AHLUSSUNNAH
WALJAMA’AH
Oleh :
Fauji Mauludin
Semester I
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AL-AZHARY CIANJUR
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan .............................................................................................. 2
A. Kesimpulan ................................................................................................ 11
B. Saran .......................................................................................................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal terbentuknya aliran Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai “banyak
makna” , sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim
dirinya adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam
mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan golongan mayoritas
umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan
amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta memperjuangkan
berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas
kelompok atau golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus
masalah ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya
tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau Fiqhiyah,
bahkan masalah budaya, politik, dan sosial.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya
aliran ini, perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting
adalah kepercayaannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan
penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Ahlussunnah wal Jama’ah
2. Bagaimana riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
3. Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Untuk mengetahui riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal
Jama’ah.
3. Untuk mengetahui doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyah,
karena dinishbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Juga sering disebut sebagai
paham Ahlussunnah saja, juga sering disebut sunni dan pengikutnya
disebut sunniyun.
Seluruh ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-
Asy’ari, dibukukan oleh beliau diantaranya terdapat dalam kitab yang beliau
susun seperti : Al-Ibanah fi Ushuliddiniyyah, Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan
lain-lain.
Adapun tentang dosa, Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum
bertaubat, maka orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang mengerjakan
maksiat. Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah ia masuk neraka, tetapi tidak
abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka setelah selesai menjalani hukuman neraka,
tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena imannya[4].
Dari uraian tersebut dapat kita bandingkan bahwa menurut Ahlussunnah apa yang
diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut
mereka tidak ada kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu
hak istimewa-Nya
4
b. Tentang Sifat-Sifat Allah SWT
Menurut Ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan
substansi, bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang.
Dia memiliki sifat-sifat seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak,
mendengar, melihat dan lain-lain. Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu
unik dan pada dasarnya berbeda dari sifat-sifat makhluk dan dengan doktrin
“mukhalafah”, atau perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini, bila suatu sifat
diaplikasikan kepada Tuhan, maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik dan
jangan dipahami seperti kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin
“mukhalafah” inilah, Ahlussunnah berpendirian bahwa kita tidak boleh
menyebutkan sifat Tuhan selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-
Qur’an. Sifat-sifat Tuhan berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatan
tetapi dalam jenisnya yakni dalam segenap hakikatnya[5].
Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti
tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim.
Sedangkan Abu Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau
esensi Tuhan. Menurutnya arti “Tuhan Mengetahui” ialah tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Arti
Tuhan mengetahui dengan esensinya, kata al-Jubba’i ialah untuk mengetahui,
tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan
mengetahui[6].
Menurut al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang
kekal, dan untuk mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa sifat-sifat itu
bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan[7].
Sedangkan menurut Hamka, “membahas sifat dan dzat manusia saja sangat sulit
apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan”. Oleh sebab itu, ia lebih menitikberatkan
kajiannya kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik dari pembicaraan Tuhan
dan sifat-sifat-Nya. Manfaat apa yang dapat diambil dari pendiskusian tentang
Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk mempertinggi kualitas iman seseorang, dan pada
gilirannya akan mempertinggi pula kualitas dan kuantitas amal sholehnya[8].
5
c. Tentang Keadilan Allah SWT
6
Dasar pemikiran Ahlussunnah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas
semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi
segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-
Nya ke dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah
memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu
kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan sesuatu yang
bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan
Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan
timbulnya kedzaliman daripada-Nya[12].
Dalam hal ini Ahlussunnah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para
filosof dan sejalan dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa
Allah itu dapat dilihat, tapi mereka tidak sepakat mengenai apakah Tuhan dapat
ditunjukkan. Mereka menerima prinsip filsafat bahwa apa saja yang menempati
ruang atau arah haruslah memiliki waktu, padahal Allah tidak tidak terikat dengan
waktu. Pengakuan ini mengakibatkan mereka dihantui kerumitan, sebab bila
Tuhan tidak “meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang dapat dilihat, maka Tuhan
tidak dapat dilihat, namun pendapat ini bertentangan dengan paham mereka
bahwa Tuhan dapat dilihat. Jadi untuk mengatasi kesulitan ini, mereka
menyatakan bahwa suatu benda biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang
melihatnya, mungkin saja untuk dilihat. Ini alasan yang lemah dan ganjil sekali,
sebab sangat bertentangan dengan segenap prinsip optika[13].
Disamping itu, Ahlussunnah juga sependapat dengan kaum ortodoks,
dan Ahlussunnah menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi
mengenai hal ini harus dipahami secara kiasan. Dengan pola pikir rasional,
Ahlussunnah mengemukakan bahwa kata dan makna ayat dan hadits yang
menerangkan tentang hal ini, menunjukkan bahwa kita jangan memahaminya
secara harfiah dan menafsirkannya bahwa melihat Tuhan artinya “melihat tanda-
tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”[14].
7
f. Tentang perbuatan Manusia
8
BAB III
HASIL ANALISIS
9
menyatakan perang dengan kekerasan atas nama Ahlussunnah wal Jama’ah maka
mereka bukanlah Ahlussunnah yang sebenarnya, karena Ahlussunnah tidak
mengajarkan kekerasan namun lebih santun dan terbuka dalam berda’wah.
Pesan tersirat dari ajaran Ahlussunnah ialah berpikir maju namun tetap
berlandaskan al-Qur’an dan hadits Nabi, agar diri kita tidak dibutakan oleh dunia
dengan tetap berpegang pada syariat agama Islam. Sangat penting bagi generasi
muda seperti mahasiswa untuk menghadapi modernisasi zaman yang semakin
pesat dan sarat akan tipu daya.
10
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahlussunnah wal jama’ah mempunyai paham :
1. Yang dihukumkan orang islam ialah orang yang mempunyai kepercayaan
hati, dibuktikan dalam bentuk perkataan dan amaliahnya;
2. Orang islam yang berbuat dosa besar dan sampai matinya belum bertaubat,
maka diklaim sebagai mukmin yang melalukan maksiat. Hukumannya
akan masuk neraka, tetapi mempunyai harapan besar masuk surga,
walaupun sudah berabad-abad lamanya;
3. Semua perbuatan Allah mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak
mengetahuinya, dan yang mengetahui hanyalah Allah sendiri.
Semua umat islam di tanah air kita Indonesia ini adalah termasuk golongan
ahlussunnah wal jama’ah, tak ada kecualinya, karena i’tiqad dan ibadahnya semua
sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
11
DAFTAR PUSTAKA
http://atieqfauziati.blogspot.com/2016/01/makalah-ahlussunnah-wal-jamaah-
tugas.html
12