Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Syncope

Definisi syncope merupakan kehilangan kesadaran yang meliputi


gangguan kesadaran berupa kehilangan kesadaran, tidak sadar, tidak
sadarkan diri. Pingsan merupakan kehilangan kesedaran yang bersifat
sementara, dengan konsekuensi terjadi pemulihan spontan (Fuentes,
2012). Kehilangan kesedaran tersebut terjadi akibat penurunan aliran
darah ke sistem aktivitas retikuler yang berlokasi di batang otak dan akan
membaik tanpa membutuhkan terapi kimiawi maupun elektrik (Longo D,
at all 2011 dalam (Triyadi, Safitri, & Adi, 2014)

Syncope merupakan suatu mekanisme tubuh dalam


mengantisipasi perubahan suplai darah ke otak dan biasanya terjadi
secara mendadak dan sebentar atau kehilangan kesadaran dan kekuatan
postural tubuh serta kemampuan untuk berdiri karena pengurangan aliran
darah ke otak. Pingsan, "blacking out", atau syncope juga bisa diartikan
sebagai kehilangan kesadaran sementara yang diikuti oleh kembalinya
kesiagaan penuh. Pingsan merupakan suatu bentuk usaha terakhir tubuh
dalam mempertahankan kekurangan zat-zat penting untuk di suplai ke
otak seperti oksigen dan substansi-substansi lain (glukosa) dari kerusakan
yang bisa permanen (Krisnawati, 2014)

B. Etiologi

Menurut Longo, 2012 dalam (Triyadi, Safitri, & Adi, 2014)


penyebab syncope dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
1. Syncope yang dimediasi oleh syaraf terdiri dari sekelompok
heterogen gangguan fungsional yang ditandai oleh perubahan
sementara pada refleks yang bertanggung jawab untuk
mempertahankan homeostasis kardiovaskular. Kegagalan
sementara dalam pengontrolan tekanan darah disebabkan oleh
vasodilatasi episodik dan bradikardi yang terjadi pada berbagai
kombinasi.
2. Adapun pada pasien dengan hipotensi ortostatik, homeostasis
kardiovaskular kronik terganggu karena kegagalan kontrol otonom.
3. Sedangkan pada syncope kardiovaskular mungkin disebabkan oleh
aritmia atau penyakit jantung struktural yang dapat menyebabkan
penurunan curah jantung. Terdapat perbedaan yang sangat jelas
pada gambaran klinis, dasar mekanisme patofisiologi, intervensi
terapi dan prognosis pada ketiga penyebab syncope ini.
C. Patofisiologi
Syncope merupakan konsekuensi dari hipopefusi serebral secara
global dan dengan demikian merupakan suatu kegagalan mekanisme
autoregulasi aliran darah otak. Adapun faktor yang bertanggung jawab
atau autoregulasi dari aliran darah otak antara lain faktor myogenik,
metabolit lokal, serta kontrol neurovaskular otonom. Dalam keadaan
normal, rentang aliran darah otak sekitar 50-60 ml/menit per 100 gram
jaringan otak dan tetap relatif konstan selama tekanan perfusi mmulai 50-
150 mmHg. Jika terjadi penghentian aliran darah selama 6-8 menit maka
akan menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan penurunan kesadaran
akan terjadi saat aliran darah menurun sampai 25 ml/menit per 100 gram
jaringan otak.
Dari sudut pandang klinis, penurunan tekanan darah sistolik
sistemik dibawah 50 mmHg akan menyebabkan syncope. Penurunan
kardiak output dan atau resistansi vaskuar sistemik (faktor penentu tekanan
darah) merupaka hal yang mendasarai patofisiologi dari syncope.
Beberapa penyebab umum terjadinya gangguan curah jantung yaitu
penurunan efektif volum darah yang bersirkulasi, peningkatan tekanan
dada, emboli paru masif, bradikardi dan tachyaritmia, penyakit katup
jantung, dan disfungsi miokardia.
Dalam posisi berdiri memberikan beban stres fisiologis yang
unik pada manusia. Posisi ini dapat dikatakan membebankan karena pada
posisi berdiri akan terjadi penumpukan sekitar 500-1000 ml darah pada
ekstremitas bawah dan sirkulasi splanknikus. Oleh karena hal inilah,
umumnya periode syncope sering terjadi pada saat berdiri. Pada saat
terjadi penumpukan aliran darah pada ekstremitas bawah, akan terjadi
penurunan aliran balik vena ke jantung dan mengurangi pula pengisian
ventrikel sehingga menyebabkan curah jantung dan tekanan darah
berkurang.
Perubahan hemodinamik yang terjadi dapat memicu refleks
kompensasi yang diprakarsai oleh baroreseptor di sinus karotis dan arkus
aorta, sehingga menghasilkan peningkatan aliran simpatis dan penurunan
aktivitas nervus vagus. Refleks kompensasi ini membuat peningkatan
resistensi perifer, aliran darah dari vena kembali ke jantung dan kardiak
output, sehingga dapat membatasi penurunan tekanan darah. Namun, jika
respon kompensasi ini gagal maka hipoperfusi serebral akan terjadi,
seperti pada neurally mediated syncope dan orthostatic hypotension
(Morag, 2017)
D. Pathway
E. Manfestasi Klinis
Tanda gejala syncope bisa dilihat dalam 3 fase yaitu fase pre syncope, fase
syncope dan fase post syncope.
1. Fase pre syncope
Pasien mungkin merasa mual, perasaan tidak nyaman, berkeringat
dingin dan lemah. Mungkin ada perasaan dizziness (kepeningan)
atau vertigo (dengan kamar yang berputar), hyperpnea (kedalaman
nafas meningkat) penglihatan mungkin memudar atau kabur, dan
mungkin ada pendengaran yang meredam dan sensasi-sensasi
kesemutan dalam tubuh. Fase pre-syncope atau hampir pingsan,
gejala-gejala yang sama akan terjadi, namun pada fase ini tekanan
darah dan nadi turun dan pasien tidak sungguh kehilangan
kesadaran.
2. Fase syncope
Fase syncope ditandai dengan hilangnya kesadaran pasien dengan
gejala klinis berupa:
a. Pernapasan pendek, dangkal, dan tidak teratur
b. Bradikardi dan hipotensi berlanjut
c. Nadi teraba lemah dan gerakan konvulsif pada otot lengan,
tungkai dan wajah. Pada fase ini pasien rentan mengalami
obstruksi jalan napas karena terjadinya relaksasi otot akibat
hilangnya kesadaran.
3. Fase post syncope
Fase terakhir adalah fase post syncope yaitu periode pemulihan
dimana pasien kembali pada kesadarannya. Pada fase awal
postsyncope pasien dapat mengalami disorientasi, mual, dan
berkeringat. Pada pemeriksaan klinis didapatkan nadi mulai
meningkat dan teraba lebih kuat dan tekanan darah mulai naik.
Setelah episode pingsan, pasien harus kembali ke fungsi mental
yang normal, meskipun mungkin ada tanda-tanda dan gejala-gejala
lain tergantung pada penyebab yang mendasari pingsan.
Contohnya, jika pasien ada ditengah-tengah serangan jantung, ia
mungkin mengeluh nyeri dada atau tekanan dada.
F. Klasifikasi Syncope
Menurut (Ooi & Peter, 2008; Morag, 2017) Penurunan aliran darah otak
biasanya diakibatkan oleh 3 mekanisme umum, yaitu :
1. Gangguan tonus otot vascular atau volume darah
a. Reflex Sinkop
Reflex Sinkop dapat diklasifikasikan menjadi:
- Sinkop Neurocardiogenik
Sinkop neurokardiogenik merupakan suatu istilah yang
mencakup vasovagal dan vasodepressor sinkop. Sinkop
neurokardiogenik dicirikan dengan pingsan berulang dan
ditimbulkan pada suasana panas atau ramai, alcohol, kelelahan,
nyeri hebat, lapar, berdiri terlalu lama, dan keadaan emosi atau
stress. Sinkop diawali dengan keadaan presinkop yang
berlangsung dalam detik atau mmenit dan jarang terjadi
pada posisi tidur terlentang. Orang tersebut umumnya
duduk atau berdiri kemudian mengalami kelemahan, mual,
berkeringat, kepala terasa melayang, pandangan kabur, dan
palpitasi kemudian akan mengalami penurunan denyut
jantung dan penurunan tekanan darah serta diikuti
kehilangan kesadaran (Fauci, 2009; Ooi & Peter, 2008).
Sinkop kardiogenik terjadi akibat peningkatan aktivitas
simpatis perifer dan venous pooling. Pada kondisi ini,
aliran darah balik menurun dan kosongnya ventrikel kiri akan
mengaktifkan mekanoreseptor otot jantung dan nervus
vagus afferent yang menginhibisi aktivitas simpatis dan
meningkatkan aktivitas parasimpatis. Hasil dari vasodilatasi
dan bradikardi menginduksi hipotensi dan sinkop. Mekanisme
lain terjadi pada sinkop neurokardiogenik akibat stimulus rasa
takut, stress, dan nyeri dimana tidak berhubungan dengan
venous pooling pada ekstremitas bawah dan diduga terjadi
pengaruh komponen serebral (peningkatan kadar serotonin
mendadak) (Fauci, 2009; Ooi & Peter, 2008).
- Sinkop Situasional
Aktivitas seperti batuk, menelan, kencing, dan defekasi
dapat memicu sinkop pada beberapa orang. Sinkop jenis ini
mekanisme kerja serupa dengan sinkop neurokardiogenik,
yaitu respons kardioinhibisi, respons vasodepressor, atau
keduanya. Batuk, kencing, dan defekasi dihubungkan dengan
maneuver (serupa dengan maneuver valsava) yang
menurunkan venous return. Peningkatan tekanan intracranial
sekunder akibat peningkatan tekanan intratorakal dapat
menurunkan aliran darah serebral (Fauci, 2009; Ooi & Peter,
2008).
b. Hipersensitivitas Sinus Karotis
Sinkop dapat terjadi saat bercukur atau memakai kerah yang
ketat. Hal ini umum terjadi pada pria dengan usia lebih dari
50 tahun. Aktivasi dari baroreseptor sinus karotis meningkatan
impuls yang dibawa ke badan Hering menuju medulla oblongata.
Impuls afferen ini mengaktivkan saraf simpatik efferen ke jantung
dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan sinus arrest atau
Atrioventricular block, vasodilatasi.
c. Hipotensi Orthostatik
Hipotensi Orthostatik adalah apabila terjadi penurunan
tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik
10 mmHg pada posisi berdiri selama 3 menit. Pada saat
seseorang dalam posisi berdiri sejumla darah 500-800 ml darah
akan berpindah ke abdomen dan eksremitas bawah sehingga
terjadi penurunan besar volume darah balik vena secara tiba-tiba ke
jantung. Penurunan ini mencetuskan peningkatan refleks simpatis.
Kondisi ini dapat asimptomatik tetapi dapat pula menimbulkan
gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, gangguan penglihatan,
lemah, berbedebar-debar, hingga sinkop(Fauci, 2009; Ooi & Peter,
2008).
Keadaan ini dapat diakibatkan karena beberapa keadaan
(Fauci, 2009; Ooi & Peter, 2008).

1) Penggunaan bat-obatan (antihipertensi atau obat vasodilator).


2) Kegagalan autonomy ( hipotensi ortostatik idiopatic)
3) Atropi multiorgan
4) Neuropati perifer (diabetes, alcoholism, makanan, amyloid)
5) Keaadan Fisik
6) Sympatectomy
7) Penurunan volume darah

2. Gangguan Kardiovaskular
a. Gangguan structural dan obstruktif (Fauci, 2009; Ooi & Peter,
2008).

1) Emboli paru
2) Hipertensi pulmoner
3) Atrial myxoma
4) Stenosis Mitral
5) Penyakit Miokard ( Infark Miokard akut)
6) Left Ventricular myocardial restriksi atau konstriksi
7) Tamponade atau konstriksi Perikardial
8) Obstruksi Aorta
9) Stenosis Aorta
10) Obstruksi hipertrofi cardiomiopati
b. Aritmia Kardiak (Fauci, 2009; Sudoyo, Setyohadi, &
Simadibrata, 2007).
1) Bradiaritmia: sinus bradikardi, sinoatrial blok, sinus aarest,
sick sinus syndrome, AV blok.
2) Takiaritmia: Supraventrikular Takikardi, Atrial Fibrilasi
dengan sindrom Wolf-Parkinson-White, Atrial Flutter,
Ventrikular Takikardi.
3. Penyakit Cerebrovaskular (Fauci, 2009)
a. Insufisiensi Vertebrobasilar
b. Migraine arteri basilar
4. Gangguan lain yang dapat menyebabkan sinkop (Fauci, 2009)
a. Metabolik
1. Hypoxia
2. Anemia
3. Hiperventilasi
4. Hipoglikemi
b. Psikogenik
1. Gangguan cemas
2. Histeris berlebihan
c. Kejang
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Saat ini, tidak ada pengujian khusus memiliki kekuatan yang cukup
untuk benar-benar ditunjukkan untuk evaluasi sinkop. rekomendasi
pedoman berbasis penelitian dan konsensus tercantum di bawah ini.
Pemeriksaan laboratorium harus diarahkan oleh anamnesa dan
pemeriksaan fisik, tetapi tidak semuanya.
Pemeriksaan darah rutin seperti elektrolit, enzim jantung, kadar
gula darah dan hematokrit memiliki nilai diagnostik yang rendah,
sehingga pemeriksaan tersebut tidak direkomendasikan pada
pasien dengan sinkop kecuali terdapat indikasi tertentu dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisis, misalnya pemeriksaan gula darah
untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia dan kadar
hematokrit untuk mengetahui kemungkinan adanya perdarahan dan
lain-lain. Pada keadaan sindrom QT memanjang keadaan
hipokalemia dan hipomagnesemia harus disingkirkan terlebih dahulu.
Tes kehamilan harus dilakukan pada wanita usia reproduksi, terutama
yang akan menjalani head-up tilt testing atau uji elektrofisiologi
b. Pemeriksaan Radiografi
1. Head CT Scan (noncontrast)
Head CT scan tidak diindikasikan pada pasien nonfocal
setelah peristiwa syncopal. Tes ini memiliki hasil diagnostic
rendah sinkop. Dari 134 pasien prospektif dievaluasi untuk sinkop
menggunakan CT scan, 39 pasien temuan abnormal pada scan.
Hanya 1 diagnostik CT scan kepala pada pasien yang tidak
diharapkan memiliki patologik intracranial. Dari scan yang
tersisa, 5 menunjukkan hematoma subdural dianggap sekunder
untuk sinkop. Head CT scan mungkin secara klinis diindikasikan
pada pasien dengan deficit neurologis baru atau pada pasien
dengan trauma kepala sekunder sinkop (Fauci, 2009; Morag,
2017)
2. CT-scan Thoraks / Abdomen
Studi imaging ditunjukkan hanya dalam kasus-kasus
pilih, seperti kasus di mana diseksi aorta, ruptur aneurisma aorta
abdominal, atau embolus paru diduga.
3. Brain MRI / arteriografi resonansi magnetic (MRA)
Tes-tes ini mungkin diperlukan dalam kasus-kasus pilih
untuk mengevaluasi pembuluh vertebrobasilar dan yang lebih
tepat dilakukan secara rawat inap dengan konsultasi dengan ahli
saraf atau seorang ahli bedah saraf(Fauci, 2009; Morag, 2017).
4. Ventilasi Periver Scanning
Tes ini cocok untuk pasien yang diduga pulmonary
embolus(Fauci, 2009; Morag, 2017).
5. Echocardiography
Pada pasien dengan penyakit jantung diketahui, fungsi
ventrikel kiri dan fraksi ejeksi telah ditunjukkan untuk
mempunyai hubungan prediksi yang akurat dengan kematian.
Echocardiography merupakan ujian pilihan untuk mengevaluasi
penyebab yang dicurigai jantung mekanik sinkop(Fauci, 2009;
Morag, 2017).
c. Pemeriksaan lain-lain
1. Elektrokardiografi
Mendapatkan EKG 12-lead standar di sinkop. Ini
adalah tingkat A rekomendasi konsensus 2007 pedoman
Acep untuk sinkop.EKG digunakan di sebagian besar setiap
aturan pengambilan keputusan klinis (Morag, 2017).
2. Holter Monitor / loop recorde acara
cara ini adalah tes rawat jalan. Di masa lalu, semua
pasien dengan sinkop dimonitor selama 24 jam di
rumah sakit.
3. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) dapat dilakukan pada
kebijaksanaan ahli saraf jika kejang dianggap sebagai
diagnosis alternatif yang mungkin (Morag, 2017).
4. Stress test
Stress test studi elektrofisiologik / (EPS) memiliki hasil
diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan dengan monitor Holter
dan harus diperoleh untuk semua pasien dengan aritmia yang
diduga sebagai penyebab sinkop. Sebuah tes stres jantung sesuai
untuk pasien yang diduga sinkop jantung dan yang memiliki
faktor risiko untuk aterosklerosis koroner. Tes ini dapat
membantu dengan stratifikasi risiko jantung dan dapat
membimbing terapi masa depan (Fauci, 2009; Morag, 2017).
H. Penatalaksanaan
Tatalaksana yang perlu dilakukan pada syncope yaitu pemeriksaan
dan penanganan cepat terhadap airway (jalur napas), breathing
(pernapasan), circulation (sirkulasi), dan status kesadaran. Pada syncope
yang tidak berhubungan dengan kelainan kardiovaskular, penanganannya
dapat dilakukan dengan meletakan pasien dalam posisi berbaring. Pada
posisi ini dapat memperbaiki venous return ke jantung dan kemudian dapat
meningkatkan aliran darah otak. Jika pasien sudah tersadar, diharapkan
untuk tidak terburu-buru mendudukan posisi pasien, karena dapat
menyebabkan syncope yang berulang. Adapun terapi lainnya yang
dibutuhkan jika pasien syncope tidak segera sadar yaitu akses intravena,
administrasi oksigen, pembukaan jalan napas, pemberian glukosa,
Pharmacologic circulatory support, dan Pharmacologic or mechanical
restraints. (McPhee, 2010).

Penanganan syncope sebenarnya cukup sederhana yaitu memastikan


sirkulasi udara di sekitarnya baik selanjutnya menempatkan pasien pada
posisi supine atau posisi shock ( shock position). Kedua posisi ini bisa
memperbaiki venous return ke jantung dan selanjutnya meningkat cerebral
blood flow. Selain intervensi tersebut pasien dapat diberikan oksigen
murni 100% melalui face mask dengan kecepatan aliran 6-8 liter per menit
dan minuman manis. Bila intervensi dapat dilakukan segera maka biasanya
kesadaran pasien akan kembali dalam waktu relatif cepat. Pada pasien
gangguan irama jantung bisa diberikan obat-obatan arytmia seperti
golongan beta blocker. Untuk gangguan listrik jantung dan sumbatan bisa
diberikan obat-obatan pacemaker (pacu jantung).Tatalaksana
kegawatdaruratan medis dilakukan yaitu penilaian tentang jalan napas
(airway), pernapasan (breathing), sirkulasi( circulation), kesadaran
(disability). Pada pasien yang mengalami syncope, perlu dimonitor
kesadarannya secara berkala dengan melakukan komunikasi verbal dengan
pasien. Apabila pasien dapat merespon baik secara verbal maupun non
verbal berarti aspek airway dan breathing baik. Aspek circulation dapat
dinilai dengan memonitor nadi arteri radialis dan pengukuran tekanan
darah.
Adapun pencegahan yang bisa dilakukan pada pasien syncope
bergantung pada penyebabnya, mungkin ada kesempatan untuk mencegah
serangan-serangan pingsan seperti:
a. Pasien-pasien yang telah mempunyai episode vasovagal mungkin
sadar atas tanda-tanda peringatan dan mampu untuk duduk atau
berbaring sebelum pingsan dan mencegah episode pingsan.
b. Untuk pasien-pasien yang lebih tua dengan orthostatic
hypotension, menunggu satu detik setelah merubah posisi-posisi
mungkin adalah segalanya yang diperlukan untuk mengizinkan
refleks-refleks tubuh untuk bereaksi.
c. Pemasukan cairan yang memadai mungkin cukup untuk mencegah
dehidrasi sebagai penyebab untuk pingsan atau syncope.

Penatalaksanaan sinkope menurut Kamadjaya, 2009:

a. Tatalaksana kegawatdaruratan medis :


1. Pada penderita yang mengalami syncope perlu dimonitor
kesadarannya secara berkala dengan melakukan komunikasi verbal
dengan penderita. Apabila penderita dapat merespon baik secara
verbal maupun non-verbal berarti airway & breathing penderita
baik.
2. Circulation dapat dinilai dengan memonitor nadi arteri radialis dan
pengukuran tekanan darah. Tekanan darah sistolik, meskipun
turun, pada umumnya masih berada di atas 70 mmHg. Sebaliknya,
pada penderita yang mengalami syok tekanan darah dapat menurun
secara drastis sampai di bawah 60 mmHg. Pada hipotensi berat
semacam itu dapat terjadi hilangnya kesadaran dimana pnderita
tidak memberikan respon dengan rangsang verbal. Hilangnya
kesadaran dapat dipastikan dengan tidak adanya respon motorik
terhadap rangsang nyeri, misalnya dengan cubitan, pada
ekstremitas atas penderita.
3. Apabila terjadi penurunan atau kehilangan kesadaran yang disertai
hipotensi maka segera lakukan posisi supine, dimana kepala dan
tungkai diletakkan lebih tinggi daripada kepala.
4. Pada penderita yang hilang kesadarannya perlu dilakukan
intervensi untuk membebaskan jalan nafas yaitu dengan chin lift
dan head tilt yang bertujuan untuk mengangkat pangkal lidah ke
anterior untuk membebaskan orofaring dan mengevaluasi fungsi
pernafasan dengan look-feel-listen. Diberikan oksigen tambahan
dengan sarana face mask dengan tetap mempertahankan
terbukanya jalan nafas.
b. Penanganan syncope sebenarnya cukup sederhana yaitu :
1. Menempatkan penderita pada posisi supine atau shock position.
Kedua manufer ini akan memperbaiki venous return ke jantung dan
selanjutnya meningkatkan cerebral blood flow. Selain intervensi
tsb penderita dapat diberikan oksigen murni 100% melalui face
mask dengan kecepatan aliran 6-8 liter per menit. Bila intervensi
dapat dilakukan segeran maka biasanya kesadaran penderita akan
kembali dalam waktu relatif cepat.
2. Setelah kesadaran pulih tetap pertahankan penderita pada posisi
supine, jangan tergesa-gesa mendudukkan penderita pada posisi
tegak karena hal ini dapat menyebabkan terulangnya kejadian
syncope yang dapat berlangsung lebih berat dan membutuhkan
waktu pemulihan lebih lama.
I. Konsep Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
a. Riwayat penyakit sebelumnya
b. Pemeriksaan fisik
- Aktivitas dan istirahat: kelemahan
- Sirkulasi: Riwayat penyakit jantung, penyakit katup jantung,
aritmia, gagal jantung dll
- Eliminasi: Inkontinensia urin / alvi, Anuria
- Nutrisi: Nausea, vomitus, disfagia
- Sensori neural: Kesemutan/kebas, penglihatan berkurang, reaksi
dan ukuran pupil
- Nyeri / kenyamanan: Gelisah, pusing
- Respirasi: Hyperpnea
- Interaksi social: kelemahan dalam berkomunikasi
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan aliran darah ke otot
jantung
b. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer;
penghentian aliran arteri-vena
c. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran oksigen
ke serebral
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan aliran darah ke otot
jantung

Tujuan : aliran darah jantung adekuat


Kriteria hasil : perabaan nadi kuat, tekanan darah normal
Intervensi:

1. Periksa ABC dan jika diperlukan bebaskan jalan nafas dan pijat
jantung
2. Pantau frekuensi nadi, RR, TD secara teraturRasional: mengatasi
kondisi gawat pasien lebih awal dapat memperbaiki prognosis.

Rasional: Tanda vital sebagai acuan kondisi sirkulasi pasien.

3. Periksa keadaan jantung klien dg pemeriksaan EKG

Rasional: Pemeriksaan EKG memberikan gambaran kondisi


jantung dan membantu menentukan alternatif pengobatan
selanjutnya.

4. Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.

Rasional: Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer


terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai
akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.

5. Pantau intake dan output setiap 24 jam.

Rasional: Ginjal berespon untuk menurunkan curah jantung dengan


menahan produksi cairan dan natrium.

6. Batasi aktifitas secara adekuat.


Rasional: Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki
efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan
kerja berlebihan.
b. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer;
penghentian aliran arteri-vena

Tujuan: pemenuhan oksigen dan darah pada jaringan terpenuhi.


Kriteria hasil: Tidak terdapat tanda sianosis dan hipoksia jaringan.
Intervensi:

1. Observasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/lembab,


catat kekuatan nadi perifer.
Rasional: Vasokonstriksi sistemik yang diakibatkan oleh
penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan
perfusi kulit dan penurunan nadi.
2. Dorong latihan kaki aktif/pasif.
Rasional: Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena
dan menurunkan resiko tromboplebitis.

3. Pantau pernafasan

Rasional: Pompa jantung yang gagal dapat mencetuskan distres


pernafasan.
Tujuan: kebutuhan darah, oksigen di otak terpenuhi, perfusi
jaringan efektif.

c. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran oksigen


ke serebral.

Kriteria hasil: TTV stabil, pasien berkomunikasi dan berorientasi


dengan baik.
Intervensi:

1. Pantau tanda-tanda vital

Rasional: Tanda vital merupakan salah satu indikator keadaan


umum dan sirkulasi pasien

2. Posisikan pasien dg posisi syok kaki diangkat 45 derajat

Rasional: Membantu memperbaiki venous return ke jantung dan


selanjutnya meningkat cerebral blood flow.

3. Pantau tingkat kesadaran

Rasional: Tingkat kesadaran seseorang juga dipengaruhi oleh


perfusi oksigen ke otak

4. Berikan terapi O2 yang adekuat

Rasional: mencegah hipoksia otak lebih berat


BAB III
KASUS
Laki-laki usia 67 tahun, seorang pegawai swasta, datang dengan post
sinkop. Terdapat kelemahan anggota gerak kanan, paresis N. VII (S) UMN dan
paresis N XII (S) UMN. Wanita usia 57 tahun, seorang ibu rumah tangga,
datang dengan dizziness akut, dengan riwayat penyakit jantung, diabetes
mellitus dan vertigo. Terdapat nistagmus horizontal fase cepat ke kiri dan
hiperkolesterolemi.

A. PEMBAHASAN

Epidemiologi
Sinkop sering dijumpai, dan sangat penting untuk melakukan
evaluasi klinis pada praktek medis. Dalam hal kunjungan ke rumah sakit,
sinkop mencapai 3% kunjungan ruang gawat darurat dan 1% - 6% dari
kunjungan pasien umum di rumah sakit Amerika Serikat. Minimal 3%
populasi mengalami sinkop selama pengamatan 25 tahun.
Sinkop relatif sering terjadi di semua kelompok usia, mulai dari
15% anak usia di bawah 18 tahun dan 23% pada pasien lansia berusia di
atas 70 tahun. Prevalensi dan kejadian sinkop meningkat seiring
bertambahnya usia, dengan 30% tingkat kekambuhan.
Penelitian di Irlandia menyata- kan kunjungan pasien sinkop murni
sebesar 1,1% dari seluruh kunjungan ke UGD. Di Amerika Serikat
prevalensi 19% penduduk mngalami sinkop, dengan karakteristik usia >
75 tahun (21%) dan 45-54 tahun (20%), laki-laki dibanding perempuan
15% : 22%. Sinkop umum terjadi pada populasi masyarakat dan
episodepertama muncul pada karakteristik usia yang ditunjukkan oleh
Gambar1. Prevalensi sangat tinggi untuk sinkop pada pasien 10 - 30
tahun, dengan puncak 47% pada wanita dan 31% pada pria berusia
sekitar 15 tahun.
KASUS 1
Seorang laki- laki, 67 tahun, seorang pegawai swasta dengan
pendidikan tidak sekolah, dikonsulkan ke bagian Saraf
RSUP dr. Sardjito dengan adanya keluhan sering pingsan sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Sebelum pingsan pasen mengeluh- kan
adanya keluhan nggliyer diikuti dengan pandangan gelap. Disangkal
adanya mual, muntah, gangguan pendengaran, gangguan telinga,
kelemahan sesisi, pelo, perot, nyeri kepala, pandangan dobel/kabur,
gangguan perilaku, gangguan memori, kejang, demam, trauma,
penurunan berat badan, dan gangguan otonom. Riwayat dilakukan
pemasangan PCI 2 minggu yang lalu. Riwayat diabetes Melitus sejak lebih
dari 5 tahun yang lalu. Disangkal Riwayat hipertensi
Pada pemeriksaan fisik tanda vital dan status interna didapatkan
adanya kardiomegali, lain-lain dalam batas normal. Pada status neurologis
didapatkan; Kondisi umum: sedang, kesadaran: compos mentis. Kepala:
pupil isokor, Ф3 mm/ 3 mm, RC + / +, RK +/+. Nn Cranialis: dbn.
Nistagmus horizontal bilateral bidirectional.
Ekstremitas:
Gerak bebas terbatas pada ekstremitas dekstra, kekuatan 4+ pada
ekstremitas dekstra, reflek fisiologis +2 pada ke empat ekstremitas, reflek
patologis negatif pada kempat ekstremitas, clonus negatif pada keempat
ekstremitas dektra. Pemeriksaan laboratorium, leukosit 15810, hemoglobin
10,2, hematokrit 30,0, neutrofil88,5%, GDS 164, creatinin 2,26.
hasil laboratorium lain dalam batas normal. Hasil rontgen thorax PA
didapatkan gambaran cardiomegali dan pulmo dalam batas normal. CT
Scan kepala potongan axial, koronal, dan sagital.didapatkan gambaran
atrofi cerebri, old infark di lobus frontoparietalis kanan, ortikal infark
dilobus temporalis kanan, sinusitis splenoidalis kiri.

Rongen Thorax PA:


CT Scan Kepala: Potongan axial, koronal, dan sagital.
Daftar pustaka
Krisnawati, A. P. (2014). Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Syncope Di Rssa Malang Ruang Instalasi Gawat Darurat
Departemen. Universitas Brawijaya Malang.
Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS. 2012. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. Edisi ke-18. United States: McGraw-Hill Professional. Lynda Juall Carpenito.
2001. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ; 2001

Morag R, Brown FM. 2013. Syncope. Diunduh dari:


http://emedicine.medscape.com/article/811669-overview

McPhee SJ, Hammer GD. 2010. Pathophysiology of Disease: An Introduction

Triyadi, Safitri, W., & Adi, setia galih. (2014). Peran Guru Dalam Pertolongan
Pertama Pada Siswa Yang Mengalami Syncope Di Smp Muhammadyah 2
Surakarta Triyadi1),. STIKes Kusuma Husada Surakarta.
Toivonen L. 2009. Arrhythmic Syncope. European Heart Journal.

Anda mungkin juga menyukai