Anda di halaman 1dari 1

Melalui etnisitas tersebut, Pemerintah Malaysia membagi etnis tersebut berdasarkan etnis

bumi putra atau pribumi dan etnis non-pribumi. Pembagian tersebut memasukkan Melayu
dan beberapa etnis kecil lain seperti Iban, Kadazan, Melanou, Bidayuh dsb menjadi etnis
pribumi. Sementara itu etnis tionghoa dan india adalah etnis non-pribumi. Pembagian ini
didasarkan pada alasan historis dimana etnis melayu telah tinggal di Malaysia sejak zaman
pra-sejarah.
Label etnis pribumi ini tidak hanya sekadar label, namun berarti pemberian hak istimewa
kepada etnis pribumi dari etnis non-pribumi. Pada awalnya, pelabelan ini dilakukan oleh
Inggris pada zaman kolonialisme. Terdapat dua tujuan Inggris melakukan pelabelan itu
yaitu: pertama, pelabelan tersebut memudahkan proses kolonialisasi di Malaysia. Kedua,
pelabelan yang tercantum dalam kesepakatan bargaining ini digunakan sebagai aturan
main dalam kehidupan baik dalam kegiatan politik, sosial dan ekonomi. Aturan main
tersebut dipandang perlu oleh pemerintah Inggris menyikapi masalah yang timbul antara
etnis pribumi dan etnis non-pribumi khususnya tionghoa.
Persengketaan etnis pribumi dan etnis tionghoa telah terjadi pada saat Malaysia belum
mendapatkan kemerdekaannya hingga saat ini. Penduduk melayu memandang penduduk
tionghoa sebagai orang yang agresif, dan tidak menggunakan moral dalam berbisnis dan
berdagangan. Sementara itu etnis tionghoa melihat etnis melayu sebagai sekumpulan
orang yang pemalas, suka berkhayal dan tidak memiliki motivasi dalam bekerja. Friksi-
friksi inilah yang acap kali menimbulkan konflik diantara kedua etnis ini. Oleh karena itu,
terdapat seperangkat aturan main yang harus dipatuhi oleh etnis di Malaysia.
Tidak hanya persengketaan antar etnis yang terjadi di Malaysia, namun juga sulitnya bagi
masing-masing etnis untuk membaur satu sama lain. Etnis di Malaysia mempunyai
kecenderungan untuk hidup berkelompok sesuai dengan etnisitasnya. Pada akhirnya
terciptalah pembagian daerah-daerah sesuai dengan etnisitasnya. Sebagai contoh adalah
Kampung Melayu, yang merupakan tempat tinggal etnis melayu. Di sini etnis melayu
tergabung dalam satu unit politik, satu unit ekonomi, satu unit genealogi dan keagamaan .
Kecenderungan untuk memisahkan diri ini tentu saja mengancam integrasi Malaysia dan
aturan main tersebut dalah alat untuk mengatur interaksi antar etnis agar tidak terjadi
konflik.
Pada awalnya aturan main ini tidak tertulis namun pada tahun 1957 ketika Malaysia
merdeka dari Inggris, aturan main ini secara eksplisit tercantum dalam konstitusi Malaysia
. Pencantuman aturan main ini dalam konstitusi yang disebut social contract secara tidak
langsung mengakui dan menjamin hak-hak khusus yang dimiliki oleh etnis melayu . Dalam
social contract tersebut dijelaskan bahwa etnis pribumi adalah etnis melayu, bahasa
melayu adalah bahasa nasional dan agama mereka menjadi agama nasional. Konstitusi
juga secara eksplisit memberikan grants kepada etnis bumi putra hak-hak atas tanah,
kuota dalam pemerintahaan, pendidikan publik dsb. Sementara itu, etnis non pribumi
seperti tionghoa diberi kesempatan untuk mengembangkan sektor perekonomian. Etnis
non pribumi juga mendapat hak secara otomatis menjadi warga negara Malaysia ketika ia
dilahirkan.
Meskipun demikian saat ini prosentasi pemberian hak khusus kepada etnis melayu telah
sedikit berkurang karena adanya insiden 13 Mei. Insiden ini dipicu dengan besarnya hak-
hak khusus yang dimiliki oleh etnis melayu. Untuk meredam dan mengakhiri konflik ini,
pemerintah ‘mendiskon’ hak khusus yang dimiliki oleh etnis melayu dengan memberikan
sektor perekonomian seperti real estate untuk dikembangkan oleh etnis non pribumi.
Walaupun telah beberapa hak khusus telah dikurangi oleh pemerintah, namun etnis ini
masih mendominasi Malaysia. Sektor pemerintahan adalah salah satu contoh utama
bagaimana etnis ini mendominasi Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai