PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui anatoni dasar otak dan aliran darah
2. Mahasiswa mampu mengetahui definisi dari CVA infark
3. Mahasiswa mampu memahami etiologi dari CVA infark
4. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari CVA infark
5. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis dari penderita CVA infark
6. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan penunjang untuk CVA infark
7. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi dari CVA infark
8. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan dari CVA infark
9. Mahasiwa mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien CVA infark
BAB 2
PEMBAHASAN
2.10PENATALAKSANAAN STROKE
Pencegahan Primer Stroke
Pendekatan pada pencegahan adalah mencegah dan mengobati faktor-
faktor resiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor resiko paling
prevalen, dan telah dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah memiliki
dampak yang sangat besar pada resiko stroke. Akhir-akhir ini perhatian
ditujukan kepada pentingnya hipertensi sistolik saja (isolated systolic
hypertension, ISH), yang sekarang dianggap sebagai faktor resiko utama
untuk stroke (Domanski et al., 1999). Diuktikan bahwa terapi aktif terhadap
ISH secara bermakna menurunkan resiko stroke, terutama pada pasien
berusia lanjut. Pada sebuah uji klinis acak, pengidap ISH yang mendapat
penyekat saluran kalsium nitrendipin (Cardif, Nitrepin) memperlihatkan
penurunan 42% dalam stroke fatal dan nonfatal selama periode rata-rata 2
tahun (JNC VI, 1997;Staessen et al.,1997).
The European Stroke Initiative (ESI, 2000) telah mempublikasikan
rekomendasi untuk penatalaksanaan stroke yang mencerminkan praktik
yang sekarang dijalankan. Rekomendasi pencegahan primer yang paling
terinci dan banyak diteliti adalah bahwa antikoagulasi oral harus digunakan
sebagai profilaksis primer terhadap semua pasien dengan fibrilasi atrium
yang beresiko tinggi mengalami stroke pengidap hipertensi, usia lebih dari
75 tahun, embolisme sistemik, atau berkurangnya fungsi ventrikel kiri. ESI
merekomendasikan INR sasaran sebesar 2,5 untuk antikoagulasi. INR
sasaran lebih rendah (2,0) untuk pasien berusia lebih dari 75 tahun yang
beresiko tinggi mengalami perdarahan otak. Karena fibrilasi atrium
meningkatkan resiko mengalami stroke hamper lima kali lipat, maka
antikoagulasi padapopulasi ini sangatlah penting. Pendekatan pencegahan
primer penting yang kedua adalah mempertimbangkan endarterektomi
karotis (CEA) pada pasien simtomatik dengan bising karotis, terutama
dengan stenosis 60% – 90%.
Penatalaksanaan diabetes yang baik merupakan faktor penting lain
dalam pencegahan stroke primer. Meningkatnya kadar gula darah secara
berkepanjangan berkaitan erat dengan disfungsi endotel yang pada
gilirannya memicu terbentuknya aterosklerosis (Laight et al., 1999). Selain
itu, terdapat suatu komponen kelainan metabolisme pada diabetes mellitus
yang baru diketahui yang disebut sebagai keadaan protrombik, pada
keadaan protrombik ini terjadi peningkatan kadar inhibitor activator
plasminogen 1 (plasminogen activator inhibitor-1; PAI-1) (Bastard et al.,
2000). Kecenderungan membentuk bekuan abnormal semakin dipercepat
oleh resistensi insulin sehingga kecendrungan mengalami koagulasi
intravascular semakin meningkat (Laakso, 1999).
Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke : (1) strategi
kesehatan masyarakat atau populasi dan (2) strategi resiko tinggi. Strategi
populasi didasarkan pada peraturan dan program pendidikan yang bertujuan
mengurangi prilaku beresiko pada seluruh populasi. Strategi resiko tinggi
mengarahkan upaya untuk orang-orang yang memiliki resiko stroke di atas
rata-rata. Agar hemat biaya, pendekatan resiko tinggi harus didasarkan pada
resiko basal (absolut) seseorang mengalami suatu kejadian dan bukan
didasarkan pada usia atau pertimbangan resiko relative yang berkaitan
dengan satu faktor resiko. Pada semua kelompok usia dan di semua kategori
resiko, perempuan memiliki resiko absolute yang lebih rendah daripada
laki-laki.
Pencegahan Sekunder Stroke
Pencegahan sekunder mengacu pada strategi untuk mencegah
kekambuhan stroke. Pendekatan utama adalah mengendalikan hipertensi,
CEA dan memakai obat antigregat antitrombosit. Berbagai penilitian seperti
the European Stroke Prevention Study of antiplatelet antiaggregant drugs
(Diener, 1996) dan banyak meta-analisis terhadap obat inhibitor
glikoprotein IIb / IIIa jelas memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi
trombosit dalam mencegah kambuhnya stroke (Albers et al., 2001).
Aggrenox adalah satu-satunya kombinasi aspirin dan dipiridamol yang telah
dibuktikan efektif untuk mencegah stroke sekunder.
2.11. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
disfagia sekunder akibat cedera serebrovaskuler.
b. Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan
lesi pada neuron motor atas yang ditandai dengan ketidakmampuan
dalam eliminasi urine, ketidakmampuan miksi.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang
lama.
d. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan
pada area bicara di hemisfer otak yang ditandai dengan kerusakan
artikulasi, tidak dapat berbicara,tidak mampu memahami bahasa
tertulis/ucapan.
e. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada
saraf sensori, penurunan penglihatan yang ditandai dengan disorientasi
terhadap waktu tempat dan orang, konsentrasi buruk berubahan proses
berpikir yang kacau.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/
hemiplagia, kerusakan neuromuskular pada ekstremitas yang ditandai
dengan ketidak mampuan bergerak , keterbatasan rentang gerak,
penurunan kekuatan/kontrol otot
g. Gangguan eliminasi alvi(kontispasi) berhubungan dengan defek
stimulasi saraf, otot dasar pelviks lemah dan imobilitas sekunder akibat
stroke yang ditandai dengan pasien belum BAB selama 4
hari/konstipasi, teraba distensi abdomen.
h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang
diterima pasien tentang penyakit dialami oleh pasien yanf dtandai
dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi dan tidak
mengenal sumber-sumber informasi.
2.12. Intervensi dan Rasional
a) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia,
kerusakan neuromuskular pada ekstremitas yang ditandai dengan
ketidak mampuan bergerak , keterbatasan rentang gerak, penurunan
kekuatan/kontrol otot.
Tujuan: klien mampu meningkatkan aktivitas fisik yang sakit atau lemah,
dengan kriteria hasil:
1) Ekstremitas tidak tampak lemah
2) Ekstremitas yang lemah dapat diangkat dan digerakkan secara mandiri
3) Ekstremitas yang lemah dapat menahan posisi tubuh saat miring kanan
atau kiri
Intervensi:
1) Jelaskan pada pasien akibat dari terjadinya imobilitas fisik
- imobilitas fisik akan menyebabkan otot-otot menjadi kaku sehingga
penting diberikan latihan gerak.
2) Ubah posisi pasien tiap 2 jam
- menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah
yang jelek pada daerah yang tertekan
3) Ajarkan pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas
yang sakit
- gerakan aktif memberikan dan memperbaiki massa, tonus dan kekuatan
otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
4) Anjurkan pasien melakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang tidak
sakit
- mencegah otot volunter kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak
dilatih untuk digerakkan
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
- peningkatan kemampuan daam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dari tim fisioterapi
6) Observasi kemampuan mobilitas pasien
- Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan gerak pasien setelah di
lakukan latihan dan untuk menentukan intervensi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak, C.M. Gallo, B.M. (1996). Keperawatan Kritis. Pendekatan holistic Edisi VI
volume II. EGC:Jakarta