Dosen Pengajar :
Dr. A. A. Sagung Ngurah Indradewi, S.H., M.H.
Oleh :
I Gede Rian Pradita
( 019.501.6.015 )
i
ii
DAFTAR ISI
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum sebagai suatu sistem harus diartikan sebagai suatu tatanan yang
memiliki karakter yang harmonis dan lengkap. Sistem hukum adalah sistem yang
harmonis karena semua dan menghindarkan diri dari konflik-konflik di antara
mereka. Apabila, karena sesuatu sebab yang tidak dikehendakinya, ternyata konflik
itu tetap juga terjadi, maka sistem hukum telah menyiapkan instrument
penyelesaiannya (legal remedies). Ini berarti sistem hukum telah dilengkapi dengan
berbagai fasilitas agar ia dapat bekerja dengan sebaik-baiknya.
Di sisi lain, sistem hukum juga merupakan sistem yang terbuka untuk
mempengaruhi dan dipengaruhi sistem-sistem lain di luar dirinya. Artinya, sistem
hukum itu juga menghadapi perubahan-perubahan, sehingga apa yang semula di
asumsikan sudah pasti, adil, dan bermanfaat menurut hukum, ternyata mengalami
pergeseran-pergeseran. Hukum dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan-
perubahan tersebut. Adakalanya perubahan- perubahan itu menuntut pergantian
secara substansial di dalam sistem hukumitu, misalnya dengan cara mencabut
sebuah undang-undang yang baru. Ada kalanya lagi, undang-undang tersebut tetap
dibiarkan sepertiapa adanya, namun harus diberikan pemaknaan baru. Dalam
konteks inilah maka tulisan ini akan berbicara tentang pentingnya pemahaman
terhadap berbagai metode penemuan hukum.
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
3
Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300
hari sejak saat perceraian.
Dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
bahwa waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.[6]
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Lalu, apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari?
Jawabannya adalah tidak.
Jadi, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat dikatakan
bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki karena soal yang dihadapi
4
tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-
apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.
d. Fiksi hokum
Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan
fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan
kita, atau penemuan hukum dengan menggambarkan suatu peristiwa kemudian
menganggapnya ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru.
Konsekuensi dari penggunaan fiksi hukum karena adanya “asas in dubio
pro reo” bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum, sehingga seseorang yang
5
melanggar suatu ketentuan hukum tidak boleh beralasan bahwa hukum itu tidak
ketahuinya.
Artinya, apabila suatu peraturan perundang-undangan telah diberlaku,
maka, dianggap (difiksikan) bahwa semua orang telah mengetahuinya yang harus
ditaati.
Contoh fiksi hukum :
Dengan fiksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum yang berlaku
sekalipun ia buta huruf atau tidak mengetahuinya sama sekali, berarti ia tetap diatur
oleh hukum; contoh Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang
lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”Dalam hal ini seseorang sekalipun tidak pernah
mengetahui tentang aturan pasal tersebut, ketika ia melakukannya maka ia
dikenakan sanksi. Karena dianggap telah mengetahui aturan yang berlaku.
6
BAB III
PENUTUP