Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


CVA (Cerebro Vaskular Accident) adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab
kematian nomor dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia
dan semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di Negara-negara yang
sedang berkembang. Secara global, pada saat tertentu sekitar 80 juta orang menderita akibat
stroke. Terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta
diantaranya meninggal dalam 12 bulan. Terdapat sekitar 250 juta anggota keluarga yang
berkaitan dengan para penderita stroke yang bertahan hidup. Selama perjalanan hidup
mereka, sekitar empat dari lima keluarga akan memiliki salah seorang anggota mereka yang
terkena stroke. Stroke adalah masalah neorologik primer di AS dan dunia. Meskipun upaya
pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden beberapa tahun terakhir, stroke
adalah peringkat ketiga penyebab kematian, dengan laju mortalitas 18% sampai 37% untuk
stroke pertama dan sebesar 62% untuk stroke selanjutnya, terdapat kira-kira 2 juta orang
bertahan hidup dari stroke yang mempunyai beberapa kecacatan, dari angka ini 40%
memerlukan bantuan dalam akativitas kehidupan sehari-hari. (Brunner & Suddarth, 2002).
CVA atau Cerebro Vaskuler Accident biasa di kenal oleh masyarakat dengan istilah
Stroke.Istilah ini lebih populer di banding CVA. Kelainan ini terjadi pada organ otak.Lebih
tepatnya adalah Gangguan Pembuluh Darah Otak.Berupa penurunan kualitas pembuluh darah
otak.Stroke menyebabkan angka kematian yang tinggi.Kejadian sebagian besar dialami oleh
kaum lai-laki daripada wanita (selisih 19 % lebih tinggi)dan usia umumnya di atas 55 tahun.
Stroke adalah penyakit otak yang paling desdruktif dengan konsekuensi berat, termasuk
beban psikologis, fisik dan keuangan yang besar pada pasien, keluarga mereka dan
masyarakat. Pada kenyataannya banyak orang yang lebih takut akan menjadi cacat oleh
stroke dibandingkan dengan kematian itu sendiri. Jika tidak ada perbaikan dalam metode-
metode pencegahan yang ada sekarang jumlah stroke dan korban stroke akan tumbuh pesat
dalam beberapa decade mendatang. Stroke dahulu dianggap sebagai penyakit yang tidak
dapat diduga yang dapat terjadi pada siapa saja, dan sekali terjadi tidak ada lagi tindakan
efektif yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Namun, data-data ilmiah terakhir secara
meyakinkan telah membuktikan hal yang sebaliknya. Selama decade terakhir telah terjadi
kemajuan besar dalam pemahaman mengenai factor resiko, pencegahan, pengobatan, dan
rehabilitasi stroke. Kita sekarang mengetahui bahwa stroke dapat diperkirakan dan dapat
dicegah pada hampir 85% orang. Juga terdapat terapiefektif yang dapat secara substansional
memperbaiki hasil akhir stroke. Pada kenyataannya, sekitar sepertiga pasien stroke sekarang
dapat pulih sempurna dan proporsi ini dapat meningkat jika pasien selalu mendapat terapi
darurat dan rehabilitasi yang memadai. (dr. Valery Feigin,Ph.D. ,2004)

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana anatomi dasar otak dan aliran darah ?
2. Apakah definisi dari CVA infark ?
3. Apakah etiologi dari CVAinfark?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari CVA infark ?
5. Bagaimanakah manifestasi klinis dari klien yang menderita CVA infark ?
6. Apakah pemeriksaan penujang dan penalataksanaan yang harus dilakukan ?
7. Apakah komplikasi dari klien penderita CVA infark ?
8. Bagaimanakah penatalaksanaan bagi pasien CVA infark ?
9. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan CVA infark ?

1.3 TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui anatoni dasar otak dan aliran darah
2. Mahasiswa mampu mengetahui definisi dari CVA infark
3. Mahasiswa mampu memahami etiologi dari CVA infark
4. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari CVA infark
5. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis dari penderita CVA infark
6. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan penunjang untuk CVA infark
7. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi dari CVA infark
8. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan dari CVA infark
9. Mahasiwa mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien CVA infark
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1DEFINISI CVA INFARK


CVA atau stroke adalah cedera vaskular akut pada otak. Ini berarti stroke adalah suatu
cedera mendadak dan berat pada pembuluh darah otak. Cedera dapat disebabkan oleh
sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan penyempitan, atau
pecahnya pembuluh darah. Semua ini menyebabkan kurangnya pasokan darah yang
memadai,. Stroke mungkin menampakkan gejala, mungkin juga tidak (stroke tanpa gejala
disebut silent stroke), tergantung pada tempat dan ukuran kerusakan. (dr. Valery
Feigin,Ph.D. ,2004)
Stroke atau cedera serebrovaskular ( CVA ) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darh ke bagian otak. Sering ini adalah kulminasi
penyakit serebrovaskular selama beberapa tahun. (Brunner & Suddarth, 2002). Stroke dapat
didefinisikan sebagai defisit neurologi yang mempunyai awitan mendadak dan berlangsung
24 jam sebagai akibat dari CVD. Hampir sekitar ¾ stroke diakibatkan oleh obstruksi
vaskular (trombi atau emboli), mengakibatkan inskemia dan infark. Sekitar ¼ kasus stroke
adalah hemorragi, yang diakibatkan oleh penyakit vaskular hipertensif ( yang menyebabkan
hemorragi intraserebral ), ruptur anuerisma atau malformasi arteri ovenosa (AVM).
(Huddak & Gallo, 1996)
TIA yang juga disebut stroke kecil atau ringan adalah suatu faktor resiko utama
terjadinya stroke iskemik ( stroke yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan satu
atau beberapa arteri yang menuju otak). Hal ini berarti jika seseorang mengalami TIA, ia
beresiko tinggi terjangkit stroke.
Stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan neurologik
mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai
arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark
serebrum. Istilah yang lebih lama dan masih sering digunakan adalah cerebrovascular
accident ( CVA ).(Sylvia A.Price,2006 hal 1110).
CVA Infark atau stroke non haemorragic dapat berupa iskemia atau emboli dan
thrombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di
pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan
selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umummnya baik.
2.2 ETIOLOGI
Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian yaitu:
a. Trombosis serebral
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab
utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling umum dari stroke.
Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala adalah awitan yang tidak
umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang,
dan beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari haemorrhagi
intracerebral atau embolisme serebral. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi
dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada
setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang – cabangnya,
yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau hemiplegia tiba-tiba
dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan
penyakit jantung atau pulmonal adalah karakteristik dari embolisme serebral.
c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi
ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Haemorrhagi serebral
1. Haemorrhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Keadaan ini biasanya
mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah arteri
meninges lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam cedera
untuk mempertahankan hidup.
2. Haemorrhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi epidural,
kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena robek.
Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau
gejala.
3. Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme
pada area sirkulus Willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada
otak.
4. Haemorrhagi intracerebral adalah perdarahan di substansi dalam otak paling
umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena
perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya menyebabkan rupture
pembuluh darah. Biasanya awitan tiba-tiba, dengan sakit kepala berat. Bila
haemorrhagi membesar, makin jelas deficit neurologik yang terjadi dalam
bentuk penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital.
Penyebab – penyebab peningkatan Tekanan Intrakranial antara lain :
1. Tumor primer atau metastasis
2. Hemoragia otak
3. Hematoma subdural
4. Abses otak
5. Hidrosefalus akut
6. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi
2.3 PATOFISIOLOGI CVA INFARK
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya
infark tergantung pada factor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan
local (thrombus, emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan paru dan jantung. Aterosklerosis sering sebagai factor
penyebab infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak aterosklerotik, atau darah
dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau
terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Thrombus dapat mengakibatkan iskemi jaringan otak yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema
ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis
biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah
serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi
septic infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisme pembuluh darah. Hal ini menyebabkan perdarahan
serebral, jika aneurisme pecah atau rupture.
Perdarahan otak disebabkan oleh rupture arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh
darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan
kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan yang
luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial, dan yang lebih berat
dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga
kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan
yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-6 menit.
Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi
oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak
akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi
otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan
kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang
terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih dari 60
cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan
lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-36 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 c dan terdapat
di pons sudah berakibat fatal. (Muttaqin, Arif, 2008)
Patway CVA INFAK
2.5 KLASIFIKASI
Stroke
Menurut Satyanegara (1998), gangguan peredaran darah otak atau stroke
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Non Haemorrhagi/Iskemik/Infark
1. Transient Ischemic Attack (TIA)/Serangan Iskemi Sepintas
TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode
serangan
sesaat dari suatu disfungsi serebral fokal akibat gangguan
vaskuler,
dengan lama serangan sekitar 2 -15 menit sampai paling lama
24 jam.
2. Defisit Neurologis Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic
Neurologi Defisit(RIND) Gejala dan tanda gangguan
neurologis yang berlangsung lebih lama dari 24 jam dan
kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu kurang dari tiga
minggu).
3. In Evolutional atau Progressing Stroke merupakan Gejala
gangguan neurologis yang progresif dalam waktu enam jam
atau lebih.
4. Stroke Komplit (Completed Stroke / Permanent Stroke )
merupakan Gejala gangguan neurologis dengan lesi -lesi yang
stabil selama periode waktu 18-24 jam, tanpa adanya
progesifitas lanjut.
b. Stroke Haemorrhagi
Perdarahan intrakranial dibedakan berdasarkan tempat perda
rahannya, yakni di rongga subararakhnoid atau di dalam parenkhim
otak (intraserebral). Ada juga perdarahan yang terjadi bersamaan pada
kedua tempat di atas seperti: perdarahan subarakhnoid yang bocor ke
dalam otak atau sebaliknya. Selanjutnya gangguan-gangguan arteri
yang menimbulkan perdarahan otak spontan dibedakan lagi
berdasarkan ukuran dan lokasi regional otak.
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Stroke menyebabakan berbagai deficit neurologic, bergantung pada
lokasi lesi (Pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (skunder atau
aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Kehilangan motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan
mengakibatkan kehilangan control volunter terhadap gerakan motorik.
Karena neuron atas melintas, gangguan kontrol motor volunter pada
salah satu sisi tubuh dapat menunjukan kerusakan pada neuron motor
atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor paling umum
adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi
otak yang berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi
tubuh, adalah tanda yang lain.
Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya
adalah paralisis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam.
Apabila refleks tendon dalam ini muncul kembali (biasanya dalam 48
jam), peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan tonus
otot abnormal) pada ekstremitas yang terken dapat dilihat.
Kehilangan Komunikasi. Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh
stroke adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia
paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan
oleh hal berikut :
a. Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang
sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
b. Disfasia atau afsia (bicara defektif atau kehilangan bicara),
yang terutama ekspresif atau reseptif.
c. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika mengambil sisir
dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
Afasia dan penatalaksanaan keperawatanya didiskusikan secara
detail setelah proses keperawatan ; pasien stroke.
Gangguan persepsi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan disfungsi
persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan
sensori.
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer
diantara mata dan korteks visual. Homonimus hemianopsia (kehilangan
setengah lapang pandang) dapat terjadi karena stroke dan mungkin
sementara atau permanen. Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi
tubuh yang paralisis.kepala pasien cenderung berpaling dari sisi tubuh
yang sakit dan cenderung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada
sisi tersebut; ini disebut amorfosintesis. Pada keadaan ini, pasien tidak
mampu melihat makanan pada setengah nampan, dan hanya setengah
ruangan yang terlihat. Penting untuk perawat secara konstan
mengingatkan pasien tentang sisi lain tubuhnya, mempertahankan
kesejajaran ekstremitas dan, bila mungkin, menempatkan ekstremitas
dimana pasien mampu melihatnya.
Untuk mengkaji hemianopsia, pasien diminta untuk melihat wajah
pemeriksa. Jari pemeriksa ditempatkan kira-kira 30cm dari telinga pasien
dari sisi tubuh yang tidak sakit dan digerakan kea rah dalam ke arah
lapang pandangnya. Pasien diminta menunjukan ketika pertama kali
mendeteksi satu atau kedua sisi menunjukan pangabaian visual dan
hemianopsia.
Penurunan lapang pandang ini harus diingat selama semua prosedur
rehabilitasi. Personel harus mendekati pasien pada sisi dimana persepsi
visual utuh. Semua rangsang visual ( jam, kalender, televisi) harus
ditempatkan pada sisi ini. Pasien dapat diajarkan untuk memalingkan
kepalanya dalam arah lapang pandang defektif untuk mengkompensasi
kehilangan ini. Perawat ahrus membuat kontak mata dengan pasien dan
menarik perhatiannya pada posisi yang sakit dengan mendorong pasien
untukmenggerakan kepala. Perawat juga harus berdiri pada posisi yang
mendorong pasien bergerak atau berpaling dalam upaya untuk melihat
siapa yang ada diruangan. Peningkatan pencahayaan alamiah atau buatan
dalam ruangan dan memberikan kaca mata penting dalam meningkatkan
hubungan penglihatan.
Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua
atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan
hemiplegia kiri. Pasien mungkin tidak dapat memakai tanpa bantuan
karena ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian ke bagian tubuh.
Untuk membantu pasien ini, perawat dapat mengambil langkah untuk
mengatur lingkungan dan menyingkirkan perabot karena pasien dengan
masalah persepsi mudah terdistraksi. Akan bermanfaat menganjurkan
pasien memperlambat dan memberikan pengingat lembut tentang dimana
objek ditempatkan.
Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan
ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriopsesi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta
kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
Kerusakan Fungsi Kognitif dan efek Psikologik. Bila kerusakan
telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori, atau
fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini
dapat ditunjukan dalam lapang pandang perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien
ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka.
Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah
pasien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologik lain juga
umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
Disfungsi kandung kemih . setelah stroke pasien mungkin
mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomuniksikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk mrnggunakan urinal/bedpan karena kerusakan control motorik dan
postural. Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik,
dengan kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian kandung
kemih. Kadang-kadang control sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Selam periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan
teknik steril. Ketika tonus otot meningkat dan refleks tendon kembali,
tonus kandung kemih meningkat dan kapasitas kandung kemih dapat
terjadi. Karena indera kesadaran pasien kabur, inkontinensia urinarius
menetap atau retensi urinarius mungkin stmtomatik karena kerusakan
otak bilateral. Inkontinensia ani dan urine yang berlanjut menunjukan
kerusakan neurologic yang luas.
2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran serebral
darah serebral, dan luasnya area cedera.
Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah
adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang
dikirimkan ke jaringan Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan
hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu
dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung,
dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena)
harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah
serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah
perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi
atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah
ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat
mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian thrombus
local. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya
infark.
b. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
c. Pungsi Lumbal
o Menunjukan adanya tekanan normal.
o Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan
adanya perdarahan.
d. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
e. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.
f. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng
pineal.
2.9 TERAPI MEDIS
1. Neuroproteksi
Pada storke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebagian
besar cedera jaringan neuro dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi
jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi
neuroprotektif. Hipoternia adalah terapi neuroprotektif yang sudah lama
digunakan pada kasus trauma otak dan terus diteliti pada stroke. Cara
kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metaboisme dan tentu saja
kebutuhan oksignen sel-sel neuron. Dengan demikian neuron terlindung
dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan
eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamate yang
biasanya timbul setelah cedera sel neuron. The Cleveland Clinic telah
meneliti pemakaian selimut dingin dan mandi air es dalam 8 jam awitan
gejala dan mempertahankan hipotermia ke suhu 89,6 oF selama 12
sampai 72 jam sementara pasien mendapat bantuan untuk
mempertahankan kehidupan. Selama rehabilitasi, pasien ayng diberi
terapi hipotermik cenderung mengalami lebih sedikit kecacatan (skala
Rankin) dan daerah infark yang lebih kecil dari pada kelompok control
(Abou-Chebl et al.,2001).
Pendekatan lain untuk mempertahankan jaringan adalah pamakaian
obat neuroprotektif. Banyak riset stroke yang meneliti obat yang dapat
menurunkan metabolism neuron, mencegah pelepasan zat-zat toksik dari
neuron yang rusak, atau memperkecil respons hipereksitatorik yang
merusak dari neuron-neuron di penumbra iskemik yang mengelilingi
daerah infark pada stroke. Meningkatkan pengetahuan tentang
patofisiologi cedera sel otak iskemik telah mendorong para peneliti untuk
berfokus pada pengembangan antagonis kalsium, antagonis glutamate,
antioksidan, dan berbagai jenis obat neuroprotektif lainnya. Tantangan
dalam mengusahakan neuroproteksi pascacedera adalah menemukan obat
yang selektif untuk neuron iskemik, yaitu memiliki indeks terapeutik
(dosis letal ÷ dosis terapeutik) yang baik (Salazar, Fulmor, Srinivas,
2000). Berbagai agen telah diuji, termasuk nitroksida (Leker, et al,
2000).suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan, cerebrolisin (CERE)
memiliki efek pada metabolism kalsium neuron dan juga memperlihatkan
efek neurotrofik (Ladurner, 2001). Saat ini terdapat beragam obat dan
senyawa obat mencegah dan mengobati secara akut stoke yang berada
dalam berbagai tahap pengembangan. Karena sifat cedera sel otak
iskemik yang multidimensi dan sekuensial, maka kecil kemungkinannya
ada satu obat yang akan dapat melindungi secara total otak selama stroke;
kemungkinan besar, diperlukan kombinasi beberapa obat agar potensi
pemulihan dapat diupayakan secara penuh.
2. Antikoagulasi
The European Stroke Initiative (2000) merekomendasikan bahwa
antikoagulan oral (INR 2,0 sampai 3,0) diindikasikan pada stroke yang
disebabkan oleh fibrilasi atrium. Diperlukan antikoagulasi dengan derajat
yang lebih tinggi (INR 3,0 sampai 4,0) untuk pasien stroke yang
memiliki katup prostetik mekanis. Bagi pasien yang bukan merupakan
kandidat untuk terapi warfarin (Coumadin), maka dapat digunakan
aspirin tersendiri atau dalam kombinasi dengan dipiridamol sebagai
terapi antitrombotik awal untuk profilaksis stroke.
3. Trombolisis Intravena
Satu-satunya yang telah disetujui oleh the US Food and Drugs
Administration (FDA) untuk terapi stroke iskemik akut adalah activator
plasminogen jaringan (TPA) bentuk rekombinan. Selelah disetujui pada
bulan Juni 1996, TPA dapat digunakan untuk menghindari cedera otak,
dan angka kematian nasional yang telah disesuaikan dengan usia untuk
stroke berkurang 1,1 % sejak tahun 1995 (Peters at al., 1998).
Keberhasilan ini mendorong diintensifkannya upaya-upaya untuk
menyuluh masyarakat dan petugas kesehatan bahwa stroke adalah suatu
kedaruratan dan bahwa gejala stroke akut harus diterapi sama segeranya
seperti luka tembak di kepala. Dengan demikian terapi dengan TPA
intravena tetap menjadi stndar keperawatan untuk stroke akut dalam tiga
jam pertama setelah awitan gejala (National Institute of Health [NIH],
1995). Namun hanya 1 % sampai 2 % pasien yang saat ini mendapat
terapi, biasanya karena mereka datang terlambat ke unit gawat darurat di
luar batas waktu tiga jam. Risiko terbesar menggunakan terapi
trombolitik adalah perdarahana intraserebrum. Dengan demikian terapi
harus diguakan hanya bagi pasien yang telah disaring secara cermat dan
yang tidak memenuhi satupun dari criteria eksklusif berikut :
 Gambaran perdarahan intrakranium berupa massa yang membesar pada
CT
 Angiogram yang negative untuk adanya bekuan
 Peningkatan waktu protrombin/INR, yang mengisyaratkan kecenderungan
perdarahan
 Adanya pembuluh dan luka yang belum sembuh dari trauma atau
pembedahan yang baru saja terjadi
 Tekanan darah diastolic yang sangat tinggi; hilangnya autoregulasi adalah
suatu resiko besar
Selain itu, pasien dengan riwayat baru-baru ini pernah menggunakan
kokain atau amfetamin sering disingkirkan karena risiko perdarahan dari
pembuluh otak dibawah tekanan tinggi.
4. Trombolisis Intraarteri
Pemakaian trombolisis intraarteri untuk pasien dengan stroke iskemik
akut sedang dalam penilaian, walaupun saat ini belum disetujui oleh FDA
(Furlan et al., 1999). Pasien ayng berisiko besar mengalami perdarahan
akibat terapi ini adalah mereka yang skor National Institute of Health
Stroke Scale) (NIHSS)-nya tinggi, memerlukan waktu lebih lama untuk
rekanalisasi pembuluh, kadar glukosa darah yang lebih tinggi, dan hitung
trombosit yang rendah (Kidwell et al., 2001).
5. Terapi Perfusi
Serupa dengan upaya untuk memulihkan sirkulasi otak pada kasus
vasospasme saat pemulihan dari perdarahan subaraknoid, pernah
diusahakan induksi hipertensi sebagai usaha untuk meningkatkan tekanan
darah arteri rata-rata sehingga perfusi otak dapat meningkat (Hillis et al.,
2001).
6. Pengendalian Edema dan Terapi Medis Umum
Edema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark serebrum iskemik,
terutama pada keterlibatan pembuluh-pembuluh besar di daerah arteria
serebri media. Terapi konservatif dengan membuat pasien sedikit
dehidrasi, dengan natrium serum normal atau sedikit meningkat.

2.10PENATALAKSANAAN STROKE
Pencegahan Primer Stroke
Pendekatan pada pencegahan adalah mencegah dan mengobati faktor-
faktor resiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor resiko paling
prevalen, dan telah dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah memiliki
dampak yang sangat besar pada resiko stroke. Akhir-akhir ini perhatian
ditujukan kepada pentingnya hipertensi sistolik saja (isolated systolic
hypertension, ISH), yang sekarang dianggap sebagai faktor resiko utama
untuk stroke (Domanski et al., 1999). Diuktikan bahwa terapi aktif terhadap
ISH secara bermakna menurunkan resiko stroke, terutama pada pasien
berusia lanjut. Pada sebuah uji klinis acak, pengidap ISH yang mendapat
penyekat saluran kalsium nitrendipin (Cardif, Nitrepin) memperlihatkan
penurunan 42% dalam stroke fatal dan nonfatal selama periode rata-rata 2
tahun (JNC VI, 1997;Staessen et al.,1997).
The European Stroke Initiative (ESI, 2000) telah mempublikasikan
rekomendasi untuk penatalaksanaan stroke yang mencerminkan praktik
yang sekarang dijalankan. Rekomendasi pencegahan primer yang paling
terinci dan banyak diteliti adalah bahwa antikoagulasi oral harus digunakan
sebagai profilaksis primer terhadap semua pasien dengan fibrilasi atrium
yang beresiko tinggi mengalami stroke pengidap hipertensi, usia lebih dari
75 tahun, embolisme sistemik, atau berkurangnya fungsi ventrikel kiri. ESI
merekomendasikan INR sasaran sebesar 2,5 untuk antikoagulasi. INR
sasaran lebih rendah (2,0) untuk pasien berusia lebih dari 75 tahun yang
beresiko tinggi mengalami perdarahan otak. Karena fibrilasi atrium
meningkatkan resiko mengalami stroke hamper lima kali lipat, maka
antikoagulasi padapopulasi ini sangatlah penting. Pendekatan pencegahan
primer penting yang kedua adalah mempertimbangkan endarterektomi
karotis (CEA) pada pasien simtomatik dengan bising karotis, terutama
dengan stenosis 60% – 90%.
Penatalaksanaan diabetes yang baik merupakan faktor penting lain
dalam pencegahan stroke primer. Meningkatnya kadar gula darah secara
berkepanjangan berkaitan erat dengan disfungsi endotel yang pada
gilirannya memicu terbentuknya aterosklerosis (Laight et al., 1999). Selain
itu, terdapat suatu komponen kelainan metabolisme pada diabetes mellitus
yang baru diketahui yang disebut sebagai keadaan protrombik, pada
keadaan protrombik ini terjadi peningkatan kadar inhibitor activator
plasminogen 1 (plasminogen activator inhibitor-1; PAI-1) (Bastard et al.,
2000). Kecenderungan membentuk bekuan abnormal semakin dipercepat
oleh resistensi insulin sehingga kecendrungan mengalami koagulasi
intravascular semakin meningkat (Laakso, 1999).
Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke : (1) strategi
kesehatan masyarakat atau populasi dan (2) strategi resiko tinggi. Strategi
populasi didasarkan pada peraturan dan program pendidikan yang bertujuan
mengurangi prilaku beresiko pada seluruh populasi. Strategi resiko tinggi
mengarahkan upaya untuk orang-orang yang memiliki resiko stroke di atas
rata-rata. Agar hemat biaya, pendekatan resiko tinggi harus didasarkan pada
resiko basal (absolut) seseorang mengalami suatu kejadian dan bukan
didasarkan pada usia atau pertimbangan resiko relative yang berkaitan
dengan satu faktor resiko. Pada semua kelompok usia dan di semua kategori
resiko, perempuan memiliki resiko absolute yang lebih rendah daripada
laki-laki.
Pencegahan Sekunder Stroke
Pencegahan sekunder mengacu pada strategi untuk mencegah
kekambuhan stroke. Pendekatan utama adalah mengendalikan hipertensi,
CEA dan memakai obat antigregat antitrombosit. Berbagai penilitian seperti
the European Stroke Prevention Study of antiplatelet antiaggregant drugs
(Diener, 1996) dan banyak meta-analisis terhadap obat inhibitor
glikoprotein IIb / IIIa jelas memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi
trombosit dalam mencegah kambuhnya stroke (Albers et al., 2001).
Aggrenox adalah satu-satunya kombinasi aspirin dan dipiridamol yang telah
dibuktikan efektif untuk mencegah stroke sekunder.
2.11. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
disfagia sekunder akibat cedera serebrovaskuler.
b. Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan
lesi pada neuron motor atas yang ditandai dengan ketidakmampuan
dalam eliminasi urine, ketidakmampuan miksi.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang
lama.
d. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan
pada area bicara di hemisfer otak yang ditandai dengan kerusakan
artikulasi, tidak dapat berbicara,tidak mampu memahami bahasa
tertulis/ucapan.
e. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada
saraf sensori, penurunan penglihatan yang ditandai dengan disorientasi
terhadap waktu tempat dan orang, konsentrasi buruk berubahan proses
berpikir yang kacau.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/
hemiplagia, kerusakan neuromuskular pada ekstremitas yang ditandai
dengan ketidak mampuan bergerak , keterbatasan rentang gerak,
penurunan kekuatan/kontrol otot
g. Gangguan eliminasi alvi(kontispasi) berhubungan dengan defek
stimulasi saraf, otot dasar pelviks lemah dan imobilitas sekunder akibat
stroke yang ditandai dengan pasien belum BAB selama 4
hari/konstipasi, teraba distensi abdomen.
h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang
diterima pasien tentang penyakit dialami oleh pasien yanf dtandai
dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi dan tidak
mengenal sumber-sumber informasi.
2.12. Intervensi dan Rasional
a) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia,
kerusakan neuromuskular pada ekstremitas yang ditandai dengan
ketidak mampuan bergerak , keterbatasan rentang gerak, penurunan
kekuatan/kontrol otot.
Tujuan: klien mampu meningkatkan aktivitas fisik yang sakit atau lemah,
dengan kriteria hasil:
1) Ekstremitas tidak tampak lemah
2) Ekstremitas yang lemah dapat diangkat dan digerakkan secara mandiri
3) Ekstremitas yang lemah dapat menahan posisi tubuh saat miring kanan
atau kiri
Intervensi:
1) Jelaskan pada pasien akibat dari terjadinya imobilitas fisik
- imobilitas fisik akan menyebabkan otot-otot menjadi kaku sehingga
penting diberikan latihan gerak.
2) Ubah posisi pasien tiap 2 jam
- menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah
yang jelek pada daerah yang tertekan
3) Ajarkan pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas
yang sakit
- gerakan aktif memberikan dan memperbaiki massa, tonus dan kekuatan
otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
4) Anjurkan pasien melakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang tidak
sakit
- mencegah otot volunter kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak
dilatih untuk digerakkan
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
- peningkatan kemampuan daam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dari tim fisioterapi
6) Observasi kemampuan mobilitas pasien
- Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan gerak pasien setelah di
lakukan latihan dan untuk menentukan intervensi selanjutnya.

b) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


disfagia sekunder akibat cedera serebrovaskuler
Tujuan:Pasien tetap menunjukan pemenuhan nutrisi selama dilakukan
tindakan keperawatan.
Kriteria hasil : tidak terjadi penurunan berat badan, HB dan albumin dalam
batas normal HB: 13,4 – 17,6 dan Albumin: 3,2 - 5,5 g/dl.
Intervensi :
1) Jelaskan pentingnya nutrisi bagi klien
- nutrisi yang adekuat membantu meningkatkan kekuatan otot
2) Kaji kemampuan klien dalam mengunyah dan menelan
- untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan kepada klien
3) Letakkan kepala lebih tinggi pada waktu selama & sesudah makan
- memudahkan klien untuk menelan
4) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual
dengan menekan ringan di atas bibir / bawah dagu jika dibutuhkan
- membantu dalam melatih kembali sensoro dan meningkatkan kontrol
muskuler
5) Kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral atau memberi makanan
melalui NGT
- membantu memberi cairan dan makanan pengganti jika klien tidak mampu
memasukan secara peroral.
6) Observasi keadaan, keluhan dan asupan nutrisi
- mengetahui keberhasilan tindakan dan untuk menentukan intervensi
selanjutnya
c) Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan defek
stimulasi saraf, otot dasar pelviks lemah dan imobilitas sekunder akibat
stroke ditandai pasien belum BAB selama 4 hari, teraba distensi
abdomen.
Tujuan: pasien mampu memenuhai eliminasi alvi dengan kriteria hasil:
1) pasien dapat defekasi secara spontan dan lancar dengan menggunakan
obat
2) konsistensi feses lembek
3) tidak teraba distensi abdomen
Intervensi:
1) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab
konstipasi.
- konstipasi disebabkan oleh karena penurunan peristaltic usus.
2) Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang mengandung serat.
- diet seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi
reguler
3) Bila pasien mampu minum, berikan asupan cairan yang cukup (2
liter/hari) jika tidak ada kontraindikasi.
- masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses
yang sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler
4) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan pasien.
- aktivitas fisik membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus otot
abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltic
5) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses (laksatif,
supositoria, enema)
- pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang
melunakkan massa feses dan membantu eliminasi.

d) Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan


mobilitas sekunder akibat stroke.
Tujuan: pasien mampu mempertahankan keutuhan kulit dengan kriteria hasil:
1) Pasien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
2) Mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
3) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
Intervensi:
1) Anjurkan untuk melakukan latihan mobilisasi
- menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
2) Ubah posisi tiap 2 jam
- menghindari tekanan yang berlebihan pada daerah yang menonjol
3) Observasi terhadap eritema, kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap
kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi
- mempertahankan keutuhan kulit
4) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin, hindari trauma dan panas
pada kulit.
- menghindari kerusakan-kerusakan kapiler

e) Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada


saraf sensori yang ditandai dengan disorientasi terhadap waktu tempat
orang, perubahan dalam respon terhadap rangsangan.
Tujuan : meningkatnya persepsi sensorik secara optimal setelah dilakukan
tindakan keperawatan dengan kriteria hasil:
1) Adanya perubahan kemampuan yang nyata
2) Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat dan orang
Intervensi:
1) Tentukan kondisi patologis klien
- untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami gangguan
2) Kaji gangguan penglihatan terhadap perubahan persepsi
- untuk mempelajari kendala yang berhubungan dengan disorientasi klien
3) Latih klien untuk melihat suatu objek dengan telaten dan seksama
- agar klien tidak kebinggungan dan lebih konsentrasi
4) Observasi respon prilaku klien seperti menanggis, bahagia, bermusuhan,
halusinasi setiap saat
- untuk mengetahui keadaan emosi klien.
f) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan
pada area bicara di hemisfer otak yang ditandai dengan dengan
kerusakan artikulasi, tidak dapat berbicara,tidak mampu memahami
bahasa tertulis/ucapan.
Tujuan : proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal dengan
kriteria hasil:
1) Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat
terpenuhi
2) Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun
isyarat.
Intervensi
1) Berikan metode alternatif komunikasi misalnya bahasa isyarat
- memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan klien
2) Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi
- mencegah rasa putus asa dan ketergantungan pada orang lain
3) Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang
jawabannya “ya” atau “tidak”
- mengurangi kecemasan dan kebinggunan pada saat berkomunikasi
4) Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien
- mengurangi rasa isolasi sosial dan meningkatkan komunikasi yang efektif
5) Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi
- memberi semangat pada klien agar lebih sering melakukan komunikasi
6) Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan Bicara
- melatih klien berbicara secara mandiri dengan baik dan benar.

g) Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan


lesi pada neuron motor atas.
Tujuan : klien mampu mengontrol urine setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil:
1) Klien melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia
2) Tidak ada distensi bladder
Intervensi:
1) Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering
- berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung
kemih yang berlebih
2) Ajarkan membatasi masukan cairan selama malam
- pembatasan cairan pada malam hari mencegah terjadinya enuresis
3) Ajarkan tehnik untuk mencetuskan refleks berkemih ( rangsangan
kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal)
- melatih dan membantu penggosongan kandung kemih
4) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada
jadwal yang telah direncanakan
- kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume
urien sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih
5) Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikit 2000cc
perhari bila tidak ada kontraindikasi)
- hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran kemih dan batu
ginjal.

h) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang


diterima pasien tentang penyakit dialami oleh pasien. Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang diterima
pasien tentang penyakit dialami oleh pasien yanf dtandai dengan
keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi dan tidak
mengenal sumber-sumber informasi.
Tujuan: Pasien mengerti tentang penyakit yang diderita dengan kriteria hasil:
1) Pasien dan keluarga tahu tentang penyakit yang diderita.
2) Pasien dan keluarga mau berperan serta dalam tindakan
keperawatan.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga.
- Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiki pasien dan keluarga
dan kebenaran informasi yang didapat.
2) Beri penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang
diderita.
- Penjelasan tentang kondisi yang sedang dialami dapat membantu
menambah wawasan pasien dan keluarga.
3) Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang setiap tindakan
keperawatan yang akan dilakukan.
- Agar pasien dan keluarga mengetahui tujuan dari setiap tindakan
keperawatan yang akan dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall.(1999) Diagnosa Keperawatan.(2000) alih bahasa Monica


Ester.Jakarta : EGC

Doengus, Maryln.(1993). Rencana asuhan keperawatan.(1999).alih bahasa Monica


Ester. Jakarta: EGC.

Henger, Barbara R.(2003).Asisten Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. EGC:Jakarta

Hudak, C.M. Gallo, B.M. (1996). Keperawatan Kritis. Pendekatan holistic Edisi VI
volume II. EGC:Jakarta

Mansjoer, dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta: Media Aesculapius

Muttaqin, Arif (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. salemba medika: jakarta.

Price, Sylvia A.(2002).Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. alih


bahasa Huriawati, Hartanto.(2005). Jakarta:EGC

Smeltzer, Suzanne.(1996). Keperawatan Medikal Bedah.(2002) alih bahasa Monica


Ester. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai