Anda di halaman 1dari 5

A.

SISTEM EKONOMI MENURUT ISLAM


a. Pengertian Ekonomi Islam
Berbagai definisi telah diberikan mengenai ekonomi Islam yang satu dan lainnya pada
prinsipnya tidak berbeda. Salah satu di antaranya yang dikemukakan oleh Dr. Muhammad
Abdullah Al-Arabi, yaitu: “Ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum
ekonomi yang kita simpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah, dan merupakan bangunan
perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap
lingkungan dan masa”.1
Dari definisi tersebut terlihat bahwa Ekonomi Islam terdiri dari 2 (dua) bagian:
a. Pertama adalah yang diistilahkan dengan “sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang
disimpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah”, yang ada hubungannya dengan urusan-urusan
ekonomi. Dasar-dasar umum ekonomi tersebut antara lain tercemin dalam prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. Bahwa segala cara usaha, pokok asalnya adalah boleh (mubah), Prinsip ini terlihat
misalnya dalam QS. 2: 29; 31: 20.
2. Bahwa hasil perkerjaan kembali kepada yang mengerjakaanya, tidak ada perbedaan
dalam hal ini (Ekonomi) antara laki-laki dan wanita. Terdapat pada QS. 4: 32.
3. Bahwa pemimpin harus dapat mengembalikan distribusi kekayaan dalam masyarakat
manakala tidak ada keseimbangaan di antara mereka yang dipimpinnya. Hal ini terdapat
pada QS. 59 : 7.
4. Dan bahwa haram menganiaya dengan menerjang hak atas orang Islam lainnya.
Tercemin dalam Hadits Riwayat At-Tarmizi, dikatakan olehnya Hadits ini hasan, yaitu
: “Semua muslim atas muslim lainnya, haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya”.
5. Serta prinsip-prinsip lainnya dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang bersifat
membatasi motif-motif ekonomi pelaku ekonomi, seperti:2
a. Larangan menghasilkan harta dengan jalan batil, seperti: penipuan (QS. 6: 152),
Melanggar janji (QS. 5: 1), Riba (QS. 30 : 39;4: 6-61; 3: 130; 2: 275, 278-279),

1
Mohammad Nauval Omar, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 33.
2
Ibid., hal. 34.
Pencurian (QS. 5 : 38), spekulasi ( QS. 5 : 99 ), dan mengusahakan barang-barang
berbahaya bagi pribadi dan masyarakat (QS. 2 : 219);
b. Larangan menimbun harta tanpa ada manfaat bagi manusia QS. 9 : 34-35, dan
melaksanakan amanat QS. 4 : 58;
c. Larangan melampaui batas QS. 25: 67, dan tidak kikir QS. 2: 29.
b. Kedua yaitu yang diistilahkan dengan “Bangunan perekonomian yang didirikan di atas
landasan dasar-dasar terserbut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”. Maksud dari istilah
tersebut adalah cara-cara penyesuaian atau pemecahan masalah ekonomi yang dapat dicapai
oleh para ahli dalam negara Islam, sebagai pelaksanaan dari prinsip-prinsip Al-Quran dan As-
Sunnah diatas.
Ciri asasi dari cara pemecahan dan penyesuaian ini dapat berubah atau berbeda dari satu ke
lain lingkungan menurut situasi tiap lingkungan, dan berubah menurut perubahan-perubahan
pada lingkungan tersebut dari waktu ke waktu.
B. Asas-asas Hukum Kegiatan Ekonomi
a. Kebebasan Berusaha
Firman Allah SWT dalam Al-Quran menyebutkan “Dialah Zat yang menjadikan bumi ini
mudah buat kamu. Oleh karena itu, berjalanlah di permukaanya dan makanlah dari rezekinya”.
(QS. 26: 15). Dari ayat ini tampak prinsip Islam bahwa ini telah diserahkan oleh Allah SWT
kepada manusia dan dimudahkannya. Oleh karena itu, manusia harus memanfaatkan nikmat
ini serta berusaha di seluruh seginya untuk mencari anugrah Allah itu.
b. Pengharaman Riba
Riba menurut pengertian bahasa berarti Az-Ziadah (tambahan), yang dimaksud dalam fiqih
ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak. Riba diharamkan oleh
seluruh agama samawi, yaitu baik oleh agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Hal ini dapat dilihat
dalam Perjanjian Lama ayat 25 pasal 22 Kitab keluaran dan dan dalam ayat 35 pasal 25 Kitab
Amanat, akan tetapi peraturan tersebut kemudian di ubah. Hal ini dapat dilihat dalam ayat 20
pasal 23 Kitab Ulangan yang berbunyi: “Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu
mengambil bunga, tetapi dari pada saudaramu tidak boleh kamu mengambil dia..”.3 Yang
kemudian dijawab dalam Al-Quran pada ayat 161 surah an-Nisa yang berbunyi : “... Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal mereka sesungguhnya telah dilarang daripadanya”.

3
Ibid., hal. 43.
Riba dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
1) Riba Nasi’ah;
Riba Nasi’ah ialah penambahan bersyarat yang diperoleh orang yang mengutangkan
(pemakan riba) dari orang yang berutang lantaran (dikarenakan) adanya penangguhan. 4
Jenis ini diharamkan dengan berlandasan kepada Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’ para
iman.
2) Riba Fadhal.
Riba Fadhal ialah jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang
pangan dengan tambahan.5 Jenis ini diharamkan berlandasan kepada As-Sunnah, karena
dikhawatirkan menjadi penyebab kepada Riba Nasi’ah. Dalam kaitan dengan riba ini
Hadits Nabi SAW menyebutkan pengharamnya untuk enam jenis barang yaitu: Emas,
Perak, Gandum, Jewawut, Kurma, dan Garam.
c. Pengharaman Jual beli Samar/Mengandung Sifat Penipuan (Bai’u Al-Gharar)
Yang dimaksud dengan Al-Gharar ialah suatu yang tidak diketahui pasti, benar atau
tidaknya. Jadi Bai’u Al-Gharar ialah: jual beli yang tidak pasti hasil-hasilnya, karena
tergantung pada hal yang akan datang atau kepada sesuatu yang belum diketahui yang kadang
terjadi, kadang-kadang tidak.
Jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah SAW sebagai usaha menutup pintu
perbuatan maksiat, karena ini merupakan lubang yang membawa pertentangan apabila barang
yang dijual itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan, yang mungkinkan salah satu
pihak baik penjual atau pembeli untuk menipu. Contoh jual beli ini seperti: menjual bibit
binatang yang masih ada dalam tulang rusuk binatang jantan, atau menjual burung yang
sedang terbang ataupun menjual yang masih didalam air (dalam Hadits Riwayat Muslim) atau
menjual buah-buahan yang masih hijau/belum masak kecuali jika buah tersebut dipetik
seketika itu juga (Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Larangan menjual buah-buahan
atau biji-bijian yang masih dalam tangkai adalah untuk menghindari sengketa apabila terjadi
musibah yang tidak terduga sebelumnya terhadap barang yang dijual, sehinga masing-masing
pihak tidak dirugikan.
d. Pengharaman Penyalahgunaan Pengaruh Untuk Mencuri Harta

4
Ibid., hal. 45.
5
Ibid., hal. 45.
Islam mengharamkan usaha seseorang untuk mendapatkan harta dengan jalan
menyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh. Dalam hal ini, Islam menghapuskan usaha yang
tersembunyi di balik apa yang dapat diperoleh dengan cara ini, dan mengarahkan (harta yang
diperboleh tersebut) kepada perbendaharaan kaum muslimin. Dalam kitab shahihnya, Imam
Bukhari meriwayatkan bahwa pada suatu hari Ibnu Al-Lataibah menghadap Rasulullah SAW,
sehubungan dengan hasil kerjanya yang oleh Rasulullah SAW ia telah diperkerjakan untuk
memungut zakat dari Bani Salam. Maka dibagilah olehnya hasil zakat ini menjadi dua dan ia
berkata kepada Nabi “Yang ini untuk Anda sekalian, adapun ini adalah hadiah-hadiah yang
diberikan orang-orang padaku”.
e. Pengharaman Pemborosan dan Kemewahan
Sebagaimana Islam telah mengatur mengenai cara-cara berusaha untuk mendapatkan harta,
Islam juga mengatur cara-cara pengeluaran dan pengunaan harta. Dalam Al-Quran dapat kita
jumpai firman Allah SWT antara lain berbunyi: “ Sesungguhnya orang-orang pemboros
adalah saudara-saudara setan, dan setan adalah kafir terhadap Tuhannya” (QS. 17:27), dan
“Dan jika kami hendak membinasakan suatu negri, maka Kami perintahkan kepada orang-
orang yang hidup mewah di negri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan
(ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negri itu sehancur-hancurnya.
Islam mengharamkan sikap pemboros dan bermewah-mewah oleh karena kedua sikap ini
membawa orang kepada kemalasan dan medorong orang berbuat keji (maksiat), serta
melemahkan perjuangan dan pengorbanan yang diperlukan untuk kepentingan orang banyak.
Dari sikap kemewahan inilah penyebab semakin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin
yang membuka pintu ke arah perpecahan, dengki dan dendam yang mendatangkan bahaya
besar atas umat.
f. Pengharaman Penimbunan Harta
Yang dimaksud penimbunan harta ialah membekukannya, menahannya dan menjauhkan
dari peredaran, yakni dari andilnya ikut menjadi produktif. Perbuatan ini diharamkan dalam
Islam dengan ancaman siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat. Firman Allah SWT dalam
Al-Quran menyebutkan: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa (mereka akan
mendapat) siksa yang pedih, Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam,
lalu dibakar dengan dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada
mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.(QS. 9: 34-35)
Dari ayat di atas tampak peringatan Allah SWT kepada kita agar menjauhi perbuatan
tersebut. Penimbunan harta berbahaya terhadap perekonomian, karena hal ini berarti
membekukan harta dari usaha-usaha produktif yang apabila harta itu dimanfaatkan untuk ikut
andil dalam rencana-rencana produksi maka akan tercipta kesempatan kerja baru yang
membawa hasil pendapatan dan mengurangi penganguran, serta juga dapat menutupi
kebutuhan permintaan masyarakat akan produksi barang hasil usaha tersebut.
Demikian pula diharamkan terhadap penimbunan barang-barang dagangan yang
merupakan kebutuhan pokok masyarakat oleh si pedagang agar barang tersebut berkurang di
masyarakat sehingga harganya meningkat dan banyak menderita kesulitan. Beberapa Hadits
Nabi SAW bersabda: “Siapa yang melakukan penimbunan, maka ia bersalah (berdosa) “.6
Dan juga pada hadits yang diiriwayat kan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dari Maqal bin
Yasar, bahwa Nabi SAW, bersabda: “Siapa yang ikut campur dalam urusan harga kaum
muslimin, dengan tujuan menghalalkan atas mereka, adalah hak Allah SWT mendudukkannya
digolangan api pada hari kiamat”.7

6
Ahmad Muhammad Al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan
Tujuan-Tujuannya, (Surabaya: PT BINA ILMU, 1980), hal. 11.
7
Ibid., hal. 49.

Anda mungkin juga menyukai