Dr. Anto, seorang dokter internship yang baru 3 bulan bertugas di suatu Puskesmas rawatan
mendapati tiga kasus kegawatdaruratan yang datang bersamaan. Kasus pertama, seorang
wanita, 23 tahun yang datang diantar oleh keluarganya dengan keluhan lemas disertai
penurunan kesadaran sejak 30 menit yang lalu. Dari alloanamnesis didapatkan bahwa pasien
tersebut baru saja mengonsumsi seafood bersama keluarganya. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran apatis, TD 70/50, denyut jantung 120x/menit, laju nafas 28x/menit, suhu
36,5 C, akral masih hangat dengan capillary refill time 4 detik. Dr. Anto melakukan tatalaksana
awal pada pasien dan setelah pemberian tatalaksana awal, kondisi pasien membaik dan pasien
diobservasi di ruang rawatan puskesmas.
Pada kasus kedua, Dr. Anto menemui seorang laki-laki usia 56 tahun yang datang dengan
keluhan sesak nafas hebat sejak 2 jam yang lalu yang juga disertai dengan penurunan
kesadaran. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tetapi tidak terkontrol dengan rutin. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pasien dalam keadaan delirium, TD 190/120 mmHg, denyut
jantung 120x/menit, laju nafas 36x/menit tipe pernafasan Kussmaul, suhu 37 ºC, serta
ditemukan adanya ronkhi yang minimal pada basal paru. Dari pemeriksaan laboratorium
ditemukan kadar gula darah sewaktu 350 mg/dL serta benda keton urin positif. Dr. Anto
melakukan tatalaksana awal berupa resusitasi cairan serta pemberian terapi insulin dan bersiap
melakukan rujukan untuk pemeriksaan dan tatalaksana lanjutan.
Belum sampai 5 menit dr. Anto menyandar di kursi, seorang anak perempuan usia 5 tahun
dibawa keluarganya karena tenggelam di sungai depan rumahnya. Saat di puskesmas, dr. Anto
melakukan survey bantuan hidup dasar awal dan mendapati tidak adanya nafas dan denyut
nadi pada si anak. Dr. Anto dan tim kemudian melakukan tindakan resusitasi jantung paru pada
pasien. Setelah 40 menit tindakan resusitasi, tidak didapatkan respon yang adekuat dari pasien
dan pasien dinyatakan meninggal dunia oleh dr. Anto di hadapan keluarga dan paramedis.
Terminologi :
Pertanyaan :
1. Mengapa pasien bisa lemas dan mengalami penurunan kesadaran setelah memakan
seafood ?
Keadaaan pasien wanita ini bisa didiagnosis sebagai syok anafilaksis.
Mekanisime terjadinya syok anafilaksis bisa disebabkan oleh pencetus yang
mengaktifkan Ig E (Ig- dependent) atau tidak mengaktifkan Ig E tetapi mencetus
mediator – mediator kimiawi (Ig E independent). Padas syok anafilaktik ini terjadi
pelepasan berbagai mediator seperti histamine, tryptase, chymase, dan heparin,
heistamine realizing factor, dan cytokines lainnya.
Mediator kimia pada anafilaksis ternyata berefek langsung pada miokardium. Reseptor
H1 memediasi vasikonstriksi pada arteri koroner dan meningkatkan permeabilitas
kapiler, sementara reseptor H2 meningkatkan kontraktilitas atrium dan ventrikel,
frekwensi atrium, dan vasodilatasi arteri koroner. Interaksi dari stimulasi reseptor H1
dan H2 menghasilkan penurunan tekanan diastolis dan penurunan tekanan
nadi.Platelet activating factor juga menurunkan aliran darah koroner, konduksi
atrioventrikular delay dan memiliki efek depresi terhadap jantung. Peningkatan
permeabilitas vaskuler selama anafilaksis dapat menyebabkan perpindahan 50% dari
cairan intravascular ke ekstravaskular dalam waktu 10 menit. Pergeseran dalam
effective blood volume tersebut mengaktifkan system rennin-angiotensin-aldosteron
dan menyebabkan pelepasan katekolamin kompensatori, dimana keduanya dapat
memberikan efek klinis yang bervariasi. Beberapa subjek mangalami peningkatan
resistensi vaskuler peripheral yang abnormal (vasokonstriksi maksimal), sementara
lainya mengalami penurunan resistensi vascular sistemik, walaupun terjadi
peningkatan level katekolamin. Sel mast terakumulasi di koronari plaques dan
menyebabkan thrombosis artri koroner, karena antibody yang berikatan dengan
reseptor sel mast dapat mentriger degranulasi, beberapa peneliti menunjukkan bahwa
reaksi alergi berpotensi menyebabkan disrupsi plaque. Pelepasan histamine oleh sel
mast juga menyebabkan disrupsi plaque dengan jalan meningkatkan arterial stress
hemodinamik, menginduksi vasospasm, atau keduanya.
Atau bisa terjadi anfilaksis persisten. Anafilaksis persisten adalah anafilaksis yang
berlangsung antara 5-32 jam, muncul pada 7 (28%) dari 25 subjek.
Baik anafilaksis bifasik dan atau persisten dapat diprediksi berdasarkan tingkat
keparahan dari fase inisial dari suatu reaksi anafilaksis. Karena reaksi yang mengancam
nyawa dari anafilaksis dapat muncul kembali, maka perlu untuk mengkomunikasikannya
dengan pasien 24 jam setelah fase insial
5. Bagaimana hubungan antara diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan sesak napas
pasien dan penurunan kesadaran dari laki – laki usia 56 tahun ini ?
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol dapat disebabkan oleh pengobatan yang tidak
teratur yang menyebabkan terjadinya defisiensi insulin (yang berfungsi untuk
menginduksi pemindahan glukosa ke sel, memberi sinyal untuk mengubah glukosa
menjadi glikogen, menghambat lipolysis sel lemak, menghambat gluconeogenesis,
mendorong oksidasi siklus kreb di mitokondria) ditambah dengan adanya peningkatan
hormone kontra regulator (seperti glucagon, katekolamin,kortisol, dan hormone
pertumbuhan). Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan produksi glukosa di hati
dan penurunan penggunaan glukosa di sel.
Secara menyeluruh antara SHH dan KAD, memiliki klinis yang cukup sulit untuk
dibedakan, pada hasil periksaan fisik ini kemungkinan besar pasien menderita KAD
sebagai komplikasi dari DM tidak terkontrol yang ia derita (kussmaul dan tidak
ditemukan tanda dehidrasi berat yang khas pada pasien)
7. Mengapa dokter anto memberikan resusitasi cairan dan terapi insulin sebagai
tatalaksana awal pasien laki – laki tersebut ?
Resusitasi cairan ditujukan apabila pasien mengalami gejala dehidrasi yang disebabkan
oleh asisdosis metaboliknya tadi (asidosis diuresis osmotic hypovolemia
dehidrasi)
Terapi insulin ditujukan untuk mengembalikan fungsi insulin yang berkurang akibat
diabetes mellitus yang tidak terkontrol tadi (tidak patuh menggunakan insulin) sehingga
regulasi metabolisme karbohidrat, prtein, dan lemak bisa kembali seimbang. Pemberian
insulin dapat menekan glucagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino di jaringan
otot dan peningkatan utilitas glukosa di sel.