Anda di halaman 1dari 8

Prosiding

SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015


TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3)
No.ISSN: 2477-6440
Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015

Upaya Pencegahan Penyakit Menular pada Bencana Tsunami

Communicable Disease Prevention Efforts in Tsunami

Mudatsir1
1
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh
Indonesia 23111, Email: mudatsir@unsyiah.ac.id

Abstrak

Bencana tsunami adalah adalah peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Akibat dari tsunami tersebut adalah banyaknya korban yang luka
yang berisiko infeksi dan berubahan bentang alam sehingga berpotensi hidupnya vektor
pembawa penyakit menular. Penyakit menular adalah penyakit yang dapat menular ke
manusia yang disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit.
Upaya mitigasi kesehatan pada bencana tsunami bertujuan untuk mengurangi timbulnya
penyakit menular yang dapat dilakukan melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan
sumber daya kesehatan maupun penyadaran korban bencana. Langkah-langkah prioritas
yang sangat penting untuk mengurangi dampak penyakit menular adalah adanya data
penyakit menular pada tahap pra bencana. Setelah bencana tsunami upaya yang dapat
dilakukan untuk pencegahan penyakit menular adalah penyediaan air bersih, sanitasi
lingkungan, surveilans dan deteksi cepat kasus penyakit berpotensi wabah, imunisasi,
pencegahan malaria dan demam berdarah serta rencana kesiapsiagaan-siagaan
pengendalian penyakit menular lainnya.

Kata Kunci: Tsunami, mitigasi, penyakit menular

Abstract

The tsunami disaster is an event that is threatening and disrupting the lives and
livelihoods caused by natural factors, resulting in the emergence of human fatalities,
environmental damage, loss of property, and psychological impact. As a result of the
tsunami is the number of the injured victim is at risk of infection and landscape changes
so that potentially life communicable disease vector. Infectious disease is a disease that
can be transmitted to humans caused by biological agents, such as viruses, bacteria,
fungi, and parasites. Health mitigation efforts in the tsunami disaster aims to reduce the
incidence of infectious diseases that can be done through awareness and capacity
building of health resources as well as awareness of disaster victims. Priority measures
that are critical to reducing the impact of infectious diseases is the presence of infectious
disease data at pre-disaster phase. After the tsunami disaster efforts should be made for
the prevention of infectious diseases is the provision of clean water, sanitation,
surveillance and rapid detection of cases of potentially disease outbreaks, immunization,

126
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding
SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015
TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3)
No.ISSN: 2477-6440
Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015

malaria and dengue fever prevention and preparedness plans other infectious disease
control.

Keywords: Tsunami, Mitigation, Communicable Diseases

1. Pendahuluan

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (UU No 24 Tahun 2007). Bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam salah
satunya adalah tsunami. Salah satu efek dari tsunami adalah risiko timbulnya penyakit
menular.
Penanggulangan penyakit menular pada bencana tsunami adalah upaya
kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif yang ditujukan untuk
menurunkan dan menghilangkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian, membatasi
penularan, serta penyebaran penyakit agar tidak meluas antardaerah maupun
antarnegara serta berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa/wabah. Dampak penyakit
menular akan berisiko tinggi, bila terjadi bencana tsunami. Peningkatan penyakit
endemik dan risiko timbulnya wabah harus dievaluasi sistematis dengan penilaian
risiko secara komprehensif (Moszynski, 2005). Hal ini menjadi prioritas intervensi
untuk mengurangi dampak dari penyakit menular pasca bencana.
Upaya mitigasi kesehatan pada bencana tsunami bertujuan untuk mengurangi
timbulnya penyakit menular yang dapat dilakukan melalui penyadaran dan peningkatan
kemampuan sumber daya kesehatan maupun penyadaran korban bencana. Langkah
prioritas sangat penting untuk mengurangi dampak penyakit menular adalah adanya
data penyakit menular pada tahap pra bencana (WHO, 2006). Setelah bencana tsunami
upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit menular adalah penyediaan air
bersih, sanitasi lingkungan, surveilans dan deteksi cepat kasus penyakit berpotensi
wabah, imunisasi, pencegahan malaria dan demam berdarah serta rencana
kesiapsiagaan-siagaan pengendalian penyakit menular lainnya. Diharapkan dengan
dengan merinci prioritas dengan langkah-langkah yang tepat sangat diperlukan untuk
mengurangi dampak dari penyakit menular berikut bencana tsunami, akan membantu
untuk melindungi kesehatan masyarakat yang terkena bencana (Iwata et al., 2013).

2. Penyakit Menular pada Tsunami

2.1 Penyakit menular yang terkait kematian korban

Adanya korban yang meninggal di daerah yang terkena tsunami merupakan


risiko terjadinya wabah (de ville de Goyet C, 2004). Meskipun demikian beberapa fakta
lain juga menyebutkan bahwa mayat tidak menimbulkan risiko wabah setelah bencana
alam (Morgan O, 2004). Sebaliknya risiko wabah lainnya adalah terkait dengan
parahnya daerah cakupan bencana, status kesehatan dan kondisi kehidupan penduduk
mengungsi akibat bencana. Banyaknya pengungsi yang menempati daerah

127
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding
SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015
TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3)
No.ISSN: 2477-6440
Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015

penampungan, air yang tidak memadai dan sanitasi, dan akses yang buruk terhadap
kesehatan layanan akan meningkatkan risiko penularan penyakit menular (WHO, 2006 )
Meskipun risiko keseluruhan wabah penyakit menular lebih rendah namun risiko yang
lebih tinggi adalah bila terjadi penularan penyakit endemik dan epidemik yang terdapat
di daerah bencana. Di Thailand penelitian Somboonna et al., (2014) dilaporkan adanya
perubahan ekologi dari mikroba di daerah yang terkena tsunami dibandingkan dengan
mikroba sebelum tsunami.

2.2. Penyakit Melalui Air (Water-borne Disease)

Wabah penyakit diare dapat terjadi setelah terjadinya tsunami. Ketersediaan air
dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpotensi terjadinya
diare. Kontaminasi air minum dengan agen penyakit, telah dilaporkan pasca terjadinya
tsunami. Wabah diare pasca bencana di Bangladesh pada tahun 2004 lebih dari 17 000
kasus. Hasil isolasi penyebab diare ditemukan bakteri Vibrio cholerae (O1 Ogawa dan
O1 Inaba) dan enterotoksigenik Escherichia coli (Qadri et al., 2004). Lebih dari 16 000
kasus wabah kolera (O1 Ogawa) di West Bengal pada tahun 1998 ini terjadi setelah
bencana (Sur, 2000). Risiko wabah penyakit diare akibat bencana alam lebih tinggi di
Negara berkembang dibandingkan dengan di negara maju (Ahern et al., 2005). Di Kota
Calang Propinsi Aceh ketika terjadi tsunami dua minggu setelah tsunami Desember
2004 seluruh penduduk (100%) dari korban tsunami minum dari sumur yang tidak
dimasak, sekitar 85% dari penduduk tersebut dilaporkan menderita diare (Brennan et
al., 2005).

2.3. Penyakit yang Berhubungan Dengan Tempat Pengungsian

Kondisi di tempat pengungsian pasca tsunami juga faktor yang mempengaruhi


transmisi penyaki. Sebaran penyakit di tempat pengungsian dipengaruhi oleh cakupan
imunisasi korban sebelum terjadinya bencana. Beberapa penyakit juga dapat dicegah
ditempat pengungsian dengan peberian imunisasi, seperti penyakit campak. Pemberian
imunisasi ini untuk mencegah terjadinya wabah pada pengungsi akibat bencana alam
(Marin et al., 2006). Di Aceh setelah tsunami ditemukan 35 kasus campak yang terjadi
di Kabupaten Aceh Utara. Kasus tersebut terjadi sporadis yang meskipun kampanye
vaksinasi massal telah dilakukan dan kasus kematian akibat meningitis di tempat
pengungsi tsunami di Aceh pernah juga dilaporkan ((Ministry of Health, Indonesia et
al., 2005).
Respon cepat dengan penggunaan antibiotik profilaksis, seperti yang dilakukan
di Aceh dan Pakistan dapat menghambat transmisi penyakit khususnya Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA). ISPA merupakan penyebab utama penyebab morbiditas dan
mortalitas di tempat pengungsi, terutama pada anak usia kurang 5 tahun. Daito et al.,
(2013) menyebutkan bahwa kurangnya akses ke layanan kesehatan dan antibiotik yang
tidak adekuat untuk perawatan lebih lanjut meningkatkan risiko kematian akibat ISPA.
Jumlah pengungsi yang terlalu banyak pada tempat penampungan merupakan
penyumbang tertinggi kasus kematian di tempatt tsunami di Aceh pada tahun 2004
((Ministry of Health, Indonesia et al., 2005).

128
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding
SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015
TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3)
No.ISSN: 2477-6440
Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015

2.4. Penyakit dengan Perantaran Vektor (Vector-borne Disease)

Bencana tsunami akan merubah bentang alam sehingga mempengaruhi lingkungan.


Perubahan tersebut akan berpengaruh perkembangbiakan vektor penularan penyakit.
Adanya genangan air pasca tsunami a berpotensi sebagai tempat sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan populasi vektor
yang berpotensi untuk transmisi penyakit. Menurut WHO (2015) air yang tidak
mengalir atau tergenang sisa pada waktu tsunami merupakan tempat vector utama
penyebab malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Faktor kerentanan penduduk
juga merupakan faktor risiko terjadinya infeksi. Kerusakan infrastuktur pelayanan
kesehatan juga merupakan factor risiko di daerah terjadinya tsunami. (Lifson, 1996).
Transmisi vektor secara langsung tidak langsung terkait dengan tsunami, namun akibat
perubahan lingkungan menyebabkan peningkatan ketersediaan tempat
perkembangbiakan vektor. Risiko wabah penyakit bawaan vektor dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti perubahan perilaku manusia seperti peningkatan paparan
nyamuk waktu tidur di luar, perpindahan vektor dari daerah non endemik ke daerah
endemik (WHO 2006)

2.5. Penyakit Lain yang Terkait Dengan Bencana Tsunami

Beberapa penyakit lainnya juga pernah dilaporkan timbul pasca tsunami. Akibat
korban luka, terutama pada populasi di mana tingkat cakupan vaksinasi rutin yang
rendah, akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas terhadap tetanus. Ketika terjadi
tsunami di Aceh ditemukan 106 kasus tetanus, sebanyak 20 kasus mengakibatkan (Aceh
Epidemiology Group, 2006). Kasus yang sama juga dilaporkan di Pakistan setelah
gempa bumi 2005. Wabah yang tidak biasa dari coccidiomycosis pernah terjadi tahun
1994 waktu gempa di Selatan California. Infeksi ini tidak ditularkan dari orang ke
orang, tetapi disebabkan jamur, yang ditemukan dari dalam tanah.. Wabah ini dikaitkan
dengan peningkatan kadar debu di udara setelah tanah longsor sebagai akibat dari
bencana (WHO, 2006).

3. Pencegahan Penyakit Menular pada Tsunami

Menurut WHO (2006) langkah-langkah prioritas berikut sangat penting untuk


mengurangi dampak menular penyakit setelah bencana tsunami.

3.1. Tersedianya air Besih dan Sanitasi,

Pencegahan penyakit menular sangat penting dilakukan pasca tsunami.


Penyediaan air minum yang aman paling penting untuk pencegahan setelah bencana
alam. Desinfektan seperti klorin harus tersedia dalam jumlah yang cukup karena
desinfektan ini mudah digunakan dan efektif terhadap hampir semua patogen yang
ditularkan melalui air (Moszynski, 2005). Perencanaan permukiman harus menyediakan
akses yang memadai untuk kebutuhan air dan sanitasi serta memenuhi kebutuhan ruang
minimum per orang, sesuai dengan standar internasional (WHO, 2006).

129
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding
SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015
TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3)
No.ISSN: 2477-6440
Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015

3.2. Layanan Kesehatan Primer

Akses kesehatan bagi semua warga pasca tsunami sangat diperlukan sangat
penting untuk pencegahan, diagnosis dini dan pengobatan korban (Iwata et al., 2013).
Menurut Depkes (2011) layanan kesehatan primer pasca bencana harus dikoordinasi
mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat kecamatan/puskesmas. Pusat layanan
kesehatan primer (Puskesmas) utama yang harus dilakukan adalah menyelenggaran
kesehatan dasar di penampungan, memeriksa kualitas air dan sanitasi serta surveilans
penyakit menular. Menurut WHO (2006) dampak langsung dari penyakit menular dapat
dikurangi dengan intervensi oleh layanan kesehatan.

3.3. Surveillance dan sistem peringatan dini

Deteksi cepat kasus wabah penyakit rawan sangat penting untuk memastikan
kontrol yang cepat. Pengawasan dan peringatan dini harus cepat dilakukan untuk
mendeteksi wabah dan memantau penyakit endemik prioritas.(WHO, 2006) Penyakit
endemis di daerah bencana harus dimasukkan menjadi prioritas dalam sistem surveilans
dalam penilaian risiko penyakit menular. Mukherjee (2010) menyebutkan bahwa pada
beberapa situasi, ancaman mungkin juga ditemukan penyakit langka seperti virus
demam berdarah, wabah atau tularaemia. Penilaian risiko penyakit menular yang
komprehensif untuk dapat mengidentifikasi dan memprioritaskan ancaman penyakit ini
secara dini, dengan cara:
a. Petugas kesehatan harus dilatih untuk mendeteksi penyakit prioritas dengan cepat
untuk dilaporkan ke jenjang yang lebih tinggi;.
b. Sampel dan transportasi bahan pemeriksaan harus dilakukan secepatnya untuk
merespon bila terjadinya wabah, seperti kolera. Diperlukan kit yang dapat
mendeteksi dengan cepat penyakit endemik di daerah kolera dianggap berisiko.

3.4. Imunisasi

Beberapa imunisasi diperlukan untuk beberapa penyakit yang berisiko di daerah


terjadinya tsunami. Menurut WHO (2006) beberpa imunisasi yang dianjurkan adalah:
a. Imunisasi missal campak deperlukan bersama pemberian vitamin A menjadi prioritas
kesehatan segera setelah bencana alam di daerah dengan tidak memadai tingkat
cakupan imunisasi sebelumnya rendah. Kelompok umur prioritas adalah anak-anak
yang berumur 6 bulan sampai 5 tahun serta anak sampai usia 15 tahun jika sumber
dana memungkinkan.
b. Vaksin tifoid sekarang tidak direkomendasikan untuk imunisasi massal untuk
mencegah penyakit tifus. Vaksinasi tipus dalam hubungannya dengan tindakan
pencegahan lainnya mungkin berguna untuk mengendalikan wabah tipus, tergantung
pada keadaan setempat (Sutiono et al., 2010).
c. Vaksin Hepatitis A umumnya tidak dianjurkan untuk mencegah wabah di bencana.

130
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding
SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015
TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3)
No.ISSN: 2477-6440
Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015

3.5. Pencegahan malaria dan demam berdarah

Pencegahan penyakit malaria harus didasarkan pada informasi lokal, termasuk


pada spesies parasit dan vektor utama yang terdapat di daerah tsunami. Menurut
Muriuki et al., ( 2012) data penyakit malaria di tempat terjadinya tsunami sangat
penting sebagai data awal untuk menyusun program pencegahan terjadinya malaria
pasca tsunami. Peningkatan jumlah nyamuk biasanya tidak terjadi saat setelah tsunami.
Pada saat setelah tsunami ada waktu untuk untuk pelaksanaan langkah-langkah
pencegahan penyakit malaria, seperti penyemprotan daerah tersebut dengan insektisida,
pengobatan bagi yang sudah terinfeksi sebelum tsunami. Penggunaan kelambu
berinsektisida juga salah satu cara pencegahan terhadap infeksi malaria. Menurut WHO
(2006) deteksi dini wabah malaria dapat ditingkatkan dengan monitoring terhadap kasus
mingguan dan harus menjadi bagian dari pengawasan serta menjadi sistem peringatan
din terhadap malaria. Konfirmasi hasil laboratorium secara berkala secara cepat dan
tepat sangat direkomendasikan untuk melacak hasil slide positif. Pengobatan dengan
terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) harus disediakan gratis bagi korban
tsunami yang positif malaria di daerah tsunami. Pencarian secara aktif untuk kasus
demam (suspek) sangat diperlukan untuk mengurangi angka kejangkitan dan untuk
mengurangi kematian (Muriuki et al., 2012).
Untuk penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) upaya pencegahan utama yang
dilakukan adalah dengan cara pengendalian vektor. Perubahan bentang alam akibat
tsunami juga diperkirakan akan meningkatkan potensi hidupnya vektor. Oleh karena itu
peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pendidikan kesehatan kepada masyarakat
harus terus ditingkatkan. Peningkatan pengetahuan akan menekankan tempat vektor
penyakit DBD (WHO, 2006)

4. Rencana kesiapsiagaan dalam pengendalian penyakit menular pada tsunami

Meskipun kematian terkait bencana disebabkan oleh trauma, namun kesiap-siagaan


dampak dari bencana harus dipersiapkan secara dini. Dampak kesehatan yang berhubungan
dengan bencana sering menjadi masalah dalam penanganan bencana. Oleh karena itu
perencanaan mulai dari fasilitas air bersih dan sanitasi harus dipersiapkan pada saat mitigasi
bencana. Tim tanggap bencana bidang kesehatan harus menyadari dan memiliki akses ke update
terbaru untuk pengendalian dan pencegahan penyakit menular (Menkes RI, 2014). Risiko
penularan endemik penyakit menular, seperti ISPA dan penyakit diare pada pengungsi yang
meningkat harus mendapat perhatian yang serius. Oleh karena itu bila penyakit menular masih
menjadi masalah kesehatan di daerah bencana maka dapat menimbulkan kesakitan, kematian,
dan kecacatan yang tinggi. Dengan demikian perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan
melalui upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang efektif dan efisien serta
terpadu.

5. Kesimpulan

Upaya mitigasi untuk mengurangi timbulnya penyakit menular pada bencana tsunami dapat
dilakukan melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan sumber daya kesehatan maupun
penyadaran korban bencana. Langkah-langkah prioritas yang sangat penting untuk mengurangi
dampak penyakit menular adalah adanya data penyakit menular pada tahap pra bencana.
Setelah bencana tsunami upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit menular
adalah penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, surveilans dan deteksi cepat kasus penyakit

131
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding
SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015
TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3)
No.ISSN: 2477-6440
Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015

berpotensi wabah, imunisasi, pencegahan malaria dan demam berdarah serta rencana
kesiapsiagaan-siagaan pengendalian penyakit menular lainnya.

Daftar Pustaka

Aceh Epidemiology Group. 2006. Outbreak of tetanus cases following the tsunami in
Aceh province Indonesia. Global Public Health.1:173-177.

Ahern M, Kovats RS, Wilkinson P, Few R and Matthies F.2005 Global health impacts
of floods: epidemiologic evidence. .Epidemiologic Reviews. 27:36–46.

Brennan RJ, Rimba K. 2005. Rapid health assessment in Aceh Jaya District,
Indonesia,following the December 26 tsunami. Emergency Medicine Australasia,
17:341–350.

Daito H, Suzuki M, Shiihara J, Kilgore PE, Ohtomo H, Morimoto K, Ishida M,


Kamigaki T, Oshitani H, Hashizume H, Endo W, Hagiwara K, Ariyoshi K and
Okinaga S. 2013. Impact of the Tohoku earthquake and tsunami on pneumonia
hospitalisations and mortality among adults in northern Miyagi, Japan: a multicentre
observational study. Thorax . 68:544–550.

Depkes RI. 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana.
Depkes RI. Jakarta

de ville de Goyet C. 2004. Epidemics caused by dead bodies: a disaster myth that does
notwant to die. Pan American Journal of Public Health. 15:297–299.

Iwata I, Oki T, Ishiki A, Shimanuki M, Fuchimukai T, Chosa T, Chida S, Nakamura Y,


Shima H, Kanno M, Matsuishi T, Ishikib M and Urabe D. 2013. Infection
surveillance after a natural disaster: lessons learnt from the Great East Japan
Earthquake of 2011. Bulletin World Health Organization . 91:784–789

Lifson AR. 1996. Mosquitoes, models, and dengue. Lancet. 347:1201–1012.

Marin M, Nguyen HQ, Langidrik JR, Edwards R Briand K, Papania MJ, Seward JF and
LeBaron CW. 2006; 2 Measles transmission and vaccine effectiveness during a large
outbreak on a densely populated island: implications for vaccination policy. Clinical
Infectious Diseases. 42:315–319.

Ministry of Health, Indonesia; World Health Organization; Global Outbreak Alert and
Response Network (GOARN) partners; Centers for Disease Control and Prevention-
USA; Epicentre-France; European Programme for Intervention Epidemiology
Training (EPIET)-Sweden; Health Protection Agency-UK; Institut de Veille
Sanitaire-France; Australian Biosecurity CRC at Curtin University-
Australia; Macfarlane Burnet Institute-Australia; Mailman School of Public Health,

132
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding
SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015
TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3)
No.ISSN: 2477-6440
Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015

Columbia University-USA; Universiti of Malaysia-Sarawak; UNICEF, Khalakdina


A. 2005. Epidemic-prone disease surveillance and response after the tsunami in Aceh
Province, Indonesia. Weekly Epidemiological Record. 80:160–164.

Morgan O. 2004. Infectious disease risks from dead bodies following natural
disasters. .Pan American Journal of Public Health. 15:307–311.

Moszynski P. 2005. Disease threatens millions in wake of tsunami. British Medical


Journal. 330: 59-60.

Mukherjee N, Dahdouh-Guebas F, Kapoor V, Arthur R, Koedam N, Sridhar A and


Shanker S. 2010. From Bathymetry to Bioshields: A Review of Post-Tsunami
Ecological Research in India and its Implications for Policy. Environmental
Management. 46:329–339.

Muriuki D, Hahn S, Hexom B and Allan R.. 2012. Cross-sectional survey of malaria
prevalence in tsunami-affected districts of Aceh Province, Indonesia. International
Journal of Emergency Medicine. 5: 2-5.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Tentang


Penaggulangan Penyakit Menular. Depkes RI. Jakarta.

Qadri F, Khan AI, Faruque AS, Begum YA, Chowdhury F, Nair GB, Salam MA, Sack
DA, Svennerholm AM. 2005, Enterotoxigenic Escherichia coli and Vibrio cholerae
diarrhea, Bangladesh, 2004. Emerging Infectious Diseases. 11:1104–1107.

Sur D. 2000. Severe cholera outbreak following floods in a northern district of


WestBengal. Indian Journal of Medical Research. 112:178–182.

Sutiono AB, Qiantori A, Suwa H and Ohta H. 2010.SCharacteristics and risk factors
for typhoid fever after the tsunami, earthquake and under normal conditions in
Indonesia. BMC Research Notes. 3:5-9.

Somboonna N; Wilantho A; Jankaew K; Assawamakin A; Sangsrakru D;


Tangphatsornruang S and Tongsima S. 2014. Microbial Ecology of Thailand
Tsunami and Non-Tsunami Affected Terrestrials. Plos One.. 9 (4): 1-13.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan


Bencana

World Health Organization. 2006. Communicable diseases following natural Disasters:


Risk assessment and priority interventions. Geneva.

World Health Organization. 2015. Questions and answers: South Asia earthquake and
tsunami. Akses online 6 November 2015. URL
http://www.who.int/water_sanitation_health/tsunami_qa/en/index1.html

133
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai

Anda mungkin juga menyukai