Anda di halaman 1dari 38

TUGAS KELOMPOK

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)


PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)
RUANGAN YASO

OLEH KELOMPOK 3 :
1. CHRISMASARI ELXA NIRMALA :A022818008
2. DIAJENG SEPTY KOMALASARI :A022818012
3. NURUL ADHA :A022818035
4. SERI HAYATI HAREFA :A022818044
5. FOFODINA IMBIRI :A022818003
6. ETEREDA NURLETE :A022818058
7. CASMIRA OLGA GIBRES :A022818021
8. ANCE EDOWAY :A022818053

YAYASAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MASYARAKAT PAPUA (YP3MP)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) JAYAPURA


PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Pendahuluan dengan kasus Penyakit Paru Obstrutif Kronis
diRuang Yaso guna memenuhi tugas kelompok di Rumah Sakit Bhayangkara tk III Jayapura
tahun 2019.

Kotaraja, 13 Agustus 2019


Oleh Kelompok 3

Mengetahui:

CI Lahan CI Akademik

( Eva Triadelfi, Amd.Kep) (Susi Lestari S.ST.,M.Kes)


NIDN : 1416088901

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) ditandai dengan obstruksi jalan nafas yang
ireversibel dan peningkatan usaha bernapas. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan
hidup dan semakin tingginya paparan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga
berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok, khususnya pada
kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan
di tempat kerja (Mangunnegoro, 2003). Gejala klinis pada PPOK antara lain batuk, produksi
sputum, sesak nafas dan keterbatasan aktivitas.Faktor patofisiologi yang berkontribusi dalam
kualitas dan intensitas sesak nafas saat melakukan aktivitas pada pasien PPOK antara lain
kemampuan mekanis dari otot-otot inspirasi, meningkatnya volume restriksi selama
beraktivitas, lemahnya fungsi otot-otot inspirasi, meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif,
gangguan pertukaran gas, kompresi jalan nafas dinamis dan faktor kardiovaskuler. Oleh
karena itu pasien PPOK cenderung menghindari aktivitas fisik sehingga pasien mengurangi
aktivitas sehari-hari yang akhirnya akan menyebabkan immobilisasi, hubungan pasien
dengan lingkungan dan sosial menurun sehingga kualitas hidup menurun (Khotimah, 2013).

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi PPOK
2. Mengetahui tanda dan gejala PPOK
3. Mengetahui Etiologi PPOK
4. Mengetahui Patofisiologi PPOK
5. Mengetahui Pathway PPOK
6. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang PPOK
7. Mengetahui cara pencegahan PPOK
8. Mengetahui cara penatalaksanaan PPOK
9. Mengetahui komplikasi PPOK

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. PPOK
1. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). PPOK
merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya (Price, 2005). PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis,
emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (Smeltzer, 2001)

2. Tanda dan Gejala

Terdapat sejumlah tanda dan gejala PPOK yaitu:

a. Batuk berdahak yang tidak kunjung sembuh dengan warna lendir dahak berwarna
agak kuning atau hijau.
b. Pernapasan sering tersengal-sengal, terlebih lagi saat melakukan aktivitas fisik.
c. Mengi atau napas sesak dan berbunyi.
d. Lemas.
e. Penurunan berat badan.
f. Nyeri dada
g. Kaki, pergelangan kaki, atau tungkai menjadi bengkak.
h. Bibir atau kuku jari berwarna biru.
i. Demam
j. Linglung atau rasa kantuk berlebihan

3. Etiologi

Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari jumlah partikel gas
yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya. Partikel gas ini termasuk :
a. Asap rokok
1) Perokok aktif adalah orang yang menghisap asap dari rokok langsung.
2) Perokok pasif adalah orang yang menghisap asap rokok dan juga asap yang sudah
keluar dari paru – paru perokok aktif.

2
3

b. Polusi udara
1) Polusi di dalam ruangan seperti asap rokok dan asap kompor
2) Polusi di luar ruangan seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
d. Infeksi saluran nafas bawah berulang

4. Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai
hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi.
Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah
distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat
gangguan restriksi adalah Kapasitas Vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama (VEP1), dan rasio volume
ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood,
2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan
silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi
sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi
terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang
dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
4

demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan (Kamangar, 2010).

5. Pathway

Faktor
predisposisi

Edema, spasme bronkus, peningkatan secret


bronkiolus

Obstruksi bronkiolus awal fase


Bersihan
ekspirasi
jalan nafas
tidak efektif Udara terperangkap dalam alveolus

Suplai O2 PaO2 rendah Sesak nafas,


Jaringan rendah PaCO2 tinggi Nafas pendek

Kompensasi Gangguan
Insufisiensi/ Pola nafas tidak
kardiovaskuler Metabolisme
gagal napas efektif
jaringan
Hipoksemi

Produksi
Hipertensi ATP
pilmonal menurun Resiko

Defisit energi Perubahan nutrisi


Kurang dari
Gagal
Lelah, lemah kebutuhan
Jantung
kanan
Intoleransi Gangguan Kurang
aktivitas pola Perawatan diri

tidur
5

6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologi
1). Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel,
keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus
yang menebal.
b) Corak paru yang bertambah.
2). Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
a) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink
puffer.
b) Corakan paru yang bertambah.
c) Pemeriksaan faal paru

Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah
dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (MAXIMAL EXPIRATORY FLOW
RATE), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas
lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran
napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan
alveoli untuk difusi berkurang.

b. Analisis gas darah


Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobSin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi
umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.

c. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
VF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering
terdapat RBBB inkomplet.
6

d. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.


e. Laboratorium darah lengkap

7. Pencegahan
a. Berhenti merokok.
b. Hindari polusi udara
c. Hindari paparan dari pekerjaan
d. Ketahui riwayat keluarga
e. Dapatkan vaksin pneumokokus.

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut:
a. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi
juga fase kronik.
b. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
c. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia 60-an ke atas adalah sebagai berikut:


a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
e. Pengobatan simtomatik.
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 - 2 liter/menit.
7

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:


a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling
efektif.
c. Latihan dengan beban olahraga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran
jasmani.
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali
mengerjakan pekerjaan semula

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)


a. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
b. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
1). Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh Haemophilus Influenza dan Stretopcoccus Pneumonia, maka
digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin
(amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah Haemophilus Influenza dan Branhamella Catarhalis yang memproduksi Beta
Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin
pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari
selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2). Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
3). Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
4).Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan
adrenergik Blocking dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg
dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau
aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.
c. Terapi jangka panjang di lakukan :
1). Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari
dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2). Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal
paru.
8

3). Fisioterapi
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
e. Mukolitik dan ekspektoran
f. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan
PaO2 (7,3Pa (55 MMHg).

8. Komplikasi
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan
nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran
udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
therapi yang biasa diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.
9

A. PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI

1. Pengertian
Oksigen memegang peranan penting dalam semua proses tubuh secara fungsional.
Tidak adanya oksigen akan menyebabkan tubuh secara fungsional mengalami kemunduran
atau bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, kebutuhan oksigen merupakan
kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh.
Pemenuhan kebutuhan oksigen ini tidak terlepas dari kondisi sistem pernapasan secara
fungsional. Bila ada gangguan pada salah satu organ sistem respirasi, maka kebutuhan
oksigen akan mengalami gangguan. Sering kali individu tidak menyadari terhadap
pentingnya oksigen. Proses pernapasan dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Banyak kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan dalam pemenuhan
kebutuhan oksigen, seperti adanya sumbatan pada saluran pernapasan. Pada kondisi ini,
individu merasakan pentingnya oksigen.

2. Sistem Tubuh yang Berperan dalam Kebutuhan Oksigenasi


Saluran Pernapasan bagian Atas :
a. Hidung, proses oksigenasi diawali dengan masuknya udara melalui hidung.
b. esophagus.
c. Laring, merupakan saluran pernapasan setelah faring.
d. Epiglotis, merupakan katup tulang rawan yang bertugas menutup laring saat proses
menutup.
Saluran pernapasan bagian bawah:
a. Trakhea, merupakan kelanjutan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebrae
torakalis kelima.
b. Bronkhus, merupakan kelanjutan dari trakhea yang bercabang menjadi bronchus
kanan dan kiri.
c. Bronkiolus, merupakan saluran percabangan setelah bronchus.
d. Alveoli, merupakan kantung udara tempat terjadinya pertukaran oksigen dengan
karbondioksida.
e. Paru-Paru (Pulmo), Paru-paru merupakan organ utama dalam sistem pernapasan.

\
1o

3. Proses Oksigenasi
a. Ventilasi
Merupakan proses keluar masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari
alveoli ke atmosfer. Proses ventilasi di pengaruhi oleh beberapa hal, yaitu adanya
perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru, semakin tinggi tempat maka tekanan udara
semakin rendah, demikian sebaliknya, semakin rendah tempat tekanan udara semakin
tinggi.
Pengaruh proses ventilasi selanjutnya adalah complienci dan recoil. Complience
merupakan kemampuan paru untuk mengembang. sedangkan recoil adalah kemampuan
CO2 atau kontraksi menyempitnya paru. Pusat pernapasan, yaitu medulla oblongata dan
pons, dapat dipengaruhi oleh ventilasi. Proses ventilasi ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor :
1). Adanya konsentrasi oksigen di atmosfer
2). Adanya kondisi jalan napas yang baik
3). Adanya kemampuan toraks dan alveoli pada paru-paru dalam melaksanakan
ekspansi atau kembang kempis.

b. Difusi Gas
Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen dialveoli dengan kapiler paru dan co2
di kapiler dengan alveoli. Proses pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa paktor, yaitu
luasnya permukaan paru, tebal membran respirasi atau permeabilitas yang terdiri atas epitel
alveoli dan interstisial (keduanya dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses
penebalan). Perbedaan tekanan dan konsentrasi O2 (hal ini sebagai mana O2 dari alveoli
masuk kedalam darah oleh karena tekanan O2 dalam rongga alveoli lebih tinggi dari
tekanan O2 dalam darah vena pulmonalis, masuk dalam darah secara difusi).

c. Transfortasi Gas
Transfortasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler ke jaringan tubuh dan
Co2 jaringan tubuh ke kapiler. Transfortasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa factor,
yaitu curah jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise),
perbandingan sel darah dengan darah secara keseluruhan (hematokrit), serta eritrosit dan
kadar Hb.
11

4. Jenis Pernapasan
a. Pernapasan Eksternal
Pernapasan eksternal merupakan proses masuknya O2 dan keluarnya CO2 dari tubuh,
sering disebut sebagai pernapasan biasa. Proses pernapasan ini dimulai dari masuknya
oksigen melalui hidung dan mulut pada waktu bernapas, kemudian oksigen masuk melalui
trakea dan pipa bronchial ke alveoli, lalu oksigen akan menembus membrane yang akan
diikat oleh Hb sel darah merah dan dibawa ke jantung. Setelah itu, sel darah merah dipompa
oleh arteri ke seluruh tubuh untuk kemudian meninggalkan paru dengan tekanan oksigen 100
mmHg.
b. Pernapasan Internal
Pernapasan internal merupakan proses terjadinya pertukaran gas antar sel jaringan
dengan cairan sekitarnya yang sering melibatkan proses Semua hormon termasuk derivate
catecholamine dapat melebarkan saluran pernapasan.

5. Pemeriksaan Fungsi Paru Dengan Alat Spirometri


Respirasi (Pernapasan atau ventilasi) sebagai suatu siklus inspirasi dan ekspirasi.
Frekuensi pernapasan orang dewasa normal berkisar 12 - 16 kali permenit yang mengangkut
kurang lebih 5 liter udara masuk dan keluar paru. Volume yang lebih rendah dari kisaran
normal seringkali menunjukkan malfungsi sistem paru. Volume dan kapasitas paru diukur
dengan alat berupa spirometer atau spirometri, sedang hasil rekamannya disebut dengan
spirogram. Udara yang keluar dan masuk saluran pernapasan saat inspirasi dan ekspirasi
sebanyak 500 ml disebut dengan volume tidal, sedang volume tidal pada tiap orang sangat
bervariasi tergantung pada saat pengukurannya. Rata-rata orang dewasa 70% (350 ml) dari
volume tidal secara nyata dapat masuk sampai ke bronkiolus, duktus alveolus, kantong
alveoli dan alveoli yang aktif dalam proses pertukaran gas. Sedang sisanya sebanyak 30%
(150 ml) menetap di ruang rugi (anatomic dead space).
Volume total udara yang ditukarkan dalam satu menit disebut dengan minute volume of
respiration (MVR) atau juga biasa disebut menit vantilasi. MVR ini didapatkan dari hasil
kali antara volume tidal dan frekuensi pernapasan normal permenit. Rata-rata MVR dari 500
ml volume tidal sebanyak 12 kali pernapasan permenit adalah 6000 ml/menit.
Volume pernapasan yang melebihi volume tidal 500 ml dapat diperoleh dengan mengambil
nafas lebih dalam lagi. Penambahan udara ini biasa disebut volume cadangan inspirasi
(Inspiratory reserve volume) sebesar 3100 ml dari volume tidal sebelumnya, sehingga
volume tidal totalnya sebesar 3600 ml.
12

Meskipun paru dalam keadaan kosong setelah fase ekspirasi maksimal, akan tetapi
sesungguhnya paru-paru masih memiliki udara sisa yang disebut dengan volume residu
yang mempertahankan paru-paru dari keadaan kollaps, besarnya volume residu sekitar
1200 ml. Berikut cara pemeriksaan vital paru dengan alat spirometri :
a. Siapkan alat spirometri
b. Nyalakan alat terlebih dahulu dengan memencet tombol ON. Masukkan data seperti
umur, seks, TB, BB
c. Kemudian masukkan mouthpiece yang ada dalam alat spirometri kedalam mulutnya
dan tutuplah hidung dengan penjepit hidung.
d. Untuk mengatur pernapasan, bernapaslah terlebih dahulu dengan tenang sebelum
melakukan pemeriksaan.
e. Tekan tombol start jika sudah siap untuk memulai pengukuran.
f. Mulai dengan pernapasan tenang sampai timbul perintah dari alat untuk ekspirasi
maksimal (tidak terputus). Bila dilakukan dengan benar maka akan keluar data dan
kurva pada layar monitor spirometri.
g. Kemudian ulangi pengukuran dengan melanjutkan inspirasi dalam dan ekspirasi
maksimal.
h. Setelah selesai lepaskan mouthpiece, periksa data dan kurva kemudian dilanjutkan
dengan mencetak hasil rekaman (tekan tombol print pada alat spirometri).

6. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigen


Kebutuhan tubuh terhadap oksigen tidak tetap, sewaktu-waktu tubuh memerlukan
oksigen yang banyak, oleh karena suatu sebab. Kebutuhan oksigen dalam tubuh
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya lingkungan, latihan, emosi, gaya hidup dan
status kesehatan.
a. Lingkungan
Pada lingkungan yang panas tubuh berespon dengan terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah perifer, sehingga darah banyak mengalir ke kulit. Hal tersebut
mengakibatkan panas banyak dikeluarkan melalui kulit. Respon demikian menyebabkan
curah jantung meningkat dan kebutuhan oksigen pun meningkat. Sebaliknya pada
lingkungan yang dingin, pembuluh darah mengalami konstriksi dan penurunan tekanan
darah sehingga menurunkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen.
Pengaruh lingkungan terhadap oksigen juga ditentukan oleh ketinggian tempat.
Pada tempat tinggi tekanan barometer akan turun, sehingga tekana oksigen juga turun.
Implikasinya, apabila seseorang berada pada tempat yang tinggi, misalnya pada
13

ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut, maka tekanan oksigen alveoli
berkurang. Ini menindikasikan kandungan oksigen dalam paru-paru sedikit. Dengan
demikian, pada tempat yang tinggi kandungan oksigennya berkurang. Semakin tinggi
suatu tempat maka makin sedikit kandungan oksigennya, sehingga seseorang yang
berada pada tempat yang tinggi akan mengalami kekurangan oksigen. Selain itu, kadar
oksigen di udara juga dipengaruhi oleh polusi udara. Udara yang dihirup pada
lingkungan yang mengalami polusi udara, konsentrasi oksigennya rendah. Hal tersebut
menyebabkan kebutuhan oksigen dalam tubuh tidak terpenuhi secara optimal. Respon
tubuh terhadap lingkungan polusi udara diantaranya mata perih, sakit kepala, pusing,
batuk dan merasa tercekik.

b. Latihan
Latihan fisik atau peningkatan aktivitas dapat meningkatkan denyut jantung dan
respirasi rate sehingga kebutuhan terhadap oksigen semakin tinggi.
c. Emosi
Takut, cemas, dan marah akan mempercepat denyut jantung sehingga
kebutuhan oksigen meningkat.
d. Gaya Hidup
Kebiasaan merokok akan memengaruhi status oksigenasi seseorang sebab
merokok dapat memperburuk penyakit arteri koroner dan pembuluh darah arteri.
Nikotin yang terkandung dalam rokok dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh
darah perifer dan pembuluh darah darah koroner. Akibatnya, suplai darah ke jaringan
menurun.
e. Status Kesehatan
Pada orang sehat, sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi berfungsi dengan
baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara adekuat. Sebaliknya,
orang yang mempunyai penyakit jantung ataupun penyakit pernapasan dapat mengalami
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen tubuh.

7. Gangguan Oksigenasi
Permasalahan dalam hal pemenuhan kebutuhan oksigen tidak terlepas dari adanya
gangguan yang terjadi pada sistem respirasi baik pada anatomi maupun fisiologis dari
organ-organ respirasi. Permasalahan dalam pemenuhan tersebut dapat disebabkan adanya
gangguan pada sistem tubuh lain, misalnya sistem kardiovaskuler.
14

Gangguan pada sistem respirasi dapat disebabkan diantaranya oleh peradangan,


obstruksi, trauma, kanker, degeneratif dan lain-lain. Gangguan tersebut akan
menyebabkan kebutuhan oksigen dalam tubuh tidak terpenuhi secara adekuat. Secara
garis besar, gangguan-gangguan respirasi dikelompokkan menjadi tiga yaitu gangguan
irama/frekuensi pernapasan, insufisiensi pernapasan dan hipoksia.
a. Gangguan irama/frekuensi pernapasan
1) Pernapasan Cheyne-stokes
Siklus pernapasan yang amplitudonya mula-mula dangkal, makin naik
kemudian menurun dan berhenti. Lalu pernapasan dimulai lagi dengan siklus baru.
Jenis pernapasan ini biasanya terjadi pada klien gagal jantung kongesti, peningkatan
tekanan intrakranial, overdosis obat. Namun secara fisiologis, jenis pernapasan ini
terutama terdapat pada orang di ketinggian 12.000-15.000 kaki di atas permukaan
laut dan pada bayi saat tidur.
2) Pernapasan Biot
Pernapasan yang mirip dengan pernapasan Cheyne-stokes, tetapi amplitudonya
rata dan disertai apnea. Keadaan pernapasan ini kadang ditemukan pada penyakit
radang selaput otak.
3) Pernapasan Kussmaul
Pernapasan yang jumlah dan kedalamannya meningkat sering melebihi 20
kali/menit. Jenis pernapasan ini dapat ditemukan pada klien dengan asiidosis
metabolik dan gagal ginjal.

b. Gangguan frekuensi pernapasan


1) Takipnea/hiperpnea, yaitu frekuensi pernapasan yang jumlahnya meningkat di
atas frekuensi pernapasa normal.
2) Bradipnea, yaitu kebalikan dari takipnea dimana ferkuensi pernapasan yang
jumlahnya menurun dibawah frekuensi pernapasan normal.

c. Insufisiensi pernapasan
Penyebab insufisiensi pernapasan dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama
yaitu:
1). Kondisi yang menyebabkan hipoventilasi alveolus, seperti:
a) Kelumpuhan otot pernapasan, misalnya pada poliomielitis, transeksi servikal.
b) Penyakit yang meningkatkan kerja ventilasi, seperti asma, emfisema, TBC
dan lain-lain.
15

2). Kelainan yang menurunkan kapasitas difusi paru:


a) Kondisi yang menyebabkan luas permukaan difusi berkurang, misalnya
kerusakan jaringan paru, TBC, kanker dan lain-lain.
b) Kondisi yang menyebabkan penebalan membran pernapasan, misalnya pada
edema paru, pneumonia, dan lain-lain.
c) Kondisi yang menyebabkan rasio ventilasi dan perfusi yang tidak normal
dalam beberapa bagian paru, misalnya pada trombosis paru.
3). Kondisi paru yang menyebabkan terganggunya pengangkutan oksigen dari paru-paru
ke jaringan yaitu:
a) Anemia dimana berkurangnya jumlah total hemoglobin yang tersedia untuk
transpor oksigen.
b) Keracunan karbondioksida dimana sebagian besar hemoglobin menjadi tidak
dapat mengankut oksigen.
c) Penurunan aliran darah ke jaringan yang disebabkan oleh karena curah
jantung yang rendah.

d. Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan oksigen di jaringan. Istilah ini lebih tepat daripada anoksia.
Sebab, jarang terjadi tidak ada oksigen sama sekali dalam jaringan. Hipoksia dapat dibagi
ke dalam empat kelompok yaitu hipoksemia, hipoksia hipokinetik, overventilasi hipoksia
dan hipoksia histotoksik.
1). Hipoksemia
Hipoksemia adalah kekurangan oksigen di darah arteri. Terbagi atas dua jenis
yaitu hipoksemia hipotonik (anoksia anoksik) dan hipoksemia isotonik (anoksia
anemik). Hipoksemia hipotonik terjadi dimana tekanan oksigen arteri rendah karena
karbondioksida dalam darah tinggi dan hipoventilasi. Hipoksemia isotonik terjadi
dimana oksigen normal, tetapi jumlah oksigen yang dapat diikat hemoglobin sedikit.
Hal ini terdapat pada kondisi anemia, keracunan karbondioksida.
2). Hipoksia Hipokinetik (stagnat anoksia/anoksia bendunagn)
Hipoksia hipokinetik yaitu hipoksia yang terjadi akibat adanya bendunagn atau
sumbatan. Hipoksia hipokinetik dibagi kedalam dua jenis yaitu hipoksia hipokinetik
ischemic dan hipoksia hipokinetik kongestif. Hipoksia hipokinetik ischemic terjadi
dimana kekurangan oksigen pada jaringan disebabkan karena kuarngnya suplai darah ke
jaringan tersebut akibat penyempitan arteri. Hipoksia hipokinetik kongestif terjadi
akibat penumpukan darah secara berlebihanatau abnormal baik lokal maupun umum
16

yang mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan terganggu, sehingga jarinagn


kekurangan oksigen.
3). Overventilasi hipoksia
Overventilasi hipoksia yaitu hipoksia yang terjadi karena aktivitas yang
berlebihan sehingga kemampuan penyediaan oksigen lebih rendah dari penggunaannya.
4). Hipoksia histotoksik
Hipoksia histotoksik yaitu keadaan dimana darah di kapiler jaringan
mencukupi, tetapi jaringan tidak dapat menggunakan oksigen karena pengaruh racun
sianida. Hal tersebut mengakibatkan oksigen kembali dalam darah vena dalam jumlah
yang lebih banyak daripada normal (oksigen darah vena meningkat).

7. Masalah yang berkaitan dengan kebutuhan oksigen


a. Tidak efektifnya jalan napas

Masalah keperawatan ini menggambarkan kondisi jalan napas yang tidak


bersih, misalnya karena adanya sumbatan, penumpukan sekret, penyempitan jalan napas
oleh karena spasme bronkhus dan lain-lain.

b. Tidak efektifnya pola napas

Tidak efektifnya pola napas ini merupakan suatu kondisi dimana pola napas,
yaitu respirasi dan ekspirasi menunjukan tidak normal. Penyebabnya bisa karena
kelemahan neoromuskular, adanya sumbatan di trakheo-bronkhial, kecemasan dan lain-
lain.

c. Gangguan pertukaran gas

Gangguan pertukaran gas merupakan suatu keadaan dimana terjadi


ketidakseimbangan antara oksigen yang dihirup dengan karbondioksida yang dikeluarkan
pada pertukaran gas antara alveoli dan kapiler. Penyebabnya bisa karena perubahan
membran alveoli, kondisi anemia, proses penyakit dan lain-lain.

d. Penurunan perfusi jaringan

Adalah suatu keadaan dimana sel kekurangan suplai nutrisi dan oksigen.
Penyebabnya dapat terjadi karena kondisi hipocolemia, hipervolemia, retensi
karbondioksida, penurunan cardiac output dan lain-lain
17

e. Intoleransi aktivitas

Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan


untuk melakukan aktivitasnya. Penyebabnya antara lain karena ketidakseimbanganantara
suolai dan kebututhan oksigen, produksi energi yang dihasilkan menurun dan lain-lain.

f. Perubahan pola tidur

Gangguan kebutuhan oksigen dapat mengakibatkan pola tidur terganggu.


Kesulitan bernapas (sesak napas) menyebakan seseorang tidak bisa tidur pada jam biasa
tidur. Perubahan pola tidur juga dapat terjadi karena kecemasan dengan penyakit yang
dideritanya.

g. Risiko terjadinya iskemik otak

Gangguan oksigenasi mengakibatkan suplai darah ke otak berkurang. Hal


tersebut disebabkan oleh cardiac output yang menurun, aliran darah ke otak berkurang,
gangguan perfusi otak, dan lain-lain. Akibatnya, otak kekurangan oksigen sehingga
berisiko terjasi kerusakan jaringan otak.
18

C. PEMASANGAN INFUS
1. Pengertian Terapi Cairan/Infus
Terapi Intravena adalah menempatkan cairan steril melalui jarum langsung ke vena
pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrient
(biasanya glukosa), vitamin atau obat. (Wahyuningsih, 2005) Infus cairan intravena
(intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui
sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan
cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.(Yuda, 2010).

2. Tujuan Pemberian Terapi Cairan/Infus


Tujuan Pemberian Terapi Intravena (Infus)
a. Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,
vitamin, protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat
melalui oral
b. Memperbaiki keseimbangan asam-basa
c. Memperbaiki volume komponen-komponen darah
d. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh
e. Memonitor tekanan vena sentral (CVP)
f. Memberikan nutrisi pada saat system pencernaan diistirahatkan
(Setyorini, 2006 : 5)

3. Macam-Macam Cairan Infus


Saat ini jenis cairan untuk terapi parenteral sudah tersedia banyak sekali dipasaran.
Kondisi orang sakit membutuhkan cairan yang berbeda sesuai dengan penyakitnya. Cairan
sebagai terapi seharusnyalah tepat sehingga dicapai efek yang optimal. Pemberian cairan
yang salah bisa memperberat penyakit pasien. Rancangan cairan disesuaikan dengan kondisi
patologis (Darmawan, 2007). Sementara itu Leksana (2010) membagi jenis cairan yang
sering digunakan dalam pemberian terapi intravena berdasarkan kelompoknya adalah
sebagai berikut:
a. Cairan Kristaloid
Cairan dengan berat molekul rendah ( < 8000 Dalton ) dengan atau tanpa
glukosa, mempunyai tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh
ruang ekstraseluler, dan mengandung elektrolit: Ringer lactate, Ringer’s solution, NaCl
0,9%, Tidak mengandung elektrolit: Dekstrosa 5%. Cairan ini rata-rata memiliki tingkat
osmolaritas yang lebih rendah dengan osmolaritas plasma.
19

Contoh cairan tersebut adalah


1). Normal Saline
2). Ringer Laktat (RL)
3). Dekstrosa
4). Ringer Asetat (RA)

b. Cairan Koloid
Cairan dengan berat molekul tinggi ( > 8000 Dalton ), merupakan larutan yang
terdiri dari molekul-molekul besar yang sulit menembus membran kapiler, digunakan
untuk mengganti cairan intravaskuler. Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat,
durasinya lebih panjang, efek samping lebih banyak, dan lebih mahal.
Mekanisme secara umum memiliki sifat seperti protein plasma sehingga cenderung
tidak keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat
hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena itu
penggunaannya membutuhkan volume yang sama dengan jumlah volume plasma yang
hilang. Digunakan untuk menjaga dan meningkatkan tekanan osmose plasma.Contohnya
adalah
1). Albumin
2). HES (Hydroxyetyl Starches)
3). Dextran
4). Gelatin

c. Cairan Khusus
Cairan ini dipergunakan untuk indikasi khusus atau koreksi. Adapun macam-
macamnya adalah sebagai berikut :
1). MANNITOL
2). ASERING
3). KA-EN 1B
4). KA-EN 3A & KA-EN 3B
5). KA-EN MG3
6). KA-EN 4A
7). KA-EN 4B
8). Otsu-NS
9). MARTOS-10
10). AMINOVEL-600
20

4. Komposisi Cairan Infus, Indikasi, Dan Kapan Penggunaan


a. Cairan Kristaloid
1). Normal Saline
Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154.
Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml.
Indikasi :
a). Resusitasi
Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti oleh
keluarnya molekul protein besar ke kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit
yang bergerak ke intertisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler.
b). Diare
Kondisi diare menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah banyak, cairan
NaCl digunakan untuk mengganti cairan yang hilang tersebut.
c). Luka Bakar
Manifestasi luka bakar adalah syok hipovolemik, dimana terjadi kehilangan
protein plasma atau cairan ekstraseluler dalam jumlah besar dari permukaan tubuh yang
terbakar. Untuk mempertahankan cairan dan elektrolit dapat digunakan cairan NaCl,
ringer laktat, atau dekstrosa.
d). Gagal Ginjal Akut
Penurunan fungsi ginjal akut mengakibatkan kegagalan ginjal menjaga
homeostasis tubuh. Keadaan ini juga meningkatkan metabolit nitrogen yaitu ureum dan
kreatinin serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemberian normal saline
dan glukosa menjaga cairan ekstra seluler dan elektrolit.
Kontraindikasi : hipertonik uterus, hiponatremia, retensi cairan. Digunakan dengan
pengawasan ketat pada CHF, insufisiensi renal, hipertensi, edema perifer dan edema
paru.

2). Ringer Laktat (RL)


Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110, Basa = 28-
30 mEq/l.
Kemasan : 500, 1000 ml.
Cara Kerja Obat : Keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi
elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan
ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan
21

tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan
kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-
elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok
hipovolemik termasuk syok perdarahan.
Indikasi : Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok
hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena menyebabkan hiperkloremia
dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi
akibat metabolisme anaerob.
Kontraindikasi : Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.
Adverse Reaction : Edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya
paru-paru.
Peringatan dan Perhatian :”Not for use in the treatment of lactic acidosis”. Hati-hati
pemberian pada penderita edema perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function
& pre-eklamsia

b. Cairan Koloid
1). Albumin
Komposisi : Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa yang
dimurnikan dari plasma manusia (cotoh: albumin 5%).
Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena : volume yang
dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, resiko akumulasi di dalam
jaringan pada penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan
resiko terjadinya anafilaksis lebih kecil.
Indikasi :
a). Pengganti volume plasma atau protein pada keadaan syok hipovolemia,
hipoalbuminemia, atau hipoproteinemia, operasi, trauma, cardiopulmonary bypass,
hiperbilirubinemia, gagal ginjal akut, pancretitis, mediasinitis, selulitis luas dan luka
bakar.
b). Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome). Pasien dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan albumin dan
furosemid yang dapat memberikan efek diuresis yang signifikan serta penurunan berat
badan secara bersamaan.
c). Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi,
kebakaran, operasi besar, infeksi (sepsis syok), berbagai macam kondisi inflamasi, dan
ekskresi renal berlebih.
22

d). Pada spontaneus bacterial peritonitis (SBP) yang merupakan komplikasi dari
sirosis. Sirosis memacu terjadinya asites/penumpukan cairan yang merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Terapi antibiotik adalah pilihan utama, sedangkan
penggunaan albumin pada terapi tersebut dapat mengurangi resiko renal impairment dan
kematian. Adanya bakteri dalam darah dapat menyebabkan terjadinya multi organ
dysfunction syndrome (MODS), yaitu sindroma kerusakan organ-organ tubuh yang
timbul akibat infeksi langsung dari bakteri.
Kontraindikasi : gagal jantung, anemia berat.
Produk : Plasbumin 20, Plasbumin 25.

2). HES (Hydroxyetyl Starches)


Komposisi : Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan
amilopektin.
Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran kapiler.
Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan
setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis moderat
(>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF).
Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan. Muncul spekulasi tentang
penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu penelitian menyatakan bahwa HES
dapat digunakan pada pasien sepsis karena :
a) Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping itu HES
tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi kenaikan
permeabilitas.
b) Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin
menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid.
c) Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti asidosis
refraktori.
d) HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat menguntungkan pada
kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi dengan menghambat adesi molekuler.
e) Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan
pada sepsis karena :
f) Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid (HES),
yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli.
23

g) HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan dengan gelatin


pada pasien sepsis dengan hipovolemia.
h) HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF,
pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi
iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal).
i) Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin
pada pasien dengan sepsis.
j) Efek samping : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan pruritus.
Contoh : HAES steril, Expafusin.

c. Cairan Khusus
1). MANNITOL
D-Manitol. C6H14O6
Indikasi :
Menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi karena edema serebral,
meningkatkan diuresis pada pencegahan dan/atau pengobatan oliguria yang
disebabkan gagal ginjal, menurunkan tekanan intraokular, meningkatkan ekskresi
uriner senyawa toksik, sebagai larutan irigasi genitouriner pada operasi prostat atau
operasi transuretral.

2). ASERING
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut,
demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.
Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:
a) Na 130 mEq
b) K 4 mEq
c) Cl 109 mEq
d) Ca 3 mEq
e) Asetat (garam) 28 mEq
Keunggulan:
a) Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang
mengalami gangguan hati
24

b) Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih baik
dibanding RL pada neonatus
c) Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada
anestesi dengan isofluran
d) Mempunyai efek vasodilator
e) Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000
ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko
memperburuk edema serebral

3). KA-EN 1B
Indikasi:
a) Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal pada
kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)
b) Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV. Kecepatan
sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak
c) Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100
ml/jam
Komposisi :
Tiap 1000 ml isi mengandung
a) sodium klorida 2,25 g
b) anhidrosa dekstros 37,5 g.
c) Elektrolit (meq/L) : Na+ 38,5 Cl- 38,5 Glukosa 37,5 g/L.
25

D. PEMENUHAN NUTRISI
1. Pengertian
Nutrisi adalah zat-zat gizi dan zat lain yang berhubungan dengan kesehatan dan
penyakit, termasuk keseluruhan proses dalam tubuh manusia untuk menerima makanan atau
bahan-bahan dari lingkungan hidupnya dan menggunakan bahan-bahan tersebut untuk
aktivitas penting dalam tubuhnya serta mengeluarkan sisanya. Nutrisi dapat dikatakan
sebagai ilmu tentang makanan, zat-zat gizi dan zat lain yang terkandung, aksi, reaksi dan
keseimbangan yang berhubungan dengan kesehatan dan penyakit.
Karakteristik status nutrisi ditentukan dengan adanya Body Mass Index (BMI) dan Ideal
Body Weight (IBW).
a. Body Mass Index (BMI)
Merupakan ukuran dari gambaran berat badan seseorang dengan tinggi badan. BMI
dihubungkan dengan total lemak dalam tubuh dan sebagai panduan untuk mengkaji
kelebihan berat badan (over weigth) dan obesitas.
Rumus BMI diperhitungkan :
BB(kg) atau BB(pon) x 704,5
TB(m) TB(inci)2
b. Ideal Body Weight (IBW)
Merupakan perhitungan berat badan optimal dalam fungsi tubuh yang sehat. Berat
badan ideal adlh jmlah tinggi dalam sentimeter dikurangi 100 dan dikurangi 10% dari
jumlah itu.

2. Elemen Nutrien / Zat Gizi Terdiri Atas :


a. Karbohidrat
1) Karbohidrat merupakan zat gizi yang terdapat dalam makanan, pada
umumnya dalam bentuk amilum
2) Pembentukan amilum terjadi dalam mulut melalui enzim ptialin yang ada
dalam air ludah
3) Penyerapan karbohidrat yang dimakan/dikonsumsi berupa polisakarida,
disakarida dan monosakarida
4) Kebutuhan karbohidrat 60-75% dari kebutuhan energi total
26

b. Protein
1) Enzim protease (pepsin) yang terdapat dalam lambung mengubah
protein menjadi albuminosa dan pepton
2) Protein diserap dalam bentuk asam amino dan bersama-sama dengan
darah di bawa ke hati kemudian dibersihkan dari toksin.
3) Kebutuhan protein 10-15% atau 0,8-1,0 g/kg BB dari kebutuhan energi
total.

c. Lemak
1) Pencernaan lemak dimulai dalam lambung.
2) Lambung mengeluarkan enzim lipase untuk mengupah sebagian kecil
lemak menjadi asam lemak dan gliserin
3) Kebutuhan lemak 10-25% dari kebutuhan energi total

d. Vitamin
1) Vitamin adalah zat organik yang diperlukan tubuh dalam jumlah sedikit,
penting untuk melakukan fungsi metabolik.
2) Vitamin dibagi dalam dua kelas besar yaitu vitamin larut dalam air
(vitamin C, B1, B2, B6, B12) dan vitamin yang larut dalam lemak
(vitamin A, D, E dan K)
3) Pencernaan vitamin melibatkan penguraiannya

e. Mineral
1) Mineral tidak membutuhkan pencernaan, mineral diserap dengan mudah
melalui dinding usus halus secara difusi pasif maupun transportasi aktif
2) Jenis mineral : kalsium, fosfor, yodium, besi, magnesium zinc
3) Kira-kira 6% tubuh manusia dewasa terbuat dari mineral

f. Air
1) Air merupakan zat makanan paling mendasar yang dibutuhkan oleh
tubuh manusia.
2) Tubuh manusia terdiri dari atas 50%-70% air.
27

3) Pada orang dewasa asupan air berkisar antara 1200-1500cc per hari,
namun dianjurkan sebanyak 1900 cc sebagai batas optimum.

3. Fungsi Zat Gizi


a. Sebagai penghasil energi bagi fungsi organ, gerakan dan kerja fisik
b. Sebagai bahan dasar untuk pembentukan dan perbaikan jaringan
c. Sebagai pelindung dan pengatur

4. Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Nutrisi


a. Pengetahuan
Pengetahuan yang kurang tentang manfaat makanan bergizi dapat
mempengaruhi pola konsumsi makan
b. Prasangka
Prasangka buruk terhdp beberapa jenis bahan makanan bergizi tinggi
dapat mempengaruhi gizi seseorang
c. Kebiasaan
Adanya kebiasaan yg merugikan atau pantangan thd makanan tertentu
dapat mempengaruhi status gizi
d. Kesukaan
Kesukaan yg berlebihan thd suatu jenis makanan dapat mengakibatkan
kurangnya variasi makanan, shg tubuh tidak memperoleh zat-zat yg dibutuhkan
secara cukup
e. Ekonomi
Status ekonomi dapat mempengaruhi perubahan status gizi karena
penyediaan makanan bergizi membutuhkan pendanaan yg tdk sedikit
BAB III
PENGKAJIAN

Asuhan Keperawatan Pada Tn.B


Dengan kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Di ruang Yaso RS Bhayangkara tk III

Tanggal pengkajian: 31 Juli 2019,


14.00 WIT
Tanggal MRS: 29 Juli 2019
No. RM: 11 38 21

1. Identitas
a. Identitas Klien b. Identitas Istri Klien
Nama :Tn.B Nama : Ny.K
Usia :65 tahun Usia :51 tahun
Agama :Islam Suku/Bangsa: Jawa/ Indonesia
Pendidikan Terakhir :SMP Alamat :Koya Timur
Pekerjaan :Petani Pendidikan terakhir:SMP
Lama bekerja: ±20 Pekerjaan :IRT
Alamat :Koya Timur
Status pernikahan:Sudah menikah

2. Keluhan utama
Klien mengatakan sesak dan batuk berdahak

3. Riwayat penyakit sekarang


Klien mengatakan sesak dan batuk dahak warna kuning (+), mual (-), pusing(+), muntah
(-), BAB biasa (+), BAK lancar (+) sejak hari sabtu 27 Juli 2019.
\

28
29

4. Riwayat penyakit dahulu


Klien mengatakan pada tahun 2013 sering batuk. Pada tahun 2016 klien merasa sesak dan
di diagnosa TBC oleh puskesmas Koya Timur

5. Riwayat penyakit keluarga


Klien mengatakan bahwa Ibu dan Ayah klien menderita TBC.

6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum baik
Tanggal pengkajian: 31 Juli 2019. 10.02 wit
TTV: 1). TD: 110/80 mm Hg
2). N: 71x/menit
3). S: 36,1°C
4). RR: 29x/menit
b. Kepala
1) Inspeksi : a) Penyebaran rambut merata dan beruban
b) Lesi (-)
c) Benjolan (-)
d) Pendarahan (-)
2) Palpasi: a) Nyeri tekan(-)
b) Benjolan abnormal (-)
3) Pusing / Sakit kepala (-)

c. Mata
1) Palpasai: a) Konjungtiva / Anemis
b) Pandangan jelas
c) Pembekakan (-)

d. Hidung
1) Inspeksi: a) Sekret (-)
b) Epistaksis (-)
c) Gangguan penciuman (-)

2) Palpasi: a) Nyeri tekan (-)


b) Massa (-)
30

e. Mulut
1) Inspeksi: a) Kebersihan mulut kurang baik Mukosa bibir lembab
b) Pendarahan (-)
c) Gangguan menelan (-)
d) Lesi (-)
e) Batuk berlendir (+)

f. Telinga
1) Inspeksi: a) Pendarahan (-)
b) Serumen (+)
2) Palpasi: a) Nyeri tekan (-)
b) Gangguan pendengaran (-)

g. Leher
Devenisi Trakea (-)
Massa abnormal (-)

h. Dada/Thorax
1) Inspeksi: Lesi (-)
2) Palpasi: a) Nyeri tekan (-)
b) Nyeri dada (-)
3) Perkusi: Hipersonor

i. Abdomen
1) Inspeksi: a) Bentuk normal
b) Lesi (-)
c) Asites (-)
d) Penegangan dinding perut (-)
2) Palpasi: a) Nyeri tekan (-)
b) Massa abnormal (-)

j. Genetalia: Tidak melakukan pengkajian


31

7. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal : 29 Juli 2019
Jam : 10:34 wit
a. Elektrolit Darah
PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
Kalium 3.2 3,5-5,0 m moL/L
Natrium 133 135-145 m moL/L
Clorida 94 96-105 m moL/L
Calsium 0.8 2,3-2,8 m moL/L

b. Therapy Injeksi
1). IUFD RL 20 tetes/menit

c. Therapy Oral
1). Azithromycin 1x5 gr
2). Vestein 3x1 kps
3). Nebu Combivent 3x1 Flakon
4). Nebu Flexotide 2x1 Flakon

d. Hasil foto thorax


BAB IV
ANALISIS

NO DATA ETIOLOGI MASALAH


1 Tanggal : 31 Juli 2019 Hancurnya jaringan Gangguan pola pernafasan
Jam : 10.02 WIT penghubung paru-paru oleh
DS : protease
1. Sesak
2. Batuk
3. Sakit di dada Emfisema
4. Rasa jantung berdebar
DO :
1. K/u : lemah Buruknya penyerapan dan
2. TTV pelepasan gas pernafasan
TD : 110/80 mmHg
N : 71x /menit
S: 36,1 °C Hiperinlfasi atau terperangkap
R : 29x /menit udara

Gangguan pola pernafasan

2 Tanggal : 02 Agustus 2019 Asap dan polusi udara Intolerensi aktivitas


Jam :08.00 WIT
DS :
1. Klien mengatakan Dinding bronkus menebal
aktivitas terbatas
2. Klien mengatakan
saat jalan ke kamar Penyempitan saluran nafas
mandi sesak
DO :
1. Klien tambah sesak Obstruktif
jika melakukan
aktivitas
2. Klien tidak mampu ke Ventilasi terganggu
kamar mandi
3. Klien tampak sesak
nafas dan batuk tanpa Dispnea / sesak (suplei
aktivitas maupun O2/reflek batuk)
sedang beraktivitas

Intoleransi aktivitas

32
33

8. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan pola pernafasan
2. Intoleransi Aktivitas

9. Rencana Asuhan Keperawatan


Tanggal : 02 Agustus 2019
Jam : 10.00 WIT
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1 Gangguan pola Setelah dilakukan 1. Observasi TTV 1. Untuk mengetahui
perrnafasan tindakan 2. Berikan posisi keadaan umum
keperawatan 1x24 nyaman, yaitu 2. Posisi semi fowler
jam pola pernafasan posisi semi fowler. akan
kembali normal. 3. Pemasangan mempermudah
oksigen pernapasan.
4. Kolaborasi dengan 3. Untuk memenuhi
tim medik untuk kekurangan
memberikan oksigen.
therapi 4. Dengan member
tahu dapat
memperoleh
penyembuhanatau
menangani
dengan cepat.
2 Intoleransi Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan 1. Untuk mengetahui
aktivitas tindakan aktivitas pasien batas kemampuan
keperawatan selama 2. Bantu klien pasien saat ini
3x24 jam diharapkan memilih aktivitas untuk kelanjutan
kondisi klien stabil yang sesuai dengan tindakan
saat aktivitas. kondisi pasien berikutnya
3. Bantu klien 2. Aktivitas yang
melakukan terlalu berat dan
aktivitas/latihan tidak sesuai
secara teratur dengan kondisi
klien dapat
memperburuk
toleransi terhadap
latihan
3. Melatih kekuatan
dan irona jantung
selama aktivitas
34

10. Implementasi
Tanggal : 03 Agustus 2019
Jam : 12.00 WIT
No Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi
1 Gangguan pola pernafasan 1. Observasi TTV S: Klien merasakan sesak
TD : 110/80mmhg O: K/U Lemas
N : 71x/menit TTV:
S : 36 TD : 110/80mmhg
RR : 29x/menit N : 71x/menit
2. Berikan posisi semi Fowler S : 36ºC
Hasil: Pasien merasa nyaan RR : 29x/menit
dengan posisi semi fowler Lemas (+)
3. Pemasangan oksigen Akral dingin(+)
Hasil: Pasien dipasangkan CRT: >2 detik
oksigen nasal kanul A. Masalah belum teratasi
3liter/menit. P. Lanjutkan intervensi.
4. Kolaborasi dengan tim
medik untuk memberikan
a. Therapi Injeksi:
1). IUFD RL 20 tpm
c. Therapy Oral
1). Azithromycin 1x5
gr
2). Vestein 3x1 kps
3). Nebu Combivent 3x1
Flakon
4). Nebu Flexotide 2x1
Flakon
2 Intoleransi aktivitas 1. Mengkaji kemampuan S : Klien mengatakan rasa
aktivitas klien. Hasil : pusing karena susah untuk
Klien dapat berdiri dengan istirahat dan dada rasa
bantuan keluarga panas : klien mengatakan
2. Membantu klien untuk rasa pusing karena susah
melakukan aktivitas/latihan untuk istirahat dan dada
secara teratur hasil klien rasa panas.
mampu berdiri dengan O : Klien tampak gelisah
bantuan keluarga berjalan 1. Klien tampak sesak,
kekamar mandi batuk
3. Menentukan pembatasaan 2. TTV:
aktivitaas fisik pada klien TD : 110/80mmgh
hasil : kalau klien sesak, N : 71x/menit
aktivitas berjalan untuk S : 36ºC
nsementara dihentikan R : 29x/menit
3. Saturasi i SpO2 : 89-
90%
4. Klien tampak
lelah/lemas
A : Masalah belum teratasi
(intoleransi aktivitas)
P :Intervebsi dilanjutkan
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga
penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah : Bronchitis
kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. Penyakit Paru Obstruktif kronik
merupakan penyakit yang menyerang sistem respirasi dengan gangguan emfisema, asma, atau
bisa ke duanya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan seseorang itu
menderita penyakit paru obstruktif kronik seperti usia, jenis kelamin, gen atau keturunan,
gangguan sistem pernafasan lain, merokok, dan lingkungan.

B. Saran
1. Bagi Stikes Jayapura
Diharapkan mahasiswa Stikes Jayapura dapat memahami PPOK dan dapat melakukan
pencegahan dan perawatanya.

2. Bagi Rumah Sakit Bhayangkara


Diharapkan pihak Rumah Sakit dapat mengadakan penyuluhan tentang PPOK, agar
pasien dapat memahami dan mengetahui cara pencegahan PPOK .

3. Bagi Pasien
Diharapkan pasien dapat mengikuti penyuluhan PPOK, agar pasien dapat memahami
dan mengetahui cara pencegahannya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC.


Smeltzer Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed 8
Vol 1. Jakarta: EGC.
Mangunegoro, hadiarato dkk. 2002. Asma edoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Khotimah, S. 2013. Latihan Endurance Meningkatkan Kualitas Hidup lebih Baik Dari Pada Latihan
Pernafasan Pada Pasien PPOK di BP4 Yogyakarta. Sport And Fitneaa journal. Uni 2013:1. No.
20-32.
Kamangar, N., 2010. Chronic obstructive pulmonari Disease
Sherwood, Lauralee, 2001. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Jakarta : EGC
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.
GOLD, 2006, Global Strategy for he Diagnosis,Management, and Privention of Cronic Obstructive
pulmonary Disease.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Volume 1, Jakarta: EGC
NANDA. 2005-2006. Panduan Diagnosa Keperawatan, Jakarta: Prima Medika
Mubarak, Wahit Iqbal. 2007. Buku ajar kebutuhan dasar manusia: Jakarta: EGC
Willkinson Judith M. 2007. Diagnosa Keperawatan, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Kozier
Fundamental of Nursing
Tarwanto, Wartonah. 2006. Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan, Edisi 3, Jakarta:
Salemba Medika.
Carperito, Lynda Juall. 2000. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Jakarta: EGC
Alimul H, A Aziz. 2006. Pengantar KDM Aplikasi Konsep & Proses Keperawatan. Salemba Medika.
Jakarta.
Barbara kozier, 2010. Buku Ajar Fundamentak Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik.Jakarta :
EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul dan Masrifatul. 2011. Praktik Kebutuhan Dasar Manusia. Surabaya.Health
Book.

36

Anda mungkin juga menyukai