Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan
utama pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih
dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatn di
rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki
lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah pasien cedera
kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan
kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping
penerangan di lokasi kejadian dan selama transportasi ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Lebih dari 50% kematian
disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap
tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya
meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami
disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian
maupun akibat kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non
degeneratif-non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral
yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan
psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat
menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada
anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh

1
benda keras. Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah
kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan.
Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa;
kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan
etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari cedera kepala?
b. Berapa klasifikasi dari cedera kepala?
c. Bagaimana etiologi dari cedera kepala?
d. Bagaimana patofisiologi cedera kepala?
e. Bagaimana manifestasi klinis dari cedera kepala?
f. Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan cedera kepala?
g. Bagaimana penatalaksanaan cedera kepala?
h. Bagaimana komplikasi cedera kepala?
i. Bagaimana pencegahan cedera kepala?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian cedera kepala.
b. Untuk mengetahui klasifikasi cedera kepala.
c. Untuk mengetahui etiologi cedera kepala.
d. Untuk mengetahui patofisiologi cedera kepala.
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis cedera kepala.
f. Untuk mengetahui pemeriksaaan penunjang cedera kepala.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan cedera kepala.
h. Untuk mengetahui komplikasi cedera kepala.
i. Untuk mengetahui pencegahan cedera kepala.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Cedera Kepala


Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.Cedera kapala merupakan cedera yang
meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak.
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama
transpotasi korban kerumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruan gawat
darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis
harus dilakukan secara serentak.Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi
kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital.Tingkat keparahan cedara
kepala menjadi ringan segera di tentukan saat pasien tiba di rumah sakit.
Trauma atau cedera kepala juga di kenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral di
sekitar jaringan otak.
Cedera kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan fungsi
otak normal karena trauma (trauma tumpul atau trauma tusuk). Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh
masa karena hemoragi, serta edema serebral disekitar jaringan otak. Jenis-jenis

3
cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio batang otak,
hematoma epidural, hematoma subdural, dan fraktur tengkorak.

B. Klasifikasi Cedera Kepala


Klasifikasi cedera kepala yang terjadi melalui dua cara yaitu efek langsung
trauma pada fungsi otak (cedera primer) dan efek lanjutan dari sel-sel otak
yang bereaksi terhadap trauma (cedera sekunder).
1. Cedera primer
Cedera primer, terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, lasetasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi.
2. Cedera sekunder
Cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tidak ada pada area cedera.Konsekuensinya
meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi.
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma
Scale (GCS) nya, yaitu:
a. Ringan
1. GCS = 13 – 15
2. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
3. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b. Sedang
1. GCS = 9 – 12
2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.

4
3. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1. GCS = 3 – 8
2. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.

C. Etiologi Cedera Kepala


Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan
yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam.Benda tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah),
jatuh, pukulan benda tumpul, Sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda
tajam (bacok) dan tembakan.
Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab cedera kepala
terbanyak adalah 45% akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat terjatuh, 10%
kecelakaan dalam pekerjaan,10% kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5% akibat
diserang atau di pukul.
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%) pengendara sepeda
motor tidak menggunakan helm yang tidak memenuhi standar. Pada saat
penderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah,
akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah
dan melukai kepala.

D. Patofisiologi Cedera Kepala


Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder.Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan
suatu fenomena mekanik.Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak
banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel
yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.

5
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Cedera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi
peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan
akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi.
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan
dan terjadi perdarahan juga. Cedera kepala intra kranial dapat mengakibatkan
laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan
susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya
gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).

E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku

6
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan
atau hahkan koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur.
2. Angiografi cerebral
Bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu pertumbuhan
intrakranial hematoma.
3. CT-Scan
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya perdarahan intrakranial, edema
kontosio dan pergeseran tulang tengkorak.
4. Pemeriksaan darah dan urine.
5. Pemeriksaan MRI
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan

7
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan
(medulla oblongata).
7. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
G. Penatalaksaanan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu :
1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-
Brething-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan
cenderung memper-hebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis
yang lebih buruk.
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada
kesempatan pertama.
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
4. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
rendah (syok).
5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan
natrium bikarbonat.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.

8
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer
dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera
kepala khususnya dengan cedera kepala beratsurvei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
H. Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi
dari cedera kepala adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa.Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan
yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan
konstan.Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik
meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan
frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memburuk keadaan, harus dipertahankan tekanan perfusi
paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya
cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

9
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut.Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap.Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut.Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara
intavena.Hati-hati terhadap efek pada sistem pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
3. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga.Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
4. Hipoksia
5. Gangguan mobilitas
6. Hidrosefalus
7. Oedem otak
8. Dipnea
I. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa
terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor

10
yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai
sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi
yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera
yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera.Untuk menghindari gangguan
tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari
masalah yang lainnya.Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang
tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan
mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita
sendiri.Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya
benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal
lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam
paru.Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatanadalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam
mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat
menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat
yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat dibalut
dengan ikatan yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian
cairan infus dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi

11
darah.Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak
darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi
yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala
akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan
memperpanjang harapan hidup.Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta
memberikan dukungan psikologis bagi penderita.Upaya rehabilitasi
terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan
sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif
pada lengan atas dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan caliper.
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima
ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana
masa depannya.Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga
diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang
semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang
lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi,ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi
positif(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah
dalamberjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus
otot.
e. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi),
perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takikardi dan
aritmia.
f. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengar-an, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan.

13
O : Perubahan kesadaran, koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewas-padaan, atensi dan konsentarsi) perubahan pupil
(respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan
dan pembauan serta pendengaran.Postur (dekortisasi, desebrasi),
kejang.Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
g. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda.
O : Wajah menyeringai, merintih, respon menarik pada rangsang
nyeri yang hebat, gelisah.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan (tanpa/dengan kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
d. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen
tulang.
e. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
b. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial
c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah

14
d. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial
e. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran

C. Intervensi Keperawatan
N DX. KEP TUJUAN&K INTERVENSI RASIONAL
O RITERIA
HASIL
1. Nyeri Tujuan : a. Kaji keluhan a. Mengkaji skala
berhubunga Klien akan nyeri dengan nyeri untuk
n dengan merasa menggunakan mengetahui
trauma nyaman skala nyeri seberapa nyeri
kepala Kriteria hasil : yang dialami
Klien tidak klien.
mengeluh b. Mengatur b. Posisi yang
nyeri dan posisi sesuai sesuai akan
tanda-tanda kebutuhan mengurangi nyeri
vital dalam pasien untuk pada pasien
batas normal. mengurangi
nyeri
c. Kurangi c. Rangsangan akan
rangsangan dapat membuat
nyeri lebih terasa
d. Pemberian d. Obat analgetik
obat analgetik digunakan untuk
sesuai dengan mengurangi rasa
program nyeri
e. Ciptakan e. Lingkungan yang
lingkungan nyaman akan
yang nyaman membuat pasien

15
termasuk merasa lebih
tempat tidur nyaman.
f. Berikan f. Sentuhan
sentuhan terapeutik dapat
terapeutik, mengurangi rasa
lakukan nyeri
distraksi dan
relaksasi

2. Resiko Tujuan: a. Kaji airway, a. Untuk


tidak Pola nafas dna breathing, dan mengetahui
efektifnya bersihan jalan circulation pernafasan pasien
jalan nafas nafas efektif. b. Kaji apakah b. Posisi yang salah
dan tidak Kriteria hasil: ada fraktur pada pasien
efektifnya Tidak ada servikal dan fraktur akan
pola nafas sesak atau vertebrata. membuat pasien
berhubunga kesukaran Bila ada tidak nyaman dan
n dengan bernafas, jalan hindari sedikit kesulitan
gagal nafas bersih, memposisikan dalam bernafas
nafas, dan kepala
adanya pernafasan ekstensi dan
sekresi, dalam batas hati-hati
gangguan normal dalam
fungsi mengatur
pergerakan, posisi bila ada
dan cedera
meningkatn vertebrata
ya tekanan c. Pastikan jalan c. Pengisapan lendir
intrakranial nafas tetap dilakukan untuk
terbuka dan mempermudah
kaji adanya jalan nafas

16
sekret. Bila
ada sekret
segera
lakukan
pengisapan
lendir
d. Kaji status d. Status pernafasan
pernafasan dikaji untuk
kedalamannya mengetahui pola
, usaha dalam nafas pasien.
bernafas
e. Bila tidak ada e. Posisi dengan
fraktur kepala sedikit
servikal ekstensiakan
berikan posisi membuat pasien
kepala sedikit bernafas dengan
ekstensi dan baik.
tinggikan 15-
30 derajat
f. Pemberian
f. Pemberian
oksigen untuk
oksigen
memenuhi
sesuai
kebutuhan
program
oksigen pasien
3. a. Resiko Tujuan: a. Kaji intake a. Untuk
kurangn Tidak dan output mengetahui
ya ditemukan intake dan
volume tanda-tanda output pasien
cairan kekurangan b. Kaji tanda- b. Mengetahui
berhubu volume cairan tanda tanda-tanda jika
ngan atau dehidrasi dehidrasi : pasien

17
dengan Kriteria hasil: turgor kulit, mengalami
mual Membrane membrane dehidrasi
dan mukosa mukosa, dan
muntah lembab, ubun-ubun
integritas kulit atau mata
baik, dan nilai cekung dan
elektrolit output urin
dalam batas c. Berikan c. Banyak minum
normal pasien banyak untuk mengganti
minum cairan yang
hilang.
d. Berikan d. Untuk
cairan memenuhi
intravena cairan pasien.
sesuia
program
4. a. Perubah Tujuan: a. Tinggikan a. Untuk
an Perfusi posisi kepala menurunkan
perfusi jaringan 15-30 derajat tekanan vena
jaringan serebral dengan posisi jugularis
serebral adekuat “midline”
berhubu Kriteria hasil: b. Hindari hal- b. Peningkatan
ngan Tidak ada hal yang tekanan
dengan pusing hebat, dapat intracranial dapat
edema kesadaran menyebabkan merubah perfusi
serebral tidak terjadinya jaringan serebral
dan menurun, dan peningkatan
peningka tidak terdapat tekanan
tan tanda-tanda intracranial
c. Perubahan posisi
tekanan peningkatan c. Pembalikan
akan memberi
intrakran tekanan posisi dari

18
ial intracranial. samping ke rasa pasien lebih
samping nyaman.
d. Bila akan d. Tekukan
memiringkan dihindari agar
pasien, harus tidak terjadi nyeri
menghindari pada pasien
adanya
tekukan pada
anggota
badan, fleksi
e. Berikan e. Pelembek tinja
pelembek untuk mencegah
tinja adanya valsava
maneuver
f. Ciptakan f. Lingkungan yang
lingkungan nyaman akan
yang tenang memberikan rasa
lebih nyaman
pada pasien
g. Pemberian
g. Obat-obatan
obat-obatan
untuk
sesuai
mengurangi
program
edema atau
tekanan
intracranial
sesuia program
h. Lakukan
h. Pemasangan
pemasangan
NGT untuk
NGT bila
mencegah
indikasi untuk
terjdinya aspirasi
mencegah
dan memenuhi

19
aspirasi dan kebutuhan nutrisi
pemenuhan pasien
nutrisi
5. a. Kurangny Tujuan: a. Bantu pasien a. Untuk memenuhi
a Kebutuhan dalam kebutuhan sehari-
perawata sehari-hari memenuhi hari pasien
n diri pasien kebutuhan
berhubun terpenuhi sehari-hari
gan Kriteria hasil: b. Berikan b. Makanan via
dengan BB stabil, makanan via parenteral untuk
tirah tempat tidur parenteral memenuhi nutrisi
baring bersih, tubuh bila ada pasien
dan pasien bersih, indikasi
menurun tidak ada c. Perawatan c. Kateter yang
nya iritasi pada kateter bila bersih akan
kesadaran kulit, terpasang membuat pasien
BAB/BAK lebih nyaman
dapat dibantu d. Kaji adanya d. Konstipasi akan
konstipasi, membuat pasien
bila perlu merasa tidak
pemakaian nyaman
pelembek
tinja untuk
memudahkan
BAB
e. Libatkan e. Agar kebutuhan
keluarga sehari-hari pasien
dalam terpenuhi
perawatan
pemenuhan
kebutuhan

20
sehari-hari

D. Implementasi Keperawatan
Untuk tindakan keperawatan dilakukan tindakan ganti balut setiap hari,
namun ada beberapa kebiasaan yang perlu diperbaiki, misalnya minimnya
peralatan, seringnya tindakan dilakukan oleh beberapa perawat/ praktikan
secara bergantian, sehingga resiko infeksi semakin besar. Kemudian ada juga
perawat/ praktikan yang melakukan ganti balut tanpa komunikasi terapeutik
dengan keluarga atau klien dan tanpa prosedur yang benar.

Seharusnya tindakan ganti balut dilakukan sesuai prosedur yang benar


yaitu meliputi persiapan alat, prosedur tindakan, komunikasi terapeutik dan
menggunakan prinsip steril.

E. Evaluasi
Pada dasarnya evaluasi bisa didokumentasikan meskipun tanpa data
subyektif, namun akan lebih baik dan akurat bila muncul data subyektif
langsung dari respon klien.

21
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara hasil CT
Scan dengan nilai GCS pada pasien cedera kepala. Dimana hal ini dapat
dipengaruhi oleh efek buruk cedera kepala karena melalui mekanisme
langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terjadi beberapa saat
setelah trauma terjadi sedangkan trauma secara tidak langsung merupakan
cedera otak sekunder yang bisa terjadi beberapa jam setelah kejadian bahkan
beberapa hari setelah penderita terpapar trauma. Cedera otak sekunder terjadi
karena perubahan aliran darah ke otak dan juga terjadi peningkatan tekanan
intrakranial karena meningkatnya volume isi kepala.Kedua mekanisme
tersebut memperberat cedera otak yang sudah ada.Cedera otak bisa
menimbulkan dampak fisik, kognitif, emosi dan sosial. Prognosis cedera otak
bisa sangat bervariasi dari mulai sembuh total sampai cacat menetap bahkan
kematian.
B. Saran

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah


ini.Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi
makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian
hari.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kozier, Berman dan Audrey. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi
5. Jakarta: EGC
Sylvia, Price dan Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Vol. 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, dan Bare, BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Alih bahasa: Kuncara. Jakarta: EGC
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction
Publishing

23

Anda mungkin juga menyukai