Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH

AHLUSSUNNAH
WALJAMA’AH

Oleh :
Fauji Mauludin

Semester I

Program Studi 1 Jurusan Syari’ah


HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AL-AZHARY CIANJUR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam.


i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena


atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Junjungan kita
Rasulullah SAW beserta Keluarganya, para Shahabatnya, serta kita semua para
penganut ajarannya hingga akhir zaman.
Makalah yang berjudul SEJARAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
ini, kami susun dan kami ajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah
ILMU KALAM dalam jurusan Hukum Keluarga Islam di Sekolah Tinggi Agama
Islam Al-Azhary yang saat ini kami jalani.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, segala kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan
makalah kami di masa yang akan datang .

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2

C. Tujuan .............................................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN ..................................................................... 3

A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah .............................................. 3

B. Asal Mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah ........................... 3

C. Doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah ..................................... 4

BAB III : HASIL ANALISIS ................................................................ 9

BAB IV : PENUTUP ................................................................................ 11

A. Kesimpulan ................................................................................................ 11

B. Saran .......................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam
yang sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun selain hanya
karena Allah SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah sebagai penafsir al-Qur’an
satu-satunya, sehingga setiap sahabat yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an
yang berkaitan dengan keyakinan maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya.
Selain itu umat terbimbing langsung oleh Nabi, sehingga dalam memahami agama
tidak terjadi perbedaan.
Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan zaman Nabi, belum
membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi membentuk sebuah
nama tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran tertentu.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang ilmu
kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat
dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga
teolog disebut sebagai “mutakallim”, yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata.
Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, yaitu ilmu
yang membahas ajaran dasar dari agama.
Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah masalah teologi,
melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu,
perselisihan politik ini meningkat menjadi persoalan teologi. Bahkan ada dua teori
yang membahas latar belakang timbulnya persoalan teologi yakni perbedaan
aliran ilmu kalam. Pertama, awal tercampurnya masalah aqidah dengan hal yang
lain adalah sejak mulai dari khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan terbunuh
karena beberapa sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan
masalah ini kian rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib. Kedua, aliran ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau
penafsiran terhadap al-Qur’an maupun kajian terhadap hadits yang bersifat
teologis. Diantara sekian banyak ilmu kalam yang bermunculan ialah Syi’ah,
Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah yang berakhir dengan

1
peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal terbentuknya aliran Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai “banyak
makna” , sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim
dirinya adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam
mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan golongan mayoritas
umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan
amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta memperjuangkan
berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas
kelompok atau golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus
masalah ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya
tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau Fiqhiyah,
bahkan masalah budaya, politik, dan sosial.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya
aliran ini, perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting
adalah kepercayaannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan
penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Ahlussunnah wal Jama’ah
2. Bagaimana riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
3. Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Untuk mengetahui riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal
Jama’ah.
3. Untuk mengetahui doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah


Kalimat Ahlussunnah wal Jama’ah, terdiri dari dua kata inti yaitu
: Ahlussunnah yang artinya : ahli mengamalkan sunnah, penganut sunnah, atau
pengikut sunnah. Dan wal Jama’ah yang artinya : dan jama’ah, maksudnya adalah
jama’ah sahabat-sahabat Nabi[1].
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-
langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya[2].
Dari definisi di atas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri
dari satu kelompok aliran, tapi ada beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di
dalamnya.
Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak
dipakai sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Sumber dari
istilah tersebut oleh sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW.
Yang menerangkan akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara
lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi, yang artinya :
“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan binasa, kecuali satu. Para
sahabat Nabi bertanya : Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah
menjawab : Yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada i’tiqadku dan yang
berpegang teguh pada i’tiqad yang dipegangi oleh sahabat-sahabatku”

B. Asal Mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah


Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di
Baghdad, 324 H / 935 M) ialah seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam
pada masanya. Menurut catatan sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari
ayah tirinya yakni Syaikh Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahab al-Juba’I
(seorang ulama besar Mu’tazilah), kemudian Abu Hasan al-Asy’ari keluar dari
paham gurunya itu karena menurutnya banyak keyakinan yang tidak benar.
Kemudian beliau membangun paham sendiri yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.

3
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyah,
karena dinishbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Juga sering disebut sebagai
paham Ahlussunnah saja, juga sering disebut sunni dan pengikutnya
disebut sunniyun.
Seluruh ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-
Asy’ari, dibukukan oleh beliau diantaranya terdapat dalam kitab yang beliau
susun seperti : Al-Ibanah fi Ushuliddiniyyah, Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan
lain-lain.

C. Doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah

a. Pahamnya Tentang Seorang Muslim dan Hal Dosa


Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa suatu golongan
dapat dianggap atau diakui sebagai muslim apabila memenuhi tiga
syarat[3] :
1. Mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisannya
2. Ucapan itu diikuti kepercayaan dengan hatinya
3. Dan dibuktikan dengan amal yang nyata

Adapun tentang dosa, Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum
bertaubat, maka orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang mengerjakan
maksiat. Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah ia masuk neraka, tetapi tidak
abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka setelah selesai menjalani hukuman neraka,
tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena imannya[4].
Dari uraian tersebut dapat kita bandingkan bahwa menurut Ahlussunnah apa yang
diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut
mereka tidak ada kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu
hak istimewa-Nya

4
b. Tentang Sifat-Sifat Allah SWT
Menurut Ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan
substansi, bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang.
Dia memiliki sifat-sifat seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak,
mendengar, melihat dan lain-lain. Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu
unik dan pada dasarnya berbeda dari sifat-sifat makhluk dan dengan doktrin
“mukhalafah”, atau perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini, bila suatu sifat
diaplikasikan kepada Tuhan, maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik dan
jangan dipahami seperti kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin
“mukhalafah” inilah, Ahlussunnah berpendirian bahwa kita tidak boleh
menyebutkan sifat Tuhan selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-
Qur’an. Sifat-sifat Tuhan berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatan
tetapi dalam jenisnya yakni dalam segenap hakikatnya[5].
Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti
tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim.
Sedangkan Abu Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau
esensi Tuhan. Menurutnya arti “Tuhan Mengetahui” ialah tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Arti
Tuhan mengetahui dengan esensinya, kata al-Jubba’i ialah untuk mengetahui,
tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan
mengetahui[6].
Menurut al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang
kekal, dan untuk mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa sifat-sifat itu
bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan[7].
Sedangkan menurut Hamka, “membahas sifat dan dzat manusia saja sangat sulit
apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan”. Oleh sebab itu, ia lebih menitikberatkan
kajiannya kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik dari pembicaraan Tuhan
dan sifat-sifat-Nya. Manfaat apa yang dapat diambil dari pendiskusian tentang
Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk mempertinggi kualitas iman seseorang, dan pada
gilirannya akan mempertinggi pula kualitas dan kuantitas amal sholehnya[8].

5
c. Tentang Keadilan Allah SWT

Mengenai konsep keadilan Allah SWT, pendapat Ahlussunnah bahwa


Allah SWT pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas
terjadinya segala perbuatan makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang
hamba bermaksud akan berbuat sesuatu, maka Allah menentukan apa yang
dikerjakan oleh hamba tersebut, atas perbuatannya itu si hamba mempunyai
kasab. Menurut Ahlussunnah, kasab ialah berbarengannya kemampuan si hamba
dengan perbuatannya. Jadi hamba hanya punya kasab, sedangkan perbuatannya
sendiri diciptakan Allah SWT[9].
Dalam uraian tersebut nampaklah bahwa aliran ini bersikap tengah-tengah antara
pendapat Qadariah dan Jabariah. Allah menciptakan kemamapuan dan kemauan si
hamba yang keduanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga
perbuatannya itu makhluk Allah. Jadi makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa
perantara seperti batu, pohon-pohon dan sebagainya. Ada yang memakai
perantara yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja manusia. Karena si hamba
merupakan perantara itulah maka dia bertanggung jawab dan mendapat balasan
baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu memberi
pahala kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.

d. Tentang Janji dan Ancaman

Menurut Mu’tazilah, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau


melakukan dosa besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa
yang mati dalam keadaan beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya.
Kaum Mu’tazilah tidak menyebut adanya kemungkinan pengampunan Allah dan
syafaat di hari kiamat[10].
Ahlussunnah tidak sepaham dengan Mu’tazilah mengenai al-Wa’d wa al-Wa’id
tersebut. Menurut Ahlussunnah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang
yang mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang
yang dikehendaki-Nya. Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at
(pembelaan) dari Nabi dan para Rasul serta para Sholihin di hari kiamat[11].

6
Dasar pemikiran Ahlussunnah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas
semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi
segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-
Nya ke dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah
memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu
kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan sesuatu yang
bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan
Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan
timbulnya kedzaliman daripada-Nya[12].

e. Tentang Melihat Dzat Allah di Akhirat

Dalam hal ini Ahlussunnah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para
filosof dan sejalan dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa
Allah itu dapat dilihat, tapi mereka tidak sepakat mengenai apakah Tuhan dapat
ditunjukkan. Mereka menerima prinsip filsafat bahwa apa saja yang menempati
ruang atau arah haruslah memiliki waktu, padahal Allah tidak tidak terikat dengan
waktu. Pengakuan ini mengakibatkan mereka dihantui kerumitan, sebab bila
Tuhan tidak “meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang dapat dilihat, maka Tuhan
tidak dapat dilihat, namun pendapat ini bertentangan dengan paham mereka
bahwa Tuhan dapat dilihat. Jadi untuk mengatasi kesulitan ini, mereka
menyatakan bahwa suatu benda biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang
melihatnya, mungkin saja untuk dilihat. Ini alasan yang lemah dan ganjil sekali,
sebab sangat bertentangan dengan segenap prinsip optika[13].
Disamping itu, Ahlussunnah juga sependapat dengan kaum ortodoks,
dan Ahlussunnah menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi
mengenai hal ini harus dipahami secara kiasan. Dengan pola pikir rasional,
Ahlussunnah mengemukakan bahwa kata dan makna ayat dan hadits yang
menerangkan tentang hal ini, menunjukkan bahwa kita jangan memahaminya
secara harfiah dan menafsirkannya bahwa melihat Tuhan artinya “melihat tanda-
tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”[14].

7
f. Tentang perbuatan Manusia

Ahlussunnah mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang


berpengaruh atas segala perbuatannya dengan izin Allah SWT. Manusia juga
mempunyai pilihan ikhtiar, tapi manusia dipaksa atas pilihannya. Kemampuan
manusia tidak berpengaruh secara asli atas amal perbuatannya, hanya seperti
tangan yang lumpuh. Karena itu, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa jika
tidak digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah SWT. Dengan
demikian, Ahlussunnah tidak mengakui adanya ikhtiar pada manusia, sesuai
dengan firman Allah bahwa :”Dia menciptakan apa saja yang dikehendaki
termasuk yang diciptakan-Nya dengan perantara perbuatan mereka”[15].
Sedangkan Hamka berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Pilihan untuk menjadi kafir atau menjadi mukmin
adalah berdasarkan pilihan bebas manusia itu sendiri, bukan ditentukan oleh
Tuhan. Kebebasan berkehendak dan berbuat tersebut dimungkinkan dimiliki oleh
manusia, karena kepada manusia diberikan potensi akal. Dengan akal inilah
manusia menimbang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
mendatangkan kemudlaratan dan mana yang mendatangkan kemanfaatan[16]

8
BAB III
HASIL ANALISIS

Ahlussunnah menggunakan tiga metode pendekatan dalam memahami al-


Qur’an, yaitu :
Pertama, bayani yakni pemikiran yang tradisional sarat dengan memahami
Al-Qur’an yang tekstual. Contohnya adalah dalam menetapkan sejumlah nama
dan sifat Allah. Ahlussunnah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang telah
ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya sendiri, baik melalui kitab-Nya ataupun lisan
Rasul-Nya, tanpa harus merubah (menambah atau mengurangi), mengingkari,
menjelaskan tentang bentuk atau caranya, ataupun menyerupakan-Nya dengan
sesuatu apapun. Berlandaskan dalil yang artinya “Hanya milik Allah asmaa-ul
husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husnaitu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. Al A’raaf : 180)
Kedua, burhani atau akal yang memahami Al-Qur’an itu dengan
kontekstual. Sebagai contoh adalah Ahlussunnah dalam meyakini tentang melihat
dzat Allah di akhirat. Dalilnya berupa ayat al-Qur’an yang artinya “Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabb nyalah
mereka melihat.” (QS al-Qiyamah : 22-23). Ahlussunnah meyakini bahwa di
surga nanti apapun bisa terjadi termasuk Allah menampakkan dzat-Nya di
hadapan hamba-Nya yang bertakwa, namun disamping itu. Ahlussunnah juga
menafsirkan ayat yang sama dengan pemahaman yang berbeda, menggunakan
metode.
Ketiga, irfani atau rasa yaitu pemahaman manusia melalui indera, baik
indera dalam (hati) maupun indera luar. Dalam hal ini yang dimaksudkan dzat
Allah dapat terlihat berupa ganjaran-Nya, nikmat-Nya, atau merasakan kedekatan
dengan-Nya melalui hati manusia itu sendiri.
Dengan demikian, penulis setuju bahwa Ahlussunnah adalah aliran kalam yang
lebih memilih netral daripada condong ke satu arah. Mudah diterima karena
konsep ajarannya tidak memaksa atau radikal. Jadi, apabila suatu kaum

9
menyatakan perang dengan kekerasan atas nama Ahlussunnah wal Jama’ah maka
mereka bukanlah Ahlussunnah yang sebenarnya, karena Ahlussunnah tidak
mengajarkan kekerasan namun lebih santun dan terbuka dalam berda’wah.
Pesan tersirat dari ajaran Ahlussunnah ialah berpikir maju namun tetap
berlandaskan al-Qur’an dan hadits Nabi, agar diri kita tidak dibutakan oleh dunia
dengan tetap berpegang pada syariat agama Islam. Sangat penting bagi generasi
muda seperti mahasiswa untuk menghadapi modernisasi zaman yang semakin
pesat dan sarat akan tipu daya.

10
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahlussunnah wal jama’ah mempunyai paham :
1. Yang dihukumkan orang islam ialah orang yang mempunyai kepercayaan
hati, dibuktikan dalam bentuk perkataan dan amaliahnya;
2. Orang islam yang berbuat dosa besar dan sampai matinya belum bertaubat,
maka diklaim sebagai mukmin yang melalukan maksiat. Hukumannya
akan masuk neraka, tetapi mempunyai harapan besar masuk surga,
walaupun sudah berabad-abad lamanya;
3. Semua perbuatan Allah mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak
mengetahuinya, dan yang mengetahui hanyalah Allah sendiri.

Semua umat islam di tanah air kita Indonesia ini adalah termasuk golongan
ahlussunnah wal jama’ah, tak ada kecualinya, karena i’tiqad dan ibadahnya semua
sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://atieqfauziati.blogspot.com/2016/01/makalah-ahlussunnah-wal-jamaah-

tugas.html

12

Anda mungkin juga menyukai