Anda di halaman 1dari 13

Persepsi Ancaman di Kawasan Asia Tenggara: Peran ASEAN

sebagai Primary Driving Force

Abstrak

ASEAN sebagai sebuah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara dihadapkan


dengan berbagai fenomena yang harus disikapi secara cermat. Prinsip non intervensi
dan norma ASEAN (ASEAN Way) harus dapat diimplementasikan secara kontekstual,
dengan melihat karakteristik kasus yang dihadapi. Pemetaan potensi ancaman eksternal
dan internal pun harus dilakukan secara tepat, karena akan menyebabkan perbedaan
dalam mengambil sikap. Oleh karena itu ASEAN membentuk berbagai forum di
kawasan untuk menjembatani permasalahan terkait keamanan kawasan. Dalam
penelitian ini akan ditinjau lebih jauh lagi mengenai dilema ancaman yang sedang
dihadapi oleh ASEAN dengan berangkat dari analisis menggunakan security complex.
Analisis tersebut tidak akan berdiri sendiri karena akan bersinggungan dengan
implikasi transisi posisi hubungan antara negara anggota ataupun negara rekan
ASEAN. Sehingga akan menjadi penting untuk menggali lebih jauh mengenai
pergeseran posisi amity menuju enmity yang harus disikapi secara cermat melalui
berbagai forum bersama yang telah dirancang. Penelitian ini bertujuan untuk
memberikan pandangan secara kritis dan ilmiah terkait dinamika hubungan di kawasan
Asia Tenggara.

Kata kunci: Prinsip Non Intervensi, ASEAN Way, security complex, potensi ancaman,
amity, enmity
Pendahuluan

ASEAN (The Association of Southeast Asia Nation) merupakan sebuah

organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, dengan semangat untuk membawa

kesejahteraan bagi negara-negara anggotanya. Kerjasama itu diwujudkan dalam bidang

sosial, ekonomi, dan budaya. Dimana dalam proses kerjasama itu banyak dipengaruhi

oleh variabel-variabel yang dinamis dan itu dapat berpengaruh pada keefektifan sebuah

organisasi. Bahwa efektifitas sebuah organisasi dilihat dari tiga hal, yaitu tingkat

kerumitan masalah (problem malignancy), bagaimana ASEAN menghadapi berbagai

isu yang timbul dan berkembang, apabila kerumitan dari dinamika masalah itu dapat

dikelola dengan baik maka organisasi akan dinilai sebagai sesuatu yang efektif. Kedua

adalah level kolaborasi, dimana ASEAN harus mampu untuk menentukan posisi

kolaborasinya dalam kerangka kerja yang terkelola. Ketiga adalah problem solving,

dimana dalam tahapan ini ASEAN akan dinilai kompetensinya dengan keterkaitannya

terhadap poin 2 dan 3, dan bagaimana ASEAN menjalankan fungsi otoritasnya terhadap

anggota-anggotanya, serta kinerja dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Berkaitan

dengan hal-hal tersebut, maka muncullah berbagai variabel yang menciptakan suatu

situasi dan kondisi yang harus dihadapi oleh ASEAN, berkaitan dengan segala

dinamika isu yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Berangkat dari latar

belakang sejarah yang sama, yaitu pengalaman kolonialisme yang dianggap sebagai

masa kegelapan di Asia Tenggara, maka ASEAN mempunya kepekaan terhadap segala

bentuk eksistensi ancaman di kawasannya, yang secara langsung menjadikan ASEAN

sebagai sebuah komunitas diplomatik1, karena ASEAN pun dianggap sebagai wilayah

abu-abu, dimana tidak dapat dikatakan sebagai komunitas pertahanan ataupun

1
Baca Rizal Sukma. 1996, ASEAN Sebagai Komunitas Diplomatik: Peran, Tugas, dan Strategi, dalam
Bantarto Bandoro (ed), Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik, Jakarta: CSIS, hal. 56+
komunitas keamanan, namun sebagai organisasi yang memiliki peran keamanan

(Djiwandono, 1992: 1- 23).

ASEAN dan Dilema Ancaman

Berkembangnya interaksi regional di kawasan Asia Tenggara mebawa berbagai

isu-isu baru yang berpengaruh langsung dalam segala mekanisme yang harus

dijalankan oleh ASEAN. Salah satu isu yang akan dibahas dalam tulisan ini berkaitang

dengan isu keamanan, yaitu persepsi ancaman dari perspektif ASEAN terhadap

interaksinya dengan para significant others-nya. Sehingga ada dua pertanyaan besar

yang muncul lebih lanjut, yaitu mengapa akhirnya ASEAN memasukan isu keamanan

kedalam salah satu agenda kerjasamanya secara terbua pada saat ini? Apakah bentuk

kerjasama keamanannya sebai sebuah jawaban terhadap ancaman yang muncul?

Meleburnya batas-batas negara di suatu kawasan, membawa dampak pada

persepsi suatu negara terhadap perilaku negara lain. Persepsi yang tidak selamanya

dianggap sebagai satu nilai positif, tak jarang persepsi yang muncul adalah bentuk

kewaspadaan, dimana perilaku suatu negara dapat mengancam eksistensi yang lain.

Dalam hal ini, ASEAN menyikapinya dengan merumuskan beberapa langkah

kerjasama dalam hal pemeliharaan perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan

regionalnya. Salah satu rumusan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah melakukan

konsolidasi dan memperkuat solidaritas dalam ASEAN secara kohesif dan selaras

dengan cara membuat ketahanan nasional dan regional melalui kerjasama dan bentuk

asistensi guna memciptakan zona perdamaian, kemerdekaan, netral2. Prinsip itu

kemudian mengemuka dan dituangkan dalam bentuk kerjasama keamanan.

Dilema yang muncul selanjutnya akbat dari interaksi global di kawasan Asia

Tenggara adalah perkembangan indocina yang juga dianggap sebagai sebuah ancaman,

2
Lihat Asean Documentary Series. 1998 – 1999, Jakarta: Asean Secretariat
selain itu juga ketidakstabilan domestik politik di setiap negara di kawasan tersebut

(domestic vulnerabilities) yang menimbulkan kerawanan regional3, selain itu juga

preferensi suatu negara terhadap potensi negara lain, terutama di Asia Tenggara

memicu Asean untuk mengambil langkah guna memberikan solusi yang relevan bagi

isu-isu yang nantiny aakan berkembang menjadi sebuah ancaman. Jadi dapat dicermati

bahwa ASEAN ingin menciptakan keamanan yang kolektif, dengan menumbuhkan

suatu persepsi yang sama antar sesama anggotanya dalam memandang sebuah isu yang

berkembang.

Munculnya negara super power dunia pun tidak lepas dari perhatian ASEAN,

karena tidak dapat dipungkiri dengan berperannya negara super power dalam proses

arbitrasi konflik di kawasan Asia Tenggara, dipandang sebagai sebuah ancaman yang

harus disikapi secara tepat dan cermat. Karena ASEAN sadar, bahwa ketika harus

menghadapi sebuah kekuatan besar, haruslah hati-hati guna menghindari konflik

terbuka, yang tentunya tidak akan membawa manfaat apapun. Hadirnya Amerika

Serikat di kawasan Asia Tenggara, menimbulkan security complex dimana setiap

anggota terkait dalam satu kerangka kerjasama keamanan. Bagaimanapun suatu

ancaman muncul diakibatkan oleh kerapuhan pada kondisi sebuah negara atau kawasan.

Dimana kerapuhan ini erat kaitannya dengan satu kondisi yang lemah, baik dari

kekuatannya (weak power) dan domestik negara itu sendiri (weak states).

Sebagai salah satu contoh, adalah kasus ketika terjadi penolakan Vietnam

terhadap konsepsi ZOPFAN, dan disusul oleh invasi Hanoi ke Kamboja pada bulan

Sedember 1978. pada saat itu Vietnam melakukan penyangkalan terhadap supremasi

kedaulatan nasional yang dipegang oleh ASEAN. Pada saat itu ASEAN dihadapkan

pada sebuah dilema, apabila mendiamkan perilaku Vietnam tersebut, maka akan

3
Op cit, hal 59
menjadi preseden penyangkalan kedaulatan nasional, disamping itu ASEAN dituntut

untuk menunjukan solidaritasnya terhadap Thailand yang merasa terancam dengan

perilaku Vietnam. Akhirnya Asean hanya bisa menjalankan sebuah mekanisme untuk

menciptakan semacam pertahanan politik bersama dengan dua tujuan, yaitu

menyangkal legitimasi invasi Vietnam ke Kamboja; kedua adalah menunjukan

solidaritas ASEAN. Menyikapi hal ini, akhirnya Thailand membuka hubungan

kerjasama dengan Cina sebagai tindakan preventif terhadap Vietnam. Akhirnya

ASEAN dihadapkan pada satu masalah baru, yaitu menyelesaikan friksi intra ASEAN.

Apapun hasil yang dicapai pada saat itu, ASEAN telah menunjukan kemampuannya

sebagai sebuah tatanan regional.

Dari contoh tersebut diatas, ASEAN menyediakan platform sebagai sarana

konsultasi dan negosiasi4 sebagai sebuah langkah preventif untuk menghindari konflik

antar anggota ASEAN. Adapun ancaman-ancaman yang timbul dan dapat mengarah

pada konflik terbuka, yaitu ancaman yang berasal dari dalam (Internal threat) dan

ancaman dari luar (external threat). Dua ancaman itu bisa muncul dari berbagai sektor

kehidupan. Sebagai contoh pada kasus kabut asap yangd iakibatkan oleh kebakaran

hutan di Kalimantan, merupakan ancaman dalam bidang ekologi. Dimana kabut asap

telah dinilai merugikan segala kegiatan perikehidupan di negara-negara tetangga,

seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura. Mereka mengkritik keras perilaku oknum-

oknum di Indonesia yang mealkukan pembakaran hutan dengan tujuan pembukaan

ladang baru, sedangnya bagi Indonesia hal itu tidak lebih dari sekedar alasan eknomi

yang tidak dapat dihindari. Apabila pada kasus ini, Indonesia tidak sungguh-sungguh

4
Kamarulzaman Askandar. 2003, Rethinking Conflict Management In Southeast Asia, dalam
Kamaruzalam Askandar (ed), Management and Resolution of Inter-State conflict in Southeast Asia,
Penang: SEACNS, hal 19
mengatasinya, maka ancaman ekologi ini dapat mengarah pada sebuah konflik antar

negara-negara anggota ASEAN.

Dalam hal ini pola hubungan yang awalnya bersifat amity (hubungan positif)

akan bergeser pada satu hubungan enmity ( hubungan negatif) yang diakibatkan elah

ancaman ekologi tersebut. Selain itu juga ancaman ekologi tersebut akan berpengaruh

pada stabilitas keanaman di Asia Tenggara secara keseluruhan. Maka dapat

digolongkan menjadi tiga kategori ancaman yang berkaitan dengan lingkungan atau

keragaman hayati ini5, yaitu konversi lingkungan, kegiatan konsumsi yang berlebihan

(over consumption) dan marak korupsi yang dilakukan oleh oknum elit politik dalam

tiap negara di kawasan Asia Tenggara. Hal-hal yang berkaitan dengan eksploitasi

lingkungan selalu berdasar pada alasan ekonomi, dimana hal itu dilakukan untuk

menambah aliran devisa untuk membayar hutang-hutang pembangunan pada negara

maju. Jadi masalah lingkungan yang erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk,

migrasi, dan eksploitasi sumber daya alam, dapat mengarah atau meningkatkan

intensitas konflik, baik pada domestik politik suatu negara yang akhirnya menjadi

sebuah ancaman bagi sebuah kawasan, karena adanya interask sosial regional. Dalam

hal ini ASEAN harus sungguh-sungguh dalam memperhatikan, mencegah, dan

menanggulangi masalah yang berkaitan dengan stabilitas keamanan lingkungan, karena

konsep mengenai environmental security ini telah diajukan pada pertengahan 1980-an6,

namun baru diperhatikan dan direalisasikan saat sekarang ini, sehingga ASEAN perlu

melibatkan peranan nilai-nilai dan norma lokal, serta kelompok-kelompok masyarakat

sipil dalam hal ini adalah peranan epistemic community.

5
Bob Sugeng Hadiwinata, Environment Security Problem in Southeast Asia: In Search of an Effective
Conflict in Southeast Asia, dalam Kamarulzaman Askandar, Management & Resolution of Inter-State
Conflict in Southeast Asia, Penang: SEACNS, hal. 135
6
Ibid, hal. 144
Ancaman dari luar ASEAN pun tidak luput dari perhatian organisasi ini, karena

ancaman jenis ini dapat mempengaruhi eksistensi ASEAN di kawasan Asia Tenggara,

sebagai contohnya adalah munculnya kekuatan Cina di Asia, baik mengenai nuklirnya,

ataupun konfliknya dengan beberapa negara berkaitan dengan masalah integrasi

teritorialnya, berkaitan dengan masalah Laut Cina Selatan. Hal-hal itu dipersepsikan

sebagai sebuah ancaman bagi ASEAN dan tidak dapat diabaikan.

Cina diasumsikan akan muncul sebagai sebuah hegemoni di kawasan Asia,

dengan berdasar pada beberapa hal7, yakni teori sistemik mengenai kekuatan besarnya

sebagai kontrol terhadap lingkungan eksternalnya dan juga sebagai sarana untuk

meningkatkan kekuasaannya; faktor sejarah hubungan Cina dengan negara-negara di

kawasan Asia Tenggara; klaim Cina terhadap Laut Cina Selatan sebagai bagian dari

teritorialnya. Dengan berdasarkan pada hal-hal tersebut, maka Cina akan mempunyai

pengaruh yang besar di kawasan Asia. Kemudian pertumbuhan ekonomi dan

kemampuan militernya, akan menjadikan Cina sebagai kekuatan dominan di kawasan

tersebut8. Faktor hubungan sejarah antara Cina dengan beberapa negara di kawasan

Asia Tenggara juga menjadi sebuah tolak ukur kekhawatiran ASEAN, apabila ia

muncul sebagai sebuah hegemoni, yaitu mengingat dahulu Cina pernah menjadi

sponsor berbagai kegiatan separatis komunis di beberapa negara di Asia Tenggara,

termasuk Indonesia (PKI, yang menjadi masa kelam bagi negara-negara Asia Tenggara.

Sehingga pada akhirnya, pada tahun 1990-an ASEAN merangkul Cina dalam kerjasama

keamanan regional yang terwujud melalui ASEAN Regional Forum (ARF) yang juga

melibatkan peran Jepang serta Amerika Serikan, yang nantinya diharapkan dapat

memberikan kontribusi pada stabilitas regional di Asia Tenggara.

7
Allan Collins. 2000, ASEAN, The China and The South China Sea Dispute, dalam The Security
Dilemmas of Southeast Asia, London: Macmillan Press. Ltd. Hal 137
8
Ibid, hal. 139
ASEAN WAY

ASEAN sebagai sebuah komunitas diplomatik di kawasan Asia Tenggara,

dimana interaksi antar anggotanya berdasar pada prinsip-prinsip kerjasa di berbagai

bidang, termasuk keamanan. Oleh karena hal itulah, maka ASEAN perlu melahirkan

sebuah norma yang mengatur perilaku anggota-anggotanya, berkaitan dengan

environmental security, dimana hal itu tertuang pada ASEAN Way. Norma ini

memberikan sebuah panduan bagi Asean dalam mengambil langkah terhadap

pembuatan sebuah kebijakan, melalui musyawarah untuk mufakat.

Dalam perkembangannya ASEAN Way mengalami penyesuaian.

Bagaimanapun musyawarah untuk menghasilkan sebuah kesepakatan, terkadang

menemui kendala ketika beberapa negara anggota menolak konsensus, jadi

musyawarah yang dijadikan sebagai landasan pada ASEAN Way tidak dapat dijadikan

sebagai satu-satunya cara untuk mencapai sebuah kesepakatan. Namun terlepas dari

semua itu, Asean Way telah muncul sebagai migator yang mampu mengurangi tingkat

dilema keamanan, walaupun dalam perkembangannya banyak mengalami perubahan.

ASEAN Regional Forum (ARF)

Pembentukan ARF merupakan sebuah langkah besar yang positif dan

momentum penting di kawasan Asia Pasifik, sebagai sebuah wadah kerja sama untuk

membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan stabilitas, politik, dan keamanan.

ARF merupakan sebuah forum dialog untuk mendiskusikan dan mempertemukan

pandangan yang beragam dari negara-negara anggotanya, sehingga menghasilkan

sebuah kepercayaan dan merupakan pencerminan dari sikap bersama, guna

mewujudkan stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik.

Peran ASEAN dalam forum ini adalah sebagai reaktor pendorong utama bagi

ARF untuk membangun sarana kepercayaan dan sebagai langkah diplomasi yang
preventif, serta dalam mencari sebuah solusi untuk menyelesaikan sebuah konflik.

Forum dialog ini pun bertujuan untuk menciptakan sebuah kawasan yang mandiri dan

lebih kuat. Saat ini anggota ARF telah mencapai 21 negara, yang terdiri dari seluruh

anggota ASEAN,10 negara negara sebagai mitra dialog ASEAN, diantaranya adalah

Amerika Serikat, Jepang, dan Cina, dan 4 negara sebagai peninjau.

ARF lahir sebagai sebuah implikasi dari berakhirnya sistem bipolar di Asia

Pasifik. Sehingga setiap negara di Asia Pasifik harus mencari terobosan baru dalam

pendekatan-pendekatan untuk menangani masalah di kawasannya. Karena dinamika

yang muncul di kawasan Asia Pasifik saat ini adalah mengenai konflik-konflik

teritorial, pola dan perilaku hubungan antar negara, dan persepsi ancaman yang

beragam, serta kehadiran Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik9, dan sebagainya.

Sehingga momentum dari pembentukan ARF, merupakan sebuah kesuksesan peranan

ASEAN. Sebagai contoh, ASEAN telah berhasil mentralisir upaya menlu Amerika

Serikat, Warren Christopher dan Menlu Jepang, Kabun Muto, dalam kampanyenya

tentang isu ancaman senjata nuklir Korea Utara, yang seolah-olah negara komunis ini

menjadi ancaman bagi seluruh kawasan Asia Pasifik (Shambazy, 1995:368). Kemudian

ARF muncul sebagai inisiator untuk membuka dialog guna membicarakan isu tersebut

melalui musyawarah anggota. Sehingga dapat dinilai bahwa dialog menjadi suatu hal

penting untuk kawasan Asia Pasifik yang luas dan beragam. Selain itu pula,

keberhasilan Asean dalam melakukan diplomasi preventif dalam masalah Kamboja,

Laut cina Selatan, dan perdamaian teritorial antar anggota ASEAN, keberhasilan itu

dicapai ketika konflik tidak terjadi secara lebih luas dan terbuka.

9
F. Andrea. 1996, Peran Keamanan Asean Regional Forum, dalam Bantarto Bandoro (ed), agenda dan
Penataan Keamanan di Asia Pasifik, Jakarta: CSIS, hal. 75
Dalam perkembangan ARF ini tidak terlepas dari peranan negara-negara besar.

Walaupun sebenarnya ASEAN tidak menghendaki dominasi dari negara-negara besar,

namun bagaimanapun juga ASEAN tidak mungkin bisa berjalan sendiri, karena negara-

negara besar tersebut juga mempunyai kepentingan di kawasan ini. Namun sekarang

tergantung bagaimana kemampuan ASEAN untuk mengintegrasikan berbagai

kepentingan negara besar itu dalam sebuah kerangka kerjasama yang menguntungkan,

tentunya berkaitan dengan kontribusinya terhadap stabilitas keamanan di kawasan Asia

Pasifik. Sebagai contoh keterlibatan Jepang dalam ARF akan memberikan wadah bagi

negara tersebut untuk mempunyai peranan di kawasan Asia Pasifik, dan juga

mengurangi ketakutan dan persepsi ancaman bagi negara lain, berkaitan dengan

keaktifan Jepang dalam masalah keamanan dan politik. Namun Asean memandang

peran Jepang sebagai sesuatu yang penting mengingat kerangka aliansinya dengan

Amerika Serikat, yang tentunya hal ini dipandang sebagai satu manfaat untuk menjaga

stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik10. Alasan ini juga berlaku sama pada

keterlibatan Cina di dalam ARF, dengan keterlibatannya dinilai akan menepis

kekhawatiran dari beberapa negara terhadap kekuatan Cina dan menilai bahwa Cina

pun mempunyai maksud-maksud damai.

Dalam perkembangannya ARF pun banyak menghadapi berbagai kendala,

diantaranya muncul kesangsian akan peran ASEAN di masa yang akan datang dalam

wadah kerja sama ini, karena adanya peran dari negara besar maka apakah ASEAN

tetap mampu sebagai poros utama dalam wadah kerja sama ini? Karena jika tidak, maka

tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang ARF hanyalah sebagai

instrumen bagi negara besar untuk memperluas hegemoni dan kekuasaannya. Selain itu

juga, keandalan ARF perlu diperhatikan untuk masa-masa yang akan datang, mengingat

10
Ibid, hal. 81
masih terdapatnya potensi konflik yang mengarah pada perang terbuka di kawasan Asia

Pasifik, apakah selamanya ARF hanya berperan sebagai forum dialog semata-mata?

Jadi mungkin apabila di masa mendatang ARF perlu memperluas peranannya secara

aplikatif, terutama dalam menghadapi potensi-potensi konflik yang sewaktu-waktu

dapat meningkat. Jadi tiga prinsip utama dalam ARF, yaitu pembangunan kepercayaan,

diplomasi preventif, dan penyelesaian konflik, merupakan satu kesatuan prinsip yang

tidak dapat dipisahkan implementasinya, sehingga perlu membuat suatu rumusan

konkret mengenai cara-cara penyelesaian konflik.


Kesimpulan

ASEAN berkeinginan mejadi pendorong utama (primary driving force) di

kawasan Asia Tenggara, dimana menjadi peran sentral terhadap segala dinamika di

berbagai sektor kehidupan. Sebagai sebuah komunitas diplomatik, ASEAN harus

menunjukan keandalannya dalam memecahkan sebuah permasalahan di regional Asia

Tenggara khususnya, dan di kawasan Asia Pasifik lebih luasnya. Maka ASEAN,

haruslah selalu peka terhadap gejala-gejala sosial yang muncul sebagai interaksi global

antar negara di kawasan tersebut.

Perdamaian dan stabilitas keamanan merupakan sebuah agenda penting dalam

perkembangan ASEAN yang juga harus dicermati dengan lebih seksama. Apabila

dalam hal tersebut ASEAN sukses dalam menangani kedua hal tersebut, maka akan

meningkatkan posisi tawarnya di arena Internasional, dan membawa masa depan yang

cerah bagi sebuah organisasi di kawasan Asia Tenggara yang sebelumnya tidak

diperhitungkan perannya dalam kancah pergaulan Internasional.


REFERENSI

Bandoro, Bantarto (ed) 1996, Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik,

Jakarta: CSIS

CSIS. 2002, Analisis CSIS, Isu-isu Non-Tradisional: Bentuk Baru Ancaman

Keamanan, Jakarta: CSIS

Askandar, Kamarulzaman. 2003, Management And Resolution Of Inter-State

Conflicts In Southeast Asia, Penang: SEACNS

Collins, Allan. 2000, The Security Dilemmas Of Southeast Asia,

London: Macmillan Press Ltd.

ASEAN. 1998-1999, Asean Document Series, Jakarta: ASEAN Secretariat

Loh Kok Wah, Francis, Joakim Ojendal (ed). 2005, Southeast Asian Response To

Globalization: Restructuring Governance and Depenin Demokrasi,

Singapura: Nias Press

Archarya, Amitav, Lee Lai To. 2003, Asia In The New Millenium,

Singapura: Times Graphic Pte Ltd

Anda mungkin juga menyukai