Anda di halaman 1dari 14

Nama : Septer Guido Armando Banamtuan

Tingkat/Semeter : III/ V
Mata Kuliah : Misiologi
Dosen pengampu : Pdt. Kyu Dae Lee, Th.D

BAB IX
MISI PADA AWAL ZAMAN PENCERAHAN

Pada masa pencerahan sangat mempengaruhi protestantisme, sedangkan katolisisme


tidak terpengaruh oleh masa pencerahan. Kosmologi abad pertengahan telah dibangun dengan
mengikuti garis- garis sebagai berikut, dari Allah kepada gereja, dari gereja kepada raja dan para
Bangsawan barulah kepada Binatang, tumbuh- tumbuhan dan juda benda- benda lainnya. Stuktur
ini membuat manusia harus mempertahankan tempat masing- masing dalam hubungannya
dengan Allah, gereja dan raja. Pada masa revolusi kekuasaan dari raja dan para bangswan
dihapuskan. Maka rakyat jelata dapat berhubungan langsung dengan Allah tanpa harus melalui
Raja lagi, hal ini mulai terlihatnya awal demokrasi. Namun dalam abad ilmu pengetahuan Allah
dihapuskan dari struktur pengesahan masyarakat. Mereka mulai melupakan Allah dan gereja.

Pada masa puritan yang menerima keselarasan antara ilmu pengetahuan dengan iman
Kristen, namun akhirnya ilmu pengetahuan dianggap berlawanan dengan iman. Pada masa
pencerahan juga bekerja dengan menggunakan obyek- obyek. Pencerahan juga menghapus
maksud dari ilmu pengetahuan, maka dunia Barat dengan yakin bahwa mereka mempunyai
kemampuan dan kehendak untuk menciptakan ulang dunia sesuai dengan gambaran mereka.
Ketidakadailan mulai diterapkan pada masa pra-pencerahan, dan pada masa pencerahan
menganggap semua masalah dapat diselesaikan.

Yang membedakan budaya kita dengan semua budaya yang telah mendahuluinya adalah
dalam filsafat publiknya ateis. Jadi, meskipun iman Kristen tetap di praktikan sesudah
pencerahan, ia telah kehilangan bukti dirinya yang diam-diam ia dipaksa dan cenderung untuk
selalu menekankan dirinya. Karena ia merasa dirinya beroperasi di sebuah dunia yang asing dan
bahkan bermusuhan. Kepastian masif dan kolektif penyataan yang dulu merupakan matriks dan
sumber utama pembedaan manusia kini harus membuktikan klaim kebenarannya dan
kesahihannya, suatu disiplin teologi yang baru mulai muncul apologi Kristen. Sejak pencerahan
rasionalitas yang berbeda mulai berkuasa nalar menggantikan iman sebagai titik tolak. Teologi
ini berbeda dengan teologi-teologi disiplin lainnya hanya dalam obyeknya bukan dalam metode
atau titik tolaknya. Freud menyatakanbahwa Agama tidak lain dari pada sebuah ilusi, Marx
memandangnya sebagai sesuatu yang jahat candu terhdap masyarakat Emile durkheim
berpendapat bahwa setiap paguyuban keagamaan sesungguhnya hanyalah menyembah dirinya
sendiri. Pemikiran dan praktikmisisecaramendalam, terlebihlagikarenaseluruhusahamisi modern
sampaibatas yang sangat jelas adalah anak dari pencerahan. Dalam bab sebelumnya penulis telah
memperlihatkanbahwaistilah yang di gunakan untuk perluasan Gerejawi dan kebudayaan ini,
yakni misi di pahamisebagaisuatupendampingperluasan imperial barat. Akan tetapi dalam
paradigma pencerahan aliansi antara Gereja dan Negara semakin mengalami tekanan dalam
jangka panjang, maut tidak mau kesatuan seperti itu semakin tidak dapat diterima. Gagasan
tentang sebuah gereja yang mampan tidak dibuang, tetapi di bawa kebidang keleluasaan praktis
(practikalconvinience).Di timur khususnya di India kepentingan-kepentingan kerajaan terutama
dalam perdagangan.Jadi, yang secular dan yang keagamaan jelas menempuh jalannya masing-
masing, bahkan kalaupun hal itu masih membutuhkan waktu yang lama sebelum implikasi-
implikasi penuh dari situasi yang baru ini akan menampakkan dirinya.

Dalam bagian ini penulis ingin mengikuti suatu pendekatan yang berbeda, dengan
berusaha mengidentifikasikan secara singkat menganalisis sebagian dari pola-pola misioner
terpenting dari masa tersebut.Selain itu maksud penulis adalah memperlihatkan sampai sejauh
mana motif-motif inidanpola-polainitelah di pengaruhi oleh kerangka berpikirolehpencerahan.
Paradigma makropencerahantetapsulit di gambarkan dan mewujudkan dirinya. Namun, pada
seluruh zaman ini, praktis setiap orang bekerja dengan kerangka kerja yang di hasilkan oleh
pencerahan. Dalam penelaah penulis, penulis akan memberikan lebih banyak perhatian kepada
pola-pola di dunia berba hasa inggris dari pada yang ada di daratan Eropa. Jadi, pada akhir ke-18
dan awal abad ke-19 penekanannya bergeser pada kasih Kristus. Belakangan ini lagi pada
keselamatan orang-orang kafir yang sedang menuju kehancuran dan pada awal abad ke-20 pada
janji sosial. Sementara abad ke-19 di gantikan oleh abad ke-20, keyakinan dan optimisme yang
menandai etos Amerika dari masa itu semakin menampilkan diri dalam keterlibatan misi luar
negeri. Akan tetapi tidak dapat di sangsikan bahwa fenomenon yang telah kita tinjau disini ada
justru karena semangat pencerahan.
Nama : Septer Guido Armando Banamtuan
Tingkat/Semeter : III/ V
Mata Kuliah : Misiologi
Dosen pengampu : Pdt. Kyu Dae Lee, Th.D

BAB X
MUNCULNYA PARADIGMA PASCA-MODERN

Zaman modern atau zaman pecerahan bukanlah bagian terakhir dari sejarah dunia yang
akan mempengaruhi pemikiran dan praktek misi. Masa pergeseran paradigma adalah masa
ketidakpastian yang mendalam. Ketidakpastian yang seperti itu tampak adalah salah satu dari
beberapa konstanta dari zaman kotemporer dan salah satu faktor yang melahirkan reaksi-reaksi
kuat yang lebih suka berpengang pada paradigma pencerahan, meskipun terdapat tanda-tanda
dari segala penjuru bahwa paradigma tersebut sedang runtuh. Kita tidak akan mungkin
menelusuri perkembangan-perkembangan yang mnyebabkan keruntuhan paradigma pencerahan
secara terinci. Kemudian Descartes, yang secara luas diakui sebagai bapa pencerahan,
menggunakan prinsip keraguan yang radikal sebagai pusat modernnya. Hanya keraguan
demikian , keyakinannya yang akan membersihkan pemikiran manusia dari segala pandangan
yang dipengang semata-mata berdasarkan keyakinan dan membukanya kepada pengetahuan
yang kuat yang tertanam dalam penalaran.

Descartes menetapkan dasar untuk praktis semua perkembangan sesudahnya dalam ilmu
pengetahuan, filsafat, teologi dan lain-lain. Perlu untuk diketahui bahwa banyah ahli yang
melangkah lebih jauh dari posisi Descartes, tetapi tanpa mengubahnya secara hakiki. Descartes
sendiri menekankan metode rasional dan deduktif dalam ilmu pengetahuan. Dalam hal itu
Francis Bacon, yang berasal dari masa yang sedikit lebih dahulu, menganjurkan pendekatan
deduktif, sementar Isaac Newton adalah orang pertama yang memperkenalkan percampuran dari
kedua metode. Namun kedua pendekatan ini tidak pernah sepenuhnya bercampur dan tetap,
paling bertahan sebagai model yang saling melengkapi dalam melakukan ilmu pengetahuan. Jadi
dalam kedua tradisi tersebut, premis tentang keutamaan penalaran tetap tidak dapat dilawan.
Karena kemajuan pencerahan inilah memunculkan kebijaksanaan dalam hal
pembangunan. Negara kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Proses ini dianggap
dari suatu anggapan manusia itu sebagai objek bukan subjek. Hal ini didasari kekuasaan budaya
Barat yang tidak rela akan negara-negara miskin dari dunia ketiga untuk berkuasa, maka tidak
heran konsep pembangunan pencerahan yang dilakukan budaya Barat ditolak Negara dunia
ketiga, anggapan mereka konsep pembangunan dalam pencerahan akan menghancurkan
kemanusiaanya. Pikiran budaya Barat bahwa melalui pencerahan akan banyak membawa
kemajuan dalam pembangunan tetapi sebaliknya budaya Barat lambat laun akan menghisap
negara-negara non-Barat. Pemikiran manusia saat ini dipengaruhi budaya Barat tentang
pandangan sains pencerahan untuk mengembangkan teknologi. Dari hal inilah dibuthkan untuk
saat ini sikap Kristen yang kritis dimana pasca-pencerahan dalam dunia modern akan tetap
terbuka ke dalam kemerdekaan yang tidak dibawah kuasa Budaya Barat. Kesadarn inilah yang
dibutuhkan sikap misi dan misioner Kristen terhadap kepercyaan lainnya. Ada dua yang
dibutuhkan untuk dapat mematahkan doktrin otonomi untuk dapat kembali kepada hakikat
manusiawi yaitu pertama. Menegaskan kembali bahwa keyakinan dan komitmen itu niscaya
harus ada di tangan kita. Kedua, mengembalikan kebersamaan “simbiosi”, karena manusia hidup
tidaklah dapat sendirian maka membutuhkan satu dengan yang lainnya dan saling bergantung.
Akibat dari berkembangnya teknologi maka membuat orang dalam melakukan kegiatan dengan
sendiri-sendiri. Di masa ini juga terjadi suatu pemanfaatan objek dan hanya menaruh
keselamatan pada diri manusia bukan pada keselamatan dunia.

Pertimbangan-pertimbangan yang ditawarkan untuk pembahasan terhadap pencerahan yaitu


Ekspansi Rasionalitas dalam bab sebelumnya telah dijelaskan lima tanggapan teologis terhadap
pengagungan pencerahan terhadap penalaran sebagai satu-satunya indera yang dengannya umat
manusia dapat tiba pada pengetahuan dan matahari. Rasionalitas harus diperluas. Salah satu cara
memperluasnya mengakui bahwa bahasa tidak dapat secara mutlak akurat, bahwa kita tidak
mungkin untuk pada akhirnya “ mendefinisikan hukum-hukum ilmiah ataupun kebenaran-
kebenaran teologis. Sehingga perkembangan pasca modern telah membuktikan bahwa sains di
dalam dirinya sendiri tidaklah bersikap bermusuhan dengan iman kristen.
Yang penulis pahami dalam hal ini adalah menjelang akhir abad ke-19, dan yang lebih
jelas lagi dalam abad ke-20, terjadi sesuatu pergeseran radikal dari teologi yang non-eskatologis
pada teologi yang eskatologis. Menurut penuli terjadinya peristiwa tersebut pasti ada
penyebabnya, yang memicu mereka kearah yang lebih membangun. Pemahaman tentang
perubahan keyakinan bahwa segala sesuatu dapat berbeda, sehingga orang tidak perlu hidup
dengan poa-pola yang lama dan mapan, bahwa segala sesuatu tidak bekerja berdasarkan hukum-
hukum sebab akibat yang tidak berubah. Kembali ditekankan bahwa suatu pengaharapan yang
hampir tidak terbatas dalam hati jutaan orang, khususnya diantara mereka yang kurang
beruntung.
Nama : Septer Guido Armando Banamtuan
Tingkat/Semeter : III/ V
Mata Kuliah : Misiologi
Dosen pengampu : Pdt. Kyu Dae Lee, Th.D

BAB XI
MISI DALAM MASA PENCOBAAN

Tidak terbayangkan bahwa Gereja teologi dan misi Kristen akan aman selamanya. Pada
suatu pihak, hasil-hasil dari berbagai disiplin lain ilmu-ilmu alam dan sosial filsafat sejarah dan
lain-lain telah memberikan pengaruh yang mendalam dan bertahan lama dalam dalam pemikiran
teologis. Pada pihak lain, perkembangan-perkembangan didalam Gereja, misi dan teologi (yang
tidak diragukan seringkali dilakukan oleh peristiwa-peristiwa dan revolusi-revolusi yang sangat
penting dalam disiplin-disiplin lain) sama-sama telah memberikan konsekuensi-konsekuensi
yang berdampak luas. Gereja juga telah kehilangan posisi istimewanya dibanyak tempat didunia,
bahkan diwilayah-wilayah dimana Gereja didirikan sebagai sebuah faktor kuat selama lebih dari
satu millennium, dimasa kini menjadi Kristen lebih merupakan suatu liability atau tuntutan dari
pada asset. Islam khususnya, kini adalah suatu kekuatan yang dahsyat dibanyak bagian dunia dan
lebih kebal terhadap pengaruh-pengaruh Kristen dari pada yang sudah-sudah. Dan didalam
kerangka suasana dialog saat ini dengan orang-orang yang berkepercayaan lain, semakin banyak
misionaris yang bertanya-tanya apakah masih ada manfaatnya pergi keujung-ujung bumi demi
Injil Kristen. Lalu ada hubungan-hubungan yang baru dengan Gereja-Gereja muda. Dimana para
misionaris barat masih disambut atau ditoleransi mereka pergi sebagai tenaga-tenaga
persaudaraan dalam pelayanan yang sudah dibentuk oleh Gereja-Gereja yang otonom.

`telah menjadi jelas bahwa misionaris bukanlah pusat kehidupan dan masa depan Gereja-
Gereja muda, diberbagai Negara dan khususnya ditiongkok telah dibuktikan bahwa misionaris
bukan hanya tidak menjadi pusat kehidupan, melainkan pada kenyataannya menjadi sesuatu yang
memalukan dan suatu tuntutan. Banyak dari lembaga besar yang didirikan oleh lembaga-lembaga
misi yang sering kali dengan biaya yang besar dan dengan dedikasi yang luar biasa rumah sakit,
sekolah, sekolah tinggi, percetakan dan semacamnya ternyata berubah menjadi halangan dari
pada aset bagi kehidupan dan pertumbuhanGereja-Gereja muda. Selama abad ini usaha misi dan
gagasan misi telah mengalami sejumlah modifikasi yang mendalam. Hal ini, sebagian, terjadi
sebagai tanggapan terhadap pengakuan terhadap kenyataan bahwa Gereja memang bukan hanya
penerima kasih karunia Allah yang penuh belas, melainkan kadang-kadang juga penerima
murkanya paton sehingga maksud baik saja tidaklah cukup bahwa kita masing-masing dalam
rumusan Luther yang terkenal, selalu simul Justus et paccator ( pada saat yang sama
dibenarkan dan orang berdosa). Para misionaris barangkali lebih dari pada yang lainnya, telah
cenderung menganggap diri mereka kebal terhadap kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa orang
Kristen biasa mereka membutuhkan waktu yang lama untuk menyadari bahwa mereka tidak
berbeda dengan Gereja-Gereja asal mereka bahwa dalam kata-kata Stephen Neil mereka pada
umumnya adalah orang-orang yang lemah, tidak begitu bijaksana, tidak begitu suci, dan tidak
begitu sabar.

Pandangan semacam itu diungkapkan dibanyak kalangan Kristen, tetapi khususnya


diantara orang-orang Katolik Roma dan Protestan yang sering kali disebut oikumenis. Gomes
menulis bahwa pada permulaan konsili Vatikan II para imam dan kaum religius telah
meninggalkan jabatannya panggilan memudar, tradisi-tradisi yang Agung telah dihapuskan
dalam suatu gejolak hebat, dan kain sejarah misi Katolik yang kotor telah dicuci dimuka umum,
dengan kegembiraan yang masokistis. Misi tidak lagi menjadi persoalan bagi masa dan tidak
masuk akal bagi kaum intlektual, dan bahkan bagi kalangan pejabat Gereja. Pertobatan harus
dimulai dengan pengakuan yang berani terhadap kenyataan bahwa gereja didalam misi masa kini
sedang manghadapi sebuah dunia yang secara hakiki berbeda dari apapun yang pernah
dihadapinya sebelumnya. Hal ini sendiri menuntut pemahaman yang baru tentang misi. Kita
hidup dalam sebuah periode transisi pada sebuah garis perbatasan antara sebuah paradigma yang
tidak lagi memuaskan dan paradigma lain yang, pada umumnya belum berbentuk dan kabur.
Suatu masa perubahan paradigma, pada hakekatnya adalah suatu masa krisis dan krisis, kita
ingatkan dari kita adalah titik dimana bahaya dan kesempatan bertemu (koyoma).

Tanggapan terhadap pengakuan terhadap kenyataan bahwa gereja memang bukan hanya
penerima kasih karunia Allah yang penuh belas, melainkan kadang- kadang juga penerima
murkaNya, sehingga maksud baik saja tidak cukup, bahwa kita masing- masing dalam rumusan
Lutran yang terkenal ( pada saat yang sama dibenarkan dan orang berdosa). Dibasis tradisional
menyatakan bahwa misi kristen tampaknya tidak hanya menjadi objek kasih karunia dan berkat
Allah tetapi penghakiman Allah.

Dari premis panton memberikan kesimpulan bahwa misi Kristen dan segala sesuatu yang
diwakilinya kini tergolong pada suatu era masa lalu. Pada permulaan Konsili Vatikan II para
imam dan kaum religius meninggalkan jabatannya, panggilan mundur, tradisi yang agung telah
dihapuskan dalam suatu gejolak hebat dan kain kotor misi Katolik yang kotor telah dicuci
dengan gembira yang masiokistis. Gereja Kristen “pada hakikatnya bersifat missioner dan oleh
karena itu tidak mungkin untuk sepenuhnya meninggalkan gagasan dan praktik misi dalam
bentuk yang satua atau yang lainnya”. Pertobatan harus dimulai dengan pengakuan yang berani
terhadap kenyataan bahwa gereja di dalam misi masa kini sedang menghadapi sebuah dunia yang
secara hakiki berbeda dari apapun yang pernah dihadapinya sebelumnya.

Mengingat situasi yang sama sekali baru dan justru untuk tetap setia pada hakikat misi
yang sebenarnya, misi harus dipahami dan dilaksanakan dengan cara yang penuh imaginasi dan
baru dimasa kini. Hal ini berarti bahwa kekuatan- kekuatan sentritugal, maupun sentripetal dalam
paradigm yang sedang muncul, kebelbagaian versus keesaan, divergansi versus integrasi,
pruralisme versus holism harus sepenuhnya diperhitungkan. Suatu pemahaman yang penting
dalam hal ini adalah pemahaman tentang ketegangan yang kreatif. Dalam menyampaikan Injil
haruslah disesuaikan dengan konteksnya, agar lebih mudah dipahami. Maka metode dalam misi
tidak berpatokan pada satu metode saja melainkan banyak metode yang harus dilakukan.
Nama : Septer Guido Armando Banamtuan
Tingkat/Semeter : III/ V
Mata Kuliah : Misiologi
Dosen pengampu : Pdt. Kyu Dae Lee, Th.D

BAB XIII
MISI DALAM BERBAGAI CARA
APAKAH SEMUANYA ITU MISI
Tidak diragukan bahwa dekade-dekade terakhir ini telah menyaksikan suatu peningkatan
yang mengejutkan dalam penggunaan istilah misi. Misi dalam transformasi berarti bahwa misi
itu harus dipahami sebagai suatu kegiatan yang menstraformasikan realita dan bahwa ada suatu
kebutuhan yang terus menerus bagi misi itu sendiri untuk ditransformasikan. Usaha-usaha
mendefinisikan misi adalah sesuatu yang baru. Dimana gereja kristen mula-mula tidak
melakukan usaha seperti itu. Namun telaah kita atas teologi misi Matius, Lukas dan Paulus telah
membuktikan bahwa tulisan-tulisan mereka dapat ditafsirkan sebagai usaha-usaha yang tidak
putus-putusnya untuk mendefinisikan dan mendefinifisikan ulang apa yang menjadi panggilan
gereja untuk dilakukannya dalam dunia pada zaman mereka. Sejak abad ke-19 usaha-usaha
seperti itu telah banyak sekali dilakukan. Misi adalah sebuah pelayanan yang berwajah banyak,
sehubungan dengan kesaksian, pelayanan, keadilan, penyembuhan, perujukan, pembebasan,
perdamaian, penginjilan, persekutuan, penanaman gereja, kontekstualisasi dan lebih banyak lagi.
Dalam melakukan sebuah misi perlu yang namanya kewaspadaan, agar tidak merugikan
kehidupan orang lain.
Misi kita harus berdimensi banyak agar sahih dan setia pada asal-usul sifatnya. Untuk
dapat memberikan suatu gagasan tentang hakikat dan mutu dari misi yang berdimensi banyak
seperti itu, kita dapat mengacu pada citra-citra, metafora-metafora, peristiwa-peristiwa dan
gambaran-gambaran, ketimbang pada logika atau analisis. Karena itu penulis beliau
mengusulkan bahwa salah satu cara untuk memberikan profil tentang apa arti misi itu dan apa
konsekuensinya mungkin dengna melihatnya dalam enam peristiwa keselamatan utama yang
menggambarkan di dalam Perjanjian Baru, yaitu: penjelamaan Kristus, kematianNya pada salib,
kebangkitanNya pada hari yang ketiga, kenaikanNya, pencurakan Roh Kudus pada hari
pentakosta, dan parousia.
Keenam peristiwa peristiwa keselamatan kristologi yang diuraikan di atas tidak boleh
dilihat terpisah sau sama lai. Dalam misi kita. Kita memberikan Kristus yang menjelma,
disalibkan, bangki, naik ke sorga, hadir diantara kita di dalam Roh Kudus membawa kita ke
masa depan sebagai tawanan dari arak-arakan kemenanganNya (2 Kor. 5:14). Masing-masing
dari peristiwa ini mengahalangi yang lainnya. Kecuali kita berpengang padanya, kita akan
memberitakan sebuah Injil yang mempunyai dampak bagi dunia. Yesus yang disalibkan di
bawah Pontius Pilatus, jatuh pada kemuliaan kebangkitan dan kenaikanNya, kedatangan
RohNya, dan parousiaNya. Yesus yang berjalan dengan murid-muridNya, inilah yang hidup
sebagai Roh di dalam gerejaNya (Ef. 2: 20). Dia yang telah diangkat pada salibkan, adalah Dia
yang tentang hidup yang akan menggenapkan sejarah.
Banyak sekali pertanyaan yang terlintas dalam pikiran manusia, yang terus
mempertanyakan akan tetapi siapakah, gereja manakah, dan lain sebagainya (bdk. 2 Kor. 1: 16).
Inilah pertanyaan yang diajukan Mott kepada kahler tepat sebelum konferensi Edinburgh: apakah
anda berpendapat bahwa kini kita di lapangan dalam negeri mempunyai sebuah bentuk
keristenan yang harus disebarkan di seluruh dunia? Pertanyaan yang demikian bukanlah suatu
masalah yang membuat misi tidak maju, tetapi merupakan sebuah keterbukaan asal dari misi itu
sendiri. Emerito Nacpil melukiskan misi sebagai sebuah lembaga dari universalitas imperialisme
barat di antara generasi-generasi beru yang bagki dari dunia ketiga. Yang terpenting untuk kita
keahui bahwa dalam diri seorang misionaris bangsa-bangsa asia tidak melihat wajah Kristus
yang menderita, melainkan monter yang baik budi. Dan juga ia menyimpulkan, struktur misi
modern masa kini telah mati. Dan hal pertama yang haru dilakukan ialah memberikan pidato
pujian untuknya dan kemudian menguburkannya. Dari hal itu, misi tampak telah menjadi musuh
terbesar Injil. Memang pelayanan misioner terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang misionaris
dalam sisten sekarang ini di Asia masa kini adalah pilang. Kepada khayalak di New York,
kemudian dalam sebuah pertemuan gereja Hervormd Amerika di Milwaukee, mengusulkan
perhentian keterlibatan misionaris Barat di Afrika. Jah sebelumnya pada Mei 1944, Bonhoeffer,
yang menulis dari sebuah penjara Gestapo dan merenungkan gereja jerman seperti yang telah
dikenalnya. Ia barangkali juga memandang usaha misi gereja sebagai perjuangan untuk
mempertahankan dirinya. Dengan kata-kata yang lebih tajam daripada dia, James H telah
menyebut misi kristen sebagai perang yang egois. Bertentangan dengan apa yang mungkin
dikatakan oleh sebagian pengarang ini, mereka tidaklah melukiskan sebuah gereja baru.
Sepanjang kebanyakan sejarah gereja, keadaanya yang empirik memang menyedihkan. Hal ini
sudah terjadi diantara murid-murid pertama Yesus dan sejak saat itu belum benar-benar berubah.
Kita mungkin baik dalam ortodoks, dalam iman, tetapi payahnya dalam kaitannya dengan
ortopraxis (tindakan yang benar) dengan kasih. Van der Aalst mengingatkan kita bahwa sudah
tidka terhitung banyaknya konsili yang diadakan tentang kepercayaan yang benar, namun tidak
pernah diadakan konsili untuk menyusun impikasi-implikasi dari perinyah yang besar, yakni
saling mengasihi. Karenanya orang suatu pembenaran dapat bertanya apakah gereja pernah
mempunyai hak untuk melakukan karya para misionaris sepanjang zaman, dari rasul besar yang
menyebut dirinya misionaris. Mereka pada umumnya adalah orang0orang yang lemah, tidak
begitu bijaksana, tidak begitu suci, tidak bengitu sabar. Dan bahkan mereka telah melanggar
sebagian besar dari perintah Allah dan melakukan setiap keslahan yang dapat dibayangkan.
Para pengecam misi biasanya telah melangkah dari anggapan bahwa misi hanyalah apa
yang dilakukan oleh apara misionaris dengan menyelamatkan jiwa-jiwa, menanamkan gereja,
dan memaksa cara-cara dan kehendak mereka pada orang lain. Namun kita tidak noleh
membatasi misi semata-mata pada proyek yang empiris ini. karena misi selalu besar dari pada
usaha misionaris yang dapat diamati. Namun misi tidak boleh diceraikan sama sekali dari proyek
empiris tersebut. Sebaliknya misi adalah missio Dei yang berusaha meletakkan di dalam dirinya
missiones ecclesiae, program misioner gereja. Bukannya gereja yang mengusahakan misi.
Melainkan missio Deilah yang menciptakan gereja. Misi harus terus-menerus dipebaharui dan
dipikirkan kembali. Dan misi bukanlah persaingan dengan agama-agama lain, bukan suatu
kegiatan pentobatan, bukan perluasan sosial, ekonomi atau politik. Yang perlu untuk diketahui
adalah Missio Dei memurnikan gereja, dam misi tersebut diletakkan gereja pada salib satu-satu
tempat di mana gereja akan selalu aman. Salib adalah tempat bagi kerendahan hati dan
penghakiman, tetapi juga tempat penyegaran dan kelahiran kembali. Maka sebagai peguyuban
salib, gereja menciptakan persekutuan kerajaan, bukan sekedar anggota gereja. Tetapi sebagai
peguyuban eksodus bukan sebagai sebuah lembaga keagamaan dan ia mengundang orang untuk
berpesta tanpa akhir. Dari perspektif ini misi secara sederhana adalah partisipasi orang-orang
kristen dalam misi pembebasan Yesus, yang mempertaruhkan masa depan yang diingkari oleh
pengalaman yang dapat dibuktikan.
Nama : Septer Guido Armando Banamtuan
Tingkat/Semeter : III/ V
Mata Kuliah : Misiologi
Dosen pengampu : Pdt. Kyu Dae Lee, Th.D

BAB XII
UNSUR-UNSUR PARADIGMA MISI OIKUMENIS YANG SEDANG MUNCUL
(Halaman 565-663)

Sejak Kontra Reformasi sampai paruhan kedua dari abad ke-19 tekanan yang utama
terletak pada hal yang eksternal, yang legal dan yang institusional. Selama abad ke-20, arah
pernyataan-pernyataan tentang gereja mulai berubah. Gereja kini mulai dilihat sebagai Tugu
Kristus dan bukan, pertama-tama, sebagai sebuah pranata yang ilahi. Perkembangan ini
berpuncak pada perumusan ensiklik Mistici Corporis Chiristi pada 1943. Namun, pernyataan ini
tidak meninggalkan eklesiologi yang mendahuluinya, ensiklik ini menghianati suatu identifikasi
tak bersyarat dari tubuh mistis Kristus dengan Gereja Katolik Roma yang empirik. Lebih lanjut
ia memperkuat kecenderungan untuk memuat akan mengilahikan Gereja dan menjunjungnya
sebagai sebuah societas. Situasinya pada hakekatnya tidak berbeda dikalangan ortodoks Timur.
Kaum Protestan, pada pihak lain (kecuali kaum Anglikan dan sejumlah Lutheran) cenderung
mempunyai pandangan yang rendah tentang Gereja.
Pembedaan antara Negara-negara Kristen dan Non-Kristen pada prinsipnya ditinggalkan.
Hal ini berarti bahwa Eropa dan Amerika Utara, juga harus dianggap sebagai ladang-ladang misi.
Garis-garis pemisah tidak lagi membentang antara ke Gereja pula. Kata-kata seperti dosa
ketersaingan dan penghakiman seperti pertobatan dan pengampunan, kelahiran kembali dan
kebenaran kembali muncul secara menonjol dikalangan misionaris dan percakapan lainnya.
Untuk pertama kalinya pengakuan bahwa Gereja dan misi menyatu dan tidak terpisahkan mulai
disadari dalam cara yang tidak dapat lagi diabaikan. Dalam tahun-tahun sebelumnya telah ada
pergeseran yang nyaris tidak didasari dalam suatu penekanan pada misi yang berpusat pada
Gereja atau tambaran. Pada tahun 1948 dewan gereja-gereja sedunia terbentuk dan dengan
segera terjadi kesenjangan antara suatu dewan gereja-gereja dan dewan misi yang hadir
berdampingan. Willingen mulai mewujudkan suatu model yang baru. Ia mengakui bahwa Gereja
tidak dapat menjadi titik tolak ataupun tujuan misi. Karya penyelamatan Allah mendahului baik
Gereja maupun misi. Kita tidak boleh meletakkan misi dibawah gereja, ataupun gereja dibawah
misi. Sebaliknya, keduanya harus diangkat kedalam mission Dei, yang kini menjadi konsep yang
memayunginya. Missio Dei menciptakan missions ecclesiae. Gereja berubah dari pengutus
menjadi yang diutus.
Peristiwa konsili itu sendiri sangat penting. Untuk pertama kalinya sebuah konsili yang
sungguh-sungguh global, bukan hanya dari barat saja, diselenggarakan. Pernyataan bahwa
“Gereja Kristen sungguh-sungguh hadir dalam semua kelompok kecil orang-orang percaya yang
terorganisir secara sah dan bahwa didalam serta dari kelompok-kelompok inilah hadir Gereja
Katolik yang esa dan unik menunjukkan suatu pemisahan yang penting dari pemahaman Gereja
yang secara eksklusif berpusat pada paus dari vatikan I (1870). Hal ini kelak menyebabkan
ditemukannya kembali suatu eklesiologi misi dari gereja lokal dan kepelembagaan konferensi-
konferensi keuskupan serta para sinode-sinode para uskup perjuangan. Naskah-naskah awal
dekrit tentang misi disiapkan oleh wakil-wakil dari Congregatio de Propaganda Fidei dan
mengungkapkan suatu sikap yang sangat tradisional. Para uskup Afrika dan Asia menentang hal
tersebut mereka lebih suka berjalan tanpa dekrit mengenai misi dari pada menerima dekrit yang
menolak untuk membuka gerbang yang baru.
Kendati demikian, terebosan yang sesungguhnya tentang misi terjadi bukan dalam dekrit
missioner melainkan dalam lumen gentium. Vatikan II juga mencerminkan suatu pertemuan
antara pandangan-pandangan Katolik dan Protestan tentang sifat misioner Gereja, meskipun
orang harus segera menambahkan bahwa dokumen-dokumen Katolik memperlihatkan
konsistensi dan kejelasan yang jauh lebih besar dari pada yang dihasilkan oleh konferensi-
konferensi protestan. Michiels berpendapat bahwa eklesiologi-eklesiologi modern (katolik dan
protestan menggunakan tujuh ungkapan metafora yang utama bagi gereja, yang masing-masing
menyirapkan suatu perspektif khusus pada pemahaman tentang misi. Metafora-metafora tersebut
adalah Gereja sebagai sakramen keselamatan, jemaat Allah, umat Allah, kerajaan Allah, “tubuh
Kristus” “bait Roh Kudus” dan peresekutuan orang-orang percaya.
Gereja adalah peziarah bukan semata-mata karena alasan praktis bahwa dalam zaman
modern ia tidak dapat lagi menjadi penentu arah dan dimana-mana menemukan dirinya dalam
situassi diaspora, sebaliknya menjadi peziarah di dalam dunia pada hakekatnya tergolong pada
posisi gereja yang eks-sentris. Ia adalah eklesia yang dipanggil keluar dari dunia, dan diutus
kembali kedalam dunia. Sifat asing adalah unsur dari pembentukannya umat Allah yang
berziarah hanya membutuhkan dua hal dukungan selama perjalanan dan tujuan akhir. Gereja
tidak mempunyai tempat yang tetap disini, dunia adalah sebuah paroikia sebuah alamat
sementara. Gereja terus menerus berada dalam perjalanan, menuju akhir dunia, dan akhir zaman.
Hoekendijk berpendapat bahwa bahkanpun ada perbedaan yang tidak terjembatani antara gereja
dan tujuan akhirnya, pemerintahan Allah, ia terpanggil untuk mewujudkan, bahkan disini dan
sekarang juga, sesuatu dari kondisi-kondisi yang harus berlaku dalam pemerintahan Allah.
sambil memberitakan kesementaraannya gereja berziarah menuju masa depan Allah.
Teologi tentang Inkulturasi sebagi teologi pembebasan. Gereja Barat dan badan misi ikut
dalam pembangunan ini. Namun keseluruhan proyek didasarkan pada asumsi yang keliru: ada
tanggapan bahwa apa yang baik untuk Barat juga baik untuk Dunia Ketiga. Proyek ini gagal
karena masalah kemiskinan tidak dapat teratasi kalau hanya mengandalkan keahlian teknologi
Barat. Oleh karena itu, di Amerika Latin dalam sosial-politik, pembangunan digantikan oleh
revolusi, secara gerejawi dan teologis oleh teologi pembebasan. Dunia Ketiga harus merebut
masa depan mereka (kaum miskin) dan membebaskan diri mereka melalui revolusi.

Gereja menunjukkan solidaritas dengan kaum miskin. Kaum miskin bukanlah sekadar obyek
misi, melainkan kaum miskin merupakan agen-agen dalam pengembangan misi pembebasan.
Dalam teologi pembebasan telah menolong gereja untuk menemukan kembali iman terhadap
Allah. Allah yang tidak ada yang sama dengan diri-Nya. Allah melibatkan diri-Nya di dalam
sejarah sebagai Allah kebenaran dan keadilan yang membela perjuangan kaum miskin yang
lemah dan tertindas (bnd. Ul. 4:32, Mzm 82). Hal ini dapat memberikan pemahaman untuk
menguatkan yang lemah sekaligus memahami bahwa kaum miskin adalah yang pertama,
meskipun bukan satu-satunya, yang kepadanya perhatian Allah ditujukan. Hal ini berlaku
terhadap kaum miskin dan mereka yang dianggap rendah.

Teologi kontekstual dan pembebasan sering dituduh telah menyerahkan Injil Kristen pada
ideologi Marxis. Dengan demikian, Allah benar-benar memperhatikan umatNya yang mengalami
penidasan, yang membutuhkan pertolongan. Teologi pembebasan bukan suatu teologi baru
melainkan suatu tahap baru dalam berteologi dan dengan demikian mempunyai kesinambungan
dan keterputusan dangan usaha berteologi dari zaman sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai