File PDF
File PDF
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2013
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2013
i
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 7 – 18 Januari 2013.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia /
memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis / pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal: 2 Juli 2013
Yang menyatakan
iii
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Angkatan LXXVI Universitas Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 07 –
18 Januari 2013 di Direktorat Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Kegiatan PKPA dan penyusunan laporan PKPA merupakan bagian dari
kegiatan perkuliahan program pendidikan profesi apoteker dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Setelah
mengikuti kegiatan PKPA, diharapkan apoteker yang lulus nantinya dapat
mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki kepada masyarakat
pada saat memasuki dunia kerja.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dukungan dari
berbagai pihak sejak masa kegiatan PKPA hingga masa penyusunan laporan PKPA,
sulit untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu dengan segala kerendahan
hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada:
1. Dra. Maura Linda Sitanggang, PhD selaku Direktur Jenderal Bina kefarmasian
dan Alat Kesehatan.
2. Drs. Bayu Teja M., Apt., M.Pharm. selaku Direktur Direktorat Bina Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan di Direktorat Bina Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan, atas pengarahannya selama pelaksanaan Praktek Kerja
Profesi Apoteker.
3. Drs. Syafrizal, Apt. selaku Kepala Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi
Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan atas bimbingan dan arahan
yang diberikan selama pelaksanaan Praktek Kerja Porfesi Apoteker.
4. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia.
5. Bapak Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Indonesia dan juga sebagai pembimbing dalam atas
iv
Penulis
1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Tujuan ......................................................................................................... 3
4. PEMBAHASAN ..............................................................................................23
4.1 Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat .............................23
4.2 Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ........25
4.3 Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ..........33
4.4 Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan ................................................................................38
vi
vii
viii
Universitas Indonesia
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan secara khusus, terutama di Direktorat
Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
1.2 Tujuan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertujuan agar calon apoteker :
a. Memahami tugas pokok dan fungsi dari Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan.
b. Memahami tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan.
Universitas Indonesia
4 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugas tersebut,
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga
obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta
pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat,
penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta
pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan;
c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik
dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik
dan perbekalan kesehatan;
d. Pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat,
penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta
pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan;
e. Penyiapan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan
kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan
pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan
evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan
f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
2. Struktur Organisasi
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri dari (Lampiran 2.4) :
a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat;
b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan;
c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan;
d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan;
e. Subbagian Tata Usaha; dan
f. Kelompok Jabatan Fungsional.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.2 Tujuan
Tujuan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan adalah
penyediaan obat dan perbekalan kesehatan di sektor publik yang lengkap,
jumlahcukup, dan mudah diperoleh setiap saat dengan harga terjangkau dan kualitas
terjamin, serta menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, keterjangkauan obat dan
perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan. Dengan mewujudkan suatu
pedoman, standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang penyediaan dan
pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar,
sesuai peraturan yang berlaku.
3.3 Sasaran
Sasaran hasil Program Obat Publik dan Pebekalan Kesehatan adalah
meningkatnya ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan
dasar.Indikatortercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase
ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%, persentase penggunaan obat generik di
fasilitas pelayanan kesehatansebesar80%, dan persentase instalasi farmasi Kab/Kota
sesuai standar sebesar 80%.
Universitas Indonesia
3.5.3.2 Struktur organisasi Subdit Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas
:
a. Seksi Standarisasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Seksi Standarisasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan.
b. Seksi Bimbingan dan Pengendalian Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Seksi Bimbingan dan Pengendalian Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pengendalian,
pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang pengelolaan obat publik
dan perbekalan kesehatan.
3.5.4 Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan
Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan
laporan di bidang program obat publik dan perbekalan kesehatan.
3.5.4.1 Tugas dan fungsi Subdit Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan
Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi
Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan bahan pemantauan pelaksanaan kebijakan di bidang program obat
publik dan perbekalan kesehatan; dan
b. Penyiapan bahan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang program obat publik
dan perbekalan kesehatan.
3.5.4.2 Struktur organisasi Subdit Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik
dan Perbekalan Kesehatan
Universitas Indonesia
Tabel 3.1 Sumber Daya Manusia (SDM) Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan
Jumlah
Organisasi
SDM
Direktur Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 1
Sub Direktorat Analisis Obat dan Standarisasi Harga Obat 7
Sub Direktorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan
8
Kesehatan
Sub Direktorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan 7
Universitas Indonesia
Kesehatan
Sub Direktorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat
7
Publik dan Perbekalan Kesehatan
Sub Bagian Tata Usaha 8
Total 38
Universitas Indonesia
Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Perumusan rekomendasi harga
obat generik tersebut dilakukan dengan pendekatan struktur harga obat dan kelayakan
harga dalam kondisi nyata Indonesia.
Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses
masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, harga obat generik bisa ditekan karena
obat generik dijual dalam kemasan dengan jumlah besar dan tidak diperlukan biaya
iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%
sehingga biaya iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan (Idris dan
Widjajarta, 2007). Harga obat generik juga dikendalikan untuk meningkatkan
ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan agar tercipta
derajat kesehatan setinggi-tingginya yang merupakan salah satu dari tujuan dari
Kebijakan Obat Nasional. Di samping itu, amanat Undang-Undang Nomor 36 tahun
2009 tentang kesehatan memberikan tugas dan tanggung jawab kepada Kementerian
Kesehatan untuk mengendalikan harga obat generik yang termasuk dalam Daftar
Obat Esensial Nasional. Penetapan harga obat dilakukan dengan tetap memberikan
peluang margin keuntungan yang memadai bagi industri farmasi untuk dapat
memproduksi obat generik sesuai standar yang berlaku.
Penetapan harga obat dilakukan berdasarkan beberapa komponen. Menurut
Soewarta Kosen, health system specialist, komponen harga obat meliputi harga
produksi, profit margin distributor, profit margin pengecer, pajak (import + PPN),
biaya distribusi, pajak bahan baku. Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, komponen harga obat
generik meliputi: zat aktif, zat tambahan, bahan kemasan, profit perusahaan, biaya
operasional, pajak, termasuk juga biaya umum, dan biaya modal. Secara teoritis,
komponen harga untuk penetapan harga obat generik sebenarnya telah memenuhi
teori unsur komponen harga dari Soewarta Kosen, hanya saja ada dua perbedaan
mendasar yang bisa dilihat dari kedua komponen harga tersebut, di mana kedua
perbedaan tersebut saling terkait,
a. Pertama, perbedaan sudut pandang dan tujuan. Sudut pandang komponen harga
secara teoritis adalah sudut pandang industri farmasi/obat yang sangat
Universitas Indonesia
obat buffer adalah untuk menjamin tersedianya obat baik ditingkat dipusat maupun di
daerah dengan kondisi, mutu yang terjamin, sesuai kebutuhan program, tersedia
secara teratur dan merata disetiap unit, dan mudah diperoleh berdasarkan tempat dan
waktu. Tahap perencanaan kebutuhan (tahap pemilihan obat, tahap kompilasi
pemakaian obat, prediksi perubahan pola penyakit, dan tahap perhitungan kebutuhan
obat) dan pengusulan kebutuhan obat program (jenis dan jumlah , rencana distribusi,
buffer stok pusat, dan spesifikasi) dilakukan oleh Ditjen P2PL sedangkan tahap
perencanaan pengadaan (tahap perhitungan kebutuhan obat, sisa stok, dan alokasi
anggaran) dan distribusi obat program dilakukan oleh Ditjen Binfar Alkes.
Pada tingkat provinsi, perencanaan penyediaan obat meliputi buffer provinsi,
vaksin reguler, obat program PPPL, dan obat gizi & kesehatan ibu anak. Sumber dana
pernyediaan obat tersebut adalah dari APBD 1 (provinsi). Tanggung jawab
pengadaan obat tingkat provinsi ada pada Dinkes Provinsi.
Pada tingkat kabupaten/ kota, perencanaan penyediaan obat meliputi obat
pelayanan kesehatan dasar dan buffer kabupaten/ kota. Sumber dana pernyediaan obat
tersebut adalah dari APBD 2 (Kabupaten/ Kota) dan dana alokasi khusus (DAK) yang
berasal dari pusat untuk daerah. Tanggung jawab pengadaan obat tingkat provinsi ada
pada Dinkes Kabupaten/ Kota. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, mutlak
diperlukan koordinasi dan keterpaduan dalam hal perencanaan pengadaan obat dan
perbekalan kesehatan, sehingga pembentukan tim perencanaan obat terpadu adalah
merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penggunaan dana melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi yang
terkait dengan masalah obat di setiap Kabupaten/Kota.
Sebelum tahun 2010, pengadaan obat berasal dari pusat (APBN) berupa obat
dan perbekkes yang didistribusikan ke tiap Kabupaten/Kota dan berasal dari APBD
dan Dana Alokasi Umum (DAU) berupa dana untuk pembelian atau pengadaan obat.
Akan tetapi setelah 2010, pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan dari pusat
dialihkan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Adapun beberapa alasan
pengalihan APBN ke kab/kota dalam bentuk DAK, antara lain:
1. Membantu kab/kota yang kemampuan APBD nya terbatas.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
rencana pengadaan adalah jumlah dan jenis obat yang harus dibeli atau diadakan dan
didapatkan dengan mengurangi rencana kebutuhan dengan sisa stok.
Perencanaan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan menjadi sangat
penting karena tanpa perencanaan yang tepat dapat mengakibatkan ketersediaan obat
yang tidak sesuai sehingga dapat menghambat pelaksanaan pelayanan kesehatan.
Alur perencanaan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan melalui jalur dari
bawah ke atas (bottom-up), yaitu:
1. Data kebutuhan diperoleh dari data pemakaian oleh Puskesmas setiap bulan yang
kemudian dikompilasi dan dibuat suatu rencana kebutuhan obat dan perbekalan
kesehatan selama satu tahun. Dalam proses perencanaan kebutuhan obat per tahun,
Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan
LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat).
2. Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang akan melakukan kompilasi dan analisa
terhadap kebutuhan obat Puskesmas diwilayah kerjanya.
3. Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota melapor ke Dinas Kesehatan Propinsi setiap tiga
bulan sekali
4. Dinas Kesehatan Propinsi membuat laporan ke Direktorat Obat Publik Dan
Perbekalan Kesehatan.
Proses perencanaan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan melalui
beberapa tahap (Lampiran 4.2). Tahap pertama adalah tahap pemilihan obat. Fungsi
seleksi/ pemilihan obat adalah untuk menentukan apakah obat benar – benar
diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah. Seleksi dapat
didasari oleh hal berikut ini, diantaranya:
1) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan
efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan
ditimbulkan
2) Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi
kesamaan jenis.
3) Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih
baik.
Universitas Indonesia
dilakukan analisa kebutuhan sesuai anggaran yang ada (dengan menggunakan metode
perhitungan ABC) dan untuk seleksi obat perlu dilakukan analisa VEN.
Agar kegiatan dalam perencanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan
dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan, dalam hal ini ditetapkan
jadwal kegiatan yang disajikan dalam Rencana Kerja Operasional untuk perencanaan
pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota yang dimulai dari
persiapan perencanaan, pelaksanaan perencanaan dan pengendalian perencanaan yang
dilanjutkan dengan penyusunan rencana kerja operasional untuk pengadaan juga
dimulai dari persiapan pengadaan, pelaksanaan pengadaan dengan menggunakan
formulir IFK-4 (Lampiran 4.4).
Selain itu perlu pula pemerataan tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan
dalam hal pengelolaan obat, dalam hal ini, apoteker maupun tenaga teknis
kefarmasian lainya agar proses pengelolaan obat pada umumnya dan perencanaan
pengadaan obat khususnya dapat berjalan dengan efektif dan efisien karena
dikerjakan oleh tenaga yang handal dan sesuai bidangnya. Pendayagunaan tenaga
kesehatan di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan
daerah bermasalah kesehatan (DBK), perlu memperoleh perhatian khusus.
Pendayagunaan tenaga kesehatan untuk manajemen kesehatan, institusi pendidikan
dan pelatihan tenaga kesehatan, institusi penelitian dan pengembangan kesehatan juga
perlu mendapatkan perhatian yang memadai.
Pengembangan tenaga kesehatan termasuk peningkatan karirnya dilakukan
melalui peningkatan motivasi tenaga kesehatan untuk mengembangkan diri, dan
mempermudah tenaga kesehatan memperoleh akses terhadap pendidikan dan
pelatihan yang berkelanjutan. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan dilakukan
melalui pengembangan standar pelatihan tenaga kesehatan guna memenuhi standar
kompetensi yang diharapkan oleh pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk
Indonesia. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan, juga dilakukan melalui akreditasi
institusi pelatihan tenaga kesehatan, serta sertifikasi tenaga pelatih. Perlu juga
dilakukan bimbingan teknis dan pelatihan rutin dari pusat mengenai pengelolan
Universitas Indonesia
termasuk perencanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan kepada para pekerja
yang bertanggung jawab dalam masalah ini.
4.2.2. Seksi Pemantauan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Dalam berbagai upaya pelayanan kesehatan, obat merupakan salah satu unsur
penting. Di antara berbagai alternatif yang ada, intervensi dengan obat merupakan
intervensi yang paling banyak digunakan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
(Departemen Kesehatan RI, 2002). Peningkatan derajat kesehatan dapat tercapai
dengan pemantauan secara rutin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan yang
bermutu, bermanfaat dan berkhasiat.Oleh karena itu, obat diharapkan tersedia dalam
jumlah yang cukup dengan mutu yang baik, tersebar merata dengan jenis dan jumlah
yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk mejamin hal tersebut
diperlukan pemantauan dan evaluasi ketersediaan obat secara rutin.
Pada saat ini permasalahan yang masih ada pada pemantauan ketersediaan
adalah persen ketersediaan beberapa obat yang bisa mencapai ratusan bahkan puluhan
ribu persen pada beberapa provinsi dan terdapat kekurangan di provinsi lainnya. Hal
ini dapat terjadi karena beberapa hal yaitu :
Kurang tepatnya perencanaan ketersediaan yang diajukan pemerintah daerah
Persediaan obat yang dikirim langsung dari pusat tanpa permintaan dari
pemerintah daerah
Tidak tersedianya sistem pemantauan ketersediaan seluruh Indonesia secara
real time yang memadai yang dapat memberitahukan kelebihan dan
kekurangan ketersediaan obat (e-logistic tidak berjalan dengan maksimal)
Permasalahan kurang tepatnya perencanaan ketersediaan obat yang diajukan
pemerintah daerah dapat diatasi dengan pemilihan metode bimbingan teknis yang
efisien, tepat tujuan, dan berkala. Pergantian sumber daya manusia yang tidak
menentu pada pengelola instalasi pada pemerintah daerah menjadi kendala dalam
pemilihan metode teknis yang efisien, tepat tujuan dan berkala. Untuk itu perlu di
tegaskan undang-undang penetapan tenaga kerja kefarmasian melalui masa bakti
yang memuat sanksi tegas bagi daerah yang mengganti pengurus instalasi
kefarmasian sebelum masa bakti berakhir dengan demikian waktu pemberian metode
Universitas Indonesia
teknis dapat disesuaikan dengan mulainya masa bakti kepengurusan yang baru.
Pemilihan metode bimbingan teknis yang tepat dapat dilakukan dengan terlebih
dahulu mempelajari karakteristik tiap sumber daya pada tiap daerah sehingga dapat
diketahui metode terbaik yang dapat memberikan penyerapan materi yang maksimal
pada setiap sumber daya. Untuk penelusuran karakter dilakukan menurut garis
pemantauan yang ada (pemerintah pusat mempelajari karakter sumber daya manusia
di tiap pemerintah provinsi, pemerintah provinsi mempelajari karakter sumber daya
manusia di pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah kabupaten/kota mempelajari
sumber daya manusia di puskesmas-puskesmas yang menjadi tanggung jawab
pemantauan pemerintah kabupaten/kota tersebut).
Ketersediaan obat yang tidak merata juga disebabkan oleh pengiriman obat
oleh pusat secara spontan (bukan merupakan kebutuhan yang diajukan oleh
pemerintah provinsi). Hal ini terjadi karena terdapat perkiraan pemerintah untuk
kebutuhan obat suatu daerah di luar perencanaan daerah tersebut sehingga terdapat
kelebihan ketersediaan. Untuk mengatasinya pemerintah pusat perlu memastikan
kembali apakah daerah tersebut benar-benar membutuhkannya sebelum mengirim
obat tersebut.
Tidak tersedianya sistem pemantauan ketersediaan seluruh Indonesia secara
real time yang memadai yang dapat memberitahukan kelebihan dan kekurangan
ketersediaan obat (e-logistic tidak berjalan dengan maksimal). E-logistic menjadi
terbengkalai dikarenakan tidak pada setiap daerah terdapat sarana penunjang
komunikasi yang memadai sehingga pemantauan secara real time tidak dapat
dilakukan. Sampai pada saat ini pemantauan ketersediaan masih memakai sistem
laporan tertulis dan jika diperlukan memakai semi elektronik (e-mail). Jika
memungkinkan, e-logistic dapat berjalan dengan maksimal jika ditunjang dengan
pembangunan sarana komunikasi yang memadai pada setiap pemerintah daerah.
Pembangunan tersebut dapat membantu tersedianya pemantauan secara real-time
persediaan tiap provinsi sehingga tidak terjadi penumpukan dan kekurangan
ketersediaan obat serta dapat menciptakan kerjasama antar pemerintah provinsi (jika
terdapat obat berlebih pada satu provinsi dapat dialihkan ke provinsi lain yang
Universitas Indonesia
Setelah obat diterima dan disimpan, obat dapat digunakan atau disitribusikan
guna memenuhi pelayanan kesehatan. Obat yang didistribusikan merupakan obat
yang bermutu, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlahnya (Pedoman Teknis,
2008). Tujuan distribusi obat yaitu terlaksananya pengiriman obat secara merata dan
teratur sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan, terjaminnya mutu obat publik
dan perbekalan kesehatan pada saat pendistribusian, terjaminnya kecukupan dan
terpeliharanya penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan, terlaksananya
pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan program kesehatan.
Dalam melakukan pendistribusian obat publik dan perbekalan kesehatan
untuk pelayanan kesehatan dasar dilakukan secara berjenjang. Instalasi Farmasi
Provinsi akan melakukan disribusi ke Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota.
Selanjutnya, Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan pendistribusian ke
Puskesmas dan kemudian Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan di tingkat
dasar akan menggunakan obat publik dan perbekalan kesehatan tersebut
disamping juga akan mendistribusikannya ke puskesmas jaringan-jaringannya.
Pencatatan dan pelaporan data obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka pengelolaan obat secara tertib baik obat
yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun yang digunakan di unit pelayanan
kesehatan seperti Puskesmas. Tujuannya adalah agar tersedianya data mengenai jenis
dan jumlah penerimaan, persediaan, pengeluaran/penggunaan dan data mengenai
waktu dari seluruh rangkaian kegiatan mutasi obat.
Sarana dan prasarana menjadi unsur yang penting dalam pengelolaan obat
publik dan perbekalan kesehatan terutama untuk pendistribusian dan penyimpanan.
Distribusi merupakan kegiatan penyaluran dan penyerahan obat secara merata dan
teratur untuk memenuhi kebutuhan sub-sub unit pelayanan kesehatan seperti sub unit
pelayanan kesehatan di lingkungan Puskesmas, Puskesmas pembantu, Puskesmas
keliling, Posyandu, dan Polindes. Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan
dan memelihara dengan cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat
yang aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Sarana
dan prasarana di Instalasi Farmasi mencakup luas tanah dan bangunan, alat
Universitas Indonesia
obat. Selain itu pedoman tersebut harus bersifat applicable yaitu mudah
dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi lapangan karena proses
distribusi dilakukan oleh pihak ketiga yaitu pihak penyedia jasa pengantaran.
Program yang direncanakan untuk tahun 2012 adalah memperbaiki
pedoman pemusnahan, distribusi, perencanaan yang terpadu, buffer stock, dan
pedoman instalasi farmasi yang lebih bertenaga. Terdapat beberapa tantangan
yang dapat menghambat terlaksananya program di tahun 2012 antara lain tidak
semua pihak menyetujui konsep yang dibuat, dalam membuat peraturan harus
mudah diikuti, serta pencatatan dan pelaporan agar obat tersebut tepat
penggunaan. Pedoman-pedoman yang disusun bersifat mengharuskan. Namun,
jika terdapat kekurangan atau kesalahan dalam pelaksanaannya, instansi
pelayanan kesehatan yang terlibat tidak diberikan hukuman namun diberikan
bimbingan teknis agar pedoman dapat diterapkan secara keseluruhan.
Jenis evaluasi yang akan dilaksanakan meliputi evaluasi proses dan evaluasi dampak.
Evaluasi ini berfokus pada apa yang telah dilakukan, bagaimana melakukannya, siapa
yang menjadi penerima manfaat, serta apa respons mereka terhadap kegiatan yang
dilakukan. Evaluasi didasarkan pada laporan-laporan monitoring dan penelaahan atas
dokumen-dokumen, wawancara, serta kunjungan lapangan. Sementara untuk evaluasi
dampak, dilakukan pada saat program/kegiatan sudah berakhir pada periode tertentu,
dengan tujuan untuk mengukur dampak serta menghimpun pelajaran/pengalaman
yang berguna. Evaluasi ini untuk mengungkapkan siapa sebenarnya yang
memperoleh manfaat dari kegiatan yang dilakukan dan berapa besar manfaatnya;
dengan kata lain, sejauh mana hasil/manfaat (dan dampak) yang diharapkan telah
tercapai.
Setelah dilakukan pemantauan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan, maka dilaksanakanlah evaluasi apakah kegiatan berjalan sesuai rencana
atau tidak, jika tidak apa dampaknya untuk indikator-indikator pencapaian yang telah
dibuat, bagian mana yang harus diperbaiki, hingga sampai pendeteksian dini atau
early warning sebagai antisipasi awal. Dengan demikian, apabila terdapat kendala di
awal pelaksanaan dapat segera diatasi sehingga tidak menjadi masalah yang
berkelanjutan di akhir pelaksanaan program. Oleh karena itulah, perlu dirumuskan
beberapa indikator pencapaian sasaran di tahun berikutnya berdasarkan hasil
pencapaian pada tahun sebelumnya. Indikator tersebut terdiri dari 3 aspek utama,
yakni persentase ketersediaan obat dan vaksin, persentase penggunaan obat generik di
fasilitas pelayanan kesehatan, dan persentase instalasi farmasi kab/kota sesuai
standar. Acuan besarnya target persentase pencapaian masing-masing indikator
tersebut diperhitungkan dan dipertimbangkan dari dua faktor, yaitu ketersediaan obat
pada satu perode tertentu dan kebutuhan obat selama satu tahun yang didasarkan pada
rata-rata pemakaian obat per bulan di tahun sebelumnya.
Tahapan prosedur pemantauan dan evaluasi ada beberapa, dimulai dari:
1. Tidak mengevaluasi orang yang melakukan kegiatannya tapi adalah
program kegiatannya dan organisasinya.
2. Terbagi dari tahapan:
Universitas Indonesia
diatasnya. Data diserahkan oleh Instalasi Farmasi Kabupaten /Kota melalui format
laporan pemantauan, kemudian di laporkan setiap dua bulan sekali ke Dinas
Kesehatan Propinsi (secara berjenjang) atau ke Pusat (secara langsung).
Apabila kegiatan yang dilakukan tidak mencapai target sasaran, maka tugas
dari unit kerja ini adalah mencari solusi yang baik yang dapat dilaksanakan atau
dikenal dengan istilah “mampu laksana”. Perlu diketahui, menentukan solusi
merupakan bagian pekerjaan yang paling sulit dalam pelaksanaan pihak yang bekerja
pada subdirektorat ini, karena setiap orang yang berada dalam tim ini harus bisa
memprioritaskan masalah apa dulu yang harus dicari solusinya di antara kurang lebih
46 kegiatan yang tergabung dalam berbagai program yang ada di Direktorat Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan. Oleh karena itu, diharapkan orang-orang tersebut
mempunyai “sense of crisis” yang tinggi. Solusi tidak harus ideal dan jangan terlalu
sulit diimplementasikan, yang terpenting mampu dilaksanakan oleh seluruh subdit
dalam rangka perbaikan hasil kegiatan. Selain itu, penyebab tidak memenuhi sesuai
target dapat dikarenakan kinerja tim yang salah dalam membuat sasaran target
sehingga terlalu kecil atau terlalu tinggi. Jika target terlalu kecil atau terlalu besar
maka perlu diperhitungkan kembali sehingga didapatkan target yang lebih rasional
dan diperkirakan lebih tepat dalam mendekati capaian sasaran untuk kegiatan
selanjutnya.
Sampai saat ini, refleksi pelaksanaan pemantauan dan evaluasi hanya sampai
batasan output saja (terjaminnya ketersediaan obat dan vaksin di seluruh wilayah
Indonesia), belum mencapai outcome (dampak adanya peningkatan kesehatan
masyarakat di seluruh wilayah Indonesia). Hal ini dikarenakan adanya berbagai
kendala yang masih sulit dihadapi. Kendala pertama terkait evaluasi keberhasilan
suatu program yang menjadi sangat kompleks karena banyak terdapat aspek yang
terkait di dalamnya, mulai dari sarana dan prasarana, SDM yang terlibat (baik
edukatif maupun administratif), kelancaran pelaksanaan program, efisiensi waktu
penyelenggaraan, dan seberapa jauh efektifnya program tersebut diselenggarakan.
Oleh karena itu, pemantauan dan evaluasi baru dapat dilaksanakan di 3
kabupaten/kota tiap provinsi di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, setelah dilakukan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang dilakukan mahasiswa pada
bagian Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, disimpulkan bahwa :
a. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Adapun fungsi dari Direktorat
tersebut adalah merumuskan kebijakan; pelaksanaan kebijakan; penyusunan
norma, standard, prosedur, dan kriteria; pemberian bimbingan teknis dan evaluasi
di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan, serta pelaksanaan
administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
b. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standard, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Adapun fungsi dari
Direktorat tersebut adalah penyiapan perumusan kebijakan; pelaksanaan kegiatan;
penyiapan penyusunan norma, standard, prosedur, dan kriteria; penyiapan
pemberian bimbingan teknis; evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan
kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan
pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi
program obat publik dan perbekalan kesehatan; serta pelaksanaan urusan tata
usaha dan rumah tangga Direktorat.
44 Universitas Indonesia
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari kesimpulan di atas adalah sebagai berikut:
a. Pedoman yang sudah diselesaikan pembahasannya segera ditetapkan dan
disosialisasikan kepada semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan pedoman
tersebut.
b. Disarankan setiap subdit menyusun protap pelaksanaan kegiatannya, agar
pemantauan lebih mudah dilaksanakan dalam rangka antisipasi untuk melakukan
perbaikan dan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan.
c. Mahasiswa sebaiknya dilibatkan secara langsung dalam teknis pelaksanaan
kerja di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
Universitas Indonesia
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.2006. Pedoman Supervisi dan
Evaluasi Obat dan Perbekalan Kesehatan.Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 2010. Laporan hasil
anajemen Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehaatn di Instansi
pemerintah Tahun 2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
46 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 2.2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan
Universitas Indonesia
Lampiran 2.4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan
Universitas Indonesia
Lampiran 2.6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat
Kesehatan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Mempertimbangkan
Usulan User
Konsumsi tahun sebelumnya
Kebutuhan
Usulan kebutuhan
Rencana Sisa stok
Perencana
Hasil pemantauan/evaluasi
Pengadaan
Prediksi peningkatan sasaran/target
Prediksi peningkatan kasus
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2013
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2013
ii Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Tujuan ......................................................................................................... 2
iv Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
1.2 Tujuan
Penyusunan tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker ini bertujuan
agar mahasiswa mengerti dan memahami pemantauan dan evaluasi pengelolaan
obat dan alat kesehatan Haji di Arab Saudi, serta membandingkan hasil dari
pemantauan dan evaluasi yang telah dilakukan pada musim Haji tahun 2012
dengan sasaran indikator yang ingin dicapai.
Universitas Indonesia
2.1 Pemantauan
Pemantauan (Monitoring) merupakan proses kajian (review) terhadap
suatu program yang sedang berlangsung untuk mengetahui tingkat penyelesaian
aktivitas program dan pencapaian target, dan memungkinkan tindakan-tindakan
korektif selama implementasi program. Pemantauan yang disusun secara
sistematis berdasarkan tujuan program dan terkait dengan aktivitas spesifik sangat
penting untuk peningkatan kinerja program dan pencapaian tujuan program
jangka panjang (Bina Obat Publik dan Perbekalan kesehatan, 2011).
Sistem Pemantauan sebaiknya dipusatkan pada aktivitas kunci program
dan tujuannya. Agar pemantauan dapat efisien maka harus difokuskan pada hal-
hal spesifik yang berhubungan langsung dengan kinerja, rencana program, tujuan,
dan target, serta telah dirancang dengan jelas (Bina Obat Publik dan Perbekalan
kesehatan, 2011).
3 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.2 Evaluasi
Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan
memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan
dampak serta biayanya. Fokus utama evaluasi adalah mencapai perkiraan yang
sistematis dari dampak program Bina Obat Publik dan Perbekalan kesehatan,
2011). Proses evaluasi dapat dilihat sebagai lima langkah model umpan baik, yang
masing-masing langkah adalah (Bina Obat Publik dan Perbekalan kesehatan,
2006).
a. Penetapan apa yang harus diukur.
Manajemen puncak menetapkan proses pelaksanaan dan hasil mana yang akan
dipantau dan dievaluasi. Proses dan hasil pelaksanaan harus dapat diukur dalam
kaitannya dengan tujuan.
b. Pembuatan standar kinerja.
Standar digunakan untuk mengukur kinerja. Standar harus dapat mengukur apa
yang mencerminkan hasil kinerja yang telah dilaksanakan.
c. Pengukuran kinerja yang aktual, yaitu dibuat pada waktu yang tepat.
d. Bandingkan kinerja yang aktual dengan standar.
Jika hasil kinerja yang aktual berada dalam kisaran toleransi maka pengukuran
dihentikan.
e. Melakukan tindakan korektif.
Jika hasil kinerja aktual berada di luar kisaran toleransi, harus dilakukan
koreksi untuk deviasi yang terjadi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Ketua
Universitas Indonesia
Tenaga pengelola obat dan alat kesehatan meliputi (Departemen Kesehatan RI,
2009):
a. Tenaga Farmasi : tenaga yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan obat
dan alat kesehatan (Apoteker dan Asisten Apoteker)
b. Tenaga Non Farmasi : tenaga yang membantu farnasi dalam pengelolaan obat
dan alat kesehatan.
Universitas Indonesia
Adapun tugas, fungsi, dan tanggung jawab meliputi (Departemen Kesehatan RI,
2009):
a. Depo Pusat bertanggung jawab atas pengelolaan obat dan alat kesehatan,
dengan tugas:
1. mengecek stok obat dan alat kesehatan tahun lalu
2. mengecek jumlah, jenis obat, dan alat kesehatan yang dikirim dari Indonesia
3. menyiapkan rencana kebutuhan obat dan alat untuk tas kloter
4. merencanakan, menyiapkan, serta mendistribusikan obat dan alat kesehatan
ke daerah kerja (Daker)
5. menyiapkan kebutuhan obat dan alat kesehatan untuk pelaksanaan Armina
6. menyimpan obat dan alat kesehatan sesuai dengan standar penyimpanan obat
yang baik
7. mengadakan/membeli obat dan alat kesehatan yang diperlukan karena tidak
tersedia/persediaan menipis atau sudah habis
8. melakukan monitoring ketersediaan obat dan alat kesehatan di daker
Mekkah, Jeddah, dan Madinah
9. membuat laporan dan evaluasi pengelolaan obat dan alat kesehatan selama
operasional penyelenggaraan haji.
Universitas Indonesia
d. Sektor bertanggung jawab atas pengelolaan obat dan alat kesehatan dengan
tugas:
1. menerima dan menghitung stok awal obat dan alat kesehatan dari daker
2. merencanakan kebutuhan obat dan alat kesehatan untuk sektor dan kloter
3. menyimpan obat dan alat kesehatan sesuai dengan standar penyimpanan
obat yang baik
4. melayani resep dokter sektor dan melayani permintaan obat dan alat
kesehatan dari dokter kloter
5. mengembalikan sisa obat obat dan alat kesehatan ke daker setalah selesai
pelayanan keshatan haji
6. membuat laporan dan evaluasi pengelolaan obat dan alat kesehatan selama
operasional penyelenggaraan haji.
Universitas Indonesia
e. Kloter bertanggung jawab atas pengelolaan obat dan alat kesehatan dengan
tugas:
1. menerima dan menghitung stok awal obat dan alat kesehatan dalam Tas
Kloter di bandara Jeddah dan Madinah
2. mengajukan permintaan kebutuhan obat dan alat kesehatan ke sektor
3. memyimpan obat dan alat kesehatan dalam Tas Kloter
4. menyerahkan obat dan alat kesehatan kepada pasien
5. membuat laporan mutasi obat dan alat kesehatan selama operasional
penyelenggaraan haji
6. mengembalikan sisa obat obat dan alat kesehatan kepada daker Jeddah dan
Madinah
7. dalam pelaksanaan tugas, dokter dibantu oleh perawat dan tenaga lainnya.
2.4 Pengelolaan Obat dan Alat Kesehatan Haji (Departemen Kesehatan RI,
2009)
Pengelolaan obat an alat kesehatan haji dimulai dari seleksi, perencanaan,
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan, pencatatan/pelaporan, dan
monitoring evaluasi dilakukan oleh tenaga farmasi yang bertugas sebagai PPIH
Universitas Indonesia
pada musim haji, baik yang bertugas di : depo Pusat, daker Jeddah, daker
Mekkah, daker Madinah, BPHI maupun sektor, sedangkan di kloter dikelola oleh
tenaga kesehatan yang bertugas pada masing-masing kloter.
2.4.1 Seleksi
Seleksi merupakan proses pemilihan obat berdasarkan efektifitas, efisiensi,
dan aman (rasional). Sasaran pemilihan untuk mendapatkan obat dan alat
kesehatan yang efektif efisien dan aman adalah jenis obat dan alat kesehatan dari
sumber yang resmi. Dari Formularium Obat Haji yang akan dijadikan sebagai
pedoman perencanaan pengadaan obat. Formularium disusun oleh Tim Penyusun
Formularium Obat yang ditetentukan oleh Menteri Kesehatan.
2.4.2 Perencanaan
Perencanaan obat dan alat kesehatan adalah salah satu fungsi yang
menentukan dalam proses pengadaan obat dan alat kesehatan. Tujuan perencanaan
penyediaan alat kesehatan adalah untuk menentukan jenis dan jumlah obat dan
alat kesehatan sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di
Arab Saudi.
Perencanaan obat harus didukung dengan beberapa data yang dapat
digunakan dalam perhitungan, seperti pola konsumsi obat, pola penyakit, jumlah
kunjungan, sisa stok, dan alokasi dana. Perencanaan ini akan lebih baik jika
melihat juga data kondisi dua tahun sebelumnya untuk mengetahui tren
penggunaan obat.
Perencanaan kebutuhan obat dan alat kesehatan haji dilakukan berdasarkan
Formularium yang telah disusun oleh tim yang dibentuk atas SK Menkes dan
didasarkan hasil laporan penggunaan obat dan alat kesehatan tahun sebelumnya.
Sedangkan pengadaan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan.
Universitas Indonesia
2.4.4 Penyimpanan
Tujuan penyimpanan obat adalah untuk memelihara mutu obat, menjaga
kelangsungan persediaan, dan memudahkan pencarian dan pengawasan. Kegiatan
penyimpanan meliputi: penyiapan sarana penyimpanan, pengaturan tata ruang,
penyusunan stok obat dan pengamatan mutu obat.
Penyimpanan obat dan alat kesehatan dilakukan di:
Depo Pusat
Universitas Indonesia
Daker Jeddah
Daker Mekkah
Daker Madinah
Sektor
Kloter-kloter.
Pada akhir tugas penyelenggaraan haji, sisa obat dan alat kesehatan dikembalikan
ke depo pusat dilengkapi dengan laporan sisa obat.
Semua sarana penyimpanan obat dan alat kesehatan harus dilengkapi
dengan air conditioner, pallet, lemari pendingin, dan lemari psikotropik untuk
menjaga mutu obat. Kemudian, obat disusun secara alfabetis/bentuk sediaan/kelas
terapi untuk mempermudah dalam mencari obat dengan memperhatikan sistem
FEFO dan FIFO. Penggunaan kartu stok harus dilakukan untuk mempermudah
pencatatan dan pelaporan jika terjadi mutasi obat.
Cara penyimpanan obat dan alat kesehatan di daker Jeddah, Makkah, dan
Madinah adalah sebagai berikut:
a. obat dan alat kesehatan disimpan dengan pengelompokan farmakologis
dan alfabetis
obat dan alat kesehatan ditata di rak atau lemari obat
obat psikotropik ditata di lemari penyimpanan khusus
b. penyimpanan obat dan alat kesehatan disesuaikan dengan sifat produk
penyimpanan insulin, vaksin, dan reagensia pada suhu 2-8 derajat
Celcius
penyimpanan obat dan alat kesehatan pada suhu 22 derajat Celcius
c. setiap mutasi obat dan alat kesehatan dicatat dalam kartu stok obat dan
alat kesehatan.
2.4.5 Pendistribusian
Obat dan alat kesehatan didistribusikan dari depo Pusat ke daker Jeddah,
Mekkah, dan Madinah berdasarkan persetujuan dari apoteker penanggung jawab
dan diserahkan kepada apoteker penanggung jawab di daker. Selanjutnya, obat-
obat tersebut didistribusikan ke masing-masing sektor dan BPHI di wilayah
kerjanya. Selain itu, ada juga yang disiapkan untuk tas kloter yang dibawa terus
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
19 Universitas Indonesia
Berbeda dengan subdit-subdit lainnya yang ada direktorat obat publik dan
perbekalan kesehatan, subdit pemantauan dan evaluasi dalam prakteknya, tidak
melakukan kegiatan teknis. Tugas utama dari subdit ini adalah mengamati,
memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program yang dijalankan oleh ketiga
subdit lainnya dalam mencapai sasaran hasil, yakni indikator masing-masing yang
dituju. Tujuan dari adanya unit kerja ini adalah untuk mendapatkan informasi
bahwa kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan telah
dilakukan sekaligus menilai apakah hasil pencapaian sesuai atau tidak dengan
target yang diharapkan.
Pada dasarnya, kegiatan pemantauan adalah kegiatan pengumpulan fakta-
fakta yang ada, sedangkan evaluasi adalah kegiatan yang menganalisa kumpulan
dari fakta-fakta tersebut. Oleh karena itu, pada subdirektorat ini dibagi ke dalam 2
seksi, yaitu seksi pemantauan dan seksi evaluasi, di mana keduanya saling bekerja
secara sinergis.Aspek-aspek yang harus dilakukan pemantauan dan evaluasi
adalah perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan,
pencatatan pelaporan, dan dukungan manajemen. Dalam bahasan ini, tentunya
segala hal tersebut yang termasuk ke dalam pilar pengelolaan obat dan alat
kesehatan haji di Indonesia pada tahun 2012.
Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan suatu
kegiatan, dan selanjutnya mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan
yang timbul atau yang akan timbul dengan maksud agar dapat diambil tindakan
sedini mungkin sebagai dasar dalam melakukan tindakan-tindakan selanjutnya
guna menjamin pencapaian tujuan. Secara garis besar, rencana pemantauan
terbagi atas 3 hal. Pertama-tama, difokuskan memonitor apa yang telah dilakukan,
keluaran apa yang dihasilkan, di mana, kapan, oleh siapa, dan untuk siapa
dilakukan. Kemudian, hasil pemantauan dibandingkan dengan rencana semula
(baseline). Selanjutnya, selisih antara rencana dan hasil pemantauan dibuat
laporannya, kemudian sejauh mungkin faktor-faktor penyebab perbedaan itu
20 Universitas Indonesia
diidentifikasi. Contoh hal yang biasanya dimonitor, seperti: prasarana apa saja
yang telah ditingkatkan, di mana peningkatan prasarana itu dilakukan, klien mana
saja yang menerima pelayanan tersebut dan untuk apa, obat gratis apa yang telah
disediakan, untuk siapa dan untuk penyakit apa saja.
Pelaksana pemantauan adalah yang bukan melaksanakan program atau
kegiatan yang dipantau tersebut yang akan menerima laporan hasil pemantauan
tidak hanya pihak pemerintah (eksekutif dan legislatif) tetapi juga pihak pelaksana
(rumah sakit, penyedia), lalu instansi pemerintah pusat, serta wakil-wakil
kelompok penerima manfaat untuk meminta umpan balik. Laporan ini bisa
disosialisasikan dengan melaksanakan pertemuan berkala untuk meninjau kembali
tingkat kemajuan serta memutuskan apakah rencana implementasi perlu
disesuaikan.
Evaluasi merupakan penilaian atas dampak kolektif, baik positif maupun
negatif, dari semua (atau sebagian besar) kegiatan yang telah dilakukan, pada
lokasi dan/atau kelompok sasaran yang berbeda-beda. Selain itu, evaluasi dapat
juga didefinisikan sebagai penilaian deskripsi keluaran dan hasil/manfaat
sebagaimana dilihat dari sudut pandang penerima manfaat.
Jenis evaluasi yang akan dilaksanakan meliputi evaluasi proses dan
evaluasi dampak. Evaluasi ini berfokus pada apa yang telah dilakukan, bagaimana
melakukannya, siapa yang menjadi penerima manfaat, serta apa respons mereka
terhadap kegiatan yang dilakukan. Evaluasi didasarkan pada laporan-laporan
monitoring dan penelaahan atas dokumen-dokumen, wawancara, serta kunjungan
lapangan. Sementara untuk evaluasi dampak, dilakukan pada saat
program/kegiatan sudah berakhir pada periode tertentu, dengan tujuan untuk
mengukur dampak serta menghimpun pelajaran/pengalaman yang berguna.
Evaluasi ini untuk mengungkapkan siapa sebenarnya yang memperoleh manfaat
dari kegiatan yang dilakukan dan berapa besar manfaatnya; dengan kata lain,
sejauh mana hasil/manfaat (dan dampak) yang diharapkan telah tercapai.
Setelah dilakukan pemantauan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan, maka dilaksanakanlah evaluasi apakah kegiatan berjalan sesuai rencana
atau tidak, jika tidak ada dampaknya untuk indikator-indikator pencapaian yang
telah dibuat, bagian mana yang harus diperbaiki, hingga sampai pendeteksian dini
Universitas Indonesia
atau early warning sebagai antisipasi awal. Dengan demikian, apabila terdapat
kendala di awal pelaksanaan dapat segera diatasi sehingga tidak menjadi masalah
yang berkelanjutan di akhir pelaksanaan program. Oleh karena itulah, perlu
dirumuskan beberapa indikator pencapaian sasaran di tahun berikutnya
berdasarkan hasil pencapaian pada tahun sebelumnya. Indikator utama adalah
ketersedianya obat dan vaksin serta alat kesehatan bagi seluruh jamaah Haji
Indonesia di Arab Saudi dan menurunnya angka kematian jamaah Haji Indonesia
pada saat melakukan penyelenggaraan ibadah Haji.
Secara teknis, tahapan prosedur pemantauan dan evaluasi ada beberapa,
dimulai dari:
1. Tidak mengevaluasi orang yang melakukan kegiatannya tapi adalah
program kegiatannya dan organisasinya.
2. Cermati indikator
Yaitu tahapan yang melakukan pertimbangan menetapkan indikator
selanjutnya secara SMART (smart, measurable, achieveable, realistic,
time). Harus paham kapan suatu indikator bisa digunakan sebagai alat
untuk mengukur kinerja suatu program kegiatan. Syaratnya, indikator
tersebut harus dalam kendali orang yang mengerjakan tersebut atau
setidaknya dominan kendalinya.
Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara sistematis. Keduanya
dilaksanakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi dalam setiap
kegiatan pada penyelenggaraan kesehatan haji ini. Dengan mengetahui tingkat
efisiensinya, akan menghemat tenaga, biaya, maupun waktu. Oleh karena itu,
pemantauan dan evaluasi akan dilaksanakan menyangkut berbagai hal yang
terkait, yaitu menyangkut kualitas input, proses, dan output. Dari pemantauan dan
evaluasi pengelolaan obat dan alat kesehatan haji akan diperoleh output berupa
profil pencapaian indikator berdasarkan pengambilan data secara bottom up. Profil
ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk menentukan langkah ke depan
dan menentukan solusi terhadap kendala-kendala yang dihadapi. Pengambilan
data tersebut dilakukan dari struktur terendah kemudian di rekapitulasi ke sektor
diatasnya. Data diserahkan oleh Embarkasi/Debarkasi Haji melalui aplikasi
embarkasi dan debarkasi (Siskohat Bidang Kesehatan) dan dikirim (uploads) ke
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
yang dialami selama melakukan kegiatan pengelolaan obat dan alat kesehatan haji
sehingga dapat mengatasi permasalahan yang terjadi, memperbaiki kesalahan
sistem pelaksanaan yang ada dan meningkatkan kualitas kinerjanya.
4.1 Seleksi
Hasil seleksi dari pemilihan obat haji dituangkan di dalam Formularium
haji. Formularium inilah yang menjadi standar untuk kegiatan perencanaan obat
dan alat kesehatan haji. Obat yang ada di daftar Formularium adalah obat yang
harus wajib ada untuk pelayanan kesehatan Haji di Arab Saudi. Tim penyusun
Formularium dibentuk atas SK Menteri Kesehatan, terdiri dari tenaga kesehatan
yang pernah bertugas langsung di Arab Saudi pada musim Haji maupun tenaga
ahli yang terkait langsung. Penyusunan Formularium Haji bukan dari penggunaan
konsumsi obat-obatan pada tahun sebelum-sebelumnya, namun dianalisis dari
pola penyakit dari jamaah haji sebelumnya. Jadi, intinya Formularium ini adalah
untuk menentuan apa saja item obat yang rasional yang nantinya akan digunakan.
Dengan terjadinya perubahan jumlah jemaah maupun dilihat dari pola
penyakit manusia, seiring berjalannya waktu, akan terjadi pergeseran pola atau
tren penyakit. Maka, tidak tertutup kemungkinan Formularium Haji yang ada saat
ini, suatu saat tidak sesuai lagi.
4.2 Perencanaan
Setelah dipilih item obat apa saja yang akan digunakan untuk pelayanan
kesehatan Haji, selanjutnya ditentukan berapa banyak jumlah yang dibutuhkan.
Perhitungan jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan kombinasi antara
banyaknya konsumsi rata-rata 2 tahun sebelumnya dan pola penyakit calon
jamaah Haji yang akan berlangsung. Form daftar obat dan perbekalan kesehatan
yang diperlukan dapat dilihat pada lampiran.
Selain itu, perlu perhatian khusus untuk obat-obatan bagi penyakit RISTI
(Risiko Tinggi) yang sudah umum terjadi, terutama pada jemaah Haji usia lanjut,
seperti penyakit kardiovaskular, Diabetes Melitus, Kolesterol, Asma. Data
mengenai RISTI ini didapat dari Pusat Kesehatan Haji.
Pada musim Haji di tahun 2012 yang lalu, jemaah Haji Indonesia
banyaknya ada sekitar 210.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, ada sekitar 490 jiwa
Universitas Indonesia
atau sekitar 0,23% yang meninggal di Arab Saudi. Angka ini masih dianggap baik
untuk rentang ukuran indikator dalam rangka penurunan angka kematian jemaah
Haji yang ditargetkan. Penyakit hipertensi dan DM lah yang menjadi penyumbang
terbesar angka kematian jamaah Haji tersebut. Sedangkan, penyakit lain yang
paling sering diderita selama musim Haji adalah ISPA, obstruksi paru, dan
common cold.
4.3 Pengadaan
Pengadaan adalah realisasi dari perencanaan, yaitu melakukan pembelian
dari hasil penentuan jumlah dan item obat & alat kesehatan hingga barang tersebut
datang. Pada dasarnya, sistem pengadaan sama dengan pengadaan obat-obatan
PKD, yaitu melalui tender. Bedanya, untuk mengantisipasi kekurangan stok obat
atau karena adanya kejadian luar biasa (KLB) sewaktu di Arab Saudi, ada yang
namanya dana emergency. Dana ini digunakan untuk pengadaan obat dalam
kondisi darurat. Obat dibeli langsung di Arab Saudi. Namun, hal ini tidak
semudah dalam pengadaan obat di Indonesia, ada kendala yang harus dilalui,
seperti mencari golongan obat yang sesuai dengan efek terapi yang sama,
umumnya obat dijual dalam jumlah yang terbatas. Prosedur tetap pengadaan obat
emergency di Arab Saudi dapat dilihat pada lampiran.
Melihat adanya kejadian yang seperti ini, bisa dikatakan sebagai suatu
temuan yang baik untuk dianalisa dan dicarikan solusinya. Ada baiknya,
dilakukan sistem pendeteksian awal apa penyebab kenapa bisa terjadi kekurangan
stok obat. Ditelusuri mulai dari proses pendistribusian dari depo Pusat, apotek
BPHI, dan sektor. Pelajari pola penyebab terjadinya KLB, seperti kelonjakan
jumlah jemaah Haji dari tahun sebelumnya atau faktor alam dan lingkungan.
Dengan kondisi well-prepared seperti ini, niscaya kita dapat melakukan
pendeteksian dini terhadap masalah yang akan muncul nantinya.
4.4 Penyimpanan
Begitu obat dikirim dari Indonesia ke Arab Saudi, obat pertama kali
sampai disimpan di depo Pusat. Pada kenyataannya, pada musim Haji tahun 2012
kemarin, letak depo Pusat disamakan dengan daker Mekkah. Menurut prosedur
seharusnya, obat yang disimpan di depo Pusat didistribusikan sebanyak 70% ke
Universitas Indonesia
4.5 Pendistribusian
Pendistribusian dimulai dari depo Pusat ke setiap daker Mekkah, Jeddah,
dan Madinah, lalu dari daker dilanjutkan ke BPHI dan sektor, dari sektor
didistribusikan lagi ke kloter. Contohnya, di daker Mekkah ada sebanyak 11
sektor, di mana sektor ini tersebar di setiap pemondokan jemaah Haji. Sektor bisa
diibaratkan seperti puskesmas, sedangkan BPHI berfungsi seperti rumah sakit
bagi jemaah Haji. Alur pendistribusian tersebut bisa dilihat pada lampiran.
Untuk proses pendistribusian secara teknis, obat-obat tersebut
didistribusikan menggunakan ambulans melewati jalan darat, terkadang malah
menumpang di ambulans jemaah yang kebetulan sedang dievakuasi. Hal ini bisa
menjadi bahan evaluasi. Perlu ditekankan kembali, pendistribusian obat-obatan
tidak sama dengan pendistribusian barang lain. Pendistribusian obat harus dengan
perlakuan dan kondisi yang sesuai menurut sediaannya masing-masing. Jika tidak
Universitas Indonesia
memperhatikan hal ini, secara tidak langsung, kita turut andil dalam menurunnya
efek terapi obat yang dikandung di dalamnya, sehingga menurunkan efikasinya.
Sebaiknya pemerintah membenahi hal semacam ini dengan menambah
sarana transportasi di Arab Saudi untuk pendistribusian obat. Faktor lingkungan
juga harus diperhatikan, melewati jalan darat cukup memakan waktu yang cukup
lama. Tidak ada salahnya mencoba untuk bekerja sama dengan sistem transportasi
lokal di Arab Saudi untuk melakukan pengiriman obat. Bisa dengan melewati
jalur udara, misalnya. Tentunya hal ini lebih efektif, efisien, dan obat cepat
sampai ditujuan dengan risiko kerusakan seminimal mungkin.
Universitas Indonesia
depo Pusat di Arab Saudi ke Indonesia, melalui Ditjen PP & PL dilakukan analisa
data hasil penyelenggaraan kesehatan haji pada saat operasional dan diseminasi
informasi melalui media massa (cetak, elektronik, website, hotline, dan sms)
dengan melibatkan unit-unit utama Departemen Kesehatan, pemerintah, dan
swasta, serta organisasi masyarakat lainnya.
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
29 Universitas Indonesia
c. Dibuat pemisahan yang jelas antara depo Pusat dan daker Mekkah, baik
dari tempat kerja dan tugas fungsionalnya.
d. Menambah sarana transportasi di Arab Saudi untuk pendistribusian obat,
salah satunya melalui kerja sama dengan sistem transportasi lokal di Arab
Saudi.
e. Membuat kerja sama transportasi dengan maskapai pesawat udara
komersial Indonesia agar bisa menerbangkan jenazah jemaah haji yang
wafat di Arab Saudi kembali ke tanah air.
f. Menambah dan memperbaharui sarana atau prasarana penyimpanan obat
di Arab Saudi, seperti pallet, Air Conditioner, lemari psikotropik, dan
lemari pendingin.
g. Menambah mekanisme lain yang relevan untuk tersedianya informasi yang
cepat dan akurat, mengingat waktu pelayanan pendek sedangkan jumlah
yang dilayani sangat banyak, seperti: SMS, online logistic system, dan lain
lain.
Universitas Indonesia
31 Universitas Indonesia
Lampiran 3. Contoh Berkas Berita Acara Serah Terima Obat dan Perbekalan
Kesehatan