Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PANCASILA DALAM LINTAS SEJARAH BANGSA INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadist

Dosen Pengampu: Kamarudin Harun, MA

Oleh :

Kelompok III

1. Cindy Sagita / 0310193111


2. Afdillah / 0310193104
3. Jenaf Ritonga / 0310193105
4. Armita Ningsih / 0310193095
5. Salsa Dianty Yolanda / 0310193082

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A. 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak tahun 1945, Pancasila telah menjadi dasar negara Indonesia dan
sekaligus menjadi ciri dari kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri.
Kelima dari sila dalam Pancasila itu telah diotentikkan dalam alinea
keempat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 sebagai landasan pendirian sebuah negara. Dalam
hal ini, dalam pendirian sebuah negara yang berdaulat haruslah memenuhi
dua syarat yaitu syarat konstitutif[1] dan syarat fakultatif.

Dalam hal ini dapat kita pahami, secara utuh dan konkret dari kelima
sila dalam Pancasila tersebut telah menunjukkan ciri dan kepribadian
bangsa Indonesia itu sendiri. Kelima sila dalam Pancasila ini mengandung
nilai essensial yaitu Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan, dan
Keadilan, dalam realitasnya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa ini
sejak zaman dahulu kala. Dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, telah memperlihatkan bahwa pluralisme bangsa ini dimana
tidak bisa kita pungkiri bahwa kita yang berbeda gugusan kepulauan,
mulai dari Sabang sampai Merauke, mulai dari pulau Sumatera, pulau
Jawa, pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Papua, dan puluhan ribu
pulau lainnya dapat dipersatukan dibawah naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Hal ini terjadi karena bangsa yang ini yang berbeda suku bangsa
memiliki kesamaan nilai-nilai yang kemudian dihayati sebagai nilai dasar
dalam bentuk lima sila yang terlingkup dalam Pancasila. Kata Bhinneka
Tunggal Ika yang selalu terlihat di lambang negara ini telah
mengungkapkan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang terdiri dari
beraneka ragam suku bangsa, agama, ras, budaya, dan bahasa, namun
bersatu dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi bangsa Indonesia. Dalam menjadikan Pancasila sebagai dasar
negara ini sebelum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)[3] dapat dinyatakan telah
melalui perjalanan panjang untuk menjadi sebuah dasar negara ini. Kita
sebagai kausa materialis Pancasila telah menyatakan bahwa Pancasila itu
secara yuridis telah menjadi dasar negara ini dan mengalami proses
panjang hingga saat ini.

Ir. Soekarno menyebutkan Pancasila itu sebagai Phylosofiche


Grondslag atau fundamen, filsafat, pikiran sedalam-dalamnya, jiwa, dan
hasrat untuk menjadikan negara Indonesia merdeka ini akan senantiasa
kekal abadi. Selain itu, Ir. Soekarno juga menyebutkan Pancasila itu
sebagai weltanschauung bangsa dan negara Indonesia ini. Artinya
Pancasila ini mencakup cita-cita, harapan, dan tujuan dari dibentuknya
negara Indonesia yang merdeka ini. Proses terbentuknya negara Indonesia
ini melalui proses sejarah yang panjang. Dimana dimulai sejak zaman batu
kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke- IV, pada abad ke- V,
kemudian dasar-dasar kebangsaan itu terlihat. Dalam hal ini dapat kita
lihat, manusia diciptakan sebagai makhluk oleh Sang Khaliqnya Allah
SWT sebagai umat yang paling sempurna, dan tertinggi dari makhluk
ciptaan lainnya. Manusia dapat mengubah apa yang yang ada di jagat raya
ini dengan akal budinya. Jadi dengan akal budi inilah muncul dasar-dasar
kebangsaan ini yang mulai tampak pada abad ke- VII. Kemudian dirintis
hingga kemerdekaan bangsa ini.

Dalam proses pembentukan negara ini tidak bisa dipungkiri bahwa


prosesnya melewati pemikiran dan perumusan Pancasila yang dipengaruhi
oleh interaksi dengan sistem berpikir dan nilai-nilai budaya lainnya. Hal
ini merefleksikan bahwa setiap saat sistem berpikir seorang manusia terus
berkembang hingga saat ini. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan
proses lahirnya Pancasila sampai yang terjadi saat ini. Dasar negara
Republik Indonesia adalah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan
UUD 1945 dan secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus
1945, kemudian diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II
No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945.

Dalam sejarahnya, eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat negara


Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan
manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan
tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi negara
Pancasila. Dengan lain perkataan, dalam kedudukan yang seperti ini
Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup
bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan
dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada saat itu. Dalam
kondisi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang sedang dilanda oleh
arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai
macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitas dirinya
sebagai dasar negara ataupun ideologi, namun demikian perlu segera kita
sadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar negara atau ideologi
maka suatu bangsa mustahil akan dapat survive dalam menghadapi
berbagai tantangan dan ancaman.

A. Rumusan Masalah

1. Mengetahui pengertian Pancasila.


2. Mengetahui rumusan awal Pancasila
5. Mengetahui proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara.
6. Mengetahui sejarah pancasila
BAB II
PEMBAHASAN

A. ZAMAN PRA SEJARAH


Ahli Geologi menyatakan bahwa kepulauan Indonesia terjadi dalam
pertengahan Zaman Tersier, kira-kira 60 juta tahun silam. Baru pada Zaman
Quarter yang dimulai sekitar 600.000 tahun yang silam Indonesia didiami oleh
manusia berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan. Berdasarkan artefak yang
mereka tinggalkan, mereka mengalami hidup tiga zaman yaitu: Paleolitikum,
Mesolitikum, Neolitikum. Pada masa pra sejarah tersebut, sebenarnya inti dari
kehidupan mereka adalah nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yaitu :
1. Nilai Religious
Adanya sistem penguburan mayat diketahui dari ditemukannya kuburan serta
kerangka di dalamnya. Selain itu juga ditemukan alat-alat yang digunakan untuk
aktivitas religi seperti upacara mendatangkan hujan, dll. Adanya keyakinan
terhadap pemujaan roh leluhur juga dan penempatan menhir (kubur batu) di
tempat-tempat yang tinggi yang dianggap sebagai tempat roh leluhur, tempat yang
penuh keajaiban dan sebagai batas antara dunia manusia dan roh leluhur.
2. Nilai Perikemanusiaan
Tampak dalam perilaku kehidupan saat itu misalnya penghargaan terhadap
hakikat kemanusiaan yang ditandai dengan penghargaan yang tinggi terhadap
manusia meskipun sudah meninggal. Hal ini menggambarkan perilaku berbuat
baik terhadap sesama manusia, yang pada hakekatnya merupakan wujud
kesadaran akan nilai kemanusiaan. Mereka juga sudah mengenal sistem barter
antara kelompok pedalaman dengan pantai dan persebaran kapak. Selain itu
mereka juga menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Hal ini menandakan
bahwa mereka sudah bisa menjalin hubungan sosial.
3. Nilai Kesatuan
Adanya kesamaan bahasa Indonesia sebagai rumpun bahasa Austronesia, sehingga
muncul kesamaan dalam kosa kata dan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan teori
perbandingan bahasa menurut H. Kern dan benda- benda kebudayaan Pra Sejarah
Von Heine Gildern. Kecakapan berlayar karena menguasai pengetahuan tentang
laut, musim, perahu, dan astronomi, menyebabkan adanya kesamaan karakteristik
kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika lautan juga
merupakan tempat tinggal selain daratan. Itulah sebabnya mereka menyebut
negerinya dengan istilah Tanah Air.
4. Nilai Musyawarah
Kehidupan bercocok tanam dilakukan secara bersama-sama. Mereka sudah
memiliki aturan untuk kepentingan bercocok tanam, sehingga memungkinkan
tumbuh kembangnya adat sosial. Kehidupan mereka berkelompok dalam desa-
desa, klan, marga atau suku yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih
secara musyawarah berdasarkan Primus Interpares (yang pertama diantara yang
sama).
5. Nilai Keadilan Sosial
Dikenalnya pola kehidupan bercocok tanam secara gotong-royong berarti
masyarakat pada saat itu telah berhasil meninggalkan pola hidup foodgathering
menuju ke pola hidup foodproducing. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu
upaya kearah perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bersama sudah ada.

B. MASA KERAJAAN

1. ZAMAN KERAJAAN KUTAI


Menurut Ismaun, Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M,
dengan ditemukan prasasti yang berjumlah tujuh buah yang berbentuk yupa (tiang
batu). Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Raja Mulawarman
merupakan keturunan dari Raja Aswawarman dan keturunan dari Raja Kudungga.
Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut mengadakan kenduri dan
memberikan kepada para Brahmana dan para Brahmana membangun yupa itu
sebagai tanda terima kasih para Brahmana kepada Raja Mulawarman yang sangat
dermawan. (Kaelan, 2014 : 20).
Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya
dengan menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk
kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada para Brahmana.
Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan Raja ini
tampak dalam kerajaan yang muncil kemudian di pulau Jawa dan Sumatera.

2. ZAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA


Menurut Mr. Muhammad Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan
Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan
warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia
terbentuk melalui tiga tahap. Pertama, zaman kerajaan Sriwijaya di bawah
Wangsa Syailendra (600-1400) yang bercirikan kedatuan. Kedua, negara
kebangsaan pada zaman kerajaan Majapahit (1239-1525) yang bercirikan
keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan negara kebangsaan Indonesia lama.
Ketiga, negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. (Sekretariat Negara RI, 1995 : 11).
Agama dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu
universitas agama Buddha, yang sangat terkenal di negara lain di Asia. Banyak
para musafir dari negara lain misalnya dari Cina yang belajar terlebih dahulu di
universitas tersebut terutama agama Buddha dan bahasa Sansekerta sebelum
melanjutkan studinya ke India. Malahan banyak guru-guru besar tamu dari India
yang mengajar di Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita-cita tentang kesejahteraan
bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya tersebut
yaitu berbunyi marvuat vanua Criwijaya siddhaya subhiksa yang berarti suatu
cita-cita negara yang adil dan makmur. (Sulaiman, tanpa tahun : 53).
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu :
· Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu
hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat
kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
· Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti
Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai
politik luar negeri yang bebas dan aktif.
· Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep
negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
· Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas,
meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
· Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan,
sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.

3. ZAMAN KERAJAAN MAJAPAHIT


Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman
keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan mahapatih Gajah
Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk
menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit semasa jayanya itu
membentang dari Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang) sampai Irian Barat
melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu, agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan dengan damai
dalam satu kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365). Dalam
kitab tersebut telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku
Sutasoma, dan di dalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional
yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang bunyi lengkapnya Bhinneka Tunggal Ika Tan
Hana Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda namun satu jua adanya sebab
tidak adanya agama yang dimiliki Tuhan yang berbeda.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang
Ratu dan Menteri-menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang
berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut: “Saya baru
akan berhenti berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh Nusantara bertakluk di
bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang,
Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan.”. (M. Yamin,
1960 : 60).
Dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk mengadakan
hubungan bertetangga dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa,
dan Kamboja. Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia
dan banyak meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara
kebangsaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian disebabkan oleh faktor
keadaan dalam negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada
permulaan abad ke- XV, maka sinar kejayaan Kerajaan Majapahit berangsur-
angsur melalui memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan “Sinar
Hilang Kertaning Bumi” pada permulaan abad ke- XVI (1520).
Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu
agama Hindu dan Budhahidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca
menulis Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah
“Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu
tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan
Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan
tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas
beragama saat itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh kerajaan Pasai di
Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk agama Islam.
Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam
Wuruk dengan baik dengan kerajaanTiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja.
Mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “ Mitreka
Satata”.
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud
dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh
Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada
tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang
berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh
nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung,
Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah
dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang
dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti
Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat
semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang
berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong dalam
kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat
dalam memutuskan masalah bersama.
Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari
berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan
Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.

C. ZAMAN PENJAJAHAN
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad ke- XVI maka berkembanglah
agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan itu berkembang
pulalah Kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah
berdatangan orang-orang Eropa di Nusantara,. Mereka itu antara lain orang
Portugis yang kemudian di ikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin mencari
pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang awalnya berdagang adalah
orang-orang bangsa Portugis. Namun lama kelamaan bangsa Portugis mulai
menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi
praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.
Pada akhir abad ke- XVI, bangsa Belanda datang juga ke Indonesia. Untuk
menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri (Belanda) kemudian mereka
mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah “Kompeni”.
Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya
mengadakan perlawananan dan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 dan
1629, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J. P. Coen
tewas dalam serangan Sultan Agung yang ke dua itu.
Beberapa saat setelah sultan Agung mangkat maka mataram menjadi bagian
kekuasaan kompeni. Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital
berhasil juga dikuasai oleh Kompeni tahun 1667 dan timbullah perlawanan dari
rakyat Makasar di bawah Hasanudin. Menyusul pula wilayah Banten (Sultan
Agung Tirtoyoso) dapat di tundukkan pula oleh Kompeni pada tahun 1684.
Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke- XVII,
nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan Kompeni pada saat itu.
Demikian Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis yang
kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke- XVII dan nampaknya semakin
memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Soekarno pernah mengatakan “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari
perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang
beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang
bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu
“Sejarah merupakan guru kehidupan”. Sejarah memperlihatkan dengan nyata
bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak
memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka
bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat
oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (Tidak ada bangsa yang dapat
mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang
peradaban besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila
terus berjaya sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar
“confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak
Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka
ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang
“terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).

D. ZAMAN KEBANGKITAN NASIONAL


Pada abad ke- XX di panggung politik Internasional terjadilah pergolakan
kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatan sendiri. Partai
Kongres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia
bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu Kebangkitan Nasional
(1908) dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya.
Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan Nasional untuk mewujudkan suatu
bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuasaannya sendiri.
Dalam siuasi yang mengguncangkan itu muncullah Partai Nasional Indonesia
(PNI) pada tahun 1927 yang dipelopori oleh Soekarno, Cipto Mangunkusumo,
Sartono dan tokoh lainnya. Perjuangan Nasional Indonesia di titik beratkan pada
kesatuan nasional dengan tujuan Indonesia Merdeka. Tujuan itu kemudian diikuti
dengan tampilnya golongan pemuda yang tokoh-tokohnya antara lain Muhammad
Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbopranoto, serta tokoh-tokoh muda lainnya.
Perjuangan rintisan kesatuan Nasional kemudian diikuti dengan Sumpah Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928, satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air
Indonesia. Lagu Indonesia Raya pada saat ini pertama kali dikumandangkan dan
sekaligus sebagai penggerak kebangkitan kesadaran berbangsa.
Kemudian PNI oleh para pengikutnya dibubarkan, dan diganti bentuknya
dengan partai Indonesia dengan singkatan Partindo (1931). Kemudian golongan
Demokrat antara lain Moh. Hatta, dan St. Syahrir mendirikan PNI baru yaitu
Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan semboyan Kemerdekaan Indonesia
harus dicapai dengan kekuatan sendiri.

E. ZAMAN SEBELUM PROKLAMASI


Sebagai realisasi janji dari Pemerintahan Jepang maka pada hari ulang tahun
Kaisar Hirohito tanggal 29 April 1945 Jepang memberi semacam hadiah ulang
tahun kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kedua dari pemerintahan Jepang
berupa kemerdekaan tanpa syarat. Tindak lanjutnya, pada tanggal 29 Mei 1945
dibentuk suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan
kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritu Zyunbi Tioosakai.[10]
Pada hari itu juga di umumkan nama-nama ketua, wakil ketua serta para
anggota sebagai berikut.
Ketua : Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat
Ketua Muda : Itibangase
Ketua Muda : R.P. Soeroso
Enam puluh anggota biasa bangsa Indonesia tidak termasuk ketua dan ketua
muda dan mereka kebanyakan berasal dari Jawa, tetapi juga ada yang berasal dari
Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan beberapa peranakan Eropa, Cina, dan Arab.
Sidang BPUPKI I dilakukan untuk menentukan dasar Negara Indonesia.
Sidang berlangsung selama empat hari, berturut-turut yang tampil untuk berpidato
menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut :
a. Mr. Muh Yamin (29 Mei 1945)
Dalam pidatonya 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengusulkan calon
rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut :
· Peri Kebangsaan
· Peri Kemanusiaan,
· Peri Ketuhanan,
· Peri Kerakyatan (Permusyawaratan, Perwakilan, Kebijaksanaan)
· Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial).

b. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)


Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori sebagai berikut.
· Teori negara perseorangan (Individualis).
· Paham negara kelas (Class Theory)
· Paham negara Integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muler Hegel
(Abad ke- 18 dan 19).
Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar filsafat negara Indonesia Soepomo
mengusulkan hal-hal mengenai kesatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan
batin, musyawarah, keadilan rakyat.

c. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)


Usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI I berikutnya adalah pidato dari Ir.
Soekarno yang disampaikan lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar negara
yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut.
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Peri Kemanusiaan)
3. Mufakat (Demokrasi)
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan)

Beliau juga mengusulkan bahwa pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara
dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Soekarno mengemukakan dasar-dasar
sebagai berikut: Sekarang banyaknya prinsip yaitu Kebangsaan,
Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan, lima bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan
diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Oleh karena itu, ditetapkan pada tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari
lahir Pancasila.

F. ERA KEMERDEKAAN
Kemenangan sekutu dalam perang dunia membawa hikmah bagi bangsa
Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945 Jendral Terauci memberikan tiga cap
kepada Ir. Soekarno yaitu:
1. Soekarno diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan, Moh. Hatta
sebagai Wakil Ketua, Radjiman sebagai anggota.
2. Panitia persiapan sudah mulai bekerja pada tanggal 9Agustus1945.
3. Cepat atau tidak pekerjaan panitia diserahkan sepenuhnya oleh panitia.

G. ERA ORDE LAMA


Era Orde Lama ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada tanggal 5
Juli 1959. Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan
berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar
kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu demokrasi khas
Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna
yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana
demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering
terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu
belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan
lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang
berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi
makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan
G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI
memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret
1969 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi
terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya
pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde
Baru.

H. ERA ORDE BARU


Setelah jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto
yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi
kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan,
“Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita
mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan,
“Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan,
Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah
UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual.
Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968
Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa
akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu
mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti
digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada
tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun
1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara,
yaitu:
1. Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
2. Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Tiga : Persatuan Indonesia
4. Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan
5. Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada
tanggal 22 Maret 1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan
utuh”.
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu
:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
· Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
· Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
· Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
· Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
2. Saling mencintai sesama manusia..
3. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
4. Berani membela kebenaran dan keadilan.
5. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
1. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3. Cinta tanah air dan bangsa.
4. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi olehsemangat kekeluargaan.
5. secara moral kepada Tuhan
6. Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-
nilai kebenaran dan keadilan.
Sila Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana
2. Kekeluargaan dan kegotong-royongan.
3. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
4. Suka bekerja keras.
5. Menghargai hasil karya orang lain.
6. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun
1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4.
Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila
Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara Indonesia
diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan,
“Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan
Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta
ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai
suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam
pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37).
Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan
“Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal,
bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu
bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan semakin
terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada
akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer
mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter,
represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek
Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010:
45).
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang
terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil.
Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan
dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala
bidang..

I. ERA REFORMASI
Memahami peran Pancasila di Era Reformasi, khususnya dalam konteks
sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap
warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki
persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung
arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di
implementasikan sebagai berikut :
a. Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan
politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Mementingkan kepentingan rakyat/ demokrasi dalam pengambilan
keputusan.
c. Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan
berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
d. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan
pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
e. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
f. Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi
mengandung pengertian bagaimana suatu falsafah itu
diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan
nyata.
g. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang
kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos
budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan sebagai
sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk.
Oleh karena itu semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945
yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas,
karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang
memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan
filsafat ilmu (Philosophy of Science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas
pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya,
yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa
hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam
upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu
pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses
menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi,
spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi
mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil
yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta
aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa
Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode
berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas,
pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak
bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan
nilai-nilai ideal Pancasila.
Istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252)
mengandung; 1) linguisticmistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula
dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada
realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan
mengacu pada suatu pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu
dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan kategori
(category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu
berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan,
kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa:
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
BAB III
KESIMPULAN

Dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila yang terdapat dalam


Pembukaan UUD 1945 dan secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945, kemudian diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II
No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945. Dalam sejarahnya,
eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia mengalami
berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi
ideologi negara Pancasila.
Dengan lain perkataan, dalam kedudukan yang seperti ini Pancasila tidak lagi
diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara
Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan
politik penguasa pada saat itu. Dalam kondisi kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila
tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap
kredibilitas dirinya sebagai dasar negara ataupun ideologi, namun demikian perlu
segera kita sadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar negara atau
ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat survive dalam menghadapi
berbagai tantangan dan ancaman.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas gerakan reformasi berupaya untuk
mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar negara
Republik Indonesia, yang hal ini direalisasikan melalui Ketetapan Sidang
Istimewa MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan P-4 dan sekaligus juga
pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Orsospol di Indonesia.
Ketetapan tersebut sekaligus juga mencabut mandat MPR yang diberikan kepada
Presiden atas kewenangan untuk membudayakan Pancasila melalui P-4 dan asas
tunggal Pancasila. Monopoli Pancasila demi kepentingan kekuasaan oleh
penguasa inilah yang harus segera diakhiri, kemudian dunia pendidikan tinggi
memiliki tugas untuk mengkaji dan memberikan pengetahuan kepada semua
mahasiswa untuk benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan
obyektif.
Istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252)
mengandung; 1) linguisticmistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula
dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada
realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan
mengacu pada suatu pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu
dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan kategori
(category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu
berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan,
kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.

Anda mungkin juga menyukai