RINGKASAN EKSEKUTIF
Laporan penelitian ini yang berjudul “Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam
Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan” diselesaikan dalam rangka
kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama
Internasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies,
PT. PLN (Persero).
Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal – hal sebagai
berikut :
1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk
menggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi
dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya
kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat
terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku
ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik.
2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangi
kebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan
kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah
permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup
apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan
listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan
prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian.
i.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5. Sampai saat sekarang, minat para swasta tersebut untuk berinvestasi dalam
proyek ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang
diharapkan (expected rate of return) dari usaha tersebut relatif rendah.
Rendahnya keuntungan tersebut diperkirakan karena beberapa hal : (i) tarif
dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform
rate khusus pelanggan rumahtangga) yang menyebabkan rendahnya kepastian
usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain
di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain.
i.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
8. Bentuk usulan insentif fiskal (hasil studi ini) yang diharapkan dapat
meningkatkan iklim investasi di bidang usaha ketenagalistrikan, antara lain : (i)
di bidang PPh : a) insentif REGIONAL dengan pembebasan PPh ≤ 60% dari
pendapatan untuk pengembangan usaha ketenagalistrikan; b) insentif
SEKTORAL bagi perusahaan bidang usaha strategis dan atau prioritas
pembangunan (termasuk ketenagalistrikan) dengan pembebasan PPh ≤ 10%
selama 5 – 10 tahun; c) insentif EKSPOR dan DAERAH PERDAGANGAN
BEBAS dengan pajak final ≤ 5% dari penghasilan bruto dengan komposisi : 3%
Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah dan 1% untuk Dana Pembangunan,
dan d) pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR ≤ 30% selama 5 tahun untuk
mendorong ekspor dan daerah perdagangan bebas; (ii) di bidang PPN : a)
usaha ketenagalistrikan dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas
penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN, b) barang modal berupa
mesin dan peralan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat
strategis atas impor dan atau penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan
PPN; dan (iii) di bidang Kepabeanan : a) menggunakan mekanisme PP Nomor
42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringanan BM atas Impor; b) menggunakan
Pasal 26 Ayat 1 huruf j UU Nomor 10 Tahun 1995 : Barang oleh Pemerintah
Pusat dan Pemda ditujukan untuk kepentingan umum; c) merevisi PMK
47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukan industri ketegalistrikan ke
dalam daftar industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan BM; d)
memberikan fasilitas BM khusus untuk usaha ketenagalistrikan; dan e)
menurunkan tarif BM barang modal untuk industri ketenagalistrikan dengan
memasukan harmonisasi tarif.
i.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa setiap karya manusia tidak
luput dari kekhilafan (tidak ada gading yang tidak retak), sehingga kami selalu
terbuka dan tulus ikhlas menerima saran – saran maupun kritikan yang bersifat
kontrukstif guna perbaikan laporan ini.
Purwiyanto
i.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
DAFTAR ISI
i
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
3.3.2 Penawaran Tenaga Listrik 3.7
3.3.3 Transmisi Tenaga Listrik di Jawa-Bali 3.11
3.3.4 Transmisi Tenaga Listrik di luar Wilayah Jawa-Bali 3.12
3.4 Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan 3.12
ii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan
Perusahaan
4.5.8 Angsuran Pembayaran PPh atas Selisih Lebih 4.28
Penilaian Kembali Aktiva Tetap
4.5.9 Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4.29
22 Impor
4.6 Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Rangka 4.3.2
Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan
4.6.1 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah 4.3.3
Pada Periode Sebelum 1 Januari 2001
4.6.2 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah 4.3.4
Pada Periode Setelah 1 Januari 2001 sampai Dengan
Sekarang
4.6.3 Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah 4.3.5
yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman
Luar Negeri
4.6.4 Rencana Kebijakan Pemerintah dalam Rangka 4.3.6
Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan
iii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.3.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.5
5.3.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan 5.5
Bebas
5.3.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.6
5.4 Kebijakan Insentif Fiskal di Singapura 5.6
5.4.1 Insentif Sektoral 5.6
5.4.2 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.8
5.4.3 Insentif Lainnya 5.8
5.5 Kebijakan Insentif Fiskal Thailand 5.9
5.5.1 Insentif Regional 5.9
5.5.2 Insentif Sektoral 5.11
5.5.3 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.11
5.5.4 Insentif Lainnya 5.12
5.6 Kebijakan Perlistrikan di Thailand 5.12
5.7 Kebijakan Perlistrikan di Vietnam 5.13
5.8 Kebijakan Perlistrikan di Malaysia 5.14
5.9 Kebijakan Perlistrikan di Filipina 5.15
5.10 Kebijakan Perlistrikan di India 5.17
5.11 Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan 5.28
5.11.1 Pendahuluan 5.28
5.11.2 Kondisi Indonesia 5.29
5.11.3 Energi Terbarukan sebagai Penggerak Roda 5.31
Ekonomi
iv
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
6.1.3 Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa, 6.1
Madura dan Bali
6.1.4 Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa, 6.2
Madura dan Bali
6.1.5 Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura 6.2
dan Bali
6.1.6 Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa, 6.3
Madura dan Bali
6.2 Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi 6.3
6.2.1 Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali 6.3
6.2.2 Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura 6.4
dan Bali
6.3 Insentif fiskal yang Berlaku Saat Ini Bagi Industri 6.4
Ketenagalistrikan dan Kebutuhan ke Depan
6.3.1 Kebijakan Insentif Pajak yang Berlaku Saat Ini 6.5
6.4 Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004-2007 6.14
6.5 Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan 6.15
6.5.1 Potential Loss Terhadap Penerimaan Negara 6.15
6.5.2 Kenaikan pendapatan Domestik Bruto (PDB) 6.16
6.5.3 Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat 6.16
v
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
DAFTAR TABEL
vi
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
DAFTAR GAMBAR
vii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
DAFTAR LAMPIRAN
vii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang akan terjadi krisis energi listrik,
karena pasokan energi listrik tidak mampu mengimbangi permintaan energi listrik.
Selisih antara pasokan dan permintaan energi listrik (kesenjangan) tersebut tidak
pernah bisa dipenuhi kalau hanya mengandalkan tingkat pertumbuhan alamiah dari
penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik
merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan
perekonomian. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah besar untuk (i)
menutup kesenjangan pasokan energi listrik yang terjadi saat ini, dan (ii) mencegah
1.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
terjadinya kesenjangan yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang (lihat
Tabel 1.1).
Tabel 1.1 :
Proyeksi Penawaran Energi Listrik Yang Disesuaikan
Dengan Capacity Factor 1990 – 2010 (Juta Gwh)
Tahun
No Uraian
1995 2000 2005 2010*
1 Diesel 11,12 12,91 14,88 15,29
2 Uap 56,53 65,61 75,63 77,70
3 Air 18,02 20,91 24,10 24,76
4 Gas turbin 2,63 3,05 3,52 3,62
5 Panas Bumi 4,19 4,87 5,61 5,76
6 Gas Uap 20,98 24,34 28,06 28,83
7 Total Supply 114,04 132,34 152,56 156,72**
8 Energy Demand 249,40 289,42 333,63 382,71**
9 Perkiraan Kesenjangan 135,36 157,08 181,07 225,99
Sumber : Ismalina, 1997, diolah.
* RUPTL Tahun 2004 – 2013 Jawa, Madura, Bali.
** PLTU + Captive
Di sisi lain, minat investor swasta untuk menanamkan dananya dalam proyek
pengembangan ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang
diharapkan (expected rate of return) dari kegiatan tersebut relatif rendah. Rendahnya
keuntungan tersebut utamanya terkait dengan hal-hal, antara lain : (i) tarif dasar
listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate) yang
menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang
kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara
lain.
1.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Dengan demikian, langkah
kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha di bidang ketenagalistrikan harus
terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang
kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya
produksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik.
Tarif dasar listrik (TDL) pada dasarnya merupakan instrumen yang bisa
mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran listrik. Dari sisi permintaan akan
listrik, TDL yang menguntungkan bagi masyarakat pada umumnya adalah tarif yang
murah. Sementara dari sisi penawaran akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi
produsen listrik adalah tarif yang dapat memberikan keuntungan yang layak. Dalam
rangka mempertemukan (mengakomodir) kedua kepentingan tersebut maka sejak
awal krisis ekonomi hingga tahun 2005 ini, Pemerintah bersama PT. PLN (dengan
persetujuan DPR Pusat) telah beberapa kali melakukan penyesuaian terhadap TDL
per kelompok pelanggan.
1.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Di samping masalah besarnya TDL yang hanya sekitar 25% dari biaya
recoverynya, masalah lain yang masih dihadapi oleh PT. PLN adalah diterapkannya
sistem tarif uniform rate khusus pelanggan rumahtangga untuk semua jam
pemakaian listrik, sehingga tidak ada pembedaan besarnya TDL untuk pemakaian
pada waktu beban puncak (peak load) dan pemakaian pada waktu di luar beban
puncak (siang hari). Padahal sudah bisa diduga bahwa pada masa beban puncak,
biaya operasional yang harus ditanggung oleh PT. PLN akan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya operasional pada masa bukan beban puncak. Oleh sebab
itu, besarnya TDL yang diberlakukan tersebut juga merupakan salah satu faktor
kurang menariknya investasi di sektor kelistrikan.
Dari dua sumber permasalahan tersebut, nampaknya tarif harga jual listrik
yang rendah relatif sulit untuk diselesaikan dalam jangka pendek, mengingat tarif
harga jual listrik sejauh ini dianggap sebagai barang strategis yang mempunyai
pengaruh sosial-politis terhadap masyarakat. Permasalahan yang lebih berpeluang
untuk dicari solusinya adalah relatif tingginya biaya. Oleh sebab itu, faktor penting
yang diperlukan untuk menarik investor swasta baru di sektor kelistrikan adalah
pandangan Pemerintah terhadap strategisnya persoalan kelistrikan di masa depan,
serta goodwill Pemerintah untuk mendorong perkembangan kondisi dan suasana
investasi menjadi kondusif. Hal tersebut menjadi makin penting sejalan dengan
adanya kenyataan bahwa keuangan PLN tidak akan mampu mendukung
pembiayaan penyediaan listrik yang mencapai sekitar US$ 750 juta/ tahun (World
Bank).
1Hasil
studi BAF – CEPS 2004, dan laporan Bank Dunia dalam CGI meeting secara eksplisit
menyampaikan bahwa daya saing iklim investasi di Indonesai ermasuk yang terendah.
1.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Mengingat, untuk saat ini kebutuhan dana investasi di sektor ketenagalistrikan
lebih banyak diharapkan dari investor swasta, maka daya saing ekonomi dari usaha
ketenagalistrikan tersebut harus dikembangkan. Hal tersebut terkait dengan hasil
studi Badan Analisa Fiskal (BAF) Departemen Keuangan dan CEPS tahun 2004, yang
menyatakan bahwa daya saing dunia usaha dalam negeri sudah tidak kompetitif lagi
apabila dibandingkan dengan kondisi di negara-negara lain. Pengertian
“competitiveness” mengandung arti yang sangat luas, yaitu sesuatu yang berkaitan
dengan usaha suatu negara menciptakan dan memelihara daya saing dunia usaha
dalam negeri (World Competitiveness Yearbook, 2003)2. Secara umum terdapat empat
faktor yang mempengaruhi daya saing dalam suatu bangsa, yaitu : (i) kinerja
perekonomian, (ii) efisiensi pemerintah, (iii) efisiensi dunia usaha, dan (iv) kondisi
infrastruktur3.
1.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
b. Benefit cost analysis kebijakan fiskal untuk mendorong investasi tenaga listrik,
c. Pengaruh kebijakan yang dipilih terhadap perkembangan pasokan,
d. Apa rekomendasi kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi
ketenagalistrikan yang minimal dead weight loss-nya
1.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
negara, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang tentang investasi, dan
undang-undang tentang perpajakan, beserta peraturan pelaksanaannya.
I.4. Output
Dari studi ini diharapkan dapat dihasilkan output, yaitu dalam bentuk:
a. Dampak kebijakan fiskal pada biaya investasi ketenagalistrikan?
b. Analisis dan evaluasi kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor
tenaga listrik berdasarkan benefit cost analysis
c. Rekomendasi terhadap bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang dapat mendorong
mendorong investasi dengan meminimalisir misalokasi sumber daya (minimal
dead weight loss), terutama di bidang (i) perpajakan, (ii) penyertaan modal
negara (government investment), dan (iii) privatisasi.
1.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB II
LANDASAN TEORI :
KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAAN
DENGAN PERMINTAAN LISTRIK
2.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dengan kata lain, terdapatnya gap antara penyediaan dengan permintaan
tenaga listrik merupakan masalah penting sekarang dan di masa depan. Masalah
kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya kendala dan atau hambatan -- yang
salah satunya -- adalah kekurangan investasi di bidang kelistrikan. Menurut
informasi yang dapat dikumpulkan bahwa terhambatnya kegiatan investasi di sektor
ketenagalistrikan di Indonesia saat ini antara lain disebabkan :
1. Rendahnya kemampuan keuangan negara maupun PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN) Persero untuk meningkatkan usaha ketenagalistrikan (seperti
usaha penyediaan pembangkit tenaga listrik maupun usaha – usaha penunjang
tenaga listrik); dan
2. Rendahnya minat investor (swasta) untuk berinvestasi dalam usaha kelistrikan
karena faktor ekspektasi keuntungan investasi yang rendah. Ekspektasi
tersebut dikarenakan penjualan listrik di Indonesia kepada konsumen oleh PLN
belum bisa didasarkan pada harga pasar, tetapi didasarkan pada SDL yang
diatur oleh pemerintah. Selain itu TDL yang berlaku masih menggunakan
sistem uniform rate untuk semua jam pemakaian listrik sehingga penentuan tarif
dasar listrik (TDL) belum mencerminkan harga pasar dan biaya. Sementara dari
sisi yang lain, biaya investasi usaha ketenagalistrikan yang masih kurang
kompetitif (high cost economy).
Oleh karena itu, pilihan yang memungkinkan untuk dilaksanakan saat ini
adalah memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan bila perlu memberikan insentif
fiskal bagi usaha ketenagalistrikan. Berbagai insentif yang dapat diberikan
pemerintah bagi investor di sektor usaha ketenagalistrikan melalui kebijakan di
sektor riil seperti kemudahan melakukan ekspor – impor, kebijakan disektor moneter
seperti penetapan suku bunga yang kompetitif serta kebijakan fiskal melalui
instrumen di bidang perpajakan, non perpajakan dan bea masuk. Mekanisme lain
saat ini sedang diperkenalkan oleh Bank Dunia (World Bank) adalah Penjamin
Penerimaan (Revenue Guaranteed).
2.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2.1. Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha
Ketenagalistrikan
Pasar dapat melakukan alokasi sumber daya secara efisien, apabila semua
asumsi-asumsinya terpenuhi, antara lain : para pelaku ekonomi (produsen) bersifat
rasional, memiliki informasi sempurna, barang (output) bersifat privat, pasar
bersaing sempurna dan proses pertukaran tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
2.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Didalam teori ekonomi dikenal dengan konsep insentif dengan konotasi
posistif berupa reward maupun konotasi negatif berupa cost / penalty / disincentive
yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya baik
sebagai pelaku ekonomi maupun sebagai pengelola impact and incident atas
perilakunya.
Keputusan para pelaku ekonomi pada umumnya ditentukan oleh net expected
incetives yang akan diterimanya, baik yang sifatnya material maupun non material,
sehingga keputusan para pelaku ekonomi dapat berubah apabila terdapat perubahan
insentif. Untuk itu, setiap kebijakan pemerintah / ekonomi / pembangunan perlu
memperhitungkan unsur insentif yang secara rasional dapat mengarahkan perilaku
masyarakat sesuai tujuan yang diinginkan.
2.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Kurva permintaan pada gambar 2.1 menjelaskan bagaimana keinginan
konsumen untuk membeli pada berbagai tingkat harga yang dipengaruhi oleh
pendapatan per kapita dan harga barang itu sendiri, sehingga bentuk kurva
permintaan miring dari kiri atas ke kanan bawah. Kemiringan tersebut mengikuti
”hukum permintaan” dimana konsumen biasanya akan membeli lebih banyak jika
harganya lebih murah dan akan membeli lebih sedikit apabila harga lebih mahal.
Gambar 2.1.
Subsidi Dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik
D S0
P2 S1
PPasar Subsidi
EPasar
TDL ESubsidi
S0
S1 D
0 Q2 QPasar QSubsidi Qt
Keterangan :
P0 = Harga keseimbangan pasar
TDL < P0 sehingga terdapat Gap (shortage) sebesar Q2Q1. Langkah yang bisa ditempuh adalah
menetapkan TDL ≥ P0 atau subsidi untuk menggeser kurva supply S0 ke S1
2.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
untuk masuk ke pasar sehingga jumlah penjual bertambah dan barang yang
ditawarkan meningkat.
Namun sesuai dengan kondisi yang ada, harga jual listrik ditentukan oleh
Pemerintah melaui penetapan TDL (harga adalah P1). Pada harga P1 produsen
menghasilkan output sebesar Q2 lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh konsumen
Q1. Dalam kondisi tersebut terjadi kekurangan penyediaan barang (excess demand
shortage). Untuk itu, biasanya Pemerintah menempuh kebijakan harga tertinggi
(ceiling price) pada P1. Kebijakan ini bertujuan agar harga listrik dapat terjangkau oleh
masyarakat luas. Namun dengan dipilihnya kebijakan tersebut, Pemerintah
menyadari dampak yang akan terjadi adalah excess demand. Guna menghindari
kerugiaan yang besar dan atau untuk mempertahankan kelangsungan hidup
produsen maka Pemerintah menempuh kebijakan subsidi (negative tax). Besarnya
subsidi listrik yang diberikan oleh Pemerintah kepada produsen (PT. PLN)
diharapkan mampu menambah suplai dari Q2 menjadi Q1 (gambar 2.1.). Pemberian
subsidi ini akan menggeser kurva penawaran dari S0 ke S1 dan keseimbangan terjadi
pada titik E1.
2.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
terutama untuk sektor kelistrikan serta untuk menjamin ketersediaan penyediaan
listrik bagi masyarakat. Pemberian insentif fiskal tersebut akan berpengaruh
terhadap jumlah penawaran listrik. Besarnya perubahan penawaran listrik akibat
pemberian insentif fiskal sangat tergantung pada elastisitas harga penawaran listrik.
Pada saat ini, penawaran listrik dalm kondisi tidak elastis (℮s<1) karena kurang
investasi dan pemberlakuan TDL.
2.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dinikmati oleh produsen serta makin besar pertambahan jumlah barang yang dapat
ditawarkan oleh produsen.
Atau sebaliknya, apabila kurva permintaan adalah lebih elastis dari pada
kurva penawarannya, maka makin besar bagian dari subsidi yang dapat dinikmati
oleh konsumen serta makin kecil pertambahan jumlah barang yang dapat
ditawarkan oleh produsen. Berdasarkan uraian tersebut, maka pasar energi listrik
mempunyai kurva permintaan yang cenderung in elastis (<1) karena : a)
ketergantungan konsumen terhadap listrik relatif tinggi setelah BBM dalam
menjalankan aktivitas ekonomi, dan b) kemampuan bargaining position konsumen
terhadap harga listrik sangat lemah. Oleh sebab itu, pemberian subsidi terhadap
listrik sangat membantu masyarakat, akan tetapi juga membawa dampak negatif,
yaitu kenaikan permintaan listrik yang sangat tinggi.
Ditinjau dari satu sisi, pengenaan pajak memang memberatkan karena dapat
menyebabkan harga barang menjadi lebih mahal. Namun dari sisi lain, pajak sangat
dibutuhkan untuk menjadi sumber penerimaan negara guna membiayai fungsi-
fungsinya (redistribusi pendapatan dan sebagai alat stabilisasi ekonomi) serta untuk
mengatur jumlah konsumsi barang yang menyebabkan dampak negatif. Hanya saja
kebijakan penentuan pajak harus mempertimbangkan elastisitas permintaan dan
penawaran, dan apabila tidak, maka tujuan pengenaan pajak tidak dapat tercapai.
2.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2.3.1. Pengenaan Pajak (Misal : PPN)
Secara konseptual, PPN adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah dan
dibayar pada waktu terjadi transaksi jual – beli barang atau jasa kena pajak. Pada
umumnya, PPN dikenakan dalam bentuk suatu persentase tertentu dari hasil
penjualan, misalnya PPN ditetapkan sebesar 10% dari harga atau hasil penjualan.
P S1 S0
D0
E1 Tax
P1
P0 E0 Gambar 2.2.
Kasus Permintaan Elastis
P2
0 Q1 Q0 Qt
Pada gambar 2.2 menggambarkan pada kondisi sebelum kena pajak, kurva
permintaan dan penawaran adalah D0 dan S0. Dan keseimbangan awal terjadi pada
titik E0, maka harga keseimbangan terjadi pada tingkat P0 dan keseimbangan jumlah
barang pada Q0. Kemudian pemerintah mengenakan pajak (PPN) kepada produsen
sebesar T%. Akibatnya pengenaan PPN tersebut adalah berkurangnya jumlah barang
yang ditawarkan sehingga kurva penawaran bergeser ke kiri dari S0 menjadi S1.
Pergeseran kurva penawaran ini akan menggeser titik keseimbangan dari E0 menjadi
2.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
E1. Dalam kondisi ini, terjadi perbedaan antara harga yang dibayar konsumen
dengan harga yang diterima produsen, yaitu sebesar beban pajak. Harga
keseimbangan berubah dari P0 naik menjadi P1 dan jumlah barang yang
ditransaksikan mengalami penurunan dari Q0 menjadi Q1 sebagai akibat pengenaan
PPN sebesar T%.
P S1 S0
E1
P1 Tax
P0 E0 Gambar 2.3.
Kasus Permintaan Tidak Elastis
P2
D0
0 Q1 Q0 Qt
2.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
konsumen, penurunan harga yang diterima produsen dan penurunan jumlah barang
di pasar.
Pada kurva permintaan yang in elastis ini, beban yang harus ditanggung atau
dibayar oleh konsumen sebesar P0P1 dan produsen menanggung sebesar P0P2.
Bentuk kurva permintaan yang in elastis tersebut menyebabkan jumlah beban pajak
yang harus ditanggung konsumen jauh lebih besar dari pada beban yang harus
ditanggung oleh produsen (lihat gambar 3) yang ditunjukkan dengan P0P1 > P0P2.
2.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
lapisan masyarakat dan menjamin pertambahan produksi yang mencukupi
kebutuhan maka kebijakan subsidi dan/atau kebijakan ekonomi untuk mendorong
investasi di sektor usaha ketenagalistrikan sangat masih diperlukan.
2.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Selanjutnya, perusahaan mendapat keuntungan maksimum dimana TR > TC0
yang disebabkan oleh meningkatnya harga jual mencapai 0P* (harga ini terjadi
karena mekanisme pasar yaitu bertemunya permintaan dan penawaran akan listrik)
dan ouput keseimbangan pada 0Q*. Kemudian karena biaya variabel (maintenance
cost) untuk memproduksi listrik meningkat terus dan terjadi in efisiensi dalam
perusahaan maka kemampuan produsen untuk menghasilkan laba akan semakin
berkurang dan pada periode selanjutnya perusahaan kembali pada posisi titik impas
(break event) yang diperlihatkan oleh TR = TC0.
2.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
TC0 TC1 TR
TR, TC
Π1
Π0
Gambar 2.4.
Biaya Produksi dan Pasar
Energi Listrik
0 Q2 QPasar QSubsidi Qt
AC0
MC0
P, MR, AC,
MC
AC1
EPasar MC1
Tingkat
Harga
Pasar AVC
TDL
MR1
0 Q2 QPasar QSubsidi Qt
P
S0
EPasar
Tingkat
Harga
Pasar
S1
Subsidi
TDL
ESubsidi
0 Q2 QPasar QSubsidi Qt
2.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB III
Gambaran Umum Ketenagalistrikan di Indonesia
Gambar 3.1.
Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001 - 2013
200.000
180.000
160.000
140.000
120.000
100.000
80.000
60.000
40.000
20.000
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
3.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
konsumsi listrik di Sumatera sebesar 11,6 TWh tahun 2004 atau 11,7% dari konsumsi
listrik nasional, dengan jumlah konsumen sebesar 5,9 juta pelanggan atau 17,9% dari
total pelanggan.
Gambar 3.2
Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004 – 2010
140 125,9
120
100
79,7
80
60
40
16,3
20 11,6
3,2 4,5 3,1 4,4 1,3 5,3
0
Jawa - Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya
Tahun 2004 Tahun 2010
Tingkat electrification ratio, yaitu jumlah orang pemakai listrik terhadap total
penduduk Indonesia, menyatakan bahwa semakin tinggi angka electrification ratio
maka semakin banyak jumlah orang yang dapat mengkonsumsi dan menggunakan
energi listrik untuk membantu melakukan aktivitasnya.
Pada tahun 2004, angka electrification ratio secara nasional baru mencapai
54,8% dan di tahun 2010 diperkirakankan mencapai 70%. Tahun 2004 angka
electrification ratio tertinggi adalah di wilayah Jawa & Bali yang mencapai 59,42%,
disusul Sumatera 53,1%, Sulawesi 47,2%, Kalimantan 46,6% dan wilayah lainnya
mencapai 33%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka electrification ratio
3.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
terbesar berada di Pulau Jawa & Bali, artinya lebih dari 59% penduduk Indonesia
yang berada di Pulau Jawa & Bali sudah menikmati dan menggunakan listrik dalam
menunjang aktivitasnya.
Dari sisi kapasitas tenaga listrik, pada tahun 2004 produksi listrik baru
mencapai sebesar 24,3 GW, dimana 10,8% adalah hasil listrik swasta dan selebihnya
oleh PT. PLN (Persero). Untuk meningkatkan angka electrification ratio menjadi 70%
tahun 2010 maka kapasitas produksi listrik diharapkan naik sebesar 37,9 GW.
Gambar 3.3.
Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik
180000
Oil
160000 4%
10%
140000 Hydro
5% 9,6%
120000 18%
100000 Gas 34%
G Wh
9,7% 30%
80000
24%
60000
49% Coal 46%
40000
43%
20000
0 5% 5,9% Geo 5,7%
3.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
“ … Daya terpasang Pusat Listrik yang dimiliki oleh PLN di Pulau Jawa – Bali
adalah 16.261 MW, dengan Daya Mampu Netto 15.099 MW. Sedangkan pembangkit
terpasang yang dimiliki oleh Swasta adalah sebesar 3.255 MW, sehingga total daya terpasang
pembangkit di sistem Jawa – Bali 19.516 MW dengan Daya Mampu Pasok pada tanggal 2
Juni 2005 sebesar 14.625 MW. Beban puncak tertinggi Pulau Jawa – Bali terjadi pada
tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, dimana beban puncak tanggal 2 Juni 2005
sebesar 14.575 MW...” (Siaran Pers PT. PLN tanggal 2 Juni 2005.
3.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Jumlah Tenaga Gambar 3.4. Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik
Listrik (MW)
80
70
60
50
Permintaan
40
30 Penawaran
20
Tahun
10
3.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
fiskal sesuai dengan kebutuhan yaitu; meningkatkan jumlah pasokan, efisiensi dan
keandalan tenaga listrik.
Saat ini, permintaan tenaga listrik masih terkonsentrasi di wilayah Jawa – Bali
yang menyerap sekitar 77 persen kebutuhan listrik. Jumlah permintaan tenaga dapat
dilihat dari besarnya penggunaan pada saat beban puncak. Menurut catatan PLN,
beban puncak di wilayah Jawa – Bali pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW,
dan diperkirakan bulan Oktober 2005 akan mencapai 15.245 MW.
Peningkatan harga BBM yang terus terjadi sejak bulan Maret 2005 menyebabkan
banyak industri yang semula membangkitkan listrik sendiri dengan
menggunakan genset kemudian beralih ke listrik PLN yang menjadi relatif lebih
murah. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya lonjakan penggunaan tenaga
3.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
listrik melebihi jumlah pasokannya. Lonjakan ini terlihat pada tanggal 29 April
2005 yang dilaporkan sebagai beban puncak tertinggi Pulau Jawa – Bali yaitu
sebesar 14.821 MW.
1
Terminologi penawaran tenaga listrik yang digunakan dalam kajian ini dikenal dengan istilah
penyediaan tenaga listrik dalam perundangan ketenagalistrikan, yang meliputi tiga aktivitas, yakni;
pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik.
2 Dikutip dari artikel Kompas 20 Agustus 2005 berjudul “Interkoneksi untuk Atasi Listrik.”
3.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dari segi pembangkitan tenaga listrik, terdapat dua hal yang memicu rendahnya
pertumbuhan penawaran tenaga listrik, yaitu; (i) adanya gap antara daya
terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok pada seluruh pembangkit
tenaga listrik yang ada saat ini (existing), serta (ii) lambatnya penambahan jumlah
pembangkit tenaga listrik baru.
Pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada, umumnya terjadi perbedaan
(gap) antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok. Hal itu
antara lain disebabkan oleh:
3
Elektro Indonesia, Edisi Kedelapan, Juli 1997, “Kerjasama Tenaga Listrik Sektor Swasta ASEAN di
Daerah Perbatasan Kalimantan.”
3.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
iv. Sebanyak 4 – 6 persen produksi tenaga listrik digunakan untuk keperluan operasional
pembangkit.
4
Kompas, 22 Juli 2005, “Batubara: Kebutuhan Domestik Harus Diutamakan.”
3.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
• Beban pajak yang dikenakan oleh Pemerintah sangat besar. Pajak tersebut bahkan
sudah mulai dikenakan pada saat eksplorasi. Pada kasus pembangunan PLTGU
Cilegon yang dimulai tahun 2004 dan masih berlangsung hingga saat dengan
dana pinjaman dari Jepang, dari total biaya sebesar USD 431,3 juta, 8,8 persen
diantaranya untuk membayar pajak dan 6,6 persen untuk membayar bunga
pinjaman dan biaya-biaya pinjaman lainnya.
• Pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah semakin beragam. Kepentingan Pemda
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan
berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Contohnya di Sulawesi Utara, air untuk
pembangkit listrik dikenakan pajak. Peraturan itu berdampak pada perhitungan
keuntungan, sementara kontraktor tidak bisa menaikkan harga jual listrik yang
penetapannya menjadi wewenang PT. PLN. Hal tersebut menyebabkan banyak
kontraktor listrik swasta menghentikan proyeknya untuk sementara.
• Tidak ada lagi surat jaminan Pemerintah bagi kontraktor listrik swasta. Ini merupakan
kebijakan baru Pemerintah yang diberlakukan sejak tahun 2002. Dengan tidak
adanya jaminan tersebut, maka kontraktor harus menanggung sendiri semua
resiko kegagalan proyek.
• Pengembangan energi alternatif sebagai bahan bakar pembangkit listrik terganjal oleh
kebijakan lingkungan hidup. Baku mutu emisi adalah salah satu aturan yang harus
dipenuhi dalam rencana pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar
batubara. Batubara memang sangat rentan terhadap polusi karbon di atmosfer.
Profesor Smalley menyebut efek dari polusi batubara ini sebagai efek gigaton
carbon pada atmosfer yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bumi itu
sendiri6. Sementara itu di Bedugul – Bali yang merupakan daerah resapan air,
rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang
5
Kompas, 30 Juli 2005, “Investasi Listrik Swasta Mandek: Pemerintah Belum Beri Kemudahan.”
6
Kompas, 18 Agustus 2005, “Teknologi Nano: Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan”
3.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
• Mahalnya teknologi pembangkit dengan bahan bakar yang tergolong energi terbarukan.
Peningkatan harga BBM membuat banyak pihak mulai mempertimbangkan
diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan (seperti hidro, solar
dan angin). Namun demikian, saat ini teknologi untuk kegiatan
pengembangannya masih terhitung mahal karena belum banyak dikuasai oleh
sumberdaya manusia di dalam negeri, sehingga untuk pengadaan teknologi
tersebut perlu mengimpor.
• Kondisi infrastruktur (jalan, pelabuhan, dan lainnya) yang ada saat ini sudah tidak lagi
memadai.
Ketergantungan yang sangat besar atas transmisi 500KV di bagian utara Jawa
yang merupakan satu-satunya jaringan penghubung daya dari PLTU Paiton di Jawa
Timur ke Jawa Barat. Hal itu membuat pasokan listrik untuk interkoneksi Jawa –
Bali sangat rentan mengalami gangguan karena tidak ada alternatif jaringan
transmisi. Selain itu, kondisi sistem interkoneksi tersebut sudah tua, dibangun tahun
1984 bersamaan dengan beroperasinya PLTU Suralaya. Sementara itu,
pembangunan jaringan baru di sepanjang selatan Jawa terhambat persoalan
pembebasan lahan.
7
Kompas, 20 Agustus 2005, “Kelangkaan Gas Sekarang Ini, Salah Siapa?”
3.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Pada saat ini kebutuhan energi listrik masyarakat sudah demikian tinggi
mencapai 99 TWh dibandingkan dengan kapasitas produksi energi listrik yang
hanya 87 TWh, sehingga diperlukan tambahan produksi energi listrik sebesar 13.000
MW. Kebutuhan kapasitas tambahan tersebut diharapkan 8.000 MW dipenuhi oleh
PT. PLN dan sisanya 5.000 MW diperoleh dari IPP-swasta. Kekurangan pasokan
listrik ini mencerminkan bahwa PT. PLN sangat membutuhkan sumber pasokan
listrik khususnya pembangunan infrastruktur listrik, yaitu untuk pembangkit dan
transmission line.
3.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Hal tersebut diperkuat lagi dengan kondisi, antara lain : a) rasio elektrisasi9
masih kurang dari 60%, b) harga jual – beli yang disetujui antara PT. PLN dengan
IPP masih proposional, c) cadangan energi selain bahan bakar minyak (BBM) masih
relatif besar dengan harga masih terjangkau (seperti batubara, gas alam, air dan
panas bumi) dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi BBM, d)
rendahnya reserve margin sistem kelistrikan yang kurang dari 30%, dan e) belum
berjalannya jaringan interkoneksi jawa – sumatera melalui kabel laut. Dengan
demikian, untuk memenuhi hal tersebut maka PT. PLN masih perlu pembangunan
(investasi) infrastruktur ketenagalistrikan khususnya di sektor pembangkit,
distribusi dan transmission line.
Tabel 3.1.
Angka ROR Tahun 2000 – 2007
9Merupakan proses listrik terpasang dibandingkan dengan kebutuhan listrik yang masih rendah
(yaitu 40% tahun 1996) sehingga kebutuhan pasokan listrik akan terus meningkat untuk mengejar
ketinggalan dengan kebutuhan listrik masyarakat akan kegiatan ekonomi dan pembangunan.
3.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
menyulitkan PT. PLN untuk melakukan investasi sendiri. Padahal angka ROR yang
disyaratkan oleh cofenant Bank Dunia sebesar 8%. Selain itu, semenjak tahun 1997
perusahaan ini tidak pernah menerima pinjaman baru dengan pola pendanaan
concessional loan dari lembaga-lembaga keuangan luar negeri sebagai sumber dana
investasi.
3.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
MW dan diikuti sebanyak 59 investor (qualified bidder), dan proses lelang saat ini
masih berlangsung.
Untuk menarik minat investor swasta (dari dalam maupun luar negeri) dalam
usaha penyediaan listrik perlu ditawarkan beberapa hal-hal, yaitu iklim investasi
yang kondusif dan atau kemudahan-kemudahan yang dapat diberikan kepada
investor. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan kegiatan yang dapat
menggairahkan investasi di sektor kelistrikan, meliputi :
a. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan diseluruh tanah air, karena hal ini
merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan investasi.
b. Menciptakan dan menyempurnakan semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku (baik yang baru maupun lama) agar transparan dan mendukung
usaha penanaman modal.
c. Menyempurnakan prosedur pelayanan investasi serta mempercepat
pengeluaran perijinan (baru dan lama).
d. Memberikan kemudahan tata cara memperoleh / penggunaan tanah.
e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
3.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Besarnya konsumsi listrik di Pulau Jawa – Bali saat ini ternyata menjadi salah
satu permasalahan yang krusial dalam kebijakan energi di Indonesia. Pada kondisi
beban puncak, jumlah daya yang dibutuhkan mencapai 14.800 MW. Tingginya
kebutuhan listrik tersebut karena Pulau Jawa – Bali merupakan konsentrasi
penduduk terbesar dan tempat didirikan industri.
Tabel 3.2.
Pelanggan PT. PLN Tahun 2000 – 2004
Kelompok Share
2000 2001 2002 2003 2004
Pelanggan (%)
Rumah
26.796.675 27.885.612 28.903.325 29.997.554 30.957.613 93.2
tangga
Industri 44.337 46.014 46.824 46.818 46.343 0.1
Bisnis 1.062.955 1.172.247 1.245.709 1.310.686 1.357.114 4.1
Sosial 582.811 608.713 633.114 659.034 690.989 2.1
Perkanto-
102.627 115.142 124.947 137.324 160.466 0.5
ran
Total 28.589.405 29.827.728 30.953.919 32.151.416 33.212.525 100.0
Growth 3.9% 4.3% 3.8% 3.9% 3.3%
3.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
3.17
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB IV
EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE DEPAN
DALAM MENDUKUNG INVESTASI INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN
4.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dana pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) yang tercantum dalam APBN
adalah merupakan bagian dari APBN, sehingga pelaksanaan pencairan dana PHLN
harus mengikuti ketentuan dan mekanisme APBN yang berlaku. Oleh karena itu,
dalam pengelolaan dan penerusan dana PHLN harus berpedoman pada peraturan
dan ketentuan pokok tersebut di atas.
Selain peraturan tersebut di atas, maka pengelolaan dan penerusan dan PHLN
harus berpedoman pula pada :
a) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,
b) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara,
c) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
d) UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah,
e) PP No. 42/1995 perihal Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam
rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana
Pinjaman Luar Negeri;
f) PP No. 25/2001,
g) SE DJA No. SE-80/A/71/0696 tanggal 6 Juni 1996,
h) SE DJA No. SE-106/A.6/2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemungutan PPN, PPN-BM dan PPh Proyek Pemerintah yang
dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri, serta
i) Keputusan Menteri Keuangan No. 259/KMK.017/1993 tentang Penerusan
Pinjaman.
Hal – hal penting yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri
Keuangan dengan Menteri Negara PPN (Ketua Bappenas) Nomor 459/KMK.03/1999
dan Nomor Keputusan 264/KET/09/1999 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pelaksanaan (Penatausahaan) dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri
(PHLN) terutama dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa:
4.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
1. Jumlah atau bagian dari jumlah PHLN yang dimuat dalam Naskah Perjanjian
Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPPHLN) dituangkan dalam Daftar Isian
Proyek (DIP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP.
2. Dalam hal PHLN akan diteruspinjamkan sebagai pinjaman, maka calon
penerima penerusan pinjaman mengajukan usul penerusan pinjaman kepada
Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Negara PPN/Kepala
Bappenas.
3. Menteri Keuangan atau kuasanya (dalam hal ini Direktorat Penerusan Pinjaman,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan) menetapkan persyaratan penerusan
pinjaman dan menandatangani Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP
atau SLA) dengan Penerima Penerusan Pinjaman (PPP) yang bersangkutan.
4. Rekanan NPPP yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau
kuasanya dengan PPP tersebut disampaikan kepada Bappenas, Bank Indonesia,
dan BPKP.
4.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.2 Insentif Kebijakan Fiskal Yang Masih Berlaku Sampai Dengan Tahun 2000
4.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Tabel 4.1
Wajib pajak Badan Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap
Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
1983 1991 1994 2000
S/d Rp 10 juta 15% 15% - -
Di atas Rp 10 juta s/d Rp 50 juta 25% 25% - -
Di atas Rp 50 juta 35% 35% - -
S/d Rp 25 juta - - 10% -
Di atas Rp 25 juta s/d Rp 50 juta - - 15% -
Di atas Rp 50 juta - - 30% -
S/d Rp 50 juta - - - 10%
Di atas Rp 50 juta s/d RP 100 juta - - - 15%
Di atas Rp 100 juta - - 30%
30%
25%
Tarif Efektif
20%
15%
10%
5%
0%
0
0
00
00
00
00
00
00
00
00
00
0
00
00
00
00
00
00
.0
.0
.0
.0
.0
.0
.0
.0
.0
0.
0.
0.
0.
2.
4.
10
20
30
40
50
60
70
80
90
10
11
12
20
P e n g h a s ila n (d a la m U S $ )
In d o n e s ia M a la y s ia T h a ila n d P h ilip in e s
C h in a V ie tn a m C a m b o d ia
4.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
1. PPh Badan Pasal 25/29 merupakan pajak atas penghasilan (profit) perusahaan
dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri setiap bulan sebesar PPh yang
terutang menurut SPT PPh tahun lalu dan pajak terutang dalam satu tahun.
PPh tersebut dikenakan pada penghasilan kena pajak (PKP) perusahaan, yang
merupakan selisih antara pendapatan operasi perusahaan dikurangi dengan
biaya operasi perusahaan yang menurut peraturan bisa dikurangkan.
Pendapatan operasi perusahaan listrik meliputi antara lain penjualan tenaga
listrik dan biaya penyambungan. Sedangkan, biaya operasi perusahaan
meliputi antara lain pembelian tenaga listrik, bahan bakar dan minyak pelumas,
pemeliharaan, kepegawaian, dan penyusutan aktiva tetap. Untuk mengurangi
beban PPh Pasal 25/29 Badan tersebut, Pemerintah telah memberikan fasilitas
perpajakan untuk penerimaan atas biaya penyambungan listrik yang diterima
PT PLN pada periode Januari – Desember 1976 dengan menganggap bahwa
penerimaan tersebut sudah dilaporkan pada SPT PT PLN. Sedangkan, periode 1
Januari 1977 – 31 Desember 1995 penerimaan atas biaya penyambungan listrik
belum diakui sebagai penghasilan dan belum dikenakan PPh, sehingga terutang
PPh namun pengenaannya dibagi rata selama 5 tahun terhitung sejak tahun
1996 sampai dengan tahun 2000. Setelah itu, mulai tahun 1996 semua
penerimaan atas biaya penyambungan listrik merupakan penghasilan tahun
bersangkutan dan wajib dikenakan PPh.
4.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2. PPh Pasal 22 Impor adalah pajak yang dipungut oleh badan tertentu (BUMN)
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor yang dibiayai oleh APBN atau
APBD.
Apabila industri listrik tersebut adalah BUMN, maka perusahaan tersebut
berkewajiban memungut PPh pasal 22 impor atas kegiatan di bidang impor
yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Namun, pajak ini dapat dikreditkan pada
SPT akhir tahun dan merupakan beban kontraktor.
Untuk mengurangi beban PPh pasal 22 Impor, Pemerintah telah memberikan
fasilitas perpajakan tidak dipungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 UU PPh. Dengan demikian, khusus untuk industri listrik tidak dikenakan
PPh pasal 22 impor.
3. PPh Pasal 26 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima oleh WP luar negeri selain badan usaha tetap
(BUT).
Pajak ini dikenakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa,
hadiah, penghargaan, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan, serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima oleh WP
luar negeri.
Untuk mengurangi beban PPh pasal 26 ini Pemerintah telah memberikan
fasilitas perpajakan berupa pembebasan dari PPh untuk konsultan,
kontraktor/supplier semua proyek PLN yang dibiayai dengan pinjaman luar
negeri.
4. PPN adalah pajak yang dikenakan pada nilai tambah dari barang dan jasa yang
diperjualbelikan. Dalam PPN dikenal adanya pajak masukan dan pajak
keluaran, sehingga tidak terjadi pajak berganda. Pada dasarnya pajak ini
merupakan beban konsumen.
Untuk mengurangi beban PPN terutama cash flow industri listrik, Pemerintah
memberikan beberapa fasilitas PPN sebagai berikut :
a. Perusahaan PLN sebagai BUMN diperbolehkan memungut PPN dari
supplier barang dan jasa atau kontraktor utama pelaksana proyek.
4.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
6. Pajak Lainnya, terutama bea meterai, adalah pelunasan bea meterai yang
dikenakan pada kuitansi listrik dengan tagihan diatas Rp250 ribu. Bea meterai
ini merupakan bukti sahnya pembayaran kuitansi transaksi, dan merupakan
beban konsumen pengguna listrik.
4.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
7. Bea Masuk adalah pajak yang dikenakan atas lalu lintas keluar masuk barang
ke daerah pabean. Untuk mengurangi beban bea masuk industri listrik,
Pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan pembebasan bea masuk atas
impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta.
4.3. Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan oleh Investor
Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai Dengan Tahun 2000
4.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
listrik oleh swasta diutamakan penggunaan sumber energi primer di luar minyak
bumi, kecuali apabila di lokasi proyek pembangkitan yang diusulkan tidak tersedia
atau atas dasar keekonomian tidak mungkin digunakan sumber energi primer di
luar minyak bumi.
4.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Badan adalah 30%. Tarif ini akan diturunkan menjadi 28% pada tahun 2007 dan
25% pada tahun 2010.
2. Kepada WP yang akan melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam
skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan.
3. Untuk mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah dapat diberikan
fasilitas perpajakan khusus yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Keuntungan/kerugian selisih kurs diakui sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia,
5. Pemupukan dana cadangan, biaya beasiswa, biaya sumbangan
penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka litbang, biaya
pengembangan masyarakat dan sosial, dan sumbangan fasilitas pendidikan
termasuk sebagai pengurang penghasilan bruto,
6. Perluasan dan pemotongan/pemungutan PPh dan perbedaan tarif pemotongan
antara WP yang ber-NPWP dan non-NPWP.
4.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.5. Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Untuk
Mendorong Usaha Dan Investasi Kelistrikan Setelah Tahun 2001
1
Hasil kerjasama penelitian antara PT. PLN (Persero) dengan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan
dan Kerjasama Internasional – Departemen Keuangan.
4.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Fasilitas pajak penghasilan (PPh) tersebut diatur lebih lanjut dalam PP, antara
lain :
4.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri terutama yang berbentuk Perseroan
Terbatas (PT) yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan di bidang-
bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas
pajak penghasilan (PPh) berdasarkan Keputusan Presiden. Fasilitas pajak
penghasilan tersebut adalah :
1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal
yang dilakukan;
2. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
3. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih lama dari 10 tahun;
4. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subyek
Pajak luar negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang
berlaku.
Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan atas kegiatan usaha di
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) berdasarkan PP Nomor 20
Tahun 2000 tidak lagi diberikan fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
PP ini yang diberlakukan oleh Pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001.
4.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.17
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2. Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau
pihak ketiga karena pengalihan harta kepada kreditur (debt to asset swap)
dibebaskan sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta
pihak yang mengalihkan;
Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau
kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur pada
perusahan debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun melalui pihak ketiga
dibebaskan sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar nilai buku utang
pihak debitur. Merupakan aturan pelaksanaan Pasal 31B Undang-undang Pajak
Penghasilan 2000. Ketentuan ini mulai berlaku tanggal 14 Februari 2001.
Fasilitas pajak penghasilan yang diberikan dalam Kapet telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah, antara lain :
a. PP Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu.
b. KMK Nomor: 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan
Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.
c. SE-04/PJ.32/2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu.
Mulai 7 April 2000 sampai dengan 1 Januari 2001, kepada pengusaha yang
melakukan kegiatan usaha di dalam KAPET diberikan fasilitas Pajak Penghasilan
sebagai berikut :
1. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan atau amortisasi yang dipercepat;
2. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai paling lama 10 tahun;
3. Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Deviden sebesar 10%.
4.18
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
1. Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang modal, bahan baku
dan peralatan lain yang berhubungan lansung dengan kegiatan produksi.
2. Penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat.
3. Kompensasi kerugian, mulai tahun pajak berikutnya berturut turut s/d paling
lambat 10 tahun.
4. Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Deviden sebesar 50% dari jumlah
yang seharusnya dibayar.
5. Pengurangan sebagai biaya produksi:
a. Kenikmatan berupa natura yang diperoleh karyawan dan untuk
diperhitungkan sebagai penghasilan bagi karyawan;
b. Biaya pembangunan dan pengembangan daerah setempat yang
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang fungsinya
dapat dinikmati umum.
Sejak 1 Januari 2001 bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) diberikan perlakuan di bidang
PPh sebagai berikut :
a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal
yang dilakukan;
b. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai paling lama 10 tahun;
d. Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subyek Pajak luar
negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang berlaku.
4.19
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.20
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.5.4. Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah (PPh DTP) atas Hibah dan
Pinjaman Luar Negeri
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk
Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan
Pajak Penghasilan Dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai
dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri.
Sejak tanggal 1 April 1995, Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor,
konsultan dan pemasok (supplier) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah
yang dibiayai degan hibah atau dana pinjaman luar negeri ditanggung oleh
Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini berlaku surut sejak tanggal 1 April 1995.
4.21
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.22
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.23
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.24
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.25
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.26
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.5.8. Penyusutan Dan Atau Pembebanan Sebagai Biaya Atas Biaya Pemakaian
Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan
4.27
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
6. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut diatas dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan 50% dari jumlah biaya dalam tahun
Pajak yang bersangkutan. Pengelompokan Aktiva Tetap yang disusutkan
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
138/KMK.03/2002.
4.5.9. Angsuran Pembayaran PPh Atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap
4.28
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
buku fiskal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun-
tahun sebelumnya, kecuali atas:
Pengalihan yang bersifat Force Majeur berdasarkan keputusan atau
kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan atau;
Pengalihan, peleburan, atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan
atau;
Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami
kerusakan berat yang tidak dapat di perbaiki lagi. Keputusan Menteri
Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal 28 Nopember 2002. Dengan
berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 384/KMk.04/1998 Tentang Penilaian Kembali Aktiva
Tetap Perusahaan dinyatakan tidak berlaku. Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-519/PJ./2002 tentang Tata Cara dan Prosedur
Pelaksanaan Penilaian Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
4. Wajib Pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk
tujuan perpajakan wajib mendapatkan persetujuan Ka Kanwil yang
membawahi KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 30 hari kerja
setelah tanggal dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dengan
menggunakan formulir yang telah ditentukan.
5. Apabila menurut penelitian permohonan Wajib Pajak telah memenuhi
persyaratan formal maupun material, maka Ka Kanwil wajib menerbitkan surat
persetujuan paling lambat 30 hari kerja setelah tanggal diterimanya
permohonan WP.
6. Apabilan setelah lewat batas waktu tersebut diatas Ka Kanwil belum
menerbitkan surat keputusan diterima/ditolak, maka permohonan WP tersebut
dianggap diterima dan wajib diterbitkan surat keputusan paling lambat 3 hari
sejak tanggal berakhirnya batas waktu tersebut diatas.
4.29
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003 tanggal 3
Juni 2003.
4.30
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
j. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Daerah yang ditujukan
untuk kepentingan umum;
k. Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan petahanan dan keamanan negara;
m. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
n. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama;
o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran
atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasonal atau perusahaan penangkapan ikan
nasional;
p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional;
q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yag diimpor dan digunakan oleh PT Kereta
Api Indonesia;
r. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara
Nasional Indonesia.
3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata
dimaksudkan untuk diekspor kembali;
4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum,
PDAM dan benda-benda pos;
4.31
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor;
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara;
8. Impor kembali (reimpor) yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
4.6.1. Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Sebelum 1
Januari 2001
Sesuai ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3, serta Pasal 4A ayat (2)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa semua barang merupakan Barang
Kena Pajak, kecuali barang-barang tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah sebagai jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
4.32
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.6.2. Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Setelah 1
Januari 2001 sampai dengan Sekarang
Dengan penetapan ini, maka atas impor dan atau penyerahan barang modal
berupa mesin dan atau peralatan pabrik yang diperlukan secara langsung dalam
proses menghasilkan Barang Kena Pajak berupa listrik, dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.
4.33
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, barang modal dimaksud tidak lagi
ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas impor dan
atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak 2 Agustus 2002, sehingga atas impor dan
atau penyerahan barang modal untuk industri ketenagalistrikan yang dilakukan
sejak 2 Agustus 2002 terutang Pajak Pertambahan Nilai.
4.34
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dalam hal Proyek Pemerintah tersebut hanya sebagian saja yang dibiayai
dengan dana atau pinjaman luar negeri, maka fasilitas tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut hanya
berlaku atas bagian dari Proyek Pemerintah yang dananya dibiayai dengan hibah
atau dana pinjaman luar negeri.
4.35
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
4.36
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB V :
KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES
BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA - NEGARA ASEAN
5.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
keuangannya dikenakan tax rate pendapatan perusahaan. Status pionir ini diberikan
kepada perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha dan menghasilkan produk yang
sedang dipromosikan oleh pemerintah.
Keringanan pajak investasi (Investment Tax Allowance atau ITA) sebesar 60 persen
dapat diperoleh perusahaan yang memenuhi kualifikasi dalam pengeluaran modalnya
selama 5 tahun terhitung sejak disetujuinya keringanan pajak investasi (untuk proyek-
proyek di bagian timur Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak diberikan sebesar
80 persen), salah satunya proyek pembangkit listrik hydro power Bakun di Sarawak.
ITA dapat diberikan sebesar 70 persen dari pendapatan dalam tahun perhitungan pajak.
Insentif juga diberikan kepada proyek-proyek public service seperti tenaga listrik,
transportasi, komunikasi, dan proyek lain yang disetujui oleh Menteri Keuangan
(Approved Service Projects atau ASPs). Insentif yang diberikan berupa pembebasan pajak
penghasilan sebesar 70 hingga 100 persen selama 5 hingga 10 tahun atau bantuan dana
investasi yang nilainya sama dengan 60 hingga 100 persen dari nilai pengeluaran modal
dalam lima tahun sejak disetujui. Bantuan investasi ini nilainya kurang lebih sama
dengan 70 hingga 100 persen dari pendapatan yang resmi.
5.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dewan investasi (Board of Investment atau BOI) menggunakan paket insentif dari
Executive Order 226 untuk mendorong perusahaan-perusahaan menempatkan
ketenagalistrikan kegiatan utamanya di daerah-daerah kurang berkembang. Perusahaan
dengan status pionir memperoleh income tax holiday selama 6 tahun, sedangkan yang
tidak berstatus pionir selama 4 tahun.
5.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
perusahaan tersebut membeli barang modal di dalam negeri. Insentif yang didapat
yaitu tax credit yang nilainya sama dengan pajak pertambahan nilai dan bea masuk yang
dibayar atas impor barang modal. Selain itu juga diberikan tax credit dan duty credit atas
bahan mentah yang digunakan dalam produksi barang ekspor.
5.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Penghasilan bruto yang dikenakan pajak sebesar 5 persen tidak termasuk biaya-
biaya untuk pembayaran administrasi, manajemen perusahaan, pemasaran, interest dan
financial charges pada barang modal, kerugian akibat transaksi valuta asing, kerugian
akibat penurunan nilai aset, iklan, asuransi, dan biaya pengadaan lain-lain.
Pemegang hak cipta memperoleh pembebasan bea masuk dan pengenaan biaya
atas impor mesin, perlengkapan dan suku cadang; serta pembebasan pajak penghasilan,
pajak pertambahan nilai, dan cukai terhadap komersialisasi produk-produk yang
diciptakan.
Sama seperti halnya negara lain, secara umum insentif fiskal di sector
ketenagalistrikan di Singapura dikelompokan menjadi beberapa macam insentif, yaitu :
insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya.
5.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dinegosiasikan, dan pengeluaran modal harus terjadi dalam 5 tahun sejak sertifikat
keringanan investasi disahkan oleh Economic Development Board (EDB).
5.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
• Transaksi surat-surat berharga tertentu pada pasar uang yang telah ditentukan
dengan pihak-pihak tertentu oleh anggota dari bursa perdagangan surat-surat
berharga yang telah ditentukan;
• Jasa-jasa tertentu yang disediakan oleh agen pemeringkat kredit yang telah
disetujui;
• Perdagangan surat-surat hutang selama periode tertentu.
Perusahaan yang melakukan ekspor dari Singapura lebih dari 10 juta dollar
Singapura untuk produk pabrikan atau lebih dari 20 juta dollar Singapura untuk
komoditi tertentu dapat mengajukan international trade incentive. Dengan insentif ini, 50
persen keuntungan ekspor dibebaskan dari pajak, dan biasanya selama 5 tahun.
5.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Sama seperti halnya di negara lain, secara umum insentif fiskal di sector
ketenagalistrikan di Thailand dikelompokan menjadi empat macam insentif, yaitu
insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan
insentif lainnya.
Insentif di Zone 1 :
• Pembebasan pajak pendapatan perusahaan selama 3 tahun bagi
perusahaan-perusahaan yang memiliki proyek ekspor tidak kurang dari 80
5.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Thailand memiliki 23 Gigawatts kapasitas tenaga listrik pada bulan Januari 2002
yang menghasilkan listrik sekitar 102 juta kwh. Penurunan perekonomian Thailand
sebagai akibat krisis ekonomi yang menimpa beberapa negara di Asia pada tahun 1997
menyebabkan pula penurunan permintaan listrik domestik di Thailand hingga 3 juta
kwh pada tahun 1998. Situasi ini membuat perusahaan listrik milik pemerintah
Thailand (EGAT) merevisi proyeksi permintaan listriknya. EGAT juga menunda
beberapa proyek listrik termasuk pembangunan pembangkit listrik Ratcaburi sebesar
300 MW hingga tahun 2004 (world energy, org).
5.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik. Salah satunya adalah Tri Energy
yang memulai beroperasi pada tahun 2000 dengan kapasitas 700 MW di Ratchaburi.
5.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Vietnam membeli listrik dari China untuk Vietnam sebelah utara dan berencana pula
untuk membeli listrik dari Laos pada tahun 2008. Pada Desember 2004, pemerintah
Vietnam telah membuat persetujuan untuk membeli listrikdari China sebesar 100 juta
Kwh untuk mengatasi kenaikan permintaan listrik pada tahun 2005.
Malaysia pada saat ini memiliki sekitar 14 gigawatts kapasitas generator listrik.
86 persen nya merupakan thermal dan 14 persennya merupakan tenaga air. Pada tahun
5.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2002, Malaysia menambah kapasitas tenaga listriknya sekitar 67 juta kwh. Pemerintah
Malaysia berharap tambahan investasi sekitar 9.7 juta $ dalam sektor listrik hingga
tahun 2010. Sebagian besar menggunakan energi batubara. Hal ini sejalan dengan
kebijakan pemerintah Malaysia yang berusaha mengurangi kapasitas tenaga listrik
menggunakan gas alam dengan meningkatkan penggunaan batubara hingga 30 persen
pada tahun 2006 (world energy, org).
5.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Peristiwa yang paling signifikan dalam industri energi di Filipina pada tahun
belakangan ini adalah penerbitan undang-undang kelistrikan atau Electric Power
Industry Reform Act (EPIRA) pada tahun 2001. Undang-undang ini memiliki 3 fungsi
utama : 1) untuk mengembangkan sumberdaya kelistrikan 2) untuk memangkas biaya
tinggi dari tenaga listrik di Filipina dan 3) untuk meningkatkan investasi asing di
bidang ketenaga listrikan. Langkah yang diambil antara lain dengan mengeluarkan
deregulasi dibidang kelistrikan dan privatisasi dari perusahaan Negara (BUMN) di
sector kelistrikan.
Napocor perlu mentransfer kewajiban untuk membeli tenaga listrik yang telah
ada ke distributor swasta dan juga menegosiasi ulang kontrak-kontrak berharga tinggi.
Karena faktanya bahwa distributor swasta tidak ingin melakukan perjanjian jika tenaga
listrik berada diatas harga pasar. Selain itu Napocor juga memperoleh insentif keuangan
dari pemerintah. Napocor saat ini memiliki utang sebesar 23 miliar US$ dan 9 miliar
US$ perjanjian pembelian tenaga listrik, sehingga pemerintah harus menyediakan dana
hingga 300 juta US$ per tahun untuk terus membuat Napocor beroperasi (world energy,
org).
5.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Kebijakan lain yang tidak kalah menarik adalah pada Juli 1998, pemerintah India
mengumumkan kemudahan peraturan dalam penanaman investasi asing di sektor
5.17
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
listrik. Proposal investasi hingga 15 miliar rupee atau sekitar 350 juta US$ dapat
persetujuan secara otomatis. Namun persetujuan otomatis tersebut hanya berlaku bagi
sektor listrik bertenaga air, batubara, minyak dan gas. Sedangkan untuk tenaga nuklir
harus ada persetujuan lain. Kebijakan tersebut membuat banyak investor menanamkan
modalnya di sektor kelistrikan yang membuat pasokan listrik di India terus meningkat.
Sehingga pemerintah India menetapkan target peningkatan kapasitas sebesar total
100.000 MW selama 10 tahun kedepan (Renewable Resources Based Electricity in Asia, Amit
Kumar, TERI, INDIA).
5.18
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.19
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.20
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.21
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.22
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.23
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.24
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.25
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.26
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.27
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
5.11.a. Pendahuluan
Trend industri listrik di negara berkembang dewasa ini mengalami perubahan
signifikan akibat peningkatan konsumsi. Seiring dengan meningkatnya harga bahan
bakar minyak, maka alternatif lain yang mulai ditempuh adalah penggunaan energi
panas bumi. Pemakaian energi panas bumi atau yang sering disebut "energi hijau",
memberi penghematan pengeluaran bagi negara berkembang.
Trend penggunaan energi panas bumi yang berkembang pada saat ini,
merupakan isyarat bagi Indonesia mengenai ketatnya persaingan untuk mendapatkan
investasi asing. Indonesia harus berusaha keras agar tak ketinggalan dalam menarik
investor untuk mengeksplorasi cadangan panas bumi yang ada, sebab setiap negara
berkembang berlomba menarik perhatian investor asing.
1
Disarikan oleh Makmun dari berbagai sumber.
5.28
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Negara yang saat ini sangat agresif untuk menarik investasi dalam mengelola
panas bumi, antara lain negara China dan Filipina. Kedua negara tersebut, memberikan
insentif yang relatif menarik bagi investor dalam mengembangkan pemanfaatan energi
panas bumi. China yang saat ini sedang bersemangat mengembangkan pemanfaatan
energi panas bumi untuk pembangkit listrik, memberikan insentif pembebasan pajak
hingga delapan tahun dan dihitung setelah lapangan panas bumi sudah mulai
berproduksi. Sementara negara Filipina membebaskan pajak bagi investor panas bumi
hingga enam tahun. Pembebasan pajak itu membuat pemanfaatan energi panas bumi
untuk pembangkit listrik cukup berkembang di Filipina hingga 1.930,89 Mega Watt
energi (MWe).
5.29
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
diperkirakan hanya akan bertambah 200 MW menjadi 1.000 MW. Sementara target
hingga tahun 2020 hanya akan meningkat menjadi 6.000 MW.
5.30
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
peran energi terbarukan diarahkan untuk dapat berfungsi sebagai penggerak roda
ekonomi dan penghasil devisa.
5.31
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Tabel 5.6. :
Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity
5.32
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB VI
ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL
DI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN
6.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dalam periode 2004-2013,pengembangan sistem penyaluran di sistem Jamali
berpedoman pada pengembangan dengan sistem tegangan 500 kV dan 150 kV.
Sedangkan sistem tegangan 70 kV diusahakan untuk tidak dikembangkan lagi atau
tetap dipertahankan pada sistem yang pertumbuhan listriknya tidak lagi begitu
pesat.
6.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
tegangan menengah 51.702 Kms, regangan rendah 78.712 Kms dan kapasitas trafo
distribusi 11.681 MVA.
6.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
pelanggan baru, dalam waktu yang sama diperkirakan dibutuhkan pendanaan
sebesar US$ 3.808,9 juta.
6.3. Insentif fiskal yang berlaku saat ini Bagi Industri Ketenagalistrikan dan
Kebutuhan Ke Depan
Seperti halnya jenis industri lain, industri listrik mempunyai kewajiban untuk
membayar berbagai jenis pajak dalam melakukan aktivitasnya, baik berupa pajak
pusat maupun pajak/retribusi daerah seiring dengan bergulirnya era otonomi
daerah. Jenis pajak yang harus dibayar, antara lain pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak
bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB),
pajak lainnya (bea meterai), dan bea masuk.
6.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
mulai dari sisi pembangkit hingga penjualan. Fasilitas tersebut disesuaikan dengan
UU Perpajakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar perpajakan (simplicity,
fairness, certainty, and competitiveness).
A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
PPN adalah pajak yang dikenakan pada nilai tambah dari barang dan jasa yang
diperjualbelikan. Dasar hukum yang masih berlaku hingga saat ini, antara lain :
(i) Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2000, (ii) Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 46 Tahun 2003, (iii) PP Nomor 25 tahun 2001, (iv) Keputusan Menteri
Keuangan (KMK) Nomor 371/ KMK.03/2003, dan (v) KMK Nomor 486/
KMK.04/2000.
6.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
- barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam)
- makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, dan
- uang, emas batangan, dan surat-surat berharga
6.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
- Impor barang kena pajak,
- Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean,
- Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean,
- Penyerahan barang kena pajak, dan atau
- Penyerahan jasa kena pajak.
Jadi dalam fasilitas ini terdapat 2 kategori yaitu (i) dibebaskan dari pengenaan
PPN berupa penyerahan listrik dan impor atau penyerahan barang modal
untuk menghasilkan listrik dan atau BKP lainnya, dan (ii) tidak dipungut
PPN/PPnBM (impor BKP, pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud dari luar DP,
penyerahan BKP/JKP).
6.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
B. Pajak Penghasilan (PPh)
Didalam pasal 31B ayat 1 dinyatakan bahwa Wajib Pajak yang melakukan
restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk
Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik
dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan
yang terutang atas : (a) pembebasan utang; (b) pengalihan harta kepada
kreditur untuk penyelesaian utang; dan (c) perubahan utang menjadi
penyertaan modal;
2. PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas PPh untuk Penanaman Modal di
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-daerah Tertentu.
PP ini merupakan penegasan dari UU Nomor 17 tahun 2000. Yang
dimaksud dengan bidang-bidang usaha tertentu adalah bidang-bidang
usaha di sektor-sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi
dalam skala nasional khususnya dalam rangka peningkatan ekspor.
6.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Sedangkan daerah-daerah tertentu adalah daerah terpencil yaitu daerah
yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi
keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit
dijangkau oleh transportasi umum, termasuk daerah perairan laut yang
mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya
memiliki cadangan mineral termasuk gas bumi.
Bagi wajib pajak yang telah memperoleh fasilitas atas kegiatan usaha di
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) tidak lagi diberikan
fasilitas ini.
6.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta
pihak yang mengalihkan.
c. Perubahan utang menjadi penyertaan modal (debt to equity swap); Pajak
Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau
kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur
pada perusahaan debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun
melalui pihak ketiga, dibebaskan sepanjang penyertaan modal tersebut
dinilai sebesar nilai buku utang pihak debitur
6.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah
dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah.Fasilitas
ini diberikan dalam rangka untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
7. KMK Nomor 486/KMK.04/2000 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak
Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan
Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri
Berdasarkan pasal 4 ayat 2 Pajak Penghasilan yang terutang oleh Kontraktor,
Konsultan dan Pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek
Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri, ditanggung oleh
Pemerintah
Apabila penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar
pengenaannya adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan
6.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak
Penghasilan yang bersifat final
6.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
e. Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating
dan pacuan kuda, sepanjang di Iokasi bekerja tersebut tidak tersedia
sarana dimaksud.
6.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
f. Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Namun pola pendanaan tersebut sudah tidak banyak diharapkan pada masa
yang akan datang khususnya untuk pengembangan pembangkit berskala besar,
karena adanya keterbatasan dalam liability Pemerintah dalam membuat pinjaman
baru dan atau adanya perubahan kebijakan pada lenders.
Berdasarkan hasil studi kapasitas pinjaman baru yang disusun oleh PT. PLN
(2002), telah menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyerap pinjaman
baru masih relatif besar, yakni dapat mencapai ± Rp 80,0 triliun untuk periode waktu
5 tahun ke depan dengan tingkat debt service yang cukup. Meskipun demikian,
kondisi tersebut belum membawa dampak positif bagi datangnya investasi baru
kepada PT. PLN.
6.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Berdasarkan perhitungan, kebutuhan dana investasi untuk memenuhi
permintaan tenaga listrik di sistem Jawa – Bali dan sistem luar Jawa – Bali selama
lima tahun dengan skenario terbatas adalah US$ 5,779 juta (fixed asset). Kebutuhan
dana investasi tersebut dipergunakan untuk pembangungan sarana pembangkitan,
transmisi dan distribusi.
Tabel 6.1. :
Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003 – 2007
(Fixed Asset – US$ Juta)
Tabel 6.2. :
Potensial Loss Sektor Pajak
Yang Ditanggung Pemerintah Selama Lima Tahun
6.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
6.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
Dewasa ini penggunaan energi, khususnya listrik, di dalam perekonomian
nasional mengalami peningkatan sangat pesat yang tercermin dari jumlah
permintaan total masyarakat Indonesia akan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun
2004 dan diproyeksikan sebesar 37,9 GW tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan
permintaan akan listrik sebesar 8 – 10% per tahun.
Namun, produksi listrik dari PT. PLN belum dapat mengimbangi tingginya
permintaan masyarakat akan listrik tersebut. Jumlah pasokan energi listrik yang
diproduksi PT. PLN hanya 18,0 GW tahun 2004 sehingga dalam tahun tersebut
terjadi kekurangan (gap) pasokan listrik sebesar 6,3 GW. Dengan kata lain, kondisi
permintaan lebih besar dari pada pasokan listrik tersebut dapat mengakibatkan
krisis energi listrik di tanah air.
7.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
b. Banyaknya kasus demonstrasi / pemogokan di bidang perburuhan atau
ketenagakerjaan yang disebabkan meningkatnya kesadaran mengenai hak-hak
buruh, masih rendahnya pendapatan buruh, kesejahteraan dan keselamatan
kerja belum memadai.
c. Pemahaman yang keliru terhadap pelaksanaan UU Otonomi Daerah yang
disebabkan belum lengkap dan jelasnya pedoman menyangkut tatacara
pelaksanaan otonomi daerah sehingga menimbulkan bentuk-bentuk pungutan
dan atau retribusi yang kurang jelas dasar hukumnya.
d. Kurangnya jaminan kepastian hukum, misalnya dengan dilakukan pembatalan
secara sepihak terhadap pemenang tender dan tidak diberikan kompensasi yang
layak, demikian dengan pembatalan dan atau perubahan terhadap isi kebijakan
(kontrak di bidang ketenagalistrikan seperti power purchase agreement / energy
contract.
e. Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) terutama
menyangkut lembaga-lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga arbitrase,
baik asing (ICC/ICSID) maupun lokal (BANI) yang menyebabkan rendahnya
kepercayaan investor terhadap tatacara / proses penyelesaian sengketa dan atau
penegakan hukum.
f. Kurangnya jaminan atau perlindungan investasi sehingga investor merasa tidak
aman dan nyaman karena masih saja terjadi tindakan – tindakan penjarahan dan
atau pengambil alihan secara melawan hukum terhadap aset –aset investor tanpa
dapat dicegah oleh Pemerintah.
g. Masih kurang menariknya insentif fiskal khususnya perpajakan yang diberikan
oleh Pemerintah dibandingkan dengan insentif fiskal yang diberikan oleh
Pemerintah negara – negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia,
Philipina dan Singapura, yang pada akhirnya dapat mendorong investor untuk
merelokasi investasinya dari Indonesia kepada negara – negara tersebut.
h. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia karena belum tersedianya
sumber daya manusia yang memadai baik secara kualitatif dan kuantitatif untuk
memenuhi kebutuhan industri.
7.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
i. Masih berjalannya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
menguntungkan pihak – pihak tertentu meskipun telah dikeluarkannya UU
Pemberantasan KKN dan UU Pembalikan Beban Pembuktian serta pembentukan
Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) namun tetap saja tidak mampu
mengurangi dan atau memberantas praktek KKN.
j. Tidak ada kejelasan dalam kebijakan investasi yang dicerminkan dengan tinggi
risiko (country risk) sehingga biaya financial dari projek ketenagalistrikan
menjadi mahal dan pada akhirnya berakibat harga jual (TDL) juga mahal.
k. Terjadi penundaan beberapa proyek yang dapat menurunkan manfaat ekonomi
dan keuangan (karena penundaan pendapatan PT. PLN dan penundaan
kesempatan konsumen menikmati jasa kelistrikan) sehingga dapat meningkat
biaya investasi, misalnya apabila perusahaan listrik mendapat pinjaman dari
lembaga-lembaga multilateral (World Bank, ADB, etc.) maka Pemerintah
Indonesia harus membayar commitment fee dan penundaan dapat meningkatkan
biaya investasi.
Selain itu, terjadi perbedaan sudut pandang antara Pemerintah dengan para
pelaku ekonomi khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena menurut para pelaku
ekonomi bahwa kegiatan dalam industri ketenagalistrikan pada umumnya
dibedakan antara kegiatan di sektor hulu (pembangkitan, transmisi dan distribusi)
dan hilir (penjualan listrik). Dan selama ini yang sering mendapat insentif fiskal
adalah di sektor hilirnya, akan tetapi di sektor hulunya masih belum banyak
tersentuh insentif fiskal. Sedangkan dari sudut pandang Pemerintah dalam
pengenaan pajak tidak membedakan barang berdasarkan sektor hulu dan hilir,
7.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
sehingga berakibat tidak pernah dapat menuntaskan permasalahan yang dihadapi
oleh para pelaku ekonomi.
Pajak yang dipungut Pemerintah atas pekerjaan kontruksi yang dilakukan pada
proyek – proyek usaha ketenagalistrikan, antara lain :
Pembebasan
Survai E/D Impor Peralatan Kontruksi
Tanah
a. PPN 10% a. PPh Psl 25 5% a. PPN 10% a. Bea Masuk 5 - 20% a. PPN 10%
b. BPHTB 5% b. PPN Impor 10%
c. PPh Impor 2,5%
7.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Untuk itu, secara serius Pemerintah saat ini berupaya untuk mendorong
investasi baik asing maupun dalam negeri melalui perbaikan berbagai kebijakan
ekonomi dan non ekonomi dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif agar
perekonomian diharapkan tumbuh rata – rata 6,6% per tahun melalui peningkatan
peranan swasta dalam pembangunan. Tekad Pemerintah tersebut telah diwujudkan
dalam agenda prioritas pembangunan melalui program peningkatan investasi,
yaitu :
1. Kebijakan peningkatan iklim dan realisasi investasi dengan langkah – langkah :
a. Penyederhanaan prosedur birokrasi dan perijinan
b. Penyusunan insentif investasi yang tepat sasaran
c. Pengurangan tumpang tindih kebijakan pusat – daerah dan antar sektor
d. Penanganan masalah – masalah investasi secara tepat
e. Reformasi kelembagaan penanaman modal
2. Reformasi bidang perpajakan dan kepabeanan, melalui :
a. Amandemen UU Perpajakan
b. Reformasi administrasi sengketa pajak
c. Fasilitasi perdagangan dan pemberantasan penyelundupan
3. Peningkatan daya saing industri manufaktur melalui upaya :
a. Peningkatan utilisasi kapasitas dan memperluas basis industri untuk
memperkuat struktur yang ada
b. Pengembangan investasi strategis secara fungsional dalam aspek
pengembangan teknologi industri, informasi pasar serta prasarana – sarana
pengendalian mutu
c. Fasilitas pengembangan sub sektor industri sesuai dengan masalah yang
dihadapi, difokuskan (diprioritaskan) pada sub-sub sektor yang menyerap
tenaga kerja, mengolah sumber daya alam (SDA) dalam negeri, memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri dan memiliki potensi pengembangan ekspor
ke depan.
7.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
distribusi). Sehingga, perlu kesamaan pandang antara Pemerintah (baik di Pusat dan
Daerah) dengan pelaku – pelaku sektor ketenagalistrikan agar pemberian dukungan
tersebut dapat menghasilkan nilai tambah (multiplier effect) yang lebih besar dari
pada potensial loss akibat pemberian dukungan atau fasilitas tersebut.
7.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2. BARANG MODAL berupa mesin dan peralatan pabrik untuk
menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis atas impor dan atau
penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN.
c. Kepabeanan
1. Menggunakan mekanisme PP 42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringan
BM dapat diberikan atas Impor;
2. Menggunakan Pasal 26 ayat (1) huruf j UU 10 Tahun 1995 : Barang oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditujukan untuk Kepentingan
Umum;
3. MEREVISI PMK 47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukkan
industri ketenagalistrikan ke dalam daftar industri jasa yang
mendapatkan fasilitas keringan BM;
4. Memberikan FASILITAS BM KHUSUS untuk PT. PLN (Persero);
5. Menurunkan TARIF BM BARANG MODAL untuk industri
ketenagalistrikan dengan memasukkan Harmonisasi Tarif.
7.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
kepada yang benar-benar membutuhkan. Subsidi langsung dapat dilakukan pada
jenis energi untuk pelanggan yang tercatat dengan baik seperti PLN. Sedangkan
subsidi tidak langsung dapat diberikan untuk pelanggan bahan bakar cair seperti
pelanggan minyak tanah. Bentuk subsidi tidak langsung ditujukan untuk
menstimulir (mendorong) kegiatan-kegiatan pada asyarakat yang ditargetkan guna
mendapatkan tambahan pendapatan (income generating activities) melalui subsidi
biaya pendidikan, pendanaan mikro melalui revolving fund atau skema pendanaan
mikro lainnya, dan juga subsidi biaya kesehatan sehingga masyarakat dapat
menjalankan kegiatan dan berkehidupan yang lebih baik.
7.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
etanol), dan konverter untuk tenaga angin, menyebabkan harga energi terbarukan
yang dihasilkan menjadi relatif mahal.
Selain itu pada beberapa kasus kerusakan membutuhkan waktu yang relatif
lama karena menunggu pengiriman (impor). Dengan demikian diharapkan
menambah muatan lokal (local content) dapat secara signifikan mengurangi biaya
investasi dan mengurangi biaya produksi energi terbarukan, sehigga pada akhirnya
dapat menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi energi terbarukan untuk
bersaing dengan energi fosil.
7.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal
Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Insentif fiskal sangat diperlukan sebagi upaya untuk mengeembangkan energi
terbarukan. Hal tersebut sebagai terobosan guna merangsang investor untuk
mengembangkan energi ramah lingkungan. Disadari, rasio elektrifikasi masih
terbilang rendah, sekitar 80 juta rakyat belum menikmati pelayanan listrik. Isentif
fiskal paling tidak akan merangsang para investor baik Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk membangun sejumlah
proyek listrik yang ramah lingkungan.
Tabel 7.1. :
Usulan Bentuk - Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanftaan
Sumber Daya Terbarukan
7.10