahiran Fatimah Az-Zahra serta Pertumbuhannya........... 40
B. Kepribadian Fatimah Az-Zahra................................................ 47
C. Peran Edukatif Fatimah Az-Zahra dalam Keluarga................... 57
1. Fatimah Az-Zahra Sebagai Seorang Putri…………………. 57
2. Fatimah Az-Zahra sebagai Seorang Istri…………………… 59
3. Fatimah Az-Zahra Sebagai Seorang Ibu……………………. 64
BAB IV : FATIMAH AZ-ZAHRA: PROFIL WANITA IDEAL
A. Telaah Pandangan Ibrahim Amini Mengenai Kepribadian
FatimahAz-Zahra ………………………………..........................75
B. Relevansi Akhlak Fatimah Az-Zahra dengan Konsep Wanita
Shalihah Menurut Al Qur’an……………………………………..76
C. Tanggapan Penulis Terhadap Ibrahim Amini tentang Kepribadian
Fatimah Az-Zahra………………………………………………..86
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. ...90
B. Saran-saran .............................................................................. ...91
C. Penutup.................................................................................... ...92

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu keutamaan Islam adalah bahwa agama ini benar-benar
menempatkan wanita pada posisi yang mulia, mengukuhkan nilai-nilai
kemanusiaan yang ada pada dirinya. Wanita diakui memiliki hak yang sama
dengan laki-laki dalam melaksanakan berbagai tugas dan tanggung jawab
keagamaan. Dia juga berhak memperoleh balasan kebaikan dan berhak masuk
surga. Karena sebetulnya pria dan wanita adalah dua cabang dari satu pohon
yang sama, dua bersaudara dari ibu dan bapak yang sama, yaitu Adam dan
Hawa.
Keduanya berasal dari akar penciptaan dan perkembangan yang sama,
dan secara global memiliki potensi dan karakteristik kemanusiaan yang sama
pula. Demikian pula dalam masalah tugas dan tanggung jawab serta hak untuk
memperoleh surga sebagai balasan dari amal perbuatan baik yang telah
dilakukan sepanjang kehidupannya di dunia.2
Allah telah menciptakan pria dan wanita serta memberikan ciri khusus
kepada masing-masing ciri khusus untuk membedakannya. Karena itu setiap
manusia baik laki-laki maupun perempuan wajib memelihara ciri khususnya
dan mempertahankan aspek pembedanya, sehingga masing-masing
mempunyai kepribadian unik dan selanjutnya dapat melakukan tugas
pokoknya masing-masing. Dalam hal ini tugas wanita adalah mengurus suami
dan anak-anaknya dalam rumah tangga.
Sebenarnya Islam telah mengatur ketetapan mengenai jati diri wanita
yang menempatkannya dalam posisi yang mulia dengan berbagai tanggung
jawab yang dipikulnya baik di dalam maupun di luar rumah serta juga
mengatur hak-hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini sesuai dengan firman Allah :
2
Yusuf Qardlawi, Jangan Menyesal Menjadi Wanita, terjemahan buku Markaz al Mar'ah
fi al Hayat al Islamiyyah, terj. Asy'ari Khatib, (Yogyakarta: DIVA Press, 2008), Cet. III, hlm. 14.
tbqè=äzô‰tƒ y7Í´¯»s9'ré'sù Ö`ÏB÷sãB uqèdur 4Ós\Ré& ÷rr& @•Ÿ2sŒ `ÏB ÏM»ysÎ=»¢Á9$# z`ÏB ö@yJ÷ètƒ ÆtBur

#ZŽ•É)tR tbqßJn=ôàムŸwur sp¨Yyfø9$#


Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun
perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga
dan mereka tidak dizalimi sedikitpun. (Q. S. An Nisa’: 124 )3

Fenomena yang terjadi pada zaman sekarang ini bahwa gadis-gadis


banyak yang tertarik pada pakaian dan perhiasan, sehingga mereka berlomba-
lomba mencari pakaian dan perhiasan yang paling mengikuti model dan paling
bagus, saling melebihi, dan saling membanggakan. Sampai ada sebagian gadis
yang menganggap hina kalau belum memakai perhiasan yang model dan
bagus itu dan menganggap kemuliaan dan kehormatan itu dengan pakaian dan
perhiasan.
Sedangkan ketika membaca Al-Qur’an, seringkali dijumpai ayat-ayat
yang membicarakan persoalan hijab, memerintahkan penggunaannya untuk
para wanita agar para kaum muslim tidak terjerumus kepada masalah-masalah
seksual dan dekadensi moral yang tidak terpuji. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan berkenaan dengan masalah hijab banyak yang berbentuk perintah
yang harus dilakukan, sehingga kita tidak terjatuh kepada suasana yang
menggelisahkan.4

šúïωö7ムŸwur £`ßgy_rã•èù z`ôàxÿøts†ur £`ÏdÌ•»|Áö/r& ô`ÏB z`ôÒàÒøótƒ ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 @è%ur

( $yg÷YÏB t•ygsß $tB žwÎ) £`ßgtFt^ƒÎ—

Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka

3
Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahnya, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan,
2006), hlm. 128.
4
Abdur Rasul Abdul Hassan Al Ghaffar, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1993), Cet. I, hlm. 41-42.
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (Q. S. An
Nur: 31)5
Sehubungan dengan ayat ini, Rasulullah pernah bertanya kepada putri
kesayangannya Fatimah Az-Zahra: “Hai puteriku, kebaikan apa yang patut
buat wanita? Ia menjawab Selayaknya wanita tidak melihat laki-laki dan
tidak dilihat laki-laki, akan tetapi ia harus bekerja sama dengan laki-laki.
Kemudian beliau bersabda: Mereka sebagai satu keturunan. Sebagian
6
adalah turunan yang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa pada diri Fatimah terdapat keistimewaan
akhlak yang menakjubkan. Allah menganugerahi Fatimah dengan limpahan
ketinggian tingkat kemuliaan sebagai seorang wanita. Hal ini dapat dibuktikan
dengan ayat yang menunjukkan bahwa Fatimah adalah salah satu diantara
ahlulbait yang dianugerahi sumber utama kesucian. Sebagaimana telah
diketahui nama lain Fatimah adalah Ath-Thahirah (yang suci atau murni).
Makna ini terkait dengan ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

ÇÌÌÈ #ZŽ•ÎgôÜs? ö/ä.t•ÎdgsÜãƒur ÏMø•t7ø9$# Ÿ@÷dr& }§ô_Íh•9$# ãNà6Ztã |=Ïdõ‹ã‹Ï9 ª!$# ߉ƒÌ•ãƒ $yJ¯RÎ)

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,


wahai
ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Q. S. Al Ahzab: 33)7

Ayat tersebut amat penting karena makna dan nilainya yang halus.
Ayat ini dipandang sebagai sumber utama kesucian yang di anugerahkan
kepada ahlulbait. Sebagian orang membela sudut pandang bahwa ayat ini
mencakup para istri Nabi karena urutan ayat-ayat disekitarnya yang
mengandung pembicaraan tentang mereka. Akan tetapi, Nabi bahkan
melarang istrinya, Ummu Salamah untuk bergabung dengan mereka ke dalam
selimut.

5
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 493.
6
Abdur Rasul Abdul Hassan Al Ghaffar, op. cit., hlm. 45.
7
Departemen Agama RI, op. cit. hlm. 597.
Ayat tersebut dijelaskan oleh hadits Nabi yang menyatakan bahwa
yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut adalah Ali bin Abi Thalib,
Fatimah, Hasan dan Husain berikut ini:

Shafiyyah binti Syaibah menuturkan bahwa Aisyah r.a. pernah mengatakan


bahwa NAbi SAW suatu pagi pernah keluar dengan memakai pakaian bulu
warna untuk bepergian. Lalu datanglah Al Hasan ibnu Ali, maka ia turut
bergabung dengan beliau. Kemudian datang pula Al Husain ibnu Ali. Ia pun
ikut bersama mereka. Selanjutnya Fatimah menghampiri mereka dan ikut serta
bergabung dengan mereka. Setelah itu datang Ali yang turut bergabung juga
dengan mereka. Kemudian Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah bermaksud
menghilangkan kotoran dari kalian, Ahlul Bait, dan menyucikan sesuci-
sucinya.”
Fatimah memiliki karakter yang terpuji berupa kesabaran, belas
kasihan, kelapangan dada, kewibawaan, dan selalu memelihara kesucian diri.
Fatimah berada pada puncak kesucian diri dan kejujuran. Ia seorang yang tak
bernoda dan shaleh. Hawa nafsunya tak dapat mengalahkannya. Bahkan ia
berada dalam kesucian dan kesalehan yang sangat tinggi yang telah disebutkan
Allah dalam firman-Nya. Apabila ada seorang laki-laki yang ingin berbicara
dengannya, maka ia akan melayaninya dari balik hijab yang memisahkannya
dari orang tersebut agar dengan cara tersebut ia bisa terpelihara dengan
pandangan laki-laki lain yang bukan muhrimnya.
Fatimah menjadi panutan dan contoh teladan dalam sifat-sifatnya yang
agung. Dia menyandang secara sempurna sifat-sifat seperti rasa kemanusiaan,
tanggung jawab, harga diri, kesucian, kepedulian sosial, kecerdasan dan
berilmu pengetahuan yang luas. Hal ini sangatlah wajar karena ia adalah
seorang yang lahir dari lingkungan keluarga Nabi, yang beliau tumbuh di

8
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah), hlm. 421
sekitar madrasah kenabian, dan langsung mendapat pendidikan dari ayahnya.
Dari berbagai
riwayat berkenaan dengan Fatimah kita bisa melihat betapa beliau senantiasa
sibuk dengan kegiatan-kegiatan ruhaniahnya dan tidak pernah melakukan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
Dalam Biharul Anwar, sebagaimana dikutip oleh Abu Muhammad
Ordoni, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya putriku Fatimah adalah penghulu kaum perempuan dari awal
hingga akhir zaman. Fatimah adalah bidadari berwujud manusia, yang
kapanpun mendirikan sholat di hadapan Tuhannya sinarnya menerangi langit
bagi para malaikat, seperti bintang-bintang menyinari manusia di bumi.
Riwayat ini menjelaskan alasan mengapa Fatimah diberi nama Az-Zahra
(yang berkilauan). Ada beberapa riwayat lagi yang menyebutkan bahwa ia
berwajah cerah dan amat elok.9
Seorang wanita shalihah adalah wanita yang selalu bertaqwa kepada
Allah SWT dengan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah dan menjauhi
larangan-larangannya. Karena dengan taat kepada Rasulullah dengan
sendirinya ia akan taat kepada Allah.

( ©!$# tí$sÛr& ô‰s)sù tAqß™§•9$# ÆìÏÜム`¨B


Barang siapa menaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya dia telah
menaati Allah. (Q. S. An Nisa': 80)10
Dengan demikian, ia akan punya tanggung jawab moral dan peran
yang amat besar terhadap kehidupan masyarakat dan ia mengetahui tanggung
jawab hari ini dan hari sesudah kematian. Sehingga ia menempatkan diri untuk
melengkapi dirinya dengan ilmu dan iman, karena dengan bekal ilmu dan
iman, manusia akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Wanita dengan sifat-sifat pembawaannya yang khas disiapkan untuk
tugas-tugas tertentu diantaranya adalah menjadi ibu. Orang tua merupakan

9
Abu Muhammad Ordoni, Fatimah Buah Cinta Rasulullah SAW Sosok Sempurna
Wanita Surga, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2009), hlm. 89.
10
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 118.
pendidik utama dan pertama bagi anak. Anak menerima pendidikan pertama
kali dari orang dewasa yang mengasuhnya yakni ibu dan bapaknya. Mengenai
siapa saja yang akan paling berpengaruh terhadap pendidikan anak dalam
keluarga
ternyata wanita atau ibu yang banyak mewarnai kepribadian anak dalam masa-
masa awal perkembangannya. Karena wanita yang mengandung, melahirkan
serta mengasuh anak.
Dalam rumah tangga kedudukan wanita sebagai ibu menduduki
peranan yang sangat penting dalam pembentukan generasi penerus dengan
kepribadian yang utuh lahir dan batin, baik mental maupun fisiknya. Seorang
anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang aman tentram dan
penuh kasih sayang akan tumbuh dengan baik dan pribadinya akan terbentuk
dengan baik pula.
Rumah tangga tersebut adalah rumah tangga yang dikelola oleh wanita
yang shalihah. Ia menyadari kodratnya dan mengetahui tugas kewajibannya
serta mengamalkannya. Firman Allah:

ª!$# xáÏÿym $yJÎ/ É=ø‹tóù=Ïj9 ×M»sàÏÿ»ym ìM»tGÏZ»s% àM»ysÎ=»¢Á9$$sù

Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada


Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
menjaga (mereka). (Q. S. An Nisa’: 34)11

Sifat-sifat yang dimiliki oleh wanita shalihah seperti tersebut dalam


ayat adalah taat menjaga kehormatan. Kedua sifat ini apabila dijabarkan dalam
praktek kehidupannya, mempunyai arti yang sangat luas. M. Thalib dalam
bukunya yang berjudul “Analisa Wanita dalam Bimbingan Islam” menulis:
“Taat artinya menurut perintah yang benar dan baik serta tidak
berlawanan dengan perintah agama. Tidak dinamakan taat kalau tidak
menurut perintah yang tidak benar dan jahat serta berlawanan dengan
perintah agama. Taat kepada suami maksudnya mendahulukan segala
perintahnya daripada keperluan diri sendiri atau yang lainnya”.12

11
Ibid., hlm. 108.
12
M. Thalib, Analisa Wanita dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1996), hlm.
11.
Sedangkan menjaga kehormatan ada bebeerapa macam. Menjaga
kehormatan diri sendiri ketika suami tidak ada di rumah meliputi menjaga diri
dari segala kecemaran dan menjaga harta suami. Rasulullah memberikan
gambaran tentang wanita dan istri yang baik dalam haditsnya yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

:
:

Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Dikatakan kepada Rasulullah SAW:”


Bagaimana wanita yang baik itu?” Rasulullah bersabda: “wanita yang baik
ialah yang menyenangkan suami bila ia melihatnya, mentaatinya apabila
suami memerintahnya, dan tidak mengingkarinya dengan sesuatu yang dibenci
suami dalam menjaga diri dan hartanya.”

Dari hadits tersebut dapat ditangkap suatu kesan bahwa kedamaian


rumah tangga adalah yang di dalamnya terdapat wanita shalihah. Dengan
demikian anak juga akan menerima dampaknya yakni memperoleh tempat
berkembang yang baik sehingga dapat terbentuk kepribadian yang baik.
Begitu berharganya wanita shalihah sehingga Rasulullah pernah bersabda :

Dari Abdullah bin Amr ra. Sesungguhnya Rasulullah bersabda Dunia adalah
perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.

Bisa dikatakan bahwa Fatimah Az-Zahra telah mencapai suatu tingkat


keimanan yang tinggi sebagai seorang wanita shalihah sebagaimana yang
dipaparkan di atas. Ini terungkap dari praktek kehidupannya sehari-hari

13
Imam Nasa i, Sunan al Nasa i, Juz V, (Beirut: Dar al Ma rifah, 1981), hlm. 377.
14
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, (Beirut: Dar al kutub al Ilmiyah, 1982), hlm. 1090.
sebagai putri, isteri, ibu, dan anak-anaknya. Apapun yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari, Fatimah tetap bersyukur ke hadirat Allah. Ia tidak
pernah menyesali nasib apalagi iri hati terhadap orang lain. Rasulullah sendiri
mengetahui betapa besar kesabaran putrinya menghadapi segala cobaan hidup.
Sebagai seorang ibu yang bijak, Fatimah pernah mengatakan kepada
dua orang putranya, Hasan dan Husein r. a.:”Sabar dan rela adalah pangkal
ketaatan kepada Allah. Barang siapa sabar dan rela menerima takdir Allah,
baik takdir itu menyenangkan atau tidak, Allah akan menetapkan takdir yang
lebih baik baginya, lepas dari persoalan apakah orang itu menginginkan atau
tidak”. Ini bukan sekedar nasihat, tetapi ia juga memberikan teladan yang
nyata bagi kedua putranya itu.15

B. Alasan Pemilihan Judul


Berawal dari keinginan penulis untuk lebih mendekatkan diri kepada-
Nya dengan berteladan kepada seorang perempuan yang menempatkan
ketaatan kepada Allah sebagai karakter utamanya. Seseorang perempuan
shalihah yang mampu memelihara kecantikannya, karena kecantikan hakiki
seorang perempuan itu adalah pada ketaatan kepada Allah SWT. Ini adalah
puncak kecantikan batin, dan kecantikan batin ini akan memperindah dan
menyempurnakan kecantikan lahir. Ketaatan kepada Allah diwujudkan dalam
keimanan dan mewujudkan keyakinannya dalam amal perbuatan, taat terhadap
semua aturan yang Dia tetapkan bagi perempuan muslimah, yang cepat
menyadari kekeliruan dengan bertaubat, yang rajin beribadah, berpuasa serta
senantiasa menjelajahi kerajaan-Nya, ciptaan-Nya, tanda-tanda keesaan-Nya
dan kebenaran pengaturan-Nya di alam semesta. Inilah cakupan yang amat
menyeluruh dari sifat keislaman bagi muslimah shalihah.
Terjadinya pergolakan batin setelah menelusuri catatan-catatan sejarah
yang simpang siur tentang kepribadian seorang putri manusia terbesar,
Fatimah Az-Zahra. Hal ini menjadi lebih jelas ketika kita merujuk ke kajian-

15
M. H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat Hidup Siti Fatimah Az Zahra r.a., (Semarang: CV
Toha Putra, 1993), hlm. 175-176.
kajian dan buku- buku yang disamping menyebutkan watak cemerlang diri
Fatimah, juga berisi sekumpulan kisah-kisah palsu yang telah dibuat-buat dan
ditambahkan oleh rezim penindas terdahulu. Musuh Islam yang menebarkan
bunga-bunga kata beracun dan hadits palsu ini, telah menjual jiwa mereka
kepada sebagian
makhluk dan tak meraih apa-apa selain murka Allah. Mereka
menggunakan pena permusuhan dalam ketaatan kepada orang-orang yang
membeli iman mereka. Kesadaran mereka mati, mereka dihinggapi kelalaian
tentang kedudukan nabi dan ketidakpedulian pada riwayat-riwayat yang
memuji Fatimah Az-Zahra yang direkam dalam kitab-kitab dan terbitan
mereka sendiri.
Tampak seakan mereka senang menjegal kehormatan Fatimah sebagai
jawaban atas panggilan kesadaran jahat mereka. Sementara mereka jelas
menyadari bahwa Fatimah adalah putri Nabi dan orang yang paling dicintai
dan disayanginya. Seakan mereka takut mewujudkan keinginan untuk
mempermalukan Rasulullah secara langsung. Jadi, mereka memilih cara
berputar dengan menghinakan putri beliau demi memuaskan nafsu angkara
mereka.
Sehingga dengan bekal kemantapan usaha dan percaya kepada
kekuatan do’a, penulis berusaha mencoba membekali diri untuk bisa
mendapatkan sosok yang diharapkan. Penulis ingin membuktikan dan
menetapkan satu teladan sempurna bagi khalayak umum khususnya bagi para
wanita muslimah dengan tanpa keraguan bahwa apa yang diajarkan Islam
dapat diterapkan dan jika diikuti dengan baik akan mengantarkan pada
kebahagiaan yang abadi. Teladan yang ditetapkan Islam untuk kaum
perempuan terwujud dalam diri Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah.
Kondisi internal inilah yang menjadikan penulis mendapat sesuatu hal yang
menarik ketika membaca tentang kepribadian Fatimah Az-Zahra. Berbagai
literatur yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, penulis kumpulkan
dengan tujuan agar hasil tulisan ini layak untuk diperbincangkan.
Alasan eksternal yang melatarbelakangi tulisan ini adalah adanya
fenomena yang mengindikasikan terjadinya dekadansi moral. Terjadinya split
personality pada diri wanita muslimah sehingga moralitas diri mereka tidak
sesuai dengan ajaran Islam, karena kurangnya pemahaman yang kaffah
tentang idealitas ajaran Islam tentang wanita shalihah. Dalam keadaan dunia
sedang menghadapi bahaya materialisme seperti dewasa ini, dimana anak-
anak hawa banyak dicekam rangsangan material sehingga lupa kepada nilai-
nilai kewanitaannya, maka perlu adanya tokoh teladan yang bisa dijadikan
teladan bagi wanita muslimah pada zaman sekarang. Dari fenomena di atas
penulis ingin mencoba menganalisa bagaimana kepribadian Fatimah Az-
Zahra, sehingga bisa menjadi tauladan para wanita shalihah yang menjadi
perhiasan dunia.

C. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas dan menghindari kemungkinan adanya
kesalahpahaman dalam menginterpretasikan judul di atas, maka terlebih
dahulu penulis jelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul tersebut.
1. Wanita Shalihah
Wanita berarti “perempuan dewasa”.16 Kata shalihah merupakan
bentuk muannats dari lafadz shalih yang berarti “yang baik”, “bagus”,
“kenikmatan yang sempurna”.17
Jadi yang dimaksud wanita shalihah adalah perempuan dewasa
yang baik yang dapat melahirkan kenikmatan yang sempurna buah dari
ketaatannya kepada agamanya.
2. Kepribadian Fatimah Az-Zahra
Kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap
seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dengan orang lain atau
bangsa lain.18

16
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet. III.
hlm. 1268.
17
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Pustaka Progressif, ,
1997), Cetakan XIV. hlm. 788.
Fatimah Az-Zahra adalah seorang wanita yang paling mulia di
seluruh dunia pada zamannya, putri ke-4 Rasulullah SAW dalam
pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid. Keterangan yang
masyhur menyebutkan bahwa ia lahir pada hari Jum’at, 20 Jumadil akhir
pada tahun kelima setelah kenabian.19
Fatimah Az-Zahra dilahirkan setelah Rasulullah dan Khadijah
merasakan kesedihan karena ditinggalkan kedua putra mereka yakni
Abdullah dan Qasim ketika mereka masih kecil. Sedangkan musuh-
musuhnya merasa gembira atas musibah itu dan menyangka bahwa
keturunan Rasulullah telah habis, sehingga kadang mereka memanggilnya
dengan abtar (orang yang tak mempunyai keturunan).
Allah menurunkan surat al Kautsar untuk menolak anggapan
musuh-musuh Rasulullah dan menunaikan janji-Nya. Allah segera
menganugerahi beliau keturunan yang suci dan diberkahi, yang paling
utama dan memiliki kebesaran dan kesempurnaan, yaitu Az-Zahra. Allah
menggembirakan beliau dengan Az-Zahra. Dirinya pun dipenuhi perasaan
bahagia dan gembira.20
Fatimah adalah perempuan yang diciptakan Allah untuk menjadi
sebuah tanda kekuatan-Nya yang menakjubkan dan tak tertandingi. Allah
telah menciptakan Muhammad SAW sebagai sebuah tanda kekuatan-Nya
di antara para Nabi dan menciptakan darinya seorang putri, Fatimah Az-
Zahra, untuk menjadi tanda kemampuan-Nya menciptakan seorang
perempuan yang memiliki segenap keistimewaan akhlak dan bakat.
Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang agung karena
mendapatkan didikan langsung dari Rasulullah. Fatimah tumbuh menjadi
seorang wanita yang selalu menjaga kesucian dan kehormatan dirinya,
menyenangi kebaikan, berakhlak mulia, dan mampu meneladani

18
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., hlm. 895.
19
Ibrahim Amini, al Mar ah an Namudzjiyah fi-al Islam, (Iran: Anshariyyan publication),
hlm. 24.
20
Ibid., hlm. 43.
Rasulullah, sang teladan tertinggi dan contoh terbaik bagi setiap gerak-
geriknya.
3. Peran Edukatif
Peran artinya “seperangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki
oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”.21 Sedangkan edukatif
berasal dari bahasa inggris education. The world education mean just a
process and leading or bringing up . Artinya pendidikan merupakan
sebuah proses memimpin atau mendidik.22 Jadi edukatif adalah suatu
proses untuk mengubah tingkah laku individu guna mencapai tujuan
tertentu.
Dengan demikian yang dimaksud peran edukatif wanita shalihah
adalah tingkah laku wanita shalihah yang dijadikan sebagai acuan
pengkajian dalam kehidupan manusia untuk mengubah tingkah laku
individu guna mencapai tujuan tertentu.
4. Keluarga
Keluarga adalah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam
masyarakat.23
Yang dimaksud peran seorang wanita shalihah dalam keluarga
pada penelitian ini adalah seorang wanita sebagai putri, sebagai istri dan
sebagai seorang ibu.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
yang menjadi pokok kajian penulis adalah :
1. Bagaimana konsep wanita shalihah menurut Al Qur’an?
2. Bagaimana kepribadian dan peran edukatif Fatimah Az-Zahra dalam buku
al Mar’ah an Namudzjiyah fi al Islam karya Ibrahim Amini?

21
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., hlm. 751.
22
Ibid., hlm. 615.
23
Ibid., hlm. 413.
3. Bagaimana pandangan Ibrahim Amini tentang relevansi akhlak Fatimah
Az-Zahra dengan konsep wanita shalihah menurut Al Qur’an?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk:
a. Mengetahui konsep wanita shalihah menurut Al Qur’an.
b. Mengetahui kepribadian dan peran edukatif Fatimah Az-Zahra dalam buku
al Mar’ah an Namudzjiyah fi al Islam karya Ibrahim Amini.
c. Mengetahui pandangan Ibrahim Amini tentang relevansi akhlak Fatimah
Az-Zahra dengan konsep wanita shalihah menurut Al Qur’an.
Ada secercah harapan ketika penulis ingin mengangkat permasalahan
yang berkaitan tentang relevansi kepribadian Fatimah Az-Zahra dengan
konsep wanita shalihah menurut Al Qur’an. Dari tujuan penelitian yang telah
dipaparkan, diharapkan akan bermanfaat bagi khalayak terutama wanita
muslimah. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah:
a. Secara praktis: terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri wanita
muslimah untuk meneladani akhlak Fatimah Az-Zahra.
b. Secara teoritis: Hasil studi ini diharapkan bisa menambah kepustakaan
tentang sejarah kehidupan Fatimah Az-Zahra agar khalayak mengetahui
keagungan budi pekertinya.

F. Tinjauan Pustaka
Kajian yang dibahas dalam penulisan skripsi ini difokuskan pada
penggalian kepribadian islami berupa peran edukatif pada Fatimah Az-Zahra
dalam membina keluarga. Hal ini membutuhkan suatu kajian kepustakaan dan
karya-karya yang berkaitan dengan Fatimah.
Guna memperoleh gambaran yang pasti mengenai posisi penelitian ini
diantara karya-karya yang telah ada, berikut ini penulis ilustrasikan beberapa
karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang sedang dikaji dan telah
memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam rangka mengkaji dan
memahami bentuk kepribadian sehingga akan memberikan suatu pemahaman
yang lebih komprehensif.
Diantara karya ilmiah yang mendukung kajian ini adalah: Penelitian
yang dilakukan oleh Siti Sofu’ah tentang “Akhlak Fatimah Az-Zahra dalam
Perspektif Pendidikan Islam”. Dalam penelitian ini, dia mempublikasikan
akhlak Fatimah Az-Zahra yang mengandung nilai-nilai pendidikan Islam agar
diajarkan kepada umat Islam dalam mewujudkan kepribadian manusia yang
sesuai koridor Islam. Karena hakikat pendidikan menurut Islam adalah
menumbuhkan manusia dan membentuk kepribadiannya agar menjadi
manusia yang sempurna, berbudi luhur dan berakhlak mulia.
Berbeda dengan penelitian tersebut, penelitian ini mempelajari
pandangan Ibrahim Amini mengenai seberapa besar relevansi antara
kepribadian Fatimah Az-Zahra dengan konsep wanita shalihah menurut Islam
yang pada akhirnya akan dihasilkan nilai-nilai kepribadian berupa peran
edukatif yang seharusnya dimainkan seorang wanita shalihah dalam membina
keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi wanita
muslimah yang ingin menjadi wanita shalihah yang dalam sabda Nabi disebut
sebagai perhiasan dunia yang paling indah.
Kepustakaan dalam sebuah karya ilmiah merupakan suatu
keniscayaan, untuk mendapatkan tulisan marketable. Adapun buku-buku yang
digunakan sebagai sumber penulisan skripsi adalah buku tentang kehidupan
dan akhlak Fatimah Az-Zahra yaitu :
Dalam al Mar’ah an Namudzjiyah fi al Islam karya Ibrahim Amini
disebutkan bahwa:
Hasan bin Ali mengatakan "Aku melihat ibuku bangun di mihrabnya
pada malam jum'at, dan ia terus ruku' dan sujud sampai terbit fajar
subuh.” Aku mendengarkan ia mendoakan orang-orang mukmin laki-
laki dan perempuan. Ia banyak berdoa untuk mereka, dan tidak berdoa
sesuatu pun untuk dirinya. Maka aku bertanya kepadanya, ”Ibu,
mengapa engkau tidak berdoa untuk dirimu sendiri sebagaimana
engkau mendoakan orang lain?” Ia pun menjawab, ”Anakku, tetangga
dulu baru kemudian rumah sendiri."
Hasan bin Ali juga mengatakan, “Tidak ada di dunia ini orang yang
lebih banyak ibadahnya dari pada Fatimah. Ia bangun malam sampai
bengkak kedua kakinya.”24

Dalam Riwayat Hidup Fatimah Az-Zahra karya al Hamid al Husaini


menuliskan bahwa Fatimah Az-Zahra pantas memiliki sebutan "wanita
utama". Sebab Fatimah Az-Zahra sangat terkenal sebagai wanita berbudi
luhur, berakhlak mulia, dan berperasaan lembut. Selain itu ia pun dikenal
sebagai wanita yang cerdas pikirannya, berpandangan jauh, dan berfirasat
tajam. Sifatnya yang lapang dada tampak dari sikap dan perilakunya sehari-
hari. Ketabahan hatinya menghadapi persoalan pelik memungkinkan Fatimah
Az-Zahra sebagai pembantu Rasul Allah yang besar artinya. Meskipun ia
puteri kesayangan Rasul Allah, namun tidak pernah merasa sombong atau
mengagungkan dirinya sendiri.
Mengenai kehalusan tingkah lakunya dapat dilihat dari riwayat yang
dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal "Pada suatu hari Fatimah Az-
Zahra bersama suaminya menghadap Rasulullah hendak menyampaikan
keluhan sambil menunjukkan telapak tangannya dan berkata pada suaminya
"Lihatlah tanganku sampai menebal begini karena terus menerus menggiling
gandum". Imam Ali juga memijit-mijit bahunya sendiri sambil berkata
"Rasanya patahlah sudah tulang punggungku karena sehari hari menimba air".
Setelah mengungkap keluhan masing-masing Fatimah berkata kepada
ayahnya, apakah mereka dapat diberi seorang pembantu. Menanggapi keluhan
mereka, Rasulullah hanya memberi petunjuk: "Ucapkan Alhamdulillah
sepuluh kali, Subhanallah sepuluh kali, dan Allahuakbar sepuluh kali."
Mendengar jawaban Rasulullah seperti itu, mereka langsung
menundukkan kepala. Mereka sadar apa makna yang terkandung dari jawaban
beliau itu. Apa yang dirasa berat, sudah tidak diindahkan lagi sejak saat itu

24
Ibrahim Amini, op. cit., hlm. 90
dan mereka tak pernah lagi berpikir untuk mencari pembantu serta mengeluh
kelelahan.25
Fathimah, Buah Cinta Rasulullah SAW Sosok Sempurna Wanita Surga
karya Abu Muhammad Ordoni yang dalam buku ini menyebutkan bahwa
Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Fatimah memiliki sembilan nama di sisi
Allah Ta'ala, yakni : Fatimah, Ash Shiddiqah (yang jujur), Al Mubarakah
(yang diberkahi), Ath Thahirah (yang suci), Az Zakiyyah (yang suci), Ar
Radhiyyatul Mardhiyyah (ia yang ridha dan diridhai), Al Muhaditsah (orang
selain Nabi yang kepadanya malaikat berbicara), dan Az-Zahra (yang
berkilauan)."26
Dalam Fatimah Az-Zahra Ummu Abiha karya Dr. Taufik Abu 'Alam
Al-Mishri menjelaskan bahwa Fatimah dikenal dengan sebutan ummu abiha
(ibu dari ayahnya) sebab dia adalah putri Nabi yang paling kecil yang selalu
menemani dan menjaga Nabi setelah wafatnya Khadijah ra. Wajar apabila
Fatimah menjadi "ibu" ayahnya dalam urusan risalah kenabian ayahnya
Muhammad, bukan dalam pengertian biologis ibu sebab merupakan takdir
Ilahi bahwa Nabi hanya akan melahirkan keturunan dari sulbi Fatimah Az-
Zahra saja, sehingga ia akan menjadi sumber cahaya risalah sepanjang zaman.
Nabi sering memanggil Fatimah dengan sebutan "Fatimah Ummu
Abiha" dan memperlakukan putrinya ini bagaikan ia memperlakukan ibunya
sendiri. Nabi mencium tangannya dan dan berziarah khusus kepadanya setiap
kali ia pulang ke kota Madinah. Nabi sangat manja kepadanya bagaikan
manjanya seorang anak kecil kepada ibunya sendiri. Ketika Nabi ditinggal
ibunya, Nabi beralih kepada Fatimah binti Asad, ibu Imam Ali. Nabi
memanggilnya dengan sebutan "ya Ummah". Ketika Fatimah binti Asad
meninggal, Nabi berduka sangat dalam sampai berkata "Telah meninggal
ibuku…" Setelah itu Allah menggantikan untuknya, seorang putri. Setiap kali

25
al Hamid al Husaini, Riwayat Hidup Siti Fatimah Az Zahra r.a., (Semarang: CV Toha
Putra, 1993), hlm. 182.
26
Abu Muhammad Ordoni, Fatimah Buah Cinta Rasulullah SAW Sosok Sempurna Wanita
Surga, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2009), hlm. 52.
beliau melihat putrinya, maka beliau akan ingat pada Fatimah binti Asad yang
telah merawatnya dan sangat sayang kepadanya.27
Fatimah Az-Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW karya DR. Ali
Syari'ati. DR. Ali Syari'ati dengan bahasanya yang khas berusaha mengkaji
dan menggambarkan bagaimana sebenarnya pribadi mulia yang masih jarang
diungkap oleh sejarah islam. Agama ini mewakafkan suatu pengabdian dalam
jiwa Fatimah Az-Zahra sehingga sejak masa kanak-kanaknya dan seterusnya,
walaupun usia muda dan kelemahannya, ia dapat melaksanakan jihad demi
tegaknya islam dalam masa hidup ayahnya di masa para mujahid pertama.
Anugerah itu juga mencakup bahwa ia menderita kesulitan, kemiskinan,
penghalang kehidupan, dan kesedihan sepanjang masa kanak-kanak dan masa
mudanya supaya jiwanya dapat bergerak pada jalan-Nya. Dengan kaki yang
halus dan rapuh, ia melangkah sepanjang jalan dengan para mujahid awal dan
para haji yang sesungguhnya.28
Sejarah dari seluruh umat islam dan di antara masa umat islam yang
hak-haknya direnggut, Fatimah adalah sumber inspirasi bagi kebebasan, hasrat
akan apa yang merupakan hak, para pencari keadilan, orang-orang yang
melawan penindasan, kekejaman, kejahatan, dan diskriminasi.
Ia menjawab pertanyaan tentang bagaimana menjadi seorang wanita
dengan masa kanak-kanaknya yang menakjubkan, perjuangan yang tak putus-
putusnya dan perlawanan pada dua front, di dalam dan di luar, di rumah
ayahnya, di rumah suaminya, dan di masyarakatnya
Ia adalah simbol dalam segala aneka dimensinya sebagai wujud
seorang wanita. Simbol seorang putri bila menghadapi ayahnya, simbol
seorang istri bila menghadapi suami, simbol seorang ibu bila menghadapi
anak, simbol wanita bertanggung jawab dan wanita yang berjuang bila
menghadapi zamannya dan nasib masyarakatnya. 29

27
Taufik Abu 'Alam Al-Mishri, Fatimah az Zahra Ummu Abiha, (Bandung: Pustaka Pelita, ,
1999), Cet. I, hlm. 55-56.
28
Ali Syari'ati, Fatimah Az Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2006), Cetakan VII, hlm. 243.
29
Ibid., hlm. 278.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif yang menggunakan data-data dari
bahan-bahan yang bersifat kepustakaan (library research). Library research
adalah penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data serta informasi
dengan bantuan buku-buku, naskah-naskah, catatan-catatan, kisah sejarah
tertulis, dokumen dan materi pustaka lainnya yang terdapat dalam koleksi
perpustakaan.30
Selain itu penelaahan yang dilakukan terhadap buku-buku yang
berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas, akan dibahas melalui
kajian filosofis dengan pendekatan kualitatif rasionalistik. Pendekatan
kualitatif rasionalistik yaitu pendekatan yang melandaskan diri pada filsafat
rasionalisme yang mana menurut rasionalisme, ilmu yang valid merupakan
abstraksi dan idealisasi dari realitas, dan terbukti koheren dengan sistem
logiknya.31 Adapun metode yang diterapkan adalah:
1. Sumber Data
Penelitian ini bersumber dari:
a) Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data langsung yang dikaitkan
dengan objek penelitian. Sumber data primer yang digunakan adalah
kitab hadits yang menceritakan kehidupan Fatimah Az-Zahra yaitu
kitab yang berjudul al Mar’ah an Namudziyah fi al-Islam karya Ibrahim
Amini.
b) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang mendukung dan
melengkapi sumber data primer. Dalam skripsi ini, sumber data
sekunder yang dimaksud adalah buku-buku lain yang berhubungan

30
Komarudin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 145.
31
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Telaah Positivistik, Rasionalistik,
Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983), hlm. 23.
dengan Fatimah Az-Zahra yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi
ini.

2. Metode Analisis Data


Setelah data terkumpul, data dipilah-pilah dan diklasifikasi
kemudian dikategorikan sesuai tema yang diangkat. Proses pengolahan
data ini ditunjuk dengan analisis isi (content analysis) yaitu mengungkap
isi tokoh yang diteliti. Adapun metode analisis yang digunakan meliputi:
a. Metode Deskriptif Filosofis
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode
deskriptif analitis. Dimana deskriptif digunakan untuk
menggambarkan pemecahan masalah yang ada berdasarkan data-data
yang terkumpul.32
Sedangkan analitis filosofis digunakan untuk memahami dan
mengkaitkan serangkaian konsep atau struktur konseptual dalam
kaitannya dengan penafsiran pengalaman, pernyataan tujuan,
pembuatan kerangka masalah, dan pelaksanaan penyelidikan.
Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis isi buku
Ibrahim Amini tentang kepribadian Fatimah Az-Zahra dan peran
edukatifnya dalam keluarga.
b. Metode Komparatif
Metode komparatif adalah membandingkan suatu objek
dengan objek lain yang berada pada fase pertumbuhan atau kondisi-
kondisi yang sama.33
Dalam penelitian ini, kepribadian Fatimah Az-Zahra dalam
buku karya Ibrahim Amini dibandingkan dengan kepribadian Fatimah
Az-Zahra dalam buku karya penulis lain yang juga menceritakan
Kehidupan Fatimah Az-Zahra.

32
Saefuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 44
33
Talizu Naraha, Desain Riset dan Teknik penyusunan Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bina
Aksara, 1987), hlm. 27.
c. Metode Interpretatif
Metode Interpretatif adalah menyelami buku dengan setepat
mungkin sehingga mampu mengungkapkan arti dan makna uraian
yang disajikan.34
Metode ini penulis gunakan untuk menelaah isi buku al
Mar’ah an Namudziyah fi al-Islam karya Ibrahim Amini tentang
kepribadian Fatimah Az-Zahra sehingga diketahui seberapa besar
relevansinya dengan konsep wanita shalihah menurut Al Qur’an
berdasarkan pandangan penulis.
d. Metode Sintesis
Metode sintesis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara mengumpulkan atau
menggabungkan. Metode ini juga berarti cara penanganan terhadap
obyek ilmiah tertentu dengan jalan menggabungkan pengertian yang
satu dengan pengertian yang lain yang pada akhirnya dapat diperoleh
pengetahuan yang sifatnya baru sama sekali.35

34
Anton Bakker dan A. Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta,
1997), hlm. 63.
35
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 61
BAB II
KONSEP WANITA SHALIHAH MENURUT AL QUR’AN

A. Kriteria Wanita Shalihah


Telah masyhur dalam sejarah bahwa pada zaman sebelum
kedatangan agama Islam, terutama pada zaman Romawi dan Yunani serta
bangsa Arab Jahiliyah wanita menjadi simbol kemerosotan moral. Penulis
bukanlah mengatakan bahwa pada zaman tersebut tidak ada wanita yang
baik. Pada zaman itu wanita terkenal sebagai pemuas hawa nafsu belaka
sehingga yang tercatat dalam sejarah adalah kesan buruk wanita.
Semua itu disebabkan oleh anggapan-anggapan yang keliru tentang
wanita yang berkembang saat itu. Bagaimana wanita bisa baik sedangkan
kesempatan untuk mencapai hal itu tidak diberikan. Keadaan saat itu tidak
mendukung pengembangan diri wanita ke arah yang terhormat. Pada masa
itu belum ada ajaran yang dapat mengantarkan wanita menuju derajat
kesalehan.
Kehidupan wanita di sepanjang sejarah peradaban manusia banyak
diwarnai dengan penindasan dan penganiayaan. Hak-haknya sebagai
manusia dirampas. Wanita dipandang hina layaknya hewan atau binatang,
bahkan lebih rendah dari binatang. Ia tidak diakui sebagai manusia atau
diragukan derajat kemanusiaannya. Namun di sisi lain wanita dipandang
sebagai maha dewi yang dipuji, tetapi untuk memuaskan hawa nafsu
semata. Pandangan ini walaupun kelihatannya baik, namun sama
rendahnya dengan pandangan yang menghinakan di atas. Sebagai
gambaran, akan diuraikan mengenai keadaan wanita pada masa bangsa-
bangsa kuno.
Yunani merupakan bangsa yang dikenal mempunyai peradaban dan
kebudayaan yang lebih tinggi dibanding peradaban bangsa-bangsa lain
pada zamannya. Akan tetapi, jika kita cermati dalam sejarah kita akan
menemukan bahwa wanita dalam masyarakat Yunani berada di puncak
kemerosotan dalam segala aspek kehidupannya.
Dalam sistem sosial masyarakat Yunani saat itu, kaum wanita sama
sekali tidak memiliki kedudukan atau posisi yang layak. Bahkan kaum
laki-laki mempunyai kepercayaan bahwa wanita adalah sumber segala
penyakit dan bencana serta mereka dianggap sebagai makhluk yang paling
rendah. Sampai-sampai kaum laki-laki pada saat itu tidak mau berada di
satu meja makan bersama kaum wanita.
Seiring perjalanan waktu, pandangan bangsa Yunani terhadap
wanita kemudian mengalami perubahan. Dorongan syahwat dan nafsu
kebinatangan yang telah mendorong mereka untuk memberikan kebebasan
kepada kaum wanita. Mereka memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
dalam hal ini kepada wanita, sehingga banyak wanita yang menjadi
pelacur. Wanita pelacur dan pezina pada saat itu dianggap memiliki
kedudukan yang tinggi, sehingga para pemimpin Yunani saat itu ramai-
ramai mendatangi dan mendekati mereka.36
Keadaan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam sangat
memprihatinkan dipandang dari sisi moralnya, walaupun dari sisi
perekonomiannya mereka terkenal sudah maju karena kelihaian mereka
dalam perniagaan. Perilaku hidup mereka sudah tidak mengindahkan lagi
nilai-nilai kemanusiaan. Di kalangan mereka tidak berlaku hukum yang
yang menghargai hak asasi manusia. Begitulah gambaran kehidupan
bangsa Arab saat itu.
Kondisi seperti itu sangat menyengsarakan mereka yang lemah,
lebih-lebih kaum wanita, merekalah yang tertindas hak-haknya. Wanita
terhalang untuk mewarisi secara mutlak, karena warisan terbatas untuk
kaum laki-laki dalam pandangan mereka.
“Di jaman jahiliyah, wanita bagaikan barang warisan bagi seorang
lelaki pemiliknya. Ia dapat diwariskan begitu saja kepada saudara
sang pemilik yang meninggal dunia. Keluarga almarhum suami
yang dari pihak ayah bisa saja mengawini si wanita dengan salah
seorang di antara mereka atau dengan siapa saja yang mereka suka.

36
Mahmud Mahdi al Istanbuli dan Mustafa Abu Nashr Asy Syilbi, Wanita Teladan, Istri-
istri, Putri-putri, & Sahabat Wanita Rasulullah, terj. Ahmad Sarbaini, (Jakarta: Pustaka Zahra,
2003), hlm. 32.
Mereka bisa juga mencegahnya kawin lagi, agar ia tidak membawa
pergi harta suaminya, dan dengan demikian harta warisan tetap
menjadi milik keluarga mereka. Dan yang menjadi pewaris rumah
ayah adalah anak-anaknya yang laki-laki. Sedangkan anak
perempuan tidak memperoleh apa-apa.”37

Selain itu di kalangan mereka juga tersebar anggapan bahwa


kelahiran bayi wanita merupakan mala petaka dan keburukan bagi
keluarga. Begitu lahir bayi wanita, mereka benci dan marah sehingga
terdorong untuk melepaskan diri dari kehinaan itu. Menurut mereka
dengan cara mengubur hidup-hidup atau membunuh bayi wanita tersebut.
Allah telah mensifati keadaan mereka itu secara gamblang dan jelas dalam
firman-Nya :

z`ÏB 3“u‘ºuqtGtƒ ÇÎÑÈ ×LìÏàx. uqèdur #tŠuqó¡ãB ¼çmßgô_ur ¨@sß 4Ós\RW{$$Î/ Nèd߉ymr& t•Ïe±ç0 #sŒÎ)ur

3 É>#uŽ—I9$# ’Îû ¼çm”™ß‰tƒ ôQr& Acqèd 4’n?tã ¼çmä3Å¡ôJãƒr& 4 ÿ¾ÏmÎ/ uŽÅe³ç0 $tB Ïäþqß™ `ÏB ÏQöqs)ø9$#

ÇÎÒÈ tbqßJä3øts† $tB uä!$y™ Ÿwr&


Padahal apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat
marah. Ia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya kedalam tanah (hidup-
hidup)? Ketahuilah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan
itu. (Q. S. An Nahl: 58-59)38

Demikianlah keadaan wanita dalam masyarakat jahiliyah sampai


datangnya agama Islam yang membawa sinar terang bagi wanita. Islam
telah mengangkat kedudukan wanita, mengeluarkannya dari nasib yang
mirip budak dan menempatkannya sejajar dengan pria dalam pembagian
harta warisan, betatapun sedikitnya. Islam, tentu saja telah membebaskan
mereka dari menjadi warisan orang lain. Sebagaimana firman Allah:

37
Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari at dan Masyarakat, terj. M. Adib Bisri,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Cet. III, hlm. 30.
38
Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahnya, (Surabaya: Pustaka Agung
Harapan, 2006), hlm. 372.
( $\dö•x. uä!$|¡ÏiY9$# (#qèOÌ•s? br& öNä3s9 ‘@Ïts† Ÿw (#qãYtB#uä z`ƒÏ%©!$# $yg•ƒr'¯»tƒ
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan
dengan jalan paksa. (Q. S. An Nisa’: 19)39

Agama Islam telah memberikan aturan-aturan yang berkenaan


dengan diri wanita. Bahkan dalam Al Qur’an ada surat yang khusus
dinamakan An Nisa’ (artinya wanita). Dalam surat tersebut banyak
dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan wanita, di antaranya adalah
konsep wanita shalihah. Hal ini menunjukkan bahwa Al Qur’an juga
memperhatikan atau bisa dikatakan mengakui kedudukan wanita dalam
kehidupan ini bahkan memperkuat jati dirinya dengan memberikan aturan-
aturan yang khas baginya sesuai dengan kodratnya. Dengan konsep
tersebut para wanita diharapkan dapat mengikutinya sehingga dapat
mencapai derajat shalihah.
Realitas dalam kehidupan pada zaman saat ini masih menunjukkan
bahwa tidak semua wanita dikatakan shalihah, oleh karena itu untuk
menyebut seorang wanita itu shalihah diperlukan beberapa kriteria. Dalam
mengemukakan kriteria tersebut penulis akan mengacu pada surat An
Nisa’ ayat 34:

ª!$# xáÏÿym $yJÎ/ É=ø‹tóù=Ïj9 ×M»sàÏÿ»ym ìM»tGÏZ»s% àM»ysÎ=»¢Á9$$sù

Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). (Q. S. An Nisa’: 34)40

Ayat ini menunjukkan adanya perempuan shalihah yang bisa


menolak anggapan bahwa tidak ada perempuan yang shalihah. Sifat-
sifatnya hanya ada dua, yaitu ta’at dan menjaga kehormatan.
Di antara tanda-tanda kesalehan itu ialah tunduk dan taat kepada
Allah dalam menjalankan segala perintah-Nya, menjalankan hak-hak dan

39
Ibid., hlm. 104.
40
Ibid., hlm. 108.
kepemimpinan rumah tangga. Di antaranya ialah patuh terhadap
kepemimpinan suami yang memang telah diciptakan untuknya, dalam
memelihara rahasia suami istri dan rumah tangga yang tidak boleh
diketahui oleh siapapun selain mereka berdua. Terhadap istri-istri
semacam ini suami tidak perlu mendidik mereka.
Adapun wanita yang tidak shalihah (durhaka) ialah mereka yang
berusaha meninggalkan hak bersuami istri, sombong dan mendurhakai
pusat kepemimpinan, bahkan melanggar tuntutan fitrah mereka, yang
akibatnya membawa kehancuran kehidupan bersuami istri. Terhadap
wanita atau istri semacam ini ayat ini memberikan jalan untuk
memperbaikinya yaitu diserahkan pada suami untuk diberikan bimbingan
dan pimpinan. Suami hendaknya mengatasi istrinya dengan berbagai
macam cara, seperti memberikan peringatan, memisahkan diri dari tempat
tidur, atau kalau perlu memukul. Namun perlu diketahui bahwa tingkatan
cara ini perlu disesuaikan dengan jenis wanitanya.
Dalam ayat 34 surat An Nisa’ telah disebutkan bahwa sifat-sifat
wanita shalihah adalah qanitat dan hafidzat lil ghaib. Untuk lebih jelasnya,
penulis akan memaparkan sifat-sifat tersebut dalam uraian berikut.
1. Qanitat
Kata “qanitat” merupakan bentuk jama’ mu’annats dari lafadz
“qanit” yang berarti “yang merendahkan diri kepada Allah”, “yang
taat”, “yang tunduk”. Ayat 34 surat An Nisa’ memuat peraturan hidup
bersuami istri, sehingga kata “qanitat” yang ada di dalamnya banyak
diartikan taat kepada suami.
Taat artinya menurut perintah yang benar dan baik serta tidak
berlawanan dengan perintah agama. Tidak dinamakan taat kalau
menurut perintah yang tidak benar serta berlawanan dengan perintah
agama. Taat kepada suami maksudnya mendahulukan segala
perintahnya dari pada keperluan diri sendiri atau yang lainnya.41

41
M. Thalib, Analisa wanita dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1996), hlm.
10.
Terlepas dari konteks ayat tersebut (peraturan bersuami istri),
qanit merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat yang dimiliki oleh
seorang mukmin. Setelah orang itu beriman, maka tingkatan
selanjutnya adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-nya
atau bisa disebut taat. Dan orang yang teguh dan tetap dalam ketaatan
disebut qanit. Dalam al qur’an banyak disebut kata qanit yang
mengisyaratkan pada makna pribadi yang taat dan tunduk terhadap
agamanya.
Di antara ayat-ayat yang menunjukkan hal itu adalah :

tûüÏGÏZ»s)ø9$#ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur šúüÏZÏB÷sßJø9$#ur ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#ur šúüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ¨bÎ)

ÏM»tFÏZ»s)ø9$#ur
Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya. (Q. S. Al Ahzab: 35)42

Dalam ayat di atas diterangkan bahwa seorang mukmin itu


tidaklah patut memilih ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Ketetapan
Allah dan Rasul-Nya adalah hukum-hukum yang terdapat dalam Al
qur’an dan hadits yang telah sampai pada generasi sekarang ini dan
tetap terpelihara kemurniannya. Karena qanit merupakan sifat seorang
mukmin, maka seorang qanit adalah orang yang tetap berpegang pada
Al Qur’an dan hadits, tanpa berpaling dari keduanya.
Salah satu ciri pembeda yang paling menonjol dari wanita
muslimah adalah kedalaman keimanannya kepada Allah dan
keyakinannya yang tulus bahwa apapun yang terjadi di alam raya ini
dan takdir apapun yang menimpa manusia hanya terjadi karena
kehendak dan ketentuan Allah SWT. Apapun yang menimpa seorang
manusia tidak bisa dihindari dan apapun yang tidak terjadi pada
manusia tidak bisa dipaksa terjadi. Dalam hidup ini orang tidak punya
pilihan kecuali berjuang keras di jalan yang benar dan melakukan
42
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 597.
perbuatan baik dan beribadah. Ia harus selalu yakin bahwa ia selalu
membutuhkan pertolongan dan bimbingan Allah.43
2. Hafidzat lil Ghaib
“Hafidzat lil Ghaib” artinya wanita-wanita yang memelihara
diri di belakang suaminya. Menurut penjelasan dalam tafsir Al
Maraghi, “bima hafidzallah” berarti disebabkan Allah memerintahkan
supaya memeliharanya, lalu mereka mentaati-Nya dan tidak mentaati
hawa nafsu. Dalam ayat ini terdapat nasihat yang sangat agung dan
penghalang bagi kaum wanita untuk menyebarkan rahasia-rahasia
suami istri. Demikian pula kaum wanita wajib memelihara harta kaum
lelaki dan hal-hal yang berhubungan dengan itu dari kehilangan.44
Yang sangat penting dipelihara oleh seorang perempuan ialah
rahasianya yang terjadi dengan suaminya, yang tidak patut diketahui
oleh orang lain. Sebagaimana si suami wajib memelihara rahasia itu
maka istri pun demikian juga. Penjelasan tersebut sesuai dengan sabda
Rasulullah :

Dan ia (wanita yang baik) tidak mengingkari suaminya dengan sesuatu


yang dibencinya dalam (menjaga) diri dan hartanya.

Kalau seorang perempuan hendak menjadi perempuan yang


shaleh, cukup baginya mempelajari adab-adab Al Qur’an kemudian
dijalankan menurut sebagaimana mestinya. Peradaban yang terdapat
dalam Al Qur’an itu lebih tinggi dari semua peradaban dan kesopanan
dan akan sesuai digunakan untuk segala bangsa, di tiap-tiap tempat dan
di segala masa.

43
Muhammad Ali al Hasyimi, Muslimah Ideal, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), Cet. I,
hlm. 2.
44
Ahmad Musthafa Al Maraghy, Tafsir Al Maraghy, (Semarang: Toha Putra, 1986),
Cetakan Pertama, hlm. 44.
45
Imam Nasa I, Sunan Nasa I Juz V, (Beirut: Dar al Ma rifah, 1993), hlm. 377.
Dengan demikian, berdasarkan surat An Nisa’ ayat 34 dapat
disimpulkan bahwa ciri-ciri wanita shalihah adalah sebagai berikut :
a. Taat kepada Allah
Taat kepada Allah berarti patuh dan tunduk kepada semua
aturan Allah dalam menjalani kehidupan ini, termasuk aturan hidup
bersuami istri. Ciri ini merupakan pangkal atau induk dari ciri-ciri
yang lain. Taat kepada Allah secara spesifik dapat diartikan
mematuhi atau menjalankan perintah Allah kaitannya dengan
ibadah agama. Seorang wanita dikatakan shalihah diantaranya bisa
menjaga hubungannya dengan Al Khaliq yakni melaksanakan
kewajibannya seperti sholat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sabda
Rasulullah SAW :

Apabila seorang perempuan sembahyang lima waktunya, puasa


sebulan Ramadhannya, memelihara kehormatannya, dan taat
kepada suaminya, niscaya dikatakan kepadanya: “Masuklah
engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.”

b. Taat kepada suami


Taat kepada suami maksudnya mendahulukan segala
perintahnya daripada keperluan diri sendiri atau lainnya. Namun
perlu diperhatikan bahwa taat kepada suami bukanlah taat yang
buta akan agama. Taat berart menurut perintah yang benar dan baik
serta tidak berlawanan dengan perintah agama. Apabila suami
memberikan suatu hal yang bertentangan dengan agama, maka
tidak wajib bagi istri untuk memenuhinya bahkan ia harus
menghindari perintah tersebut.

46
Imam Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Beirut: Dar al kutub al Ilmiyyah, 1993),
hlm. 243.
c. Menjaga Kehormatan
Menjaga kehormatan ada beberapa macam, yaitu menjaga
kehormatan diri sendiri ketika suami tidak ada di rumah, menjaga
diri dari segala noda dan kecemaran termasuk memelihara harta
suami.47 Inti dari menjaga kehormatan terletak pada kesadaran
seorang wanita akan harga dirinya sebagai manusia yang dalam
kontek ini sebagai istri. Sadar akan harga diri berarti pula
meninggalkan hal-hal yang tidak patut dilakukan, misalnya tidak
menutup aurat sebagaimana mestinya.
d. Bersifat amanah atau dapat dipercaya
Wanita yang shalihah tentunya menjauhi sifat khianat.
Apabila suaminya sedang tidak berada di sisinya, ia tetap
menjalankan kewajibannya dengan baik yakni menjaga diri dan
harta suaminya walaupun sepi dari pengawasan suami. Juga dapat
menjaga rahasia-rahasia kehidupan rumah tangga antara ia dan
suaminya. Sikap memelihara yang ada pada dirinya tidak pernah
luntur baik dalam keadaan suaminya hadir atau tidak. Dalam
menjalankan tugasnya, ia semata-mata hanyalah mencari ridho
Allah.

B. Hak dan Kewajiban Wanita Dalam Islam


Konsep “wanita shalihah” lahirnya dari agama Islam. Oleh karena
itu dalam menguraikan hak dan kewajiban wanita shalihah ini penulis
akan memaparkan hak dan kewajiban wanita dalam Islam.
Berbicara mengenai hak wanita, Islam telah menetapkan hak dan
kewajiban antara laki-laki dan wanita secara adil. Dalam masalah warisan
misalnya, Islam telah memberikan hak yang seharusnya dimiliki wanita,
bukan merampas habis-habisan hak warisan mereka seperti yang telah
dilakukan oleh kaum Jahiliyyah. Firman Allah:

47
M. Thalib, op. cit. hlm. 11.
x8t•s? $£JÏiB Ò=ŠÅÁtR Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur tbqç/t•ø%F{$#ur Èb#t$Î!ºuqø9$# x8t•s? $£JÏiB Ò=ŠÅÁtR ÉA%y`Ìh•=Ïj9

ÇÐÈ $ZÊrã•øÿ¨B $Y7ŠÅÁtR 4 uŽèYx. ÷rr& çm÷ZÏB ¨@s% $£JÏB šcqç/t•ø%F{$#ur Èb#t$Î!ºuqø9$#

Bagi kaum laki-laki ada hak bagiannya dari peninggalan kedua orang tua
dan kerabat-kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q. S. An Nisa’: 7)48

Dari kenyataan ini, kita mengetahui bagaimana Islam telah


mengangkat kedudukan wanita, mengeluarkannya dari nasib yang mirip
budak dan menempatkannya sejajar dengan pria dalam menerima bagian
harta warisan betapapun sedikit. Para ahli fiqih menerangkan bahwa
kurangnya bagian warisan wanita dibandingkan pria adalah disebabkan
tanggungan pria terhadap lawan jenisnya itu.49
Kaum wanita diperintahkan melakukan pekerjaan sebagaimana
laki-laki. Keduanya diarahkan pada pencarian karunia dan kebaikan
dengan jalan beramal dan tanpa merasa iri hati pada yang lain. “Laki-laki
tidak diperbolehkan merampas pekerjaan wanita yang telah diciptakan
untuknya. Begitupun wanita, tidak boleh tamak terhadap apa-apa yang
berada di luar kodratnya.” Firman Allah :

$£JÏiB Ò=ŠÅÁtR ÉA%y`Ìh•=Ïj9 4 <Ù÷èt/ 4’n?tã öNä3ŸÒ÷èt/ ¾ÏmÎ/ ª!$# Ÿ@žÒsù $tB (#öq¨YyJtGs? Ÿwur

©!$# ¨bÎ) 3 ÿ¾Ï&Î#ôÒsù `ÏB ©!$# (#qè=t«ó™ur 4 tû÷ù|¡tGø.$# $®ÿÊeE Ò=ŠÅÁtR Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur ( (#qç6|¡oKò2$#

$VJŠÎ=tã >äó_x« Èe@ä3Î/ šc%Ÿ2

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah
kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada
bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

48
Ibid., hlm. 101.
49
Al-Thahir Al-Hadad, op. cit., hlm. 36.
(Q. S. An Nisa’: 32)50

Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan mengenai hak dan


kewajiban wanita menurut lingkupnya yang dalam hal ini penulis pilih
keluarga dan masyarakat.

1. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga


Keluarga merupakan satuan unit terkecil yang terdiri dari ayah,
ibu, anak yang masing-masing anggota keluarga mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang berbeda. Mengenai kewajiban wanita, Islam
memberikan ajaran bahwa tugas seorang wanita adalah menjadi
pemimpin di rumah suaminya yakni mengurus suami dan anak-
anaknya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW lewat sanad Ibnu
Umar sebagai berikut:
51

Dan wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dimintai


pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Kewajiban wanita dalam keluarga yang pokok adalah mengatur


rumah tangga, termasuk di dalamnya menerima kepemimpinan suami
atau mentaatinya. Apabila istri sudah mengetahui kewajibannya dan
melaksanakannya, maka suami tidak boleh mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya atau dengan kata lain suami harus memenuhi hak-
haknya. Di akhir ayat 34 surat An Nisa’ disebutkan :

ÇÌÍÈ #ZŽ•Î6Ÿ2 $wŠÎ=tã šc%x. ©!$# ¨bÎ) 3 ¸x‹Î6y™ £`ÍköŽn=tã (#qäóö7s? Ÿxsù öNà6uZ÷èsÛr& ÷bÎ*sù

50
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 108.
51
Imam bukhari, Shahih Bukhari, Juz V, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah), hlm. 474.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. (Q. S. An Nisa’: 34)52

Mengenai hak wanita (istri) Rasulullah menjelaskan sebagai


berikut :

53

Dari Hakim bin Mu’awiyah Al qusyairi dari Bapaknya ia berkata ;


saya berkata: “wahai Rasulullah, apa hak seorang istri dari kami?”
Rasulullah menjawab: “Supaya kamu memberinya makan ketika
kamu makan, kamu beri pakaian ketika berpakaian (ketika kamu
memperolehnya) dan janganlah kamu memukul wajih, mengucapkan
kata-kata jelek atau meninggalkannya kecuali di dalam rumah.

Dalam masalah penerimaan harta warisan, Islam telah


mengangkat kedudukan wanita, mengeluarkannya dari nasib yang
mirip budak dan menempatkannya sejajar dengan pria. Islam mengatur
penetapan bagian wanita dalam jumlah separuh dari bagian kaum
lelaki, sebagaimana disebutkan dalam ayat Al Qur’an:

4 Èû÷üu‹sVRW{$# Åeáym ã@÷VÏB Ì•x.©%#Ï9 ( öNà2ω»s9÷rr& þ’Îû ª!$# ÞOä3ŠÏ¹qãƒ

Allah menetapkan bagi kalian bagian (harta warisan) anak-anak kalian,


yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. (Q. S. An Nisa’: 11)54

52
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 109.
53
Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah), hlm.
110.
54
Departemen Agama RI, op. cit., 102.
Islam tentu memiliki alasan ketika menetapkan bagian wanita
yang di bawah bagian pria. Lelaki memang jelas mengungguli wanita
dalam penghasilan, perlindungannya atas keluarga dan berbagai
kemaslahatan umum terhadap suku atau bangsanya. Beban-beban
seperti inilah yang menjadikan lelaki menghadapi berbagai resiko dan
kesulitan yang memerlukan pengorbanan hartanya. Maka bila lelaki
ditentukan memperoleh bagian warisan yang lebih banyak, hal itu
tidaklah sulit dipahami dan diterima.55

2. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Masyarakat


Masyarakat merupakan lingkup kehidupan manusia yang
luas lagi setelah keluarga. Semua orang pasti setuju dengan
pernyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial, maksudnya
manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Mereka saling
membutuhkan satu sama lain. Sudah merupakan kodrat Allah bahwa
setiap individu itu diciptakan dengan kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Sehingga dalam menjalani kehidupan ini mereka
bisa saling membantu dan melengkapi.
Allah telah menjadikan laki-laki dan wanita sebagai sekutu
dalam mengemban tugas yang sangat besar di dalam kehidupan ini
yakni amar ma ruf nahi munkar. Melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar merupakan kewajiban setiap muslimin yang mukallaf baik
laki-laki maupun wanita. Para wanita harus melaksanakannya sesuai
hukum yang telah digariskan Islam kepada mereka. Banyak
disebutkan nash-nash tentang amar ma’ruf nahi munkar yang
ditujukan kepada mukallafin secara keseluruhan, laki-laki maupun
perempuan seperti dalam firman-Nya :

55
Al-Thahir Al-Hadad, op. cit., hlm. 34.
Å$rã•÷èyJø9$$Î/ šcrâ•ßDù'tƒ 4 <Ù÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& öNßgàÒ÷èt/ àM»oYÏB÷sßJø9$#ur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur

no4qx.¨“9$# šcqè?÷sãƒur no4qn=¢Á9$# šcqßJŠÉ)ãƒur Ì•s3ZßJø9$# Ç`tã tböqyg÷Ztƒur

y 4 ÿ¼ã&s!qß™u‘ur ©!$# šcqãèŠÏÜãƒur

Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian


mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
melaksanakan sholat,menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada
Allah dan Rasul-Nya. (Q. S. At Taubah: 71)56

Bila kita membicarakan kewajiban-kewajiban Islam,


kewajiban wanita muslimah sama saja dengan pria. Ia mempunyai
misi dalam hidupnya. Dengan demikian, ia harus efektif, aktif, dan
berjiwa sosial bila situasi dan kondisi serta kapabilitasnya
memungkinkan, berbaur dengan wanita lain sebanyak yang ia
mampu dan menghadapi mereka sesuai dengan sikap dan perilaku
Islam yang amat berharga yang membedakannya dari wanita yang
lain.
Di manapun terdapat wanita Islam, ia menjadi cahaya
penuntun dan sumber koreksi dan pendidikan positif melalui kata
dan perbuatannya.57
Sebagai anggota masyarakat, wanita juga harus
memperhatikan perkembangan masyarakat. Ia berkewajiban
memperbaiki dan mempertahankan keadaan masyarakat agar
senantiasa berada pada ketentuan yang benar. Hal ini tentu

dilaksanakan sesuai dengan kesempatan, kemampuan dan ilmu yang


dimilikinya tanpa mengabaikan tugas dan kodratnya sebagai wanita.

56
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 266.
57
Muhammad Ali al Hasyimi, op. cit., hlm. 384.
Menggunakan hak sama halnya dengan menunaikan
kewajiban, dapat menjamin kegiatan yang meliputi beberapa aspek
seperti naluri dan jasmani. Perlu pula diperhatikan bahwa ada
semacam proses saling menunjang dan menyempurnakan antara
menunaikan kewajiban dan menggunkan hak, yang dapat
membuahkan hasil terbaik serta melipatgandakan apa yang bisa
diperoleh wanita dari perhatian yang besar dan pengalaman yang
bermanfaat. Mengenai hal ini Allah berfirman :

4 Å$rá•÷èpRùQ$$Î/ £`ÍköŽn=tã “Ï%©!$# ã@÷WÏB £`çlm;ur

Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan


kewajibannya menurut cara yang patut. (Q. S. Al Baqarah: 228)58
Di antara hak-hak yang dapat mengembangkan kepribadian
wanita adalah hak untuk menghadiri majelis taklim, hak untuk
menuntut ilmu pengetahuan, hak untuk menikah dan melahirkan
keturunan, hak melakukan kegiatan profesi jika mempunyai
kelebihan waktu dari menunaikan tugas rumah tangga dan hak untuk
mengikuti kegiatan sosial atau politik yang bermanfaat. Hak-hak ini
bisa berubah menjadi kewajiban apabila pelaksanaannya dapat
mewujudkan maslahat yang sangat urgen dan mendasar bagi wanita
itu sendiri atau bagi keluarga dan masyarakatnya.59

C. Peran Wanita Shalihah dalam Keluarga dan Masyarakat


1. Peran Wanita Shalihah dalam Keluarga
Wanita shalihah merupakan produk agama (Islam), mengingat
kriteria utama untuk menyebut seorang wanita sebagai wanita shalihah
adalah taat kepada agamanya. Jadi penampilan dirinya merupakan
realisasi dari ajaran agamanya, sebagaimana telah dipaparkan dalam
surat An Nisa’ ayat 34.
58
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 45.
59
Abdul Halim Abu Syuqqoh, Kebebasan Wanita, Jilid I, (Jakarta: Gema Insani, 2008),
hlm. 312.
Secara global dapat dikatakan bahwa wanita shalihah adalah
wanita yang tunduk dan taat kepada agamanya yakni yang selalu
mendekatkan diri dan taqwa kepada Allah.
Sikap taqwa yang dimiliki seorang wanita shalihah dapat
melahirkan perbuatan atau tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai
moral, karena inti dari taqwa itu sendiri adalah taat kepada agama,
sedangkan agama mengajarkan nilai-nilai keutamaan termasuk di
dalamnya nilai-nilai moral.
Wanita diciptakan dengan dibekali sifat-sifat yang khas,
diantaranya adalah sifat keibuan. Kelemahlembutan dan perasaan kasih
sayang yang lebih dibanding laki-laki merupakan sifat-sifat unggul
yang dikaruniakan Allah kepadanya karena ia mempunyai tugas dalam
hidupnya yaitu menjadi ibu.
Wanita dikodratkan untuk mengandung, melahirkan serta
merawat anak-anak sampai mereka mampu mengurus dirinya sendiri.
Firman Allah:

Èû÷ütB%tæ ’Îû çmè=»|ÁÏùur 9`÷dur 4’n?tã $·Z÷dur m•Bé& çm÷Fn=uHxq Ïm÷ƒy‰Ï9ºuqÎ/ z`»|¡SM}$# $uZøŠ¢¹urur

ÇÊÍÈ çŽ•ÅÁyJø9$# ¥’n<Î) y7÷ƒy‰Ï9ºuqÎ9ur ’Í< ö•à6ô©$# Èbr&


Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua
orang tuanya. Ibunya yang mengandung dalam keadaan yang lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya
kepada-Ku kamu kembali. (Q. S. Luqman: 14).60

Ayat tersebut menggambarkan pengorbanan seorang ibu demi


kebaikan anaknya. Seorang ibu yang baik tidak akan menyia-nyiakan
naluri keibuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dengan tulus
ikhlas ia akan menjalaninya sesuai dengan kemampuannya.
Peran ibu dalam membentuk kepribadian anak sangatlah besar,
karena antara ibu dan ayah yang paling dekat dengan anak sejak bayi

60
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 581.
adalah ibu. Dengan begitu ibu banyak mempengaruhi perkembangan
anak. Mengingat periode pertama anak sebagian besar dihabiskan
dalam pelukan seorang ibu, maka bagi wanita shalihah yang menjadi
ibu, kesempatan itu akan dimanfaatkan untuk memberikan pengaruh
positif pada anak. Misalnya dengan menumbuhkan potensi baik dari
diri anak dan menyingkirkan potensi buruknya. Mengenai hal ini,
sebagaimana dikutip oleh M. Thalib, Imam Ghozali berkata :
“Bahwa melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat
penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tua. Hati
anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari ukiran serta
gambaran, ia dapat menerima segala yang diukir diatasnya, dan
apabila dibiasakan ke arah kebaikan, jadilah ia baik, tetapi jika
sebaliknya, dibiasakan ke arah kejelekan, jadilah ia jelek.”61

Dengan demikian, yang dapat mendorong penanaman


kebiasaan hidup beragama adalah orang tua khususnya ibu. Dengan
tindakan orang tua yang melatih anaknya membiasakan menjalankan
perintah Allah, ketaatan orang tua kepada agama, serta memberi
bimbingan dan pengawasan dengan rasa sabar dan penuh kasih sayang,
maka anaknya akan taat menjalankan perintah agama. Dengan
demikian, anaknya akan menjadi manusia yang baik dan memiliki
kepribadian seorang muslim.
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa wanita adalah tiang
agama, apabila ia baik maka jayalah negara, sebaliknya kalau
wanitanya berakhlak tercela maka hancurlah negara. Ungkapan
tersebut sangatlah tepat, karena di tangan wanitalah tunas-tunas bangsa
tumbuh berkembang. Wanita yang saleh bisa memberi pengaruh baik
khususnya kepada keluarga terutama anak-anaknya yang akan
menerima dampak positif dari kesalehannya. Begitu juga wanita yang
rusak akhlaknya akan membawa pengaruh negatif kepada kehidupan
terutama segi moralnya.

61
M. Thalib, op. cit., hlm.198.
2. Peran Wanita Shalihah dalam Masyarakat
Setiap orang tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan
bermasyarakat. Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada
kondisi keluarga yang ada di dalamnya. Apabila keluarga itu baik,
maka akan terbentuk masyarakat yang baik pula. Begitu juga
sebaliknya apabila keluarga itu rusak, maka turut rusaklah masyarakat
tersebut. Untuk menciptakan keluarga yang baik, sangat diperlukan
pengatur yang mampu mengelola rumah tangga dengan baik, dalam
hal ini adalah wanita shalihah. Wanita yang shalihah adalah wanita
yang menyadari tugas dan kewajibannya yang utama yakni mengurus
suami dan anak-anaknya berdasarkan agama sehingga dapat terwujud
keluarga yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
Kaum wanita setelah mereka bersuami, dengan sendirinya
mereka telah bermasyarakat, tolong menolong dan bantu membantu
dengan para suami yang ada disamping mereka. Kemudian mereka
masing-masing berkewajiban mengemudikan masyarakat rumah
tangga mereka. Selaku manusia yang hidup di muka bumi yang segala
gerak geriknya memang sudah kodrat tentu dengan sendirinya pula
mereka timbul perasaan kurang puas jika hanya hidup dalam
lingkungan masyarakat rumah tangganya saja, tetapi didesak pula oleh
keadaan mereka yang harus bergaul, harus tolong menolong, antara
yang satu dengan yang lainnya.
Oleh sebab itu, Islam satu-satunya agama yang mengatur
kehidupan manusia, maka bagi kaum wanita telah diatur juga
bagaimana cara mereka harus hidup dalam lingkungan masyarakat.
Mereka tidak dilarang untuk mengadakan perkumpulan organisasi
guna kepentingan mereka sendiri, guna masyarakat, asal dalam
melakukannya mereka tidak melanggar garis-garis yang telah
ditentukan oleh Islam dan tidak melampaui batas sifat kewanitaan
mereka.
Dalam beberapa riwayat menunjukkan bagaimana keadaan
wanita di zaman Nabi. Mereka selaku anggota masyarakat tidak
merasa puas dan senang kalau mengetahui bahwa dalam lingkungan
masyarakat lelaki masih banyak kekurangan. Misalnya pada waktu
kaum muslimin mendermakan harta mereka untuk keperluan umum.
Mereka juga ikut serta dan beramai-ramai menyerahkan perhiasan
mereka kepada Nabi untuk dipergunakan apa yang sedang dihajatkan
masyarakat.
Demikian pula pada waktu prajurit Islam berperang melawan
musuh, mereka berduyun-duyun datang dan ikut berangkat ke medan
perang. Mereka tidak ikut memanggul senjata, tetapi hanya membantu
menurut kemampuan mereka seperti mengambilkan air minum,
menyediakan dapur umum, menjahitkan pakaian yang robek, merawat
yang luka atau sakit dan lain sebagainya.62
Islam telah cukup luas memberi hak-hak atas diri kaum wanita
dalam lingkungan masyarakat baik yang mengenai urusan politik,
ekonomi, sosial untuk kepentingan umum dan kepentingan negara.
Dalam hal tersebut, mereka tidaklah dilarang mengerjakan sesuatu
apapun yang memang sunguh-sungguh akan berguna bagi masyarakat,
asalkan dalam mengusahakannya itu tidak melanggar aturan agama,
tidak melampaui batas-batas yang telah ditentukan, serta tidak
melupakan tugas yang harus mereka selesaikan dalam rumah tangga
mereka. Batasan-batasan yang telah ditentukan bukan berarti mengikat,
tetapi untuk memelihara kehormatan dan menyempurnakan
kewanitaannya.

62
Moenawar Khalil, Nilai Wanita, (Solo: CV Ramadhani, 1987), Cet. VIII, hlm. 134-135.
BAB III
KEPRIBADIAN DAN PERAN EDUKATIF FATIMAH AZ-
ZAHRA

A. Kehidupan Fatimah Az-Zahra


1. Latar Belakang Keluarga Fatimah Az-Zahra
Fatimah Az-Zahra adalah seorang anak dari dua manusia
agung. Ia lahir dari rahim seorang wanita yang memiliki sifat-sifat
mulia dan istimewa, Sayyidah Khadijah. Beliau adalah seorang wanita
terhormat yang melahirkan Fatimah Az-Zahra dan membesarkannya
dengan bakat-bakat dan nilai-nilai. Ia mendapat didikan langsung dari
ayahandanya Muhammad, Rasulullah SAW yang memiliki akhlak
yang khusus, jiwa yang agung, semangat yang tinggi, keberanian serta
semua kelebihan yang dimiliki Rasulullah yang telah diketahui oleh
setiap Muslim, bahkan oleh non muslim yang mengkaji dan
mengenalnya. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT:

ÇÍÈ 5OŠÏàtã @,è=äz 4’n?yès9 y7¯RÎ)ur

Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.


S. Al Qalam: 4)63

Oleh karena itu penulis tidak akan membahas akhlak ayahanda


Fatimah dan kepribadiannya lebih jauh lagi tetapi akan lebih banyak
membicarakan ibu yang telah melahirkan seorang putri yang menjadi
teladan dalam Islam.
Dalam karya yang berjudul Fatimah Az-Zahra al Mar ah an
Namudzjiyah fi al Islam, Ibrahim Amini menuliskan:
Khadijah binti Khuwailid, ibunda Fatimah berasal dari
keluarga bangsawan, yang mempunyai kedudukan dan
kemuliaan di kalangan Quraisy. Asad bin Abdul Uzza, kakek
63
Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahnya, (Surabaya: Pustaka Agung
Harapan, 2006), hlm. 826.
Khadijah termasuk orang terkemuka dalam ikrar fudhul yang
diserukan oleh kabilah-kabilah Quraisy. Waraqah bin Naufal,
paman Khadijah adalah salah satu dari empat orang yang
menolak penyembahan berhala dan mencari agama yang hak. 64

Dari contoh-contoh tersebut dapat dipahami bahwa Khadijah


berasal dari keluarga terhormat yang terkenal dengan ilmunya dan para
ulamanya. Mereka berpegang teguh pada kesucian agama Nabi
Ibrahim sambil menunggu agama yang hak
Tentang keutamaan Khadijah juga telah disebutkan dalam buku
karya Abu Muhammad Ordoni yang menyebutkan bahwa Khadijah
adalah seorang perempuan yang cantik, tinggi, berkulit bersih,
dianggap mulia di antara kaumnya. Ia bijak dalam mengambil
keputusan, menikmati kecerdasan yang tinggi dan kemampuan menilai
yang tajam. Ia memiliki wawasan yang cemerlang tentang dasar-dasar
ekonomi, khususnya di bidang pasar perniagaan. Ia menghibahkan
ribuan dinar kepada suaminya untuk digunakan bilamana diperlukan.
Allah telah menetapkan harta Khadijah untuk membantu Islam dan
memenuhi tujuan-tujuannya.
Di Mekkah, Nabi menggunakan harta ini untuk membebaskan
para budak, menolong yang membutuhkan, menyantuni orang miskin
dan membantu sahabat-sahabat yang secara keuangan terdesak.65
Di awal usia mudanya Khadijah menikah dengan ‘Atiq bin
‘Aidz. Namun suaminya itu tidak hidup lama. Belum lama
menikah, ia wafat dengan meninggalkan kekayaan yang
melimpah dan harta yang banyak untuk Khadijah. Beberapa
waktu setelah itu, Khadijah menikah lagi dengan seorang
pedagang dari Bani Tamim bernama Hindun bin Banas. Ia pun
hidup tidak lama juga. Dan, ia juga meninggalkan harta dan
kekayaan yang banyak bagi Khadijah. Mewarisi harta yang
banyak dan kekayaan yang melimpah dari kedua mantan
suaminya, Khadijah tidak membiarkan hartanya itu begitu saja
dalam keadaan tidak bergerak dan tidak juga membungakan

64
Ibrahim Amini, al Mar ah an Namudzjiyah fi-al Islam, (Iran: Anshariyyan Publication),
hlm. 13-14.
65
Abu Muhammad Ordoni, Fatimah Buah Cinta Rasulullah SAW Sosok Sempurna
Wanita Surga, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2009), hlm. 30.
uangnya pada saat riba sedang marak. Tetapi, ia memutar
hartanya itu dalam perdagangan dan mempekerjakan orang-
orang baik untuk tujuan ini. Dengan berdagang, ia mampu
mendapatkan kekayaan yang lebih banyak lagi, sehingga
disebut-sebut bahwa ia mempunyai lebih dari 80.000 unta yang
terpencar di berbagai tempat. Di setiap pelosok ia mempunyai
perdagangan, dan di setiap negeri ia memiliki harta seperti di
Mesir, Habasyah, dan lain-lain.66

Khadijah menikah dengan Muhammad bin Abdullah bukanlah


karena hasil dari sebuah hubungan percintaan, dan juga tidak ada
maksud-maksud materi atau politik di baliknya, yang umum terjadi di
kalangan elite. Kenyataannya, antara mereka tiada persamaan
kedudukan ekonomi antara Muhammad dan Khadijah. Di satu sisi,
Muhammad disokong oleh pamannya yang miskin, Abu Thalib,
sedangkan di sisi lain Khadijah adalah perempuan terkaya di Mekkah.
Khadijah mendengar bahwa Muhammad bermasa depan cerah
dan suci. Ia mendengar hal ini dari pembantunya, Maisarah yang
mengabarkan apa yang terjadi atas Muhammad selama melakukan
perjalanan dagang ke Suriah, atau beliau mendengar kabar tentang apa
yang dikatakan seorang pendeta di Bushrah tentang masa depan
Muhammad. Setelah mengetahui hal ini, sayyidah Khadijah meminta
Muhammad untuk menikahinya.67
Di perjalanan, Maisarah melihat berbagai keanehan. Ketika ia
kembali dari perjalanannya, ia menceritakan apa yang
disaksikannya kepada Khadijah. Maka ia pun mengutus
seseorang kepada Muhammad dan mengatakan kepadanya,
“Hai Muhammad, aku senang kepadamu karena
kekerabatanmu dengan aku, kemuliaanmu, dan pengaruhmu di
tengah-tengah kaummu, sifat amanahmu di mata mereka,
kebagusan akhlakmu, dan kejujuran bicaramu.” Kemudian
khadijah menawarkan dirinya kepada beliau.68

66
Ibrahim Amini, op. cit., hlm. 15-16.
67
Abu Muhammad Ordoni, op. cit., hlm. 33-34.
68
Ibrahim Amini, op. cit., hlm. 17.
Muhammad dengan alasan lebih suka menikahi seorang
perempuan miskin dari golongan ekonominya sendiri, meminta maaf
kepada Khadijah dan menolak permintaannya. Namun, Khadijah
sebagai perempuan bijaksana, berakal, dan terhormat, menyampaikan
kepada Muhammad bahwa ia telah siap menyerahkan diri kepadanya
dan harta bukanlah masalah. Jadi, Khadijah mendesak Muhammad lagi
agar mengirimkan paman-paman beliau untuk meminang Khadijah
dari keluarganya.
Para paman dan bibi Muhammad terkejut mendengar kabar ini,
seorang perempuan yang amat kaya yang menghidupi ratusan orang
serta puluhan laki-laki bekerja padanya di tanahnya, seorang sayyidah
agung yang para bangsawan telah melamarnya, namun semua
ditolaknya, menyerahkan diri pada seorang lelaki Quraisy miskin yang
disokong oleh pamannya yang miskin. Shafiyyah binti Abdul Muthalib
(bibi Muhammad) bergegas ke rumah Khadijah untuk memastikan
kabar ini. Dengan ramah Khadijah menyambutnya, dan menyampaikan
hasratnya yang tulus dalam melakukan hal itu.
Pernikahan Khadijah dan Muhammad adalah pernikahan yang
diberkahi. Sebelumnya Muhammad adalah seorang yang fakir serta
tinggal seorang diri karena tidak mempunyai keluarga. Maka dengan
pernikahan yang diberkahi itu, hilanglah kefakiran dan kemiskinannya.
Ia juga mendapatkan seseorang yang dapat menemaninya dalam
kesedihan. Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada
dakwah Rasulullah yang mulia sehingga Rasulullah dapat
mengajaknya bermusyawarah dalam urusannya, dan dapat saling
berbagi sehingga telah berdiri sebuah rumah tangga yang dipenuhi oleh
perasaan cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan.
Dari keluarga pertama dalam Islam inilah Fatimah Az-Zahra
dilahirkan. Keluarga yang merupkan pusat gerakan Islam di seluruh
dunia, yang memikul tugas-tugas yang besar dalam memerangi
kekufuran dan menyebarkan tauhid di seluruh dunia. Ia dilahirkan oleh
kedua orang tua yang rela berkorban dan penuh dengan cinta, kasih
sayang, dan keharmonisan dalam rumah tangganya.

2. Kelahiran Fatimah Az-Zahra serta Pertumbuhannya


Pada masa kehamilan, Khadijah keluar dari kesendirian dan
kesedihannya dengan bermain-main bersama janin yang dikandungnya
yaitu Fatimah. Meskipun beliau ditinggal Rasulullah selama 40 hari
untuk melaksanakan perintah Allah, Khadijah tetap bisa
menghindarkan diri dari belenggu keterasingan dan ia merasa senang
dengan janin yang dikandungnya.
Imam Ja’far ash shadiq mengatakan, “Sesungguhnya ketika
Khadijah menikah dengan Rasulullah SAW ia diejek oleh
wanita-wanita Mekkah. Mereka tidak mau masuk ke
tempatnya, tidak mengucapkan salam kepadanya, dan tidak
membiarkan seorang wanita pun masuk ke tempatnya,
sehingga Khadijah masuk ke tempatnya. Ia berduka dan
bersedih hati jika Rasulullah keluar rumah. Maka ketika ia
mengandung Fatimah, bayi dalam kandungannya itu menjadi
temannya.69

Ketika Fatimah lahir, Nabi bersimpuh sujud kepada Tuhannya


sebagai tanda syukur yang tak terhingga. Nabi tahu bahwa dari
Fatimah lah kelak anak keturunannya akan lahir. Ia adalah anak yang
paling disayangi dan yang paling menyejukkan matanya. Ummu
Salamah berkata: “Ketika Nabi menikahiku, ia menyerahkan putrinya
kepadaku. Akulah yang membesarkannya dan mendidiknya. Demi
Allah! Dia lebih beradab dan terdidik dibandingkan aku; dan dia lebih
alim tentang segala hal dibanding diriku”.70
Ketika Fatimah lahir, wanita yang berada di hadapannya
mengambilnya dan membersihkannya. Kemudian ia mengatakan
“Ambillah bayi ini, Khadijah, bayi yang suci dan disucikan, yang
cerdas dan diberkahi. Ia dan keturunannya diberkahi”. Khadijah

69
Ibid., hlm. 22-24.
70
Abu 'Alam Al-Mishri, Taufik, Fatimah Az-Zahra Ummu Abiha, (Bandung: Pustaka Pelita,
1999), Cetakan pertama, hlm. 59.
mengambilnya dengan perasaan senang, gembira dan bahagia. Ia lalu
menyusukannya. Khadijah mengetahui bahwa penyusuan dengan air
susu ibu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan si
anak. Dengan itu, si anak tumbuh dalam asuhan ibu sambil merasakan
cinta dan kasih sayangnya. Karena itu, ia menyusukan sendiri Fatimah
dan mendidiknya, agar ia dapat menyusukannya dengan air susu yang
berasal dari sumber kemuliaan, keagungan, kebaikan, ilmu,
keutamaan, kesabaran, dan keberanian.
Nabi diutus ketika berusia 40 tahun. Beliau bergerak sendiri
untuk melakukan dakwah yang diberkahi dan menentang kekufuran.
Semula beliau menyampaikan dakwahnya secara diam-diam demi
menjaga risalahnya yang baru dari para musuh, sampai Allah
memerintahkan beliau untuk melakukan dakwah secara terang-
terangan.
Ketika orang-orang Quraisy melihat bahwa Islam mulai tersiar
dan tersebar di kalangan kabilah dan mereka tidak mampu
mencegahnya, mereka pun sepakat untuk membunuh Rasulullah.
Ketika Abu Thalib merasakan hal itu, ia bertolak ke lembahnya
(Lembah Abu Thalib).
Dalam suasana berbahaya itulah Fatimah menghabiskan masa
penyusuan di lembah Abu Thalib. Ia disapih di sana dan belajar di
tanah yang panas di lembah tersebut. Ia belajar bicara di tengah
rintihan orang-orang yang kelaparan dan tangisan anak-anak yang tak
mendapat makanan.
Demikianlah hal itu berlangsung selama kurang lebih tiga
tahun. Ketika berusia lima tahun, ia kembali ke rumah bersama
Rasulullah dan seluruh anggota Bani Hasyim setelah mereka
meninggalkan lembah dan selamat dari kelaparan.
Fatimah belum lagi bernapas lega dan belum memperoleh
kesenangan ketika ia harus bersedih lantaran kematian ibunya yang
menyayanginya. Kejadian yang tiba-tiba itu sungguh menyakitkan
jiwanya yang lembut. Perasaannya yang halus terluka.
Abu Thalib dan Khadijah wafat pada tahun ke sepuluh
kenabian. Kejadian itu membuat Nabi menjadi sangat sedih. Tahun itu
dinamakan tahun kesedihan ( am al huzn), karena Nabi kehilangan dua
orang penolongnya dan penjaganya di Mekkah: pendamping hidupnya,
ibu dari anak-anaknya (Khadijah) serta sandaran dan pembelanya (Abu
Thalib). Maka berubahlah kehidupan Nabi di dalam dan di luar rumah.
Orang-orang Quraisy menjadi sangat keras terhadap beliau. Gangguan
dan siksaan mereka sampai pada tingkatan yang tidak pernah mereka
lakukan di saat Abu Thalib masih hidup. Sampai-sampai ada di antara
mereka ada yang menebarkan tanah di atas kepalanya, dan ada pula
yang melemparkan perut kambing kepadanya saat beliau sedang
sholat.
Kaum musyrikin Quraisy melakukan perbuatan apa saja
terhadap diri Rasul Allah baik dengan ejekan, cemoohan, penghinaan
dan perbuatan jahat lainnya. Pada suatu hari, Rasulullah sedang
melaksanakan sholat di Ka’bah seorang diri, dan di dekatnya terdapat
sekerumunan orang Quraisy. Salah seorang di antaranya mengatakan:
“Lihat itu apa yang sedang dilakukan Muhammad, tidak adakah di
antara kalian yang mau pergi ke tempat pembantaian hewan dan
mengambil kotoran binatang?” Salah seorang yang paling jahat
bernama Uqbah bin Abi Mu’aith setelah mengambil kotoran dari
tempat pembantaian hewan melemparkan kotoran tersebut ke
punggung Rasulullah yang sedang sujud. Perbuatan ini disambut tawa
oleh gerombolan orang-orang quraisy yang menyaksikan perbuatan
keji itu. Beberapa saat kemudian datanglah Fatimah lalu diambillah
kotoran dari punggung ayahnya. Seusai sujud, Rasulullah dengan
tenang berdo’a: “Ya Allah, binasakanlah orang-orang Quraisy itu.” Di
kemudian hari Rasulullah melihat sendiri semua orang itu mati
terbunuh dalam perang Badr.71
Fatimah mengalami kejadian-kejadian yang menyakitkan ini
sejak masa kecilnya. Ia memberikan bantuan kepada ayahnya serta
melayaninya, sampai-sampai orang memanggilnya Ummu Abiha (ibu
dari ayahnya) sebab dia adalah putri Nabi yang paling kecil yang selalu
menemani dan menjaga Nabi SAW setelah wafatnya Siti Khadijah ra.
Sejarah telah melaporkan bahwa Nabi sering memanggil
Fatimah dengan sebutan “Fatimah Ummu Abiha”, dan memperlakukan
putrinya ini bagaikan ia memperlakukan ibunya sendiri. Nabi mencium
tangannya dan berziarah khusus kepadanya setiap kali ia pulang ke
kota Madinah. Nabi sangat manja bagaikan manjanya seorang anak
kecil kepada ibunya. Ketika Nabi di masa kecilnya ditinggalkan ibunya
Aminah binti Wahab, Nabi beralih kepada Fatimah binti Asad, ibu
Imam Ali. Setiap kali ia melihat putrinya Fatimah, maka ia akan ingat
pada Fatimah binti Asad yang merawatnya dan sangat sayang
kepadanya.72
Demikianlah beberapa cobaan berat terhadap ayahnya yang
disaksikan sendiri di saat usianya masih sangat muda. Semua ini tidak
hanya diketahui oleh Fatimah, akan tetapi juga ikut dirasakannya.
Semua pengalaman yang serba berat dan keras itu turut membentuk
kepribadian dan memberinya pelajaran kepadanya tentang bagaimana
cara menghadapi kehidupan dan cobaan yang kelak mungkin akan
dialaminya sendiri. Semua itu merupakan ujian iman untuk dapat
dengan teguh menghadapi berbagai kesukaran dan kesulitan di masa
yang akan datang.

71
Al Hamid Al Husaini, Riwayat Hidup Siti Fatimah Az-Zahra r.a., (Semarang: CV Toha
Putra, 1993), hlm. 58.
72
Taufik Abu 'Alam Al-Mishri, op. cit. hlm. 55.
Ketika Khadijah wafat, tanggung jawab di dalam rumah jatuh
ke pundak Fatimah. Namun, sejarah tidak menjelaskan masa
yang memilukan dan sulit dilalui oleh rumah tangga Nabi itu.
Masa itu pun berlalu. Rasulullah menikah dengan Saudah, dan
kemudian dengan wanita-wanita lain. Mereka menunjukkan
rasa cinta terhadap Fatimah baik dengan cara yang sama atau
berlainan. Tetapi, sulit bagi seorang yatim yang kehilangan
ibunya melihat orang lain menempati kedudukan ibunya. Istri
dari ayah, bagaimanapun kasih sayangnya tidak akan
menggantikan kemurnian cinta dan kasih sayang seorang ibu.
Hanya ibulah satu-satunya yang dengan kasih sayangnya
mampu memberikan ketenangan dan kekuatan di dalam hati
anaknya.
Setiap kali bertambah perasaan kehilangan ibu pada diri
Fatimah, bertambah pula kecintaan Nabi kepadanya dan beliau
memberitahukan rasa cintanya itu kepadanya, karena beliau
mengetahui apa yang dirasakan putrinya itu akibat kehilangan
seorang ibu. Karena inilah, Rasulullah tidak tidur sebelum
mencium tubuh dan pakaian Fatimah. Inilah ringkasan delapan
tahun usia putri Nabi, Fatimah Az-Zahra.73

B. Kepribadian Fatimah
Fatimah Az-Zahra melebihi wanita-wanita di masanya dalam hal
kemuliaaan dan keturunan karena ia anak dari Muhammad Rasulullah
SAW dan Khadijah, pewaris keutamaan, ilmu, dan perangai yang baik.
Fisik dan akhlaknya sangat elok, sangat sempurna menurut ukuran
manusia. Disamping keistimewaan-keistimewaan pribadinya, ia juga putri
dari Muhammad SAW, penentang kekufuran dan kemusyrikan, yang
kokoh kekuasaannya dan nyata kekuatannya.
Fatimah tumbuh di dalam rumah Nabi SAW. Dia belajar
memperoleh pendidikan dari ayahnya Muhammad SAW. Dia adalah
contoh teladan yang paling sempurna dalam akhlak dan sifat. Nabi telah
memberinya perhatian yang amat tinggi dan memberinya pendidikan
agama yang luhur. Lebih dari itu, Nabi juga telah melatih ruhaninya
sedemikian sempurna sehingga putrinya ini tidak akan pernah
menyimpang dari kebenaran atau jalan yang lurus. Sebagaimana

73
Ibrahim Amini, op. cit., hlm. 34.
pernyataan Aisyah bahwa ia belum pernah melihat seorang pun yang lebih
benar bicaranya dibanding Fatimah kecuali ayahnya.”74
Ketika Fatimah tumbuh, ia menjadi panutan dan contoh teladan
dalam sifat-sifatnya yang agung. Dia menyandang secara sempurna sifat-
sifat seperti rasa kemanusiaan, tanggung jawab, harga diri, kesucian,
kepedulian sosial, kecerdasan dan berilmu pengetahuan yang luas. Hal ini
sangatlah wajar karena ia adalah seorang yang lahir dari lingkungan
keluarga Nabi, tumbuh di sekitar madrasah kenabian, dan langsung
mendapat pendidikan dari ayahnya. Dari berbagai riwayat berkenaan
dengan Fatimah kita bisa melihat betapa beliau senantiasa sibuk dengan
kegiatan-kegiatan ruhaniahnya dan tidak pernah melakukan pekerjaan
yang tidak sesuai dengan dirinya.
Abu Abdillah mengatakan, “Fatimah memiliki sembilan nama di
sisi Allah SWT: Fatimah, ash Shiddiqah, al Mubarakah, ath
Thahirah, az Zakiyyah, ar Radhiyyah, al Mardhiyyah, al
Muhaditsah, dan az Zahra."75

1. Fatimah
Mengenai pemberian nama Fatimah, Diriwayatkan dalam al
Bihar bahwa Muhammad al Baqir mengatakan, “Ketika Fatimah
dilahirkan, Allah mewahyukan kepada seorang malaikat agar
mengucapkan nama Fatimah dengan lidah Muhammad. Allah lalu
berfirman, Aku telah menganugerahkan kepadamu pengetahuan
76
dan melindungimu dari haid.
2. Ash Shiddiqah
Salah satu nama Fatimah adalah Shiddiqah yang berarti
seorang perempuan dengan kejujuran atau ketulusan yang sangat.
Lebih jauh, beberapa makna lain dari kata shiddiqah adalah Ia yang
percaya kepada perintah-perintah Allah dan Nabi-Nya tanpa

74
Dikutip dari: Ibrahim Amini, op. cit., hlm. 83.
75
Ibid, hlm. 84.
76
Abu Muhammad Ordoni, op. cit., hlm. 53.
meragukan satupun perintah itu. Pendapat ini didukung oleh ayat
Al Qur’an berikut:

âä!#y‰pk’¶9$#ur ( tbqà)ƒÏd‰Å_Á9$# ãNèd y7Í´¯»s9'ré& ÿ¾Ï&Î#ß™â‘ur «!$$Î/ (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#ur

öNèdâ‘qçRur öNèdã•ô_r& óOßgs9 öNÍkÍh5u‘ y‰YÏã

Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,


mereka itu orang-orang yang tulus hati (pecinta kebenaran) dan
orang-orang yang menjadi saksi di sisi tuhan mereka. Bagi mereka
pahala dan cahaya mereka” (Q.S. Al Hadid: 19)77

3. Al Mubarakah
Barakah bermakna pengandaan, kebahagiaan yang sangat,
dan kelimpahan. Allah telah mengganjar Fatimah dengan nikmat
yang berlimpah, dan menganugerahkan rahmat-Nya yang abadi.
Bila kita meninjau sejarah, bahwa ketika wafat Fatimah
meninggalkan dua orang putra dan dua orang putri: Hasan dan
Husein, Zainab dan Ummi Kultsum. Namun ketika peristiwa
Karbala terjadi, Imam Husein dan anak-anaknya mencapai
kesyahidan dan Ali bin al Husein adalah satu-satunya putra
penerus Imam Husein juga ketujuh anak Imam Hasan dan kedua
putra Zainab meraih kesyahidan. Sedangkan Ummu Kultsum tidak
mempunyai anak.
Dengan demikian, Allah menurunkan kemuliaan dan
anugerah atas para keturunan Fatimah Az-Zahra. Dia memberikan
keturunan yang banyak bagi mereka.
4. Ath Thahirah
Salah satu nama Fatimah adalah Ath Thahirah yang artinya
suci atau murni. Makna ini terkait dengan ayat: “Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai

77
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 788.
ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya. (QS. Al Ahzab:
33)
Walau demikian, tak bisa dipungkiri bahwa ayat yang
dikenal dengan ayat penyucian ini sedikit sekali ulama yang
menyepakatinya. Sebagian membela sudut pandang bahwa ayat ini
mencakup para istri Nabi karena urutan ayat-ayat disekitarnya
mengandung pembicaraan tentang mereka. Akan tetapi, bahkan
Rasulullah melarang istrinya Ummu Salamah bergabung dengan
mereka ke dalam selimut sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana
Ath Thabari menyatakan bahwa ayat ini diturunkan bagi lima
orang yang disucikan (Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain).
Umar juga menuturkan bahwa Ummu Salamah mengatakan,
“Rasulullah menyelimuti Fatimah, Ali, Al Hasan dan Al Husain
termasuk dirinya sendiri dengan kain dan membacakan ayat
tersebut. Ummu Salamah lalu menambahkan, “Jadi aku datang
untuk bergabung dengan mereka ketika Nabi berkata tetaplah di
tempatmu, engkau akan mempunyai akhir yang baik.”
5. Az Zakiyyah
Kata Tazkiyyah berarti menyucikan, seperti ayat yang
membicarakan tentang tazkiyyah yaitu:

$yg8©.y— `tB yxn=øùr& ô‰s%

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (Q.


S. Asy Syams: 9)78

Sayyidah Fatimah adalah wanita yang selalu menjaga


kesucian dirinya dari semua dosa.
6. Ar Radhiyyah
Ar Radhiyyah artinya ridha atas apa yang telah ditetapkan
Allah. Fatimah Az-Zahra selalu ridha dengan apapun yang telah

78
Ibid., hlm. 896.
ditetapkan Allah atasnya dengan berbagai penderitaan sejak dia
lahir sampai kesyahidannya di usia muda.
7. Al Mardhiyyah
Mardhiyyun (orang yang diridhoi) adalah tingkat yang
istimewa dan merupakan kedudukan yang agung di sisi Allah.
Fatimah Az-Zahra adalah orang yang mampu mencapai kedudukan
ini dengan istiqomah dan ketulusan. Ia mencapai tingkat ini lewat
perbuatan baiknya yang menyenangkan Allah dan membuat-Nya
ridha terhadapnya.
8. Al Muhaditsah
Muhaditsun bisa berarti orang-orang yang menggumamkan
kata-kata yang benar dan cermat, yang disapa oleh malaikat atau
yang pandangannya sejalan dengan kebenaran.
Zaid bin Ali berkata, “Kudengar Abu Abdillah (Imam
Ja’far ash Shadiq) berkata, “Fatimah disebut muhaditsah karena
para malaikat turun dari surga dan memanggilnya sebagaimana
mereka memanggil Maryam binti Imran dan berkata,’Wahai
Fatimah! Allah telah memilihmu di atas perempuan segala
bangsa.” 79
9. Az-Zahra
Dalam Biharul Anwar, sebagaimana dikutip oleh Abu
Muhammad Ordoni, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya putriku Fatimah adalah penghulu kaum
perempuan dari awal hingga akhir zaman. Fatimah adalah
bidadari berwujud manusia, yang kapanpun mendirikan sholat di
hadapan Tuhannya sinarnya menerangi langit bagi para malaikat,
seperti bintang-bintang menyinari manusia di bumi. Riwayat ini
menjelaskan alasan mengapa Fatimah diberi nama Az-Zahra (yang
berkilauan)80

79
Abu Muhammad ordoni, op. cit., hlm. 53-84.
80
Ibid, hlm. 89.
Fatimah Az-Zahra memiliki karakter yang terpuji berkat
bimbingan yang sempurna oleh ayah dan ibunya. Akhlak yang
dimilikinya antara lain:
1. Ketekunan Beribadah
Ketekunan dalam beribadah adalah sifat yang khas bagi
para anggota ahlulbait Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-
hari. Ketekunan beribadah bagi mereka merupakan tingkat
tertinggi kebahagiaan dan hubungan yang sejernih-jernihnya
dengan Allah dan menjadi tujuan hidup yang utama.
Fatimah Az-Zahra sebagai seorang wanita yang penuh
bakti, beliau banyak melakukan ibadah kepada Allah sebagai bukti
pengabdian dan penyerahannya yang begitu tulus kepada Allah.
Wajar saja Fatimah demikian karena dia tumbuh di sebuah rumah
dimana Al Qur’an diturunkan. Ia diasuh oleh wahyu dan pemimpin
semua Rasul yang beribadah kepada Allah sampai bengkak kedua
kakinya.
Hasan bin Ali mengatakan "Aku melihat ibuku bangun di
mihrabnya pada malam jum'at, dan ia terus ruku' dan sujud
sampai terbit fajar subuh.” Aku mendengarkan ia
mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.
Ia banyak berdoa untuk mereka, dan tidak berdoa sesuatu
pun untuk dirinya. Maka aku bertanya kepadanya, ”Ibu,
mengapa engkau tidak berdoa untuk dirimu sendiri
sebagaimana engkau mendoakan orang lain?” Ia pun
menjawab, ”Anakku, tetangga dulu baru kemudian rumah
sendiri."81

2. Kezuhudan
Fatimah Az-Zahra mengenal dan menghayati nilai-nilai
kehidupan yang sebenar-benarnya. Ia juga mengenal dengan baik
bagaimana seharusnya menghadapi kehidupan duniawi ini. Ia bisa
dikatakan sama sekali tidak tergiur oleh kenikmatan-kenikmatan
duniawi dan kesenangan-kesenangan hidup lainnya. Dengan rumah

81
Ibid, hlm. 135.
tangga yang sangat sederhana dan kehidupan sehari-hari yang
serba berat maka terbentuklah sifatnya yang rendah hati, tahan uji
dan penyabar.82
Salah satu sikap yang menunjukkan kezuhudan Fatimah
adalah seperti yang diriwayatkan oleh Asma binti Umais:
Asma binti Umais sedang bercerita bahwa ia sedang berada
di tempat Fatimah ketika tiba-tiba Rasulullah masuk sedang
di leher Fatimah terdapat kalung emas yang diberikan oleh
Ali dari bagian yang diperolehnya. Maka Rasulullah berkata
kepada Fatimah, “Anakku, janganlah engkau membuat orang-
orang berkata, ‘Fatimah binti Muhammad memakai pakaian
kesombongan.”’
Fatimah pun melepaskannya saat itu juga dan menjualnya
hari itu juga. Dengan uang hasil penjualan kalung itu, ia
kemudian membeli seorang budak wanita mukmin kemudian
memerdekakannya. Berita itu sampai kepada Rasulullah, dan
beliau pun gembira.83

3. Ketabahan Menghadapi Penderitaan


Imran bin Husain mengatakan, “Aku pernah bersama
Rasulullah yang sedang duduk. Tiba-tiba Fatimah datang.
Beliau memandangnya. Wajah Fatimah tampak kekuning-
kuningan dan pucat karena sangat lapar. Lalu beliau berkata,
‘Mendekatlah Fatimah!’ Fatimah pun mendekat Beliau
berkata lagi, ‘Mendekatlah Fatimah!’ Fatimah mendekat
sampai berdiri di hadapannya. Kemudian beliau meletakkan
tangannya di atas dada Fatimah di tempat kalung sambil
merenggangkan jari-jarinya. Setelah itu beliau berdo’a, ‘Ya
Allah yang mengenyangkan orang yang lapar dan
mengangkat orang yang jatuh, janganlah Engkau laparkan
Fatimah binti Muhammad”
Imran mengatakan, “Lalu aku memandangnya. Darahnya
tampak kembali di wajahnya, dan hilanglah kekuning-
kuninganya.”84

Dalam menghadapi kesulitan hidup, Fatimah Az-Zahra


mempunyai sikap mental setangguh ayahnya. Ayahnya memang
selalu mengajarkan kepada Fatimah untuk senantiasa bersabar dari

82
Al Hamid al Husaini, op. cit., hlm. 165.
83
Ibrahim Amini, op. cit., hlm.150.
84
Ibid, hlm. 152-153.
kepahitan-kepahitan hidup di dunia. Ayahnya pernah berkata,
“Wahai Fatimah, bersabarlah atas pahitnya dunia agar engkau
memperoleh kenikmatan abadi di akhirat.”
Fatimah sangat bersabar dalam menjalani kehidupannya
yang susah. Ia menghadapinya dengan sifat Qanaah. Ia selalu
memuji Allah atas kehidupannya itu. Ia senang dengan keadaannya
dan rela pada kehidupannya.85
Rasulullah membacakan wahyu Allah yang ditujukan
kepadanya di hadapan Fatimah:

$u‹÷R‘‰9$# Ío4quŠptø:$# not•÷dy— öNåk÷]ÏiB %[`ºurø—r& ÿ¾ÏmÎ/ $uZ÷è-GtB $tB 4’n<Î) y7ø‹t^ø‹tã ¨b£‰ßJs? Ÿwur
Dan janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada
kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa
golongan di antara mereka sebagai bunga kehidupan dunia. (Q. S.
Thaha: 131)86

Fatimah sangat rela atas realitas hidupnya yang sederhana


itu. Ia bersabar atas kesulitan hidup dan puas terhadap barang halal
yang dimilikinya walaupun sedikit. Itulah kenapa ia menjadi
manusia yang ridha kepada Allah dan diridhai oleh Allah.
4. Dermawan
Fatimah Az-Zahra adalah orang yang mengutamakan
(orang lain) atas dirinya sendiri karena meneladani sunnah dan
perilaku ayahnya dan juga ia memelihara sifat yang mulia itu. Ia
adalah salah seorang ahlulbait yang dikenal dengan
kewibawaannya yang tinggi.
Ibnu al Jauzi meriwayatkan, “Nabi pernah membuatkan
sehelai baju untuk Fatimah pada malam pernikahannya karena
yang dimilikinya pada saat itu hanya sehelai baju yang bertambal.
Tiba-tiba seorang berdiri di pintu rumahnya dan meminta darinya
sehelai baju yang layak dipakai. Mula-mula Fatimah hendak

85
Dr. Taufik Abu 'Alam Al-Mishri, op. cit. hlm. 114-115.
86
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 446.
memberikan bajunya yang bertambal itu. Namun ia ingat akan
firman Allah: Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada
kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai (Q. S. Ali Imran: 92). Fatimah kemudian
memberikan kepada orang tersebut bajunya yang baru. Menjelang
hari pernikahan, malaikat Jibril datang dan memberinya sebuah
baju yang terbuat dari sutera hijau. Malam itu juga banyak wanita
Yahudi yang menyatakan diri memeluk agama Islam. Tindakan-
tindakan wanita Yahudi ini kemudian diikuti oleh suami mereka.87
Pada suatu hari Fatimah dan Ali didatangi seseorang yang
sudah tua. Fatimah bertanya, “Siapa Anda?” Lalu dia menjawab,
”Aku seorang tua dari Arab, aku telah menemui ayahmu, penghulu
umat manusia. Aku datang dari negeri yang jauh. Tubuhku tidak
berbaju dan perutku lapar. Tolonglah aku. Semoga Allah SWT
merahmatimu.”
Pada waktu itu Fatimah dan Ali dan Nabi sudah tiga hari
tidak makan dan Nabi juga mengetahui keadaan itu. Fatimah
mengambil kulit domba yang disamak yang biasa dipakai Hasan
dan Husain sebagai alas tidur. Fatimah berkata: Ambillah ini wahai
tamuku. Mudah-mudahan Allah menyediakan yang lebih baik
bagimu.” Tetapi orang Badui itu berkata, “Wahai putri
Muhammad, telah aku katakan aku sangat lapar. Tetapi engkau
memberiku kulit domba. Apa yang dapat aku lakukan dengan kulit
domba itu?”
Lalu Fatimah mengambil kalung yang ada di lehernya.
Kalung itu hadiah dari putri pamannya, Hamzah bin Abi Thalib.
Lalu ia memberikan kalung itu dan berkata, “Ambillah ini dan
juallah. Mudah-mudahan Allah memberimu sesuatu yang lebih
baik.” Orang Badui itu mengambil kalung itu lalu menemui
Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, Fatimah telah

87
Al Hamid al Husaini, op. cit., hlm. 176-178.
memberiku kalung ini. Ia memintaku untuk menjualnya dengan
harapan semoga aku bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik
darinya.” Melihat itu Rasulullah meneteskan air mata.88
5. Menjaga Kesucian diri
Di antara ajaran Islam yang mendapatkan perhatian khusus
dari Fatimah adalah melindungi kehormatan dan kecantikan kaum
perempuan lewat menaati aturan berbusana islami. Fatimah
menyadari bahwa kejahatan, bencana kemasyarakatan, dan
pelecehan karena pelepasan hijab dan kelonggaran pergaulan.
Ibnu al Maghazili menyebutkan dalam kitabnya, Al
Manaqib, bahwa Ali bin Al Hasan berkata, “Sekali waktu seorang
laki-laki buta meminta izin memasuki rumah Fatimah, namun
Fatimah tetap membentangkan hijab (batas penutup) di antara
mereka berdua. Rasulullah melihat tindakannya itu dan bertanya,
‘Mengapa engkau tetap membentangkan hijab di antara kalian
padahal ia tidak dapat melihatmu?’ Fatimah menjawab,
‘Rasulullah, benar ia tak dapat melihatku, namun aku dapat
melihatnya dan ia dapat mencium wangiku.’ Mendengar hal ini
Nabi SAW berkata, ‘Aku bersaksi bahwa engkau adalah bagian
dari diriku.’”89
Apabila ada orang laki-laki yang ingin berbicara
dengannya, maka ia akan melayaninya dari balik tirai atau hijab
yang memisahkannya dengan orang tersebut agar dengan cara itu ia
bisa terpelihara dari pandangan laki-laki lain yang bukan
muhrimnya. Sedemikian sucinya dirinya sehingga ia juga berpesan
bahwa kelak ketika ia wafat dirinya harus ditutup rapat-rapat dari
pandangan non muhrimnya. Fatimah menganggap bahwa tradisi
saat itu yang menutup wajah mayit perempuan, namun
membiarkan bagian tengahnya terbuka dar kain yang

88
Taufik Abu 'Alam Al-Mishri, op. cit. hlm. 125.
89
Abu Muhammad Ordoni, op. cit., hlm. 178.
menyelimutinya adalah suatu aib besar. Ketika Asma’ binti Umais
memberitahukan bahwa seluruh tubuh jenazah wanita penduduk
Habsyah tertutup rapat, Fatimah memuji cara mengurus jenazah
wanita seperti itu. Dia berpesan agar dirinya kelak juga ditutup
seperti itu, agar terhindar dari pandangan laki-laki yang non
muhrim.90

C. Peran Edukatif Fatimah Az-Zahra dalam Keluarga


1. Fatimah Az-Zahra Sebagai Seorang Putri
Ayahanda Fatimah Az-Zahra hidup di tengah-tengah suatu
bangsa yang pada waktu itu sedang diselimuti dekadansi sosial,
kebodohan, tidak mengenal agama, dan tidak mengenal tata kehidupan
sosial dan kenegaraan. Terus menerus bertikai antar sesama kabilah.
Dari masyarakat yang begitu terbelakang itu, beliau berhasil
membentuk suatu generasi baru yang memiliki harga diri, berakhlak
mulia, beraqidah mendalam, beriman teguh, berakhlak luhur, serta
tunduk pada kebenaran. Semuanya itu merupakan masalah yang
sebelumnya tidak pernah bisa ditegakkan oleh orang lain. Rasulullah
adalah guru pertama yang mengajarkan peri kemanusiaan kepada umat
manusia dan mendidik semua bangsa. Beliau mempunyai kewibawaan
yang amat disegani oleh orang-orang Arab yang waktu itu terkenal
dengan kekerasan, kekuatan dan keberaniannya.
Berbagai cara ditempuh kaum musyrikin Quraisy untuk
menekan ayahandanya agar mau menghentikan dakwahnya.
Dari Ibnu abbas diriwayatkan bahwa Nabi masuk ke ka’bah
dan mulai melakukan sholat. Maka, berkatalah Abu Jahal,
“Siapa yang mau berdiri ke tempat orang ini dan merusak
sholatnya?” Berdirilah Ibnu Az Zab’ari. Ia mengambil kotoran
hewan dan darah, kemudian melemparkannya kepada beliau.
Fatimah datang menghilangkan kotoran itu dan mencaci
mereka yang asyik tertawa.91

90
Taufik Abu Alam al Mishri, op. cit., hlm. 114.
91
Ibrahim Amini, op. cit., hlm. 33-34.
Kaum musyrikin melakukan perbuatan apa saja terhadap diri
Rasul baik dengan ejekan, cemoohan, penghinaan, atau perbuatan jahat
lainnya. Putri beliau, menyaksikan sendiri penganiayaan sekejam itu
yang dialami oleh ayahnya. Hal ini tidak hanya diketahuinya tetapi
Fatimah juga ikut merasakannya.
Partisipasi wanita shalihah atau peranannya yang bersifat
edukatif dapat dilihat dari sifat-sifat ketaqwaan yang dimilikinya. Sifat
taqwa yang dimiliki wanita shalihah dapat melahirkan perbuatan atau
tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral, karena inti dari
taqwa itu sendiri adalah taat kepada agama, sedangkan agama
mengajarkan nilai-nilai moral.
Sesungguhnya Fatimah telah memiliki sifat-sifat ketakwaan
tersebut. Dia telah ikut memberikan pengorbanan dan memikul
pemboikotan dan kesulitan untuk membantu ayahandanya
menyebarkan agama Allah, menyiarkan kalimat tauhid, dan
mengibarkan panji keadilan. Beliau selalu setia mendampingi ayahnya
untuk menyelamatkan manusia dalam memberi petunjuk kepada umat
manusia kepada tujuan-tujuan yang suci. Dengan demikian, Fatimah
Az-Zahra telah memberikan peranan penting sebagai seorang wanita
shalihah yaitu ikut menyebarkan nilai-nilai moral untuk bisa mewarnai
kehidupan manusia.

2. Fatimah Az-Zahra Sebagai Seorang Istri


Fatimah Az-Zahra adalah seorang wanita yang sedemikian
tinggi kemuliaan, agama dan kedudukannya di kalangan keluarga
Nubuwwah. Jadi tidak mengherankan kalau tidak sedikit tokoh orang
terkemuka yang mengemukakan keinginannya hendak mempersunting
putri beliau. Dimulai oleh Abu Bakar Ash Shidiq ra. Kemudian Umar
bin Khatab, menyusul lainya lagi dari kalangan Quraisy terkemuka.
Semua mengajukan lamaran untuk memperistri Fatimah Az-Zahra
akan tetapi Rasulullah tidak mengabulkan keinginan mereka. Beliau
hanya menjawab: “Belum tiba suratan takdirnya.” Akhirnya Abu
Bakar menyarankan Ali bin Abi Thalib untuk meminang Fatimah.
Mendengar saran Abu Bakar, Imam Ali tidak segera memberi
tanggapan. Baru beberapa saat kemudian ia berkata, “Hai Abu Bakar,
sesungguhnya engkau telah mengingatkanku pada sesutu yang sudah
lama aku lupakan. Demi Allah memang minatku sangat besar kepada
Fatimah, dan tidak ada yang menjadi penghalang bagiku kecuali
kemiskinanku” Setelah mendengarkan saran Abu Bakar akhirnya
Imam Ali memberanikan diri dan bertekad menghadap Rasulullah.92
Berikut ini riwayat yang menceritakan kedatangan Ali untuk
melamar Fatimah Az-Zahra:
Ali pun berbicara, “Engkau mengetahui bahwa engkau
mengambilku dari pamanmu Abu Thalib dan dari Fatimah
binti Asad ketika aku masih kecil. Engkau memberiku makan
dengan makananmu dan mendidikku dengan didikanmu. Demi
Allah engkau adalah kekayaanku dan modalku di dunia dan
akhirat. Wahai Rasulullah, di samping menjadi penolongmu
seperti yang telah Allah kuatkan, aku ingin mempunyai rumah
tangga dan mempunyai istri agar aku tenang dengannya.Aku
datang kepadamu untuk melamar putrimu Fatimah. Maukah
engkau menikahkanku, wahai Rasulullah?”
Berseri-serilah wajah Rasulullah SAW karena senang dan
gembira. Beliau mendatangi Fatimah dan berkata,
“Sesungguhnya Ali telah menyebut-nyebutmu. Ia adalah orang
yang telah kamu kenal.” Fatimah terdiam. Kemudian
Rasulullah mengatakan, “Allahu Akbar.” Diamnya
menunjukkan persetujuannya.” Beliau kemudian keluar dan
menikahkannya.”93

Rumah tangga Ali dan Fatimah merupakan contoh yang


mengagumkan dalam hal kemurnian, ketulusan dan kasih sayang.
Mereka saling menolong dengan serasi dan tulus dalam mengatur
urusan rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya. Di
awal kehidupan rumah tangganya, mereka meminta keputusan
Rasulullah dalam hal pengurusan rumah. Beliau memutuskan bahwa

92
al Hamid al Husaini, op. cit. hlm. 63-65.
93
Ibrahim Amini, op. cit., hlm. 42-43.
Fatimah mengurus apa-apa yang ada di dalam rumah dan Ali
mengurus yang ada di luarnya.
Fatimah dalam kehidupan rumah tangganya bersikap sebagai
ibu rumah tangga yang baik. Ia memperhatikan urusan rumah tangga
sampai yang sekecil-kecilnya. Ia mengurus semua kebutuhan dengan
jerih payahnya sendiri. Ia tidak mempunyai pembantu ataupun hamba
sahaya. Ia tidak mengupah orang lain. Seluruh hidupnya penuh dengan
kerja keras dan perjuangan. Ia menepung gandum, dan memutar
gilingan dengan tangannya sendiri. Ia membuat roti dan menyapu
lantai dan mengatur semua pekerjaan rumah tangganya dengan
tenaganya sendiri.
Salah satu riwayat tentang hal itu mengemukakan: “Pada suatu
hari Rasulullah datang ke rumah Fatimah. Saat itu puterinya sedang
menggiling tepung sambil menangis, sedangkan pakaian yang
dikenakannya sangat buruk dan kasar. Melihat itu Rasulullah ikut
menangis dan kemudian berkata: “Hai Fatimah, terimalah kepahitan
dunia sekarang ini untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak.”94
Ali berkata kepada seorang laki-laki dari bani Sa’ad: “Maukah
kamu saya ceritakan tentang saya dan Fatimah? Ia tinggal
bersama saya dan ia adalah keluarga Rasulullah yang paling
dicintai oleh beliau. Namun, ia mengambil air dengan qirbah
(tempat air), sehingga menimbulkan bekas di dadanya, ia
menggiling dengan gilingan sehingga tangannya bengkak, ia
membersihkan rumah sehingga pakaiannya kotor, ia
menyalakan api di bawah periuk. Ia betul-betul capai dengan
semua pekerjaan itu.”95

Putri Rasulullah ini tidak menganggap rendah pekerjaan di


dalam rumah. Ia tidak pula menolak melaksanakannya walaupun ia
anak manusia paling agung dalam Islam, bahkan di seluruh alam
sampai Ali merasa kasihan kepadanya dan memuji perbuatannya.

94
Al Hamid al Husaini, op. cit. hlm. 87.
95
Ibrahim Amini, op. cit., hlm. 60-61.
Fatimah hidup di rumah Ali dalam suasana yang sensitif dan
sangat mengkhawatirkan, ketika pasukan Islam senantiasa dalam
keadaan siaga dan terlibat dalam peperangan-peperangan yang
membinasakan setiap tahun, di mana suaminya ikut pada sebagian
besarnya.
Fatimah juga sangat mengerti tentang tanggung jawabnya yang
berat dan peranan serta pengaruhnya terhadap suaminya.
Sesungguhnya seorang wanita mempunyai pengaruh yang besar
terhadap suaminya. Ia dapat mengarahkan si suami ke mana saja ia
sukai. Kebahagiaan dan kesusahan seorang suami, kemajuan dan
kemundurannya, ketenangan dan kesedihannya, serta keberhasilan dan
kegagalannya mempunyai kaitan yang kuat dengan istrinya dan
perlakuan istri terhadapnya di dalam rumah.
Rumah merupakan benteng tempat seorang suami berlindung
dari keletihan-keletihan kehidupan, kesulitan-kesulitan dunia, dan
bencana-bencana masyarakat dan umat. Di dalamnya ia beristirahat,
mengembalikan kekuatannya, dan mempersiapkan bekal untuk
menghadapi episode berikut kehidupan. Dan istrilah orang pertama
yang bertanggung jawab terhadap tempat berlindung dan beristirahat
itu. Karenanya orang-orang mengatakan-sebagaimana keterangan dari
Imam Musa bin Ja’far bahwa jihad seorang istri adalah berlaku baik
terhadap suami.
Fatimah Az-Zahra hidup di samping suaminya dengan perasaan
bangga dan penuh ketentraman. Ia selalu riang. Tidak ada perselisihan
yang tak dapat diselesaikannya dengan baik. Ia menyadari dirinya
sebagai istri seorang pejuang Islam yang senantiasa sanggup
berkorban. Seorang yang selalu mengibarkan panji-panji perjuangan.
Fatimah sadar bahwa dirinya harus dapat menjadi istri yang sepadan
dengan kedudukan suaminya sebagai pejuang Islam.
Terhadap suaminya ia bersikap seperti ibunya (Siti Khadijah
r.a.) kepada Rasulullah. Ia selalu menyertai beliau dalam perjuangan
menegakkan kebenaran Allah SWT. Ia menginsyafi bahwa dirinya
harus sanggup memperteguh kesabaran menghadapi kekerasan hidup
dan berbagai macam kesulitan, seperti yang dilakukan suaminya dalam
menghadapi rintangan kaum musyrikin yang selalu menghancurkan
agama Islam. Kenyataan menunjukkan bahwa Fatimah sanggup
menjadi istri yang demikian itu. Ia dapat menyesuaikan hidupnya
dengan tugas besar dan penting yang dipikulkan Allah ke atas
pundaknya.
Fatimah mengetahui bahwa panglima pasukan yang pemberani
ini (Ali) akan masuk ke medan perang dan mengalahkan
musuh bila ia tenteram dan tenang dengan istrinya serta
bahagia di dalam rumah. Imam Ali, pemimpin orang-orang
yang berperang dan berkorban untuk agama tentu kembali ke
rumah dengan tubuh yang letih dan lelah. Ia mendambakan
kehangatan, kasih sayang, dan cinta kasih dari istrinya yang
mulia ketika si istri membalut lukanya, membersihkan darah
dari tubuh dan pakaiannya, dan menanyakan berita-berita
peperangan.96

Fatimah senantiasa memberikan semangat kepada suaminya,


memuji keberanian dan pengorbanannya, dan membantunya untuk
menyiapkan diri untuk menghadapi peperangan berikutnya.
Tidak pernah Fatimah keluar rumah tanpa izin suaminya.
Tidak pernah ia membuat suaminya marah. Ia sadar betul
bahwa Allah tidak akan menerima perbuatan seorang istri yang
membuat marah suaminya sampai si suami ridha terhadapnya.
Sebaliknya, Fatimah juga tidak pernah marah terhadap
suaminya. Ia tidak pernah berdusta di rumahnya, tidak pernah
berkhianat terhadapnya dan tidak pernah melawannya dalam
urusan apapun. “Demi Allah,” kata Imam Ali, “aku tidak
pernah marah kepadanya dan tidak pernah menyusahkannya
sampai ia wafat. Ia juga tidak pernah membuatku marah dan
tidak pernah menentangku dalam urusan apapun.97

Sesungguhnya Fatimah dan Ali dapat hidup dalam kehidupan


yang paling menyenangkan, akan tetapi riwayat telah menunjukkan

96
Ibrahim Amini, op. cit. hlm. 63.
97
Ibid, hlm. 64.
bahwa kehidupan Fatimah dan Ali sederhana sekali dan sering
mengalami kesulitan. Semua itu untuk memberikan contoh kepada
kaum muslim tentang kehidupan sebuah masyarakat Islam berdasarkan
prinsip ajaran akhlak.
Seorang pemimpin harus menjadi tauladan, sebagai orang yang
menolak kemewahan hidup duniawi. Rasulullah selalu mengajarkan
agar setiap orang yang bekerja untuk perbaikan masyarakat, setiap
pendidik, setiap penguasa agar terlebih dahulu memperbaiki, mengajar,
dan memimpin dirinya sendiri dan keluarganya sebelum mengajak
orang lain dengan ucapan dan peringatan. Tingkah laku akan lebih
besar pengaruhnya daripada sekedar mengajak orang lain.
Untuk menciptakan keluarga yang baik sangat diperlukan
pengatur yang mampu mengelola rumah tangga dengan baik. Dalam
hal ini, Fatimah telah dengan ikhlas melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagai seorang istri. Terbentuknya masyarakat
bermoral sangat tergantung pada kondisi keluarga yang ada di
dalamnya Apabila keluarga itu baik, maka akan tebentuk masyarakat
yang baik pula. Dengan sifat taqwa yang dimilikinya, Fatimah Az-
Zahra telah memberikan teladan kepada masyarakat untuk membentuk
sebuah keluarga yang sakinah demi terwujudnya masyarakat yang
bermoral. Di sinilah letak peran Fatimah Az-Zahra sebagai seorang
istri yang menjadi teladan untuk menciptakan masyarakat yang
bermoral.

3. Fatimah Az-Zahra Sebagai Seorang Ibu


Mendidik anak termasuk tugas yang sangat berarti dan urusan
penting yang berat yang diletakkan pada pundak Fatimah, karena ia
memperoleh lima orang anak: Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum,
dan Muhsin yang meninggal keguguran ketika ia masih berupa janin di
dalam perut ibunya. Tinggallah baginya dua anak laki-laki dan dua
anak perempuan.
a. Kelahiran Hasan
Pada tanggal 15 Ramadhan, 3 H, Fatimah melahirkan putra
pertamanya, Hasan bin Abi Thalib.98
Putra pertama Fatimah ini terkenal dengan seorang yang
berjiwa tenang. Tutur katanya lembut dan ia pandai bergaul dan
menarik simpati orang. Karena sifat-sifatnya seperti itu, ia sangat
disenangi oleh kaum muda dari kalangan Anshar dan Quraisy.
Orang tua juga senang kepadanya mengingat kedudukan dan
martabatnya serta hubungannya yang sangat dekat dengan
Rasulullah SAW. Hasan memiliki sifat dermawan yang sangat
menonjol. Ia gemar memberikan pertolongan kepada orang lain
baik diminta atau tidak.99
b. Kelahiran Husain
Al Husain dilahirkan di Madinah tanggal 5 Sya’ban tahun
ke-4 H. Dilahirkan menjelang fajar, putra Fatimah ini disambut
dengan kegembiraan bercampur kecemasan. Beberapa saat sesudah
kelahirannya, Rasulullah SAW yang semula berwajah berseri,
mendadak nampak sedih. “Anak ini kelak akan dibunuh oleh
golongan angkara murka” ungkap Rasulullah. Seperti diketahui,
apa yang dikhawatirkan Rasulullah beberapa saat sesudah kelahiran
al Husain tersebut 56 tahun kemudian menjadi kenyataan.
Fatimah bukanlah wanita berpikiran cetak yang
membayangkan rumah sebagai lingkungan yang kecil dan sempit.
Sebaliknya, ia menganggap lingkungan rumah luas dan penting.
Baginya, rumah adalah pabrik untuk menghasilkan manusia-
manusia pengemban risalah. Rumah adalah perguruan tinggi untuk
mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Rumah adalah markas
untuk melatih pengorbanan, yang akan dipraktikkan nanti dalam
masyarakat di luar rumah.

98
Muhammad Abu Ordoni, op. cit. hlm. 139.
99
Al Hamid al Husaini, op. cit. hlm. 225.
Fatimah tidak merasa kurang sebagai wanita. Baginya
wanita adalah wujud yang disucikan, yang mempunyai kedudukan
tinggi dan posisi mulia. Dan Allah telah menyerahkan kepadanya
tanggung jawab yang paling sulit dan tugas penting yang paling
berat dalam kehidupan.
c. Kelahiran Zainab dan Ummu Kultsum
Fatimah juga diberkahi Allah dengan dua orang putri.
Mereka adalah Zainab al-Kubra dan Zainab ash-Shughra. Bersama
dengan Hasan dan Husain, kedua wanita itu sudah ditinggalkan
oleh ibundanya sejak masa anak-anak. Dalam usia yang masih
muda sekali ini, sebelum wafat Fatimah telah berpesan khusus
kepada Zainab al Kubra agar ia menjaga baik-baik kedua saudara
laki-lakinya itu.
Memang beban berat bagi Fatimah sebelum meninggal
dunia adalah keempat anaknya yang masih kecil itu. Dikisahkan
bahwa sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir
Fatimah tak dapat menahan kepedihan hatinya. Ia harus memenuhi
panggilan Ilahi pada usia yang begitu muda, 28 tahun. Sedangkan
anak-anaknya belum ada yang mencapai usia sepuluh tahun.100
Karena itulah Fatimah memikul tanggung jawab pendidikan.
Perkataan “pendidikan anak” memang singkat dan sederhana, namun
maknanya dalam, luas dan sangat berarti. Pendidikan bukan hanya
berarti seorang ayah memberikan makanan, minuman, dan pakaian,
dan berusaha mencari nafkah, sedangkan sang ibu menyiapkan
makanan, mencuci pakaian dan memperhatikan kebersihan anak, lalu
tidak ada tanggung jawab lain. Islam tidak merasa cukup dengan
batasan ini. Bahkan, ia menjadikan tanggung jawab kedua orang tua
jauh lebih besar daripada itu dalam pendidikan anak. Karena,
kepribadian seorang anak yang tak berdosa ketika dilahirkan,
tergantung pada pendidikan, pengawasan, dan aturan orang tuanya.

100
Al Hamid al Husaini, op. cit. hlm. 278.
Setiap perbuatan dan tingkah laku orang tua akan berpengaruh dalam
jiwa seorang anak yang halus. Si anak akan mengikuti mereka dan
merefleksikan tingkah laku mereka secara utuh bagaikan sebuah
cermin.
Jadi, jelaslah bahwa tanggung jawab kedua orang tua adalah
mengawasi anak-anak mereka dengan teliti, mempersiapkan masa
depan mereka dengan baik, dan menjaga fitrah mereka agar tak
bercampur dengan noda, karena Allah menciptakan mereka dalam
fitrah keimanan.
Fatimah, didikan wahyu yang tumbuh dalam asuhan kenabian
ini mengetahui metode-metode pendidikan Islam. Ia tidak
mengabaikannya dan tidak melupakan pengaruhnya terhadap anak,
mulai dari menyusui anaknya dengan air susunya sendiri sampai
perilakunya, perbuatannya, dan perkataannya. Fatimah mengetahui
bahwa ia harus mendidik para pemimpin yang akan
dipersembahkannya kepada masyarakat sebagai teladan Islam yang
hidup sebagai gambaran, hakikat dan model Al Qur;an yang
bergerak.101
Akan tetapi sangat disayangkan, sejarah tidak banyak mencatat
rincian dari metode yang lurus tersebut. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh karena program pendidikan pada saat itu berlangsung
tertutup di dalam rumah, sehingga orang lain tidak mengamati secara
rinci perilaku Ali dan Fatimah Az-Zahra baik perkataan dan perbuatan
terhadap mereka.
Namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa metode
Fatimah dalam pendidikan adalah metode Islam itu sendiri. Secara
singkat akan penulis tunjukkan beberapa pelajaran penting yang bisa
diambil dari dalam keluarga Fatimah dalam pendidikan anak-anaknya
antara lain:
a. Cinta dan kasih sayang.

101
Ibrahim Amini, op. cit. hlm. 102-103.
Sebagian orang membayangkan bahwa masa pendidikan
seorang anak dimulai ketika ia sudah dapat membedakan antara
sesuatu yang baik dan yang buruk, yang bagus dan yang jelek.
Pendidikan sebelum masa itu tidak akan ada hasilnya karena si
anak belum dapat menangkap apa-apa dari sekelilingnya dan
lingkungannya.
Pendapat tersebut jelas tidak benar. Pakar-pakar pendidikan
menekankan bahwa semua kejadian dan peristiwa yang terjadi di
lingkungan seorang anak pada masa dininya, juga cara perlakuan
kedua orang tua , temasuk cara penyusuannya, sangat berpengaruh
terhadap si anak dan perkembangan kepribadiannya di masa
mendatang.
Ahli-ahli psikologi dan pendidikan telah menetapkan bahwa
di awal dan akhir masa kanak-kanak, seorang anak sangat
membutuhkan cinta dan perhatian orang lain. Ia menghasratkan
cinta dan keterkaitan (kedekaatan) ibu dan ayah kepadanya. Setelah
itu, tidak penting lagi apakah ia hidup di istana atau di gubuk yang
kosong, memakai pakaian yang bagus atau jelek, dan memakan
makanan yang enak dan baik atau tidak, selama ia merasakan
kehangatan, kelembutan dan kasih sayang yang dapat memuaskan
perasaannya.
Hati ibu yang penuh kasih sayang dan asuhannya yang
hangat serta cinta ayah yang tulus dan belas kasihnya akan
memancarkan pada diri anak sumber-sumber kebaikan, semangat
tolong menolong, serta cinta dan sayang kepada orang lain. Kasih
sayang ini akan menyelamatkannya dari kelemahan dan ketakutan
akan kesendirian dan akan memberinya harapan dalam kehidupan.
Sikap yang benar dan cinta yang dalam dan murni ini akan
menumbuhkan benih kebaikan dan kebiasaan yang bagus pada diri
anak. Cinta ini akan membuatnya berjiwa sosial, suka menolong
dan melayani orang lain, menunjukannya jalan kebahagiaan, dan
mengeluarkannya dari perilaku menarik diri dan lari dari
kenyataan. Sebaliknya seorang anak yang yang tidak mendapatkan
cinta dan kasih sayang akan tumbuh sebagai seorang anak yang
penakut, pemalu, lemah, penyendiri, pemurung, dan selalu
bersedih. Ia akan berusaha menunjukkan bahwa ia tidak
membutuhkan masyarakat. Ia pun melakukan kejahatan, seperti
mencuri dan membunuh, untuk memberi balasan kepada
masyarakat yang tidak memberinya cinta, kasih sayang, agar
masyarakat mengerti bahwa ia tidak lagi membutuhkan cinta
mereka yang tidak ia mereka berikan dahulu.
Ketika Nabi melewati rumah Fatimah dan mendengar
Husain menangis. Maka beliau mengatakan,”Apakah kamu
tidak tahu bahwa tangisannya itu menyakitiku?”102

Nabi begitu mencintai Hasan dan Husain. Pada suatu hari


beliau memasuki rumah Fatimah sebagaimana yang beliau lakukan
setiap hari sejak lahirnya anak-anak itu. Beliau masuk dan melihat
keduanya sedang tidur, sedang Hasan lapar dan menangis. Beliau
tak mendapatkan makanan. Beliau tak sampai hati membangunkan
orang-orang yang paling beliau cintai itu. Dengan tenang dan tak
beralas kaki beliau pergi ke biri-biri yang ada di rumah itu,
memerahnya lalu memberikan susu kepada anak itu sehingga ia
tenang.103
Jadi, cinta dan kasih sayang termasuk kebutuhan yang
paling penting dalam pendidikan anak. Pelajaran ini telah
dipraktekkan dengan sangat cermat di dalam rumah Fatimah.
Rasulullah telah mengajarkan hal itu kepada putrinya dalam praktik
nyata.

102
Ibid. hlm. 71.
103
Ali Syari'ati, Fatimah Az Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2006), hlm. 214-215.
b. Menumbuhkan kepribadian
Para ahli psikologi mengatakan bahwa seorang pendidik
harus menumbuhkan pada anak sikap percaya diri, menghormati
orang lain, dan bercita-cita tinggi. Ia harus menghargi pribadi dan
keberadaannya, agar ia jauh dari perbuatan jelek dan tidak
menyerah karena merasa hina dan rendah. Sebaliknya jika si
pendidik meremehkannya, tidak menghormatinya, dan
menghancurkan pribadinya, maka ia akan tumbuh menjadi seorang
penakut, minder, dan tidak percaya diri. Ia tidak berani melakukan
pekerjaan-pekerjaan besar, karena ia merasa lemah dan tidak
mampu mengerjakannya. Orang-orang demikian tidak akan
memiliki peran dalam kehidupan dan masyarakat, cepat tunduk
karena merasa hina dan rendah, dan segera menyerah karena
mendapat kesulitan.
Menumbuhkan kepribadian dapat dilakukan dengan
memberikan dorongan-dorongan kepada anak agar mempunyai
sifat-sifat yang terpuji dengan menyebutnya di hadapan orang lain
serta mengajarkannya untuk memiliki pribadi kuat dan terhormat.
Nabi sedang berbicara di atas mimbar, sedang Hasan berada
di sisinya. Sekali waktu ia memandang orang-orang, sekali
waktu ia memandang Nabi. Lalu Nabi mengatakan,
‘Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin.’”
Fatimah dan kedua anaknya Hasan dan Husain, datang ke
tempat Rasulullah. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah,
kedua anakmu ini adalah anak-anakmu. Warisilah mereka
berdua sesuatu.”Maka Nabi mengatakan, “Untuk Hasan
kewibawaanku dan kedudukanku, sedangkan untuk Husain
keberanianku dan kedermaawananku.”104
c. Menjadi teladan yang baik
Seorang wanita muslimah harus bisa menampilkan perilaku
publik maupun personal yang mencitrakan prinsip-prinsip agama
dan dakwahnya. Masalah ini sebenarnya adalah lanjutan dari
kewajiban wanita muslimah. Mewujudkan syarat-syarat

104
Ibrahim Amini, op. cit. hlm. 73-74.
keteladanan adalah tanda keikhlasan dan jalan mempengaruhi
orang lain. Oleh karena itu, tingkah laku seorang wanita muslimah
harus bisa lebih fasih dalam menyuarakan dakwah dan lebih kuat
pengaruhnya daripada ucapan dan penuturannya.
Seorang wanita muslimah harus bisa menjadi teladan
pertama bagi anak-anaknya yang cepat sekali meniru dan
terpengaruh dengan tingkah lakunya. Sebab anak adalah titipan
terbesar setelah agama. Kepada para wanita hendaknya membentuk
diri mereka dengan prinsip-prisnip kebaikan sehingga mereka akan
menjadi teladan yang baik dan ditiru anak.105
Imam Ghazali mengatakan bahwa anak adalah amanat pada
kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata
bening yang kosong dari segala pahatan dan gambar. Ia siap
menerima segala sesuatu yang dipahatkan kepadanya dan
mencenderungi segala sesuatu yang dicenderungkan
kepadanya. Jika dibiasakan dengan kebaikan dan dididik
melakukannya maka ia akan tumbuh dengan kebaikan.
Sebaliknya jika ia dibiasakan berbuat buruk dan diacuhkan
tanpa pendidikan maka ia akan celaka dan binasa, dan dosa
akan ditanggung oleh orang yang dipasrahinya.106
Anak-anak meniscayakan teladan di dalam keluarganya,
dan kedua orang tuanya adalah model teladan yang terbaik baginya.
Melalui keduanyalah ia menyerap prinsip-prinsip keislaman sejak
dini dan menempuh kelurusan jalannya. Barangkali apa yang
diciptakan Allah dalam karakter jiwa manusia berupa
kecenderungan untuk meniru inilah yang dijadikan pertimbangan
oleh para pakar pendidikan untuk meletakkan pendidikan
keteladanan di urutan pertama daftar metodologi pendidikan.
Fatimah Az-Zahra telah menanamkan kebiasaan-kebiasaan
yang baik dan sifat-sifat yang tepuji pada diri anak-anaknya sejak
dini. Ketika Hasan dan Husain jatuh sakit, Nabi bersama Abu

105
, Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal,
Membangun Keluarga Qur’ani, terj. Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha Wijayati, (Jakarta:
Amzah, 2005) Cetakan I, hlm. 286.
106
Ibid, hlm. 310.
Bakar dan Umar menjenguknya kemudian Nabi berkata “Wahai
Abal Hasan, jika engkau bernazar untuk kedua anakmu, tentu Allah
akan menyembuhkan mereka.” Lalu Ali berkata, “Aku akan
berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah.”
Begitu juga yang diucapkan oleh Fatimah dan kedua putranya.
Akhirnya mereka berpuasa selama tiga hari tanpa ada makanan
untuk berbuka karena Allah telah menguji kesabaran mereka
dengan mendatangkan fakir miskin selama tiga hari berturut-turut
ketika menjelang berbuka puasa. Fatimah Az-Zahra telah
memberikan teladan yang nyata bagi kedua putranya tentang
pelajaran mengutamakan orang lain atas diri sendiri.
d. Pelajaran iman dan taqwa
Rasulullah menanamkan ajaran-ajaran agama di rumah
Fatimah sejak masa kanak-kanak yang paling awal dan masa
penyusuan. Ketika Hasan dilahirkan, beliau mengazaninya di
telinga yang kanan dan mengiqamahinya di telinga yang kiri.
Ketika Husain dilahirkan, beliau juga melakukan hal yang sama.
Abu Abdillah mengatakan bahwa Rasulullah melakukan
sholat, sedang Husain di sampingnya. Rasulullah bertakbir,
namun Husain tidak bertakbir. Sampai Rasulullah bertakbir
tujuh kali barulah Husain bertakbir.107
Jadi, Rasulullah mengajarkan pendidikan rohani sebagai hal
yang sangat penting sejak masa kelahiran. Hal ini melahirkan
konsep pendidikan Islam seperti yang dikemukakan oleh Abdullah
Nashih Ulwan bahwa Tugas seorang pendidik adalah
menumbuhkan dan membesarkan anak atas dasar konsep
pendidikan iman dan atas dasar ajaran-ajaran Islam sehingga ia
terikat oleh akidah dan ibadah Islam dan berkomunikasi dengan-
Nya lewat sistem dan peraturan Islam. Setelah pengarahan dan
bimbingan ini, ia tidak mengenal selain Islam sebagai agama, al-

107
Ibrahim Amini, op. cit. hlm. 75.
Qur’an sebagai iman, dan Rasulullah SAW sebagai pimpinan dan
panutan.108

Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah.


Maka kedua orang tuanyalah yang mendidiknya menjadi Yahudi,
Nashrani, atau Majusi.
Rumah memiliki peranan yang sangat penting untuk
menjadi salah satu media pendidikan anak. Sebab lingkungan
pertama yang dilihat anak adalah rumah dan keluarganya.
Gambaran hidup yang pertama-tama terbentuk di alam pikirannya
adalah apa yang dilihatnya dari kondisi keseharian keluarga di
dalam rumah dan cara hidup mereka. Jiwa anak kecil sangat
fleksibel, menyerap segala sesuatu dan terpengaruh dengan segala
pengaruh yang terjadi di lingkungannya pertama ini.
Fatimah, didikan wahyu yang tumbuh dalam asuhan
kenabian ini mengetahui metode-metode pendidikan Islam. Ia tidak
mengabaikannya dan tidak melupakan pengaruhnya terhadap anak,
mulai dari menyusui anaknya dengan air susunya sendiri sampai
perilakunya, perbuatannya, dan perkataannya. Fatimah mengetahui
bahwa ia harus mendidik para pemimpin yang akan
dipersembahkannya kepada masyarakat sebagai teladan Islam yang
hidup sebagai gambaran, hakikat dan model Al Qur’an yang
bergerak. Jelas pekerjaan ini tidak mudah. Fatimah tahu bahwa ia
harus mendidik orang seperti Hasan dan Husain, yang rela
mengorbankan dirinya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan
penolong-penolongnya di jalan Allah, demi membela agama dan
mencegah kedzaliman, agar ia dapat mengairi pohon Islam dengan
darahnya.

108
Abdullah Nashih Ulwan, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, terj. Khalilullah Ahmas
Masjkur Hakim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), Cetakan I, hlm. 143.
109
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah), hlm. 2047.
Fatimah bukanlah wanita berpikiran cetak yang
membayangkan rumah sebagai lingkungan yang kecil dan sempit.
Sebaliknya, ia menganggap lingkungan rumah luas dan penting.
Baginya, rumah adalah pabrik untuk menghasilkan manusia-
manusia pengemban risalah. Rumah adalah perguruan tinggi untuk
mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Rumah adalah markas
untuk melatih pengorbanan, yang akan dipraktikkan nanti dalam
masyarakat di luar rumah.
Fatimah tidak merasa kurang sebagai wanita. Baginya
wanita adalah wujud yang disucikan, yang mempunyai kedudukan
tinggi dan posisi mulia. Dan Allah telah menyerahkan kepadanya
tanggung jawab yang paling sulit dan tugas penting yang paling
berat dalam kehidupan.
BAB IV
FATIMAH AZ-ZAHRA: PROFIL WANITA IDEAL
A. Telaah Pandangan Ibrahim Amini Mengenai Kepribadian Fatimah
Az-Zahra

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, Ibrahim Amini dalam


bukunya al Mar’ah an Namudzjiyyah fi al Islam mengkaji kehidupan
Fatimah Az-Zahra mengenai akhlak, perilaku, dan kehidupan pribadi
Fatimah Az-Zahra. Beliau bermaksud hendak mengungkap sejarah
kehidupan Fatimah Az-Zahra yang masih sedikit sekali ditemukan dalam
sumber-sumber dan referensi-referensi induk Islam.
Hal ini dikarenakan usia Fatimah Az-Zahra yang singkat dan ketika
Fatimah belum berusia 18 tahun, tidak diperhatikan orang-orang dengan
baik karena usianya yang belum dewasa. Selain itu, Fatimah juga
menghabiskan sebagian besar kehidupannya di dalam rumah sehingga
jarang orang yang mengetahui kehidupan di dalam rumah tangganya
dalam bentuk yang sempurna.
Pada akhirnya hal tersebut yang mendorong Ibrahim Amini untuk
berusaha membuat gambaran yang utuh tentang Fatimah Az-Zahra dengan
melakukan analisis dan kajian terhadap nas-nas yang ada. Jika banyak ahli
sejarah yang menukil apa yang terjadi di dalam kenyataan saja, maka
dalam beberapa hal Ibrahim Amini melampaui langkah-langkah tersebut
yaitu dengan melakukan penguraian, analisis dan penarikan kesimpulan.
Menurut Ibrahim Amini, tidak diragukan lagi bahwa Fatimah Az-
Zahra adalah wanita terbaik di seluruh alam dan menjadi teladan wanita
muslimah karena dia satu-satunya wanita yang hidup dalam naungan
ayahandanya yang maksum, suaminya dan dirinya sendiri juga telah
disucikan dari dosa, berdasarkan firman Allah:

ÇÌÌÈ #ZŽ•ÎgôÜs? ö/ä.t•ÎdgsÜãƒur ÏMø•t7ø9$# Ÿ@÷dr& }§ô_Íh•9$# ãNà6Ztã |=Ïdõ‹ã‹Ï9 ª!$# ߉ƒÌ•ãƒ $yJ¯RÎ)
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Q. S. Al
Ahzab: 33) 110

Ibrahim Amini telah melakukan analisis yang mendalam terhadap


Fatimah Az-Zahra melalui ayat ini. Menurutnya, ayat ini menyatakan
bahwa Allah ingin menyucikan ahlulbait dari kotoran batiniyah yaitu dosa
dan maksiat terhadap Allah karena iklim tempat Fatimah Az-Zahra adalah
iklim kesucian dan beliau menghabiskan masa kanak-kanaknya dalam
pengasuhan Nabi yang mulia serta pernikahan, pengaturan rumah tangga
dan pendidikan anak-anaknya berada dalam pribadi yang mulia dalam
Islam yakni Ali bin Abi Thalib.

B. Relevansi Akhlak Fatimah Az-Zahra dengan Konsep Wanita Shalihah


Menurut Al Qur’an

Kriteria utama untuk menyebut seorang wanita sebagai wanita


shalihah adalah taat kepada agamanya. Jadi penampilan dirinya merupakan
realisasi dari ajaran agamamnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam surat
An Nisa’ ayat 34 pada pembahasan dalam bab III sebelumnya.
Secara global dapat dikatakan bahwa wanita shalihah adalah wanita
yang taat dan tunduk kepada agamanya yakni selalu mendekatkan diri dan
takwa kepada Allah. Mengenai sifat-sifat orang bertakwa, telah
diterangkan dalam Al Qur’an sebagai berikut:

Ç`tã tûüÏù$yèø9$#ur xáø‹tóø9$# tûüÏJÏà»x6ø9$#ur Ïä!#§ŽœØ9$#ur Ïä!#§Žœ£9$# ’Îû tbqà)ÏÿZムtûïÏ%©!$#

÷rr& ºpt±Ås»sù (#qè=yèsù #sŒÎ) šúïÏ%©!$#ur ÇÊÌÍÈ šúüÏZÅ¡ósßJø9$# •=Ïtä† ª!$#ur 3 Ĩ$¨Y9$#

ª!$# žwÎ) šUqçR—%!$# ã•Ïÿøótƒ `tBur öNÎgÎ/qçRä‹Ï9 (#rã•xÿøótGó™$$sù ©!$# (#rã•x.sŒ öNæh|¡àÿRr& (#þqßJn=sß

ÇÊÌÎÈ šcqßJn=ôètƒ öNèdur (#qè=yèsù $tB 4’n?tã (#r•ŽÅÇムöNs9ur

110
Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahnya, (Surabaya: Pustaka Agung
Harapan, 2006), hlm. 597.
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang
ataupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu
memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang mampu
mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Ali Imran: 134-135)111

Menurut ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat orang


bertakwa adalah berbuat kebajikan dan menghindari perbuatan buruk.
Sikap takwa yang dimiliki wanita shalihah dapat melahirkan perbuatan
atau tingkah laku yang sesuai dengan ajaran agama. Sifat-sifat ketakwaan
yang dimiliki wanita shalihah ini tercermin pada diri Fatimah Az-Zahra.
Ibrahim Amini menyebutkan bahwa Fatimah memiliki karakter
yang terpuji berupa kesabaran, belas kasihan, kelapangan dada,
kewibawaan, dan selalu memelihara kesucian diri. Fatimah berada pada
puncak kesucian diri dan kejujuran. Ia seorang yang tak bernoda dan
shaleh. Hawa nafsunya tak dapat mengalahkannya. Bahkan ia berada
dalam kesucian dan kesalehan yang sangat tinggi yang telah disebutkan
Allah dalam firman-Nya. Apabila ada seorang laki-laki yang ingin
berbicara dengannya, maka ia akan melayaninya dari balik hijab yang
memisahkannya dari orang tersebut agar dengan cara tersebut ia bisa
terpelihara dengan pandangan laki-laki lain yang bukan muhrimnya.
Fatimah sangat bersabar dalam menjalani hidupnya yang susah. Ia
menghadapinya dengan sifat qanaah. Ia selalu memuji Allah atas
kehidupannya itu dan rela pada kehidupannya. Perhatian Fatimah dalam
hidupnya adalah kehidupan akhirat. Ia tidak bersenang-senang dengan
kemegahan dunia dan keindahannya.112
Fatimah juga tidak pernah memiliki angan-angan panjang dalam
menjalani hidupnya. Dia hidup penuh dengan sifat-sifat mulia seperti

111
Ibid, hlm. 84.
112
Taufik Abu 'Alam al-Mishri, Fatimah az Zahra Ummu Abiha, (Bandung: Pustaka
Pelita, 1999), Cetakan I, hlm. 111.
qana’ah, tidak tamak, dan merasa berkecukupan dari keadaan yang
dihadapinya. Fatimah juga selalu berada dalam bayang-bayang sifat
ayahnya seperti murah tangan dan kedermawanannya. Fatimah adalah
orang yang sangat mengutamakan orang lain atas dirinya sendiri.
Wajar saja Fatimah demikian. Ia adalah anak dari sebuah rumah di
mana Al Qur’an diturunkan. Ia diasuh oleh wahyu dan pemimpin semua
Rasul yang paling banyak beribadah kepada Allah. Ia mendengar ayat-
ayat Al Qur’an dibacakan kepadanya di tengah malam dan siang hari.
Ayahnya memang selalu mengajarkan kepada Fatimah untuk senantiasa
bersabar dari kepahitan-kepahitan hidup di dunia agar kelak memperoleh
kenikmatan abadi di akhirat.
Fatimah tumbuh menjadi seorang putri yang memberikan teladan
dalam sifat-sifatnya yang agung. Dia menyandang secara sempurna sifat-
sifat seperti rasa kemanusiaan, tanggung jawab, harga diri, kesucian,
kepedulian sosial, kecerdasan dan berilmu pengetahuan yang luas.
Satu hal yang perlu disebutkan adalah bahwa jika musibah dan
kesulitan menimpa seorang anak, maka hal itu akan membuat jiwanya
lemah. Akan tetapi kesulitan-kesulitan yang dialami Fatimah Az-Zahra
justru semakin membuatnya kuat dan menghaluskan kepribadiannya,
menerangi jiwanya.
Beberapa cobaan berat terhadap ayahnya disaksikan sendiri di saat
usianya masih sangat muda. Fatimah, juga ikut merasakannya. Semua
pengalaman yang serba berat dan keras turut membentuk kepribadian dan
memberinya pelajaran kepadanya tentang bagaimana cara menghadapi
kehidupan dan cobaan yang mungkin akan dialaminya sendiri. Semua itu
merupakan ujian iman untuk dapat dengan teguh menghadapi berbagai
kesukaran dan kesulitan.
Fatimah telah ikut memberikan pengorbanan dan memikul
pemboikotan dan kesulitan untuk membantu ayahandanya menyebarkan
agama Allah, menyiarkan kalimat tauhid, dan mengibarkan panji keadilan.
Beliau selalu setia mendampingi ayahnya untuk menyelamatkan manusia
dalam memberi petunjuk kepada umat manusia kepada tujuan-tujuan yang
suci. Dengan demikian, Fatimah Az-Zahra telah memberikan peranan
penting sebagai seorang wanita shalihah yaitu ikut menyebarkan nilai-nilai
moral untuk bisa mewarnai kehidupan manusia.
Sebagai seorang istri, Fatimah telah menunjukkan bahwa ia telah
melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang besar dalam rumah
tangganya. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:

113

Dan wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dimintai


pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Kewajiban wanita dalam keluarga yang pokok adalah mengatur rumah
tangga, termasuk di dalamnya menerima kepemimpinan suaminya. Fatimah
telah menggambarkan petunjuk-petunjuk rumah tangga teladan dalam
Islam secara jelas. Ia telah memberikan pelajaran nyata untuk wanita-
wanita di dunia tentang kesetiaan, cinta, keharmonisan, pelaksanaan
kewajiban-kewajiban rumah tangga dan pemeliharaan kehangatannya.
Putri rasul ini tidak menganggap rendah pekerjaan di dalam rumah. Ia
tidak pula menolak melaksanakannya walaupun ia anak manusia paling
mulia.
Dalam riwayat dikatakan, ketika Fatimah menceritakan keadaannya
dan meminta seorang hamba sahaya, Rasulullah menangis kemudian
mengatakan, “Wahai Fatimah, demi Allah yang mengutusku dengan
kebenaran, sesungguhnya di dalam masjid terdapat empat ratus orang yang
tidak mempunyai makanan dan pakaian. Seandainya aku tidak takut kayu
yng berduri, niscaya aku berikan apa yang kamu minta. Wahai Fatimah,
aku tidak ingin pahalamu lepas kepada seorang hamba sahaya, dan aku
khawatir Ali bin Abi Thalib pada hari kiamat nanti di hadapan Allah akan
bermusuhan denganmu jika ia meminta haknya darimu. Kemudian
Rasulullah mengajarinya sholat tasbih.

113
Imam bukhari, Shahih Bukhari, Juz V, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah), hlm. 474.
Fatimah juga sangat mengerti tentang tanggung jawabnya yang
berat serta pengaruhnya terhadap suaminya. Sudah menjadi kewajiban
seorang wanita shalihah untuk taat kepada suami maksudnya
mendahulukan segala perintahnya daripada keperluan diri sendiri atau
lainnya. Kewajiban wanita dalam keluarga yang pokok adalah mengatur
rumah tangga, termasuk di dalamnya menerima kepemimpinan suami atau
mentaatinya. Apabila istri sudah mengetahui kewajibannya dan
melaksanakannya, maka suami tidak boleh mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya atau dengan kata lain suami harus memenuhi hak-
haknya.
Sesungguhnya wanita memiliki pengaruh yang besar terhadap
suaminya. Kebahagiaan dan kesusahan seorang suami, kemajuan dan
kemundurannya, ketenangan dan kesedihannya, serta keberhasilan dan
kegagalannya mempunyai kaitan yang kuat dengan istri dan perlakuan istri
terhadapnya di dalam rumah.
Fatimah senantiasa memberikan semangat kepada suaminya,
memuji keberanian dan pengorbanannya, dan membantunya untuk
menyiapkan diri menghadapi peperangan berikutnya. Ia menghilangkan
sakitnya, membuang keletihannya. Tidak pernah Fatimah keluar tanpa
seizin suaminya. Tidak pernah ia membuat suaminya marah. Ia sadar betul
bahwa Allah tidak akan menerima perbuatan seorang istri yang membuat
marah suaminya sampai suaminya ridha terhadapnya. Sebaliknya, Fatimah
tidak pernah marah terhadap suaminya, ia tidak pernah berdusta di
dalamnya.
Rumah tangga Ali dan Fatimah adalah rumah tangga yang
menghimpunkan suami istri yang maksum dan mempunyai sifat-sifat
akhlak yang utama. Ali dan Fatimah masing-masing merupakan pria dan
wanita teladan yang sempurna dalam Islam. Ali tumbuh sejak masa
mudanya di tangan Rasulullah dan merupakan pusat perhatian beliau.
Beliau memberinya ilmu, akhlak, keutamaan, dan kesempurnaan.
Demikian pula halnya dengan Fatimah.
Sejak kecil telinga kedunya telah senang mendengarkan Al
Qur’anul Karim. Mereka mendengarkan Nabi membacanya siang dan
malam dalam berbagai kesempatan. Mereka menimba ilmu dan
pengetahuan Islam dari mata airnya yang asli yaitu dari dalam pribadi
Rasulullah SAW. Rumah tangga Ali dan Fatimah merupakan contoh yang
mengagumkan dalam hal kemurnian, ketulusan, dan kasih sayang. Mereka
saling menolong dengan serasi dan tulus dalam mengatur urusan rumah
tangga dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya.
Untuk menciptakan keluarga yang baik sangat diperlukan pengatur
yang mampu mengelola rumah tangga dengan baik. Dalam hal ini,
Fatimah telah dengan ikhlas melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagai seorang istri. Terbentuknya masyarakat bermoral sangat
tergantung pada kondisi keluarga yang ada di dalamnya. Apabila keluarga
itu baik, maka akan tebentuk masyarakat yang baik pula untuk membentuk
sebuah keluarga yang sakinah demi terwujudnya masyarakat yang
bermoral.
Dalam menciptakan kehidupan yang bermoral, peran Fatimah
sangatlah besar karena dengan sifat-sifat taqwanya secara langsung
ataupun tidak dapat memberikan teladan kepada kepada masyarakat.
Disamping itu ia juga menjadikan keluarga sakinah sebagai cikal bakal
terbentuknya masyarakat bermoral.
Sebagai seorang ibu, Fatimah yang tumbuh dalam asuhan kenabian
ini mengetahui metode-metode pendidikan Islam. Ia tidak
mengabaikannya dan tidak melupakan pengaruhnya terhadap anak, mulai
dari menyusui anaknya dengan air susunya sendiri sampai perilakunya,
perkataannya dan perbuatannya.
Wanita diciptakan dengan dibekali sifat-sifat khas, diantaranya
adalah sifat-sifat keibuan. Kelemahlembutan dan perasaan kasih sayang
yang lebih dibanding laki-laki merupakan sifat-sifat unggul yang
dikaruniakan Allah kepadanya karena ia mempunyai tugas dalam
hidupnya yakni menjadi ibu.
Wanita dikodratkan untuk mengandung, melahirkan bayi serta
merawatnya. Firman Allah:

Èbr& Èû÷ütB%tæ ’Îû ¼çmè=»|ÁÏùur 9`÷dur 4’n?tã $·Z÷dur ¼çm•Bé& çm÷Fn=uHxq Ïm÷ƒy‰Ï9ºuqÎ/ z`»|¡SM}$# $uZøŠ¢¹urur

玕ÅÁyJø9$# ¥’n<Î) y7÷ƒy‰Ï9ºuqÎ9ur ’Í< ö•à6ô©$#


Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dengan tulus dan ikhlas ia akan menjalaninya sesuai
kemampuannya. (Q. S. Luqman: 14)114

Ayat tersebut menggambarkan pengorbanan seorang ibu demi


kebaikan anaknya. Seorang ibu yang baik tidak akan menyia-nyiakan
naluri keibuan yang dianugerahkan Allah kepadanya
Fatimah mengetahui bahwa peran ibu dalam membentuk
kepribadian anak sangatlah besar, karena antara ibu dan ayah yang paling
dekat dengan anak sejak bayi adalah ibu. Dengan begitu, ibu banyak
mempengaruhi perkembangan anak. Mengingat periode pertama anak
sebagian besar dihabiskan dalam pelukan seorang ibu, maka bagi wanita
shalihah yang menjadi ibu, kesempatan itu akan dimanfaatkan untuk
merawat dan memberikan pengaruh positif pada anak.
Termasuk memberikan perawatan yang terbaik adalah memenuhi
kebutuhan fisik dan psikisnya. Memenuhi kebutuhan fisik di antaranya
adalah memberikan ASI kepada anaknya. Sedangkan memberikan
kebutuhan psikis adalah memberikan kasih sayang dan pendidikan yang
baik.
Kasih sayang adalah kebutuhan naluriah manusia, terutama bagi
anak-anak. Dalam membimbing anak di masa perkembangannya, seorang
ibu hendaknya memperhatikan unsur kasih sayang. Anak yang mendapat
kasih sayang yang cukup akan mengalami perkembangan dengan normal.
Oleh karena itu seorang ibu harus mencurahkan kasih sayangnya secara

114
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 581
penuh terhadap anaknya. Dengan kasih sayang tersebut, ibu dapat
membentuk pribadi anak menjadi lebih baik.
Peran ibu dalam membentuk kepribadian anak juga sangatlah
besar, karena di antara ibu dan ayah yang paling dekat dengan anak sejak
bayi adalah ibu. Dengan begitu, ibu banyak mempengaruhi perkembangan
anak. Mengingat periode pertama anak sebagian besar dihabiskan dalam
pelukan ibu, maka bagi wanita shalihah yang menjadi ibu, kesempatan
seperti itu akan dimanfaatkan untuk memberi pengaruh positif bagi anak.
Misalnya dengan menumbuhkan potensi baik dari diri anak dan
menyingkirkan potensi buruknya.
Ibu yang baik akan melahirkan anak yang baik sebab ia pula yang
paling banyak mempengaruhi pertumbuhannya. Sementara ibu yang jahil
dan tidak agamis akan menjatuhkan keluarganya pada kehancuran
sehingga anak-anaknya menerima dampaknya yakni berupa lingkungan
yang kurang edukatif. Sedangkan wanita shalihah dengan sifat-sifat mulia
yang dimilikinya tentu dapat memberikan teladan yang baik bagi anak dan
mendidik anak dengan pendidikan yang berdasarkan agama.
Mengenai hal ini, sebagaimana dikutip oleh M. Thalib, Imam
Ghozali berkata :
“Bahwa melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting
sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tua. Hati anak suci
bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari ukiran serta gambaran, ia
dapat menerima segala yang diukir diatasnya, dan apabila
dibiasakan ke arah kebaikan, jadilah ia baik, tetapi jika sebaliknya,
dibiasakan ke arah kejelekan, jadilah ia jelek.”115
Fatimah telah mendidik orang seperti Hasan agar tetap teguh dalam
posisinya yang sulit, serta Husain yang rela mengorbankan dirinya,
keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan penolong-penolongnya di jalan
Allah demi membela agama Allah dan mencegah kezaliman. Ia juga telah
mendidik wanita-wanita seperti Zainab dan Ummu Kultsum. Ia
mengajarkan kepada mereka pelajaran-pelajaran tentang pengorbanan,
penebusan diri, dan keteguhan di hadapan orang-orang zalim, sehingga

115
M. Thalib, Analisa wanita dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1996),
hlm.198.
mereka tidak takut dan tunduk kepada kekuatannya. Sebagai seorang ibu,
ia telah berhasil mendidik putra-putrinya dengan pendidikan yang
berdasarkan agama. Dia telah menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik
dan sifat-sifat yang tepuji pada diri anak-anaknya sejak dini.
Fatimah mengetahui bahwa anak bukan hanya sekedar buah hati
orang tua, tetapi juga amanah dari Tuhan yang wajib bagi semua orang tua
untuk mencetaknya menjadi generasi yang kuat, yang militan.
Demikianlah pesan Allah dalam Al Qur’an:

$¸ÿ»yèÅÊ Zp-ƒÍh‘èŒ óOÎgÏÿù=yz ô`ÏB (#qä.t•s? öqs9 šúïÏ%©!$# |·÷‚u‹ø9ur


Dan hendaklah takut kepada Alloh, orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak (keturunan) yang lemah. (Q.
S. An Nisa’: 9)116
Dan untuk bisa melaksanakan pesan Al Qur’an ini, peran wanitalah
yang sangat menetukan sekali. Sebab, ikatan lahir batin yang paling kuat
yang dimiliki oleh anak adalah dengan ibunya. Selama sembilan bulan
sepuluh hari dalam kandungan, maka interaksi sosial anak lebih banyak
dengan ibunya. Bahkan setelah lahir interaksi itu makin keras. Maka,
sepatutnyalah seorang ibu menjadi panutan yang baik bagi anak-anaknya.
Wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang
lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah
dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-
rangsangan yang diberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan
merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun
merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut
senang.
Inilah diantara tanggung jawab para orang tua, harus berusaha
semaksimal mungkin jangan sampai meninggalkan keturunan yang lemah
dalam arti lemah iman, aqidah, moral, ilmu, ekonomi, fisik. Seorang ibu
harus mampu menanamkan akidah sedini mungkin, sehingga anak

116
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 101.
meyakini bahwa dalam kehidupan tidak ada pengatur dan pengawas tujuan
hidup kita.
Islam menyuruh para pengikutnya untuk melatih anak-anak
melaksanakan sholat sejak usia tujuh tahun. Rasulullah menanamkan
ajaran-ajaran agama di rumah Az Zahra sejak masa kanak-kanak yang
paling awal dan masa penyusuan. Ketika Hasan dilahirkan, beliau
mengadzaninya di telinganya yang kana dan megiqamahinya di telinganya
yang kiri. Ketika Husain dilahirkan, beliau juga melakukan hal yang sama.
Jadi, Rasulullah menjadikan pemberian petunjuk dan pendidikan
rohani di rumah Fatimah sebagai hal yang sangat penting sejak masa
kelahiran. Karena itulah beliau mengadzankan dan mengiqamahkan di
telinga Hasan dan Husain agar hal itu menjadi pelajaran yang baik bagi
para pendidik.
Berdasarkan telaah yang sudah penulis lakukan terhadap
pandangan Ibrahim Amini mengenai akhlak Fatimah Az-Zahra yang telah
dipaparkan di atas, sangatlah relevan dengan konsep wanita shalihah
dalam Al Qur’an. Kriteria seorang wanita shalihah adalah taat dan
menjaga kesucian diri. Fatimah telah memenuhi kriteria tersebut dengan
mengamalkannya dalam praktek kehidupan nyata. Ia menyadari bahwa
wanita memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang mulia. Allah telah
menyerahkan kepadanya tanggung jawab yang sulit dan tugas yang berat
dalam kehidupan. Fatimah juga telah menunaikan kewajiban-
kewajibannya dan memberikan contoh yang utama tentang akhlak seorang
wanita Islam yang tinggi.
C. Tanggapan Penulis Terhadap Ibrahim Amini tentang Kepribadian
Fatimah Az-Zahra

Setelah penulis menelaah isi buku al Mar’ah an Namudzjiyyah fi al


Islam dengan menggunakan metode interpretatif yaitu menyelami buku
dengan setepat mungkin sehingga mampu mengungkapkan arti dan makna
uraian yang disajikan, dapat diambil kesimpulan bahwa Ibrahim Amini
hendak membuat gambaran yang utuh tentang Fatimah Az-Zahra dengan
melakukan analisis dan penguraian-penguraian.
Hal tersebut merupakan kelebihan Ibrahim Amini dalam
penyusunan buku karena beliau memiliki tujuan yang mulia yaitu ingin
menguraikan kepribadian luhur Fatimah Az-Zahra sehingga akhlak beliau
menjadi teladan bagi para wanita muslimah.
Menurut penulis, yang menjadi kelemahan dalam buku Fatimah
Az-Zahra al Mar ah an Namudzjiyyah fi al islam yaitu:
1. Ibrahim Amini hanya menggunakan referensi dari sumber-sumber
kajian yang fanatik dalam mengagungkan Fatimah Az-Zahra.

Hal ini disebabkan oleh latar belakang kehidupan Ibrahim


Amini yang berasal dari lingkungan yang sangat berlebihan dalam
mengagungkan ahlul bait Nabi yang salah satunya adalah Fatimah Az-
Zahra. Sejarah hidup manusia yang membentuk eksistensi dan
pengalaman individu tentu melekat pada individu itu sendiri tanpa bisa
dilepas. Mustahil manusia menghapus dan dan mengosongkan diri dari
sejarah hidupnya, karena jika demikian, dia sama dengan hewan yang
tak berakal. Oleh karena itu, ketika berempati kepada penggagas pada
saat itu dia sendiri membawa memori hidupnya. Memori hidup ini
yang dalam hermeneutika filosofis disebut pra pemahaman. Pra
pemahaman inilah yang menjadi pijakan awal dalam memahami objek
bacaan.117

2. Ibrahim Amini telah melampaui langkah-langkah dalam penyusunan


sebuah buku kajian sejarah.

Seharusnya Ibrahim Amini hanya menukil apa yang terjadi


dalam kenyataan saja sebagaimana yang dilakukan oleh ahli sejarah.
Akan tetapi beliau telah melakukan analisis, penguraian, dan penarikan

117
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneutis,
(Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang, 2009), hlm. 301.
kesimpulan sehingga Ibrahim Amini hanya menguraikan sisi positif
saja dari kepribadian Fatimah Az-Zahra. Padahal ahlul bait Nabi juga
manusia biasa yang memiliki kecenderungan untuk melakukan
kesalahan, meskipun dalam surat Al Ahzab ayat 33 telah dijelaskan
mengenai kesucian mereka.
Berdasarkan teori dalam perspektif hermeneutika filosofis
mengenai penjelasan terhadap surat al Ahzab ayat 33 tentang kesucian
para ahlul bait yang diantaranya adalah Fatimah Az-Zahra sebaiknya
dipahami bahwa dalam ayat tersebut sesungguhnya Allah ingin
menyucikan dan membersihkan ahlul bait dari perbuatan dosa. Ayat ini
sebaiknya dipahami dengan menggunakan model teori interpretasi Al
Qur’an Ibnu Rusyd yang bercorak romantis objektif dan bertujuan
menemukan pesan objektif dalam Al Qur’an. Hermeneutika romantis
mensyaratkan seorang pembaca secara eksistensial menduduki posisi
dan pengalaman yang sama dengan penggagas, sembari mengosongkan
diri dari sejarah hidup yang membentuk dirinya. Pada saat itu,
diasumsikan pembaca mampu menangkap pesan penggagas secara
objektif. 118
Latar belakang kehidupan Ibrahim Amini yang berasal dari
lingkungan yang mengagungkan ahlul bait memungkinkan Ibrahim
Amini untuk menggunakan ayat tersebut sebagai dasar utama dalam
penyusunan buku, sehingga Ibrahim Amini mengambil langkah-
langkah lebih jauh dengan melakukan analisis dan penguraian sehingga
menghasilkan kesimpulan bahwa seolah-olah Fatimah Az-Zahra adalah
manusia yang sempurna dan tidak pernah melakukan dosa. Padahal
tidak menutup kemungkinan kalau ahlul bait sebelumnya pernah
melakukan perbuatan salah dalam kehidupannya. Akan tetapi Allah
ingin mereka menyucikan dan membersihkan diri mereka dari
melakukan perbuatan dosa. Dan keinginan seperti ini secara tersirat

118
Ibid, hlm. 300.
juga diperuntukkan bagi seluruh manusia agar mereka juga menyucikan
diri mereka dari perbuatan dosa dan maksiat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mempelajari, mengkaji serta menganalisis
Kepribadian Fatimah Az-Zahra Binti Rasulullah SAW dan Peran
Edukatifnya dalam Keluarga serta membandingkannya dengan kriteria
wanita shalihah, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Wanita shalihah dalam surat An Nisa’ ayat 34 merupakan sosok wanita
yang mempunyai ciri taat dan memelihara diri. Taat yang dimaksud
adalah taat kepada Allah, yakni berpegang teguh pada ajaran agama,
dan taat kepada suami yakni menerima kepemimpinan suami dalam
kehidupan keluarga, karena surat An Nisa’ ayat 34 ini konteksnya
mengarah kepada kehidupan keluarga. Sedangkan memelihara diri
maksudnya adalah memelihara kehormatannya sebagai seorang wanita
berdasarkan hukum-hukum agama. Di samping itu, memelihara diri
tersebut juga mencakup pemeliharaan terhadap rumah tangganya
termasuk rahasia keluarga.

2. Kepribadian Fatimah Az-Zahra dan peran edukatifnya dalam keluarga


dapat dilihat dari posisinya dalam keluarga yakni sebagai seorang
putri, seorang istri dan seorang ibu. Sebagai seorang putri, Fatimah
Az-Zahra telah memberikan peranan penting sebagai seorang wanita
shalihah yaitu ikut menyebarkan nilai-nilai moral dalam keikutsertaan
dan kesetiaan mendampingi ayahnya untuk menyebarkan agama Islam.
Sebagai seorang istri, Fatimah Az-Zahra telah memberikan pelajaran
untuk para kaum wanita tentang bagaimana cara pemenuhan
kewajiban-kewajiban terhadap suami. Sebagai seorang ibu, Fatimah
telah berhasil membentuk generasi yang berkepribadian luhur.

3. Berdasarkan telaah penulis terhadap pandangan Ibrahim Amini dalam


bukunya al Mar’ah an Namudzjiyyah fi al Islam, kepribadian Fatimah
Az-Zahra mencerminkan kepribadian seorang wanita shalihah karena
relevan dengan konsep wanita shalihah yang dijelaskan dalam surat An
Nisa’ ayat 34. Hal ini dapat dilihat dari kriteria seorang wanita
shalihah adalah taat dan menjaga kesucian diri. Dalam buku karya
ibrahim Amini, Fatimah telah memenuhi kriteria tersebut dengan
mengamalkannya dalam praktek kehidupan nyata. Ia menyadari bahwa
wanita memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang mulia. Allah
telah menyerahkan kepadanya tanggung jawab yang sulit dan tugas
yang berat dalam kehidupan. Fatimah Az-Zahra juga telah menunaikan
kewajiban-kewajibannya dan memberikan contoh yang utama tentang
akhlak seorang wanita Islam yang tinggi.

B. Saran-saran
Sehubungan dengan pembahasan masalah dalam skripsi ini, maka
penulis memandang perlu untuk menyampaikan saran-saran kepada para
muslimah khususnya dan kaum muslimin umumnya.
Para muslimah hendaknya berpedoman kepada Al Qur’an dan As
Sunah dalam menghadapi kehidupan ini dengan menghayati serta
mengamalkan aturan-aturan yang ada di dalamnya sesuai kemampuannya
dengan berteladan pada perempuan yang menempatkan ketaatan kepada
Allah sebagai karakter utamanya yaitu Fatimah Az-Zahra. Jika para kaum
muslimah ingin menjadi perhiasan dunia yang paling indah, hendaklah
mereka meneladaninya karena beliau telah mencapai suatu tingkat
keimanan yang tinggi sebagai seorang wanita shalihah.
Dengan segala potensi yang dimiliki serta kodratnya sebagai ibu,
wanita hendaknya mau bersungguh-sungguh dalam usaha mempersiapkan
generasi mendatang yang berbudi pekerti luhur, karena di tangannya
tunas-tunas bangsa akan tumbuh berkembang. Ada ungkapan yang
menyatakan bahwa wanita adalah tiang agama, apabila ia baik maka
jayalah negaranya, sebaliknya apabila wanitanya berakhlak tercela maka
hancurlah negaranya. Dalam menciptakan kehidupan yang bermoral maka
seorang wanita harus memberikan peranan yaitu menjadikan keluarganya
sakinah sebagai cikal bakal terbentuknya masyarakat bermoral.
Bagi kaum muslimin secara umum, hendaknya mereka berusaha
mempertahankan wanita-wanita yang shalihah dengan menjaga mereka
dari pengaruh negatif yang dapat merusak serta memperbaiki wanita-
wanita yang masih berada di bawah tingkat keshalihan menuju cita-cita
Islam sebenarnya.

C. Penutup
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,
yang telah meberikan kekuatan dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari, walaupun segala ikhtiar untuk mencapai hasil
yang optimal telah penulis lakukan, namun penulis yakin masih banyak
kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini. Semua ini
merupakan keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
berbagai pihak demi perbaikan selanjutnya.
Akhirnya penulis mohon kepada Allah semoga semua pihak yang
yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini mendapatkan
pahala yang lebih banyak sebagai balasan amal shaleh. Dan akhirnya
peulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Abi Dawud, Imam, Sunan Abi Dawud, Juz II, Beirut: Dar al Kutub al
Imamiyah, 1985.

Abu 'Alam Al-Mishri, Taufik, Fatimah az Zahra Ummu Abiha, Bandung:


Pustaka Pelita, Cetakan pertama, 1999.

Abu Syuqqoh, Abdul Halim, Kebebasan Wanita, Jilid I, Jakarta: Gema


Insani, 2008.

Al Ghaffar, Abdurrasul Abdul Hassan, Wanita Islam dan Gaya Hidup


Modern, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.

Al-Hadad, Al-Thahir, Wanita dalam Syari at dan Masyarakat, Jakarta:


Pustaka Firdaus, 1992.

Al Hasyimi, Muhammad Ali, Muslimah Ideal, Yogyakarta: Mitra Pustaka,


2000.

Al Husaini, M. H. Al Hamid, Riwayat Hidup Siti Fatimah Az Zahra r.a.,


Semarang: CV Toha Putra, 1993.

Al Istanbuli, Mahmud Mahdi dan Mustafa Abu Nashr Asy Syilbi, Wanita
Teladan, Istri-istri, Putri-putri, & sahabat wanita rasulullah,
Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.

Al-Jauhari, Mahmud Muhammad dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal,


Membangun Keluarga Qur ani, terj. Kamran As’ad Irsyady dan
Mufliha Wijayati, Jakarta: Amzah, 2005.

Al Maraghy, Ahmad Musthafa, Tafsir Al Maraghy, Semarang: Toha Putra,


1986.

Amini, Ibrahim, Fatimah Az Zahra al Mar ah an Namudzjiyah fi-al Islam,


Iran: Anshariyyan Publication.

Azwar, Saefuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Bakker, Anton dan A. Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta:


Rineka Cipta, 1997.

Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, Surabaya: Alumni, 1990.


Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahnya, Surabaya: Pustaka
Agung Harapan, 2006.

Imam, Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, Beirut: Dar al kutub al


‘Ilmiyyah, 1993.

Khalil, Moenawar, Nilai Wanita, Solo: CV Ramadhani, 1987.

Komarudin, Kamus Riset, Bandung: Angkasa, 1987.

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif Telaah Positivistik,


Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1983.

Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, cetakan pertama, 2001.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia,


Pustaka Progressif, 1997.

Muslim, Imam, Shahih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al kutub al Ilmiyah,
1982.

Naraha, Talizu, Desain Riset dan Teknik penyusunan Karya Tulis Ilmiah,
Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Nasa i, Imam, Sunan al Nasa i, Juz V, Beirut: Dar al Marifah, 1981.

Ordoni, Abu Muhammad, Fatimah Buah Cinta Rasulullah SAW Sosok


Sempurna Wanita Surga, Jakarta: Pustaka Zahra, 2009.

Qardlawi, Yusuf, Jangan Menyesal Menjadi Wanita, Yogyakarta: DIVA


Press, 2008.

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 1983.

Syari'ati, Ali, Fatimah Az Zahra Pribadi Agung putri Rasulullah SAW,


Jakarta: Pustaka Zahra, cetakan tujuh, 2006.

Thalib, M., Analisa wanita dalam Bimbingan Islam, Surabaya: Al Ikhlas,


1996.

Ulwan, Abdullah Nashih, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, terj.


Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1990.
Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahnya, Surabaya: Pustaka
Agung Harapan, 2006.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,


2005.

Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneutis,


Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang, 2009.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Robi’atul ‘Adawiyyah


Tempat/tanggal lahir : Rembang, 25 Pebruari 1989
Agama : Islam
Alamat : Kedungasem, Rt. 02 Rw. IV
Sumber, Rembang.
Pendidikan : 1. SDN I Kedungasem lulus tahun 2000
2. MTsN I Sumber lulus tahun 2003
3. MA Mu’allimin Mu’allimat Rembang lulus tahun 2006
4. IAIN Walisongo Semarang angkatan 2006

Anda mungkin juga menyukai