Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ESENSI DAN URGENSI PANCASILA DALAM


KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
UNTUK MASA DEPAN

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2:
1.ADIM/1.0206.18.0008
2.AFRISAL SALEH/1.0206.14.0005
3.SUKMAWATI/1.0206.18.0002
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NUSANTARA
INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWTyang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas ke hadirat-nya,

yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Esensi

dan Urgensi Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia untuk

Masa Depan”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan

makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada

semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, terbatasnya pengetahuan penulis tentu

kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam

pembuatan makalah ini. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami

menerima segala arahan dan kritik dari pembaca agar kami dapat

memperbaiki makalah ini.

GOWA,10-OKTOBER-2018

KELOMPOK 2

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................... i

Daftar Isi.................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Rumusan Masalah .........................................................
C. Tujuan Masalah .............................................................

BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian Pancasila .......................................................
B.Pancasila dalam konteks sejarah ......................................
C.Pancasila Era Pra Kemerdekaan ......................................

BAB 3 PENUTUP
1.Kesimpulan ...........................................................
2.Saran-saran ..........................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang
bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan
deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa
lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan
semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa
semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan
masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan
masa yang sebelumnya.
Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan
dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara.
Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau
pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar
Negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara
Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya
merupakan dasar pijakan penyelenggaraan Negara dan seluruh
kehidupan Negara Replubik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu mengatur
penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan
pancasila sebagai dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai
Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-
undangan di Negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasiakan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Pengertian pancasila?
2. Pancasila dalam konteks sejarah ?
C.Tujuan masalah
1. Menjelaskan Pengertian pancasila.
2. Menjelaskan Pancasila dalam konteks sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian pancasila.
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini
terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti
prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima
sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan)
Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terjadi perubahan kandungan dan
urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap
selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni
diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

B. Pancasila dalam konteks sejarah.

a. Zaman prasejarah
Zaman prasejarah di Indonesia meliputi zaman batu tua
(palaeolithikum), zaman batu muda (neolithikum), zaman batu
besar (megalithikum). Pada zaman-zaman tersebut, manusia telah
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan hidup bersama-sama
dengan manusia-manusia lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia pada zaman prasejarah telah mengamalkan nilai-nilai
Pancasila dalam membentuk kesatuan yang menjalani hidupnya
bersama-sama.
Zaman batu tua (palaeolithikum) ±600.000 tahun yang lalu
hidup manusia jenis Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang
berdiri). Kehidupan manusia pada masa ini masih nomaden dan
melengkapi hidupnya dengan peralatan yang terbuat dari batu yang
masih kasar (belum dihaluskan). Kehidupan menetap mereka mulai
pada zaman peralihan batu tua dan batu muda, yaitu mesolithikum.
Selanjutnya pada zaman batu muda (neolithikum), manusia
telah mampu membuat peralatan dari batu yang telah diasah,
membuat anyaman, berbagai jenis kapak (kapak lonjong dan kapak
persegi), dan kerajinan tangan. Mereka juga sudah mulai hidup
berdagang, berlayar, beternak dan bercocok tanam. Pada zaman
ini telah dilakukan pencarian dan pengumpulan bahan makanan.

Zaman batu besar (megalithikum) merupakan zaman


dengan kebudayaan menghasilkan bangunan-bangunan yang
terbuat dari batu-batu besar. Yang dihasilkan pada zaman ini
adalah menhir (tiang/tugu tempat memuja arwah nenek moyang),
dolmen (meja batu berkaki menhir sebagai tempat sesajen untuk
arwah nenek moyang), sarchopagus (peti batu bertutup), punden
berundak-undak (nagunan berundak-undak sebagai tempat
pemujaan), dan arca (lambang pujaan).

Penyebaran nenek moyang di Indonesia adalah secara


merantau hingga ke pulau-pulau yang terbatas oleh laut. Sehingga
terbentuk kebudayaan secara turun-temurun sebagian bangsa
Indonesia adalah pelaut dan sebagian adalah pengerajin,
pedagang dan petani. Selain itu, bangsa Indonesia pada zaman
prasejarah telah menganut sistem kepercayaan. Dengan demikian
zaman prasejarah di Indonesia dapat dikatakan memberikan andil
dalam pengembangan nilai-nilai Pancasila.
b. Sejarah pancasila pada masa kerajaan.

1. Kerajaan Kutai
Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400M, dengan
ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu).
Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa
raja Mulawarman keturunan dari raja Aswawarman ketrurunan
dari Kudungga. RajaMulawarman menurut prasasti tersebut
mengadakan kenduri dan memberi sedekah kepada
para Brahmana, dan para Brahmana membangun yupa itu sebagai
tanda terimakasih raja yang dermawan (Bambang Sumadio,
dkk.,1977 : 33-32). Masyarakat kutai yang membuka zaman
sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial
politik dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta
sedekah kepada para Brahmana. Dalam zaman kuno (400-1500)
terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai integrasi dengan
wilayah yang meliputi hampir separoh Indonesia dan seluruh
wilayah Indonesia sekarang yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra
danMajapahit yang berpusat di Jawa.

2. Kerajaan sriwijaya
Menurut Mr. M. Yamin bahwaberdirinya negara
kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-
kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang
bangsa Indonesia. Negara kebangsaaan Indonesia terbentuk
melalui tiga tahap yaitu : pertama, zamanSriwijaya di bawah
wangsa Syailendra (600-1400), yang bercirikan kedatuan. Kedua,
negara kebangsaan zamanMajapahit (1293-1525) yang bercirikan
keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan negara
kebangsaan Indonesia lama. Kemudian ketiga, kebangsaan
modern yaitu negara bangsa Indonesia merdeka (sekarang negara
proklamasi 17 agustus 1945) (sekretariat negara RI 1995 :11).
Pada abad ke VII munculah suatu kerajaan di Sumatra yaitu
kerajaanWijaya, di bawah kekuasaaan bangsaSyailendra. Hal ini
termuat dalam prasastiKedudukan Bukit di kaki bukit Sguntang
dekat Palembang yang bertarikh 605 caka atau 683 M., dalam
bahasa melayu kuno huruf Pallawa. Kerajaan itu adalah
kerajaan Maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya, kunci-
kunci lalu-lintas laut di sebelah barat dikuasainya seperti
selat Sunda (686), kemudian selat Malaka(775).
Pada zaman itu kerjaan Sriwijaya merupakan kerajaan besar
yang cukup disegani di kawasan asia selatan. Perdagangan
dilakukan dengan mempersatukan pedagang pengrajin dan
pegawai raja yang disebut Tuhan An Vatakvurah sebagai
pengawas danpengumpul semacam koperasi sehingga rakat
mudah untuk memasarkan dagangannya (Keneth R. Hall, 1976 :
75-77). Demikian pula dalam sistem pemerintahaannya terdapat
pegawai pengurus pajak, harta benda, kerajaan, rokhaniawan yang
menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan
patung-patung suci sehingga pada saat itu kerajaan dalam
menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan
nilai Ketuhanan (Suwarno, 1993, 19).
Agama dan kebudayaan dikembangkan dengan mendirikan suatu
universitas agama Budha, yang sangat terkenal di negara lain
di Asia. Banyak musyafir dari negara lain misalnya dariCina belajar
terlebih dahulu di universitas tersebut terutama tentang
agam Budha dan bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan
studinya ke India. Malahan banyak guru-guru besar tamu dari India
yang mengajar di Sriwijaya misalnyaDharmakitri. Cita-cita tentang
kesejahteraan bersama dalam suatu negara adalah tercemin pada
kerajaanSriwijaya tersebut yaitu berbunyi‘marvuat vanua criwijaya
dhayatra subhiksa’ (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur)
(Sulaiman, tanpa tahun : 53).
3. Zaman Kerajaan sebelum Majapahit
nasionalisme, telah muncul kerajaan-kerajaan di JawaTengah
dan Jawa Timur secara silih berganti. Kerajaan Kalingga pada abad
ke VII, Sanjaya pada abad ke VIII yang ikut membantu
membangun candi Kalasan untuk Dewa Tara dan sebuah wihara
untuk pendeta Budha didirikan di JawaTengah bersama dengan
dinastiSyailendra (abad ke VII dan IX). Refleksi puncak
dari Jawa Tengah dalam periode-periode kerajaan-
kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi
agama Budha pada abad ke IX), dan candi Prambanan (candi
agama Hindhu pada abad ke X).
Selain kerajaan-kerajaan di JawaTengah tersebut di Jawa Timur
muncullah kerajaan-kerajaan Isana (pada abad ke
IX), Darmawangsa (abad ke X) demikian juga kerajaan Airlanga
pada abad ke XI. Raja Airlangga membuat bangunan keagamaan
dan asrama, dan raja ini memiliki sikap toleransi dalam beragama.
Agama yang diakui oleh kerajaan adalah agama Budha ,
agama Wisnu dan agamaSyiwa yang hidup berdampingan secara
damai (Toyyibin, 1997 : 26). Menurut prasasti Kelagen, Raja
Airlangga teelah mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama
dengan Benggala, Chola dan Champa hal ini menunjukkan nilai-
nilai kemanusiaan. Demikian pula Airlangga mengalami
penggemblengan lahir dan batin di hutan dan tahun 1019 para
pengikutnya, rakyat dan para Brahmana bermusyawarah dan
memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja,
meneruskan tradisi istana, sebagai nilai-nilai sila keempat.
Demikian pula menurut prasasti Kelagen, pada tahun 1037, raja
Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi
kesejahteraan rakyat yang merupakan nilai-nilai sila kelima
(Toyyibin, 1997 : 28-29). Di wilayahKediri Jawa Timur berdiri pula
kerajaan Singasari (pada abad ke XIII), yang kemudian sangat erat
hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit.

4. Kerajaan Majapahit
Pada tahun 1923 berdirilah kerajaanMajapahit yang mencapai
zaman keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk
dengan Mahapatih Gajah Mada yang di bantu
oleh Laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk
menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa
jayanya itu membentang dari semenanjung Melayu (Malaysia
sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu agama Hindu danBudha hidup berdampingan
dengan damai dalam satu kerajaan. Empu Prapanca
menulisNegarakertagama. Dalam kitab tersebut telah terdapat
istilah “Pancasila”. Empu tantular mengarang buku Sutasoma, dan
didalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional,
yaitu“Bhineka TunggalIka”, yang bunyi
lengkapnya“BhinekaTunggal Ika Tan Hana DharmaMangrua”,
artinya walaupun berbeda , namun satu jua adanya sebab tidak
ada agama yang memiliki tuhan yang berbeda.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gaja Mada
dalam sidang ratu dan menteri-menteri di
pasebankeprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang berisi cita-
cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut : “Saya
baru akan berhentui berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh
nusantara
bertakluk dibawah kekuasaan negara,jikalau Gurun, Seram,Tanjun
g, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda,Palembang dan Tumasik
telah dikalahkan”(Yamin, 1960 : 60).
Dalam tata pemerintahan kerajaanMajapahit terdapat semacam
penasehat seperti Rakryan I Hino , I Sirikan, dan I Halu yang
bertugas memberikan nasehat kepada raja, hal ini sebagai nilai-
nilai musyawarah mufakat yang dilakukan oleh sistem
pemerintahan kerajaan Majapahit.

C.Pancasila Era Pra Kemerdekaan

1. Asal mula Pancasila secara budaya


Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat Pancasila,
menyatakan bahwa unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa
Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi
dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945,
namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah
memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di
dalam kehidupan merdeka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan
bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan,
bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada
umumnya. (Sunoto, 1984: 1). Dengan rinci Sunoto menunjukkan
fakta historis, diantaranya adalah :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa : bahwa di Indonesia tidak
pernah ada putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab : bahwa bangsa
Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut
dengan sesama manusia.
3. Persatuan Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-
cirinya guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan : bahwa unsur-unsur demokrasi
sudah ada dalam masyarakat kita.
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia : bahwa
bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal
lebih bersifat social dan berlaku adil terhadap sesama.

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia,


ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara,
maka nilai-nilai kehidupan berbangsa, bernegara dan
berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada
Pancasila, namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam
Pancasila telah dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa
Indonesia dan kita praktekkan hingga sekarang. Hal ini berarti
bahwa semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah
ada dalam kehidupan rakyat Indonesia sejak zaman nenek
moyang.

2. Teori nilai budaya


Bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila telah ada dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sejak bangsa Indonesia
itu ada. Keberadaan Pancasila masih belum terumuskan secara
sistematis seperti sekarang yang dapat kita lihat. Pancasila pada
masa tersebut identik dengan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa
Indonesia sebagai nilai budaya. Nilai budaya merupakan pedoman
hidup bersama yang tidak tertulis dan merupakan kesepakatan
bersama yang diikuti secara suka rela.
Nilai budaya merupakan suatu upaya untuk menjawab
persoalan-persoalan yang cukup vital dalam kehidupan manusia.
Nilai budaya merupakan cara manusia menjawab baik secara
pribadi atau masyarakat terhadap masalah-masalah yang
mendasar di dalam hidupnya. Nilai tersebut merupakan suatu
sistem yang di dalamnya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai
hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
(Koentjaraningrat, 1974: 32). Nilai budaya akan mempengaruhi
pandangan hidup, sistem normatif moral dan seterusnya hingga
akhirnya pengaruh itu sampai pada hasil tindakan manusia.
Nilai budaya dengan masing-masing orientasinya akan
mempengaruhi pandangan hidup. Pandangan hidup adalah
sesuatu yang dipakai oleh masyarakat dalam menentukan nilai
kehidupan. Pandangan hidup sebenarnya meliputi bagaimana
masyarakat memandang aspek hubungan dalam hidup dan
kehidupan yakni hubungan manusia dengan yang transenden,
hubungan dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan
sesama makhluk lain. Dalam bahasa Notonagoro dikenal istilah-
istilah kedudukan kodrat, susunan kodrat, sifat kodrat manusia.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai tiga
kecenderungan mendasar yaitu theo-genetis, bio-genetis, dan
sosio-genetis.

3. Asal mula pancasila secara formal


A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa sumber
bacaan menjelaskan bahwa mengenal diri sendiri berarti
mengetahui apa yang dapat dilakukannya, dan tak seorang pun
akan tahu apa yang dapat dilakukannya sebelum dia mencoba,
satu-satunya petunjuk yang dapat ditemukan untuk mengetahui
sesuatu yang dapat dilakukan manusia adalah dengan
mengetahui kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia
yang terdahulu. Oleh karena itu, nilai sejarah terletak pada
kenyataan bahwa ia mengajarkan apa yang telah dilakukan oleh
manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia.
Tanpa mengetahui sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh
pengertian kualitatif dari gejala-gejala sosial yang ada. Secara
rinci Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa fungsi pengajaran
sejarah nasional Indonesia meliputi : 1. Membangkitkan perhatian
serta minat kepada sejarah tanah airnya; 2. Mendapatkan inspirasi
dari cerita sejarah; 3. Memupuk alam pikiran ke arah kesadaran
sejarah; 4. Memberi pola pikiran ke arah kesadaran sejarah; 5.
Mengembangkan pikiran penghargaan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan.
Dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia
yang terkait dengan Pancasila, Dardji Darmodihardjo mengajukan
kesimpulan bahwa nilai-nilai Pancasila telah menjiwai tonggak-
tonggak sejarah nasional Indonesia yaitu 1. Cita- cita luhur bangsa
Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi kenyataan; 2.
Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung berabad-
abad, bertahap dan menggunakan cara yang bermacam-macam;
3. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik
kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh
pancasila; 4. Pembukaan UUD 1945 merupakan uraian terperinci
dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945; 5. Empat pokok
pikiran dalam Pembukaan UUD 1945; paham negara persatuan,
negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, negara berdasarkan kedaulatan rakyat, negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab; 6. Pasal-pasal UUD 1945
merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok yang terkandung di
dalam Pembukaan UUD 1945 yang berjiwakan Pancasila; 7. Maka
penafsiran sila-sila pancasila harus bersumber, berpedoman dan
berdasar kepada Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
(Dardji Darmodihardjo, 1978: 40).
Secara historis rumusan- rumusan Pancasila dapat
dibedakan dalam tiga kelompok (Bakry, 1998: 20) :
1. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar
negara Republik Indonesia, termasuk Piagam Djakarta.
2. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia
yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi
Kemerdekaan.
3. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan
Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan Pancasila
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

4. Masa Pengusulan
Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7
September 1944, perdana menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi,
atas nama pemerintah Jepang mengeluarkan janji kemerdekaan
Indonesia yang akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945,
sebagai janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada tanggal 1 Maret
1945 Jepang mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai). Badan ini baru terbentuk pada tanggal 29 April 1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan
(Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa), dengan
susunan sebagai berikut Ketua Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat,
ketua muda Ichibangase Yosio (anggota luar biasa, bangsa
Jepang), Ketua Muda R. Panji Soeroso (merangkap Tata Usaha),
sedangkan anggotanya berjumlah 60 orang tidak termasuk ketua
dan ketua muda.
Adanya badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat
mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk merumuskan
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang
merdeka. Oleh karena itu, peristiwa ini dijadikan sebagai suatu
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai
cita-citanya.
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali.
Sidang pertama pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945,
sedangkan sidang kedua pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17
Juli 1945.

5. Masa Sidang Pertama BPUPKI


Pada sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin
mengemukakan usul yang disampaikan dalam pidatonya yang
berjudul asas dan dasar negara Kebangsaan Indonesia di hadapan
sidang lengkap BPUPKI. Beliau mengusulkan dasar negara bagi
Indonesia Merdeka yang akan dibentuk meliputi Peri kebangsaan,
peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan
kesejahteraan rakyat.
Selain usulan dalam bentuk pidato, usulan M. Yamin juga
disampaikan dalam bentuk tertulis tentang lima asas dasar negara
dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yang berbeda rumusan kata-kata dan sistematikanya
dengan isi pidatonya. Rumusannya yang tertulis adalah sebagai
berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia,
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tangaal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang


pada dasarnya bukan dasar negara merdeka, akan tetapi tentang
paham negaranya yaitu negara yang berpaham integralistik.
Soepomo mengusulkan tentang dasar pemikiran negara nasional
bersatu yang akan didirikan harus berdasarkan atas pemikiran
integralistik tersebut yang sesuai dengan struktur sosial
Indonesia sebagai ciptaan budaya bangsa Indonesia yaitu:
struktur kerohanian dengan cita-cita untuk persatuan hidup,
persatuan kawulo gusti, persatuan dunia luar dan dunia batin,
antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan
pemimpin-pemimpinnya.
Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo adalah
adanya daerah, rakyat, dan pemerintahan. Mengenai dasar dari
negara Indonesia yang akan didirikan, ada tiga persoalan yaitu:
1. Persatuan negara, negara serikat, persekutuan negara
2. Hubungan antara negara dan agama,
3. Republik atau monarchie.

Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga


mengusulkan lima dasar bagi negara Indonesia yang
disampaikan melalui pidatonya mengenai Dasar Indonesia
merdeka. Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli bahasa
yaitu Mr. M. Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno ialah
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaa,
Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan yang
berkebudayaan. Lima rumusan tersebut menurutnya dapat
diringkas menjadi tiga rumusan yang diberi nama Tri-Sila yaitu
dasar pertama, kebangsaan dan perikemanusiaan (nasionalisme
dan internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi nama sosio-
nasionalisme. Dasar kedua, demokrasi dan kesejahteraan
diringkas menjadi menjadi satu dan biberi nama sosio-demokrasi.
Sedangkan dasar yang ketiga, ketuhanan yang berkebudayaan
yang menghormati satu sama lain disingkat menjadi ketuhanan.
Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan dasar
negara baik dari M. Yamin dan Soekarno, dan paham negara
integralistik dari Soepomo maka untuk menampung perumusan-
perumusan yang bersifat perorangan, dibentuklah panitia kecil
penyelidik usul-usul yang terddiri atas Sembilan orang yang
diketuai oleh Soekarno, yang kemudian disebut dengan panitia
Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil
merumuskan Rancangan pembukaan Hukum Dasar, yang oleh
Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Di dalam rancangan pembukaan alinea keempat terdapat
rumusan Pancasila yang tata urutannya tersusun secara
sistematis:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga


memuat rumusan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang
pertama berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ini
merupakan cetusan hati nurani bangsa Indonesia yang
diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat
disebut sebagai declaration of Indonesian Independence.

6. Masa Sidang Kedua BPUPKI


Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli
sampai dengan 17 Juli 1945, merupakan masa sidang penentuan
perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil
kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua
ini ditambah enam orang anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI
pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia
Sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta. Disamping
menerima hasil rumusan Panitia Sembilan dibentuk juga panitia-
panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok
panitia perancang Hukum Dasar yaitu:
1. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno
dengan anggota yang berjumlah 19 orang,
2. Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno
Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang,
3. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta
bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi
panitia kecil. Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh
Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal 11
dan 13 Juli 1945 telah menyelesaikan tugasnya menyusun
Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya pada tanggal 14 Juli
1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia
Sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan
Pembukaan Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945
menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar yang sudah
selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam
Jakarta sebagai pembukaan.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, hanya
merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia secara resmi. Dengan
berakhirnya sidang ini maka selesailah tugas badan tersebut,
yang hasilnya akan dijadikan dasar bagi negara Indonesia yang
akan dibentuk sesuai dengan janji Jepang. Sampai akhir sidang
BPUPKI ini rumusan Pancasila dalam sejarah perumusannya
ada empat macam:
1. Rumusan pertama Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin pada
tanggal 29 Mei 1945, yaitu usul pribadi dalam bentuk pidato,
2. Rumusan kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal 29
Mei 1945, yakni usul pribadi dalam bentuk tertulis,
3. Rumusan ketiga Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945,
usul pribadi dengan nama Pancasila,
4. Rumusan keempat Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22
Juni 1945, hasil kesepakatan bersama pertama kali.
Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar
negara Indonesia, namun unsur-unsur sila-sila Pancasila yang
dimiliki bangsa Indonesia telah menjadi dorongan perjuangan
bangsa Indonesia pada masa silam. Pada saat proklamasi, semua
kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat bersatu dan siap
mempertahankan serta mengisi kemerdekaan yang telah
diproklamasikan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah revolusi
Pancasila.
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya
tanggal 18 Agustus 1945, diadakan sidang pleno PPKI untuk
membahas Naskah Rancangan Hukum Dasar yang akan
ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar (1945). Tugas PPKI
semula hanya memeriksa hasi sidang BPUPKI, kemudian
anggotanya disempurnakan. Penambahan keanggotaan ini
menyempurnakan kedudukan dan fungsi yang sangat penting
sebagai wakil bangsa Indonesia dalam membentuk negara
Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Dalam sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945
berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dengan menetapkan (Kaelan, 1993: 43-45) :
1. Piagam Jakarta yang telah diterima sebagai rancangan
Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggal 14 Juli
1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
2. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI
pada tanggal 16 Juli 1945 setelah mengalami berbagai
perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yaitu Ir.
Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil
Presiden.
4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan
Musyawarah darurat.
Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai
Pembukaan UUD 1945, maka lima dasar yang diberi nama
Pancasila tetap tercantum di dalamnya. Hanya saja sila Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas
prakarsa Drs. Moh. Hatta. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan
UUD 1945 sebagai rumusan kelima dalam sejarah perumusan
Pancasila, dan merupakan rumusan pertama yang diakui sebagai
dasar filsafat negara secara formal.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu
asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita
hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta
kaidah baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum
dasar baik yang tertulis atau UUD, maupun yang tidak tertulis atau
konvensi. Oleh karena itu, kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum. Seluruh
bangsa Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Indonesia, ia
tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945
yang diwujudkan lebih lanjut di dalam pokok pikiran, yang meliputi
suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya
dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun dalam
hukum positif lainnya. Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara ini lebih lanjut dapat dirinci sebagai
berikut: Pertama; Pancasila sebagai dasar negara merupakan
sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum
Indonesia. Kedua;Pancasila sebagai dasar negara meliputi
suasana kebatinan dari UUD 1945.Ketiga; Pancasila sebagai dasar
negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara
Indonesia. Keempat; Pancasila sebagai dasar negara mengandung
norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah maupun para penyelenggara negara untuk memelihara
budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur.
c. Pancasila Era Kemerdekaan
Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia pasca
kemerdekaan, Pancasila mengalami banyak perkembangan.
Sesaat setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, Pancasila
melewati masa-masa percobaan demokrasi. Pada waktu itu,
Indonesia masuk ke dalam era percobaan demokrasi multi-partai
dengan sistem kabinet parlementer. Partai-partai politik pada masa
itu tumbuh sangat subur, dan proses politik yang ada cenderung
selalu berhasil dalam mengusung kelima sila sebagai dasar negara
(Somantri, 2006). Pancasila pada masa ini mengalami masa
kejayaannya. Selanjutnya, pada akhir tahun 1959, Pancasila
melewati masa kelamnya dimana Presiden Soekarno menerapkan
sistem demokrasi terpimpin. Pada masa itu, presiden dalam rangka
tetap memegang kendali politik terhadap berbagai kekuatan
mencoba untuk memerankan politik integrasi paternalistik
(Somantri, 2006). Pada akhirnya, sistem ini seakan mengkhianati
nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri, salah satunya
adalah sila permusyawaratan. Kemudian, pada 1965 terjadi sebuah
peristiwa bersejarah di Indonesia dimana partai komunis berusaha
melakukan pemberontakan. Pada 11 Maret 1965, Presiden
Soekarno memberikan wewenang kepada Jenderal Suharto atas
Indonesia. Ini merupakan era awal orde baru dimana kemudian
Pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila pada masa itu menjadi
kaku dan mutlak pemaknaannya. Pancasila pada masa
pemerintahan presiden Soeharto kemudia menjadi core-
values (Somantri, 2006), yang pada akhirnya kembali menodai
nilai-nilai dasar yang sesungguhnya terkandung dalam Pancasila
itu sendiri. Pada 1998, pemerintahan presiden Suharto berakhir
dan Pancasila kemudian masuk ke dalam era baru yaitu era
demokrasi, hingga hari ini.
d. Pancasila Era Orde Lama
Kedudukan pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah
bangsa yang pernah dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi
bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir dua dasa warsa
setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api pancasila
sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan
orang diawali oleh kahendak seorang kepala pemerintahan yang
terlalu gandrung pada persatuan dan kesatuan. Kegandrungan
tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang
terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat
menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah
(nekolim, neokolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari
penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia
dengan manusia.
Orde lama berlangsung dari tahun 1959-1966. Pada masa
itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya
kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar
kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin
yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi
terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna yang
terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana
demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan
pemerintah sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden
dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD
1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang
presiden dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR
terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya
yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan
kehidupan ekonomi makin memburuk puncak dari situasi tersebut
adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat
membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno
selaku presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto
melalui Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya
keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya
pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal
masa Orde Baru.

e. Pancasila Era Orde Baru


Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa
pemerintahan yang terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa
pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak banyak
gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini.
Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala
bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan
romantisme dari banyak kalangan.
Diera Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta
merta tidak lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi
alat bagi pemerintah untuk semakin menancapkan kekuasaan di
Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila begitu
gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat
tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde
Baru sendiri terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap
menggunakan dasar negara sebagai alat politik untuk memperoleh
kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman nilai-nilai
Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam
kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat
kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya
gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai
tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas
tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa
semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi
masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah
mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya.

f. Pancasila Era Reformasi


Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam
konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan
tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki
pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap
yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila
menjadi kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia,
khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan
baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus
berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus
menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat
dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi
produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik
mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita
Indonesia merdeka di implementasikan sebagai berikut :
1. Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup
keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-
hari.
2. Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam
pengambilan keputusan.
3. Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas
kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
4. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan
pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
5. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada
nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi


mengandung pengertian bagaimana suatu falsafah itu
diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan
nyata. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional
bidang kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila
adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan
sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk.
Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan
UUD 1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa
hendaknya menjadi prioritas, karena kebudayaan nasional sangat
diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat
persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang
Hankam, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk
menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial
politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya
sebagai bagian dari sistem nasional. Pancasila sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu
(philosophy of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas
pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah
penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan
aksiologis.
Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas
manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk
mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu
pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya
sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat
ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi,
observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi mencari dan
menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya
hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya
ilmiah beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik.
Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang
terkandung didalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti
dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-
hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila itu sendiri. Aksilogis, yaitu bahwa dengan
menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek
pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak
bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung
atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila. Memahami peran
Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai
dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki
agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang
sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama
terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semenjak
ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945),
Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang
naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001)
memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar
negara dalam tiga tahap yaitu :
1. Tahap 1945 – 1968 Sebagai Tahap Politis
Dimana orientasi pengembangan Pancasila diarahkan
kepada Nation and Character Building. Hal ini sebagai
perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk survival dari
berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar
negeri, sehingga atmosfir politik sebagai panglima sangat
dominan. Pancasila sebagai Dasar Negara misalnya menurut
Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan tersebut
menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut
pandang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau aliran filsafat
Indonesia, dan ditegaskan bahwa Pancasila merupakan
rumusan ilmiah filsafati tentang manusia dan realitas, sehingga
Pancasila tidak lagi dijadikan alternatif melainkan menjadi suatu
imperatif dan suatu philosophical concensus dengan komitmen
transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan persatuan dalam
menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang Bhinneka
Tunggal Ika. Bahkan Notonagoro menyatakan bahwa
Pembukaan UUD 1945 merupakan staatfundamental Norm
yang tidak dapat diubah secara hukum oleh siapapun. Sebagai
akibat dari keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari
dalam maupun dari luar negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan
nasional yaitu menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal.
2. Tahap 1969 – 1994 Sebagai Tahap Pembangunan Ekonomi
Yaitu upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program
ekonomi. Orientasi pengembangan Pancasila diarahkan pada
bidang ekonomi, akibatnya cenderung menjadikan ekonomi
sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan ekonomi
menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun
bersamaan dengan itu muncul gejala ketidakmerataan dalam
pembagian hasil pembangunan. Kesenjangan sosial merupakan
fenomena yang dilematis dengan program penataran P4 yang
selama itu dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin
memprihatinkan setelah terjadinya gejala KKN dan Kronisme
yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Bersamaan
dengan itu perkembangan perpolitikan dunia, setelah hancurnya
negara-negara komunis, lahirnya tiga raksasa kapitalisme dunia
yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena itu
Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya dihantui oleh
supersifnya komunisme melainkan juga harus berhadapan
dengan gelombang aneksasinya kapitalisme, disamping
menhadapi tantangan baru yaitu KKN dan kronisme.
3. Tahap 1995 – 2020 Sebagai Tahap Repositioning Pancasila
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang
perubahan secara cepat, mendasar, spektakuler, sebagai
implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru dunia,
khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi
yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah
merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka
semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai
dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa
dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan
perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila
yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang
mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam
keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan
pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.

Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya


dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai
yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”. Idealitasnya
bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar
utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta
kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga
masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi
yang sudah selesai dan dalam kebekuan dogmatis dan normatif,
melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi
kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan
demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap
aktual, relevan serta fungsional sebagai penyangga bagi
kehidupan bangsa dan negara.

Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki


kekuatan mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila
tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan
masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan
elan vitalnya. Sebab utamannya karena rejim Orde Lama dan
Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang
otoriter. Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus
dasar dari berdirinya bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks
era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih
konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan
relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
1. Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang
bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan
deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa
lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan
semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa
semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan
masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan
masa yang sebelumnya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia berlalu
dengan melewati suatu proses waktu yang sangat panjang. Dalam proses
waktu yang panjang itu dapat dicatat kejadian-kejadian penting yang
merupakan tonggak sejarah perjuangan.

2.Dan Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi


pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah
Negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu
landasan atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya
sebagai dasar Negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur
Negara Replubik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-
unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan
penyelenggaraan Negara dan seluruh kehidupan Negara Replubik
Indonesia.

B.Saran
Pancasila merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang mana
setiap warga negara Indonesia harus menjunjung tinggi dan
mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan
penuh rasa tanggung jawab. Agar pancasila tidak terbatas pada coretan
tinta belaka tanpa makna.
DAFTAR PUSTAKA

M. Aziz Toyibin, A. Kosasih Djahiri, Pendidikan Pancasila 1, Jakarta, 1991


Ubaedillah A & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani, Icce. UIN Jakarta, 2003
Darmodiharjo, Darji. 1982. Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta:
Aries Lima
Tim Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
2005. Pendidikan Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka
Winatapura, Udin. S, dkk. 2008. Buku Materi dan Pembelajaran Pkn SD.
Jakarta: Universitas Terbuka
http///www.google.com
http//Birokrasi.kompasiana.com
http//dokumenqu.blogspot.com
https//www.slideshare.net/DWIAYU2/sejarah-pancasila

Anda mungkin juga menyukai