FRAKTUR
OLEH:
KELOMPOK 4
2017
i
KATA PENGANTAR
“Om Swastyastu”
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa atas berkat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Fraktur” pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II di Politeknik
Kesehatan Denpasar ini tepat pada waktunya.
Makalah ini telah kami susun berkat bantuan dan partisipasidari berbagai
pihak sehingga dapat terselesaikan.Untuk itu dalam kesempatan ini kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
selama penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kemampuan penyusun, sehingga masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak yang
membaca, sehingga kami dapat menyempurnakan makalah iniuntuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan agar bisa lebih baik lagi.
“Om Santih, Santih, Santih, Om”
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dimana terjadi dijebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang
menekan otot, syaraf, dan pembuluh darah. Yang terakhir dapat terjadinya
infeksi yang diakibatkan dari sistem pertahanan yang rusak bila ada trauma
pada jaringan terutama pada kasus fraktur terbuka. (Zairin, 2012 : 30-31)
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis ingin menilik lebih lanjut
mengenai Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana definisi dari fraktur?
1.2.2 Bagaimana etiologi dari fraktur?
1.2.3 Bagaimana klasifikasi dari fraktur?
1.2.4 Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur?
1.2.5 Bagaimana contoh asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur?
1.3 Tujuan Tulisan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari fraktur.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari fraktur.
1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi dari fraktur.
1.3.4 Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan
fraktur.
1.3.5 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur.
1.4 Manfaat Tulisan
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis makalah ini dapat menambah wawasan atau
pengetahuan pembaca mengenai asuhan keperawatan pada pasien
dengan fraktur.
1.4.2 Manfaat Praktis
Makalah ini dapat menjadi pedoman bagi pembaca yang sedang
melaksanakan praktik keperawatan terlebih tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan fraktur.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Fraktur
Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut
Sjamsuhidaya (2005) fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa,sementara Doenges (2000) memberikan batasan, fraktur adalah
pemisahan atau patahnya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Sedangkan fraktur
menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Fraktur
Resiko syok
(hipovolemik)
2.5 Klasifikasi Fraktur
Penampakan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau
memar kulit dan jaringan subkutan.
b) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
c) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang.
b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah.
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
6. Berdasarkan posisi fraktur
a. Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian:
a) 1/3 proksimal
b) 1/3 medial
c) 1/3 distal
7. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
8. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
2.6 Manifestasi Klinis Fraktur
Manifestasi klinis dari fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Revees (2001) adalah
rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bisai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan ekstremitas
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya
otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai
2,5 – 5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a. Inspeksi:
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
b) Fistulae.
c) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
d) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
e) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
f) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b. Palpasi
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal 3 – 5 “
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
c. Pergerakan terutama lingkup gerak.
Setelah melakukan palpasi, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan radiografi
a. Foto Rontgen
a) Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara
langsung.
b) Mengetahui tempat dan type fraktur
c) Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan
selama proses penyembuhan secara periodic
b. Scan tulang, temogram, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan apabila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi )
atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 762 ).
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
4. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
2.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Konservatif
a. Seluruh Fraktur
a) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan
yang berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh
penderita sendiri menentukan apakah ada kemungkinan fraktur, dan
apakah perlu dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari adanya
fraktur. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali
dan bengkak, tetapi bagian lainnya, seperti lutut dan pergelangan
kaki, hampir dapat dikatakan normal.
b) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sehingga kembali seperti semula secara optimun.
Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis (brunner, 2001). Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaring-
an lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan
untuk menjalani prosedur, harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
1) Reduksi Tertutup
Pada kebanyakan kasus, dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah
dalam kesejajaran yang benar.
2) Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot
yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi
fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh,
akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus
telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
Prinsip pemasangan traksi
- Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan
gaya tarik.
- Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang
dengan pemberat agar reduksi dapat dipertahankan.
- Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan
khusus.
- Traksi dapat bergerak bebas melalui katrol.
- Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai.
- Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman.
Keuntungan pemasangan traksi:
- Menurunkan nyeri spasme
- Mengoreksi dan mencegah deformitas
- Mengimobilisasi sendi yang sakit
Kerugian pemasangan traksi
- Perawatan RS lebih lama
- Mobilisasi terbatas
- Penggunaan alat-alat lebih banyak.
Beban traksi:
- Dewasa = 5 - 7 Kg
- Anak = 1/13 x BB
3) Reduksi Terbuka
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid
terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan
fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
c) Retensi/ Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. -
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam
dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur.
d) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan
lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah,
nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan
berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting
otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan
mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas
fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada
ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas
dan beban berat badan.
b. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a) Pembersihan luka
Dilakukan dengan menggunakan akuadesstril atau larutan garam
fisiologi secara irigasi. Pemakain antiseptic (konsentrasi tingkat
tinggi) tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan kerusakan-
kerusakan.
b) Eksisi jaringan mati (debridement)
Cabik-cabikan mulai dari kulit lemak subkutan, fasia, otot, serpihan
tulang dan benda asing lainnya dieksisi dan luka dicuci kembali
sedalam-dalamnya.
c) Hecting situasi
Dilakukan aligment terhadap fragmen tulang
d) Penutupan luka
Masa kurang dari 6-7 jam pertama merupakan the golden period
dimana kontaminasi tidak luas dan dapat dilakukan secra primer.
Masa lebih dari 7 jam atau luka yang sangat kotor, penutup luka
memerlukan jahitan situasi, beberapa hari kemudian (jangan lebih
dari 10 hari) dilakukan eksisi dan jahitan kembali (delayed primer
closure). Kulit yang hilang luas digantikan dengan skin graf.
e) Fiksasi atau imobilisasi
f) Restordasi (pengembalian fungsi)
Sedapat mungkin pembidaian dilakukan dalam posisi fungsinal sendi
yang bersangkutan. Sesudah periode imobilisasi akan terjadi
kelemahan otot dan kekakuan sendi hal ini diatasi dengan fisioterapi
atau aktivitas yang sesuai dengan fungsi tersebut .
g) Pengobatan
1) Antibiotikaa dosis tinggi secara oral atau disuntikkan
2) Anti tetanus serum dan toksoid
3) Anti-infamasi
4) Analgetik
2. Tindakan Pembedahan
a. ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
a) Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami ceidera dan
diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur.
b) Fraktur diperiksa dan diteliti
c) Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
d) Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali
e) Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan
alat ortopedik berupa; pin, sekrup, plate, dan paku.
Keuntungan:
1) Reduksi akurat
2) Stabilitas reduksi tinggi
3) Pemeriksaan struktur neurovaskuler
4) Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
5) Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah
menjadi lebih cepat
6) Rawat inap lebih singkat
7) Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal
Kerugian
1) Kemungkinan terjadi infeksi
2) Osteomielitis
b. OREF (Open Reduksi and Eksternal Fixation)
Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal,
biasanya pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama. Post
eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips. Setelah reduksi,
dilakukan insisi perkutan untuk implantasi pen ke tulang. Lubang
kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan dikuatkan pennya.
Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain:
a) Observasi letak pen dan area
b) Observasi kemerahan, basah dan rembes
c) Observasi status neurovaskuler distal fraktur
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
1) Pengumpulan Data
a) Anamnesa
1. Identitas Klien
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Riwayat Penyakit Keluarga
6. Riwayat Psikososial
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak.
b. Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vitamin C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein
dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama
pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi
dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien.
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis).
a) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti :
1. Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b) Pemeriksaan head-to-toe :
1. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala
2. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan).
3. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
4. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
5. Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
6. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
7. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
8. Paru
a. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
b. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
d. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
9. Jantung
a. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
b. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
10. Abdomen
a. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
c. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d. Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
11. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
12. Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
13. Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan
ROM.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Radiologi
b) Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas :
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila
terjadi infeksi.
3. Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4. Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
Infection protection
a. Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik
dan local
b. Monitor hitung
granulosit, WBC
c. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik
aspesis pada pasien
yang beresiko
f. Pertahankan teknik
isolasi k/p
g. Berikan perawatan
kulit pada area
epidema
h. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
i. Terhadap kemerahan,
panas, dan drainase
j. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
k. Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
l. Dorong masukan
cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien
untuk minum
antibiotic sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
p. Ajarkan cara
menghindari infeksi
q. Laporkan kecurigaan
infeksi
Laporkan kultur positif
6 Risiko syok NOC NIC
(hipovolemik) Syok prevention Syok prevention
berhubungan Syok management a. Monitor status
dengan Kriteria hasil sirkulasi BP, warna
kehilangan a. Nadi dalam batas kulit, suhu kulit,
volume darah yang diharapkan denyut jantung, HR,
akibat trauma b. Irama jantung dan ritme, nadi perifer,
(fraktur) dalam batas yang dan kapiler refill
diharapkan b. Monitor tanda
c. Frekunsi napas inadekuat oksigenasi
dalam batas yang jaringan
diharapkan c. Monitor suhu dan
d. Irama pernapasan pernafasan
dalam batas yang d. Monitor input dan
diharapkan output
e. Natrium serum e. Pantau nilai labor:
dbn HB, HT, AGD, dan
f. Kalium serum dbn elektrolit
g. Klorida serum dbn f. Monitor hemodinamik
h. Kalsium serum invasi yang sesuai
dbn g. Monitor tanda dan
i. Magnesium serum gejala asites
dbn h. Monitor tanda awal
j. PH darah serum syok
dbn i. Tempatkan pasien
Hidrasi pada posisi supine,
Indicator kaki elevasi untuk
a. Mata cekung tidak peningkatan preload
ditemukan dengan tepat
b. Demam tidak j. Lihat dan pelihara
ditemukan kepatenan jalan napas
c. TD dbn k. Berikan cairan IV dan
Hematokrit dbn atau oral yang tepat
l. Berikan vasodilator
yang tepat
m. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang tanda
dan gejala datangnya
syok
n. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang langkah
untuk mengatasi gejala
syok
Syok management
a. Monitor fungsi
neurologis
b. Monitor fungsi renal
(e.g BUN dan Cr
Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan,
input, output
e. Catat gas darah arteri
dan oksigen di
jaringan
f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan
pemantauan jalur
arteri untuk
meningkatkan akurasi
pembacaan tekanan
darah
h. Menggambarkan gas
darah arteri dan
memonitor jaringan
oksigenasi
i. Memantau tren dalam
parameter
hemodinamik
(misalnya CPV, MAP,
tekanan kapiler
pulmonal/arteri)
j. Memantau factor
penentu pengiriman
jaringan oksigen
(misalnya PaO2 kadar
haemoglobin SaO2,
CO) jika ada
Memantau tingkat
karbondioksida sublingual
dan/atau tonometry
A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
PASIEN
Nama : “An. K”
Umur : 16 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Hindu
PENANGGUNG
2. RIWAYAT KELUARGA
Genogram
Keterangan genogram
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Hubungan perkawinan
: Garis keturunan
3. STATUS KESEHATAN
a. Status Kesehatan Saat Ini
Keluhan utama
Pasien mengatakan kaki kanannya sedikit nyeri, dengan skala nyeri
2, dari skala nyeri yang diberikan (0-10)
Q = Seperti tertusuk-tusuk
R = Di paha kanan
S = Skala 4 (0-10)
T = Hilang timbul
Pernah dirawat
Pasien mengatakan belum pernah dirawat di rumah sakit
Alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki alergi terhadap makanan,
minuman, maupun obat-obatan.
b. Pola Nutrisi/metabolic
Pasien mengatakan sebelum dan sesudah sakit tidak ada perubahan
nafsu makan, pasien tetap makan 3x sehari. Pasien mengatakan makan
1 porsi, setiap kali makan berisi nasi, lauk, dan sayur. Pasien
mengatakan selalu menghabiskan makanan yang diberikan dari rumah
sakit.
c. Pola eliminasi
Pasien mengatakan sebelum dan sesudah sakit kencing biasa hanya
berbedanya sebelum sakit pasien dapat BAK dan BAB ke kamar
mandi secara mandiri. Namun saat sakit pasien BAB dan BAK di
tempat tidur menggunakan pispot dan urinal dibantu oleh orang tua.
BAK: frekuensi 4-5 x/hari, warna kuning jernih, bau khas, urine,
konsistensi cair.
Makan/minum V
Mandi V
Toileting V
Berpakaian V
Berpindah V
Ambulasi ROM V
0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain
Okigenasi:
Pola nafas teratur, irama normal, tidak ada suara tambahan, RR: 20
x/menit, pasien tidak tampak menggunakan alat bantu
pernafasan/oksigenasi.
f. Pola kognitif-perseptual
Pasien mengatakan sedikit nyeri bila kaki yang sedang sakit
digerakkan, dengan skala nyeri 4 dari skala nyeri yang diberikan (0-
10).
i. Pola peran-hubungan
Pasien mengatakan merupakan anak kedua dari orang tuanya, dia
memiliki seorang kakak laki-laki. Pasien mengatakan hubungan
dengan keluarga dan teman-temannya sangat baik. Pasien mengatakan
keluarga sangat mendukung pasien dalam kesembuhannya.
k. Pola keyakinan-nilai
Pasien mengatakan ia beragama Hindu, pasien mengatakan selalu
berdoa kepada Tuhan agar selalu diberi kesehatan dan kakinya yang
sakit bila cepat pulih.
5. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : baik
Tingkat kesadaran : komposmentis/ apatis/ somnolen/ sopor/ koma
Palpasi: Tidak ada nyeri tekan pada kepala, tidak ada pembesaran
vena thyroid dan bendungan vena jugularis.
2) Dada
Inspeksi: Bentuk simetris, gerakan dada simetris.
4) Abdomen
Inspeksi: Bentuk simetris, tidak ada distensi abdomen.
5) Genetalia
Inspeksi: Tidak terkaji
6) Integumen
Kulit pasien tampak normal, kebersihan baik, elastis.
7) Ekremitas
Atas
Inspeksi: Tidak ada massa dan nyeri tekan.
Bawah
Inspeksi: Tampak kaki kanan terpasang traksi
2222 5555
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Data laboratorium yang berhubungan
-
b. Pemeriksaan radiologi
1) Pada tanggal/jam: 11-05-2017/14.12 WITA
Klinis: CF Femur dexstra
TS: Yth,
Kesan:
Kesan:
TS: Yth
Kesan:
ANALISA DATA
R = Di paha kanan
T = Hilang timbul
Pengeluaran mediator
DO: Pasien tampak meringis nyeri
Otak
Nyeri akut
2. DS: Pasien mengatakan tidak dapat Trauma langsung Hambatan mobilitas
melakukan mobilisasi di tempat tidur fisik
Diskontinuitas tulang
DO: Perawatan diri pasien seperti
memakain baju, toileting, mandi
tampak dibantu oleh orang lain
Pergeseran fragmen
tulang
Deformitas
Gangguan fungsi
ekstermitas
Hambatan mobilitas
fisik
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
No Dx Keperawatan TTD
Dx
1. Nyeri akut b/d gerakan fragmen tulang dan spasme otot d/d pasien
mengeluh nyeri pada paha kanan, pasien tampak meringis
D. IMPLEMENTASI
No.
Hari/tanggal Jam Tindakan Keperawatan Evaluasi TTD
Dx
E. EVALUASI
No
Hari/Tgl Jam Evaluasi TTD
Dx