Anda di halaman 1dari 8

TUGAS TEORI HUKUM

METODE KONSTRUKSI HUKUM

Dosen Pengajar :
Dr. A. A. Sagung Ngurah Indradewi, S.H., M.H.

Oleh :
I Gede Rian Pradita
( 019.501.6.015 )

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA
2019

i
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................... i


DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
2. PEMBAHASAN ............................................................................ 2
3. PENUTUP ...................................................................................... 6

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum sebagai suatu sistem harus diartikan sebagai suatu tatanan yang
memiliki karakter yang harmonis dan lengkap. Sistem hukum adalah sistem yang
harmonis karena semua dan menghindarkan diri dari konflik-konflik di antara
mereka. Apabila, karena sesuatu sebab yang tidak dikehendakinya, ternyata konflik
itu tetap juga terjadi, maka sistem hukum telah menyiapkan instrument
penyelesaiannya (legal remedies). Ini berarti sistem hukum telah dilengkapi dengan
berbagai fasilitas agar ia dapat bekerja dengan sebaik-baiknya.
Di sisi lain, sistem hukum juga merupakan sistem yang terbuka untuk
mempengaruhi dan dipengaruhi sistem-sistem lain di luar dirinya. Artinya, sistem
hukum itu juga menghadapi perubahan-perubahan, sehingga apa yang semula di
asumsikan sudah pasti, adil, dan bermanfaat menurut hukum, ternyata mengalami
pergeseran-pergeseran. Hukum dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan-
perubahan tersebut. Adakalanya perubahan- perubahan itu menuntut pergantian
secara substansial di dalam sistem hukumitu, misalnya dengan cara mencabut
sebuah undang-undang yang baru. Ada kalanya lagi, undang-undang tersebut tetap
dibiarkan sepertiapa adanya, namun harus diberikan pemaknaan baru. Dalam
konteks inilah maka tulisan ini akan berbicara tentang pentingnya pemahaman
terhadap berbagai metode penemuan hukum.

1
2

BAB II
PEMBAHASAN

Metode penemuan hukum lainnya adalah konstruksi hukum, atau disebut


juga dengan metode argumentasi. Analogi (argumentum per analogiam) hanyalah
salah satu dari metode konstruksi. Diluar itu terdapat penghalusan hukum atau
penyempitan hukum (rechtsverfijning) dan argumentum a contrario.
Dalam metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan
oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum yaitu :
a. Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)
Analogi merupakan metode penemuan hukum di mana hakim mencari
esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik
yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.
Sebagai contoh dapat dilihat pasal 1576 BW, yang mengatur bahwa jual beli
tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. Kemudian dalam praktik, perkara
yang di hadapi adalah apakah hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa
menyewa atau sebaliknya? Karena undang-undang hanya mengatur tentang jual
beli dan tidak tentang hibah, maka hakim harus melakukan penemuan hukum agar
dapat membuat putusan dalam perkara tersebut. Dengan metode analogi pertama-
tama hakim mencari esensi dari perbuatan jual beli, yaitu peralihan hak, dan
kemudia dicari esensi dari perbuatan hibah, yaitu juga peralihan hak. Dengan
demikian, ditemukan bahwa peralihan hak merupakan genus (peristiwa umum),
sedangkan jual beli dan hibah masing-masing adalah species (peristiwa khusus),
sehingga metode analogi ini menggunakan penalarana induksi yaitu berfikir dari
peristiwa khusus ke peristiwa umum. Keismpulannya, hibah juga tidak
memutuskan hubungan sewa menyewa. Dengan analogi maka peristiwa yang
serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan
sama.

2
3

b. Metode Argumentum a Contrario


Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan
penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang
menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas
pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya.
Karena ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang,
tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Jadi metode ini
mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa
konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Contoh Penafsiran Argumentum A Contrario:
Contoh penafsiran a contrario dapat kita temukan pada Pasal 34 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang menyatakan bahwa:

Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300
hari sejak saat perceraian.

Dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
bahwa waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.[6]
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Lalu, apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari?
Jawabannya adalah tidak.
Jadi, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat dikatakan
bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki karena soal yang dihadapi
4

tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-
apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.

c. Metode Penyempitan Hukum


Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu
umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu
peristiwa tertentu. Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-
pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan
yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang
khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan member ciri-ciri.
Sebagai contoh penyempitan hukum adalah pengertian “perbuatan melawan
hukum” yang tercantum dalam pasal 1365 BW yang cakupan maknanya luas
apakah yang dimaksud dengan hukum itu sendiri? akibatnya ruang lingkupnya
dipersempit menjadi apa yang kita jumpai dalam yurisprudensi putusan HR 31
Januari 1919 kasus Lindenbaum vs Cohen yaitu perbuatan melawan hukum
dipersempit menjadi perbuatan melawan undang-undang dan kepatutan.
Pasal 1365 mengatur tentang kewajiban memberi ganti rugi kepada korban
atas kesalahan yang diperbuat dlm hal tejadi onrechtmatigedaad. Bagaimana jika si
korban juga mempunyai andil atas kesalahan sehingga menimbulkan kerugian itu?
Mengingat hal ini tidak diatur, maka prinsip Pasal 1365 dapat dikonstruksikan
menjadi ketentuan baru bahwa si korban juga berhak mendapatkan ganti rugi, tetapi
tidak penuh.

d. Fiksi hokum
Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan
fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan
kita, atau penemuan hukum dengan menggambarkan suatu peristiwa kemudian
menganggapnya ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru.
Konsekuensi dari penggunaan fiksi hukum karena adanya “asas in dubio
pro reo” bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum, sehingga seseorang yang
5

melanggar suatu ketentuan hukum tidak boleh beralasan bahwa hukum itu tidak
ketahuinya.
Artinya, apabila suatu peraturan perundang-undangan telah diberlaku,
maka, dianggap (difiksikan) bahwa semua orang telah mengetahuinya yang harus
ditaati.
Contoh fiksi hukum :
Dengan fiksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum yang berlaku
sekalipun ia buta huruf atau tidak mengetahuinya sama sekali, berarti ia tetap diatur
oleh hukum; contoh Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang
lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”Dalam hal ini seseorang sekalipun tidak pernah
mengetahui tentang aturan pasal tersebut, ketika ia melakukannya maka ia
dikenakan sanksi. Karena dianggap telah mengetahui aturan yang berlaku.
6

BAB III
PENUTUP

Pekerjaan harmonisasi hukum pada dasarnya dapat dipersempit dan


diperluas. Jika dipersempit, pekerjaan tersebut menjadi sekedar menganalisis
hukum, yang dalam konteks ini dibatasi pada peraturan perundang-undangan. Dan,
pekerjaan tersebut tidak sekedar membutuhkan pengetahuan tentang sistem hukum
Indonesia, melainkan juga penguasaan cara bernalar hukum (legal reasoning) ,
sebagaimana diungkapkan oleh adigium, “Lex plus laudatur quando ratione
probatur” (the law is the more praised, when it is approved by reason); “Lex non
cogit ad impossibilia” (the law does not compel the impossible).
Alhasil, setelah mendapat bekal pemahaman tentang sistem hukum
Indonesia dengan segala permasalahan yang mengitari pekerjaan analisis menuju
harmonisasi peraturan perundang-undangan ini, maka sampailah pada beberapa
rekomendasi untuk digunakan sebagai kerangka berfikir.
Pertama-tama, harus disadari kondisi riil yang dihadapi suatu peraturan
perundang- undangan yang ingin diharmonisasi. Kondisi disharmonis itu dapat
terjadi karena ada “masalah” secara vertical dan horizontal. Seperti terlihat dalam
ragaan dibawah ini, UU-2 (peraturan yang sedang dikaji) dihadapkan pada
kontradiksi secara vertical dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi
tingkatannya (misalnya UUD), juga dengan peraturan perundang- undangan yang
lebih rendah (misalnya PP). Tidak tertutup kemungkinan jua pertentangan karena
faktor kronologis berlaku. Artinya, walaupun sederajat (sama-sama UU), tetapi
ternyata ada UU yang lebih dulu berlaku (UU-1) dan UU lain yang lebih belakangan
(UU-3).

Anda mungkin juga menyukai