Oleh :
Kelompok III
T.A. 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1945, Pancasila telah menjadi dasar negara Indonesia dan
sekaligus menjadi ciri dari kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri.
Kelima dari sila dalam Pancasila itu telah diotentikkan dalam alinea
keempat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 sebagai landasan pendirian sebuah negara. Dalam
hal ini, dalam pendirian sebuah negara yang berdaulat haruslah memenuhi
dua syarat yaitu syarat konstitutif[1] dan syarat fakultatif.
Dalam hal ini dapat kita pahami, secara utuh dan konkret dari kelima
sila dalam Pancasila tersebut telah menunjukkan ciri dan kepribadian
bangsa Indonesia itu sendiri. Kelima sila dalam Pancasila ini mengandung
nilai essensial yaitu Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan, dan
Keadilan, dalam realitasnya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa ini
sejak zaman dahulu kala. Dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, telah memperlihatkan bahwa pluralisme bangsa ini dimana
tidak bisa kita pungkiri bahwa kita yang berbeda gugusan kepulauan,
mulai dari Sabang sampai Merauke, mulai dari pulau Sumatera, pulau
Jawa, pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Papua, dan puluhan ribu
pulau lainnya dapat dipersatukan dibawah naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Hal ini terjadi karena bangsa yang ini yang berbeda suku bangsa
memiliki kesamaan nilai-nilai yang kemudian dihayati sebagai nilai dasar
dalam bentuk lima sila yang terlingkup dalam Pancasila. Kata Bhinneka
Tunggal Ika yang selalu terlihat di lambang negara ini telah
mengungkapkan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang terdiri dari
beraneka ragam suku bangsa, agama, ras, budaya, dan bahasa, namun
bersatu dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi bangsa Indonesia. Dalam menjadikan Pancasila sebagai dasar
negara ini sebelum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)[3] dapat dinyatakan telah
melalui perjalanan panjang untuk menjadi sebuah dasar negara ini. Kita
sebagai kausa materialis Pancasila telah menyatakan bahwa Pancasila itu
secara yuridis telah menjadi dasar negara ini dan mengalami proses
panjang hingga saat ini.
A. Rumusan Masalah
B. MASA KERAJAAN
C. ZAMAN PENJAJAHAN
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad ke- XVI maka berkembanglah
agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan itu berkembang
pulalah Kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah
berdatangan orang-orang Eropa di Nusantara,. Mereka itu antara lain orang
Portugis yang kemudian di ikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin mencari
pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang awalnya berdagang adalah
orang-orang bangsa Portugis. Namun lama kelamaan bangsa Portugis mulai
menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi
praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.
Pada akhir abad ke- XVI, bangsa Belanda datang juga ke Indonesia. Untuk
menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri (Belanda) kemudian mereka
mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah “Kompeni”.
Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya
mengadakan perlawananan dan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 dan
1629, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J. P. Coen
tewas dalam serangan Sultan Agung yang ke dua itu.
Beberapa saat setelah sultan Agung mangkat maka mataram menjadi bagian
kekuasaan kompeni. Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital
berhasil juga dikuasai oleh Kompeni tahun 1667 dan timbullah perlawanan dari
rakyat Makasar di bawah Hasanudin. Menyusul pula wilayah Banten (Sultan
Agung Tirtoyoso) dapat di tundukkan pula oleh Kompeni pada tahun 1684.
Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke- XVII,
nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan Kompeni pada saat itu.
Demikian Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis yang
kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke- XVII dan nampaknya semakin
memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Soekarno pernah mengatakan “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari
perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang
beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang
bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu
“Sejarah merupakan guru kehidupan”. Sejarah memperlihatkan dengan nyata
bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak
memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka
bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat
oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (Tidak ada bangsa yang dapat
mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang
peradaban besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila
terus berjaya sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar
“confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak
Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka
ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang
“terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
Beliau juga mengusulkan bahwa pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara
dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Soekarno mengemukakan dasar-dasar
sebagai berikut: Sekarang banyaknya prinsip yaitu Kebangsaan,
Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan, lima bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan
diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Oleh karena itu, ditetapkan pada tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari
lahir Pancasila.
F. ERA KEMERDEKAAN
Kemenangan sekutu dalam perang dunia membawa hikmah bagi bangsa
Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945 Jendral Terauci memberikan tiga cap
kepada Ir. Soekarno yaitu:
1. Soekarno diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan, Moh. Hatta
sebagai Wakil Ketua, Radjiman sebagai anggota.
2. Panitia persiapan sudah mulai bekerja pada tanggal 9Agustus1945.
3. Cepat atau tidak pekerjaan panitia diserahkan sepenuhnya oleh panitia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada
tanggal 22 Maret 1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan
utuh”.
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu
:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
· Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
· Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
· Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
· Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
2. Saling mencintai sesama manusia..
3. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
4. Berani membela kebenaran dan keadilan.
5. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
1. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3. Cinta tanah air dan bangsa.
4. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi olehsemangat kekeluargaan.
5. secara moral kepada Tuhan
6. Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-
nilai kebenaran dan keadilan.
Sila Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana
2. Kekeluargaan dan kegotong-royongan.
3. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
4. Suka bekerja keras.
5. Menghargai hasil karya orang lain.
6. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun
1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4.
Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila
Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara Indonesia
diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan,
“Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan
Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta
ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai
suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam
pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37).
Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan
“Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal,
bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu
bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan semakin
terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada
akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer
mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter,
represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek
Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010:
45).
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang
terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil.
Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan
dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala
bidang..
I. ERA REFORMASI
Memahami peran Pancasila di Era Reformasi, khususnya dalam konteks
sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap
warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki
persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung
arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di
implementasikan sebagai berikut :
a. Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan
politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Mementingkan kepentingan rakyat/ demokrasi dalam pengambilan
keputusan.
c. Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan
berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
d. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan
pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
e. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
f. Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi
mengandung pengertian bagaimana suatu falsafah itu
diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan
nyata.
g. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang
kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos
budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan sebagai
sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk.
Oleh karena itu semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945
yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas,
karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang
memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan
filsafat ilmu (Philosophy of Science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas
pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya,
yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa
hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam
upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu
pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses
menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi,
spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi
mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil
yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta
aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa
Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode
berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas,
pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak
bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan
nilai-nilai ideal Pancasila.
Istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252)
mengandung; 1) linguisticmistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula
dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada
realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan
mengacu pada suatu pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu
dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan kategori
(category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu
berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan,
kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa:
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
BAB III
KESIMPULAN