Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

Pengaruh suhu lingkungan terhadap ternak ruminansia merupakan masalah

utama dari ternak yang dipelihara di daerah tropis basah, seperti di Indonesia.

Tingginya radiasi matahari secara langsung sepanjang tahun, khususnya bagi ternak

bereproduksi tinggi, sehingga ternak dalam kondisi uncomfort karena beban panas
yang berlebih. Respon dari masalah ini adalah ternak terpaksa meningkatkan aktifitas

termoregulasi guna mengatasi beban panas yang di deritanya. Suhu dan radiasi

matahari pada kandang tanpa atap atau tanpa naungan lebih tinggi dari pada kandang

dengan atap. Sebaliknya, kelembaban dalam kandang tanpa atap lebih rendah dari

pada di dalam kandang dengan atap. Berikutmerupakan beberapa penyebab terjadinya

lingkungan ekstrim.

1. Pengaruh Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh langsung

terhadap ternak. Selain itu, berbeda dengan faktor lingkungan lain seperti pakan

dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia.

Untuk memperoleh produktifitas ternak yang efisien, manusia harus

menyesuaikan dengan iklim setempat. Iklim yang cocok untuk daerah peternakan

adalah pada klimat semi-arid.

Daerah dengan iklim ini ditandai dengan kondisi musim yang ekstrim,

dengan curah hujan rendah secara relative dan musimkering yang panjang.
Fluktuasi temperature diavual dan musim sangat besar, lengas udara sepanjang

tahun kebanyakan sangat rendah dan terdapat intensitas radiasi solar yang tinggi

karena atmosfir yang kering dang langit yang cerah. Meskipun curah hujan

keseluruhan berkisar antara 254 – 508 mm, hujan dapat turun lebih lebat

meskipun kejadian itu sangat jarang.

Iklim yang ada diberbagai daerah tidaklah sama, melainkan bervariasi

tergantung dari faktor-faktor yang tak dapat dikendalikan seperti altitude (letak

daerah dari ekuator, distribusi daratan dan air, tanah dan topografinya) dan

latitude (ketinggian tempat) dan faktor-faktor tidak tetap (variable) seperti aliran

air laut, angin, curah hujan, drainase dan vegetasi.

Pada lingkungan panas paling tidak akan melakukan satu cara pengaturan

panas dengan tujuan untuk mempertahankan kondisi panas tubuh yang tetap. Cara

fisik menghilangkan panas dalam kondisi lingkungan yang panas adalah

memperlebar pembuluh darah. Cara ini akan meningkatkan supply darah ke

permukaan sehingga panas yang hilang juga akan meningkat.cara ini kemudian

diikuti menghilangkan panas dengan cara penguapan panas ke udara secara

langsung atau cara konduksi.pada hewan yang mempunyai kelenjar

keringat,menghilangkan panas dalam bentuk uap air juga merupakan cara yang

sangat efektif.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan cara

menegendalikan panas yang diterima dan peningkatan panas yang terbuang oleh

ternak, yaitu pemberian naungan (atap) dan pemilihan bahan atap yang lebih
efektif dalam menciptakan kondisi iklim mikro kandang yang kondusif bagi

ternak untuk bereproduksi. Jenis atap kandang yang biasa digunakan oleh

peternak, yaitu atap dari rumbia, seng, dan genteng. Dari bahan tersebut kita dapat

membandingkan bahan atap mana yang lebih efektif dalam menciptakan kondisi

iklim mikro kandang yang kondusif bagi ternak untuk berproduksi.

2. Temperatur Lingkungan

Lingkungan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu biotic dan abiotik. Faktor

lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalammenyebabkan stress

fisiologis ( Yousef dalam Sientje, 2003). Komponen lingkungan abiotik yang

utama berpengaruh nyata terhadap ternak adalah temperature, kelembaban, curah

hujan, angin dan radiasi matahari.

Temperature lingkungan merupakan ukuran dari intensitas panas dalam

unit standar danbiasanya diekspresikan dalam skala derajat celcius. Secara umum

temperature udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting dalam lingkungan

fisik ternak. Agar ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologis ternak dapat

berfungsi normal maka dibutuhkan temperature yang sesuai. Banyak spesies


ternak membutuhkan temperature Nyaman sekitar 13-18°C atau temperature

humidity index (THI) < 72. (Davidson, et al.dalam Sientje, 2003).

3. Kelembaban Lingkungan

Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara itu

penting, karena mempengaruhi kecepatan hilangnya panas dari tubuh ternak.


Kelembaban dapat menjadi control dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit

dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban

relative (Relatif Humidity = RH) dalampresentase yaitu ratio dari mol persen

fraksi uap air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara

pada temperature dan tekanan yang sama. Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi

terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dengan demikian mempengaruhi

keseimbangan termal ternak. (Chantalakhana dan Skunmun dalam Sientje, 2003).

Materi pembahasan yang kami ambil kali ini berasal dari berbagai sumber

seperti buku dan jurnal, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya,

dengan asumsi bahwa tekanan lingkungan sangat berpengaruh terhadap respon

termoregulasi (denyut jantung, respirasi, suhu rektal, suhu kulit dan suhu tubuh) dan

tingkat produktifitas sapi perah FH (Freisien Holnstein) yang ada di Indonesia,

khususnya di daerah Kampar dan Dumai. Dengan parameter yang diamati yaitu

pengukuran lingkungan iklim mikro dalam kandang meliputi suhu lingkungan (Ta),

kelembaban udara (Rh) Temperature Humidity Index (THI) dan Kecepatan Angin.

Pengukuran respon termoregulasi antara lain denyut jantung (Hr), frekuensi respirasi

(Rr), suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts) dan suhu tubuh (Tb). Pengukuran

lainnya adalah produksi susu, konsumsi pakan dan uji kualitas susu dengan

menggunakan milkotester.

2.1 Kondisi Mikroklimat Kandang Sapi FH

Sapi Friesien Holstein (FH) merupakan sapi perah daerah temperate yang

tergolong sensitif terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Lingkungan
(iklim) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas dan

respon termoregulasi ternak. Cekaman panas pada sapi perah ditandai dengan

meningkatnya denyut jantung, pernafasan, suhu tubuh serta menurunnya

produktivitas ternak.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

penampilan produksi dan kelangsungan hidup sapi perah. Faktor lingkungan seperti

suhu dan kelembaban merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

produktivitas ternak. Dalam hasil penelitian jurnal yang kami dapat, rataan suhu

kandang, kelembaban, THI dan kecepatan angin di daerah Kampar dan Dumai

sebagai berikut.

Peubah Kampar (min – max) Dumai (min-max)

Suhu Kandang °C 29.89 ± 1.41(23.4-35.9) 31.45 ± 1.28 (23.2-37.6)

Kelembaban (%) 73.86 ± 6.10 (47 – 90) 66.7 ± 7.03 (37 – 91)

THI 82.45 ± 1.33 (72.44 – 81.48 ± 1.22 (72.2 –

87.02) 88.54)

Kecepatan Angin (m.s-1) 1.29 ± 0.5 (0 -3.40) 1.60 ± 0.68 (0 -5.58)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu kandang di Dumai lebih tinggi

dibandingkan di Kampar. Pada tabel urutan pertama menunjukkan bahwa suhu

kandang di Dumai dan Kampar dari pukul 06.00 pagi sampai siang hari terus

meningkat hingga mencapai suhu puncak pada pukul 15.00 WIB dengan suhu

maksimal di Dumai dan Kampar masing-masing adalah 37.6°C dan 35.9°C. Suhu
udara dalam kandang di Dumai dan Kampar berasal dari suhu udara lingkungan yang

naik pada pagi hingga siang hari dan menurun kembali pada pukul 16.00 sore hari.

Jones dan Stallings (1999) menyatakan bahwa zona termonetral sapi FH yang

dikembangkan Eropa 5 – 25°C. Rataan kelembaban lingkungan kandang di Kampar

lebih tinggi daripada Dumai.

Tabel urutan ke dua memperlihatkan bahwa kelembaban udara di Kampar dan

Dumai selalu berubah-rubah mengikuti perubahan suhu kandang, dimana kelembaban

pada pukul 06.00 terus menurun hingga pukul 15.00 WIB dan mulai naik pada pukul

16.00. Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa sapi FH akan menunjukkan

penampilan produksi yang optimal apabila ditempatkan pada lingkungan dengan

kelembaban 55%. Kelembaban udara yang tinggi dengan sedikit pergerakan udara

akan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya stress panas pada sapi perah.

Kelembaban udara akan mengakibatkan peningkatan penambahan panas dan

pengurangan jumlah panas yang dikeluarkan melalui jalur evaporasi dari permukaan

kulit dan saluran pernafasan (Purwanto et al. 1993).

Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut

“Temperature Humidity Index (THI)” yang dapat dijadikan indikator tingkat stres

sapi perah. THI di Kampar sebesar 72.44–87.02, sedangkan Dumai yaitu 72.2–88.54.

Sapi perah di Kampar dan Dumai mengalami stres ringan hingga sedang. Wierema

(1990) menyatakan bahwa nilai THI yang aman bagi sapi perah kurang dari 72, Jika

nilai THI melebihi 72 maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72-79), stres

sedang (80-89) dan stres berat (90-97).


Rataan kecepatan angin di Kampar selama penelitian adalah 1.29 m s-1

sedangkan rataan angin di Dumai adalah 1.60 m s-1. Adanya hembusan angin di

dalam kandang dapat mengurangi stress panas. Beede dan Coolier (1986) menyatakan

bahwa angin dapat digunakan untuk mereduksi cekaman panas pada ternak. Tubuh

sapi FH memerlukan kecepatan angin yang lebih untuk mereduksi cekaman

panasnya, sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang hari pada kondisi udara

cerah tidak banyak terhadap penurunan cekaman panas tubuh sapi FH (Yani dan
Purwanto 2006).

2.2 Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Respon Termoregulasi Ternak

Suhu udara yang tinggi dapat meningkatkan beban panas pada ternak selain

panas yang berasal dari proses metabolisme pakan. Kondisi tersebut dapat

mengakibatkan ternak mengalami kesulitan dalam pelepasan panas. Cekaman panas

pada sapi perah ditandai dengan meningkatnya denyut jantung, pernafasan, suhu

rektal (Broucek et al. 2006). Dalam hasil penelitian dalam jurnal ini, rataan denyut

jantung, frekuensi respirasi, suhu rectal, suhukulit dan suhu tubuh sapi FH selama

penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

Peubah Kampar Dumai

Denyut jantung (kali 65 ±3.52 64 ±4.32

menit-1)

Frekuensi respirasi 40 ±4.76a 32 ±4.65b

(kali/menit-1)

Suhu rectal (°C) 38.27 ±0.09 38.27 ±0.13


Suhu kulit (°C) 33.38 ±0.42a 32.44 ±0.86b

Suhu tubuh (°C) 37.59 ±0.13 37.45 ±0.21

Rataan denyut jantung sapi FH pada penelitian ini yaitu di Kampar 65 kali

menit-1 sedangkan di Dumai 64 kali menit-1. Hasil ini tidak jauh berbeda

dibandingkan hasil yang dilaporkan Purwanto et al. (1995) yaitu 64 dan 67 kali
menit-1 pada suhu 18°C dan 32°C. Hasil analisis persamaan regresi kuadratik pada

Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai koefesien determinasi denyut jantung di Kampar

dan Dumai masing-masing sebesar 0.72 dan 0.58. Suhu lingkungan di Kampar dan

Dumai mempengaruhi denyut jantung sebesar 72% dan 58%. Denyut jantung di

Kampar dan Dumai diduga juga dipengaruhi oleh faktor lain diluar lingkungan seperti

aktivitas ternak dan pakan.

Cunningham (2002) menyatakan selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

seperti suhu dan kelembaban udara denyut jantung juga dipengaruhi oleh aktifitas

ternak dan pakan. Konsumsi pakan sapi FH di Kampar lebih baik bila dibandingkan

sapi FH di Dumai yang hanya mengkonsumsi hijauan sehingga akan berpengaruh

terhadap produksi panas yang dihasilkan oleh tubuh. Utomo et al. (2009) menyatakan

pakan dengan kualitas rendah menyebabkan proses fermentasi didalam rumen lebih

lambat, sehingga panas yang dihasilkan dari energi untuk proses metabolisme tubuh

lebih kecil, sedangkan pemberian pakan dengan kualitas baik akan terjadi sebaliknya.

Panas yang dihasilkan dari energi pakan akan menambah beban panas bagi ternak

apabila suhu lingkungan lebih tinggi dibandingkan suhu nyaman. Rahardja (2007)
menyatakan bahwa panas yang diproduksi tubuh tergantung dari aktivitas ternak serta

pakan yang diberikan dan pakan yang dikonsumsi. Reaksi sapi FH terhadap

perubahan suhu yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung merupakan

mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima

dari luar tubuh ternak.

Tujuan respirasi adalah untuk memaksimalkan pengeluaran panas karena

ternak berada pada kandang dengan suhu dan kelembaban tinggi. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa rataan frekuensi respirasi sapi FH di Kampar dan Dumai berada

diatas kisaran normal (Frandson 1996) yaitu 24-30 kali menit-1 . Rataan frekuensi

respirasi sapi FH di Kampar pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Dumai.

Berdasarkan analisis persamaan regresi dapat dilihat bahwa suhu lingkungan

berpengaruh terhadap meningkatnya frekuensi respirasi. Peningkatan frekuensi

respirasi sapi FH di Kampar dan Dumai dipengaruhi oleh suhu lingkungan sebesar

64%. Meningkatnya frekuensi respirasi di Kampar dan Dumai merupakan akibat

ternak berada diluar zona nyaman sehingga ternak mengalami stress panas. Perbedaan

pakan yang diberikan diduga berpengaruh terhadap frekuensi respirasi. Novianti

(2014) menyatakan bahwa peningkatan frekuensi respirasi diakibatkan oleh reaksi

ternak terhadap perubahan suhu lingkungan sehingga akan berakibat terhadap

naiknya produksi panas didalam tubuh ternak. Ternak homeoterm dalam kondisi suhu

udara yang tinggi akanmelakukan penyesuaian metabolisme sehingga dicapai kondisi

yang seimbang (Collier et al 1982). Utomo et al (2009) menyatakan metabolism

pakan akan menghasilkan energi yang dipergunakan oleh ternak untuk menjalankan

fungsi fisiologis seperti pernafasan dan pengaturan keseimbangan tubuh. Hal tersebut
akan menghasilkan panas tambahan bagi tubuh. Isnaeni (2006) menyatakan kesulitan

dalam pelepasan panas secara sensible, menyebabkan ternak melepaskan panas secara

insensible (evaporasi).

Pengukuran suhu rektal dilakukan untuk mengetahui suhu dalam tubuh ternak.

Tabel ini menunjukkan bahwa rataan suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai sama

sebesar 38.27 °C. Suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai masih dikategorikan

normal karena sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang

menyebutkan bahwa temperatur rektal sapi perah yang normal berkisar antara 38 –

39.3°C. Hasil analisis persamaan regresi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu

lingkungan berpengaruh positif terhadap meningkatnya suhu rektal di Kampar (77%)

dan Dumai (72%). Terjadinya peningkatan suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai

pada siang hari ini diduga karena adanya pengaruh kenaikan suhu lingkungan

kandang. Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa suhu rektal akan meningkat

apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut

jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembaban lingkungan. Muller

dan Botha (1993) yang menyatakan bahwa tingginya suhu rektal ternak pada siang

hari kemungkinan juga disebabkan panas hasil metabolisme di dalam tubuh. Produksi

panas pada ternak dipengaruhi oleh tingkah laku, jumlah konsumsi pakan dan suhu

lingkungan. Suhu lingkungan yang panas akan menurunkan pelepasan panas 9 tubuh

melalui jalur sensible (tidak evaporative). Sebaliknya pelepasan panas tubuh melalui

jalur evaporasi akan meningkat sehingga mengakibatkan produksi panas metabolis

akan berubah mengikuti respon termoregulasi.


Permukaan kulit ternak dapat berfungsi untuk melepaskan atau tempat

pelepasan panas melalui proses radiasi, konduksi dan evaporasi (Berman 2005). Suhu

kulit sapi FH di Kampar dan Dumai pada penelitian ini masing-masing yaitu 33.38

dan 32.44°C. Suhu kulit di Kampar dan Dumai pada siang hari meningkat kemudian

menurun kembali pada sore hari dipengaruhi oleh suhu lingkungan kandang yang

meningkat pada siang hari dan menurun pada sore hari. Hasil analisis regresi

sederhana menunjukkan bahwa pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu kulit di


Kampar sebesar 0.80 sedangkan Dumai 0.94, artinya 80% dan 94% suhu lingkungan

di Kampar dan Dumai mempengaruhi peningkatan suhu kulit. Hasil penelitian

Suherman et al. (2013) menyatakan bahwa kulit sangat berkorelasi terhadap

perubahan unsur cuaca karena mengalami kontak langsung dengan cuaca.

Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh

serta organ-organ di luar tubuh. Suhu tubuh dapat di prediksi dari suhu rektal dan 10

suhu permukaan kulit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan (P>0.05) antara suhu tubuh sapi FH di Kampar dan Dumai. Rataan suhu

tubuh sapi FH di Kampar dan Dumai yaitu 37.59 °C dan 37.45 °C. Suhu tubuh di

kedua lokasi ini masih berada pada kisaran normal. Hal ini sesuai dengan pendapat

Schutz et al (2008) menyatakan suhu tubuh sapi yang dipelihara dilingkungan mikro

yang nyaman yaitu berkisar antara 37.3-38.6 °C. Suhu tubuh pada pagi hari masih

rendah yaitu 36.87 °C untuk Kampar dan 36.38 °C untuk Dumai, kemudian

meningkat pada siang dan sore hari hingga menjadi 38.02 °C untuk Kampar dan

38.13 °C untuk Dumai. Meningkatnya suhu tubuh diduga dipengaruhi oleh

meningkatnya suhu lingkungan berpengaruh terhadap suhu tubuh tenak. Suherman et


al (2013) menyatakan bahwa peningkatan beban panas yang disebabkan oleh

kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari

dapat meningkatkan suhu tubuh dan laju respirasi.

2.3 Konsumsi Pakan dan Produksi Susu

Pemeliharaan sapi perah di dataran rendah umumnya menunjukkan

kemampuan berproduksi yang lebih rendah dibandingkan dengan dataran tinggi.


Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak

sapi perah. Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan akan berproduksi secara

optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan

normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Faktor lain yang mempengaruhi

produktivitas sapi perah adalah pakan. Pakan yang diberikan pada pembahasan ini

berupa rumput gajah dan ampas tahu. Dengan tabelnya sebagai berikut.

Keterangan Kampar Dumai

Konsumsi pakan (kg ekor-1 hari)

Hijauan 28.34a 25b

Ampas tahu 10 -

Konsumsi pakan (% BB-1 hari-1)

Bahan kering 1.94a 1.67b

Bahan kasar 0.26a 0.15b

TDN 1.08a 0.76b


Mcdowell (1972) menyatakan pakan yang diberikan pada ternak dalam

jumlah yang berbeda akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas

tubuh), denyut nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses

fermentasi atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh, perbedaan tersebut akan

berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak. Suhu lingkungan merupakan

salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas

sapi perah. Rataan suhu kandang di Kampar dan Dumai pada saat penelitian ini
adalah 29.89°C dan 31.45°C. Jones dan Stallings (1999) menyatakan zona

termonetral sapi FH berkisar antara 5 – 25°C.

Hasil penelitian ini juga membahas bagaimana rataan produksi susu di

Kampar dan Dumai yaitu sebesar 4.85 liter ekor-1 hari-1dan 0.90 liter ekor-1 hari-1.

Suhu lingkungan yang tinggi diwilayah lintang rendah Kampar dan Dumai membuat

ternak berada diluar zona nyaman sehingga ternak mengalami cekaman stress dan

berpangaruh terhadap produktivitas sapi FH diwilayah ini. Hal ini sesuai dengan

pendapat Rumetor (2003) menyatakan apabila ternak berada pada suhu lingkungan

dan THI diluar zona nyaman akan berpengaruh terhadap gangguan termoregulasi dan

menurunnya produksi susu. Produksi susu pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh

pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Sapi FH di Dumai hanya mengkonsumsi hijauan

sehingga energi yang dihasilkan dari proses metabolism juga sedikit yang

berpengaruh terhadap produksi ternak. Siregar (2001) menyatakan ternak yang hanya

mengkonsumsi hijauan produksi susunya akan rendah karena zat gizi yang

dikonsumsi sangat rendah dan berpengaruh terhadap produksi susunya.


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Banyak faktor dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi produktivitas Sapi FH.
Iklim, tempratur lingkungan, kelembaban lingkungan, dapat menjadi faktor
penghambat produkti
DAFTAR PUSTAKA

Blakely J, Bade HD. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Srigandono, terjemahan.
Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.
Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Philadeplhia London (GB) : Saunders
Company.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada
University Press.
Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim terhadap respon sapi peranakan Fries
Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya.
Media Peternakan 9: 35-46.
McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climate. San
Frascisco (US): W.H. Freeman and Co. p.1-128.
Purwanto BP, Santoso AB, Murfi A. 1995. Fisiologi Lingkungan. Bogor (ID):
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Siregar SB. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi
melalui pemberian pakan dan frekuensi pemberiannya. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner No. 2 : 76- 82.
Suherman D, Purwanto BP, Manalu W, Permana IG. 2013. Model penentuan suhu
kritis pada sapi perah berdasarkan kemampuan produksi dan manajemen
pakan. J Sain Peternakan Indonesia Vol. 8: 121 – 138.
Rahardja DP. 2007. Ilmu Lingkungan Ternak. Makassar (ID): Citra Emulsi.
Rumetor SD. 2003. Stres panas pada sapi perah laktasi. Makalah Falsafah Sains.
Bogor (ID) : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai