Anda di halaman 1dari 4

Nama : Shifa Fauzia

Nim : 021911133122

Korupsi di Indonesia
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruptio, atau “corruptus” dari asal katanya
corrumpere. Dari kata Latin inilah kemudian menjelma dalam bahasa Eropa: corruption, corrupt
(Inggris), corruption (Perancis), corruptie atau korruptie (Belanda). Secara harfiah kata “korupsi”
(Arab: risywah, Malaysia: resuah) mengandung banyak pengertian yang bersifat negatif, yakni
kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Nicolas Tarling (2005) dalam Corruption
and Good Government in Asia menjelaskan kata korupsi dari kata benda “corruption”, yang di
dalam kamus English Oxford mengandung pengertian kejahatan atau penyimpangan integritas
akibat tindakan penyuapan; dan perilaku menyimpang dari kesucian.

Definisi korupsi, menurut Bank Dunia, mengarah kepada tindakan yang dilakukan oleh
penyelenggara negara dan pegawai negeri: korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang
penyelenggara negara untuk meraih keuntungan pribadi dan atau kelompoknya (the abuse of
public office for personal gain). Tindakan korupsi sudah lama menyelimuti kehidupan demokrasi
bangsa Indonesia. Hal yang tidak dapat dibantah adalah bahwa perjalanan demokrasi Indonesia
masih lekat diwarnai oleh angka korupsi yang masih tinggi di kalangan penyelenggara negara.
Angka tindakan korupsi seakan berlomba saling-salip dengan gairah masyarakat Indonesia
memaknai demokrasi. Janji kemerdekaan dan reformasi akan sulit terwujud jika bangsa ini masih
belum mampu melepaskan diri dari budaya korupsi.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan warga negara


Indonesia yang cerdas, bermartabat, dan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun
pada kenyataannya, alih-alih mewujudkan tujuan-tujuan mulia tersebut Pendidikan
Kewarganegaraan, khususnya di era Orde Baru, telah dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan
kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi nilai-nilai Pancasila dan manipulasi terhadap makna
sebenarnya demokrasi. Praktik indoktrinasi dan manipulatif tersebut semakin diperparah oleh
tindakan paradoks pemerintah Orde Baru. Sikap bertolak belakang pemerintah Orde Baru tersebut
terlihat pada tidak sejalannya antara tujuan Pendidikan Kewiraan dan Pancasila dan perilaku elite
Orde Baru dalam mengelola negara yang penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Dengan ungkapan lain, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila lebih banyak
diorientasikan untuk melayani penguasa daripada sebagai media pembentukan karakter bangsa.

Demokrasi yang menjadi komitmen gerakan reformasi masih diwarnai oleh budaya korupsi
dan kolusi yang kerap dilakukan oleh masyarakat dan aparatur negara. Jika hal ini dilanggengkan
niscaya demokrasi tidak akan memenuhi janjinya, yakni mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat luas. Sebaliknya, demokrasi hanya menjadi kepanjangan tangan bagi mereka yang
memiliki modal dan akses terhadap kekuasaan. Dengan kata lain, jika hal ini berlangsung
berlarutlarut, maka sesungguhnya demokrasi telah dibajak oleh mereka yang pernah diuntungkan
oleh sistem kekuasaan masa lalu yang sarat dengan praktik feodalisme dan KKN.

Praktik korupsi seakan sudah menjadi tradisi bahkan keyakinan di tengah masyarakat
bahwa uang telah menjadi sarat mutlak bagi seseorang yang hendak menjadi pemimpin. Lembaga
yang terlibat dalam penindakan dan pencegahan tindakan korupsi yang dilakukan oleh
penyelenggara negara, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK didirikan melalui
Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembentukan KPK akibat tuntutan masyarakat sipil yang pesimis terhadap kinerja dan prestasi
lembaga penegak hukum negara, yaitu kejaksaan dan kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi.
Susunan komisioner KPK disaring dari usulan masyarakat kepada DPR yang selanjutnya dilantik
oleh presiden melalui proses seleksi yang transparan.

Secara umum korupsi dapat dikategorikan menjadi dua jenis: korupsi besar (grand
corruption) dan korupsi kecil (petty corruption). Korupsi besar adalah yakni korupsi akibat
keserakahan pejabat publik yang telah berkecukupan secara materiel. Korupsi tingkatan ini
mengakibatkan kerugian negara sangat besar secara finansial maupun non-finansial. Modus
korupsi masih dalam kategori ini, seperti disimpulkan oleh Bank Dunia terjadi dalam bentuk
penyuapan kepada:

1) Anggota DPR untuk memengaruhi perundangan;


2) Pejabat negara untuk memengaruhi kebijakan publik;
3) Penegak hukum untuk memengaruhi putusan kasus-kasus korupsi berskala besar;
4) Pejabat bank sentral untuk memengaruhi kebijakan moneter;
5) Partai politik dalam bentuk sumbangan kampanye ilegal.
Jenis korupsi ini banyak terjadi pada proyek-proyek pemerintah dengan modus suap menyuap
dalam proses tender dan pra tender suatu proyek. Tindakan korupsi terjadi pula dalam hal
penggunaan biaya perawatan alat-alat fasilitas umum. Kecelakaan transportasi umum dan pada
fasilitas publik lainnya, seperti pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus, lift di pusat-pusat
perbelanjaan, dan sebagainya banyak terkait dengan lemahnya perawatan dan penyalahgunaan
(korupsi) dana perawatan alat-alat tersebut.

Bentuk korupsi yang kedua ialah Korupsi kecil. Korupsi ini dalah bentuk korupsi yang
dilakukan oleh pegawai pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Petty
corruption, atau korupsi kecil sering disebut dengan istilah survival corruption atau corruption by
need (korupsi untuk bertahan hidup atau karena kebutuhan) adalah bentuk korupsi yang dilakukan
oleh pegawai pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena pendapatan yang
tidak memadai. Sekalipun dalam skala kecil, jika model korupsi ini terjadi dalam jumlah besar dan
menyeluruh dalam sebuah negara, hal ini akan berdampak pada kerugian negara dan masyarakat
juga besar. Suap dalam pengurusan surat izin mengemudi (SIM), ijin usaha, izin mendirikan
bangunan (IMB), pendaftaran sekolah, suap pada saat terjadi razia kendaraan bermotor atau
pelanggaran lalu lintas kepada petugas dan sebagainya adalah modus umum dari model korupsi
jenis ini di Indonesia dan pada umumnya di negara-negara berkembang.

Korupsi tidak lagi menjadi persoalan lokal. Seiring dengan saling ketergantungan antara negara-
negara di dunia utamanya antara negara donor dan negara berkembang, wacana pemberantasan korupsi
tidak bisa dipisahkan dari isu-isu global. Keterlibatan mereka akibat temuan banyaknya dana pinjaman
asing, baik melalui organisasi keuangan internasional maupun negara donor yang disalahgunakan oleh
pejabat negara penerima donor, tak terkecuali Indonesia. Hal ini mendorong intervensi asing melalui isu-
isu pemberantasan korupsi bahkan tekanan asing terhadap negara penerima donor untuk melakukan
transparansi dan pengelolaan pemerintahan yang baik.

Sudah tidak diragukan lagi bahwa darurat korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.
Pelaporan terhadap segala jenis tindakan yang berkaitan maupun yang menjerumus kepada tindakan
korupsi sangatlah penting. Pelaku tidak dapat dibiarkan begitu saja. Hukuman yang diberikan juga harus
dapat membuat jera dan sesuai dengan jumlah kerugian yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlindungan
terhadap pelapor tindakan korupsi harus dijamin dan aparat penegak hukum memiliki persepsi yang sama
dalam penanganan kasus, agar tidak terhindar dari tuduhan penjebakan. Gandjar Laksmana, dosen
Fakuktas Hukum Universitas Indonesia, menyoroti masih seringnya aparat penegak hukum membebani
pelapor dengan banyak hal, termasuk pemenuhan barang bukti. “Pelapor itu butuh kumpulkan keberanian
sebelum datang ke aparat penegak hukum. Jangan lagi dia dibebani dengan keharusan membawa barang
bukti”. Dia melanjutkan, justru tugas penegak hukum itulah untuk menemukan barang buktinya. Wakil
Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan saat ini penting untuk menciptakan iklim agar orang berani
melaporkan dan menjadi whistle bower.

https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=aqBLDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=koru
psi&ots=GeAJyd5H9f&sig=-
y8xS4pcoMTINnlVQ7AyjTg2EZw&redir_esc=y#v=onepage&q=korupsi&f=false

file:///C:/Users/Net1/Pictures/ACHMAD%20UBAILLAH.FISIP.pdf

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1344-agar-perlindungan-pelapor-kasus-pemerasan-lebih-
efektif

Anda mungkin juga menyukai