Anda di halaman 1dari 144

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal

Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pertama – tama, kami mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kepada


Allah SWT atas semua taufik, hidayah dan karunia yang kami terima selama ini
terutama dalam rangka menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan laporan
ini.

Laporan penelitian ini yang berjudul “Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam
Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan” diselesaikan dalam rangka
kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama
Internasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies,
PT. PLN (Persero).

Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal – hal sebagai
berikut :

1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk
menggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi
dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya
kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat
terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku
ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik.

2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangi
kebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan
kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah
permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup
apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan
listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan
prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian.

i.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

3. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah – langkah untuk (i)


menutup kesenjangan (gap) energi listrik yang terjadi saat ini, (ii) mencegah
terjadinya kesenjangan (gap) yang semakin besar dalam tahun-tahun
mendatang, dan (iii) meningkatkan sarana & prasarana untuk menutup
kesejangan (gap) energi listrik tersebut.

4. Untuk mensukseskan langkah - langkah tersebut maka dibutuhkan


ketersediaan dana atau investasi di sektor ketenagalistrikan. Mengingat saat ini,
kemampuan keuangan Pemerintah maupun PT. PLN sendiri belum
memungkinkan, maka wajar diperlukan peranan swasta baru (dalam negeri
maupun luar negeri) untuk berinvestasi di sektor tersebut.

5. Sampai saat sekarang, minat para swasta tersebut untuk berinvestasi dalam
proyek ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang
diharapkan (expected rate of return) dari usaha tersebut relatif rendah.
Rendahnya keuntungan tersebut diperkirakan karena beberapa hal : (i) tarif
dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform
rate khusus pelanggan rumahtangga) yang menyebabkan rendahnya kepastian
usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain
di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain.

6. Dibutuhkan peran Pemerintah dalam menciptakan kondisi dan suasana


investasi yang dapat menarik swasta baru di sektor ketenagalistrikan. Salah
satu upaya Pemerintah adalah melakukan efisiensi dalam biaya usaha agar
harga jual dapat relatif rendah. Sehingga, kebijakan yang dilakukan untuk
mendorong usaha ketenagalistrikan harus terkait dengan dua hal, antara lain :
a) menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif bagi investasi di sektor
kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya produksi energi listrik di
semua tahapan proses produksi listrik.

7. Untuk diperlukan upaya Pemerintah untuk menghasilkan kebijakan ekonomi


yang dapat meningkatkan iklim dan realisasi investasi melalui : (i)
penyederhanaan prosedur perijinan, (ii) peninjau ulang insentif fiskal agar

i.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

tepat sasaran, (iii) pengurangan tumpang – tindih kebijakan Pemerintah Pusat


& Daerah serta antra sektor, (iv) merevisi peraturan – peraturan yang kurang
mendorong kegiatan di ketenagalistrikan, (v) reformasi kelembagaan
penanaman modal, dan (vi) penanganan masalah – masalah investasi secara
tepat dan akurat.

8. Bentuk usulan insentif fiskal (hasil studi ini) yang diharapkan dapat
meningkatkan iklim investasi di bidang usaha ketenagalistrikan, antara lain : (i)
di bidang PPh : a) insentif REGIONAL dengan pembebasan PPh ≤ 60% dari
pendapatan untuk pengembangan usaha ketenagalistrikan; b) insentif
SEKTORAL bagi perusahaan bidang usaha strategis dan atau prioritas
pembangunan (termasuk ketenagalistrikan) dengan pembebasan PPh ≤ 10%
selama 5 – 10 tahun; c) insentif EKSPOR dan DAERAH PERDAGANGAN
BEBAS dengan pajak final ≤ 5% dari penghasilan bruto dengan komposisi : 3%
Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah dan 1% untuk Dana Pembangunan,
dan d) pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR ≤ 30% selama 5 tahun untuk
mendorong ekspor dan daerah perdagangan bebas; (ii) di bidang PPN : a)
usaha ketenagalistrikan dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas
penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN, b) barang modal berupa
mesin dan peralan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat
strategis atas impor dan atau penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan
PPN; dan (iii) di bidang Kepabeanan : a) menggunakan mekanisme PP Nomor
42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringanan BM atas Impor; b) menggunakan
Pasal 26 Ayat 1 huruf j UU Nomor 10 Tahun 1995 : Barang oleh Pemerintah
Pusat dan Pemda ditujukan untuk kepentingan umum; c) merevisi PMK
47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukan industri ketegalistrikan ke
dalam daftar industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan BM; d)
memberikan fasilitas BM khusus untuk usaha ketenagalistrikan; dan e)
menurunkan tarif BM barang modal untuk industri ketenagalistrikan dengan
memasukan harmonisasi tarif.

i.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

9. Usulan bentuk – bentuk insentif fiskal untuk pemanfaatan sumber energi


terbarukan, yaitu : a) penurunan bea masuk; b) pemakaian muatan lokal; c)
penghapusan subsidi terhadap harga energi tidak terbarukan, dan d)
memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari
sumber daya tidak terbarukan.

Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa setiap karya manusia tidak
luput dari kekhilafan (tidak ada gading yang tidak retak), sehingga kami selalu
terbuka dan tulus ikhlas menerima saran – saran maupun kritikan yang bersifat
kontrukstif guna perbaikan laporan ini.

Selanjutnya, kepada semua pihak yang berperan dalam mensukseskan


penulisan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara yang kita
cintai bersama.

Jakarta, Oktober 2005


Ketua Tim Penelitian dan
Penulisan Laporan

Purwiyanto

i.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i.1


DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
1.1 Latar Belakang Masalah 1.1
1.2 Tujuan Studi 1.6
1.3 Metodologi Penelitian 1.6
1.4 Output 1.7

BAB II LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA 2.1


PENYEDIAAN DENGAN PERMINTAAN PASAR
2.1 Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka 2.3
Penyediaan Usaha Ketenagalistrikan
2.2 Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik 2.4
2.2.1 Efek Subsidi Pemerintah 2.7
2.3 Insentif Fiskal dalam Rangka Mendorong Usaha 2.8
Ketenagalistrikan
2.3.1 Pengenaan Pajak (Misal : PPN) 2.9
2.3.2 Dampak Insentif Pemerintah terhadap Penurunan 2.12
Biaya Produksi

BAB III GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI 3.1


INDONESIA
3.1 Profil Ketenagalistrikan 3.1
3.2 Produksi Listrik dan Pengunaan Bahan Bakar Sektor Listrik 3.3
3.3 Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik 3.4
3.3.1 Potret Permintaan Tenaga Listrik 3.6

i
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
3.3.2 Penawaran Tenaga Listrik 3.7
3.3.3 Transmisi Tenaga Listrik di Jawa-Bali 3.11
3.3.4 Transmisi Tenaga Listrik di luar Wilayah Jawa-Bali 3.12
3.4 Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan 3.12

BAB IV EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE 4.1


DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI
INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN
4.1 Peluang Sumber Dana yang Dapat Dimanfaatkan Untuk 4.1
Investasi Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman
(Subsidiary Loan Agreement)
4.2 Insentif Kebijakan Fiskal yang Masih Berlaku Sampai 4.4
dengan Tahun 2000
4.3 Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan 4.9
oleh Investor Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai dengan
Tahun 2000
4.4 Insentif Kebijakan Fiskal yang Diberlakukan Untuk 4.10
Investasi di Sektor Kelistrikan
4.5 Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan 4.14
(PPh) Untuk Mendorong Usaha dan Investasi Kelistrikan
Setelah Tahun 2001
4.5.1 Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu 4.15
dan atau di Daerah-Daerah Tertentu
4.5.2 Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga 4.17
Khusus yang dibentuk Pemerintah
4.5.3 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu(KAPET) 4.18
4.5.4 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh 4.20
DTP) atas Hibah dan Pinjaman Luar Negeri
4.5.5 Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai 4.23
4.5.6 Restukturisasi Perusahaan 4.25
4.5.7 Penyusutan dan atau Pembebanan Biaya atas Biaya 4.27

ii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan
Perusahaan
4.5.8 Angsuran Pembayaran PPh atas Selisih Lebih 4.28
Penilaian Kembali Aktiva Tetap
4.5.9 Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4.29
22 Impor
4.6 Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Rangka 4.3.2
Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan
4.6.1 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah 4.3.3
Pada Periode Sebelum 1 Januari 2001
4.6.2 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah 4.3.4
Pada Periode Setelah 1 Januari 2001 sampai Dengan
Sekarang
4.6.3 Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah 4.3.5
yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman
Luar Negeri
4.6.4 Rencana Kebijakan Pemerintah dalam Rangka 4.3.6
Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan

BAB V KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES 5.1


BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA-NEGARA
ASEAN
5.1 Kebijakan Insentif Fiskal di Beberapa Negara 5.1
5.2 Kebijakan Insentif Fiskal di Malaysia 5.1
5.2.1 Kebijakan Insentif Regional 5.1
5.2.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.2
5.2.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan 5.3
Bebas
5.2.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.3
5.3 Kebijakan Insentif Fiskal di Filipina 5.4
5.3.1 Kebijakan Insentif Regional 5.4

iii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.3.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.5
5.3.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan 5.5
Bebas
5.3.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.6
5.4 Kebijakan Insentif Fiskal di Singapura 5.6
5.4.1 Insentif Sektoral 5.6
5.4.2 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.8
5.4.3 Insentif Lainnya 5.8
5.5 Kebijakan Insentif Fiskal Thailand 5.9
5.5.1 Insentif Regional 5.9
5.5.2 Insentif Sektoral 5.11
5.5.3 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.11
5.5.4 Insentif Lainnya 5.12
5.6 Kebijakan Perlistrikan di Thailand 5.12
5.7 Kebijakan Perlistrikan di Vietnam 5.13
5.8 Kebijakan Perlistrikan di Malaysia 5.14
5.9 Kebijakan Perlistrikan di Filipina 5.15
5.10 Kebijakan Perlistrikan di India 5.17
5.11 Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan 5.28
5.11.1 Pendahuluan 5.28
5.11.2 Kondisi Indonesia 5.29
5.11.3 Energi Terbarukan sebagai Penggerak Roda 5.31
Ekonomi

BAB VI ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL DI SEKTOR 6.1


KETENAGALISTRIKAN
6.1 Program Penyediaan Tenaga Listrik Periode 2004-2013
6.1.1 Rencana Pengembangan Pembangkit di Jawa, 6.1
Madura dan Bali
6.1.2 Rencana Pengembangan Pembangkit di Luar Jawa, 6.1
Madura dan Bali

iv
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
6.1.3 Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa, 6.1
Madura dan Bali
6.1.4 Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa, 6.2
Madura dan Bali
6.1.5 Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura 6.2
dan Bali
6.1.6 Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa, 6.3
Madura dan Bali
6.2 Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi 6.3
6.2.1 Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali 6.3
6.2.2 Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura 6.4
dan Bali
6.3 Insentif fiskal yang Berlaku Saat Ini Bagi Industri 6.4
Ketenagalistrikan dan Kebutuhan ke Depan
6.3.1 Kebijakan Insentif Pajak yang Berlaku Saat Ini 6.5
6.4 Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004-2007 6.14
6.5 Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan 6.15
6.5.1 Potential Loss Terhadap Penerimaan Negara 6.15
6.5.2 Kenaikan pendapatan Domestik Bruto (PDB) 6.16
6.5.3 Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat 6.16

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1


7.1 Kesimpulan 7.1
7.2 Saran dan Rekomendasi 7.6
7.2.1 Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastuktur 7.6
Ketenagalistrikan
7.2.2 Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi 7.7
Terbarukan

v
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Proyeksi Penawaran Energi Listrik yang Disesuaikan


dengan Capacity Factor 1990-2010 (Juta Gigajoules) 1.2
Tabel 3.1 Angka ROR Tahun 2000-2007 3.13
Tabel 3.2 Pelanggan PT. PLN Tahun 2000-2004 3.16
Tabel 4.1 Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap 4.5
Tabel 5.1 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di
Negara-Negara ASEAN 5.18
Tabel 5.2 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di
Negara-Negara ASEAN 5.20
Tabel 5.3 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di
Negara-Negara ASEAN 5.21
Tabel 5.4 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di
Negara-Negara ASEAN 5.23
Tabel 5.5 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di
Negara-Negara ASEAN 5.24
Tabel 5.6 Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity 5.31
Tabel 6.1 Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003-2007
(Fixed Asset-US$ Juta) 6.15
Tabel 6.2 Potential Loss Sektor Pajak Yang Ditanggung Pemerintah
Selama Lima Tahun 6.15
Tabel 7.1 Usulan Bentuk-Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanfaatan
Sumber Daya Terbarukan 7.10

vi
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Subsidi dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik 2.5


Gambar 2.2 Kasus Permintaan Elastis 2.9
Gambar 2.3 Kasus Permintaan Tidak Elastis 2.10
Gambar 2.4 Biaya Produksi dan Pasar Energi Listrik 2.14
Gambar 3.1 Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001-2013 3.1
Gambar 3.2 Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004-2010 3.2
Gambar 3.3 Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik 3.3
Gambar 3.4 Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik 3.5
Gambar 4.1 Perbandingan Tarif Efektif PPh Badan di Beberapa Negara
Pada Berbagai Tingkat Pendapatan 4.5

vii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tambahan Kapasitas Pembangkit IPP / Pemda


Lampiran 2 Tambahan Kapasitas Pembangkit Proyek PLN
Lampiran 3 Parameter Kandidat Pembangkit
Lampiran 4 Asumsi Harga Bahan Bakar
Lampiran 5 PLN & Private Projects Committed
Lampiran 6 On Going Projects : Proyek Pembangkit PLN / IPP / Pemda
Lampiran 7 Kapasitas Terpasang
Lampiran 8 Proyeksi Kebutuhan Bahan Bakar
Lampiran 9 Komposisi Produksi Menurut Jenis Energi Primer
Lampiran 10 Regional Balance Tahun 2008
Lampiran 11 Kebutuhan Investasi Untuk Fasilitas Pembangkit, Penyaluran
Dan Distribusi
Lampiran 12 Rencana Penambahan Kapasitas
Lampiran 13 Pokok – pokok Pikiran Narasi Gabungan Perubahan
UU Perpajakan
Lampiran 14 Pokok – pokok Pikiran Perubahan UU PPh
Lampiran 15 Pokok – pokok Pikiran Perubahan UU PPN & PPNBM
Lampiran 16 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 0002 Tahun 2004 Tentang
Kebijakan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan
Energi hijau)
Lampiran 17 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 1122K/30/MEM/2002 Tentang
Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil
Tersebar
Lampiran 18 Kebijaksanaan, Peraturan & Prosedur : Tata cara Perencanaan,
Pelaksanaan / Penatausahaan, Dan Pemantauan Pinjaman / Hibah
Luar negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN

vii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Permasalahan


Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi
jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari, perusahaan untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun
bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Keperluan
tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya
kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang
menggunakan listrik.

Dari hasil studi Arsyad (1994) mengenai hubungan kausalitas antara


pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Indonesia terlihat bahwa aktifitas
ekonomi akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi, namun tidak sebaliknya.
Dengan demikian, mengingat kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi bersifat terus
menerus, maka scarcity problem akan berlaku secara alamiah dalam usaha
ketenagalistrikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah terdapatnya gap atau
kesenjangan antara penyediaan energi listrik dengan kebutuhan yang cukup besar
dan cenderung membesar di masa depan, yang dapat menyebabkan melemahnya
aselerasi perkembangan ekonomi, sehingga tidak tercapainya tingkat pertumbuhan
ekonomi yang sustainable pada tingkat 6% per tahun.

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang akan terjadi krisis energi listrik,
karena pasokan energi listrik tidak mampu mengimbangi permintaan energi listrik.
Selisih antara pasokan dan permintaan energi listrik (kesenjangan) tersebut tidak
pernah bisa dipenuhi kalau hanya mengandalkan tingkat pertumbuhan alamiah dari
penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik
merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan
perekonomian. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah besar untuk (i)
menutup kesenjangan pasokan energi listrik yang terjadi saat ini, dan (ii) mencegah

1.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
terjadinya kesenjangan yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang (lihat
Tabel 1.1).

Penentu utama dari suksesnya langkah besar untuk mengatasi kesenjangan


penyediaan energi listrik adalah ketersediaan dana investasi di sektor pembangkitt
tenaga listrik. Namun demikian, kemampuan keuangan negara maupun PT. PLN
untuk berinvestasi di sektor ketenagalistrikan tidak mencukupi sehingga diperlukan
peran investor swasta baru dari dalam maupun luar negeri.

Tabel 1.1 :
Proyeksi Penawaran Energi Listrik Yang Disesuaikan
Dengan Capacity Factor 1990 – 2010 (Juta Gwh)

Tahun
No Uraian
1995 2000 2005 2010*
1 Diesel 11,12 12,91 14,88 15,29
2 Uap 56,53 65,61 75,63 77,70
3 Air 18,02 20,91 24,10 24,76
4 Gas turbin 2,63 3,05 3,52 3,62
5 Panas Bumi 4,19 4,87 5,61 5,76
6 Gas Uap 20,98 24,34 28,06 28,83
7 Total Supply 114,04 132,34 152,56 156,72**
8 Energy Demand 249,40 289,42 333,63 382,71**
9 Perkiraan Kesenjangan 135,36 157,08 181,07 225,99
Sumber : Ismalina, 1997, diolah.
* RUPTL Tahun 2004 – 2013 Jawa, Madura, Bali.
** PLTU + Captive

Di sisi lain, minat investor swasta untuk menanamkan dananya dalam proyek
pengembangan ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang
diharapkan (expected rate of return) dari kegiatan tersebut relatif rendah. Rendahnya
keuntungan tersebut utamanya terkait dengan hal-hal, antara lain : (i) tarif dasar
listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate) yang
menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang
kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara
lain.

Untuk itu, diharapkan peran Pemerintah untuk menciptakan kondisi dan


suasana investasi yang dapat menarik investor baru di bidang ketenagalistrikan.
Salah satu upaya untuk menarik investor baru tersebut adalah melakukan efisiensi

1.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Dengan demikian, langkah
kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha di bidang ketenagalistrikan harus
terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang
kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya
produksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik.

Tarif dasar listrik (TDL) pada dasarnya merupakan instrumen yang bisa
mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran listrik. Dari sisi permintaan akan
listrik, TDL yang menguntungkan bagi masyarakat pada umumnya adalah tarif yang
murah. Sementara dari sisi penawaran akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi
produsen listrik adalah tarif yang dapat memberikan keuntungan yang layak. Dalam
rangka mempertemukan (mengakomodir) kedua kepentingan tersebut maka sejak
awal krisis ekonomi hingga tahun 2005 ini, Pemerintah bersama PT. PLN (dengan
persetujuan DPR Pusat) telah beberapa kali melakukan penyesuaian terhadap TDL
per kelompok pelanggan.

Namun demikian, kebijakan penyesuaian terhadap besarnya TDL yang berlaku


sampai saat ini nampaknya belum mencerminkan tarif listrik yang kompetitif.
Karena sejauh ini, besarnya TDL yang diberlakukan oleh PT. PLN masih relatif
rendah apabila dikonversikan dengan mata uang dolar AS. Besarnya TDL rata-rata
yang ditetapkan pemerintah pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi dan
moneter sudah mencapai sekitar US$3 sen/kWh. Sejalan dengan depresiasi mata
uang rupiah terhadap dolar AS, maka besarnya TDL rata-rata tersebut merosot
menjadi sekitar US$7 sen/kWh. Berkenaan dengan kenaikan TDL pada tahun 2000
dan 2001, besarnya TDL rata-rata pada tahun 2001 naik menjadi US$3,31 sen/kWh.
Namun, besarnya harga jual rata-rata tetap di bawah harga pokok penjualan (HPP),
yang mencapai US$4.03 sen/kWh. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan investor
ketenagalistrikan menjadi rendah, kerena TDL yang lebih rendah dari HPP pada
dasarnya akan mempersulit keuangan PT. PLN. Sementara itu, output investor
ketenagalistrikan harus dijual kepada PT. PLN yang kondisinya kurang
menguntungkan tersebut.

1.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Di samping masalah besarnya TDL yang hanya sekitar 25% dari biaya
recoverynya, masalah lain yang masih dihadapi oleh PT. PLN adalah diterapkannya
sistem tarif uniform rate khusus pelanggan rumahtangga untuk semua jam
pemakaian listrik, sehingga tidak ada pembedaan besarnya TDL untuk pemakaian
pada waktu beban puncak (peak load) dan pemakaian pada waktu di luar beban
puncak (siang hari). Padahal sudah bisa diduga bahwa pada masa beban puncak,
biaya operasional yang harus ditanggung oleh PT. PLN akan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya operasional pada masa bukan beban puncak. Oleh sebab
itu, besarnya TDL yang diberlakukan tersebut juga merupakan salah satu faktor
kurang menariknya investasi di sektor kelistrikan.

Faktor penyebab lainnya adalah masih terjadinya in efisiensi dalam proses


produksi listrik karena high cost economy, yang artinya biaya yang diperlukan untuk
kegiatan produksi cenderung tinggi secara alamiah, dan pada akhirnya dapat
menciptakan kondisi dan suasana investasi menjadi tidak kondusif. Padahal,
investor swasta baru memerlukan kondisi dan suasana yang kondusif guna
mendukung kegiatan investasi tersebut1.

Dari dua sumber permasalahan tersebut, nampaknya tarif harga jual listrik
yang rendah relatif sulit untuk diselesaikan dalam jangka pendek, mengingat tarif
harga jual listrik sejauh ini dianggap sebagai barang strategis yang mempunyai
pengaruh sosial-politis terhadap masyarakat. Permasalahan yang lebih berpeluang
untuk dicari solusinya adalah relatif tingginya biaya. Oleh sebab itu, faktor penting
yang diperlukan untuk menarik investor swasta baru di sektor kelistrikan adalah
pandangan Pemerintah terhadap strategisnya persoalan kelistrikan di masa depan,
serta goodwill Pemerintah untuk mendorong perkembangan kondisi dan suasana
investasi menjadi kondusif. Hal tersebut menjadi makin penting sejalan dengan
adanya kenyataan bahwa keuangan PLN tidak akan mampu mendukung
pembiayaan penyediaan listrik yang mencapai sekitar US$ 750 juta/ tahun (World
Bank).

1Hasil
studi BAF – CEPS 2004, dan laporan Bank Dunia dalam CGI meeting secara eksplisit
menyampaikan bahwa daya saing iklim investasi di Indonesai ermasuk yang terendah.

1.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Mengingat, untuk saat ini kebutuhan dana investasi di sektor ketenagalistrikan
lebih banyak diharapkan dari investor swasta, maka daya saing ekonomi dari usaha
ketenagalistrikan tersebut harus dikembangkan. Hal tersebut terkait dengan hasil
studi Badan Analisa Fiskal (BAF) Departemen Keuangan dan CEPS tahun 2004, yang
menyatakan bahwa daya saing dunia usaha dalam negeri sudah tidak kompetitif lagi
apabila dibandingkan dengan kondisi di negara-negara lain. Pengertian
“competitiveness” mengandung arti yang sangat luas, yaitu sesuatu yang berkaitan
dengan usaha suatu negara menciptakan dan memelihara daya saing dunia usaha
dalam negeri (World Competitiveness Yearbook, 2003)2. Secara umum terdapat empat
faktor yang mempengaruhi daya saing dalam suatu bangsa, yaitu : (i) kinerja
perekonomian, (ii) efisiensi pemerintah, (iii) efisiensi dunia usaha, dan (iv) kondisi
infrastruktur3.

Salah satu langkah penting yang memungkinkan dilaksanakan pemerintah


untuk memperbaiki daya saing iklim investasi di Indonesia adalah memberikan
insentif bagi usaha ketenagalistrikan, sehingga masalah dan potensi masalah yang
mungkin timbul dapat diminimalisir. Insentif tersebut dapat dilakukan melalui
berbagai instrumen kebijakan yang diambil Pemerintah, misalnya kebijakan sektor
riil melalui berbagai kemudahan ekspor-impor, sektor moneter melalui penetapan
tingkat bunga yang bersaing, maupun melalui berbagai kebijakan fiskal, baik sisi
belanja, pendapatan, maupun pembiayaan. Namun demikian, sifat investasi di
sektor ketenagalistrikan merupakan investasi bernilai besar dan berjangka waktu
panjang, maka campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dapat lebih
efektif, di samping penerapan kebijakan lain. Kebijakan fiskal yang bisa dilakukan
dalam hal ini tidak terbatas pada instrumen perpajakan saja, namun, berupa
kebijakan fiskal dalam arti yang lebih luas seperti privatisasi dan/atau kebijakan
penyertaan modal negara pada sisi belanja negara.

Selanjutnya, permasalahan penting dalam studi ini adalah :


a. Apa saja kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya untuk
tenaga listrik sesuai peraturan perundangan yang berlaku,

2Institute for Management Development, 2003.


3Idem.

1.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
b. Benefit cost analysis kebijakan fiskal untuk mendorong investasi tenaga listrik,
c. Pengaruh kebijakan yang dipilih terhadap perkembangan pasokan,
d. Apa rekomendasi kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi
ketenagalistrikan yang minimal dead weight loss-nya

I.2. Tujuan Studi

Kajian mengenai alternatif kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di


sektor ketenagalistrikan bertujuan, antara lain untuk :
(1) Menginventarisir kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya
investasi di sektor ketenagalistrikan;
(2) Menganalisis dan mengevaluasi (benefit cost analysis) kebijakan fiskal untuk
mendorong investasi di sektor tenaga listrik; dan
(3) Memberikan rekomendasi pilihan kebijakan fiskal yang dapat mendorong
investasi di sektor ketenagalistrikan tanpa menyebabkan misalokasi sumber
daya (minimal dead weight loss).

I.3. Metodologi Penelitian

Studi ini akan dilakukan melalui metodologi kuantitatif dan kualitatif-


deskriptif, yaitu dalam bentuk studi pustaka maupun pengolahan data kuantitatif.
Kajian kualitatif tersebut antara lain berupa review kebijakan ketenagalistrikan, dan
kajian perundang-undangan, seperti review undang-undang perpajakan dan
undang-undang ketenagalistrikan, beserta peraturan pelaksanannya. Selanjutnya,
kajian kuantitatif dan analisis data dilakukan untuk memperkirakan kebutuhan
tenaga listrik dan penawaran tenaga listrik di waktu mendatang, mengkaji dampak
kebijakan perpajakan pada biaya investasi ketenagalistrikan, dan dampak makro
dari kebijakan fiskal tersebut.

Kajian pustaka akan memberikan landasan teori bagi analisis kuantitatif,


sekaligus membandingkan fakta empiris yang telah diterapkan di negara lain.
Sementara itu, review perundang-undangan memberikan landasan hukum (legal
standing) bagi berbagai alternatif dan rekomendasi kebijakan. Peraturan
perundangan yang terkait dalam hal ini antara lain undang-undang keuangan

1.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
negara, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang tentang investasi, dan
undang-undang tentang perpajakan, beserta peraturan pelaksanaannya.

Sementara itu, analisis data kuantitatif akan memberikan simulasi dampak


kebijakan yang akan diambil. Dengan menggunakan data-data tentang
ketenagalistrikan, seperti statistik ketenagalistrikan, dan statistik PLN, maupun data-
data dari luar negeri, dengan dibantu model-model statistik, persamaan simultan,
maupun keseimbangan umum, diharapkan dapat memprediksikan dampak
kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perekonomian. Dengan demikian, alternatif
kebijakan yang direkomendasikan sudah merupakan alternatif-alternatif yang
optimal, baik dari sisi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional maupun sektoral, dan
kepentingan masyarakat secara umum.

Tahap analisis yang akan dilakukan adalah:


1) Melakukan evaluasi penyebab terjadinya kesenjangan,
2) Memperkirakan berapa biaya yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan
sebagaimana yang diharapkan,
3) Alternatif peluang yang paling mungkin untuk menutup kekurangan biaya
tersebut, dan
4) Bentuk insentif apa yang bisa diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku,
atau insentif baru seperti di negara lain.

I.4. Output

Dari studi ini diharapkan dapat dihasilkan output, yaitu dalam bentuk:
a. Dampak kebijakan fiskal pada biaya investasi ketenagalistrikan?
b. Analisis dan evaluasi kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor
tenaga listrik berdasarkan benefit cost analysis
c. Rekomendasi terhadap bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang dapat mendorong
mendorong investasi dengan meminimalisir misalokasi sumber daya (minimal
dead weight loss), terutama di bidang (i) perpajakan, (ii) penyertaan modal
negara (government investment), dan (iii) privatisasi.

1.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB II
LANDASAN TEORI :
KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAAN
DENGAN PERMINTAAN LISTRIK

Energi / tenaga listrik di jaman sekarang termasuk dalam kebutuhan primer


bagi masyarakat luas (konsumen), mengingat hampir semua peralatan yang
dipergunakan dalam rumahtangga telah menggunakan energi listrik. Oleh karena
itu, penyediaan energi listrik mutlah diperlukan dalam rangka menjamin
tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Di beberapa negara, mati listrik bahkan sudah dianggap sebagai bencana nasional,
mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkannya.

Selain itu, sebagian besar kegiatan ekonomi sangat tergantung pada


penyediaan energi listrik, misalnya industri manufaktur, industri jasa, industri
transportasi, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Arsyad (1994),
terdapat hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi
energi (khususnya listrik), yang artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang
dicapai, semakin tinggi pula tingkat kebutuhan energi listrik. Sejalan dengan hal itu,
Pusat Informasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003)
menyatakan bahwa peningkatan PDB yang sustainable sebesar 6 persen/tahun
dalam 10 tahun ke depan akan meningkatkan pertumbuhan kebutuhan energi listrik
sebesar 9% per tahun.

Namun permasalahan yang terjadi saat adalah penyediaan (daya terpasang)


energi listrik dan pertumbuhannya belum mampu memenuhi kebutuhan
(permintaan) masyarakat sehingga menimbulkan kesenjangan (gap) antara
penyediaan dan permintaan energi listrik yang semakin besar di tahun mendatang.
Hal tersebut pernah disampaikan dalam hasil penelitian Badan Analisa Fiskal
Departemen Keuangan (2001) bahwa wilayah Jawa – Bali mengalami krisis listrik
karena tingkat cadangan (reserve margin) yang baru mencapai 24,8%, padahal
seharusnya sebesar 30% untuk tingkat cadangan yang aman.

2.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dengan kata lain, terdapatnya gap antara penyediaan dengan permintaan
tenaga listrik merupakan masalah penting sekarang dan di masa depan. Masalah
kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya kendala dan atau hambatan -- yang
salah satunya -- adalah kekurangan investasi di bidang kelistrikan. Menurut
informasi yang dapat dikumpulkan bahwa terhambatnya kegiatan investasi di sektor
ketenagalistrikan di Indonesia saat ini antara lain disebabkan :
1. Rendahnya kemampuan keuangan negara maupun PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN) Persero untuk meningkatkan usaha ketenagalistrikan (seperti
usaha penyediaan pembangkit tenaga listrik maupun usaha – usaha penunjang
tenaga listrik); dan
2. Rendahnya minat investor (swasta) untuk berinvestasi dalam usaha kelistrikan
karena faktor ekspektasi keuntungan investasi yang rendah. Ekspektasi
tersebut dikarenakan penjualan listrik di Indonesia kepada konsumen oleh PLN
belum bisa didasarkan pada harga pasar, tetapi didasarkan pada SDL yang
diatur oleh pemerintah. Selain itu TDL yang berlaku masih menggunakan
sistem uniform rate untuk semua jam pemakaian listrik sehingga penentuan tarif
dasar listrik (TDL) belum mencerminkan harga pasar dan biaya. Sementara dari
sisi yang lain, biaya investasi usaha ketenagalistrikan yang masih kurang
kompetitif (high cost economy).

Oleh karena itu, pilihan yang memungkinkan untuk dilaksanakan saat ini
adalah memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan bila perlu memberikan insentif
fiskal bagi usaha ketenagalistrikan. Berbagai insentif yang dapat diberikan
pemerintah bagi investor di sektor usaha ketenagalistrikan melalui kebijakan di
sektor riil seperti kemudahan melakukan ekspor – impor, kebijakan disektor moneter
seperti penetapan suku bunga yang kompetitif serta kebijakan fiskal melalui
instrumen di bidang perpajakan, non perpajakan dan bea masuk. Mekanisme lain
saat ini sedang diperkenalkan oleh Bank Dunia (World Bank) adalah Penjamin
Penerimaan (Revenue Guaranteed).

2.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2.1. Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha
Ketenagalistrikan
Pasar dapat melakukan alokasi sumber daya secara efisien, apabila semua
asumsi-asumsinya terpenuhi, antara lain : para pelaku ekonomi (produsen) bersifat
rasional, memiliki informasi sempurna, barang (output) bersifat privat, pasar
bersaing sempurna dan proses pertukaran tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.

Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi


terutama dalam hal penyediaan listrik di Indonesia sehingga terjadi kegagalan pasar
dalam usaha kelistrikan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan pasar dalam usaha penyediaan tenaga listrik, antara lain :
1. Informasi tidak sempurna karena ketidak-tahuan tentang jumlah dan kualitas
barang (tenaga listrik) yang digunakan oleh konsumen sehingga untuk
mendapatkan informasi tersebut yang detail perlu tambahan biaya;
2. Terdapat persaingan yang tidak sempurna (Inperfect Competition) dalam
penyediaan tenaga listrik (sesuai dengan UU masih menunjuk PT PLN) sebagai
pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan pemegang ijin usaha
ketenagalistrikan. Jadi, produsen tenaga listrik (PT. PLN) merupakan satu-
satunya perusahaan yang ditetapkan pemerintah dengan UU untuk memasok
tenaga listrik sehingga BUMN tersebut seharusnya sangat mampu
mempengaruhi pasar dengan menentukan tingkat harga (dalam bentuk TDL).
3. Namun, tenaga listrik di dalam negeri dikategorikan sebagai barang semi public good,
sehingga Pemerintah memberikan subsidi untuk pengadaan tenaga listrik. Seharusnya
tenaga listrik merupakan barang private, artinya setiap masyarakat yang menggunakan
tenaga listrik harus membayar (ada pengorbanan) sesuai dengan harga pasar yang
mencerminkan harga pokok produksi dan manfaatnya.
4. Kegagalan pasar dalam penyediaan listrik ini menuntut intervensi pemerintah untuk
menyediakannya. Akan tetapi, karena keterbatasan kondisi keuangan negara, maka
intervensi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif yang dapat
memberikan rangsangan ataupun penciptaan iklim usaha yang kondusif di bidang
investasi penyediaan listrik.

2.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Didalam teori ekonomi dikenal dengan konsep insentif dengan konotasi
posistif berupa reward maupun konotasi negatif berupa cost / penalty / disincentive
yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya baik
sebagai pelaku ekonomi maupun sebagai pengelola impact and incident atas
perilakunya.

Keputusan para pelaku ekonomi pada umumnya ditentukan oleh net expected
incetives yang akan diterimanya, baik yang sifatnya material maupun non material,
sehingga keputusan para pelaku ekonomi dapat berubah apabila terdapat perubahan
insentif. Untuk itu, setiap kebijakan pemerintah / ekonomi / pembangunan perlu
memperhitungkan unsur insentif yang secara rasional dapat mengarahkan perilaku
masyarakat sesuai tujuan yang diinginkan.

Dengan demikian, kesenjangan antara penyediaan dan permintaan masyarakat


akan listrik dapat diselesaikan melalui penambahan investasi di sektor listrik
sepanjang sistem insentif yang diharapkan para pelaku ekonomi dapat melampaui
net expected incentives. Dalam hal ini, kesenjangan (gap) listrik dapat diminimalisir
melalui pembangunan infrastruktur atau investasi di sektor pembangkit listrik.

2.2. Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik

Energi listrik termasuk barang ekonomis yang mengikuti hukum permintaan


dan penawaran. Namun yang perlu mendapat perhatian bahwa listrik merupakan
salah satu barang yang termasuk dalam kategori ”administered price”, yaitu barang
yang harganya diatur oleh kebijakan pemerintah, bukan oleh produsen sepenuhnya.
Misalnya, harga jual energi listrik per unit ditetapkan lebih rendah daripada biaya
produksi per unitnya. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian serta
mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan (PT. PLN) maka Pemerintah
mempunyai kewajiban untuk memberikan subsidi kepada produsen. Subsidi
merupakan salah satu bentuk transfer pendapatan dari Pemerintah kepada produsen
maupun konsumen (masyarakat), sebagai akibat adanya perbedaan harga jual
barang dan jasa yang lebih rendah di pasar dibandingkan dengan biaya
produksinya.

2.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Kurva permintaan pada gambar 2.1 menjelaskan bagaimana keinginan
konsumen untuk membeli pada berbagai tingkat harga yang dipengaruhi oleh
pendapatan per kapita dan harga barang itu sendiri, sehingga bentuk kurva
permintaan miring dari kiri atas ke kanan bawah. Kemiringan tersebut mengikuti
”hukum permintaan” dimana konsumen biasanya akan membeli lebih banyak jika
harganya lebih murah dan akan membeli lebih sedikit apabila harga lebih mahal.

Gambar 2.1.
Subsidi Dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik

D S0

P2 S1

PPasar Subsidi
EPasar

TDL ESubsidi

S0
S1 D

0 Q2 QPasar QSubsidi Qt

Keterangan :
P0 = Harga keseimbangan pasar
TDL < P0 sehingga terdapat Gap (shortage) sebesar Q2Q1. Langkah yang bisa ditempuh adalah
menetapkan TDL ≥ P0 atau subsidi untuk menggeser kurva supply S0 ke S1

Kurva penawaran pada gambar 2.1 menjelaskan keinginan produsen untuk


menjual barang pada berbagai tingkat harga. Bentuk kurva penawaran miring dari
kiri bawah ke kanan atas menunjukkan bahwa semakin tinggi harga barang tersebut
maka semakin tinggi keinginan produsen untuk memproduksi dan menjual
barangnya. Kenaikan harga suatu barang akan berkecenderungan untuk
meningkatkan produksi barang tersebut. Dalam jangka pendek adalah dengan
peningkatan penggunaan kapasitas melalui penggunaan tenaga kerja tambahan
atau dengan menambah jam kerja, sedang dalam jangka panjang dapat dilakukan
dengan memperluas skala pabrik. Tingginya harga juga akan menarik perusahaan

2.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
untuk masuk ke pasar sehingga jumlah penjual bertambah dan barang yang
ditawarkan meningkat.

Dalam kondisi keseimbangan pada gambar 2.1., menunjukkan kedua kurva


permintaan dan penawaran akan berpotongan pada suatu titik tertentu, yaitu pada
titik E yang merupakan titik keseimbangan dimana harga keseimbangan adalah P0,
dan jumlah barang keseimbangan sebesar Q0. Dalam kondisi tersebut, tingkat harga
dan kuantitas yang berlaku sesuai dengan harga pasar, dimana tingkat harga telah
mencerminkan harga pokok produksi dan benefit dari konsumsi. Mekanisme pasar
adalah kecenderungan dalam pasar dimana harga barang terus berubah sampai
tercapai posisi keseimbangan (jumlah barang yang diminta = jumlah barang yang
ditawarkan). Pada kondisi keseimbangan (di titik E0), tidak terjadi kelebihan
maupun kekurangan barang sehingga tidak ada tekanan pada harga untuk berubah
lagi.

Namun sesuai dengan kondisi yang ada, harga jual listrik ditentukan oleh
Pemerintah melaui penetapan TDL (harga adalah P1). Pada harga P1 produsen
menghasilkan output sebesar Q2 lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh konsumen
Q1. Dalam kondisi tersebut terjadi kekurangan penyediaan barang (excess demand
shortage). Untuk itu, biasanya Pemerintah menempuh kebijakan harga tertinggi
(ceiling price) pada P1. Kebijakan ini bertujuan agar harga listrik dapat terjangkau oleh
masyarakat luas. Namun dengan dipilihnya kebijakan tersebut, Pemerintah
menyadari dampak yang akan terjadi adalah excess demand. Guna menghindari
kerugiaan yang besar dan atau untuk mempertahankan kelangsungan hidup
produsen maka Pemerintah menempuh kebijakan subsidi (negative tax). Besarnya
subsidi listrik yang diberikan oleh Pemerintah kepada produsen (PT. PLN)
diharapkan mampu menambah suplai dari Q2 menjadi Q1 (gambar 2.1.). Pemberian
subsidi ini akan menggeser kurva penawaran dari S0 ke S1 dan keseimbangan terjadi
pada titik E1.

Selain kebijakan subsidi, kebijakan lain yang dapat ditempuh Pemerintah


berupa pemberian insentif kepada pelaku ekonomi, yang berupa insentif fiskal
maupun insentif non fiskal, dengan tujuan untuk menumbuhkan minat investasi

2.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
terutama untuk sektor kelistrikan serta untuk menjamin ketersediaan penyediaan
listrik bagi masyarakat. Pemberian insentif fiskal tersebut akan berpengaruh
terhadap jumlah penawaran listrik. Besarnya perubahan penawaran listrik akibat
pemberian insentif fiskal sangat tergantung pada elastisitas harga penawaran listrik.
Pada saat ini, penawaran listrik dalm kondisi tidak elastis (℮s<1) karena kurang
investasi dan pemberlakuan TDL.

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi


penawaran adalah biaya produksi. Kenaikan penawaran listrik hanya dapat
dilakukan dengan mengeluarkan biaya yang sangat tinggi. Dan salah satu faktor
yang penting dalam menganalisis pertambahan biaya produksi adalah tingkat
penggunaan kapasitas perusahaan. Apabila penggunaan kapasitas telah mencapai
tingkat yang tinggi, maka investasi baru haruslah dilakukan untuk menambah
produksi.

Gambar 2.1 menyatakan bahwa pada saat jumlah penawaran mengalami


peningkatan, maka garis penawaran bergeser dari S0 menjadi S1. Pada kondisi ini
kurva permintaan tidak mengalami perubahan yaitu pada D0, sehingga kuantitas
meningkat dari Q0 menjadi Q1. Namun, harga (P1) tidak mengalami kenaikan
ataupun penurunan, karena harga listrik adalah tetap untuk jangka waktu tertentu
(administered price), sehingga titik keseimbangan baru tercapai pada E2.

2.2.1. Efek Subsidi Pemerintah

Filosopi pelaksanaan subsidi adalah pemberian transfer dari Pemerintah


kepada produsen dan atau konsumen dalam rangka menciptakan harga yang relatif
murah dan terjangkau semua lapisan konsumen serta mempertahankan
kelangsungan hidup produsen. Dengan demikian, pemberian subsidi dapat
memberikan manfaat ekonomi kepada konsumen maupun produsen.

Efek pemberian subsidi tersebut sangat tergantung pada besarnya masing-


masing elastisitas kurva. Apabila elastisitas kurva penawaran lebih elastis dari pada
kurva permintaannya, maka sebagian besar bagian dari subsidi yang dapat

2.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dinikmati oleh produsen serta makin besar pertambahan jumlah barang yang dapat
ditawarkan oleh produsen.

Atau sebaliknya, apabila kurva permintaan adalah lebih elastis dari pada
kurva penawarannya, maka makin besar bagian dari subsidi yang dapat dinikmati
oleh konsumen serta makin kecil pertambahan jumlah barang yang dapat
ditawarkan oleh produsen. Berdasarkan uraian tersebut, maka pasar energi listrik
mempunyai kurva permintaan yang cenderung in elastis (<1) karena : a)
ketergantungan konsumen terhadap listrik relatif tinggi setelah BBM dalam
menjalankan aktivitas ekonomi, dan b) kemampuan bargaining position konsumen
terhadap harga listrik sangat lemah. Oleh sebab itu, pemberian subsidi terhadap
listrik sangat membantu masyarakat, akan tetapi juga membawa dampak negatif,
yaitu kenaikan permintaan listrik yang sangat tinggi.

Sedang bentuk kurva penawaran energi listrik cenderung lebih elastis


sehingga bagian subsidi yang diperoleh produsen makin kecil, namun produsen
harus menyediakan pertambahan jumlah barang yang lebih banyak. Dengan
demikian, pasar energi listrik mempunyai kurva permintaan yang relatif inelastis dan
kurva penawaran yang relatif elastis. Oleh karena itu, kondisi pasar listrik yang
demikian ini akan cenderung menyebabkan terjadinya kesenjangan (gap) antara
penyediaan listrik dan permintaan listrik. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat maka Pemerintah masih perlu memberikan insentif
kepada produsen listrik dengan harapan bahwa ketersediaan energi listrik dapat
ditingkatkan mengikuti kenaikkan permintaan listrik.

2.3. Insentif Fiskal Dalam Rangka Mendorong Usaha Ketenagalistrikan

Ditinjau dari satu sisi, pengenaan pajak memang memberatkan karena dapat
menyebabkan harga barang menjadi lebih mahal. Namun dari sisi lain, pajak sangat
dibutuhkan untuk menjadi sumber penerimaan negara guna membiayai fungsi-
fungsinya (redistribusi pendapatan dan sebagai alat stabilisasi ekonomi) serta untuk
mengatur jumlah konsumsi barang yang menyebabkan dampak negatif. Hanya saja
kebijakan penentuan pajak harus mempertimbangkan elastisitas permintaan dan
penawaran, dan apabila tidak, maka tujuan pengenaan pajak tidak dapat tercapai.

2.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2.3.1. Pengenaan Pajak (Misal : PPN)

Secara konseptual, PPN adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah dan
dibayar pada waktu terjadi transaksi jual – beli barang atau jasa kena pajak. Pada
umumnya, PPN dikenakan dalam bentuk suatu persentase tertentu dari hasil
penjualan, misalnya PPN ditetapkan sebesar 10% dari harga atau hasil penjualan.

Pungutan PPN ini akan menyebabkan konsumen harus membayar lebih


tinggi untuk dapat mengkonsumsi/memperoleh barang/jasa tersebut. Namun
dalam kenyataan, beban pembayaran PPN tersebut tidak seluruhnya harus dibayar
atau ditanggung konsumen, akan tetapi sebagian beban PPN juga ditanggung oleh
produsen. Pembagian beban pajak diantara konsumen dan produsen biasanya
dinamakan dengan insiden pajak (tax incidence). Untuk menganalisis insiden pajak
perlu dilihat proporsi beban pajak di antara konsumen dengan produsen masing-
masing tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran yang berbeda atas
beban pajak.

P S1 S0
D0
E1 Tax
P1
P0 E0 Gambar 2.2.
Kasus Permintaan Elastis
P2

0 Q1 Q0 Qt

Pada gambar 2.2 menggambarkan pada kondisi sebelum kena pajak, kurva
permintaan dan penawaran adalah D0 dan S0. Dan keseimbangan awal terjadi pada
titik E0, maka harga keseimbangan terjadi pada tingkat P0 dan keseimbangan jumlah
barang pada Q0. Kemudian pemerintah mengenakan pajak (PPN) kepada produsen
sebesar T%. Akibatnya pengenaan PPN tersebut adalah berkurangnya jumlah barang
yang ditawarkan sehingga kurva penawaran bergeser ke kiri dari S0 menjadi S1.
Pergeseran kurva penawaran ini akan menggeser titik keseimbangan dari E0 menjadi

2.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
E1. Dalam kondisi ini, terjadi perbedaan antara harga yang dibayar konsumen
dengan harga yang diterima produsen, yaitu sebesar beban pajak. Harga
keseimbangan berubah dari P0 naik menjadi P1 dan jumlah barang yang
ditransaksikan mengalami penurunan dari Q0 menjadi Q1 sebagai akibat pengenaan
PPN sebesar T%.

Apabila dibandingkan antara harga sebelum dengan sesudah PPN, terlihat


bahwa beban pajak yang harus ditanggung oleh konsumen sebesar P0P1 dan
sebaliknya (T - P0P1) atau P0P2 yang harus ditanggung oleh produsen (PT. PLN).

P S1 S0
E1
P1 Tax

P0 E0 Gambar 2.3.
Kasus Permintaan Tidak Elastis
P2

D0

0 Q1 Q0 Qt

Gambar 2.3 menunjukkan pemerintah mengenakan PPN dalam kasus


permintaan in elastis. Sebelum pemerintah memungut pajak (PPN) sebesar T%,
kurva penawaran barang adalah S0 dan kurva permintaan konsumen adalah D0.
Pertemuan penawaran dan permintaan menghasilkan keseimbangan pasar pada titik
E0 dengan tingkat harga P0 dan tingkat kuantitas Q0.

Setelah pemerintah memungut PPN sebesar T% yang membawa dampak


bergesernya kurva penawaran barang ke atas dari S0 menjadi S1, artinya produsen
mengurangi jumlah produksi barang sebagai akibat adanya pemungutan PPN
tersebut. Dengan kurva pemintaan barang yang sama, maka keseimbangan pasar
terjadi pergeseran dari titik E0 menjadi titik E1 dengan jumlah barang sebesar Q1.
Pemungutan PPN tersebut menyebabkan kenaikan harga barang yang harus dibayar

2.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
konsumen, penurunan harga yang diterima produsen dan penurunan jumlah barang
di pasar.

Pada kurva permintaan yang in elastis ini, beban yang harus ditanggung atau
dibayar oleh konsumen sebesar P0P1 dan produsen menanggung sebesar P0P2.
Bentuk kurva permintaan yang in elastis tersebut menyebabkan jumlah beban pajak
yang harus ditanggung konsumen jauh lebih besar dari pada beban yang harus
ditanggung oleh produsen (lihat gambar 3) yang ditunjukkan dengan P0P1 > P0P2.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasar energi listrik di Indonesia


mempunyai bentuk kurva permintaan yang in elastis yang mempunyai arti bahwa
ketergantungan konsumen terhadap energi listrik sangat tinggi dan tidak
mempunyai alternatif energi selain listrik sehingga pada tingkat harga berapapun
yang terjadi konsumen harus membayar (mampu atau tidak mampu) besarannya
energi listrik yang dikonsumsinya. Karena kurva permintaan energi listrik yang in
elastis tersebut, adanya pemungutan PPN tidak banyak menurunkan jumlah barang
yang ditunjukkan oleh Q0Q1.

Di sisi lain, pasar energi listrik di Indonesia mempunyai bentuk kurva


penawaran barang yang elastis, artinya produsen energi listrik sangat peka terhadap
gangguan produksi (seperti : kebijakan pemerintah, inflasi, depresiasi nilai tukar, dll)
sehingga jumlah penurunan produksi barang akan seiring dengan besarnya
gangguan produksi tersebut. Dengan kurva penawaran yang elastis tersebut,
produsen energi listrik berkemampuan besar untuk menggeser beban gangguan
produksi tersebut kepada konsumen, misalnya pengenaan PPN terhadap
penggunaan energi listrik maka konsumen harus memikul beban pajak tersebut
yang lebih besar dari beban yang ditanggung produsen.

Dengan kata lain, produsen energi listrik berkemampuan besar untuk


menggeser beban PPN kepada konsumen sehingga konsumen yang mendapat
kerugian ganda, yaitu harga menjadi lebih mahal namun jumlah barang ditawarkan
di pasar lebih sedikit. Berdasarkan gambar 2.4. menunjukan bahwa bentuk pasar
energi listrik mempunyai kurva permintaan yang in elastis dan kurva penawaran
yang elastis, sehingga untuk menciptakan harga yang dapat dijangkau seluruh

2.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
lapisan masyarakat dan menjamin pertambahan produksi yang mencukupi
kebutuhan maka kebijakan subsidi dan/atau kebijakan ekonomi untuk mendorong
investasi di sektor usaha ketenagalistrikan sangat masih diperlukan.

2.3.2. Dampak Insentif Pemerintah Terhadap Penurunan Biaya Produksi

Gambar 2.4. berikut ini menunjukkan proses penetapan harga jual


berdasarkan biaya produksi. Pada gambar tersebut menunjukkan total biaya
produksi listrik sebelum mendapat insentif dari Pemerintah, yang diperlihatkan oleh
kurva TC0 dan kurva TC1 merupakan kurva total biaya produksi listrik yang sudah
mendapat insentif dari Pemerintah, sedangkan kurva TR menggambarkan
penerimaan total perusahaan listrik.

Selain itu, gambar 2.4. tersebut juga menunjukkan kondisi perusahaan


sebelum dan sesudah diberikan insentif oleh Pemerintah. Pertama, kondisi sebelum
mendapat insentif, dimana diperlihatkan oleh kurva TC0 menunjukkan tiga kondisi
perusahaan, yaitu : a) Tahap I dimana perusahaan mengalami kerugian karena total
biaya produksi lebih tinggi dari total penerimaan (TC > TR), b) Tahap II dimana
perusahaan mengalami keuntungan maksimum karena total penerimaan lebih besar
dari total biaya produksi (TR > TC), dan c) Tahap III dimana perusahaan mengalami
break event point karena total penerimaan sama dengan total biaya produksi (TR =
TC).

Kondisi sebelum mendapat insentif Pemerintah, pada awalnya perusahaan


menderita rugi (karena AC0 > AR1 = MR1) karena harga jual output yang rendah (0P1)
dibawah harga keseimbangan (OP*). Pada tingkat harga 0P1 tersebut terjadi dua hal,
yaitu : a) produsen hanya menawarkan output sebesar 0Q2 dengan kurva penawaran
adalah S0, dan b) permintaan listrik masyarakat sebesar 0Q1 (karena berlaku hukum
permintaan) dengan kurva pemintaan adalah D, sehingga akibatnya terjadi
kelebihan permintaan (excess demand) sebesar selisih antara jumlah listrik yang
ditawarkan produsen (S0) dengan jumlah permintaan listrik masyarakat (D) sebesar
Q1Q2.

2.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Selanjutnya, perusahaan mendapat keuntungan maksimum dimana TR > TC0
yang disebabkan oleh meningkatnya harga jual mencapai 0P* (harga ini terjadi
karena mekanisme pasar yaitu bertemunya permintaan dan penawaran akan listrik)
dan ouput keseimbangan pada 0Q*. Kemudian karena biaya variabel (maintenance
cost) untuk memproduksi listrik meningkat terus dan terjadi in efisiensi dalam
perusahaan maka kemampuan produsen untuk menghasilkan laba akan semakin
berkurang dan pada periode selanjutnya perusahaan kembali pada posisi titik impas
(break event) yang diperlihatkan oleh TR = TC0.

Dan apabila dibiarkan kondisi tersebut, besar kemungkinan perusahaan akan


mengalami kerugian dan mendorong harga listrik semakin tinggi karena untuk
mengurangi kerugian perusahaan. Untuk itu, Pemerintah perlu memberikan campur
tangan dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dan
menciptakan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Kemudian Pemerintah
memutuskan bentuk campur tangannya berupa insentif (sebesar selisih antara TC0
dengan TC1) kepada perusahaan.

Kondisi perusahaan setelah mendapat insentif dari Pemerintah, sehingga total


biaya produksi menjadi lebih murah yang diperlihatkan oleh turunnya kurva TC
dari TC0 menjadi TC1. Penurunan total biaya produksi tersebut diikuti dengan
meningkatnya penawaran output sehingga menggeser kurva penawaran dari S0
menjadi S1. Dengan demikian, terjadi pergeseran keseimbangan pasar dari pada titik
E0 menjadi E1 dan perubahan harga keseimbangan dari 0P* menjadi 0P1 serta diikuti
dengan penambahan output dari 0Q* menjadi 0Q1. Besarnya selisih antara harga per
unit (yaitu antara 0P* dengan 0P1) menunjukkan besarnya insentif per unit yang
diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan. Oleh karena itu, tujuan utama
Pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan terutama listrik adalah harga
jual yang dapat terjangkau oleh masyarakat, jumlah output mencukupi kebutuhan
masyarakat dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka
panjang. Dengan demikian, pemberian insentif oleh Pemerintah ini seharusnya
dapat dinikmati oleh seluruh lapisan (komponen) masyarakat bukan hanya segilintir
golongan tertentu saja.

2.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

TC0 TC1 TR
TR, TC

Π1
Π0

Gambar 2.4.
Biaya Produksi dan Pasar
Energi Listrik

0 Q2 QPasar QSubsidi Qt

AC0
MC0
P, MR, AC,
MC
AC1
EPasar MC1
Tingkat
Harga
Pasar AVC

TDL
MR1

0 Q2 QPasar QSubsidi Qt

P
S0
EPasar
Tingkat
Harga
Pasar
S1
Subsidi

TDL
ESubsidi

0 Q2 QPasar QSubsidi Qt
2.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB III
Gambaran Umum Ketenagalistrikan di Indonesia

3.1. Profil Ketenagalistrikan

Konsumsi listrik merupakan faktor penting untuk menunjang aktivitas


perekonomian nasional, sehingga semakin tinggi aktivitas perekonomian akan
menimbulkan konsumsi listrik yang semakin tinggi pula. Konsumsi listrik ini
menunjukan pola peningkatan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi
maupun pertumbuhan penduduk Indonesia. Data menunjukkan bahwa kebutuhan
tenaga listrik secara nasional mencapai 88 TWh tahun 2000, dan meningkat mencapai
99 TWh tahun 2004. Untuk tahun 2010 diperkirakan konsumsi listrik secara nasional
meningkat mencapai 145 TWh atau rata-rata per tahun naik sebesar 7,74%.

Gambar 3.1.
Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001 - 2013

200.000
180.000
160.000
140.000
120.000
100.000
80.000
60.000
40.000
20.000
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Indonesia Jawa-Bali Wilayah Lain

Berdasarkan regional atau wilayah, jumlah konsumsi listrik terbesar terdapat


di Jawa – Bali yang mencapai 79,7 TWh tahun 2004 atau 80,5% dari konsumsi listrik
nasional. Hal ini wajar karena dari 33 juta konsumen listrik di seluruh Indonesia,
sebanyak 22,6 juta konsumen listrik atau 68.48% berada di Jawa – Bali. Jumlah

3.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

konsumsi listrik di Sumatera sebesar 11,6 TWh tahun 2004 atau 11,7% dari konsumsi
listrik nasional, dengan jumlah konsumen sebesar 5,9 juta pelanggan atau 17,9% dari
total pelanggan.

Untuk wilayah lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara – Irian


Jaya) pada umumnya konsumsi listrik masih relatif kecil (kurang dari 5 TWh) tahun
2004. Pada tahun 2004 konsumsi listrik untuk Jawa – Bali mencapai 79,7 TWh dan
tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 125,9 TWh. Di Sumatera konsumsi
listrik pada tahun 2004 mencapai 11,6 TWh dan tahun 2010 diperkirakan meningkat
16,3 TWh (lihat Gambar 3.2).

Gambar 3.2
Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004 – 2010

140 125,9
120
100
79,7
80

60
40
16,3
20 11,6
3,2 4,5 3,1 4,4 1,3 5,3
0
Jawa - Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya
Tahun 2004 Tahun 2010

Tingkat electrification ratio, yaitu jumlah orang pemakai listrik terhadap total
penduduk Indonesia, menyatakan bahwa semakin tinggi angka electrification ratio
maka semakin banyak jumlah orang yang dapat mengkonsumsi dan menggunakan
energi listrik untuk membantu melakukan aktivitasnya.

Pada tahun 2004, angka electrification ratio secara nasional baru mencapai
54,8% dan di tahun 2010 diperkirakankan mencapai 70%. Tahun 2004 angka
electrification ratio tertinggi adalah di wilayah Jawa & Bali yang mencapai 59,42%,
disusul Sumatera 53,1%, Sulawesi 47,2%, Kalimantan 46,6% dan wilayah lainnya
mencapai 33%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka electrification ratio

3.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terbesar berada di Pulau Jawa & Bali, artinya lebih dari 59% penduduk Indonesia
yang berada di Pulau Jawa & Bali sudah menikmati dan menggunakan listrik dalam
menunjang aktivitasnya.

Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, angka electrification ratio di


Indonesia masih jauh ketinggalan, misalnya dengan Armenia, Azerbaijan, Brunai
Darussalam, Iran, China dan Singapura, dimana angka electrification ratio mencapai
100%. Rendahnya angka electrification ratio di Indonesia tersebut dalam jangka
panjang akan berdampak pada rendahnya kemampuan Pemerintah terutama dalam
mendorong atau memacu pertumbuhan ekonomi.

3.2. Produksi Listrik dan Penggunaan Bahan Bakar Sektor Listrik

Dari sisi kapasitas tenaga listrik, pada tahun 2004 produksi listrik baru
mencapai sebesar 24,3 GW, dimana 10,8% adalah hasil listrik swasta dan selebihnya
oleh PT. PLN (Persero). Untuk meningkatkan angka electrification ratio menjadi 70%
tahun 2010 maka kapasitas produksi listrik diharapkan naik sebesar 37,9 GW.

Gambar 3.3.
Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik

180000
Oil
160000 4%
10%
140000 Hydro
5% 9,6%
120000 18%
100000 Gas 34%
G Wh

9,7% 30%
80000
24%
60000
49% Coal 46%
40000
43%
20000
0 5% 5,9% Geo 5,7%

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

3.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Berdasarkan fuel diversification plan Indonesian electricity sector 2004 - 2010,


menunjukkan bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun 2004
diperlukan bahan bakar dengan komposisi 43% dari bahan bakar batubara, 24% dari
gas, 9,7% dari hydro dan 18% dari bahan bakar minyak. Komposisi produksi listrik
berdasarkan jenis pengggunaan bahan bakar ini masih belum efisien.

3.3. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik

Tenaga listrik merupakan unsur vital dalam perencanaan dan pelaksanaan


pembangunan, khususnya di bidang ekonomi. Oleh karenanya, ketersediaan tenaga
listrik membawa outcome positif berupa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Akan halnya persoalan-persoalan ketenagalistrikan menimbulkan dimensi dampak
yang meluas, tidak sebatas pada aspek ekonomi. Mengingat perannya yang esensial,
maka pengelolaan ketenagalistrikan harus ditopang oleh kebijakan yang tepat.

Nyatanya, persoalan demi persoalan ketenagalistrikan terus bergulir di negeri


ini. Hal itu merefleksikan bahwa kebijakan energi (pada umumnya) dan
ketenagalistrikan (pada khususnya) belum mendukung dihasilkannya pasokan
tenaga listrik yang cukup dari segi jumlah, mutu, dan keandalannya, juga dengan
harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pemadaman listrik secara bergilir di
wilayah Jawa dan Bali menjelang pertengahan tahun 2005 menimbulkan kegelisahan
di kalangan masyarakat yang menduga telah terjadi kekurangan pasokan listrik.
Dugaan tersebut disangkal oleh PT. PLN (Persero) yang dalam siaran persnya
tanggal 2 Juni 2005 menyatakan kemampuan pasokan tenaga listrik untuk wilayah
Jawa – Bali cukup dan terus ditambah.

“ … Daya terpasang Pusat Listrik yang dimiliki oleh PLN di Pulau Jawa – Bali
adalah 16.261 MW, dengan Daya Mampu Netto 15.099 MW. Sedangkan pembangkit
terpasang yang dimiliki oleh Swasta adalah sebesar 3.255 MW, sehingga total daya terpasang
pembangkit di sistem Jawa – Bali 19.516 MW dengan Daya Mampu Pasok pada tanggal 2
Juni 2005 sebesar 14.625 MW. Beban puncak tertinggi Pulau Jawa – Bali terjadi pada
tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, dimana beban puncak tanggal 2 Juni 2005
sebesar 14.575 MW...” (Siaran Pers PT. PLN tanggal 2 Juni 2005.

3.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Namun, padamnya aliran listrik PLN (black-out) secara mendadak di sebagian


wilayah Jawa dan Bali seperti yang terjadi tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 silam,
kembali terulang pada 18 Agustus 2005. Kejadian tersebut memperkuat dugaan
adanya ketidakberesan dalam sistem ketenagalistrikan, sehingga kemudian menuai
pertanyaan; apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ketenagalistrikan
tersebut?

Jumlah Tenaga Gambar 3.4. Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik
Listrik (MW)
80

70

60

50
Permintaan
40

30 Penawaran
20
Tahun
10

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ketenagalistrikan, tulisan ini


akan menyarikan beberapa kajian pengamat ketenagalistrikan maupun penjelasan
pihak PT. PLN menyangkut kondisi permintaan dan penawaran tenaga listrik saat
ini, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbagai kajian tersebut
menghasilkan konklusi bahwa meski saat ini pasokan tenaga listrik diberitakan
masih berada pada tingkat yang relatif aman (sedikit melebihi tingkat
permintaannya), namun jika tidak ada improvement kebijakan ketenagalistrikan dapat
dipastikan dalam waktu dekat pasokan tenaga listrik tidak akan mampu lagi mengimbangi
pertumbuhan permintaannya yang akan jauh melesat (Gambar 3.4).

Dengan demikian, kebijakan di sektor ketenagalistrikan perlu segera dibenahi,


termasuk di dalamnya insentif fiskal yang diperlukan mendorong investasi guna
memacu peningkatan pasokan tenaga listrik. Berangkat dari gambaran kondisi
ketenagalistrikan yang dikemukakan, dapat diidentifikasi aktivitas dalam sektor
ketenagalistrikan yang masih perlu mendapatkan insentif fiskal. Selanjutnya pada
bagian akhir tulisan ini dibangun metodologi dalam rangka mencari bentuk insentif

3.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

fiskal sesuai dengan kebutuhan yaitu; meningkatkan jumlah pasokan, efisiensi dan
keandalan tenaga listrik.

3.3.1. Potret Permintaan Tenaga Listrik

Saat ini, permintaan tenaga listrik masih terkonsentrasi di wilayah Jawa – Bali
yang menyerap sekitar 77 persen kebutuhan listrik. Jumlah permintaan tenaga dapat
dilihat dari besarnya penggunaan pada saat beban puncak. Menurut catatan PLN,
beban puncak di wilayah Jawa – Bali pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW,
dan diperkirakan bulan Oktober 2005 akan mencapai 15.245 MW.

Permintaan tenaga listrik dipastikan akan terus meningkat pesat sebesar 6 - 7


persen/tahun. Sedikitnya ada tiga faktor yang mendorong peningkatan tersebut,
yakni; pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, peralihan penggunaan
listrik non-PLN ke listrik PLN, serta adanya kecenderungan masyarakat
menggunakan listrik secara boros.

a. Pertambahan Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi

Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta dan pertambahannya rata-rata


sebesar 1,5 persen/tahun, serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 3
persen/tahun dalam lima tahun terakhir berimplikasi pada tingginya konsumsi
tenaga listrik. Tenaga listrik digunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas
dalam rumah tangga maupun menjalankan usaha (bisnis dan industri). Pada fase
awal, pembangunan infrastruktur (termasuk tenaga listrik) akan sangat
mempengaruhi perkembangan ekonomi. Dalam perkembangannya, terbentuk
struktur korelasi dua arah pada saat multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi
menuntut ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang mencukupi, andal, dan
efisien.

b. Peralihan Penggunaan Listrik Non-PLN ke Listrik PLN

Peningkatan harga BBM yang terus terjadi sejak bulan Maret 2005 menyebabkan
banyak industri yang semula membangkitkan listrik sendiri dengan
menggunakan genset kemudian beralih ke listrik PLN yang menjadi relatif lebih
murah. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya lonjakan penggunaan tenaga

3.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik melebihi jumlah pasokannya. Lonjakan ini terlihat pada tanggal 29 April
2005 yang dilaporkan sebagai beban puncak tertinggi Pulau Jawa – Bali yaitu
sebesar 14.821 MW.

c. Kecenderungan Masyarakat Menggunakan Listrik Secara Boros

Perilaku konsumsi tenaga listrik oleh masyarakat cenderung boros. Di kalangan


rumah tangga hal ini ditandai oleh penggunaan jumlah lampu hemat energi yang
masih terbatas, karena alasan harga jenis lampu tersebut yang dirasa mahal.
Masyarakat umumnya tidak memperhitungkan bahwa penghematan
pengeluaran dari penghematan listrik karena penggunaan jenis lampu tersebut
akan lebih besar. Sedangkan di kalangan industri, misalnya industri tekstil,
masih banyak dijumpai penggunaan mesin-mesin tua yang masih dipertahankan
oleh pengusaha padahal produktivitasnya sudah berkurang dan menuntut
penggunaan listrik yang lebih besar per satuan produksi. Namun demikian,
Pemerintah terhitung berhasil dalam mengkampanyekan penghematan listrik di
malam hari pada kelompok pelanggan rumah tangga yang diserukan melalui
Keppres Nomor 10 Tahun 2005, buktinya terjadi penurunan beban puncak, dari
posisi tertinggi pada tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, menjadi 14.575
MW pada tanggal 2 Juni 2005.

3.3.2. Penawaran Tenaga Listrik1

Sebagaimana tercantum dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 –


2025 Departemen ESDM2, dari total kapasitas pembangkit sebesar 24.000 MW, 13
persen tersebar di wilayah Sumatera, 77 persen di Jawa - Bali, 3 persen di
Kalimantan, dan 2,7 persen di Sulawesi. Trend pembangunan sistem
ketenagalistrikan masih terpusat di wilayah Jawa – Bali. Bagi kontraktor listrik
swasta, kedua wilayah tersebut dinilai lebih tidak beresiko, karena selain pasarnya
besar dan berkembang pesat, infrastruktur pendukung sudah tersedia.

1
Terminologi penawaran tenaga listrik yang digunakan dalam kajian ini dikenal dengan istilah
penyediaan tenaga listrik dalam perundangan ketenagalistrikan, yang meliputi tiga aktivitas, yakni;
pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik.
2 Dikutip dari artikel Kompas 20 Agustus 2005 berjudul “Interkoneksi untuk Atasi Listrik.”

3.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dengan pola pengembangan sistem ketenagalistrikan seperti dikemukakan di


atas, kesenjangan antara wilayah Jawa – Bali dengan wilayah lainnya semakin besar,
padahal pembangunan di wilayah Indonesia Timur khususnya sangat tergantung
salah satunya pada keberadaan tenaga listrik yang andal. Pengembangan pola
KAPET oleh Pemerintah yang dimaksudkan untuk menarik investasi di sektor
ketenagalistrikan dan industri penggunanya secara bersamaan belum membawa
perubahan yang signifikan terhadap pembangunan di wilayah Luar Jawa – Bali.

Secara umum, pertumbuhan penawaran tenaga listrik relatif lambat


dibandingkan tingkat permintaannya. Sampai dengan tahun 1996, tingkat
elektrifikasi -yaitu prosentase listrik terpasang dibandingkan kebutuhan- hanya
sekitar 40 persen (Elektro Indonesia, 1997)3. Kondisi ini tidak terlepas dari persoalan-
persoalan yang menyelimuti aktivitas penyediaan tenaga listrik.

a. Pembangkitan Tenaga Listrik

Dari segi pembangkitan tenaga listrik, terdapat dua hal yang memicu rendahnya
pertumbuhan penawaran tenaga listrik, yaitu; (i) adanya gap antara daya
terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok pada seluruh pembangkit
tenaga listrik yang ada saat ini (existing), serta (ii) lambatnya penambahan jumlah
pembangkit tenaga listrik baru.

b. Pembangkit Tenaga Listrik Existing.

Pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada, umumnya terjadi perbedaan
(gap) antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok. Hal itu
antara lain disebabkan oleh:

i. Berkurangnya umur teknis peralatan pembangkit. Berkurangnya umur teknis


peralatan menyebabkan penurunan kemampuan pembangkitan (derating),
apalagi selama ini setiap pembangkit selalu dioperasikan secara maksimal
mengingat keterbatasan jumlah pembangkit.

3
Elektro Indonesia, Edisi Kedelapan, Juli 1997, “Kerjasama Tenaga Listrik Sektor Swasta ASEAN di
Daerah Perbatasan Kalimantan.”

3.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

ii. Kegiatan pemeliharaan peralatan pembangkit. Beberapa pembangkit sedang


dalam pemeliharaan sesuai dengan jadwal pemeliharaan masing-masing
pembangkit.

iii. Variasi musim mengganggu operasionalisasi pembangkit. Pembangkit Listrik


Tenaga Air (PLTA) adalah jenis pembangkit yang operasionalisasinya
tergantung pada musim. Saat kemarau, tenaga listrik yang dihasilkan oleh
pembangkit jenis ini banyak berkurang.

iv. Sebanyak 4 – 6 persen produksi tenaga listrik digunakan untuk keperluan operasional
pembangkit.

v. Ketersediaan bahan bakar. Tenaga listrik sebagai bentuk energi sekunder


tergantung pada ketersediaan bahan bakar. Melambungnya harga BBM yang
terjadi saat ini membebani keuangan negara karena anggaran subsidi listrik
membengkak, yang kemudian membawa efek beruntun pada cashflow PT.
PLN, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), sehingga
jumlah pasokan listrik berkurang.

Sementara itu, pengoperasian pembangkit listrik dengan energi lainnya


seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas
(PLTG) terkendala oleh jumlah pasokan bahan bakar. Tingginya harga batubara dan
gas, membuat produsennya lebih banyak menjual ke pasar ekspor. Ketua Umum
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengakui dari 131,72 ton produksi
nasional sekitar 70 persen hasil batubara diekspor, sisanya dipakai untuk kebutuhan
dalam negeri4. Sedangkan untuk gas bumi, dari produksi nasional sebesar 8,35
miliar kaki kubik (BSCF) per hari di tahun 2004, sekitar 58,4 persen diekspor dan
sisanya untuk kebutuhan domestik. Akibatnya, banyak pembangkit listrik yang
tidak dapat beroperasi secara optimal.

c. Lambatnya Penambahan Jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Baru.

Pesatnya laju peningkatan permintaan tenaga listrik seharusnya diimbangi


oleh peningkatan produksinya. Namun, realisasi pertumbuhan pembangkit yang

4
Kompas, 22 Juli 2005, “Batubara: Kebutuhan Domestik Harus Diutamakan.”

3.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dilakukan oleh kontraktor listrik swasta (independent power producers) tidak


mengalami kemajuan berarti dalam tiga tahun terakhir5. Beberapa hambatan yang
mengganjal investor masuk ke bisnis pembangkitan listrik antara lain:

• Beban pajak yang dikenakan oleh Pemerintah sangat besar. Pajak tersebut bahkan
sudah mulai dikenakan pada saat eksplorasi. Pada kasus pembangunan PLTGU
Cilegon yang dimulai tahun 2004 dan masih berlangsung hingga saat dengan
dana pinjaman dari Jepang, dari total biaya sebesar USD 431,3 juta, 8,8 persen
diantaranya untuk membayar pajak dan 6,6 persen untuk membayar bunga
pinjaman dan biaya-biaya pinjaman lainnya.

• Pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah semakin beragam. Kepentingan Pemda
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan
berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Contohnya di Sulawesi Utara, air untuk
pembangkit listrik dikenakan pajak. Peraturan itu berdampak pada perhitungan
keuntungan, sementara kontraktor tidak bisa menaikkan harga jual listrik yang
penetapannya menjadi wewenang PT. PLN. Hal tersebut menyebabkan banyak
kontraktor listrik swasta menghentikan proyeknya untuk sementara.

• Tidak ada lagi surat jaminan Pemerintah bagi kontraktor listrik swasta. Ini merupakan
kebijakan baru Pemerintah yang diberlakukan sejak tahun 2002. Dengan tidak
adanya jaminan tersebut, maka kontraktor harus menanggung sendiri semua
resiko kegagalan proyek.

• Pengembangan energi alternatif sebagai bahan bakar pembangkit listrik terganjal oleh
kebijakan lingkungan hidup. Baku mutu emisi adalah salah satu aturan yang harus
dipenuhi dalam rencana pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar
batubara. Batubara memang sangat rentan terhadap polusi karbon di atmosfer.
Profesor Smalley menyebut efek dari polusi batubara ini sebagai efek gigaton
carbon pada atmosfer yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bumi itu
sendiri6. Sementara itu di Bedugul – Bali yang merupakan daerah resapan air,
rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang

5
Kompas, 30 Juli 2005, “Investasi Listrik Swasta Mandek: Pemerintah Belum Beri Kemudahan.”
6
Kompas, 18 Agustus 2005, “Teknologi Nano: Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan”

3.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sudah sampai tahap melakukan pengeboran tiga sumur di kawasan hutan


lindung tidak berjalan mulus karena dikhawatirkan oleh masyarakat setempat
akan menyebabkan krisis air.

• Jaminan ketersediaan bahan bakar pembangkit. Lambatnya pertumbuhan


pembangkit tenaga listrik tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan energi
nasional. Salah satunya adalah masalah pengelolaan gas bumi, yang
cadangannya berada di luar Jawa, dalam hal ini Sumatera dan Kalimantan,
sementara pasar utamanya ada di Jawa. Kontraktor penghasil gas enggan
mengeksploitasi karena infrastruktur distribusi gas ke Jawa tidak disediakan
Pemerintah7.

• Mahalnya teknologi pembangkit dengan bahan bakar yang tergolong energi terbarukan.
Peningkatan harga BBM membuat banyak pihak mulai mempertimbangkan
diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan (seperti hidro, solar
dan angin). Namun demikian, saat ini teknologi untuk kegiatan
pengembangannya masih terhitung mahal karena belum banyak dikuasai oleh
sumberdaya manusia di dalam negeri, sehingga untuk pengadaan teknologi
tersebut perlu mengimpor.

• Kondisi infrastruktur (jalan, pelabuhan, dan lainnya) yang ada saat ini sudah tidak lagi
memadai.

3.3.3. Transmisi Tenaga Listrik Di Jawa – Bali.

Ketergantungan yang sangat besar atas transmisi 500KV di bagian utara Jawa
yang merupakan satu-satunya jaringan penghubung daya dari PLTU Paiton di Jawa
Timur ke Jawa Barat. Hal itu membuat pasokan listrik untuk interkoneksi Jawa –
Bali sangat rentan mengalami gangguan karena tidak ada alternatif jaringan
transmisi. Selain itu, kondisi sistem interkoneksi tersebut sudah tua, dibangun tahun
1984 bersamaan dengan beroperasinya PLTU Suralaya. Sementara itu,
pembangunan jaringan baru di sepanjang selatan Jawa terhambat persoalan
pembebasan lahan.

7
Kompas, 20 Agustus 2005, “Kelangkaan Gas Sekarang Ini, Salah Siapa?”

3.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Meskipun keberadaan jaringan transmisi alternatif di sepanjang selatan Jawa


diperlukan, tapi menurut Robert Blohm hal tersebut bukan merupakan solusi
mendasar terhadap persoalan ketenagalistrikan yang melanda Jawa – Bali saat ini.
Seharusnya PT. PLN membatasi tambahan permintaan listrik di Jawa Barat sebelum
terjadi pemadaman. Interkoneksi Jawa – Bali dapat beroperasi dengan baik jika
didasarkan atas harga pasar yang sesuai dengan biaya dan lokasi. Pemerintah harus
mengenakan pajak pendapatan umum terpisah untuk mengurangi tarif listrik di
wilayah yang masih memerlukan pembangunan sehingga mendorong indutsri
untuk berpindah ke sana8.

3.3.4. Transmisi Tenaga Listrik Di Luar Wilayah Jawa – Bali.

Jaringan transmisi relatif pendek (terutama di Kalimantan dan Sulawesi),


terbatas pada tegangan tinggi 70 kV dan 150 kV, rata-rata pertumbuhannya rendah.
Di luar Jawa, jaringan distribusi tenaga listrik banyak yang belum tersambung.
Karena alasan itulah, investor yang ingin membangun pembangkit.
memprioritaskan pembangunan pembangkit tenaga listrik di wilayah Jawa – Bali
yang sistem pendukungnya sudah tersedia.

3.4. Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan

Pada saat ini kebutuhan energi listrik masyarakat sudah demikian tinggi
mencapai 99 TWh dibandingkan dengan kapasitas produksi energi listrik yang
hanya 87 TWh, sehingga diperlukan tambahan produksi energi listrik sebesar 13.000
MW. Kebutuhan kapasitas tambahan tersebut diharapkan 8.000 MW dipenuhi oleh
PT. PLN dan sisanya 5.000 MW diperoleh dari IPP-swasta. Kekurangan pasokan
listrik ini mencerminkan bahwa PT. PLN sangat membutuhkan sumber pasokan
listrik khususnya pembangunan infrastruktur listrik, yaitu untuk pembangkit dan
transmission line.

Kompas, 29 Agustus 2005, “Masalah Listrik Perlu Institusi Masyarakat:


8
Dipisahkan antara
Operasional Pasar dan Kebijakan Sosial.”

3.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Hal tersebut diperkuat lagi dengan kondisi, antara lain : a) rasio elektrisasi9
masih kurang dari 60%, b) harga jual – beli yang disetujui antara PT. PLN dengan
IPP masih proposional, c) cadangan energi selain bahan bakar minyak (BBM) masih
relatif besar dengan harga masih terjangkau (seperti batubara, gas alam, air dan
panas bumi) dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi BBM, d)
rendahnya reserve margin sistem kelistrikan yang kurang dari 30%, dan e) belum
berjalannya jaringan interkoneksi jawa – sumatera melalui kabel laut. Dengan
demikian, untuk memenuhi hal tersebut maka PT. PLN masih perlu pembangunan
(investasi) infrastruktur ketenagalistrikan khususnya di sektor pembangkit,
distribusi dan transmission line.

Tabel 3.1.
Angka ROR Tahun 2000 – 2007

Angka ROR Menurut


Angka ROR Aktual
No Tahun Cofenant Bank Dunia
(%)
(%)
1 2000 - 7,70 8,00
2 2001 - 5,20 8,00
3 2002 - 5,76 8,00
4 2003 - 1,10 8,00
5 2004 2,80 8,00
6 2005 8,00 8,00
7 2006 8,00 8,00
8 2007 8,00 8,00
Sumber : Reinstra PT. PLN (Persero) Tahun 2003 – 2007.

Guna memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur tersebut, maka


diperlukan pendanaan yang sangat besar. Total kebutuhan dana investasi seluruh
wilayah di Indonesia selama periode tahun 2003 – 2007 (constant disbursement)
sebesar US$ 6,617.3 juta dan US$ 5,779 juta (fixed asset). Namun dalam kondisi saat
ini, pendanaan investasi tersebut tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada PT. PLN.
Sejak tahun 2000 PT. PLN mengalami ketidakseimbangan finansial perusahaan yang
dicerminkan oleh ROR yang negatif (Reinstra PT. PLN, 2003 – 2007) sehingga

9Merupakan proses listrik terpasang dibandingkan dengan kebutuhan listrik yang masih rendah
(yaitu 40% tahun 1996) sehingga kebutuhan pasokan listrik akan terus meningkat untuk mengejar
ketinggalan dengan kebutuhan listrik masyarakat akan kegiatan ekonomi dan pembangunan.

3.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

menyulitkan PT. PLN untuk melakukan investasi sendiri. Padahal angka ROR yang
disyaratkan oleh cofenant Bank Dunia sebesar 8%. Selain itu, semenjak tahun 1997
perusahaan ini tidak pernah menerima pinjaman baru dengan pola pendanaan
concessional loan dari lembaga-lembaga keuangan luar negeri sebagai sumber dana
investasi.

Untuk itu, PT. PLN mengharapkan adanya dukungan pemerintah terutama


kebijakan insentif fiskal dalam rangka kerjasama dengan investor swasta untuk
memenuhi kebutuhan dana investasi tersebut. Dukungan Pemerintah yang
diharapkan PT. PLN adalah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif
terutama melalui insentif fiskal guna menggairahkan dan mendorong investasi
sektor kelistrikan di dalam negeri.

Kesulitan dalam penyediaan dana investasi untuk pembangungan


infrastruktur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : a) Harga jual
rata-rata menjadi lebih rendah dari harga pokok penjualan (HPP) akibat depresiasi
rupiah terhadap dollar AS, b) fluktuasi kurs valuta asing mempunyai pengaruh
terhadap meningkatnya biaya produksi listrik terutama komponen biaya pembelian
gas alam, listrik swasta, uap panas bumi, batubara, suku cadang dan beban pinjaman
termasuk selisih kurs yang sebagian besar diperhitungkan dengan menggunakan
valuta asing, dan c) dampak UU Otonomi Daerah yang menyulitkan bagi aktivitas
PT. PLN karena dapat dijadikan sumber pendapatan bagi Pemda terutama pajak
daerah dan retribusi daerah yang diberlakukan mulai dari hilir sampai hulu.

Dalam menunjang iklim investasi yang kondusif di sektor kelistrikan,


Pemerintah telah memberikan dukungan agar pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan dapat diciptakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2005 beserta petunjuk teknis adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Nomor 9 Tahun 2005 tentang Prosedur Lelang dan Penunjukkan
Langsung Pembelian Tenaga Listrik, serta Keputusan Menteri ESDM Nomor 10
Tahun 2005 tentang Perijinan Dalam Bidang Ketenagalistrikan.

Berdasarkan peraturan tersebut PT. PLN telah mengundang investor


domestik dalam lelang di 24 lokasi tersebar di luar Jawa, dengan kapasitas total 1.134

3.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

MW dan diikuti sebanyak 59 investor (qualified bidder), dan proses lelang saat ini
masih berlangsung.

Oleh karena itu, PT. PLN mengharapkan bentuk dukungan Pemerintah


Indonesia dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk
pembangunan infrastruktur kelistrikan, antara lain : a) insentif fiskal meliputi
keringanan maupun penundaan pembayaran PPh dan atau PPN, b) kemudahan
ekspor – Impor, c) pengenaan tingkat bunga bersaing, dan d) kemudahan dan
keringan pengenaan bea – masuk.

Menurut PT. PLN bahwa dukungan Pemerintah tersebut sangat diperlukan


untuk pembangunan kelistrikan di sektor pembangkit yang diproduksi di dalam
negeri sehingga perlu dipertimbangkan adanya pembebasan terutama untuk bea –
masuk, PPN impor, dan untuk impor barang raw material dan sub sistem equipment
yang diperlukan bagi fabrikasi perlatanan yang diproduksi di dalam negeri.
Dukungan Pemerintah tersebut diharapkan dapat menciptakan biaya produksi
peralatan yang dapat lebih bersaing dengan peralatan impor langsung dari luar
negeri.

Untuk menarik minat investor swasta (dari dalam maupun luar negeri) dalam
usaha penyediaan listrik perlu ditawarkan beberapa hal-hal, yaitu iklim investasi
yang kondusif dan atau kemudahan-kemudahan yang dapat diberikan kepada
investor. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan kegiatan yang dapat
menggairahkan investasi di sektor kelistrikan, meliputi :
a. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan diseluruh tanah air, karena hal ini
merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan investasi.
b. Menciptakan dan menyempurnakan semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku (baik yang baru maupun lama) agar transparan dan mendukung
usaha penanaman modal.
c. Menyempurnakan prosedur pelayanan investasi serta mempercepat
pengeluaran perijinan (baru dan lama).
d. Memberikan kemudahan tata cara memperoleh / penggunaan tanah.
e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).

3.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

f. Menjamin ketersediaan sumber energi primer dengan menyediakan sarana


penyaluran dan penyimpanan, seperti batubara, air dan gas alam.
g. Mempercepat pembangunan infrastruktur yang memadai, seperti jalan,
pelabuhan, transportasi, dan lain-lain.

Untuk pembangunan infrastruktur listrik diperkirakan memerlukan dana


investasi sebesar Rp 60,3 triliun dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,93% per
tahun (Media Indonesia, 5 September 2005). Jumlah dana investasi tersebut
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia dimana konsumsi
tenaga listrik terbesar berada di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,6 TWh atau 80% dari
keseluruhan konsumsi listrik di Indonesia.

Apabila dicermati, konsumen (pelanggan) listrik terbesar adalah kelompok


rumahtangga sebanyak 31 juta pelanggan atau 93% dari total 33,2 juta pelanggan
(PT. PLN, 2004). Kemudian disusul oleh kelompok sektor bisnis yang mencapai 1,4
juta pelanggan (4%), dan kelompok sosial sebesar 691 ribu pelanggan atau 2% (lihat
tabel 3.3.).

Besarnya konsumsi listrik di Pulau Jawa – Bali saat ini ternyata menjadi salah
satu permasalahan yang krusial dalam kebijakan energi di Indonesia. Pada kondisi
beban puncak, jumlah daya yang dibutuhkan mencapai 14.800 MW. Tingginya
kebutuhan listrik tersebut karena Pulau Jawa – Bali merupakan konsentrasi
penduduk terbesar dan tempat didirikan industri.

Tabel 3.2.
Pelanggan PT. PLN Tahun 2000 – 2004

Kelompok Share
2000 2001 2002 2003 2004
Pelanggan (%)
Rumah
26.796.675 27.885.612 28.903.325 29.997.554 30.957.613 93.2
tangga
Industri 44.337 46.014 46.824 46.818 46.343 0.1
Bisnis 1.062.955 1.172.247 1.245.709 1.310.686 1.357.114 4.1
Sosial 582.811 608.713 633.114 659.034 690.989 2.1
Perkanto-
102.627 115.142 124.947 137.324 160.466 0.5
ran
Total 28.589.405 29.827.728 30.953.919 32.151.416 33.212.525 100.0
Growth 3.9% 4.3% 3.8% 3.9% 3.3%

3.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Sumber : Media Indonesia, 06 September 2005.

Berdasarkan uraian di atas, sudah saatnya PT. PLN melakukan pembangunan


infrastruktur ketenagalistrikan dengan sumber dana dengan investasi sebesar Rp
60,3 triliun yang diharapkan dari investor swasta di dalam maupun luar negeri,
meskipun tidak seluruhnya. Dampak dari kesulitan dana investasi tersebut
menyebabkan PT. PLN tidak bisa melakukan investasi penambahan penyediaan
tenaga listrik sehingga banyak daerah yang mengalami krisis pasokan tenaga listrik.

Sejalan dengan hal tersebut, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat


(LPEM) – FEUI telah melakukan simulasi model ekonometrik makroekonomi yang
menghasilkan angka elastisitas untuk mengukur tingkat kepekaan (sensitivitas)
pembangunan infrastruktur listrik terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebesar
0,84. Hasil simulasi tersebut menyatakan apabila jumlah stok listrik (MVA)
dinaikkan sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi nasional meningkat sebesar
0,84% (Media Indonesia, 5 September 2005). Dan apabila dibedakan berdasarkan
wilayah, maka kenaikan jumlah stok listrik (MVA) yang sama akan menghasilakn
angka kepekaan sebesar 0,64 untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan untuk
Kawasan Timur Indonesia sebesar 0,20. Berdasarkan uraian tersebut, maka prioritas
utama pembangunan infrastruktur listrik adalah di wilayah KBI terutama di Jawa –
Bali guna menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

3.17
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB IV
EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE DEPAN
DALAM MENDUKUNG INVESTASI INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN

Dalam rangka mendorong pertumbuhan investasi infrastruktur kelistrikan,


Pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan kepada PT. PLN (Persero) baik
dalam bentuk penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement-SLA) maupun kebijakan
dalam perpajakan. Pemberian insentif kebijakan fiskal tidak membedakan satus
perusahaan, karena baik perusahaan milik negara maupun investor swasta juga
diberikan insentif terutama yang bergerak dalam usaha penyediaan listrik untuk
kepentingan umum.

4.1. Peluang Sumber Dana Yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Investasi


Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement)

Dalam rangka memperlancar pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah luar


negeri Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan
dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Nomor:
185 / KMK .03 / 1995
tanggal 5 Mei 1995 yang mengatur tentang Tata Cara
Kep.031/ Ket / 5 / 1995

Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar


Negeri dalam rangka pelaksanaan APBN.

Selanjutnya sebagai upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan


proyek yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan pinjaman/hibah luar negeri,
telah diterbitkan ketentuan baru sebagai penyempurnaan SKB tersebut, yaitu SKB
Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Nomor:
459 / KMK .03 / 1999
tanggal 29 September 1999 tentang Perubahan Atas SKB
KEP 264 / KET / 09 / 1999
Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas No.
185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pelaksanaan/Penatausahaan dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam
rangka Pelaksanaan APBN.

4.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dana pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) yang tercantum dalam APBN
adalah merupakan bagian dari APBN, sehingga pelaksanaan pencairan dana PHLN
harus mengikuti ketentuan dan mekanisme APBN yang berlaku. Oleh karena itu,
dalam pengelolaan dan penerusan dana PHLN harus berpedoman pada peraturan
dan ketentuan pokok tersebut di atas.

Selain peraturan tersebut di atas, maka pengelolaan dan penerusan dan PHLN
harus berpedoman pula pada :
a) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,
b) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara,
c) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
d) UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah,
e) PP No. 42/1995 perihal Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam
rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana
Pinjaman Luar Negeri;
f) PP No. 25/2001,
g) SE DJA No. SE-80/A/71/0696 tanggal 6 Juni 1996,
h) SE DJA No. SE-106/A.6/2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemungutan PPN, PPN-BM dan PPh Proyek Pemerintah yang
dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri, serta
i) Keputusan Menteri Keuangan No. 259/KMK.017/1993 tentang Penerusan
Pinjaman.

Hal – hal penting yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri
Keuangan dengan Menteri Negara PPN (Ketua Bappenas) Nomor 459/KMK.03/1999
dan Nomor Keputusan 264/KET/09/1999 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pelaksanaan (Penatausahaan) dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri
(PHLN) terutama dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa:

4.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

1. Jumlah atau bagian dari jumlah PHLN yang dimuat dalam Naskah Perjanjian
Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPPHLN) dituangkan dalam Daftar Isian
Proyek (DIP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP.
2. Dalam hal PHLN akan diteruspinjamkan sebagai pinjaman, maka calon
penerima penerusan pinjaman mengajukan usul penerusan pinjaman kepada
Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Negara PPN/Kepala
Bappenas.
3. Menteri Keuangan atau kuasanya (dalam hal ini Direktorat Penerusan Pinjaman,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan) menetapkan persyaratan penerusan
pinjaman dan menandatangani Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP
atau SLA) dengan Penerima Penerusan Pinjaman (PPP) yang bersangkutan.
4. Rekanan NPPP yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau
kuasanya dengan PPP tersebut disampaikan kepada Bappenas, Bank Indonesia,
dan BPKP.

Apabila dana PHLN yang tercantum dalam NPPHLN, sebagian atau


seluruhnya disediakan untuk membiayai proyek-proyek BUMN/BUMD atau Pemda,
maka dalam hal ini dana PHLN tersebut diteruspinjamkan kepada BUMN/BUMD
atau Pemda.

Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui Perjanjian Penerusan Pinjaman


(PPP) atau disebut juga dengan two-step loan. SLA/PPP adalah subsidiary loan
agreement/perjanjian penerusan pinjaman, yaitu perjanjian penerusan pinjaman luar
negeri untuk pembiayaan proyek Pemda/BUMN/BUMD ditandatangani oleh
Menkeu dan pihak Pemda/BUMN/BUMD. Ketentuan mengenai prosedur
penerusan pinjaman luar negeri diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor
35/KMK.07/2003 tanggal 22 Januari 2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/
Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah
kepada Daerah. Sedangkan penerusan pinjaman luar negeri kepada BUMN belum
diatur secara spesifik.

4.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.2 Insentif Kebijakan Fiskal Yang Masih Berlaku Sampai Dengan Tahun 2000

Sebagai unit usaha, industri listrik mempunyai kewajiban untuk membayar


pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang
mewah (PPN dan PPNBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan (BPHTB), pajak lainnya (bea meterai), dan bea masuk. Di
samping itu, dengan adanya otonomi daerah, industri listrik juga diwajibkan untuk
membayar retribusi kepada daerah atas aktivitas yang dilakukannya.

Namun, untuk mengurangi beban pajak, Pemerintah telah memberikan


beberapa fasilitas perpajakan pada industri listrik sesuai dengan UU Perpajakan
dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar perpajakan (simplicity, fairness, certainty,
and competitiveness). Di samping itu, berbagai langkah pembaharuan yang telah
dilakukan Pemerintah, baik di bidang administrasi maupun kebijakan perpajakan
sejak tahun 1983 mempunyai andil dalam mengurangi beban pajak bagi wajib pajak
pada umumnya dan industri listrik pada khususnya.

Pembaharuan kebijakan perpajakan yang tertuang dalam UU Perpajakan


telah dilakukan 3 kali berturut-turut, yaitu tahun 1983, 1994, dan 2000. Saat ini
sedang diproses amandemen UU Perpajakan yang keempat kalinya. Perubahan
kebijakan perpajakan yang mendasar terjadi pada tahun 1983, yaitu dari sistem
penghitungan pajak government assessment menjadi self assessment, dan dari pajak
penjualan menjadi pajak pertambahan nilai.

Sistem self assessment mengatur perubahan perilaku aparat pajak sehingga


menjadi lebih melayani wajib pajak, sedangkan perubahan pajak penjualan menjadi
PPN telah mengurangi pajak ganda, sehingga beban pajak berkurang. Pemberlakuan
PPN mengakibatkan pengenaan pajak hanya pada pertambahan nilai yang telah
terjadi pada proses produksi, sehingga dikenal adanya pajak masukan dan pajak
keluaran (PM-PK). Tarif PPN sebesar 10 persen relatif masih kompetitif
dibandingkan dengan negara-negara lain yang pengenaan tarif PPN bervariasi
sekitar 10 persen. Di samping itu, dilakukan penyederhanaan tarif dan lapisan tarif
pajak, serta peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Secara berturut-turut
tarif PPh Badan yang berlaku dapat dilihat pada Tabel berikut.

4.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Tabel 4.1
Wajib pajak Badan Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap

Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
1983 1991 1994 2000
S/d Rp 10 juta 15% 15% - -
Di atas Rp 10 juta s/d Rp 50 juta 25% 25% - -
Di atas Rp 50 juta 35% 35% - -
S/d Rp 25 juta - - 10% -
Di atas Rp 25 juta s/d Rp 50 juta - - 15% -
Di atas Rp 50 juta - - 30% -
S/d Rp 50 juta - - - 10%
Di atas Rp 50 juta s/d RP 100 juta - - - 15%
Di atas Rp 100 juta - - 30%

Tabel 4.1. memperlihatkan beban pajak untuk PPh Badan mengalami


penurunan yang mencolok di tahun 1994 – 2000. Perubahan tersebut (tax reform)
pada akhirnya membuat pengenaan pajak menjadi lebih sederhana, adil dan
kompetitif. Hasil kajian Tim Kebijakan Perpajakan - BAF (2001), menyebutkan tarif
efektif PPh badan di Indonesia secara umum bisa dikatakan kompetitif
dibandingkan dengan tarif efektif PPh Badan negara-negara ASEAN dan sekitarnya.

Grafik 4.1. Perbandingan TarifGEfektif ra fik 2PPh


.7 Badan di beberapa Negara
P e r b a n d in g a npada
T a r berbagai
if E fe k tiftingkat
P P h Bpendapatan
ad a n d i B eb e rap a N eg ara
p a d a B e r b a g a i T in g k a t P e n d a p a ta n
35%

30%

25%
Tarif Efektif

20%

15%

10%

5%

0%
0

0
00

00

00

00

00

00

00

00

00
0

00

00

00

00
00

00

.0

.0

.0

.0

.0

.0

.0

.0

.0

0.

0.

0.

0.
2.

4.

10

20

30

40

50

60

70

80

90

10

11

12

20

P e n g h a s ila n (d a la m U S $ )
In d o n e s ia M a la y s ia T h a ila n d P h ilip in e s
C h in a V ie tn a m C a m b o d ia

4.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pada tingkat pendapatan (profit) perusahaan di bawah US$25.000 tarif efektif


PPh badan di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, namun
pada tingkat pendapatan (profit) di atas US$25.000 tarif efektif PPh badan di
Indonesia kalah dibandingkan Kamboja dan Malaysia. Untuk lebih detilnya lihat
Grafik.

Selain kebijakan umum perpajakan yang mendorong sistem perpajakan


Indonesia menjadi lebih kompetitif sehingga beban pajak yang ditanggung
perusahaan di Indonesia secara umum tidak lebih berat daripada beban pajak di
negara lain, Pemerintah juga telah memberikan berbagai fasilitas kepada industri
listrik secara khusus sebagai berikut :

1. PPh Badan Pasal 25/29 merupakan pajak atas penghasilan (profit) perusahaan
dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri setiap bulan sebesar PPh yang
terutang menurut SPT PPh tahun lalu dan pajak terutang dalam satu tahun.
PPh tersebut dikenakan pada penghasilan kena pajak (PKP) perusahaan, yang
merupakan selisih antara pendapatan operasi perusahaan dikurangi dengan
biaya operasi perusahaan yang menurut peraturan bisa dikurangkan.
Pendapatan operasi perusahaan listrik meliputi antara lain penjualan tenaga
listrik dan biaya penyambungan. Sedangkan, biaya operasi perusahaan
meliputi antara lain pembelian tenaga listrik, bahan bakar dan minyak pelumas,
pemeliharaan, kepegawaian, dan penyusutan aktiva tetap. Untuk mengurangi
beban PPh Pasal 25/29 Badan tersebut, Pemerintah telah memberikan fasilitas
perpajakan untuk penerimaan atas biaya penyambungan listrik yang diterima
PT PLN pada periode Januari – Desember 1976 dengan menganggap bahwa
penerimaan tersebut sudah dilaporkan pada SPT PT PLN. Sedangkan, periode 1
Januari 1977 – 31 Desember 1995 penerimaan atas biaya penyambungan listrik
belum diakui sebagai penghasilan dan belum dikenakan PPh, sehingga terutang
PPh namun pengenaannya dibagi rata selama 5 tahun terhitung sejak tahun
1996 sampai dengan tahun 2000. Setelah itu, mulai tahun 1996 semua
penerimaan atas biaya penyambungan listrik merupakan penghasilan tahun
bersangkutan dan wajib dikenakan PPh.

4.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2. PPh Pasal 22 Impor adalah pajak yang dipungut oleh badan tertentu (BUMN)
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor yang dibiayai oleh APBN atau
APBD.
Apabila industri listrik tersebut adalah BUMN, maka perusahaan tersebut
berkewajiban memungut PPh pasal 22 impor atas kegiatan di bidang impor
yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Namun, pajak ini dapat dikreditkan pada
SPT akhir tahun dan merupakan beban kontraktor.
Untuk mengurangi beban PPh pasal 22 Impor, Pemerintah telah memberikan
fasilitas perpajakan tidak dipungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 UU PPh. Dengan demikian, khusus untuk industri listrik tidak dikenakan
PPh pasal 22 impor.
3. PPh Pasal 26 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima oleh WP luar negeri selain badan usaha tetap
(BUT).
Pajak ini dikenakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa,
hadiah, penghargaan, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan, serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima oleh WP
luar negeri.
Untuk mengurangi beban PPh pasal 26 ini Pemerintah telah memberikan
fasilitas perpajakan berupa pembebasan dari PPh untuk konsultan,
kontraktor/supplier semua proyek PLN yang dibiayai dengan pinjaman luar
negeri.

4. PPN adalah pajak yang dikenakan pada nilai tambah dari barang dan jasa yang
diperjualbelikan. Dalam PPN dikenal adanya pajak masukan dan pajak
keluaran, sehingga tidak terjadi pajak berganda. Pada dasarnya pajak ini
merupakan beban konsumen.
Untuk mengurangi beban PPN terutama cash flow industri listrik, Pemerintah
memberikan beberapa fasilitas PPN sebagai berikut :
a. Perusahaan PLN sebagai BUMN diperbolehkan memungut PPN dari
supplier barang dan jasa atau kontraktor utama pelaksana proyek.

4.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Sehingga PLN tidak mengalami kesulitan cash flow, karena pajak


masukannya sudah dipotong terlebih dahulu.
b. Proyek-proyek PLN yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri
dibebaskan dari PPN.
c. Penyerahan jasa persewaan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan
segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan
pelayaran niaga nasional, PPN yang terutang ditanggung Pemerintah.
Oleh karena itu, penyerahan jasa persewaan kapal laut untuk
pengangkutan BBM PLN, PPN-nya ditanggung Pemerintah.
d. PPN untuk penyerahan jasa tenaga listrik dibawah 6600 Watt bebas PPN.
Sehingga harga jual listrik di bawah kategori 6600 Watt tidak menjadi lebih
mahal.
e. Jasa penagihan rekening listrik dan telepon yang dilakukan oleh bank,
tidak terutang PPN. Sehingga premi penerimaan pembayaran rekening
listrik bulanan yang diterima oleh bank-bank dari PLN, tidak terutang
PPN.
f. Atas impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik
oleh swasta diberi fasilitas PPN yang terutang ditangguhkan.

5. PPNBM adalah Pajak penjualan barang mewah dikenakan pada pembelian


barang-barang tertentu yang tergolong mewah. Pajak ini tidak dapat
dikreditkan sehingga merupakan beban bagi pembelinya (PLN, perusahaan
listrik lainnya atau konsumen).
Untuk mengurangi beban PPNBM industri listrik, Pemerintah telah
memberikan fasilitas perpajakan PPNBM yang terutang ditangguhkan atas
impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta.

6. Pajak Lainnya, terutama bea meterai, adalah pelunasan bea meterai yang
dikenakan pada kuitansi listrik dengan tagihan diatas Rp250 ribu. Bea meterai
ini merupakan bukti sahnya pembayaran kuitansi transaksi, dan merupakan
beban konsumen pengguna listrik.

4.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Untuk penyederhanaan prosedur ijin pelunasan bea meterai atas kuitansi


rekening listrik dan pelaporannya, Pemerintah telah memberikan fasilitas
pemberian ijin pencetakan tanda “Lunas Bea Meterai” bisa dilakukan oleh
Kepala KPP setempat atas kuitansi rekening listrik dengan menggunakan mesin
pengolah data (komputer) pada tiap kantor unit/cabang PLN.

7. Bea Masuk adalah pajak yang dikenakan atas lalu lintas keluar masuk barang
ke daerah pabean. Untuk mengurangi beban bea masuk industri listrik,
Pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan pembebasan bea masuk atas
impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta.

4.3. Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan oleh Investor
Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai Dengan Tahun 2000

Dalam rangka mendorong partisipasi investor swasta dalam penyediaan


tenaga listrik, Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1992 tentang
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta, telah memberikan beberapa
kemudahan baik dalam bentuk pembebasan atas pembayaran bea masuk, pajak
tidak dipungut sebagaimana diatur adalam Pasal 22 Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984, dan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah
(PPN dan PPNBM) yang terutang ditangguhkan.

Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 dan 3 dalam Kepres tersebut, penyediaan tenaga


listrik oleh swasta diutamakan pada pola pelaksanaan “membangun, memiliki dan
mengoperasionalkan”. Disamping itu dapat pula dipertimbangkan kemungkinan
penggunaan pola pelaksanaan lain yang menguntungkan bagi negara. Selanjutnya
dalam Pasal 3 ayat 3 disebutkan bahwa tenaga listrik yang dihasilkan oleh usaha
swasta dapat dijual kepada PT. PLN (Persero) atau kepada pihak lain.

Pembangunan pembangkit tenaga listrik oleh swasta dilaksanakan sesuai


dengan kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang energi dan didasarkan atas
ketersediaan sumber energi primer yang diperlukan serta pertimbangan
keekonomian usaha tersebut dan dengan memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu usaha pembangkitan tenaga

4.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik oleh swasta diutamakan penggunaan sumber energi primer di luar minyak
bumi, kecuali apabila di lokasi proyek pembangkitan yang diusulkan tidak tersedia
atau atas dasar keekonomian tidak mungkin digunakan sumber energi primer di
luar minyak bumi.

4.4. Insentif Kebijakan Fiskal Yang Diberlakukan Untuk Investasi di Sektor


Kelistrikan

Berdasarkan jenis kegiatannya, investasi di bidang ketenagalistrikan pada


dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : a) investasi pada pembangkitan
tenaga listrik, b) investasi pada transmisi tenaga listrik dan c) investasi pada
distribusi tenaga listrik. Dalam konteks dengan insentif fiskal yang diberikan oleh
Pemerintah, nampaknya baru kegiatan investasi di bidang pembangkit dan
distribusi tenaga listrik yang telah tersentuh.

Di bidang pembangkit tenaga listrik, Pemerintah telah memberikan insentif


fiskal dalam bentuk penerusan pinjaman, pembebasan PPh, PPN maupun PPnBM.
Sedang untuk kegiatan distribusi, Pemerintah telah membebaskan konsumen dari
PPN khususnya untuk pelanggan dengan daya kurang dari 6.600 VA. Dengan
insentif ini diharapkan PT. PLN mampu menjual tenaga listrik dengan harga yang
kompetitif.

Di bidang ketenagalistrikan, terdapat dua permasalahan pokok yang dihadapi


Pemerintah, yaitu :
a. Secara nasional pertumbuhan permintaan tenaga listrik baru berkisar antara 7%
– 9% per tahun. Sementara itu, rasio elektrisifikasi saat ini baru mencapai 65%
dan di tahun 2010 diharapkan naik menjadi 70%. Peningkatan rasio ini
membutuhkan penambahan daya listrik dalam jumlah yang besar. Untuk itu
diperlukan penambahan investasi baru dalam pembangkitan tenaga listrik.
Dalam konteks ini Pemerintah perlu mendorong pengembangan investasi baru
di bidang kelistrikan. Sejalan dengan PP Nomor 3 tahun 2005 tentang
Perubahan Atas PP Nomor 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan pemanfaatan
Tenaga Listrik, investasi baru di bidang kelistrikan diprioritaskan penggunaan

4.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

energi setempat dengan kewajiban mengutamakan penggunaan sumber energi


terbarukan karena pertimbangan keekonomian usaha dan dengan
memperhatikan pertimbangan pelestarian lingkungan hidup. Di Indonesia,
sumber energi kebanyakan terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
dan Papua. Dari keekonomian usaha, pembangkitan tenaga listrik baru akan
efisien apabila dilakukan di daerah penghasil sumber energi seperti batubara
dan gas alam.
b. Berdasarkan pertimbangan efisiensi usaha dalam pembangkitan tenaga listrik,
maka investasi untuk transmisi tenaga listrik dari daerah yang penghasil tenaga
listrik (luar Jawa) ke daerah yang kekurangan tenaga listrik, khususnya Jawa
dan Bali yang tidak memiliki sumber energi primer. Untuk itu diperlukan
insentif fiskal dalam bidang investasi transmisi tenaga listrik.

Dalam kaitannya dengan kedua permasalahan di atas, maka yang perlu


dipikirkan Pemerintah adalah bagaimana menciptakan kebijakan fiskal yang mampu
memberikan insentif baik bagi pembangkit untuk meningkatkan produksi maupun
transmisi tenaga listrik. Salah satu upaya adalah meningkatkan daya saing
perekonomian Indonesia melalui berbagai langkah perbaikan sistem perpajakan,
sehingga mampu berperan menjadi daya tarik (insentif) bagi kegiatan investasi.

Dengan demikian, penyempurnaan sistem perpajakan harus terus dilanjutkan,


baik di bidang kebijakan maupun administrasi pajak (tax policy and administration
reform). Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan
kompetitif dalam rangka mendorong kegiatan investasi di Indonesia.

Penyempurnaan sistem perpajakan tersebut tidak boleh meninggalkan


prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman untuk menciptakan sistem perpajakan
yang sehat dan kompetitif, yaitu :
1. Netral dan tidak distorsif terhadap pola perilaku ekonomi masyarakat;
2. Keadilan dalam pembebanan pajak (fairness);
3. Kesederhanaan dalam pengadministrasian (simplicity) dan compliant costnya
rendah;

4.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4. Stabil dan mudah diprediksi sehingga pembayar pajak dapat melakukan


kalkulasi bisnis yang rasional;
5. Transparansi dan peraturan pelaksanaan yang tegas sehingga dapat
menghilangkan ketidakpastian.

Mengacu kepada prinsip-prinsip dasar tersebut, maka kebijakan untuk


memberikan fasilitas khusus pada satu atau dua sektor industri akan menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakefisienan pada sektor tersebut. Dengan demikian, fasilitas-
fasilitas tersebut justru harus dihapuskan, agar tidak menimbulkan distorsi. Oleh
karena itu, insentif pajak tersebut harus diberikan dalam bentuk lain, yaitu fasilitas
pajak yang dapat dinikmati secara umum.

Pada dasarnya, penyempurnaan sistem dan prosedur pajak juga merupakan


insentif pajak, karena hal ini dapat berdampak pada penurunan beban pajak dan
peningkatan daya saing. Reformasi Kebijakan Perpajakan yang akan dilakukan oleh
Pemerintah pada dasarnya berkaitan dengan upaya perbaikan lebih lanjut sistem
perpajakan, sehingga diharapkan lebih mampu berperan menjadi daya tarik
(insentif) bagi kegiatan investasi di Indonesia, termasuk investasi di bidang
ketenagalistrikan.

Pemberian fasilitas perpajakan dimaksudkan untuk mendorong kegiatan


investasi langsung di Indonesia, baik melalui penanaman modal asing maupun
modal dalam negeri di bidang-bidang tertentu dan daerah-daerah tertentu yang
mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor.
Bentuk fasilitas tersebut antara lain diperbolehkannya depresiasi dipercepat,
kompensasi kerugian yang lebih lama tapi tidak boleh lebih dari 10 tahun,
pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30 persen dari jumlah penanaman
modal yang dilakukan selama 6 tahun, dan pajak ditanggung Pemerintah untuk
BUMN dan PSO untuk hal-hal yang sangat mendesak dan penting.

Amandemen UU PPh pada intinya mencakup ketentuan sebagai berikut :


1. Untuk mendorong investasi dan menyesuaikan dengan perkembangan tarif
pajak di negara-negara tetangga, lapisan tarif PPh bagi Wajib Pajak (WP) Badan
ditetapkan tarif tunggal. Tarif umum yang akan ditetapkan atas PKP WP

4.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Badan adalah 30%. Tarif ini akan diturunkan menjadi 28% pada tahun 2007 dan
25% pada tahun 2010.
2. Kepada WP yang akan melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam
skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan.
3. Untuk mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah dapat diberikan
fasilitas perpajakan khusus yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Keuntungan/kerugian selisih kurs diakui sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia,
5. Pemupukan dana cadangan, biaya beasiswa, biaya sumbangan
penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka litbang, biaya
pengembangan masyarakat dan sosial, dan sumbangan fasilitas pendidikan
termasuk sebagai pengurang penghasilan bruto,
6. Perluasan dan pemotongan/pemungutan PPh dan perbedaan tarif pemotongan
antara WP yang ber-NPWP dan non-NPWP.

Sedangkan pokok-pokok amandemen UU PPN dan PPnBM antara lain adalah


sebagai berikut :
1. Pengalihan BKP dalam rangka merger tidak dikenakan PPN, dengan syarat
semua perusahaan yang terlibat telah terdaftar sebagai PKP,
2. Pemberian ijin pemusatan tempat pajak terutang berdasarkan penelitian,
3. PPN atas penyerahan JKP yang tidak sepenuhnya dilakukan atau dimanfaatkan
tetapi sudah sepenuhnya dipungut dapat dikembalikan.

Pokok-pokok amandemen undang-undang kepabeanan antara lain meliputi:


1. Menangkal penyelundupan dengan penajaman pada ketentuan pidana dan
pemberatan sanksi,
2. Pengawasan pengangkutan barang tertentu dengan memberikan kewenangan
pada DJBC untuk melakukan pengawasan atas pengangkutan barang tertentu
dalam daerah pabean,
3. Mencegah pelanggaran kepabeanan berupa pemberatan sanksi administrasi,
registrasi kepabeanan, audit kepabeanan, dan pemeriksaan jabatan,

4.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4. Fasilitasi perdagangan dan industri dengan antara lain memberikan jalur


prioritas dan perluasan fungsi tempat penimbunan berikat,
5. Perlindungan perdagangan dan insustri yaitu memberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan selain tarif dan/atau nilai pabean, penetapan bea masuk
tindakan pengamanan, dan penegasan tarif pembalasan (retaliatie).

Untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan efisiensi pajak, saat ini


pemberian fasilitas khusus untuk industri-industri tertentu telah dikurangi dan
diganti dengan fasilitas-fasilitas yang dapat dinikmati secara umum.

Namun, di dalam pemberian fasilitas tersebut tetap harus memegang teguh


prinsip perpajakan, yaitu diberlakukan dan diterapkan perlakuan yang sama
terhadap semua wajib pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan
yang hakekatnya sama. Karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan
harus mengacu pada kaidah di atas.

Pemberian fasilitas perpajakan dimaksudkan untuk mendorong kegiatan


investasi langsung di Indonesia, baik melalui penanaman modal asing maupun
modal dalam negeri di bidang-bidang tertentu dan daerah-daerah tertentu yang
mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor.

Bentuk fasilitas tersebut antara lain diperbolehkannya depresiasi dipercepat,


kompensasi kerugian yang lebih lama tapi tidak boleh lebih dari 10 tahun,
pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman modal
yang dilakukan selama 6 tahun, dan pajak ditanggung Pemerintah untuk BUMN dan
PSO untuk hal-hal yang sangat mendesak dan penting.

4.5. Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Untuk
Mendorong Usaha Dan Investasi Kelistrikan Setelah Tahun 2001

Uraian berikut ini merupakan hasil workshop1 (tanggal 21 – 22 September 2005)


yang telah dilakukan dalam rangka memperjelas insentif fiskal yang masih

1
Hasil kerjasama penelitian antara PT. PLN (Persero) dengan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan
dan Kerjasama Internasional – Departemen Keuangan.

4.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diberlakukan oleh Pemerintah untuk mendorong usaha dan investasi


ketenagalistrikan.

Mengingat, saat ini terdapat kesenjangan antara kebutuhan dengan suplai


tenaga listrik sehingga menimbulkan persoalan kelangkaan energi listrik. Selain itu,
bahwa energi listrik saat ini termasuk dalam kategori komoditi atau barang strategis
bagi perekonomian nasional, sebab pertumbuhan ekonomi sangat tergantung
dengan ketersediaan energi terutama listrik. Dengan kata lain, kelangsungan suplai
energi listrik dapat menggerakan roda perekonomian nasional sehingga diperlukan
upaya untuk menjamin kelangsung ketersediaan energi listrik. Untuk itu,
Pemerintah dalam hal ini perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan
investasi baru di bidang infrastruktur energi listrik terutama untuk pembangkit,
transmisi dan distribusi.

4.5.1. Penanaman Modal Di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau Di Daerah-


daerah Tertentu

Pasal 31A di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang
menyatakan bahwa wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-
bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas
PPh dalam bentuk, antara lain :
a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah penanaman modal yang dilakukan;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun;
d. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden sebesar 10% (sepuluh persen),
kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan
lebih rendah.

Fasilitas pajak penghasilan (PPh) tersebut diatur lebih lanjut dalam PP, antara
lain :

4.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

a. PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah


Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu.
b. PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-
daerah Tertentu.
c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 571/KMK.04/2000 tentang Tata Cara
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-
daerah Tertentu.

PP tersebut mulai diberlakukan oleh Pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001,


terutama tentang fasilitas pajak penghasilan (PPh) berupa pengurangan penghasilan
neto, penyusutan dan amortisasi dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama,
pajak penghasilan atas deviden sebesar 10%.

Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri terutama yang berbentuk Perseroan
Terbatas (PT) yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan di bidang-
bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas
pajak penghasilan (PPh) berdasarkan Keputusan Presiden. Fasilitas pajak
penghasilan tersebut adalah :
1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal
yang dilakukan;
2. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
3. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih lama dari 10 tahun;
4. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subyek
Pajak luar negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang
berlaku.

Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan atas kegiatan usaha di
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) berdasarkan PP Nomor 20
Tahun 2000 tidak lagi diberikan fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
PP ini yang diberlakukan oleh Pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001.

4.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.5.2. Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus Yang Dibentuk


Pemerintah

Pasal 31B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menyatakan
bahwa wajib pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga
khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat
terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan PPh yang
terutang atas :
a. Pembebasan utang.
b. Pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang.
c. Perubahan utang menjadi penyertaan modal.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah terutama yang


menyatakan bahwa keringanan pajak penghasilan kepada wajib pajak yang
melakukan restrukturisasi utang usaha, antara lain :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan
Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang
usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah.
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2001 tentang Pemberian
Keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang melakukan
restrukturisasi Utang Usaha melalui Lembaga Khusus yang dibentuk
Pemerintah.

Kepada Debitur yang telah menyelesaikan restrukturisasi utang usaha dalam


tahun 2000, 2001 atau 2002 dapat diberikan fasilitas keringanan pajak penghasilan
yang bersifat terbatas berdasarkan rekomendasi Ketua Komite Kebijaksanaan Sektor
Keuangan (KKSK), antara lain :
1. Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan karena pembebasan utang
(hair cut) yang diperoleh debitur dibebaskan sebesar 30%;

4.17
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2. Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau
pihak ketiga karena pengalihan harta kepada kreditur (debt to asset swap)
dibebaskan sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta
pihak yang mengalihkan;

Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau
kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur pada
perusahan debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun melalui pihak ketiga
dibebaskan sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar nilai buku utang
pihak debitur. Merupakan aturan pelaksanaan Pasal 31B Undang-undang Pajak
Penghasilan 2000. Ketentuan ini mulai berlaku tanggal 14 Februari 2001.

4.5.3. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

Fasilitas pajak penghasilan yang diberikan dalam Kapet telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah, antara lain :
a. PP Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu.
b. KMK Nomor: 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan
Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.
c. SE-04/PJ.32/2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu.

Mulai 7 April 2000 sampai dengan 1 Januari 2001, kepada pengusaha yang
melakukan kegiatan usaha di dalam KAPET diberikan fasilitas Pajak Penghasilan
sebagai berikut :
1. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan atau amortisasi yang dipercepat;
2. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai paling lama 10 tahun;
3. Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Deviden sebesar 10%.

Sebelum 7 April 2000, terhadap pengusaha di KAPET berlaku Keppres Nomor


89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

4.18
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sebagaimana diubah dengan Keppres Nomor 9 Tahuan 1998 dengan memberikan


fasilitas, antara lain :

1. Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang modal, bahan baku
dan peralatan lain yang berhubungan lansung dengan kegiatan produksi.
2. Penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat.
3. Kompensasi kerugian, mulai tahun pajak berikutnya berturut turut s/d paling
lambat 10 tahun.
4. Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Deviden sebesar 50% dari jumlah
yang seharusnya dibayar.
5. Pengurangan sebagai biaya produksi:
a. Kenikmatan berupa natura yang diperoleh karyawan dan untuk
diperhitungkan sebagai penghasilan bagi karyawan;
b. Biaya pembangunan dan pengembangan daerah setempat yang
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang fungsinya
dapat dinikmati umum.

Sejak 1 Januari 2001 bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) diberikan perlakuan di bidang
PPh sebagai berikut :
a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal
yang dilakukan;
b. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai paling lama 10 tahun;
d. Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subyek Pajak luar
negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang berlaku.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah terutama yang


menyatakan bahwa keringanan pajak penghasilan kepada wajib pajak yang
melakukan kegiatan usaha di dalam Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
(KAPET), antara lain :

4.19
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

a. PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah


Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu.
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 11/KMK.04/2001 tentang Perubahan
atas KMK Nomor 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan
Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.

Fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 31A Undang-undang Pajak


Penghasilan Tahun 1994, yang menyatakan bahwa pengusaha yang melakukan
kegiatan usaha di dalam KAPET yang telah ditetapkan, antara lain :

1. KAPET Natuna (Keppres Nomor 71 Th 1996 stdtd Keppres 117 Th 1999);


2. KAPET Biak (Keppres Nomor 90 Th 1996 sebagaimana diubah dengan Keppres
Nomor 10 Th 1998);
3. KAPET Batulicin ( Keppres Nomor 11 Th 1998);
4. KAPET Sasamba (Keppres Nomor 12 Th 1998);
5. KAPET Sanggau (Keppres Nomor 13 Th 1998);
6. KAPET Manado Bitung (Keppres 14 Th 1998);
7. KAPET Mbay (Keppres Nomor 15 Th 1998);
8. KAPET Pare-pare (Keppres Nomor 164 Th 1998);
9. KAPET Seram (Keppres Nomor 165 Th 1998);
10. KAPET Bima (Keppres Nomor 166 Tahun 1998);
11. KAPET Batui (Keppres Nomor 167 Th 1998);
12. KAPET Bukari (Keppres Nomor 168 Th 1998);
13. KAPET Betano, Natarbora dan Viqueque (Keppres Nomor 169 Th 1998);
14. KAPET Das Kakab (Keppres 170 Th 1998);
15. KAPET Sabang ( Keppres Nomor 171 Th 1998).

Fasilitas Pajak Penghasilan sesuai Pasal 31A Undang-undang Pajak


Penghasilan tahun 2000. PP tersebut mulai diberlakukan oleh Pemerintah pada
tanggal 1 Januari 2001.

4.20
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.5.4. Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah (PPh DTP) atas Hibah dan
Pinjaman Luar Negeri

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk
Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan
Pajak Penghasilan Dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai
dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri.

Sejak tanggal 1 April 1995, Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor,
konsultan dan pemasok (supplier) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah
yang dibiayai degan hibah atau dana pinjaman luar negeri ditanggung oleh
Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini berlaku surut sejak tanggal 1 April 1995.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996. Sejak 1 April 1995,


Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor utama atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan
proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri
ditanggung oleh Pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998 tentang perubahan atas


Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995, menyatakan bahwa Pajak Penghasilan
ditanggung Pemerintah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh karena
pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah yang
dibiayai dengan hibah atau pinjaman luar negeri, antara lain :
a. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang oleh karyawan asing yang bekerja
pada kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama;
b. Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor, konsultan dan pemasok
lapisan kedua. Peraturan Pemerintah ini diberlakukan olah Pemerintah sejak
tanggal 23 Juni 1998.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000 tentang perubahan Kedua atas


PP Nomor 42 Tahun 1995, menyatakan Pajak Penghasilan yang terutang oleh
kontraktor, konsultan dan pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau

4.21
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diperloleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek


Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri ditanggung Pemerintah.

Mengubah ketentuan mengenai PPh DTP pada PP Nomor 42 Tahun 1995


stdtd PP Nomor 63 Th 1998. Keputusan ini diberlakukan oleh Pemerintah sejak
tanggal 23 Juni 2000.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan terutama


yang menyatakan bahwa Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor,
konsultan dan pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau diperloleh dari
pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang
dibiayai dengan hibah luar negeri ditanggung Pemerintah, antara lain :
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.04/2000 tentang perubahan
Kedua Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996.
b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-526/PJ./2000 tanggal 7
Desember 2000.
c. Surat Edaran Nomor SE-05/PJ.42/2001 tentang Penegasan masa transisi
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000. Perlakuan Pajak
Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 stdtd Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 1998 berkenaan dengan proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana
pinjaman luar negeri berlaku juga terhadap kontrak pekerjaan/pengadaan
yang ditandatangani setelah tanggal 23 Juni 2000, sepanjang loan aggrement
yang telah ditandatangani oleh Pemerintah sebelum tanggal 23 Juni 2000
memuat klausul bahwa Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor,
konsultan dan pemasok ditanggung Pemerintah.
d. Keputusan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal 23 Juni 2000 dan untuk
pertama kalinya diberlakukan untuk proyek-proyek Pemerintah yang
kontraknya ditandatangani setelah tanggal 22 Juni 2000.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang perubahan ketiga atas
peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995. Pajak Penghasilan yang terutang
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan

4.22
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pemasok utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan


proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana
pinjaman luar negeri, ditanggung Pemerintah.
f. Mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 stdtd Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000. Keputusan ini diberlakukan Pemerintah
sejak tanggal 18 Mei 2001.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan mengenai BUT yang


menanamkan kembali labanya di Indonesia dibebaskan dari PPh Pasal 26 sebesar
20%, antara lain dalam :
a. Pasal 26 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000;
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret
2002 tentang perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap.

Pajak Penghasilan sebesar 20% dari Penghasilan Kena Pajak sesudah


dikurangi Pajak atas BUT tidak dikenakan jika atas penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, dengan syarat :
1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
2. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun Pajak berjalan atau selambat-
lambatnya tahun Pajak berikutnya dari tahun Pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan tersebut; dan
3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman
dilakukan produksi komersial.

Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002


tentang perlakuaan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
dari suatu Bentuk Usaha Tetap, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor

4.23
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

602/KMK. 04/2002 tentang perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak


sesudah Bentuk Usaha Tetap dinyatakan tidak berlaku.

4.5.5. Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai

Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK Nomor 466/KMK. 04/2000


tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan
Pengggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan
Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta yang Berkaitan
Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Pemberi Kerja.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-213/PJ./2001 tentang


Perlakuan Perpajakan atas Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh
Pegawai dan Pengggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa
yang Diberikan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta
yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.

Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai


dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan dan bukan
merupakan penghasilan bagi pegawai.

Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang


merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan
keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di daerah terpencil.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah sarana dan fasilitas di lokasi bekerja untuk :
a. Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya,
sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang dapat
disewa;

4.24
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

b. Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada sarana


kesehatan;
c. Pendidikan bagi pegawai di lokasi bekerja, sepanjang di lokasi bekerja tersebut
tidak ada sarana pendidikan yang setara;
d. Pengangkutan bagi pegawai di lokasi bekerja, sedangkan pengangkutan
anggota keluarga dari pegawai yang bersangkutan terbatas pada pengangkutan
sehubungan dengan kedatangan pertama ke lokasi bekerja dan kepergian
pegawai dan keluarganya karena terhentinya hubungan kerja;
e. Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating dan
pacuan kuda, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak tersedia sarana
dimaksud.

Pengeluaran-pengeluaran dalam bentuk natura dan kenikmatan tersebut


bukan merupakan penghasilan bagi pegawai dan dapat dibebankan sebagai biaya
bagi pemberi kerja pada tahun Pajak dibayarnya atau terutangnya pengeluaran
tersebut. Keputusan Dirjen Pajak ini mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-14/PJ.31/2003 tentang


Penyediaan Makanan dan Minuman oleh Pemberi Kerja Bagi Seluruh Pegawai di
Tempat kerja. Penyediaan makanan dan minumam bagi pegawai perusahaan di
tempat kerja tidak mutlak harus “seluruh pegawai perusahaan termasuk dewan
direksi dan dewan komisaris makan dan minum di tempat kerja”.

Apabila terdapat sejumlah pegawai yang tidak dapat memanfaatkan atau


tidak memperoleh fasilitas in-natura tersebut di tempat kerja karena sifat
pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran, bagian
transportasi dan dinas luar lainnya), maka adanya hal tersebut saja tidak
membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip tersebut diatas.

4.5.7. Restrukturisasi Perusahaan

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-23/PJ.42/1999 tentang Buku


Panduan Tentang Perlakuan Perpajakan Restrukturisasi Perusahaan. Perlakuan
perpajakan atas Restrukturisasi Perusahaan adalah :

4.25
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

1. Penggabungan dan peleburan usaha :


a. Pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha
dengan menggunakan nilai buku fiskal menurut badan usaha yang
mengalihkan.
b. Badan usaha yang mengalihkan harta tidak memperoleh keuntungan atau
kerugian atas pengalihan harta tersebut. Oleh karena itu, badan usaha
yang melakukan pengalihan harta tidak terutang PPh, termasuk PPh
sebesar 5% atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan menerima
pengalihan harta tidak memperoleh keuntungan atau kerugian sebagai
akibat dari Pengalihan harta.
c. Badan usaha yang menerima pengalihan harta tidak memperoleh
keuntungan atau kerugian sebagai akibat penerimaan harta.
d. apabila sebelum dilakukan penggabungan atau peleburan usaha, antara
badan usaha yang mengalihkan harta dan yang menerima pengalihan
harta mempunyai hubungan utang-piutang, maka tidak ada penghasilan
maupun biaya yang timbul sebagai akibat kompensasi timbal-balik atas
utang-piutang tersebut.
2. Pemekaran usaha :
a. Pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha dengan menggunakan
nilai buku fiskal menurut induk perusahaan.
b. Induk perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian atas
pengalihan hartanya. Oleh karenanya, Induk perusahaan tidak terutang
PPh dari pengalihan harta, termasuk PPh sebesar 5% atas pengalihan hak
atas tanah dan bangunan.
c. Anak perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian dari
perolehan harta induk perusahaan dalam rangka pemekaran usaha.

Sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf d dalam SE tersebut beserta penjelasannya


menyatakan bahwa :

4.26
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

- Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta karena likuidasi,


penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengalihan usaha
termasuk objek Pajak.
- Selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi
penggabungan, peleburan, pemekaran, dan pengambilalihan usaha merupakan
penghasilan.

4.5.8. Penyusutan Dan Atau Pembebanan Sebagai Biaya Atas Biaya Pemakaian
Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang


Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan
Perusahaan.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei


2002 tentang perlakuan pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan,
antara lain :
1. Atas biaya perolehan atau pembelian Ponsel yang dipergunakan oleh pegawai
tertentu dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah
biaya perolehan melalui penyusutan Aktiva Tetap Kelompok I.
2. Atas biaya berlangganan/isi ulang atau perbaikan ponsel tersebut diatas dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya dalam
tahun Pajak yang bersangkutan.
3. Atas biaya perolehan atau perbaikan besar kendaraan yang dimiliki dan
dipergunakan perusahan untuk antar jemput karyawan dapat dibebankan
seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap
kelompok II.
4. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaran tersebut diatas dapat
dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun Pajak yang
bersangkutan.
5. Atas biaya perolehan atau pembelian sedan/sejenis yang dipergunakan oleh
pegawai tertenu dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari
jumlah biaya perolehan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II.

4.27
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut diatas dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan 50% dari jumlah biaya dalam tahun
Pajak yang bersangkutan. Pengelompokan Aktiva Tetap yang disusutkan
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
138/KMK.03/2002.

4.5.9. Angsuran Pembayaran PPh Atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian


Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk tujuan perpajakan, antara lain :
1. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap dikenakan PPh yang bersifat
final sebesar 10% setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa
kerugian fiscal tahun-tahun sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2)
UU PPh yang berlaku.
2. Wajib Pajak yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk
melunasi sekaligus PPh yang terutang sebagaimana dimaksud diatas dapat
mengajukan permohonan untuk membayar secara angsuran sampai dengan
paling lama 5 (lima) tahun untuk PPh yang terutang sesuai dengan ketentuan
sebagai berikut :
ƒ Diatas Rp 2.000.000.000.000,- s/d Rp 4.000.000.000.000, masa angsuran s/d
2 (dua) tahun.
ƒ Diatas Rp 4.000.000.000.000,- s/d Rp 6.000.000.000.000, masa angsuran s/d
3 (tiga) tahun.
ƒ Diatas Rp 6.000.000.000.000 s/d Rp 8.000.000.000.000, masa angsuran s/d 4
(empat) tahun.
ƒ Diatas Rp 8.000.000.000.000,- masa angsuran s/d 5 (lima) tahun.
3. Dalam hal Wajib Pajak melakukan pengalihan Aktiva Tetap perusahaan yang
telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa
manfaat baru, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan PPh yang
bersifat final sebesar 20% dari selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa

4.28
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

buku fiskal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun-
tahun sebelumnya, kecuali atas:
ƒ Pengalihan yang bersifat Force Majeur berdasarkan keputusan atau
kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan atau;
ƒ Pengalihan, peleburan, atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan
atau;
ƒ Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami
kerusakan berat yang tidak dapat di perbaiki lagi. Keputusan Menteri
Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal 28 Nopember 2002. Dengan
berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 384/KMk.04/1998 Tentang Penilaian Kembali Aktiva
Tetap Perusahaan dinyatakan tidak berlaku. Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-519/PJ./2002 tentang Tata Cara dan Prosedur
Pelaksanaan Penilaian Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
4. Wajib Pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk
tujuan perpajakan wajib mendapatkan persetujuan Ka Kanwil yang
membawahi KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 30 hari kerja
setelah tanggal dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dengan
menggunakan formulir yang telah ditentukan.
5. Apabila menurut penelitian permohonan Wajib Pajak telah memenuhi
persyaratan formal maupun material, maka Ka Kanwil wajib menerbitkan surat
persetujuan paling lambat 30 hari kerja setelah tanggal diterimanya
permohonan WP.
6. Apabilan setelah lewat batas waktu tersebut diatas Ka Kanwil belum
menerbitkan surat keputusan diterima/ditolak, maka permohonan WP tersebut
dianggap diterima dan wajib diterbitkan surat keputusan paling lambat 3 hari
sejak tanggal berakhirnya batas waktu tersebut diatas.

4.5.10. Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April


2001 tentang Penunjukkan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya

4.29
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003 tanggal 3
Juni 2003.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-417/PJ/2001 tanggal 27 Juni


2001 tentang Petunjuk Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya
Pungutan, serta Tata Cara penyetoran dan Pelaporannya. Dikecualikan dari
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah :
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai :
a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar
pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia
dan tidak memegang paspor Indonesia;
c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial atau
kebudayaan.
d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;
e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan;
f. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat
lainnya;
g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
h. Barang pindahan;
i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan
barag kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan;

4.30
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

j. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Daerah yang ditujukan
untuk kepentingan umum;
k. Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan petahanan dan keamanan negara;
m. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
n. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama;
o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran
atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasonal atau perusahaan penangkapan ikan
nasional;
p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional;
q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yag diimpor dan digunakan oleh PT Kereta
Api Indonesia;
r. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara
Nasional Indonesia.
3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata
dimaksudkan untuk diekspor kembali;
4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum,
PDAM dan benda-benda pos;

4.31
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor;
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara;
8. Impor kembali (reimpor) yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

4.6. Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Rangka Meningkatkan


Usaha Dan Investasi Ketenagalistrikan

4.6.1. Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Sebelum 1
Januari 2001

Sesuai ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3, serta Pasal 4A ayat (2)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa semua barang merupakan Barang
Kena Pajak, kecuali barang-barang tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah sebagai jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Pada periode berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, yaitu sejak 1


Januari 1995 sampai dengan 31 Desember 2000, listrik (kecuali untuk perumahan
dengan daya di atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai jenis barang yang tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang


Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999. Dengan demikian, dalam periode ini, Pajak
Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas penyerahan listrik untuk perumahan
dengan daya di atas 6.600 watt.

4.32
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.6.2. Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Setelah 1
Januari 2001 sampai dengan Sekarang

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku


sejak 1 Januari 2001, listrik tidak lagi ditetapkan sebagai jenis barang yang tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, sehingga sejak 1 Januari 2001 listrik merupakan
Barang Kena Pajak.

Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001


tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat
Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (berlaku sejak 1
Januari 2001) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003, listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di
atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis
yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Di samping penetapan listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas


6.600 watt) sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, ditetapkan juga dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 bahwa barang modal berupa mesin dan peralatan
pabrik (baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku
cadang) yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena
Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut
merupakan Barang Kena Pajak tertentu yang atas impor dan atau penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Dengan penetapan ini, maka atas impor dan atau penyerahan barang modal
berupa mesin dan atau peralatan pabrik yang diperlukan secara langsung dalam
proses menghasilkan Barang Kena Pajak berupa listrik, dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam perkembangannya, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 telah


diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2002 tentang Impor dan atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan

4.33
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, barang modal dimaksud tidak lagi
ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas impor dan
atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak 2 Agustus 2002, sehingga atas impor dan
atau penyerahan barang modal untuk industri ketenagalistrikan yang dilakukan
sejak 2 Agustus 2002 terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Namun demikian, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2002 ini


listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) masih ditetapkan
sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pada tahun berikutnya, tepatnya sejak 13 Agustus 2003, diterbitkan dan


diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Penetapan dalam Peraturan Pemerintah ini kembali sebagaimana penetapan


dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, dimana listrik (kecuali untuk
perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak
tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai, dan barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik
yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak
berupa listrik dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

4.6.3. Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan


Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri

Di samping fasilitas perpajakan di atas, proyek-proyek ketenagalistrikan yang


dilakukan dalam rangka Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan atau
dana pinjaman luar negeri diberikan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan
Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

4.34
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Fasilitas tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995


tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam Rangka Proyek
Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 jo.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk
Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan
Pajak Penghasilan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah
atau Dana Pinjaman Luar Negeri, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.04/2000.

Fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang diberikan atas Proyek


Pemerintah tersebut berupa tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas:
a. Impor Barang Kena Pajak;
b. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
c. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean;
d. Penyerahan Barang Kena Pajak; dan atau
e. Penyerahan Jasa Kena Pajak, oleh Kontraktor Utama dalam Proyek Pemerintah
yang seluruh dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri.

Dalam hal Proyek Pemerintah tersebut hanya sebagian saja yang dibiayai
dengan dana atau pinjaman luar negeri, maka fasilitas tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut hanya
berlaku atas bagian dari Proyek Pemerintah yang dananya dibiayai dengan hibah
atau dana pinjaman luar negeri.

4.6.4. Rencana Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Dalam Rangka Meningkatkan


Usaha Dan Investasi Ketenagalistrikan

Dalam Rancangan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, apabila


diperlukan, atas listrik dapat diberikan fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai

4.35
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dengan menggolongkannya sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang atas


penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Demikian juga atas barang modal yang digunakan untuk menghasilkan


Barang Kena Pajak berupa listrik, apabila diperlukan, dapat dikategorikan sebagai
Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impor dan atau
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Berdasarkan uraian di atas, maka insentif perpajakan, khususnya di bidang


Pajak Pertambahan Nilai, yang diberikan atas kegiatan industri ketenagalistrikan
dapat dikatakan telah cukup memadai, baik insentif untuk kepentingan investor
yang melakukan kegiatan di bidang ketenagalistrikan maupun kepada konsumen
atau pengguna tenaga listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600
watt).

4.36
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB V :
KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES
BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA - NEGARA ASEAN

5.1. Kebijakan Insentif Fiskal Di Beberapa Negara

Insentif mengenai ketenagalistrikan di beberapa negara sangat bervariatif sesuai


dengan kondisi perekonomian negara-negara tersebut. Namun secara umum pemberian
insentif sektor ketenagalistrikan di beberapa negara dapat dikelompokkan dalam
bentuk insentif daerah, sektoral, ekspor dan daerah perdagangan bebas, serta dalam
bentuk insentif lainnya.

5.2. Kebijakan Insentif Fiskal Di Malaysia

Secara umum, insentif fiscal di sector ketenagalistrikan di Malaysia dikelompokan


menjadi empat macam insentif, yaitu insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor
dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya.

5.2.1. Kebijakan Insentif Regional

Insentif regional di Malaysia diberikan kepada wilayah-wilayah tertentu yang


memiliki keunggulan komparatif ataupun wilayah yang menjadi prioritas
pembangunan. Salah satu contoh pemberian insentif regional diberikan pada pusat
keuangan internasional di pulau Labuan. Sebagai pusat keuangan internasional,
wilayah ini memberi tax rate kepada perusahaan perdagangan sebesar 3 persen dari
profit atau pada jumlah yang tetap, yaitu sebesar 20.000 ringgit. Perusahaan yang
melakukan kegiatan di luar perdagangan seperti perusahaan pembangkitan listrik
diberi insentif pembebasan pajak.

Perusahaan berstatus pionir terutama di sector ketenagalistrikan diberi insentif


perpajakan secara khusus, yaitu 70 persen dari income-nya dibebaskan dari pajak (untuk
proyek-proyek di bagian timur Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak diberikan
sebesar 85 persen) yang merupakan daerah prioritas pembangunan. Setelah itu, neraca

5.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

keuangannya dikenakan tax rate pendapatan perusahaan. Status pionir ini diberikan
kepada perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha dan menghasilkan produk yang
sedang dipromosikan oleh pemerintah.

Keringanan pajak investasi (Investment Tax Allowance atau ITA) sebesar 60 persen
dapat diperoleh perusahaan yang memenuhi kualifikasi dalam pengeluaran modalnya
selama 5 tahun terhitung sejak disetujuinya keringanan pajak investasi (untuk proyek-
proyek di bagian timur Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak diberikan sebesar
80 persen), salah satunya proyek pembangkit listrik hydro power Bakun di Sarawak.
ITA dapat diberikan sebesar 70 persen dari pendapatan dalam tahun perhitungan pajak.

5.2.2. Kebijakan Insentif Sektoral

Untuk insentif sektoral diberikan bagi perusahaan yang bergerak di sector-sektor


tertentu yang strategis dan menjadi prioritas pembangunan pemerintah. Salah satu
prioritas adalah di sector ketenagalistrikan. Perusahaan yang menetapkan kantor pusat-
nya di Malaysia akan memperoleh pembebasan pajak sebesar 10 persen selama 5 hingga
10 tahun terhadap pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perusahaan yang terkait
dengan kantor atau perusahaan di luar Malaysia.

Insentif juga diberikan kepada proyek-proyek public service seperti tenaga listrik,
transportasi, komunikasi, dan proyek lain yang disetujui oleh Menteri Keuangan
(Approved Service Projects atau ASPs). Insentif yang diberikan berupa pembebasan pajak
penghasilan sebesar 70 hingga 100 persen selama 5 hingga 10 tahun atau bantuan dana
investasi yang nilainya sama dengan 60 hingga 100 persen dari nilai pengeluaran modal
dalam lima tahun sejak disetujui. Bantuan investasi ini nilainya kurang lebih sama
dengan 70 hingga 100 persen dari pendapatan yang resmi.

Perusahaan foreign fund management juga memperoleh pengurangan sebesar 10


persen dari tax rate terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari jasa yang
diberikan kepada investor asing.

5.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pemberian insentif berupa pembebasan pajak penghasilan kepada perusahaan


venture capital (Venture Capital Company atau VCC) bertujuan untuk meningkatkan
keuntungan mereka yang diperoleh dari pembagian atas saham yang dimiliki. Hal ini
didasari bahwa perusahaan venture capital merupakan perusahaan yang terlibat dalam
usaha beresiko tinggi dan bergerak di bidang teknologi baru termasuk teknologi di
bidang ketenagalistrikan yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan
teknologi di dalam negeri.

5.2.3. Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas

Pemerintah Malaysia sedang giat-giatnya meningkatkan ekspor. Termasuk pula


di sektor ketenagalistrikan yang berencana mengekspor kelebihan pasokan tenaga
listriknya dari Malaysia Bagian Timur (Sabah Sarawak) ke Brunei dan Indonesia
(Kalimantan) ataupun dari Malaysia Bagian Barat ke Singapura. Pemberian
pengurangan pajak berganda ditujukan untuk pengeluaran promosi ekspor yang telah
disetujui. Perusahaan-perusahaan dalam negeri dapat meminta pengurangan pajak
berganda ini untuk semua pengeluaran yang terjadi dalam meningkatkan ekspor.

Insentif lain yang dapat diberikan sesuai dengan Undang-undang Peningkatan


Investasi tahun 1986 (Promotion of Investment Act atau POIA) adalah insentif bagi hotel,
industri, infrastruktur termasuk di sektor ketenagalistrikan, ekspor, pendapatan ekspor,
dan pendapatan yang disesuaikan.

5.2.4. Kebijakan Insentif Lainnya

Semua perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur atau kegiatan pertanian


dan belum memperoleh insentif dalam bentuk apapun atas pengeluaran modalnya
sesuai dengan POIA, dapat menerima Reinvestment Allowance (RA) sebesar 60 persen
dari pengeluaran modal yang digunakan untuk pabrik, mesin, bangunan industri
dengan tujuan ekspansi, modernisasi atau diversifikasi.

5.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Seperti halnya ITA, RA memberi keringanan pajak sebesar 70 persen dari


pendapatan perusahaan. Setiap RA yang tidak terserap dapat digunakan untuk tahun-
tahun yang akan datang sampai dapat digunakan secara penuh. Proyek-proyek
berkualifikasi yang terletak di daerah promosi di bagian timur Semenanjung Malaysia,
Sabah, dan Sarawak memperoleh RA hingga 100 persen dari pendapatannya.

5.3. Kebijakan Insentif Fiskal Di Filipina

Sama seperti halnya Malaysia, secara umum insentif fiskal di sector


ketenagalistrikan di Filipina dikelompokan menjadi empat macam insentif, yaitu
insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan
insentif lainnya.

5.3.1. Kebijakan Insentif Regional

Insentif diberikan kepada perusahaan ketenagalistrikan yang berlokasi di daerah


kurang berkembang atau wilayah ekonomi khusus serta menempatkan kantor pusat
dan gudang penyimpanannya di Filipina.

Dewan investasi (Board of Investment atau BOI) menggunakan paket insentif dari
Executive Order 226 untuk mendorong perusahaan-perusahaan menempatkan
ketenagalistrikan kegiatan utamanya di daerah-daerah kurang berkembang. Perusahaan
dengan status pionir memperoleh income tax holiday selama 6 tahun, sedangkan yang
tidak berstatus pionir selama 4 tahun.

Perusahaan ketenagalistrikan yang menempatkan kegiatan utamanya di daerah


kurang berkembang memperoleh income tax holiday selama 6 tahun tanpa
memperhatikan statusnya sebagai perusahaan pionir atau tidak, dan jenis proyeknya,
mendapat tambahan pengurangan pajak pendapatan yang nilainya sama dengan
pengeluaran untuk pembangunan fasilitas infrastruktur utama.

Perusahaan ketenagalistrikan yang berlokasi di luar kawasan ibu kota dan


terdaftar pada atau sebelum tanggal 31 Desember 1994 akan memperoleh insentif jika

5.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

perusahaan tersebut membeli barang modal di dalam negeri. Insentif yang didapat
yaitu tax credit yang nilainya sama dengan pajak pertambahan nilai dan bea masuk yang
dibayar atas impor barang modal. Selain itu juga diberikan tax credit dan duty credit atas
bahan mentah yang digunakan dalam produksi barang ekspor.

Perusahaan tersebut memperoleh pembebasan pajak pertambahan nilai dan bea


masuk atas suku cadang yang diimpor serta pengapalan dan pembongkaran di
pelabuhan, termasuk biaya lain-lainnya.

5.3.2. Kebijakan Insentif Sektoral

Insentif sektoral diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang menjalankan


operasinya di sektor-sektor yang menjadi prioritas pemerintah terutama perusahaan di
bidang infrastruktur termasuk perusahaan ketenagalistrikan. Kesepakatan internasional
dan peraturan-peraturan khusus menyediakan insentif tertentu terhadap kegiatan-
kegiatan khusus, seperti eksplorasi sumber mineral dengan menggunakan teknologi
modern; pembangunan infrastruktur termasuk ketenagalistrikan, penambangan,
penggalian, dan pemrosesan mineral, besi baja, produksi pipa tanpa sambungan,
industri pertanian, publikasi, dan konstruksi. Peraturan-peraturan tersebut memberi
pilihan tarif dari 0 hingga 5 persen.

5.3.3. Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas

Untuk insentif ekspor bagi perusahaan ketenagalistrikan diberikan antara lain


kepada perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada Philippines Economic Zone Authority
(PEZA). Perusahaan-perusahaan tersebut dibebaskan dari pajak-pajak pusat dan
daerah. Sebagai penggantinya, mereka dikenakan pajak final sebesar 5 persen dari
penghasilan bruto yang didistribusikan sebagai berikut : 3 persen kepada pemerintah
pusat, 1 persen kepada pemerintah daerah, dan 1 persen kepada dana pembangunan
khusus (Special Development Fund).

5.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Penghasilan bruto yang dikenakan pajak sebesar 5 persen tidak termasuk biaya-
biaya untuk pembayaran administrasi, manajemen perusahaan, pemasaran, interest dan
financial charges pada barang modal, kerugian akibat transaksi valuta asing, kerugian
akibat penurunan nilai aset, iklan, asuransi, dan biaya pengadaan lain-lain.

5.3.4. Kebijakan Insentif Lainnya

Pemegang hak cipta memperoleh pembebasan bea masuk dan pengenaan biaya
atas impor mesin, perlengkapan dan suku cadang; serta pembebasan pajak penghasilan,
pajak pertambahan nilai, dan cukai terhadap komersialisasi produk-produk yang
diciptakan.

Tenaga kerja asing yang bekerja di kantor perwakilan daerah perusahaan-


perusahaan multinasional dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 persen atas
penghasilan bruto mereka. Kantor perwakilan daerah perusahaan multinasional yang
tidak memperoleh pendapatan di Filipina tidak dikenakan pajak penghasilan, ijin lokal,
bea masuk impor, dan pajak pertambahan nilai.

5.4. Kebijakan Insentif Fiskal Di Singapura

Sama seperti halnya negara lain, secara umum insentif fiskal di sector
ketenagalistrikan di Singapura dikelompokan menjadi beberapa macam insentif, yaitu :
insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya.

5.4.1. Insentif Sektoral

Keringanan tax investment diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang


bergerak di bidang manufaktur atau konstruksi, perusahaan ketenagalistrikan,
penyediaan jasa teknik, kegiatan riset dan pengembangan, pengoperasian proyek
pengurangan konsumsi air minum, atau kegiatan jasa bagi perusahaan berstatus pionir.
Insentif ini diberikan sebagai pengurangan atas pendapatan yang dikenakan pajak
hingga 100 persen dari pengeluaran modal atas bangunan pabrik dan peralatan baru
yang digunakan di dalam negeri. Besarnya keringanan tax investment dapat

5.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dinegosiasikan, dan pengeluaran modal harus terjadi dalam 5 tahun sejak sertifikat
keringanan investasi disahkan oleh Economic Development Board (EDB).

Perusahaan dengan status pionir dapat memperoleh pembebasan pajak


pendapatan selama 5 tahun, dan maksimum hingga 10 tahun untuk kasus-kasus
tertentu yang dapat dinegosiasikan. Pada akhir masa pembebasan pajak tersebut,
perusahaan pionir yang bergerak di bidang jasa dan manufaktur dapat mengajukan
permohonan post-pioneer company incentive. Insentif ini dapat diperpanjang pada
kegiatan usaha yang lain dengan persetujuan Kementerian Perdagangan dan Industri.

Perusahaan yang mengeluarkan modal sedikitnya 10 juta dollar Singapura untuk


aset baru yang produktif dapat mengajukan insentif pengembangan perusahaan
(expanding enterprise incentive). Perusahaan-perusahaan jasa yang berstatus pionir juga
dapat mengajukan insentif ini jika mereka bermaksud meningkatkan jumlah kegiatan
usaha jasanya, tanpa harus mengeluarkan modal untuk aset yang produktif sebesar 10
juta dollar Singapura. Dengan insentif ini, keuntungan dari pengeluaran modal yang
baru dibebaskan dari pajak hingga maksimum 20 tahun.

Pengurangan income tax rate sebesar 10 persen ditawarkan kepada perusahaan


jasa keuangan internasional, termasuk di dalamnya adalah : kantor pusat operasi
kegiatan internasional, pusat perbendaharaan dan keuangan, perusahaan perdagangan
komoditas internasional yang disetujui, perusahaan pelayaran internasional yang
disetujui, perdagangan minyak yang disetujui, dan asuransi internasional.

Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan berikut juga diberikan


keringanan pajak sebesar 10 persen :
• Kegiatan tertentu dari Asian Currency Unit (ACU);
• Kegiatan tertentu dari fund manager yang disetujui;
• Kegiatan tertentu dari security company yang disetujui;
• Leasing internasional pada pabrik dan mesin oleh perusahaan leasing;

5.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

• Transaksi surat-surat berharga tertentu pada pasar uang yang telah ditentukan
dengan pihak-pihak tertentu oleh anggota dari bursa perdagangan surat-surat
berharga yang telah ditentukan;
• Jasa-jasa tertentu yang disediakan oleh agen pemeringkat kredit yang telah
disetujui;
• Perdagangan surat-surat hutang selama periode tertentu.

5.4.2. Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas

Dengan insentif ekspor, 90 persen keuntungan ekspor dibebaskan dari pajak.


Masa pembebasan pajak adalah selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang dengan
persetujuan Kementerian Perdagangan dan Industri.

Perusahaan yang melakukan ekspor dari Singapura lebih dari 10 juta dollar
Singapura untuk produk pabrikan atau lebih dari 20 juta dollar Singapura untuk
komoditi tertentu dapat mengajukan international trade incentive. Dengan insentif ini, 50
persen keuntungan ekspor dibebaskan dari pajak, dan biasanya selama 5 tahun.

Warehouse companies yang menambah pengeluaran sebesar 2 juta dollar


Singapura atau lebih untuk fasilitas penyimpanan dan distribusi barang-barang
pabrikan dengan tujuan ekspor dapat memperoleh pembebasan pajak sebesar 50 persen
dari pendapatan ekspor mereka. Meskipun masa pembebasan pajak dapat
diperpanjang dengan persetujuan EDB, namun tidak dapat melebihi 20 tahun.

5.4.3. Insentif Lainnya

Perusahaan yang menyediakan jasa-jasa tertentu dapat mengajukan


pengurangan pajak berganda terhadap pengeluaran untuk kegiatan riset dan
pengembangan (R&D). Dalam menentukan apakah suatu pengeluaran dapat
memperoleh insentif ini atau tidak, EDB mempertimbangkan beberapa hal, yaitu :
besarnya pengeluaran untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D), tingkat keahlian
dan kualifikasi dari peneliti, serta tingkat kesulitan dari proyek penelitian.

5.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.5. Kebijakan Insentif Fiskal Thailand

Sama seperti halnya di negara lain, secara umum insentif fiskal di sector
ketenagalistrikan di Thailand dikelompokan menjadi empat macam insentif, yaitu
insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan
insentif lainnya.

5.5.1. Insentif Regional

Insentif regional terhadap perusahaan ketenagalistrikan di Thailand diberikan


berdasarkan zone regional yang sesuai dengan prioritas pembangunan pemerintah.
Dewan investasi (Board of Investment atau BOI) bertanggungjawab terhadap pemberian
insentif perpajakan dan memiliki wewenang untuk menentukan pihak-pihak yang
dapat diberi insentif tersebut. BOI memberi beberapa persyaratan bagi industri maupun
proyek yang dapat memperoleh insentif. BOI membagi 3 wilayah pengembangan, yaitu
:
1. Zone 1 yang meliputi 6 propinsi di sekitar Bangkok.
2. Zone 2 yang meliputi 10 propinsi di sekitar Zone 1.
3. Zone 3 yang meliputi propinsi-propinsi lain di wilayah utara, timur laut, dan
selatan Thailand, termasuk Laem Chabang Industrial Estate. Zone 3 dirancang
sebagai Investment Promotion Zone.

Untuk mendorong proyek-proyek ketenagalistrikan di propinsi yang kurang


berkembang, proyek-proyek yang berlokasi di Zone 1 menerima hak-hak istimewa
berupa keringanan pajak yang paling sedikit. Sementara untuk proyek-proyek di Zone 3
menerima hak-hak tersebut paling besar. BOI juga memberikan tambahan insentif bagi
realokasi pabrik-pabrik ke dalam Zone 2 dan 3.

Insentif di Zone 1 :
• Pembebasan pajak pendapatan perusahaan selama 3 tahun bagi
perusahaan-perusahaan yang memiliki proyek ekspor tidak kurang dari 80

5.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

persen total penjualannnya, serta menempatkan pabrik-pabriknya di


kawasan industri atau promoted industrial zones.
• Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin yang digunakan untuk proyek-
proyek baru diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki
proyek ekspor tidak kurang dari 80 persen total penjualannnya, serta
menempatkan pabrik-pabriknya di kawasan industri atau promoted
industrial zones.
• Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk
produk-produk ekspor selama 1 tahun kepada perusahaan-perusahaan
yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri.
Insentif di Zone 2 :
• Pembebasan pajak perusahaan selama 3 tahun dan dapat diperpanjang
hingga 7 tahun bagi perusahaan-perusahaan yang menempatkan pabrik-
pabriknya di kawasan industri atau promoted industrial zones.
• Pengurangan bea masuk impor sebesar 50 persen untuk mesin-mesin yang
digunakan oleh pabrik-pabrik yang ditempatkan di kawasan industri atau
promoted industrial zones.
• Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk
produk-produk ekspor selama 1 tahun kepada perusahaan-perusahaan
yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri.
Insentif di Zone 3 :
• Pembebasan pajak perusahaan selama 8 tahun, dengan perpanjangan
selama 5 tahun dimana selama masa perpanjangan tersebut diberikan
pengurangan pajak pendapatan perusahaan sebesar 50 persen.
• Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin yang digunakan untuk proyek-
proyek yang ditempatkan di kawasan industri atau promoted industrial zones.

5.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

• Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk


produk-produk ekspor selama 5 tahun diberikan kepada perusahaan-
perusahaan yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri.
• Pengurangan bea masuk impor bahan-bahan mentah untuk produk yang
dijual di dalam negeri sebesar 75 persen.
• Pengurangan pajak berganda untuk biaya-biaya air, listrik, dan transportasi
selama 10 tahun terhitung sejak tanggal penjualan pertama.
• Tambahan pengurangan sebesar 25 persen untuk biaya-biaya yang
berhubungan dengan pengembangan fasilitas infrastruktur tertentu yang
terkait dengan proyek-proyek yang ditempatkan di kawasan industri atau
promoted industrial zones.

5.5.2. Insentif Sektoral

BOI (Dewan Investasi) mengidentifikasi proyek-proyek tertentu yang


diprioritaskan, yaitu sistem transportasi utama, fasilitas pelayanan public, sektor
ketenagalistrikan, konservasi dan perlindungan alam, pengembangan teknologi, dan
industri-industri utama. Proyek-proyek tersebut akan diberi insenstif sebagai berikut :
• Pembebasan pajak pendapatan perusahaan selama 8 tahun tanpa memperhatikan
lokasi proyeknya.
• Pengurangan bea masuk impor mesin-mesin di Zone 1 dan 2 sebesar 50 persen.
• Pembebasan bea masuk impor mesin untuk proyek-proyek di Zone 3.

5.5.3. Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas

Selain BOI, Industrial Estate Authority memberi insentif kepada proyek-proyek


yang berlokasi di Export Processing Zones (EPZs). Insentif yang diberikan berupa :
• Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin dan peralatan lainnya.
• Pembebasan bea masuk impor seluruh bahan-bahan mentah.
• Pembebasan pajak pertambahan nilai, cukai, dan biaya-biaya tambahan lainnya.

5.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.5.4. Insentif Lainnya

BOI memberi insentif untuk produk-produk yang dikembangkan melalui


kegiatan riset dan pengembangan (R&D) termasuk riset di bidang ketenagalistrikan.
Tambahan insentif termasuk perpanjangan pembebasan pajak pendapatan perusahaan
selama 3 tahun. Undang-undang Pendapatan (Revenue Code) juga memberi pembebasan
pajak pendapatan perusahaan yang nilainya sama dengan besarnya biaya pengeluaran
untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D).

5.6. Kebijakan Perlistrikan di Thailand

Thailand memiliki 23 Gigawatts kapasitas tenaga listrik pada bulan Januari 2002
yang menghasilkan listrik sekitar 102 juta kwh. Penurunan perekonomian Thailand
sebagai akibat krisis ekonomi yang menimpa beberapa negara di Asia pada tahun 1997
menyebabkan pula penurunan permintaan listrik domestik di Thailand hingga 3 juta
kwh pada tahun 1998. Situasi ini membuat perusahaan listrik milik pemerintah
Thailand (EGAT) merevisi proyeksi permintaan listriknya. EGAT juga menunda
beberapa proyek listrik termasuk pembangunan pembangkit listrik Ratcaburi sebesar
300 MW hingga tahun 2004 (world energy, org).

Sebagai akibat dari pemulihan ekonomi Thailand yang menyebabkan


pertumbuhan ekonomi yang kembali meningkat sehingga permintaan akan listrik juga
meningkat, maka EGAT memutuskan untuk mengurangi cadangan kapasitas listriknya
dari 25 persen menjadi 15 persen pada tahun 2004. Dan sekarangpun pemerintah
Thailand telah kembali melanjutkan proyek-proyek pembangunan pembangkit
listriknya yang tertunda akibat krisis (world energy, org).

Kebijakan pemerintah Thailand dalam ketenaga listrikan antara lain dengan


melakukan privatisasi dan penjualan beberapa pembangkitnya dari EGAT kepada
pihak swasta. Selain itu juga dengan membuka kesempatan bagi Independent Power

5.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik. Salah satunya adalah Tri Energy
yang memulai beroperasi pada tahun 2000 dengan kapasitas 700 MW di Ratchaburi.

Selain itu, untuk terus meningkatkan pemenuhan kebutuhan listrik bagi


warganya, pemerintah Thailand memberikan persetujuan kepada pihak swasta untuk
membangun beberapa pembangkit yang prospektif di seluruh negeri, antara lain Thai
Oil yang membangun pembangkit bertenaga gas di Sri Racha yang berkapasitas 1400
MW. Sedangkan EGAT berencana membangun 4 pembangkit baru pada tahun 2008
antara lain 2 pembangkit di sekitar Bangkok, 1 pembangkit di Chachoengsao di
propinsi sebelah utara Thailand dan 1 pembangkit di Songkla propinsi di sebelah
selatan.

Kebijakan lain yang ditempuh pemerintah Thailand untuk mereformasi sektor


kelistrikannya antara lain dengan rencana pemerintah Thailand untuk memprivatisasi
EGAT (Perusahaan Listrik milik pemerintah) yang masih dalam tahap studi dalam
proses restrukturisasi dan privatisasi. Karena rencana privatisasi awal pada tahun 2004
ditunda karena ada penolakan dari serikat pekerja.

5.7. Kebijakan Perlistrikan di Vietnam

Meskipun tingkat perkapita konsumsi listrik di Vietnam termasuk yang terendah


diantara negara Asia, namun kenaikan permintaan terhadap listrik terus meningkat
dalam beberapa tahun belakangan ini, yang berakibat pada terbatasnya kapasitas
pembangkit di Vietnam. Hal ini disebabkan pertumbuhan yang pesat di sektor industri,
migrasi penduduk ke kota-kota besar, dan peningkatan standar hidup yang
menyebabkan pertumbuhan yang pesat terhadap permintaan listrik. Pada tahun 2002,
kapasitas pembangkit di Vietnam mencapai 8,3 GW yang mengahislkan sekitar 34,5 juta
kwh. Dari total listrik di Vietnam, 60 persennya menggunakan tenaga air (hydropower)
(world energy, org).

Permintaan akan listrik di Vietnam diperkirakan tumbuh 15 hingga 16 persen


pertahun hingga tahun 2010. Saat ini untuk mengatasi kekurangan pasokannya,

5.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Vietnam membeli listrik dari China untuk Vietnam sebelah utara dan berencana pula
untuk membeli listrik dari Laos pada tahun 2008. Pada Desember 2004, pemerintah
Vietnam telah membuat persetujuan untuk membeli listrikdari China sebesar 100 juta
Kwh untuk mengatasi kenaikan permintaan listrik pada tahun 2005.

Kebijakan perlistrikan di Vietnam saat ini adalah berusaha untuk mengurangi


ketergantungan pasokan dari luar negeri terutama dari China dengan terus
membangun pembangkit-pembangkit baru. Antara lain mulai dibangunnya 32 power
stations yang menghasilkan listrik sekitar 7.547 MW sebelum 2010. Selain itu
perusahaan listrik milik pemerintah Vietnam EVN (Electricite of Vietnam) berencana
untuk mentenderkan 16 pembangkit listrik tenaga air pada tahun 2010 dan tambahan 8
pembangkit listrik batubara. Sebagai akibatnya, EVN mengumumkan bahwa pada
tahun 2005, produksi listrik di Vietnam meningkat hampir 20 persen atau sekitar 11.400
MW. Selain itu Vietnam mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia sebesar 220 juta US$
dalam proyek yang bernama Rural Energy yang dirancang untuk menyediakan tenaga
listrik bagi 2,5 juta rumah tangga.

Kebijakan perlistrikan lain di Vietnam untuk terus meningkatkan produksi


listriknya antara lain dengan mengundang investor asing selebar-lebarnya dalam
pembangunan pembangkit listrik. Antara lain dengan sistem Build-Operate-Transfer
(BOT). Proyek BOT tersebut yang sekarang sedang berjalan antara lain kerjasama EVN
dengan Tokyo Electric Power (TEPCO), Sumitomo dan Electricite de France (EdF).
Proyek BOT tersebut dimulai dengan pembangunan konstruksi pembangkit di delta
sungai Mekong yang berkapasitas 715 MW. Untuk menarik investor asing tersebut,
pemerintah Vietnam memberikan kemudahan-kenudahan fasilitas antara lain dengan
sistem BOT dan kerjasama dengan EVN.

5.8. Kebijakan Perlistrikan di Malaysia

Malaysia pada saat ini memiliki sekitar 14 gigawatts kapasitas generator listrik.
86 persen nya merupakan thermal dan 14 persennya merupakan tenaga air. Pada tahun

5.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2002, Malaysia menambah kapasitas tenaga listriknya sekitar 67 juta kwh. Pemerintah
Malaysia berharap tambahan investasi sekitar 9.7 juta $ dalam sektor listrik hingga
tahun 2010. Sebagian besar menggunakan energi batubara. Hal ini sejalan dengan
kebijakan pemerintah Malaysia yang berusaha mengurangi kapasitas tenaga listrik
menggunakan gas alam dengan meningkatkan penggunaan batubara hingga 30 persen
pada tahun 2006 (world energy, org).

Pembangunan proyek listrik panas bumi terbesar di Malaysia adalah proyek


listrik bertenaga batubara sebesar 2100 MW di propinsi Johor. Sedangkan untuk proyek
pembangunan listrik tenaga air terbesar adalah di Sarawak dengan kapasitas 2.4 GW ,
dan 70 persennya akan didistribusikan ke Kuala Lumpur dan sekitarnya dengan
membangun konstruksi kabel sejauh 415 mil di Malaysia Timur, 400 mil kabel bawah
laut dan 285 mil kabel distribusi de semenanjung Malaysia.

Kebijakan perlistrikan di Malaysia antara lain dengan mendivestasi beberapa


unit pembangkit listrik. Tenaga Nasional (perusahaan listrik milikpemerintah Malaysia)
sejak tahun 1999 mulai mendivestasi sejumlah unit pembangkitnya kepada pihak
swasta. Pemerintah Malaysia berharap dapat mencapai pasar listrik yang kompetitif
baik dalam sektor pembangkit, distribusi ataupun transmisi. Tetapi reformasi sistem
kelistrikan di Malaysia masih berada dalam tahap awal, dan proses transisi menuju
pasar kompetitif belum diputuskan. Isu-isu tersebut masih dalam tahap studi karena
masih banyak perbedaan dalam menderegulasi sistem yang berhubungan dengan
kepentingan publik (world energy, org).

5.9. Kebijakan Perlistrikan Filipina

Produksi energi di Filipina terkonsentrasi di sector kelistrikan. Energi panas


bumi masih merupakan sumber listrik terbesar, diikuti oleh tenaga air, gas alam, batu
bara dan minyak. Pemerintah Filipina telah membuat kebijakan mengurangi
ketergantungan terhadap impor minyak dengan merubah sumber energi listriknya dari
minyak menjadi gas alam (ESCAP, United Nations, NY, 2005).

5.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Peristiwa yang paling signifikan dalam industri energi di Filipina pada tahun
belakangan ini adalah penerbitan undang-undang kelistrikan atau Electric Power
Industry Reform Act (EPIRA) pada tahun 2001. Undang-undang ini memiliki 3 fungsi
utama : 1) untuk mengembangkan sumberdaya kelistrikan 2) untuk memangkas biaya
tinggi dari tenaga listrik di Filipina dan 3) untuk meningkatkan investasi asing di
bidang ketenaga listrikan. Langkah yang diambil antara lain dengan mengeluarkan
deregulasi dibidang kelistrikan dan privatisasi dari perusahaan Negara (BUMN) di
sector kelistrikan.

EPIRA mengharuskan National Power Corporation (Napocor) membagi asset-


asetnya yang terintegrasi kedalam sub-sub sector kecil seperti pembangkit, transmisi
dan distribusi dalam rangka mempersiapkan diti untuk diprivatisasi. Hasilnya adalah
dibentuk 2 perusahaan baru yaitu National Transmission Corporation (Transco) dan
Power Sector Assets and Liabilities Management (PSALMco) yang siap untuk
diprivatisasi.

Napocor perlu mentransfer kewajiban untuk membeli tenaga listrik yang telah
ada ke distributor swasta dan juga menegosiasi ulang kontrak-kontrak berharga tinggi.
Karena faktanya bahwa distributor swasta tidak ingin melakukan perjanjian jika tenaga
listrik berada diatas harga pasar. Selain itu Napocor juga memperoleh insentif keuangan
dari pemerintah. Napocor saat ini memiliki utang sebesar 23 miliar US$ dan 9 miliar
US$ perjanjian pembelian tenaga listrik, sehingga pemerintah harus menyediakan dana
hingga 300 juta US$ per tahun untuk terus membuat Napocor beroperasi (world energy,
org).

Dalam rangka membuat penjualan Napocor lebih menarik bagi investor,


pemerintah telah menyerap sebagian utang Napocor dalam jumlah yang signifikan.
Selain itu juga perjanjian pembelian listrik sebesar 9 miliar US$ dengan IPP juga akan
dilepas. Sistem transmisi telah ditransfer ke perusahaan independent (Transco) yang
kemudian akan diprivatisasi. Sesuai dengan undang-undang deregulasi, tidak ada
pembeli potensial tunggal yang diizinkan untuk memiliki lebih dari 30% dari asset

5.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pembangkit di Filipina. Privatisasi Transco ditunda hingga mencapai proposal harga


yang dapat diterima. Permintaan listrik di Filipina diharapkan tumbuh sekitar 9 persen
per tahun selama 10 tahun terakhir ini. Sedangkan pertambahan kapasitas baru listrik
hanya mencapai 10.000 MW sehingga terus memerlukan penambahan kapasitas tenaga
listrik.

5.10. Kebijakan Perlistrikan di India

India sedang berusaha untuk terus meningkatkan pemenuhan kapasitas


listriknya, dimana saat ini penyediaan tenaga listrik masih dibawah jumlah permintaan
atas tenaga listrik. Meskipun hampir sekitar 80 persen penduduk India telah memiliki
akses terhadap listrik, namun keterjaminan pasokan listrik di India masih belum cukup
sebagai akibat peningkatan pembangunan ekonomi di seluruh negeri.

Kebijakan perlistrikan di India dalam rangka meningkatkan kapasitas


penyediaan tenaga listriknya adalah dengan melakukan liberalisasi terhadap investor
asing di sektor kelistrikan terutama dalam membangun Independent Power Producers
(IPP). Sebagai akibat liberalisasi yang di mulai pada tahun 1990an tersebut, maka telah
disetujui puluhan proyek pembangunan kelistrikan.

Namun sebagian proyek-proyek besar masih terganjal persetujuan regulasi


karena kehati-hatian dalam sumber pendanaan. Otoritas listrik di India yaitu Dewan
Listrik India (India State Electricity Board/SEB) masih sangat kurang dalam hal
pendanaan, keuangan dan likuiditas. Hal ini salah satu penyebabnya adalah adanya
penjualan listrik dengan tarif subsidi yang rendah yang tidak menutupi biaya terutama
di sektor pertanian. Selain itu masih besarnya kehilangan distribusi, transmisi tegangan
tinggi dan pencurian listrik membuat SEB berada dalam kesulitan finansial. Namun
sejak SEB menjadi pembeli utama dari proyek=proyek IPP, kesulitan keuangan semakin
dapat diatasi sehingga menjamin ketersediaan pasokan listrik di India.

Kebijakan lain yang tidak kalah menarik adalah pada Juli 1998, pemerintah India
mengumumkan kemudahan peraturan dalam penanaman investasi asing di sektor

5.17
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik. Proposal investasi hingga 15 miliar rupee atau sekitar 350 juta US$ dapat
persetujuan secara otomatis. Namun persetujuan otomatis tersebut hanya berlaku bagi
sektor listrik bertenaga air, batubara, minyak dan gas. Sedangkan untuk tenaga nuklir
harus ada persetujuan lain. Kebijakan tersebut membuat banyak investor menanamkan
modalnya di sektor kelistrikan yang membuat pasokan listrik di India terus meningkat.
Sehingga pemerintah India menetapkan target peningkatan kapasitas sebesar total
100.000 MW selama 10 tahun kedepan (Renewable Resources Based Electricity in Asia, Amit
Kumar, TERI, INDIA).

5.18
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.19
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.20
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.21
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.22
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.23
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.24
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.25
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.26
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.27
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.1.1. Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan1

5.11.a. Pendahuluan
Trend industri listrik di negara berkembang dewasa ini mengalami perubahan
signifikan akibat peningkatan konsumsi. Seiring dengan meningkatnya harga bahan
bakar minyak, maka alternatif lain yang mulai ditempuh adalah penggunaan energi
panas bumi. Pemakaian energi panas bumi atau yang sering disebut "energi hijau",
memberi penghematan pengeluaran bagi negara berkembang.

Dewasa ini sebanyak 71 negara di dunia sudah memanfaatkan energi panas


bumi. Data tersebut menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan dari penggunaan
energi terbarukan tersebut. Pada tahun 1995 hanya 28 negara yang memakai energi
panas bumi dan kemudian bertambah menjadi 58 negara pada tahun 2000.

Diperkirakan kapasitas terpasang dari pemakaian energi panas bumi di seluruh


dunia hingga akhir tahun 2004, mencapai 27.825 Mega Watt Thermal (MWT). Sejak
tahun 2000 tercatat pertumbuhan kapasitas terpasang dari penggunaan panas bumi
mencapai 12,9 persen per tahun, sehingga pada tahun 2004 meningkat hampir dua kali
lipat dibandingkan pada tahun 2000.

Trend penggunaan energi panas bumi yang berkembang pada saat ini,
merupakan isyarat bagi Indonesia mengenai ketatnya persaingan untuk mendapatkan
investasi asing. Indonesia harus berusaha keras agar tak ketinggalan dalam menarik
investor untuk mengeksplorasi cadangan panas bumi yang ada, sebab setiap negara
berkembang berlomba menarik perhatian investor asing.

Partisipasi swasta memang sangat dibutuhkan, karena biaya eksploitasi dan


eksplorasi energi panas bumi tidak murah. Risiko investasi yang sangat tinggi,
membuat para investor membutuhkan iklim investasi yang kondusif dan jaminan harga
penjualan energi yang relatif menguntungkan.

1
Disarikan oleh Makmun dari berbagai sumber.

5.28
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Negara yang saat ini sangat agresif untuk menarik investasi dalam mengelola
panas bumi, antara lain negara China dan Filipina. Kedua negara tersebut, memberikan
insentif yang relatif menarik bagi investor dalam mengembangkan pemanfaatan energi
panas bumi. China yang saat ini sedang bersemangat mengembangkan pemanfaatan
energi panas bumi untuk pembangkit listrik, memberikan insentif pembebasan pajak
hingga delapan tahun dan dihitung setelah lapangan panas bumi sudah mulai
berproduksi. Sementara negara Filipina membebaskan pajak bagi investor panas bumi
hingga enam tahun. Pembebasan pajak itu membuat pemanfaatan energi panas bumi
untuk pembangkit listrik cukup berkembang di Filipina hingga 1.930,89 Mega Watt
energi (MWe).

Sementara kondisi di Indonesia, pajak untuk pengembangan lapangan panas


bumi jika ditotal bisa mencapai 43 persen. Selain itu, pajak sudah berlaku sejak investor
sudah melakukan kegiatan eksplorasi. Masalah iklim investasi di Indonesia juga tidak
menarik, karena harga energi panas bumi tidak kompetitif dengan BBM yang
bersubsidi, dan rendah dukungan politik untuk penggunaan energi terbarukan di
Indonesia.

Apabila Indonesia tidak melakukan perbaikan terhadap iklim investasi di sektor


pengembangan panas bumi, maka dipastikan akan kesulitan untuk bersaing dalam
merebut investasi panas bumi. Hal itu karena perusahaan yang bermain di sektor panas
bumi tidak banyak dan dengan dana yang terbatas, sehingga setiap negara harus saling
berebut.

5.11.b. Kondisi Indonesia


Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan panas bumi terbesar di
dunia, yakni setara dengan 27.000 Megawatt (MW) atau 40 persen dari cadangan panas
bumi dunia. Tetapi pemanfaatan cadangan panas bumi Indonesia masih sangat minim,
yakni hanya 800 MW atau sekitar empat persen dari total cadangan 20.000 MW. Bahkan,
target pemerintah untuk pemanfaatan energi panas bumi hingga tahun 2006

5.29
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diperkirakan hanya akan bertambah 200 MW menjadi 1.000 MW. Sementara target
hingga tahun 2020 hanya akan meningkat menjadi 6.000 MW.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro optimis,


investor sudah mulai memberikan perhatian serius kepada pengembangan
pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia. Hal itu terkait dengan kebijakan harga
BBM di Indonesia yang telah membuat harga listrik dari pembangkit listrik tenaga
panas bumi menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan pembangkit listrik yang
menggunakan BBM.

Rencana pengembangan energi panas bumi di Indonesia, sejalan dengan


kebijakan energi nasional untuk mengembangkan energi terbarukan. Indonesia
memiliki cadangan energi panas bumi yang cukup besar. Namun hingga kini belum
banyak investor yang melirik untuk memanfaatkan energi terbarukan ini. Untuk itu
pemerintah perlu kiranya memberikan insentif yang menarik. Perhatian komunitas
panas bumi internasional sebenarnya sudah sangat besar terhadap Indonesia. Hal itu
terbukti dengan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan World
Geothermal Congress 2010 dengan menyisihkan negara Iceland sebagai produsen energi
panas bumi terbesar di dunia pada saat ini.

Di Indonesia, sumberdaya energi sebagai pendorong kesejahteraan masyarakat


dicapai melalui dua peran, yaitu fungsinya sebagai sumber energi pendorong
pembangunan dan industrialisasi serta fungsinya sebagai sumber devisa. Dengan
demikian, keberlanjutan peran sumberdaya energi sebagai pendorong kesejahteraan
masyarakat diukur dari keberlanjutan perannya sebagai sumber energi dan sebagai
penghasil devisa.

Kebijakan ”energi hijau” yang dicanangkan Pemerintah melalui Departemen


Energi dan Sumberdaya Mineral akhir Desember 2003 menunjukkan bahwa energi
alternatif, khususnya energi terbarukan, merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dalam perencanaan dan pengembangan energi nasional. Sehingga dalam perjalanannya

5.30
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

peran energi terbarukan diarahkan untuk dapat berfungsi sebagai penggerak roda
ekonomi dan penghasil devisa.

5.11.c. Energi terbarukan sebagai penggerak roda ekonomi


Pembangunan sektor energi dengan tugas utama sebagai alat untuk
menanggulangi kemiskinan tidak hanya diamanatkan oleh KTT Bumi (WSSD) di satu
sisi, di sisi lainnya merupakan hal utama bagi Indonesia karena alasan pemerataan
pembangunan dan memajukan desa-desa sebagai kekuatan baru bagi ekonomi nasional.
Hal yang patut disyukuri oleh Bangsa Indonesia adalah potensi energi terbarukan yang
melimpah dan tersebar seperti mikro hidro, tenaga angin, tenaga surya, dan biomassa,
umumnya berada di pedesaan atau bahkan daerah terpencil, di seluruh kepulauan
nusantara.

Beberapa alasan mendasar bagi penyediaan energi terbarukan bagi masyarakat


pedesaan dan daerah terpencil antara lain karena (a) lokasi sumberdaya energi
terbarukan umumnya berada di pedesaan dan desa terpencil, (b) penyediaan energi
konvensional di daerah ini memerlukan biaya tinggi (terutama karena biaya distribusi
yang relatif tinggi), (c) mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan (d)
pemanfaatan energi terbarukan tidak hanya untuk menyediakan energi bagi keperluan
rumah tangga akan tetapi juga untuk menambah penghasilan rumah tangga dengan
memperkenalkan dan mengimplementasikan kegiatan-kegiatan atau usaha untuk
menambah penghasilan.

Melimpahnya sumberdaya energi terbarukan selain memiliki fungsi strategis


sebagai security of supply karena keterbatasan sumberdaya energi primer yang berasal
dari fossil, juga akan berfungsi sebagai precursor bagi kegiatan ekonomi pedesaan.
Dengan arahan yang tepat bagi pemanfaatan energi di desa maka diharapkan banyak
usaha atau kegiatan produktif yang muncul guna meningkatkan perekonomian rumah
tangga dan desa.

5.31
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Tabel 5.6. :
Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity

No Negara Insentif Fiskal


• Income tax exemption from 3-5 years
• Accelerated depreciation of the cost of installing or
constructing facilities
1 Thailand • Approval for remittance of money in foreign
currency
• Exemption from reduction of import duties on
equipment and machinery
• Pembebasan pajak hinggan 6 tahun
• Income tax holidays
• Exemption from taxes and duties on imported spare
2 Philippines
parts
• Exemption from wharfage dues and export tax,
duty, import and fees
• Exemption from excise duty
• Low import tariffs for capital equipment and most of
3 India
the materials and components
• Depreciation allowances for capital equipment
• Pembebasan pajak sampai dengan 8 tahun.
4 China
• Pengenaan pajak dihitung setelah berproduksi
Sources : Amit Kumar “ Renewable Resources Based Electricity in Asia” TERI, India, 2004.

5.32
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB VI
ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL
DI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN

6.1 . Program Penyediaan Tenaga Listrik Periode 2004-2013

6.1.1. Rencana Pengembangan Pembangkit Di Jawa, Madura dan Bali


Perencanaan sistem pembangkit Jawa, Madura dan Bali (Jamali) disusun
dengan menggunakan program WASP yang bertujuan untuk mendapatkan
konfigurasi pengembangan pembangkit yang memenuhi kriteria kenadalan tertentu
dengan total biaya pengembangan termurah dalam suatu kurun waktu periode
perencanaan. Adapun jenis pembangkit yang dipertimbangkan untuk rencana
pengembangan adalah PLTU Batubara 600 MW, PLTGU LNG 750 MW, PLTG BBM
200 MW dan PLTA Pumped Storage unit 250 MW.

Berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2004-2013 Jawa, Madura


dan Bali, komposisi produksi energi listrik menurut jenis energi primer, pangsa
batubara tetap mendominasi energi primer lainnya, yaitu 48% pada tahun 2013.
Panas bumi dan air mengalami penurunan secara perlahan peranannya. Sedangkan
produksi energi listrik dari gas bumi mengalami peningkatan.

6.1.2. Rencana Pengembangan Pembangkit Di Luar Jawa, Madura dan Bali


Untuk memenuhi kebutuhan sampai tahun 2013, diperlukan tmabahan
kapasitas pembangkit sekitar 6.161 MW (termasuk commited dan on going project)
dengan perincian 5.338 MW proyek PLN dan 823 MW proyek swasta dan
Pemerintah daerah (Pemda).

Tambahan kapasitas pembangkit rata-rata per tahun mencapai 600MW,


sementara pertambahan kebutuhan beban puncak sekitar 420 MW (beban puncak
pada tahun 2003 adalah sebesar 4.237 MW dan tahun 2013 diperkirakan beban
puncak sekitar 8.391 MW atau pertambahan beban puncak sekitar 4.200 MW).

6.1.3. Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa, Madura dan Bali

6.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dalam periode 2004-2013,pengembangan sistem penyaluran di sistem Jamali
berpedoman pada pengembangan dengan sistem tegangan 500 kV dan 150 kV.
Sedangkan sistem tegangan 70 kV diusahakan untuk tidak dikembangkan lagi atau
tetap dipertahankan pada sistem yang pertumbuhan listriknya tidak lagi begitu
pesat.

Pada dasarnya pengembangan sistem penyaluran dapat dikelompokkan


menjadi beberapa kelompok pengembangan, antara lain kelompok sistem growth,
realibility, improvement dan debottlenecking serta kelompok sistem penyaluran terkait
dengan pembangkit baru.

Pengembangan sistem penyaluran di sistem Jamali untuk 10 tahun ke depan


tidak banyakbmerubah teknologi jaringan yang merupakan hasil dari program yang
sdeang berjalan saat ini. Pengembangan sistem penyaluran terutama disebabkan
oleh kelompok sistem growth dan debottlenecking. Khususnya pengembangan sistem
500 kV di Jawa-Bali, tidak ada perubahan yang berarti sesuah beroperasinya jalur 500
kV bagian selatan. Dalam periode 2004-2013 diperlukan tambahan fasilitas transmisi
dan gardu listrik sebanyak 5.837 Kms dan 31.826 MVA.

6.1.4. Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa, Madura dan Bali


Secara umum pengembangan sistem penyaluran hingga tahun 2013 tidak
akan banyak mengubah topologi jaringan. Pengembangan lebih banyak dilakukan
untuk ememenuhi pertumbuhan dalam bentuk penambahan kapasitas trafo.
Pengembangan untuk meningkatkan reliability dan debottlenecking hanya terdapat
pada beberapa sistem, antara lain rencana pembangunann sirkit kedua pada
beberapa ruas trasmisi di sistem Sumbagut, sistem Kaltim Suluttenggo dan Kalsel.

Rencana pengembangan sistem penyaluran hingga tahun 2013


diproyeksikan sebesar 5.352 MVA untuk pengembangan Gardu Induk (150 kV dan
70 kV) serta 4.184 kmr pengembangan jaringan transmisi.

6.1.5. Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura dan Bali


Kebutuhan fisik distribusi untuk mengantisipasi perubahan penjualan energi
listrik dapat diproyeksikan sampai tahun 2013 membutuhkan tambahan jaringan

6.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
tegangan menengah 51.702 Kms, regangan rendah 78.712 Kms dan kapasitas trafo
distribusi 11.681 MVA.

6.1.5. Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa, Madura dan Bali


Perkiranaan kebutuhan fisik dapat diukelompokkan dalam beberapa jensis,
yaitu: 1) kebutuhan fisik perluasan sistem distribusi untuk mengantisipasi
pertumbuhan sales, 2) kebutuhan fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan
kehandalan (realibility), 3) kebutuhan fisik untuk meningkatkan kualitas pelayanan
tenaga listrik pada pelanggan (power quality), 4) kebutuhan fisik untuk reahabilitasi
jaringan, 5) kebutuhan fisik untuk menurunkan susut teknis jaringan, dan 6)
kebutuhan fisik untuk perbaikan sarana pelayanan.

Dengan pendekatan seperti di atas, kebutuhan fisik sistem distribusi seluruh


PLN luar Jawa hingga tahun 2013 adalah sebesar 47.812 kms jaringan tegangan
menengah, 52.624 kms jaringan tegangan rendah. Disamping itu juga terdapat
tambahan kebutuhan trafo distribusi sebesar 4.343 MVA.

6.2. Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi


Sejalan dengan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2004-2013, kebutuhan
dana untuk penyediaan tenaga listrik dibedakan antara Jawa, Madura dan Bali dan
luar Jawa, Madura dan Bali.

6.2.1. Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali


Kebutuhan investasi dibedakan menjadi tiga, yaitu untuk pembangkitkan,
sistem penyaluran dan sistem distribusi, al :
a. Untuk memenuhi kebutuhan investasi di sisi pembangkit sampai dengan tahun
2013 diperkirakan mencapai US$ 6.513,8 juta. Kebutuhan pendanaan ini diluar
pembangkit yang akan dibangun oleh swasta, yaitu PLTU Tanjung Jati dan
PLTU Cilacap.
b. Untuk sistem penyaluran dari tahun 2004-2013 pendanaan yang diperlukan
adalah US$ 2.321,8 juta (tidak termasuk SCADA dan Telekomunikasi)
c. Untuk rencana pengembangan distribusi untuk perluasan jaringan tegangan
menengah dan tegangan rendah, namanbah travo distribusi dansambungan

6.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
pelanggan baru, dalam waktu yang sama diperkirakan dibutuhkan pendanaan
sebesar US$ 3.808,9 juta.

6.2.1. Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura dan bali


Kebutuhan investasi pembangkit, sistem penyaluran dan distribusi untuk luar
Jawa, Madura dan Bali dalam periode 2004-2013 diperkirakan mencapai US$ 5.796
juta atau rata-rata per tahun mencapai US$ 600 juta selama sepuluh tahun.
Kebutuhan investasi ini tidak termasuk on going dan committed project pembangkit.
On going didefinisikan sebagai projek PLN/IPP dalam pelaksanaan, sedangkan
committed project adalah proyek PLN yang sudah memperoleh pendanaan dan
proyek IPP yang sudah memperoleh PPA.

Persentase biaya pembangkit, penyaluran dan distribusi masing-masing


adalah 61%, 15% dan 24%. Artinya system masih bertumbuh, belum mengalami
kejenuhan, karena cirri system yang sudah jenuh adalah biaya distribusi jauh lebih
besar dari pembangkit dan tranmisi.

6.3. Insentif fiskal yang berlaku saat ini Bagi Industri Ketenagalistrikan dan
Kebutuhan Ke Depan
Seperti halnya jenis industri lain, industri listrik mempunyai kewajiban untuk
membayar berbagai jenis pajak dalam melakukan aktivitasnya, baik berupa pajak
pusat maupun pajak/retribusi daerah seiring dengan bergulirnya era otonomi
daerah. Jenis pajak yang harus dibayar, antara lain pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak
bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB),
pajak lainnya (bea meterai), dan bea masuk.

Peranan industri listrik dalam mendukung pembangunan nasional sangatlah


besar karena listrik bisa dikatakan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi
keberlangsungan terciptanya output produksi yang pada akhirnya akan bermuara
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan
perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing industri di Indonesia,
Pemerintah telah memberikan beberapa fasilitas perpajakan bagi industri
ketenagalistrikan, baik berupa fasilitas penangguhan maupun pembebasan pajak,

6.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
mulai dari sisi pembangkit hingga penjualan. Fasilitas tersebut disesuaikan dengan
UU Perpajakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar perpajakan (simplicity,
fairness, certainty, and competitiveness).

6.3.1. Kebijakan Insentif Pajak Yang Berlaku Saat Ini


Dalam subbab ini pembahasan akan dijabarkan dalam rangkaian tiap jenis
pajak dengan mengacu pada dasar hukum yang masih berlaku, yaitu PPN/PPnBM
dan PPh.

A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
PPN adalah pajak yang dikenakan pada nilai tambah dari barang dan jasa yang
diperjualbelikan. Dasar hukum yang masih berlaku hingga saat ini, antara lain :
(i) Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2000, (ii) Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 46 Tahun 2003, (iii) PP Nomor 25 tahun 2001, (iv) Keputusan Menteri
Keuangan (KMK) Nomor 371/ KMK.03/2003, dan (v) KMK Nomor 486/
KMK.04/2000.

1. UU Nomor 18 Tahun 2000


Menurut UU ini pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena
Pajak, kecuali barang-barang tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah sebagai jenis barang yang tidak dikenakan PPN.
Didalam pasal 4 yang termasuk obyek PPN adalah :
- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam Daerah Pabean (DP) yang
dilakukan oleh pengusaha
- Impor BKP
- Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) didalam DP yang dilakukan oleh
pengusaha
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar DP didalam DP
- Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak
Sementara itu dalam pasal 4A ayat 2 jo PP Nomor 144 Tahun 2000 pasal 1,
disebutkan jenis barang yang tidak dikenakan PPN, yaitu :
- barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya

6.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
- barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam)
- makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, dan
- uang, emas batangan, dan surat-surat berharga

2. PP Nomor 46 Tahun 2003


PP ini merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 12 Tahun 2001 tentang
Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Bersifat
Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN, dimana listrik (kecuali
untuk perumahan dengan daya diatas 6600 watt) ditetapkan sebagai barang
kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN, dan barang modal berupa mesin dan
peralatan pabrik yang diperlukan secara langsung dalam proses
menghasilkan barang berupa listrik dibebaskan dari pengenaan PPN
(dalam pasal 1 dan 2).

Pengusaha Kena Pajak yang mengimpor dan/atau menerima penyerahan


Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis diwajibkan mempunyai
Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak (KMK Nomor 371/KMK.03/2003 pasal 5 ayat 1).
Fasilitas ini dimaksudkan untuk mendorong perkembangan dunia usaha
dan meningkatkan daya saing dengan menjamin tersedianya barang-barang
yang bersifat strategis. Fasilitas ini ditujukan kepada industri
ketenagalistrikan yang bergerak di bidang pembangkit.

3. PP Nomor 25 tahun 2001 jo KMK Nomor 239/ KMK.01/1996 (diubah dengan


KMK Nomor 486/ KMK.04/2000)
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari PP Nomor 42 Tahun 1995
tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam Rangka
Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar
Negeri. Fasilitas yang diberikan berupa tidak dipungut PPN/PPnBM atas

6.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
- Impor barang kena pajak,
- Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean,
- Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean,
- Penyerahan barang kena pajak, dan atau
- Penyerahan jasa kena pajak.

Fasilitas tersebut diberikan kepada investor ketenagalistrikan yang


bertindak sebagai kontraktor utama dalam proyek pemerintah yang
dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, sementara
apabila hanya sebagian saja yang dibiayai maka fasilitas tersebut hanya
berlaku atas bagian dari proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah
atau dana pinjaman luar negeri.

Yang termasuk proyek pemerintah adalah proyek yang tercantum dalam


DIP atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP termasuk proyek yang
dibiayai dengan Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP)/Subsidiary Loan
Agreement (SLA). Sedangkan kontraktor utama adalah kontraktor,
konsultan, dan pemasok (supplier) yang berdasarkan kontrak melaksanakan
proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar
negeri, termasuk tenaga ahli dan tenaga pelatih yang dibiayai dengan hibah
luar negeri.

Jadi dalam fasilitas ini terdapat 2 kategori yaitu (i) dibebaskan dari pengenaan
PPN berupa penyerahan listrik dan impor atau penyerahan barang modal
untuk menghasilkan listrik dan atau BKP lainnya, dan (ii) tidak dipungut
PPN/PPnBM (impor BKP, pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud dari luar DP,
penyerahan BKP/JKP).

Dalam RUU Perpajakan apabila diperlukan maka akan dimasukkan ketentuan


bahwa : listrik ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN, dan barang modal berupa mesin dan
peralatan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis yang
atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.

6.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
B. Pajak Penghasilan (PPh)

Fasilitas pajak penghasilan yang diberikan tidak secara spesifik menyebutkan


untuk industri tertentu (misalnya industri ketenagalistrikan). Fasilitas yang
diberikan antara lain :

1. UU Nomor 17 tahun 2000


Didalam pasal 31A ayat 1 kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman
modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu
dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk :
a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen)
dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun; dan
d. Pengenaan pajak penghasilan atas dividen sebesar 10% (sepuluh persen),
kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku
menetapkan lebih rendah;

Didalam pasal 31B ayat 1 dinyatakan bahwa Wajib Pajak yang melakukan
restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk
Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik
dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan
yang terutang atas : (a) pembebasan utang; (b) pengalihan harta kepada
kreditur untuk penyelesaian utang; dan (c) perubahan utang menjadi
penyertaan modal;

2. PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas PPh untuk Penanaman Modal di
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-daerah Tertentu.
PP ini merupakan penegasan dari UU Nomor 17 tahun 2000. Yang
dimaksud dengan bidang-bidang usaha tertentu adalah bidang-bidang
usaha di sektor-sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi
dalam skala nasional khususnya dalam rangka peningkatan ekspor.

6.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Sedangkan daerah-daerah tertentu adalah daerah terpencil yaitu daerah
yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi
keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit
dijangkau oleh transportasi umum, termasuk daerah perairan laut yang
mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya
memiliki cadangan mineral termasuk gas bumi.

Bagi wajib pajak yang telah memperoleh fasilitas atas kegiatan usaha di
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) tidak lagi diberikan
fasilitas ini.

3. KMK Nomor 571/KMK.04/2000


Bagi wajib pajak badan dalam negeri berbentuk Perseroan Terbatas yang
melakukan penanaman modal baru atau perluasan di bidang-bidang usaha
tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

Untuk memperoleh fasilitas ini, wajib pajak wajib menyampaikan


permohonan kepada Menteri Keuangan dengan dilampiri Surat Persetujuan
Penanaman Modal dan setelah mendapatkan keputusan dari Menteri
Keuangan, wajib menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan dan
Triwulanan Realisasi Penanaman Modal yang telah diaudit.

4. PP Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan kepada


Wajib Pajak yang Melakukan Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga
Khusus yang Dibentuk Pemerintah.
Restrukturisasi utang usaha yang dimaksud adalah :
a. Pembebasan utang (hair cut); Pajak Penghasilan yang terutang atas
keuntungan karena pembebasan utang (hair cut) yang diperoleh debitur
dibebaskan sebesar 30%
b. Pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang (debt to
asset swap); Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang
diperoleh debitur atau pihak ketiga karena pengalihan harta kepada
kreditur (debt to asset swap) untuk penyelesaian utang dibebaskan

6.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta
pihak yang mengalihkan.
c. Perubahan utang menjadi penyertaan modal (debt to equity swap); Pajak
Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau
kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur
pada perusahaan debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun
melalui pihak ketiga, dibebaskan sepanjang penyertaan modal tersebut
dinilai sebesar nilai buku utang pihak debitur

Fasilitas ini diberikan untuk debitur yang telah menyelesaikan


restrukturisasi utang usaha dalam tahun pajak 2000, 2001, 2002 dan
berdasarkan rekomendasi Ketua Komite Kebijaksanaan Sektor Keuangan
(KMK Nomor 113/KMK.03/2001).

5. PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan


Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).
Menurut pasal 1disebutkan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan
usaha di dalam KAPET diberikan perlakukan PPh yaitu :
a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah penanaman modal yang dilakukan;
b. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan atau amortisasi yang
dipercepat
c. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai paling lama 10 (sepuluh) tahun;
d. Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen yang dibayarkan kepada
Subyek Pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang
lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
berlaku.
Pemberian fasilitas ini diperkuat dengan KMK Nomor 11/KMK.04/2001

6. PP Nomor 25 Tahun 2001


Didalam pasal 3 disebutkan bahwa Pajak Penghasilan yang terhutang atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan

6.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah
dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah.Fasilitas
ini diberikan dalam rangka untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

7. KMK Nomor 486/KMK.04/2000 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak
Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan
Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri
Berdasarkan pasal 4 ayat 2 Pajak Penghasilan yang terutang oleh Kontraktor,
Konsultan dan Pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek
Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri, ditanggung oleh
Pemerintah

8. KMK Nomor 113/KMK.03/2002 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan


Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap
PPh sebesar 20% dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak atas
Bentuk Usaha Tetap tidak dikenakan terhadap penghasilan apabila
penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat:
a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak
setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal
pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau
selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima
atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling
sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat
penanaman dilakukan berproduksi komersial.

Apabila penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar
pengenaannya adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan

6.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak
Penghasilan yang bersifat final

9. KMK Nomor 466/KMK.04/2000 jo Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-


213/PJ./2001
Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai di tempat kerja dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja atau perusahaan dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai.

Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang


merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan
dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan
kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan
merupakan penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di
daerah terpencil

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang


diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sarana dan fasilitas di
Iokasi bekerja untuk :
a. Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya,
sepanjang di Iokasi bekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang
dapat disewa;
b. Pelayanan kesehatan, sepanjang dilokasi bekerja tersebut tidak ada
sarana kesehatan;
c. Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja
tersebut tidak ada sarana pendidikan yang setara;
d. Pengangkutan bagi pegawai di Iokasi bekerja, sedangkan
pengangkutan anggota keluarga dari pegawai yang bersangkutan
terbatas pada pengangkutan sehubungan dengan kedatangan pertama
ke Iokasi bekerja dan kepergian pegawai dan keluarganya karena
terhentinya hubungan kerja;

6.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
e. Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating
dan pacuan kuda, sepanjang di Iokasi bekerja tersebut tidak tersedia
sarana dimaksud.

10. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak


Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan.
Biaya-biaya tersebut antara lain :
a. Biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui
penyusutan aktiva tetap kelompok I
b. Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon
seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai
tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai
biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya
berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun
pajak yang bersangkutan.
c. Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus,
minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan
untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai
biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II
d. Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau
yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar
jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya
perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
e. Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan
atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk
pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan
sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui
penyusutan aktiva tetap kelompok II

6.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
f. Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin
dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Biaya-biaya tersebut diatas tidak merupakan penghasilan bagi para pegawai


perusahaan yang bersangkutan.

11. KMK Nomor 236/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan


Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya
Didalam pasal 3 ayat 1a, yang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22
adalah impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan

6.4. Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004 - 2007


Selama ini PT. PLN mengandalkan sumber dana Investasi dari concessional
loan yaitu berasal dari lenders lembaga-lembaga keuangan dunia (baik lembaga
bilateral maupun multilateral) berupa penerusan pinjaman luar negeri Pemerintah
kepada PT. PLN.

Namun pola pendanaan tersebut sudah tidak banyak diharapkan pada masa
yang akan datang khususnya untuk pengembangan pembangkit berskala besar,
karena adanya keterbatasan dalam liability Pemerintah dalam membuat pinjaman
baru dan atau adanya perubahan kebijakan pada lenders.

Berdasarkan hasil studi kapasitas pinjaman baru yang disusun oleh PT. PLN
(2002), telah menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyerap pinjaman
baru masih relatif besar, yakni dapat mencapai ± Rp 80,0 triliun untuk periode waktu
5 tahun ke depan dengan tingkat debt service yang cukup. Meskipun demikian,
kondisi tersebut belum membawa dampak positif bagi datangnya investasi baru
kepada PT. PLN.

6.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Berdasarkan perhitungan, kebutuhan dana investasi untuk memenuhi
permintaan tenaga listrik di sistem Jawa – Bali dan sistem luar Jawa – Bali selama
lima tahun dengan skenario terbatas adalah US$ 5,779 juta (fixed asset). Kebutuhan
dana investasi tersebut dipergunakan untuk pembangungan sarana pembangkitan,
transmisi dan distribusi.

Tabel 6.1. :
Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003 – 2007
(Fixed Asset – US$ Juta)

No Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah

1 Jamali 239.1 647.7 635.9 613.1 1,471.1 3,606.9

2 Luar Jamali 282.6 576.9 478.4 469.7 364.5 2,172.1

Indonesia 521.7 1,124.6 1,114.3 1,082.8 1,835.6 5,779.0


Sumber : RKAP PT. PLN (Persero).

6.5. Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan


6.5.1. Potensial Loss Terhadap Penerimaan Negara

Fasiltas investasi yang diberikan kepada kegiatan investasi di sektor tenaga


listrik utamanya berupa pembebasan PPN, PPh Pasal 22 atas impor dan bea masuk.
Dengan anggapan bahwa tarif PPN adalah 10 persen, tarif PPh Pasal 22 atas impor
sebesar 2,5 persen dan tarif bea masuk sebesar 5 persen, maka untuk investasi
sebesar Rp 80,6 triliun selama lima tahun. Bersadarkan kondisi tersebut, secara bruto
potensial loss yang akan ditanggung Pemerintah dari pajak :

Tabel 6.2. :
Potensial Loss Sektor Pajak
Yang Ditanggung Pemerintah Selama Lima Tahun

Tarif Nilai Investasi Potensial Loss


No Sektor Pajak
(%) (Rp Triliun) (Rp Triliun)
1 PPN 10,0 84,63 8,46
2 PPh Pasal 22 2,5 84,63 2,12
3 Bea Masuk 5,0 80,60 4,03
Jumlah 14,61

6.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Namun potensial loss aktual yang ditanggung Pemerintah sebesar Rp 12,49


triliun (Rp 14,61 – Rp 2,12 triliun), karena pengenaan pajak untuk PPh Pasal 22 dapat
dikreditkan pada akhir tahun pajak dan tidak dicatat sebagai potensial loss.

6.5.2. Kenaikan Pendapatan Domestik Bruto (PDB)

Kenaikan PDB disebabkan oleh meningkatnya investasi dan kelangsungan


produksi ekonomi sebagai akibat tidak matinya listrik. Dari beberapa studi diperoleh
gambaran bahwa setiap kenaikan pasokan listrik sebesar 1 persen akan membawa
kenaikan PDB sebesar 0,67 persen. Kenaikan PDB tersebut, selain sebagai dampak
meningkatnya investasi di bidang ketenagalistrikan itu sendiri, dan juga sebagai
akibat dari meluasnya kegiatan usaha karena mudahnya mendapatkan tenaga listrik.
Dengan demikian, terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik pada akhirnya akan
membawa peningkatan pendapatan masyarakat.

Terkait dengan produk nasional perlu kiranya disampaikan bahwa


dibeberapa negara, tenaga listrik digolongkan sebagai jasa kebutuhan nasional,
sehingga matinya aliran listrik dikategorikan sebagai bencana nasional. Hal tersebut
tidak mengherankan, apabila matinya aliran listrik dapat mengganggu kelancaran
proses produksi. Selain itu, tidak kontinyu aliran listrik dapat merupakan alasan
pokok bagi investor untuk tidak menanamkan investasinya di suatu negara.

6.5.3. Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat

Ketersediaan lisrik yang semakin terjamin akan meningkatkan kesejahteraan


masyarakat (sosial welfare). Ketersediaan jasa tenaga listrik yang bisa diperoleh secara
mudah akan berdampak pada meningkatnya kemudahan pemenuhan berbagai
kebutuhan yang memerlukan tenaga listrik. Hal tersebut bermuara pada naiknya
tingkat kepuasan pelanggan maupun masyarakat luas.

6.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan
Dewasa ini penggunaan energi, khususnya listrik, di dalam perekonomian
nasional mengalami peningkatan sangat pesat yang tercermin dari jumlah
permintaan total masyarakat Indonesia akan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun
2004 dan diproyeksikan sebesar 37,9 GW tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan
permintaan akan listrik sebesar 8 – 10% per tahun.

Namun, produksi listrik dari PT. PLN belum dapat mengimbangi tingginya
permintaan masyarakat akan listrik tersebut. Jumlah pasokan energi listrik yang
diproduksi PT. PLN hanya 18,0 GW tahun 2004 sehingga dalam tahun tersebut
terjadi kekurangan (gap) pasokan listrik sebesar 6,3 GW. Dengan kata lain, kondisi
permintaan lebih besar dari pada pasokan listrik tersebut dapat mengakibatkan
krisis energi listrik di tanah air.

Munculnya gap pasokan listrik ini sebesarnya menandakan suatu kondisi


dimana tidak berkembangnya kegiatan investasi di bidang infrastruktur
ketenagalistrikan, yaitu di sektor pembangkitan, transmisi dan distribusi. Karena
secara umum sejak krisis ekonomi mulai berlangsung tahun 1997, telah
menunjukkan penurunan realisasi investasi mencapai 50% bahkan nilai persetujuan
proyek PMA merosot 96% dibandingkan PMDN selama tahun 2001, meskipun dari
segi jumlah proyek naik 50%. Dan tidak ada foreign direct investment (FDI) yang
masuk ke Indonesia semenjak tahun 1997 sehingga Pemerintah masih membutuhkan
pinjamanan luar negeri untuk mendanai proyek – proyek ketenagalistrikan.

Beberapa faktor yang dituding sebagai penyebab terjadinya penurunan


investasi di dalam negeri sehingga menurunkan minat investor untuk menanamkan
modal, antara lain :
a. Instabilitas politik dan keamanan yang disebabkan oleh perseteruan di antara elit
politik, kerusuhan atau kekerasan yang berbau SARA, timbulnya aspirasi ke
arah disintegrasi bangsa, dan meningkatnya tingkat kriminalitas.

7.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
b. Banyaknya kasus demonstrasi / pemogokan di bidang perburuhan atau
ketenagakerjaan yang disebabkan meningkatnya kesadaran mengenai hak-hak
buruh, masih rendahnya pendapatan buruh, kesejahteraan dan keselamatan
kerja belum memadai.
c. Pemahaman yang keliru terhadap pelaksanaan UU Otonomi Daerah yang
disebabkan belum lengkap dan jelasnya pedoman menyangkut tatacara
pelaksanaan otonomi daerah sehingga menimbulkan bentuk-bentuk pungutan
dan atau retribusi yang kurang jelas dasar hukumnya.
d. Kurangnya jaminan kepastian hukum, misalnya dengan dilakukan pembatalan
secara sepihak terhadap pemenang tender dan tidak diberikan kompensasi yang
layak, demikian dengan pembatalan dan atau perubahan terhadap isi kebijakan
(kontrak di bidang ketenagalistrikan seperti power purchase agreement / energy
contract.
e. Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) terutama
menyangkut lembaga-lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga arbitrase,
baik asing (ICC/ICSID) maupun lokal (BANI) yang menyebabkan rendahnya
kepercayaan investor terhadap tatacara / proses penyelesaian sengketa dan atau
penegakan hukum.
f. Kurangnya jaminan atau perlindungan investasi sehingga investor merasa tidak
aman dan nyaman karena masih saja terjadi tindakan – tindakan penjarahan dan
atau pengambil alihan secara melawan hukum terhadap aset –aset investor tanpa
dapat dicegah oleh Pemerintah.
g. Masih kurang menariknya insentif fiskal khususnya perpajakan yang diberikan
oleh Pemerintah dibandingkan dengan insentif fiskal yang diberikan oleh
Pemerintah negara – negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia,
Philipina dan Singapura, yang pada akhirnya dapat mendorong investor untuk
merelokasi investasinya dari Indonesia kepada negara – negara tersebut.
h. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia karena belum tersedianya
sumber daya manusia yang memadai baik secara kualitatif dan kuantitatif untuk
memenuhi kebutuhan industri.

7.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
i. Masih berjalannya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
menguntungkan pihak – pihak tertentu meskipun telah dikeluarkannya UU
Pemberantasan KKN dan UU Pembalikan Beban Pembuktian serta pembentukan
Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) namun tetap saja tidak mampu
mengurangi dan atau memberantas praktek KKN.
j. Tidak ada kejelasan dalam kebijakan investasi yang dicerminkan dengan tinggi
risiko (country risk) sehingga biaya financial dari projek ketenagalistrikan
menjadi mahal dan pada akhirnya berakibat harga jual (TDL) juga mahal.
k. Terjadi penundaan beberapa proyek yang dapat menurunkan manfaat ekonomi
dan keuangan (karena penundaan pendapatan PT. PLN dan penundaan
kesempatan konsumen menikmati jasa kelistrikan) sehingga dapat meningkat
biaya investasi, misalnya apabila perusahaan listrik mendapat pinjaman dari
lembaga-lembaga multilateral (World Bank, ADB, etc.) maka Pemerintah
Indonesia harus membayar commitment fee dan penundaan dapat meningkatkan
biaya investasi.

Melihat faktor – faktor tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa kondisi


perekonomian nasional nampaknya sudah kurang menarik minat investasi di bidang
infrastruktur khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena selama ini investasi
infrastruktur di sektor ketenagalistrik kurang mendapat perhatian atau fasilitas yang
memadai dari Pemerintah terutama dalam penggunaan input yang akan menghasil
energi listrik (setrum). Akibatnya, ke depan dapat terjadi krisis energi listrik karena
tidak ada penambahan kapasitas baru dan atau kapasitas yang lama sudah mulai
menurun kinerjanya.

Selain itu, terjadi perbedaan sudut pandang antara Pemerintah dengan para
pelaku ekonomi khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena menurut para pelaku
ekonomi bahwa kegiatan dalam industri ketenagalistrikan pada umumnya
dibedakan antara kegiatan di sektor hulu (pembangkitan, transmisi dan distribusi)
dan hilir (penjualan listrik). Dan selama ini yang sering mendapat insentif fiskal
adalah di sektor hilirnya, akan tetapi di sektor hulunya masih belum banyak
tersentuh insentif fiskal. Sedangkan dari sudut pandang Pemerintah dalam
pengenaan pajak tidak membedakan barang berdasarkan sektor hulu dan hilir,

7.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
sehingga berakibat tidak pernah dapat menuntaskan permasalahan yang dihadapi
oleh para pelaku ekonomi.

Pengaruh pungutan pajak terhadap beban perusahaan dan penyediaan energi


listrik sangat besar, sehingga dapat memberatkan kelangsungan usaha
ketenagalistrikan, misalnya pajak yang dipungut pada tingkat operasional perusahaan
antara lain :

BBM & Pemeliharaan Pajak – Pajak


Impor Suku Cadang
Pelumas (Jasa) Lainnya
a. PPN 10% a. Bea Masuk 5 – 20% a. PPN 10% a. Pajak air permukaan
b. PPh 0,3% b. PPN Impor 10% b. Pajak air bawah tanah
c. PPh Impor 2,5% c. Pajak penerangan jalan
d. Ijin gangguan gardu induk
e. Ijin gangguan pembangkit
f. IMB Tower
g. PBB
Sumber : PT. PLN (Persero), 2005.

Pajak yang dipungut Pemerintah atas pekerjaan kontruksi yang dilakukan pada
proyek – proyek usaha ketenagalistrikan, antara lain :

Pembebasan
Survai E/D Impor Peralatan Kontruksi
Tanah
a. PPN 10% a. PPh Psl 25 5% a. PPN 10% a. Bea Masuk 5 - 20% a. PPN 10%
b. BPHTB 5% b. PPN Impor 10%
c. PPh Impor 2,5%

Sumber : PT. PLN (Persero), 2005.

Selain itu, beberapa negara di kawasan ASEAN sudah banyak memberikan


insentif fiskal kepada proyek – proyek strategis dan sesuai dengan prioritas
pembangunan termasuk proyek ketenagalistrikan. Pemberian insentif tersebut lebih
banyak ditujukan untuk menarik minat (sweatener) investor dalam menanamkan
modal ke negara – negara tersebut. Namun, proyek – proyek ketenagalistrikan di
tanah air belum banyak mendapat insentif fiskal terutama pada bidang infrastruktur
(pembangkitan, transmisi dan distribusi). Untuk itu, perlu ditinjau kembali jenis –
jenis insentif fiskal kepada proyek – proyek ketenagalistrikan agar investasi tidak ke
luar kawasan Indonesia (capital flight).

7.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Untuk itu, secara serius Pemerintah saat ini berupaya untuk mendorong
investasi baik asing maupun dalam negeri melalui perbaikan berbagai kebijakan
ekonomi dan non ekonomi dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif agar
perekonomian diharapkan tumbuh rata – rata 6,6% per tahun melalui peningkatan
peranan swasta dalam pembangunan. Tekad Pemerintah tersebut telah diwujudkan
dalam agenda prioritas pembangunan melalui program peningkatan investasi,
yaitu :
1. Kebijakan peningkatan iklim dan realisasi investasi dengan langkah – langkah :
a. Penyederhanaan prosedur birokrasi dan perijinan
b. Penyusunan insentif investasi yang tepat sasaran
c. Pengurangan tumpang tindih kebijakan pusat – daerah dan antar sektor
d. Penanganan masalah – masalah investasi secara tepat
e. Reformasi kelembagaan penanaman modal
2. Reformasi bidang perpajakan dan kepabeanan, melalui :
a. Amandemen UU Perpajakan
b. Reformasi administrasi sengketa pajak
c. Fasilitasi perdagangan dan pemberantasan penyelundupan
3. Peningkatan daya saing industri manufaktur melalui upaya :
a. Peningkatan utilisasi kapasitas dan memperluas basis industri untuk
memperkuat struktur yang ada
b. Pengembangan investasi strategis secara fungsional dalam aspek
pengembangan teknologi industri, informasi pasar serta prasarana – sarana
pengendalian mutu
c. Fasilitas pengembangan sub sektor industri sesuai dengan masalah yang
dihadapi, difokuskan (diprioritaskan) pada sub-sub sektor yang menyerap
tenaga kerja, mengolah sumber daya alam (SDA) dalam negeri, memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri dan memiliki potensi pengembangan ekspor
ke depan.

Dengan demikian, sektor ketenagalistrikan telah memenuhi kriteria dalam


pengembangan industri strategis yang perlu mendapat dukungan Pemerintah
terutama dalam investasi infrastrukturnya (bidang pembangkitan, transmisi dan

7.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
distribusi). Sehingga, perlu kesamaan pandang antara Pemerintah (baik di Pusat dan
Daerah) dengan pelaku – pelaku sektor ketenagalistrikan agar pemberian dukungan
tersebut dapat menghasilkan nilai tambah (multiplier effect) yang lebih besar dari
pada potensial loss akibat pemberian dukungan atau fasilitas tersebut.

7.2. Saran dan Rekomendasi

7.2.1. Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastruktur Ketenagalistrikan


Berdasarkan hasil studi ini dengan memperhatikan berbagai dampak
pemberian insentif fiskal termasuk potensial loss penerimaan Pemerintah atas proyek
– proyek ketenagalistrikan, maka usulan insentif fiskal untuk yang kiranya
dibutuhkan dan untuk mendukung peningkatan investasi infrastruktur
(pembangkitan, transmisi dan distribusi) di bagi dalam dua jenis insentif (pajak dan
kepabeanan), antara lain :

a. Bidang Pajak Penghasilan (PPh)


1. Menerapkan insentif REGIONAL dengan memberikan PEMBEBASAN
PPh ≤ 60% dari pendapatan untuk pengembangan industri ketenaga-
listrikan;
2. Menerapkan insentif SEKTORAL untuk perusahaan yang bergerak pada
usaha Strategis dan atau prioritas pembangunan (termasuk tenaga
listrik) dengan memberikan pembebasan PPH ≈ 10% selama 5 – 10
tahun;
3. Menerapkan Insentif EKSPOR & DAERAH PERDAGANGAN BEBAS
dengan mengenakan Pajak Final ≈ 5% dari penghasilan bruto dengan
komposisi : 3% Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah & 1% untuk
Dana Pembangunan;
4. Pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR ≈ 30% selama 5 tahun dalam
mendorong Insentif EKSPOR & DAERAH PERDAGANGAN BEBAS.

b. Bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


1. LISTRIK dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerah-
annya DIBEBASKAN dari penge-naan PPN;

7.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2. BARANG MODAL berupa mesin dan peralatan pabrik untuk
menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis atas impor dan atau
penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN.

c. Kepabeanan
1. Menggunakan mekanisme PP 42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringan
BM dapat diberikan atas Impor;
2. Menggunakan Pasal 26 ayat (1) huruf j UU 10 Tahun 1995 : Barang oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditujukan untuk Kepentingan
Umum;
3. MEREVISI PMK 47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukkan
industri ketenagalistrikan ke dalam daftar industri jasa yang
mendapatkan fasilitas keringan BM;
4. Memberikan FASILITAS BM KHUSUS untuk PT. PLN (Persero);
5. Menurunkan TARIF BM BARANG MODAL untuk industri
ketenagalistrikan dengan memasukkan Harmonisasi Tarif.

7.2.2. Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi Terbarukan


Faktor utama penghambat pengembangan energi terbarukan adalah harga
energi yang dihasilkannya tidak dapat berkompetisi dengan harga energi yang
berasal dari fosil yang masih disubsidi, maka penghapusan subsidi dalam bentuk
harga energi fosil mutlak dilakukan. Penghapusan subsidi pada harga energi fosil
tidak hanya akan memberi ruang yang lebih kompetitif bagi pengembangan energi
terbarukan, juga akan berdampak kepada berkurangnya beban keuangan negara
yang selama ini digunakan untuk menutupi subsidi.

Kebijakan penghapusan subsidi yang tidak populis pada akhirnya bermuara


pada pertanyaan: Lalu bagaimana fungsi sosial pemerintah sebagai akibat dari
kebijakan penghapusan subsidi? Hal tersebut disebabkan bahwa secara umum
masyarakat pengguna energi adalah mereka yang "dhuafa" dengan kemampuan
membeli yang secara umum sangat rendah (lower purchasing power).

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka diusulkan agar pemerintah


memberikan subsidi langsung maupun tidak langsung (direct and indirect subsidy)

7.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
kepada yang benar-benar membutuhkan. Subsidi langsung dapat dilakukan pada
jenis energi untuk pelanggan yang tercatat dengan baik seperti PLN. Sedangkan
subsidi tidak langsung dapat diberikan untuk pelanggan bahan bakar cair seperti
pelanggan minyak tanah. Bentuk subsidi tidak langsung ditujukan untuk
menstimulir (mendorong) kegiatan-kegiatan pada asyarakat yang ditargetkan guna
mendapatkan tambahan pendapatan (income generating activities) melalui subsidi
biaya pendidikan, pendanaan mikro melalui revolving fund atau skema pendanaan
mikro lainnya, dan juga subsidi biaya kesehatan sehingga masyarakat dapat
menjalankan kegiatan dan berkehidupan yang lebih baik.

Berkaitan dengan skema pendanaan mikro dalam mendorong upaya


pemanfaatan energi terbarukan, maka Pemerintah perlu membuat
regulasi/peraturan perbankan khusus untuk mengakomodasi dan memberikan
kemudahan skema pendanaan yang lebih berpihak kepada masyarakat kecil. Ini bisa
membantu mengakhiri paradigma pendanaan yang saat ini memberi perhatian lebih
kepada daerah pinggiran kota karena rendahnya daya beli masyarakat kecil di desa
akibat keadaan ekonomi mereka pas-pasan bahkan di bawah garis kemiskinan (under
poverty line). Sebaiknya bantuan kredit diberikan agar masyarakat bisa melakukan
kegiatan-kegiatan untuk menambah penghasilan mereka, sehingga pada akhirnya
daya beli mereka dapat meningkat.

Kebijakan insentif lainnya yang diharapkan mampu menurunkan biaya


pembangkitan energi terbarukan yaitu melalui penurunan bea masuk (import tax).
Bea masuk yang selama ini dikenakan pada energi terbarukan adalah tidak tepat dan
harus ditinjau kembali dan diusulkan untuk dikurangi, tetapi tidak dihilangkan
karena menganggap barang atau peralatan energi terbarukan sebagai pajak barang
mewah.

Kebijakan insentif juga seharusnya diberikan kepada pemain lokal, seperti


perusahaan manufaktur yang menunjang kegiatan energi terbarukan. Hal tersebut
ditujukan karena selama ini muatan impor yang masih dominan (high import content)
pada beberapa teknologi energi terbarukan seperti photovoltaik, gasifikasi dan
kogenerasi biomasa, bahan bakar berbasis tumbuh-tumbuhan (bio-disel dan bio-

7.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
etanol), dan konverter untuk tenaga angin, menyebabkan harga energi terbarukan
yang dihasilkan menjadi relatif mahal.

Selain itu pada beberapa kasus kerusakan membutuhkan waktu yang relatif
lama karena menunggu pengiriman (impor). Dengan demikian diharapkan
menambah muatan lokal (local content) dapat secara signifikan mengurangi biaya
investasi dan mengurangi biaya produksi energi terbarukan, sehigga pada akhirnya
dapat menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi energi terbarukan untuk
bersaing dengan energi fosil.

Memasukkan harga lingkungan (internalize the externalities) pada komponen


biaya energi yang berasal dari fosil (tak terbarukan). Hal tersebut perlu dilakukan
mengingat dampak yang sangat buruk dari penggunaan energi tak terbarukan bagi
lingkungan baik lokal maupun global dan dapat menurunkan kualitas kesehatan
manusia. Untuk itu penerapan biaya lingkungan tidak hanya ditujukan untuk
memberikan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif, tetapi juga akan
digunakan untuk usaha atau kegiatan untuk pemulihan lingkungan yang
diakibatkan oleh penggunaan energi tak terbarukan.

Rencana penyediaan dana (depletion premium) atas menyusutnya minyak bumi


dan juga dampak buruk terhadap lingkungan yang dihasilkan akibat pemanfaatan
minyak bumi yang selama ini hanya menjadi wacana sebaiknya dapat direalisasikan.
Dengan adanya alokasi dana bagi pengembangan energi terbarukan yang berasal
dari depletion premium, diharapkan tidak hanya menggugah kepedulian dari
Pertamina terhadap pentingnya pemanfaatan energi terbarukan untuk menjawab
kelangkaan pasokan minyak, juga diharapkan akan memberikan kesadaran bagi
Pertamina untuk melirik bisnis energi terbarukan dalam ekspansi perusahaannya
seperti yang dilakukan oleh perusahan minyak besar di dunia.

Memberikan keringanan pembebasan pajak sementara (tax holiday) yang


ditujukan untuk menstimulasi kegiatan investasi bagi pengembangan energi
terbarukan untuk daerah-daerah yang selama ini terlupakan atau tertinggal seperti
Indonesia bagian timur atau daerah terpencil pedesaan lainnya di Indonesia.

7.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Insentif fiskal sangat diperlukan sebagi upaya untuk mengeembangkan energi
terbarukan. Hal tersebut sebagai terobosan guna merangsang investor untuk
mengembangkan energi ramah lingkungan. Disadari, rasio elektrifikasi masih
terbilang rendah, sekitar 80 juta rakyat belum menikmati pelayanan listrik. Isentif
fiskal paling tidak akan merangsang para investor baik Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk membangun sejumlah
proyek listrik yang ramah lingkungan.
Tabel 7.1. :
Usulan Bentuk - Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanftaan
Sumber Daya Terbarukan

No Bentuk Insentif Tujuan

Bea masuk yang selama ini dikenakan pada energi


terbarukan adalah tidak tepat dan harus ditinjau
1 Penurunan bea masuk kembali karena menganggap barang atau
peralatan energi terbarukan sebagai pajak barang
mewah
mengurangi biaya investasi dan mengurangi biaya
produksi energi terbarukan, sehigga pada
Pemakaian muatan
2 akhirnya dapat menciptakan iklim yang lebih
lokal
kompetitif bagi energi terbarukan untuk bersaing
dengan tidak terbarukan.
a. memberi ruang yang lebih kompetitif bagi
Penghapusan subsidi
pengembangan energi terbarukan,
3 terhapa harga energi
b. berkurangnya beban keuangan negara yang
tidak terbaharukan
selama ini digunakan untuk menutupi subsidi.
Memasukkan harga
lingkungan pada a. untuk memberikan harga energi terbarukan
komponen biaya energi yang lebih kompetitif,
4
yang berasal dari b. untuk pemulihan lingkungan yang diakibatkan
sumber daya tak oleh penggunaan energi tak terbarukan
terbarukan.

7.10

Anda mungkin juga menyukai