PEMBAHASAN
utama dari ternak yang dipelihara di daerah tropis basah, seperti di Indonesia.
Tingginya radiasi matahari secara langsung sepanjang tahun, khususnya bagi ternak
bereproduksi tinggi, sehingga ternak dalam kondisi uncomfort karena beban panas
yang berlebih. Respon dari masalah ini adalah ternak terpaksa meningkatkan aktifitas
termoregulasi guna mengatasi beban panas yang di deritanya. Suhu dan radiasi
matahari pada kandang tanpa atap atau tanpa naungan lebih tinggi dari pada kandang
dengan atap. Sebaliknya, kelembaban dalam kandang tanpa atap lebih rendah dari
lingkungan ekstrim.
1. Pengaruh Iklim
terhadap ternak. Selain itu, berbeda dengan faktor lingkungan lain seperti pakan
dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia.
menyesuaikan dengan iklim setempat. Iklim yang cocok untuk daerah peternakan
Daerah dengan iklim ini ditandai dengan kondisi musim yang ekstrim,
dengan curah hujan rendah secara relative dan musimkering yang panjang.
Fluktuasi temperature diavual dan musim sangat besar, lengas udara sepanjang
tahun kebanyakan sangat rendah dan terdapat intensitas radiasi solar yang tinggi
karena atmosfir yang kering dang langit yang cerah. Meskipun curah hujan
keseluruhan berkisar antara 254 – 508 mm, hujan dapat turun lebih lebat
tergantung dari faktor-faktor yang tak dapat dikendalikan seperti altitude (letak
daerah dari ekuator, distribusi daratan dan air, tanah dan topografinya) dan
latitude (ketinggian tempat) dan faktor-faktor tidak tetap (variable) seperti aliran
Pada lingkungan panas paling tidak akan melakukan satu cara pengaturan
panas dengan tujuan untuk mempertahankan kondisi panas tubuh yang tetap. Cara
permukaan sehingga panas yang hilang juga akan meningkat.cara ini kemudian
keringat,menghilangkan panas dalam bentuk uap air juga merupakan cara yang
sangat efektif.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan cara
menegendalikan panas yang diterima dan peningkatan panas yang terbuang oleh
ternak, yaitu pemberian naungan (atap) dan pemilihan bahan atap yang lebih
efektif dalam menciptakan kondisi iklim mikro kandang yang kondusif bagi
ternak untuk bereproduksi. Jenis atap kandang yang biasa digunakan oleh
peternak, yaitu atap dari rumbia, seng, dan genteng. Dari bahan tersebut kita dapat
membandingkan bahan atap mana yang lebih efektif dalam menciptakan kondisi
2. Temperatur Lingkungan
Lingkungan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu biotic dan abiotik. Faktor
unit standar danbiasanya diekspresikan dalam skala derajat celcius. Secara umum
temperature udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting dalam lingkungan
fisik ternak. Agar ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologis ternak dapat
3. Kelembaban Lingkungan
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara itu
relative (Relatif Humidity = RH) dalampresentase yaitu ratio dari mol persen
fraksi uap air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara
pada temperature dan tekanan yang sama. Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi
Materi pembahasan yang kami ambil kali ini berasal dari berbagai sumber
termoregulasi (denyut jantung, respirasi, suhu rektal, suhu kulit dan suhu tubuh) dan
khususnya di daerah Kampar dan Dumai. Dengan parameter yang diamati yaitu
pengukuran lingkungan iklim mikro dalam kandang meliputi suhu lingkungan (Ta),
kelembaban udara (Rh) Temperature Humidity Index (THI) dan Kecepatan Angin.
Pengukuran respon termoregulasi antara lain denyut jantung (Hr), frekuensi respirasi
(Rr), suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts) dan suhu tubuh (Tb). Pengukuran
lainnya adalah produksi susu, konsumsi pakan dan uji kualitas susu dengan
menggunakan milkotester.
Sapi Friesien Holstein (FH) merupakan sapi perah daerah temperate yang
tergolong sensitif terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Lingkungan
(iklim) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas dan
respon termoregulasi ternak. Cekaman panas pada sapi perah ditandai dengan
produktivitas ternak.
penampilan produksi dan kelangsungan hidup sapi perah. Faktor lingkungan seperti
produktivitas ternak. Dalam hasil penelitian jurnal yang kami dapat, rataan suhu
kandang, kelembaban, THI dan kecepatan angin di daerah Kampar dan Dumai
sebagai berikut.
Kelembaban (%) 73.86 ± 6.10 (47 – 90) 66.7 ± 7.03 (37 – 91)
87.02) 88.54)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu kandang di Dumai lebih tinggi
kandang di Dumai dan Kampar dari pukul 06.00 pagi sampai siang hari terus
meningkat hingga mencapai suhu puncak pada pukul 15.00 WIB dengan suhu
maksimal di Dumai dan Kampar masing-masing adalah 37.6°C dan 35.9°C. Suhu
udara dalam kandang di Dumai dan Kampar berasal dari suhu udara lingkungan yang
naik pada pagi hingga siang hari dan menurun kembali pada pukul 16.00 sore hari.
Jones dan Stallings (1999) menyatakan bahwa zona termonetral sapi FH yang
pada pukul 06.00 terus menurun hingga pukul 15.00 WIB dan mulai naik pada pukul
16.00. Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa sapi FH akan menunjukkan
kelembaban 55%. Kelembaban udara yang tinggi dengan sedikit pergerakan udara
akan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya stress panas pada sapi perah.
pengurangan jumlah panas yang dikeluarkan melalui jalur evaporasi dari permukaan
“Temperature Humidity Index (THI)” yang dapat dijadikan indikator tingkat stres
sapi perah. THI di Kampar sebesar 72.44–87.02, sedangkan Dumai yaitu 72.2–88.54.
Sapi perah di Kampar dan Dumai mengalami stres ringan hingga sedang. Wierema
(1990) menyatakan bahwa nilai THI yang aman bagi sapi perah kurang dari 72, Jika
nilai THI melebihi 72 maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72-79), stres
sedangkan rataan angin di Dumai adalah 1.60 m s-1. Adanya hembusan angin di
dalam kandang dapat mengurangi stress panas. Beede dan Coolier (1986) menyatakan
bahwa angin dapat digunakan untuk mereduksi cekaman panas pada ternak. Tubuh
panasnya, sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang hari pada kondisi udara
cerah tidak banyak terhadap penurunan cekaman panas tubuh sapi FH (Yani dan
Purwanto 2006).
Suhu udara yang tinggi dapat meningkatkan beban panas pada ternak selain
panas yang berasal dari proses metabolisme pakan. Kondisi tersebut dapat
pada sapi perah ditandai dengan meningkatnya denyut jantung, pernafasan, suhu
rektal (Broucek et al. 2006). Dalam hasil penelitian dalam jurnal ini, rataan denyut
jantung, frekuensi respirasi, suhu rectal, suhukulit dan suhu tubuh sapi FH selama
menit-1)
(kali/menit-1)
Rataan denyut jantung sapi FH pada penelitian ini yaitu di Kampar 65 kali
menit-1 sedangkan di Dumai 64 kali menit-1. Hasil ini tidak jauh berbeda
dibandingkan hasil yang dilaporkan Purwanto et al. (1995) yaitu 64 dan 67 kali
menit-1 pada suhu 18°C dan 32°C. Hasil analisis persamaan regresi kuadratik pada
dan Dumai masing-masing sebesar 0.72 dan 0.58. Suhu lingkungan di Kampar dan
Dumai mempengaruhi denyut jantung sebesar 72% dan 58%. Denyut jantung di
Kampar dan Dumai diduga juga dipengaruhi oleh faktor lain diluar lingkungan seperti
seperti suhu dan kelembaban udara denyut jantung juga dipengaruhi oleh aktifitas
ternak dan pakan. Konsumsi pakan sapi FH di Kampar lebih baik bila dibandingkan
terhadap produksi panas yang dihasilkan oleh tubuh. Utomo et al. (2009) menyatakan
pakan dengan kualitas rendah menyebabkan proses fermentasi didalam rumen lebih
lambat, sehingga panas yang dihasilkan dari energi untuk proses metabolisme tubuh
lebih kecil, sedangkan pemberian pakan dengan kualitas baik akan terjadi sebaliknya.
Panas yang dihasilkan dari energi pakan akan menambah beban panas bagi ternak
apabila suhu lingkungan lebih tinggi dibandingkan suhu nyaman. Rahardja (2007)
menyatakan bahwa panas yang diproduksi tubuh tergantung dari aktivitas ternak serta
pakan yang diberikan dan pakan yang dikonsumsi. Reaksi sapi FH terhadap
perubahan suhu yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung merupakan
mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima
ternak berada pada kandang dengan suhu dan kelembaban tinggi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa rataan frekuensi respirasi sapi FH di Kampar dan Dumai berada
diatas kisaran normal (Frandson 1996) yaitu 24-30 kali menit-1 . Rataan frekuensi
respirasi sapi FH di Kampar pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Dumai.
respirasi sapi FH di Kampar dan Dumai dipengaruhi oleh suhu lingkungan sebesar
ternak berada diluar zona nyaman sehingga ternak mengalami stress panas. Perbedaan
naiknya produksi panas didalam tubuh ternak. Ternak homeoterm dalam kondisi suhu
pakan akan menghasilkan energi yang dipergunakan oleh ternak untuk menjalankan
fungsi fisiologis seperti pernafasan dan pengaturan keseimbangan tubuh. Hal tersebut
akan menghasilkan panas tambahan bagi tubuh. Isnaeni (2006) menyatakan kesulitan
dalam pelepasan panas secara sensible, menyebabkan ternak melepaskan panas secara
insensible (evaporasi).
Pengukuran suhu rektal dilakukan untuk mengetahui suhu dalam tubuh ternak.
Tabel ini menunjukkan bahwa rataan suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai sama
sebesar 38.27 °C. Suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai masih dikategorikan
normal karena sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang
menyebutkan bahwa temperatur rektal sapi perah yang normal berkisar antara 38 –
39.3°C. Hasil analisis persamaan regresi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu
dan Dumai (72%). Terjadinya peningkatan suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai
pada siang hari ini diduga karena adanya pengaruh kenaikan suhu lingkungan
kandang. Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa suhu rektal akan meningkat
apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut
jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembaban lingkungan. Muller
dan Botha (1993) yang menyatakan bahwa tingginya suhu rektal ternak pada siang
hari kemungkinan juga disebabkan panas hasil metabolisme di dalam tubuh. Produksi
panas pada ternak dipengaruhi oleh tingkah laku, jumlah konsumsi pakan dan suhu
lingkungan. Suhu lingkungan yang panas akan menurunkan pelepasan panas 9 tubuh
melalui jalur sensible (tidak evaporative). Sebaliknya pelepasan panas tubuh melalui
pelepasan panas melalui proses radiasi, konduksi dan evaporasi (Berman 2005). Suhu
kulit sapi FH di Kampar dan Dumai pada penelitian ini masing-masing yaitu 33.38
dan 32.44°C. Suhu kulit di Kampar dan Dumai pada siang hari meningkat kemudian
menurun kembali pada sore hari dipengaruhi oleh suhu lingkungan kandang yang
meningkat pada siang hari dan menurun pada sore hari. Hasil analisis regresi
serta organ-organ di luar tubuh. Suhu tubuh dapat di prediksi dari suhu rektal dan 10
suhu permukaan kulit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan (P>0.05) antara suhu tubuh sapi FH di Kampar dan Dumai. Rataan suhu
tubuh sapi FH di Kampar dan Dumai yaitu 37.59 °C dan 37.45 °C. Suhu tubuh di
kedua lokasi ini masih berada pada kisaran normal. Hal ini sesuai dengan pendapat
Schutz et al (2008) menyatakan suhu tubuh sapi yang dipelihara dilingkungan mikro
yang nyaman yaitu berkisar antara 37.3-38.6 °C. Suhu tubuh pada pagi hari masih
rendah yaitu 36.87 °C untuk Kampar dan 36.38 °C untuk Dumai, kemudian
meningkat pada siang dan sore hari hingga menjadi 38.02 °C untuk Kampar dan
kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari
sapi perah. Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan akan berproduksi secara
normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Faktor lain yang mempengaruhi
produktivitas sapi perah adalah pakan. Pakan yang diberikan pada pembahasan ini
berupa rumput gajah dan ampas tahu. Dengan tabelnya sebagai berikut.
Ampas tahu 10 -
jumlah yang berbeda akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas
tubuh), denyut nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses
fermentasi atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh, perbedaan tersebut akan
salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas
sapi perah. Rataan suhu kandang di Kampar dan Dumai pada saat penelitian ini
adalah 29.89°C dan 31.45°C. Jones dan Stallings (1999) menyatakan zona
Kampar dan Dumai yaitu sebesar 4.85 liter ekor-1 hari-1dan 0.90 liter ekor-1 hari-1.
Suhu lingkungan yang tinggi diwilayah lintang rendah Kampar dan Dumai membuat
ternak berada diluar zona nyaman sehingga ternak mengalami cekaman stress dan
berpangaruh terhadap produktivitas sapi FH diwilayah ini. Hal ini sesuai dengan
pendapat Rumetor (2003) menyatakan apabila ternak berada pada suhu lingkungan
dan THI diluar zona nyaman akan berpengaruh terhadap gangguan termoregulasi dan
menurunnya produksi susu. Produksi susu pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh
pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Sapi FH di Dumai hanya mengkonsumsi hijauan
sehingga energi yang dihasilkan dari proses metabolism juga sedikit yang
berpengaruh terhadap produksi ternak. Siregar (2001) menyatakan ternak yang hanya
mengkonsumsi hijauan produksi susunya akan rendah karena zat gizi yang
3.1 Kesimpulan
Banyak faktor dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi produktivitas Sapi FH.
Iklim, tempratur lingkungan, kelembaban lingkungan, dapat menjadi faktor
penghambat produkti
DAFTAR PUSTAKA
Blakely J, Bade HD. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Srigandono, terjemahan.
Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.
Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Philadeplhia London (GB) : Saunders
Company.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada
University Press.
Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim terhadap respon sapi peranakan Fries
Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya.
Media Peternakan 9: 35-46.
McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climate. San
Frascisco (US): W.H. Freeman and Co. p.1-128.
Purwanto BP, Santoso AB, Murfi A. 1995. Fisiologi Lingkungan. Bogor (ID):
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Siregar SB. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi
melalui pemberian pakan dan frekuensi pemberiannya. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner No. 2 : 76- 82.
Suherman D, Purwanto BP, Manalu W, Permana IG. 2013. Model penentuan suhu
kritis pada sapi perah berdasarkan kemampuan produksi dan manajemen
pakan. J Sain Peternakan Indonesia Vol. 8: 121 – 138.
Rahardja DP. 2007. Ilmu Lingkungan Ternak. Makassar (ID): Citra Emulsi.
Rumetor SD. 2003. Stres panas pada sapi perah laktasi. Makalah Falsafah Sains.
Bogor (ID) : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.