Islam Interdisipliner (5) o
Islam Interdisipliner (5) o
Penyusun :
Vista Rahayu Agustin (1600026186)
Dyny Wahyu Seputri ( 1600026187)
Livia Traesar (1600026188)
Rima Lestari (1600026189)
Rasa syukur kehadirat Allah SWT. Berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat penulis
selesaikan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini penulis susun untuk materi dan tugas perkuliahan
Islam Interdisipliner di Universitas Ahmad Dahlan yang akan membahas tentang Islam Sebagai
Ilmu yang di kaji oleh Kunto Wijoyo. Sistem pemikiran mengenai Pengilmuan Islam,
Epistimologi Paradigma Islam, Metodologi Pengilmuan Islam, Etika Paradigma Islam, Paradigma
Islam sebagai Kritik Peradaban Modern yang akan kami kupas sebaik mungkin dalam makalah
ini.
. Sebagaimana pepatah yang menyatakan tiada gading yang tak retak, maka makalah ini
pun tiada terbebas dari kekurangan dan kelemahan di dalamnya. Kami memohon maaf apabila ada
kesalahan, dan kami akan menerima kritik serta saran yang membangun makalah ini. Demikianlah,
mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita bersama. Dan terakhir penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
1. KATA PENGANTAR...................................................................................... i
2. DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
3. BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1) Latar Belakang. ............................................................................................. 1
4. BAB II ISI ....................................................................................................... 2
2.1 Pengilmuan Islam Menuju Paradigma Islam ................................................ 2
Demistifikasi ........................................................................................... 2
Paradigma Al-quran ................................................................................ 3
Humaniora dalan Al-quran ..................................................................... 4
2.2 Epistimologi Paradigma Islam ...................................................................... 4
Strukturalisme transcendental ........................................................... 4
2.3 Metodologi Pengilmuan Islam ...................................................................... 4
Intergralisasi 1 dan 2 ......................................................................... 4
Objectivikasi 1 dan 2......................................................................... 4
2.4 Etika Paradigma Islam .................................................................................. 7
Unsur Pengembangan Ilmu Sosial Profetik ..................................... 7
Kegunaan Ilmu Sosial Profetik ......................................................... 9
2.5 Paradigma IslamSebagai Kritik Peradaban .................................................. 11
Paradigma silam dan peradaban modern ...........................................
5. BAB III. PENUTUP ........................................................................................
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................
3.2 Saran .............................................................................................................
3.3 Daftar Pustaka ...............................................................................................
BAB I
Pendahuluan
Nilai-nilai profetik sangat diperlukan dalam upaya transformasi sosial dalam pembelajaran
dan pembiasaan melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran serta bertakwa kepada Allah
sebagai manifestasi dari tanggung jawab profetik itu. Penelitian ini, mencoba melihat realitas
sosial pendidikan Islam yang terjadi pada remaja yang belum memiliki kesadaran Ilahiyah untuk
berbuat kebaikan.
Harapan dari penelitian ini yakni mengetahui pelaksanaan nilai-nilai profetik di dalam
lingkungan kampus Universitas Ahmad Dahlan maupun di kehidupan masyarakat. Dijalankannya
program pendidikan nilai-nilai profetik itu agar dengan pengalaman spiritual yang dirasakan
langsung oleh para mahasiswa yang dapat berdampak positif terhadap karakteristik dan
kepribadian.
A. Pengilmuan Islam Menuju Paradigma Islam
Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-
metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari tauhid,
akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan
sejarah. Cara pandang lain dalam menyelesaikan permasalahan umat adalah “Islam Kontekstual”.
“Islam kontekstual menjadi popular di Indonesia lewat Munawir Sjadzali, Menteri Agama RI
tahun 1983-1993. Selain itu, ada pula konsep yang dikenal dengan istilah “Islam Profetik” yang
mencoba merekonstruksi cara pandang terhadap keteladanan Rosulullah Muhammad SAW.
Bahwa pemaknaan terhadap keteladanan perilaku Nabi harus elastis, komprehensif, substansial,
dan kontekstual Bahwa yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya
yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup.
1. Demistifikasi Islam
Menurut Kuntowijoyo terdapat tiga model utama yang semuanya berusaha kembali pada
teks, yaitu Dekodifikasi (Penjabaran), Islamisasi Pengetahuan, dan Demistifikasi (Peniadaan
Mistik). Maksud dekodifikasi adalah Islam yang bersumberkan pada teks (Al-Qur’an dan Hadits)
dijabarkan ke dalam teks (Tafsir, Tasawuf dan Fiqih) dengan tujuan agar Islam tetap konsisten
sesuai kondisi umat dan keadaan zaman. (2006 : 6). Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sebenarnya
teori Islamisasi pengetahuan yang disampaikan oleh al-Attas dan al-Faruqi pada hakikatnya adalah
gerakan dari konteks ke teks. Artinya Islam sebagai sistem terkesan dimuatkan ke dalam dimensi
pengetahuan tanpa menghilangkan kekhasan Islam. Dan Islamisasi Pengetahuan bermaksud
supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar karena umat Islam belum
mempunyai metode-metode sendiri, dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu
Tauhid. Karena dengan itu aka ada tiga kesatuan yakni pertama kesatuan pengetahuan, yaitu
pengetahuan harus menuju pada kebenaran yang satu. Kedua kesatuan hidup, yaitu terhapusnya
perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Ketiga kesatuan sejarah, yaitu
pengetahuan harus mengabdi pada umat dan manusia. (2006 : 7).
Sebagai langkah dalam menerapkan teks Al-Qur’an dalam realitas masa kini tanpa
mengubah strukturnya Kuntowijoyo mengenalkan metode yang dinamakannya strukturalisme
transedental. Hal ini mendasarkan metode penerapan realitas mesti mendekati citra ideal atau
formulasi penerapannya sesuai dengan nilai-nilai ruhaniyah. Hal itu dilakukan karena
Kuntowijoyo menganggap bahwa Islam mampu untuk mengubah diri sendiri (transformasi) tanpa
kehilangan keutuhannya sebagai sebuah struktur yang jelas.
3. Humaniora Dalam Al-Qur’an
Kuntowijoyo menyebutkan terdapat tiga macam ilmu dalam Al-Qur’an sesuai dengan
firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 53, yaitu: Pertama adalah ilmu kauniyah, yaitu ilmu-
ilmu alam atau nomothetic. Kedua adalah ilmu qauliyah, yaitu ilmu-ilmu Al-qur’an atau
theological. Ketiga adalah ilmu nafsiyah, yaitu ilmu berkenaan dengan makna, nilai dan
kesadaran. Yang menurut Kuntowijoyo disebut dengan istilah humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan, hermeneutical).
Epistimologi paradigma islam merupakan salah satu pembahasan yang amat penting dalam
mengkaji Islam sebagai ilmu dalam buku yang ditulis oleh Kunto Wijoyo. Dalam materi ini akan
dibahas pula bentuk bentuk-epistemologi paradigma islam. Menurut yang saya baca, pembaca
harus dapat mengerti terlebih dahulu point-point yang ada di dalam buku ini yaitu; Strukturalisme
transendental, Struktur, Strukturalisme, Transendental, Strukturalisme Transendental.
Strukturalisme Transendental sebagau metode sesuai dengan keperluan Islam masa kini dan disini.
Agenda tersebut terdiri dari enam kesadaran: 1. Kesadaran adanya perubahan, 2. Kesadaran
kolektif, 3. Kesadaran sejarah, 4. Kesadaran adanya fakta sosial, 5. Kesadaran adanya masyarakat
abstrak, dan 6. Kesadaran perlunya objektivikasi.
Diterjemahkan dari Webster’s New International Dictionary, Struktur berasal dari bahasa
Latin structure yang artinya bangunan, dari kata structus atau sture yang berarti menyusun.
(Kuntojiwo, 2006:29) Menurut jean Piaget dalam structuralism ( New York: Harper & Row,
Publisher, 1970) menyebut tiga ciri dari struktur, yaitu 1. wholeness (keseluruhan); 2.
transformation (perubahan bentuk); dan 3. self-regulation ( mengatur diri sendiri).
Strukturalisme dapat ditemukan dalam metode linguistik yang dipakai oleh Ferdinand de
Saussure dan dikukuhkan dalam kuliah-kuliahnya di Jenewa sejak 1906. Dari metode
strukturalisme ialah perhatiannya pada keseluruhan, pada totalitas. Strukturalisme memperhatikan
unsur – unsur yang sinkronis sesuai dengan keperluan kita. Disini kita akan membicarakan ciri
pertama, kedua, dan ketiga.
Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme transendental akan sangat berguna bagi ilmu alam,
kemanusiaan, dan agama, untuk menyadari adanya totalitas Islam dan adanya perubahan-
perubahan. Memiliki empat point penting yaitu, Kesadaran sejarah, Kesadaran adanya fakta sosial,
Kesadaran adanya masyarakat abstrak, dan terakhir Kesadaran perlunya objektifikasi.
Dalam metodologi pengilmuan islam ada dua metodologi yang dipakai sebagai proses
pengilmuan islam yaitu integralisasi dan objektifikasi. Integralisali yaitu penyatuan kekayaan
keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk allah dalam al-qur’an beserta pelaksanaannya sesuai
sunnah Nabi). Objektifikasi yaitu menjadikan pengilmuan islam sebagai rahmat untuk semua
orang, yang artinya tidak hanya untuk orang-orang islam atau yang beriman saja tetapi juga untuk
semua agama (rahmatan lil ‘alamin) (Kuntowijoyo, 2016: 49)
1. Integralisasi
Dalam pengilmuan islam menuurut Kuntowijoyo, ada perbedaan paradigmatik antara ilmu-
ilmu sekular dan ilmu-ilmu integralistik, yaitu ilmu-ilmu sekular sebagai normal sciences
sedangkan ilmu-ilmu integralistik yaitu ilmu yang sebagai suatu revolusi pengilmuan. Ilmu-ilmu
integralistik juga bisa dikatakan bahwa kedudukannya mirip dengan keilmuan sosial yang exis
terhadap ilmu sosial barat yang dianggap kapitalistis. Pendapatnya yaitu “ilmu-ilmu secular adalah
produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik (nantinya) adalah produk
bersama seluruh manusia beriman”.
Ilmu-ilmu sekular yaitu ilmu-ilmu yang diawali dari filsafat, antroposentrisme, diferensiasi
yang akhirnya menjadi ilmu sekular. Yang demikian juga menjadi alur pertumbuhan ilmu-ilmu
sekular.
1. Filsafat yaitu asal tempat ilmu-ilmuu sekular asal modernisme dalam filsafat. Filsafat juga
menjadi rasionalisme yang muncul pada abad ke 15/16 yang menolak teosentrisme abad
tengah. Filsafat juga dapat disebut sebagai hasil pemikiran manusia yang berrdasarkan
wahyu allah.
2. Antroposentrisme yaitu merupakan rasionalisme manusia yang menempati kedudukan
yang tinggi. Yang mana manusia menjadi pusaat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan
penngetahuan. Manusia menjadi pencipta ilmu-ilmu pelaksana, dan konsumen produk
manusia sendiri maksudnya yang dihasilkan manusia dinikmati juga oleh manusia itu
sendiri.
3. Diferensiasi yaitu waktu manusia menganggap bahwa dirinya menjaddi pusat, terjadilah
sebuah diferensiasi (pemisah). Maka saat itu lah etika, kebijaksanaan, dan pengilmuan
tidak lagi berdasarkan pada wahyu yuhan. Sehingga terjadilah pemisahan antara kegiatan
ekonomi, politik, hukum, dan ilmu dari agama (Ibid, 2016:49-51)
Selain itu yang dimaksud dengan ilmu sekular yaitu mengaku diri sebagai objektif, atau bebas dari
kepentingan lainnya. Tetapi dalam kasus ini ilmu itu sendiri sudah melampaui batas dirinya
sendiri, maksudnya yaitu ilmu itu sendiri menjadi memperbudak manusia sehingga manusia
bergantung dengan ilmu itu sendiri dan tidak lagi bergantung pada wahyu tuhan sebagai petunjuk
hidupnya, serta ilmu itu menggantikan kedudukan wahyu tuhan yang mana sebagai petunjuk
kehidupan manusia. Awal mula munculnya sekularisme karena adanya pengklaiman yang
berlebihan dari ilmu. Lalu munculnya hal tersebutpun karena antroposentrisme dan diferensiasi
filsafat. Bahkan dunia yang sekular diramalkan oleh ilmu tentang masa depan nya manusia, peran
antroposentrisme dan diferensiasi terbatas dalam ilmu dan perilaku di zaman dulu, tetapi dizaman
sekarang yang munculnya zaman sekularisme menjadikan aliran pemikiran, serta menggantikan
agama (Ibid, 2016: 52). Berbeda dengan alur pertumbuhan pada ilmu ilmu integralistik yang mana
adanya ilmu integralistik karena adanya agama, berikut alurnya; agama, teoantroposentrisme,
dediferensiasi, lalu ilmu integralistik.
1. Agama yaitu al-qur’an yang merupakan wahyu tuhan, yang merupakan pedoman hidup
manusia sehingga al-qur’an menjadi pengatur kehidupan serta menjadi pengatur hubungan
manusia dengan tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab yang
diturunkan sebagai petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi setidaknya Grand
Theory (e.g., sistem ekonomi).
2. Teoantroposentrisme, agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika,
hukum, kebijaksanaan, serta sedikit pengetahuan. Tetapi agama tidak pernah mengklaim
atau menjadikan wahyu tuhan sebagai sumber pengetahuan satu-satunya, lalu melupakan
kecerdasan kemampuan manusia atau bahkan sebaliknya yang menganggap pemikiran
manusia yang sebagai saatu-satunya sumber pengetahuan sehingga melupakan tuhan.
3. Dediferensiasi yaitu modernisme yang menghendaki diferensiasi yang sudah tidak lagi
sesuai dengan semangat zaman saat ini. Jika diferensiasi menghendaki sebuah pemisahan
antara agama dan sector-sektor kehidupan lain, maka diferensiasi itu sendiri pun yang
menjadi penyatu kembali antara agama dan sector-sektor kehidupan lain termasuk antara
agama dan ilmu.
4. Ilmu integralistik yaitu ilmu yang menyatukan antara wahyu tuhan dengan penemuan
pemikiran manusia, ilmu integrasi tidak akan mengucilkan tuhan atau sebaliknya
(mengucilkan manusia) (Ibid, 2016: 53-55)
2. Objektifikasi
Objektifikasi itu sendiri pun bermula dari internalisasi nilai, bukan bermula dari objektifikasi
kondiri objek, atau objektifikasi juga bisa dikatakan sebagai penerjemahan nilai-nilai internal ke
dalam kategori-kategori objek (Ibid, 2016: 61). Dalam islam ada kategori objektif yang hukumnya
dalam islam itu mubah yang artinya jika dikerjakan atau tidak itu tidak mendapat pahala maupun
mendapat dosa atau dalam istilahnya dikerjakan atau tidak itu tidak masalah. Objektivitas atau
sesuatu yang mubah ini berlaku untuk ketika membeli makanan, mesin, elektronik, bahan
bangunan, kaset musik, majalah, surat kabar, nonton film, sandiwara, olahraga, baca puisi, lukis,
sastra, kerja, naik kendaraan dan sebagainya. Contohnya sebagai aktor dalam film itu tidak perlu
melihat latar belakang agama, daerah dan budaya sang aktor karena semua yang ada dalam adegan
film hanyalah sebuah peran, akting, atau sandiwara sehingga tidak mempengaruhi dunia nyatanya
atau jati dirinya. Begitupun pada tempat umum, tidak perlu mempertanyakan agama lawan bicara
atau orang yang dijumpai karena itu hanya akan memperkeruh suasana sehingga terjadi
perseteruan sedangkan dalam islam saja diajarkan untuk saling toleransi terhadap antar agama
(Ibid, 2016: 60-61). Dalam islam ada ketentuan bahwa orang harus menetapkan hukum
berdasarkan hukum allah yang artinya semua hal-hal dalam kehidupan harus sesuai dengan hukum
islam yaitu berpedoman kepada al-qur’an karena itulah banyak Negara islam menggunakan
sumber hukum berdasarkan al-qur’an. Objektifikasi islam juga tetap menganggap bahwa al-qur’an
adalah sumber hukum. Perbedaannya terletak dalam prosedur tidak dalalm hakikat. Objektifikasi
islam akan menjadikan al-qur’an terlebiih dahulu sebagai hukum positif, yang membentuknya atas
persetujuan bersama warga Negara, dengan begituu tidak langsung seluruh syariat islam menjadi
hukum Negara, tetapi melalui objektifikasi (Ibid, 2006: 63-64).
D. Etika Paradigma Islam
Menurut Kuntowijoya (2006:81) menjelaskan bahwa dalam etika paradigma islam yaitu
terdapat empat hal yang akan dibicarakan.
“Pertama, tujuan akhir paradigm Islam. Seperti diketahui ilmu sekular meramalkan
bahwa transformasi kemanusiaan akan menuju kearah masyarakat sekular, seperti terjadi
didunia barat. Semakin dekatnya manusia kepada yang Maha Abadi. Islam menghendaki
adanya transformasi menuju transendensi. Kedua, untuk keperluan keterlibatan itu umat
harus berjuang penuh dalam sejarah kemanusiaan, yaitu humanisasi (memanusiakan
orang), liberasi (membebaskan manusia dari penindasan), dan transendensi (membawa
manusia yang beriman kepada tuhan). Selanjutnya yang ketiga, paradigma Islam akan
menggunakan “methodological abjectivism” artinya, kita sepenuhnya menghormati
objek penelitian, menjadikan objek penelitian sebagai subjek yang mandiri : menghargai
nilai-nilai yang dianut oleh objek penelitian. Paradigm Islam tidak akan bertindak seperti
ilmu secular yang banyak merugikan Islam atas nama objektivitas ilmu. Keempat, hanya
berupa penegasan bahwa paradigm Islam tidak secara apriori menolak ilmu secular,
tempat kebanyakan ilmuan muslim belajar. Paradigma Islam tidak berniat merobohkan
hasil kerja keras kemanusiaan selama berabad-abad itu”.
Menurut Kuntowijoyo paradigma islam dan peradaban modern adalah satu poin yang sangat
penting untuk dipahami , dimana tugas utama paradigma islam ialah melawan sekularisme.
Sekulerisme mempunyai multi efek, merasuk dalam-dalam ke jiwa peradaban, dan sangat
fundamental dalam cara berfikir manusia. Cita-cita renaisans adalah mengembalika lagi
kedaulatan manusia, yang selama berabad-abad telah terampas.
Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan
mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan
karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, motif dan arti dari
masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang
akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan. Transendensi adalah dasar dari
humanisasi dan liberasi. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran
materialistik di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya menuju kesadaran
transendental. Transendensi akan menjadi tolak ukur kemajuan dan kemunduran manusia
III. KESIMPULAN
Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode
dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari tauhid, akan ada
tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah.
Paradigma Islam adalah hasil keilmuan yakni paradigma baru tentang ilmu-ilmu integralistik,
sebagai hasil penyatuan agama dan wahyu dan Islam sebagai ilmu yang merupakan proses
sekaligus sebagai hasil. Ada dua metodelogi yang dipakai dalam proses pengilmuan islam, “ yaitu
integralisasi dan objektifikasi.
Kuntowijoyo menjelaskan, bahwa dalam ilmu-ilmu yang terlahir dari akal budi manusia (Ilmu
Sekuler) diawali dengan filsafat, antroposentrisme, diferensiasi, hingga menjadi ilmu sekuler.
Daftar Pustaka
Muhammad Iqbal, Rekoustruksi Pemikiran Agama Dalam Islam. Terj.Ali Audah dkk. Prolog
Ahmad Syafi’i Ma’rif (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), Hal 204-205
L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde,
Verandering, Ogelijkheid: Een Inleiding in De Geschiedenis van De Sociologie), alih bahasa
Sumekto, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 137.
Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociology, London: Heinemann, 1975, hlm. 3-4
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta:
Kanisius, 1990, hlm. 58.
http://galaxyprop.blogspot.com/2018/02/makalah-tentang-islam-sebagai-ilmu.html / di
unduh tanggal 15 November 2019