Anda di halaman 1dari 17

ISLAM INTERDISIPLINER

ISLAM SEBAGAI ILMU


Disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Islam Interdisipliner
Yang diampu oleh
Bapak Erik Tauvani Somae, S.H.I, M.H.

Penyusun :
Vista Rahayu Agustin (1600026186)
Dyny Wahyu Seputri ( 1600026187)
Livia Traesar (1600026188)
Rima Lestari (1600026189)

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS


FAKULTAS SASTRA, BUDAYA, DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2019
KATA PENGANTAR

Rasa syukur kehadirat Allah SWT. Berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat penulis
selesaikan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini penulis susun untuk materi dan tugas perkuliahan
Islam Interdisipliner di Universitas Ahmad Dahlan yang akan membahas tentang Islam Sebagai
Ilmu yang di kaji oleh Kunto Wijoyo. Sistem pemikiran mengenai Pengilmuan Islam,
Epistimologi Paradigma Islam, Metodologi Pengilmuan Islam, Etika Paradigma Islam, Paradigma
Islam sebagai Kritik Peradaban Modern yang akan kami kupas sebaik mungkin dalam makalah
ini.

. Sebagaimana pepatah yang menyatakan tiada gading yang tak retak, maka makalah ini
pun tiada terbebas dari kekurangan dan kelemahan di dalamnya. Kami memohon maaf apabila ada
kesalahan, dan kami akan menerima kritik serta saran yang membangun makalah ini. Demikianlah,
mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita bersama. Dan terakhir penulis
mengucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 5 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI
1. KATA PENGANTAR...................................................................................... i
2. DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
3. BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1) Latar Belakang. ............................................................................................. 1
4. BAB II ISI ....................................................................................................... 2
2.1 Pengilmuan Islam Menuju Paradigma Islam ................................................ 2
 Demistifikasi ........................................................................................... 2
 Paradigma Al-quran ................................................................................ 3
 Humaniora dalan Al-quran ..................................................................... 4
2.2 Epistimologi Paradigma Islam ...................................................................... 4
 Strukturalisme transcendental ........................................................... 4
2.3 Metodologi Pengilmuan Islam ...................................................................... 4
 Intergralisasi 1 dan 2 ......................................................................... 4
 Objectivikasi 1 dan 2......................................................................... 4
2.4 Etika Paradigma Islam .................................................................................. 7
 Unsur Pengembangan Ilmu Sosial Profetik ..................................... 7
 Kegunaan Ilmu Sosial Profetik ......................................................... 9
2.5 Paradigma IslamSebagai Kritik Peradaban .................................................. 11
 Paradigma silam dan peradaban modern ...........................................
5. BAB III. PENUTUP ........................................................................................
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................
3.2 Saran .............................................................................................................
3.3 Daftar Pustaka ...............................................................................................
BAB I

Pendahuluan

Kuntowijoyo adalah seorang cendekiawan Muslim, pemikiran Kuntowijoyo mengenai


Islam sebagai ilmu yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan ijtihad dari para intelektual
muslim sebelumnya. bermula dari keprihatinannya atas sifat reaktif dari gagasan “Islamisasi
Penge-tahuan”, Kuntowijoyo menawarkan suatu menyikapi dengan sesuatu yang baru dalam
melihat hubungan antara agama Islam dan ilmu. Menurutnya, dalam hal ilmu, gerakan intelektual
Islam harus bergerak dari teks menuju konteks. Usaha ini bersendikan pada Islam sebagai Ilmu
yang merupakan proses sekaligus sebagai hasil.

Nilai-nilai profetik sangat diperlukan dalam upaya transformasi sosial dalam pembelajaran
dan pembiasaan melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran serta bertakwa kepada Allah
sebagai manifestasi dari tanggung jawab profetik itu. Penelitian ini, mencoba melihat realitas
sosial pendidikan Islam yang terjadi pada remaja yang belum memiliki kesadaran Ilahiyah untuk
berbuat kebaikan.

Harapan dari penelitian ini yakni mengetahui pelaksanaan nilai-nilai profetik di dalam
lingkungan kampus Universitas Ahmad Dahlan maupun di kehidupan masyarakat. Dijalankannya
program pendidikan nilai-nilai profetik itu agar dengan pengalaman spiritual yang dirasakan
langsung oleh para mahasiswa yang dapat berdampak positif terhadap karakteristik dan
kepribadian.
A. Pengilmuan Islam Menuju Paradigma Islam

Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-
metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari tauhid,
akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan
sejarah. Cara pandang lain dalam menyelesaikan permasalahan umat adalah “Islam Kontekstual”.
“Islam kontekstual menjadi popular di Indonesia lewat Munawir Sjadzali, Menteri Agama RI
tahun 1983-1993. Selain itu, ada pula konsep yang dikenal dengan istilah “Islam Profetik” yang
mencoba merekonstruksi cara pandang terhadap keteladanan Rosulullah Muhammad SAW.
Bahwa pemaknaan terhadap keteladanan perilaku Nabi harus elastis, komprehensif, substansial,
dan kontekstual Bahwa yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya
yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup.

1. Demistifikasi Islam

Demistifikasi islam atau pengilmuan islam (baca: objektifikasi Islam) barangkali


merupakan satu gagasan baru yang populer disampaikan oleh Kuntowijoyo untuk membaca
hakikat pengetahuan yang dimaksudkan melihat dalam kerangka objektif. Islam sebagai agama
memiliki sumber berupa teks sebagai pedoman bagi kehidupan, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pemahaman atas kedua sumber tersebut semestinya tidak hanya sebatas tekstual semata,
melainkan seharusnya memahaminya sesuai realitas sehari-hari ataupun realitas ilmiah. Dengan
kata lain pemahaman tersebut bersifat dari teks ke konteks.

Menurut Kuntowijoyo terdapat tiga model utama yang semuanya berusaha kembali pada
teks, yaitu Dekodifikasi (Penjabaran), Islamisasi Pengetahuan, dan Demistifikasi (Peniadaan
Mistik). Maksud dekodifikasi adalah Islam yang bersumberkan pada teks (Al-Qur’an dan Hadits)
dijabarkan ke dalam teks (Tafsir, Tasawuf dan Fiqih) dengan tujuan agar Islam tetap konsisten
sesuai kondisi umat dan keadaan zaman. (2006 : 6). Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sebenarnya
teori Islamisasi pengetahuan yang disampaikan oleh al-Attas dan al-Faruqi pada hakikatnya adalah
gerakan dari konteks ke teks. Artinya Islam sebagai sistem terkesan dimuatkan ke dalam dimensi
pengetahuan tanpa menghilangkan kekhasan Islam. Dan Islamisasi Pengetahuan bermaksud
supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar karena umat Islam belum
mempunyai metode-metode sendiri, dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu
Tauhid. Karena dengan itu aka ada tiga kesatuan yakni pertama kesatuan pengetahuan, yaitu
pengetahuan harus menuju pada kebenaran yang satu. Kedua kesatuan hidup, yaitu terhapusnya
perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Ketiga kesatuan sejarah, yaitu
pengetahuan harus mengabdi pada umat dan manusia. (2006 : 7).

Demistifikasi dimaksudkan sebagai gerakan inteleketual untuk menghubungkan kembali


teks dengan konteks (teks ]konteks), supaya antara teks dan konteks ada korespondensi. Dan lebih
lanjut Kuntowijoyo menyebutkan ada lima macam mistik (misteri) yang ada pada umat
Islam. Pertama mistik metafisik, yaitu hilangnya seseorang “dalam” Tuhan yang disebut dengan
sufisme dalam realitas berbentuk kehendak/sifat/akhlak. Kedua mistik sosial, yaitu hilangnya
perorangan dalam satuan yang lebih besar, organisasi, sekte atau masyarakat. Ketiga mistik etis
ialah hilangnya daya seseorang menghadapi nasibnya, menyerah pada takdir atau
fatalism. Keempat mistik penalaran ialah hilangnya nalar seseorang karena kejadian-kejadian di
sekitar yang tidak masuk akal. Kelima mistik kenyataan ialah hilangnya hubungan agama dengan
kenyataan, kenyataan sebuah konteks. (2006 : 9).

2. Paradigma Al-Qur’an untuk Perumusan Teori

Menurut Kuntowijoyo paradigma Al-Qur’an merupakan sebagai rumusan teori yang


memiliki arti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita untuk memahami realitas
sebagaimana Al-Qur’an memahaminya. Sederhananya ini dimaksudkan supaya kita memiliki
hikmah yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai normatif Al-
Qur’an baik pada level moral maupun sosial. Beliau mencoba merumuskan desain besar sistem
Islam yang di dalamnya termasuk konstruksi ilmu pengetahuan. Kuntowijoyo melakukan sebuah
pendekatan yang dikatakannya sintetik analitik sebagai upaya menganalisis teks-teks suci Al-
Qur’an sehingga menghasilkan analisa yang objektif dan nantinya diharapkan bisa menjadi bahan
elaborasi terhadap konstruk-konstruk Al-Quran.

Sebagai langkah dalam menerapkan teks Al-Qur’an dalam realitas masa kini tanpa
mengubah strukturnya Kuntowijoyo mengenalkan metode yang dinamakannya strukturalisme
transedental. Hal ini mendasarkan metode penerapan realitas mesti mendekati citra ideal atau
formulasi penerapannya sesuai dengan nilai-nilai ruhaniyah. Hal itu dilakukan karena
Kuntowijoyo menganggap bahwa Islam mampu untuk mengubah diri sendiri (transformasi) tanpa
kehilangan keutuhannya sebagai sebuah struktur yang jelas.
3. Humaniora Dalam Al-Qur’an

Kuntowijoyo menyebutkan terdapat tiga macam ilmu dalam Al-Qur’an sesuai dengan
firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 53, yaitu: Pertama adalah ilmu kauniyah, yaitu ilmu-
ilmu alam atau nomothetic. Kedua adalah ilmu qauliyah, yaitu ilmu-ilmu Al-qur’an atau
theological. Ketiga adalah ilmu nafsiyah, yaitu ilmu berkenaan dengan makna, nilai dan
kesadaran. Yang menurut Kuntowijoyo disebut dengan istilah humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan, hermeneutical).

B. Epistemologi Paradigma Islam

Epistimologi paradigma islam merupakan salah satu pembahasan yang amat penting dalam
mengkaji Islam sebagai ilmu dalam buku yang ditulis oleh Kunto Wijoyo. Dalam materi ini akan
dibahas pula bentuk bentuk-epistemologi paradigma islam. Menurut yang saya baca, pembaca
harus dapat mengerti terlebih dahulu point-point yang ada di dalam buku ini yaitu; Strukturalisme
transendental, Struktur, Strukturalisme, Transendental, Strukturalisme Transendental.

Strukralisme Transendental Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme transendental akan


sangat berguna bagi ilmu alam, kemanusiaan, dan agama, untuk menyadari adanya totalitas Islam
dan adanya perubahan-perubahan. Karena kata Kuntowijoyo, soal terbesar dalam Islam adalah
bagaimana mengikuti perubahan danpa kehilangan jati dirinya sebagai agama yang kaffah,
menyeluruh. Agar agama sesuai dengan perubahan-perubahan, maka diperlukanlah agenda baru
supaya unsur muamalahnya (suatu yang dapat berubah) tidak ketinggalan zaman. Dan agenda baru
itu dapat menjadi lahan bagi ijtihad.

Strukturalisme Transendental sebagau metode sesuai dengan keperluan Islam masa kini dan disini.
Agenda tersebut terdiri dari enam kesadaran: 1. Kesadaran adanya perubahan, 2. Kesadaran
kolektif, 3. Kesadaran sejarah, 4. Kesadaran adanya fakta sosial, 5. Kesadaran adanya masyarakat
abstrak, dan 6. Kesadaran perlunya objektivikasi.

Diterjemahkan dari Webster’s New International Dictionary, Struktur berasal dari bahasa
Latin structure yang artinya bangunan, dari kata structus atau sture yang berarti menyusun.
(Kuntojiwo, 2006:29) Menurut jean Piaget dalam structuralism ( New York: Harper & Row,
Publisher, 1970) menyebut tiga ciri dari struktur, yaitu 1. wholeness (keseluruhan); 2.
transformation (perubahan bentuk); dan 3. self-regulation ( mengatur diri sendiri).

Keseluruhan atau wholeness merupakan suatukoherensi (keterpaduan). Susuana struktur


itu sudah lengkap, dan struktur bukan semata – mata terdiri dari kumpulan unsur-unsur yang lepas.
Perubahan bentuk atau transformasi. Struktur itu tidaklah statis karenanya gagasan mengenai
perubahan bentuk itu menjadi penting. Struktur dapat memperkaya diri dengan menambah bahan
bahan baru. Mengatur diri sendiri atau self merupakan penambahan unsur – unsur baru tidak
pernah berada di luar struktur, tetapi tetap memelihara struktur. Dengan demikian , suatu struktur
itu melestarikan diri sendiri dan tertutup dari kemungkinan pengaruh luar.

Strukturalisme dapat ditemukan dalam metode linguistik yang dipakai oleh Ferdinand de
Saussure dan dikukuhkan dalam kuliah-kuliahnya di Jenewa sejak 1906. Dari metode
strukturalisme ialah perhatiannya pada keseluruhan, pada totalitas. Strukturalisme memperhatikan
unsur – unsur yang sinkronis sesuai dengan keperluan kita. Disini kita akan membicarakan ciri
pertama, kedua, dan ketiga.

Inter-connectedness, ketertkaitan sangat ditekankan dalam islam misalnya keterkaitan


antara puasa dan zakat, hubungan vertikal (dengan Tuhan) dengan hubungan horizontal (antar
manusia), dan antara sholat dengan solidaritas sosial. Innate structuring capacity, dalam islam,
tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam. Sesudah itu ada deep
structure, yaitu aqidah, ibadah, akhlak, syari’ah, dan muamalah. Binary opposition, adalah dua
gejala yang saling bertentangan juga terdapat di dalam ajaran islam, yaitu pasangan (azwaj) dan
musuh (‘adduwum) yang masing masing menghasilkan equilibrium dan konflik.

Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme transendental akan sangat berguna bagi ilmu alam,
kemanusiaan, dan agama, untuk menyadari adanya totalitas Islam dan adanya perubahan-
perubahan. Memiliki empat point penting yaitu, Kesadaran sejarah, Kesadaran adanya fakta sosial,
Kesadaran adanya masyarakat abstrak, dan terakhir Kesadaran perlunya objektifikasi.

Kesadaran sejarah ialah conntinuun dari kesadaran individual ke kesadaran kolektif ke


kesadaran sejarah. Kedua, Kesadaran adanya fakta sosial bila orang hanya sampai pada kesadaran
individual pastilah sistem pengetahuannya hanya sampai fakta individual. Ketiga, kesadaran
adanya masyarakat abstrak di dalam masyarakat peralatan pra industrial, orang hidup dalam
masyarakat konkret, riil, hubungan orang dengan orang, dan hubungan muka ke muka. Dan yang
terakhir, Kesadaran perlunya objektivikasi masyarakat industrial juga semakin plural, dan umat
harus bisa menerima pluralisme itu sebagai konsekuensi dari masyarakat kebangsaan.

C. Metodologi pengilmuan islam

Dalam metodologi pengilmuan islam ada dua metodologi yang dipakai sebagai proses
pengilmuan islam yaitu integralisasi dan objektifikasi. Integralisali yaitu penyatuan kekayaan
keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk allah dalam al-qur’an beserta pelaksanaannya sesuai
sunnah Nabi). Objektifikasi yaitu menjadikan pengilmuan islam sebagai rahmat untuk semua
orang, yang artinya tidak hanya untuk orang-orang islam atau yang beriman saja tetapi juga untuk
semua agama (rahmatan lil ‘alamin) (Kuntowijoyo, 2016: 49)

1. Integralisasi

Dalam pengilmuan islam menuurut Kuntowijoyo, ada perbedaan paradigmatik antara ilmu-
ilmu sekular dan ilmu-ilmu integralistik, yaitu ilmu-ilmu sekular sebagai normal sciences
sedangkan ilmu-ilmu integralistik yaitu ilmu yang sebagai suatu revolusi pengilmuan. Ilmu-ilmu
integralistik juga bisa dikatakan bahwa kedudukannya mirip dengan keilmuan sosial yang exis
terhadap ilmu sosial barat yang dianggap kapitalistis. Pendapatnya yaitu “ilmu-ilmu secular adalah
produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik (nantinya) adalah produk
bersama seluruh manusia beriman”.

Ilmu-ilmu sekular yaitu ilmu-ilmu yang diawali dari filsafat, antroposentrisme, diferensiasi
yang akhirnya menjadi ilmu sekular. Yang demikian juga menjadi alur pertumbuhan ilmu-ilmu
sekular.

1. Filsafat yaitu asal tempat ilmu-ilmuu sekular asal modernisme dalam filsafat. Filsafat juga
menjadi rasionalisme yang muncul pada abad ke 15/16 yang menolak teosentrisme abad
tengah. Filsafat juga dapat disebut sebagai hasil pemikiran manusia yang berrdasarkan
wahyu allah.
2. Antroposentrisme yaitu merupakan rasionalisme manusia yang menempati kedudukan
yang tinggi. Yang mana manusia menjadi pusaat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan
penngetahuan. Manusia menjadi pencipta ilmu-ilmu pelaksana, dan konsumen produk
manusia sendiri maksudnya yang dihasilkan manusia dinikmati juga oleh manusia itu
sendiri.
3. Diferensiasi yaitu waktu manusia menganggap bahwa dirinya menjaddi pusat, terjadilah
sebuah diferensiasi (pemisah). Maka saat itu lah etika, kebijaksanaan, dan pengilmuan
tidak lagi berdasarkan pada wahyu yuhan. Sehingga terjadilah pemisahan antara kegiatan
ekonomi, politik, hukum, dan ilmu dari agama (Ibid, 2016:49-51)

Selain itu yang dimaksud dengan ilmu sekular yaitu mengaku diri sebagai objektif, atau bebas dari
kepentingan lainnya. Tetapi dalam kasus ini ilmu itu sendiri sudah melampaui batas dirinya
sendiri, maksudnya yaitu ilmu itu sendiri menjadi memperbudak manusia sehingga manusia
bergantung dengan ilmu itu sendiri dan tidak lagi bergantung pada wahyu tuhan sebagai petunjuk
hidupnya, serta ilmu itu menggantikan kedudukan wahyu tuhan yang mana sebagai petunjuk
kehidupan manusia. Awal mula munculnya sekularisme karena adanya pengklaiman yang
berlebihan dari ilmu. Lalu munculnya hal tersebutpun karena antroposentrisme dan diferensiasi
filsafat. Bahkan dunia yang sekular diramalkan oleh ilmu tentang masa depan nya manusia, peran
antroposentrisme dan diferensiasi terbatas dalam ilmu dan perilaku di zaman dulu, tetapi dizaman
sekarang yang munculnya zaman sekularisme menjadikan aliran pemikiran, serta menggantikan
agama (Ibid, 2016: 52). Berbeda dengan alur pertumbuhan pada ilmu ilmu integralistik yang mana
adanya ilmu integralistik karena adanya agama, berikut alurnya; agama, teoantroposentrisme,
dediferensiasi, lalu ilmu integralistik.

1. Agama yaitu al-qur’an yang merupakan wahyu tuhan, yang merupakan pedoman hidup
manusia sehingga al-qur’an menjadi pengatur kehidupan serta menjadi pengatur hubungan
manusia dengan tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab yang
diturunkan sebagai petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi setidaknya Grand
Theory (e.g., sistem ekonomi).
2. Teoantroposentrisme, agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika,
hukum, kebijaksanaan, serta sedikit pengetahuan. Tetapi agama tidak pernah mengklaim
atau menjadikan wahyu tuhan sebagai sumber pengetahuan satu-satunya, lalu melupakan
kecerdasan kemampuan manusia atau bahkan sebaliknya yang menganggap pemikiran
manusia yang sebagai saatu-satunya sumber pengetahuan sehingga melupakan tuhan.
3. Dediferensiasi yaitu modernisme yang menghendaki diferensiasi yang sudah tidak lagi
sesuai dengan semangat zaman saat ini. Jika diferensiasi menghendaki sebuah pemisahan
antara agama dan sector-sektor kehidupan lain, maka diferensiasi itu sendiri pun yang
menjadi penyatu kembali antara agama dan sector-sektor kehidupan lain termasuk antara
agama dan ilmu.
4. Ilmu integralistik yaitu ilmu yang menyatukan antara wahyu tuhan dengan penemuan
pemikiran manusia, ilmu integrasi tidak akan mengucilkan tuhan atau sebaliknya
(mengucilkan manusia) (Ibid, 2016: 53-55)
2. Objektifikasi

Objektifikasi itu sendiri pun bermula dari internalisasi nilai, bukan bermula dari objektifikasi
kondiri objek, atau objektifikasi juga bisa dikatakan sebagai penerjemahan nilai-nilai internal ke
dalam kategori-kategori objek (Ibid, 2016: 61). Dalam islam ada kategori objektif yang hukumnya
dalam islam itu mubah yang artinya jika dikerjakan atau tidak itu tidak mendapat pahala maupun
mendapat dosa atau dalam istilahnya dikerjakan atau tidak itu tidak masalah. Objektivitas atau
sesuatu yang mubah ini berlaku untuk ketika membeli makanan, mesin, elektronik, bahan
bangunan, kaset musik, majalah, surat kabar, nonton film, sandiwara, olahraga, baca puisi, lukis,
sastra, kerja, naik kendaraan dan sebagainya. Contohnya sebagai aktor dalam film itu tidak perlu
melihat latar belakang agama, daerah dan budaya sang aktor karena semua yang ada dalam adegan
film hanyalah sebuah peran, akting, atau sandiwara sehingga tidak mempengaruhi dunia nyatanya
atau jati dirinya. Begitupun pada tempat umum, tidak perlu mempertanyakan agama lawan bicara
atau orang yang dijumpai karena itu hanya akan memperkeruh suasana sehingga terjadi
perseteruan sedangkan dalam islam saja diajarkan untuk saling toleransi terhadap antar agama
(Ibid, 2016: 60-61). Dalam islam ada ketentuan bahwa orang harus menetapkan hukum
berdasarkan hukum allah yang artinya semua hal-hal dalam kehidupan harus sesuai dengan hukum
islam yaitu berpedoman kepada al-qur’an karena itulah banyak Negara islam menggunakan
sumber hukum berdasarkan al-qur’an. Objektifikasi islam juga tetap menganggap bahwa al-qur’an
adalah sumber hukum. Perbedaannya terletak dalam prosedur tidak dalalm hakikat. Objektifikasi
islam akan menjadikan al-qur’an terlebiih dahulu sebagai hukum positif, yang membentuknya atas
persetujuan bersama warga Negara, dengan begituu tidak langsung seluruh syariat islam menjadi
hukum Negara, tetapi melalui objektifikasi (Ibid, 2006: 63-64).
D. Etika Paradigma Islam
Menurut Kuntowijoya (2006:81) menjelaskan bahwa dalam etika paradigma islam yaitu
terdapat empat hal yang akan dibicarakan.

“Pertama, tujuan akhir paradigm Islam. Seperti diketahui ilmu sekular meramalkan
bahwa transformasi kemanusiaan akan menuju kearah masyarakat sekular, seperti terjadi
didunia barat. Semakin dekatnya manusia kepada yang Maha Abadi. Islam menghendaki
adanya transformasi menuju transendensi. Kedua, untuk keperluan keterlibatan itu umat
harus berjuang penuh dalam sejarah kemanusiaan, yaitu humanisasi (memanusiakan
orang), liberasi (membebaskan manusia dari penindasan), dan transendensi (membawa
manusia yang beriman kepada tuhan). Selanjutnya yang ketiga, paradigma Islam akan
menggunakan “methodological abjectivism” artinya, kita sepenuhnya menghormati
objek penelitian, menjadikan objek penelitian sebagai subjek yang mandiri : menghargai
nilai-nilai yang dianut oleh objek penelitian. Paradigm Islam tidak akan bertindak seperti
ilmu secular yang banyak merugikan Islam atas nama objektivitas ilmu. Keempat, hanya
berupa penegasan bahwa paradigm Islam tidak secara apriori menolak ilmu secular,
tempat kebanyakan ilmuan muslim belajar. Paradigma Islam tidak berniat merobohkan
hasil kerja keras kemanusiaan selama berabad-abad itu”.

a) Unsur-unsur Ilmu Sosial Profetik


1. Amar Ma’ruf (Humanisasi)
Amar ma’ruf dalam bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja dari yang sangat individual seperti
berdoo’a, berzikir, dan shalat, sampai yang semi sosial sedangkan humanitas berarti makhluk
manusia, kondisi menjadi manusia jadi humanisasi artinya memanusiakan manusia,
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.
Humanisasi dapat dilakukan dengan melakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan
pemecahannya seperti penelitian : Dehumanisasi (Jacques Ellul : 1964), Agresivitas (agresivitas
kolektif dan kriminalitas), ada kondisi structural mengapa sebuah perilaku kolektif terjadi. (Neil
Smelser :1961), Loneliness (Privatisasi, individuasi), untuk menggambarkan masyarakat kota
karena individuasi atau privatisasi, penduduk kota meskipun bergerombol sebenarnya mereka
hidup sendiri-sendiri. (David Riesman).
2. Liberasi (nahi munkar)
Liberasi berasal dari bahasa latin Liberare yang berarti memerdekakan, artinya pembebasan
semuanya dengan konotasi yang mempunyai signifikansi sosial. Sasaran liberasi yaitu :
1. Sistem pengetahuan, yaitu usaha-usaha untuk membebaskan orang dari system pengetahuan
materialistis , dari dominasi struktur, misalnya dari kelas dan seks.
2. System sosial, karena pada umumnya umat sedang keluar dari system sosial agraris menuju system
sosial industrial, transformasi ini sudah berjalan sejak awal abad ke 20.
3. Sistem ekonomi, membebaskan umat dari kesenjangan ekonomi seperti yang tedapat dalam QS.
Al-Hasyr (59) 7; yang berbunyi : supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya
diantara kamu.

4. Liberasi politik, berarti membebaskan system otoritarianisme, diktator, dan neofeodalisme.


Demokrasi, Ham, dan masyarakat madani yang merupakan tujuan Islam.

3. Transendensi (tu’minuna billah)


Kata transendensi berasal dari bahasa latin trancendere berarti naik keatas dalam bahasa inggris
to transcend ialah menembus, melewati, melampaui, artinya perjalanan di atas atau di luar.
Bagi umat Islam transendensi berarti beriman kepada Allah, kedua unsure ilmu sosial profetik
(humanisasi dan liberasi) harus mempunyai rujukan Islam yang jelas. Menurut Fromm siapa yang
tidak menerima otoritas Tuhan akan mengikuti : Relativisme penuh, dimana nilai dan norma
sepenuhnya adalah urusan pribadi. Nilai tergantung pada masyarakat sehingga nilai dari golongan
yang dominan akan menguasai, Nilai tergantung pada kondisi biologis, sehingga darwinisme
sosial, egoism, kompetisi dan agresivitas adalah nilai-nilai kebajikan Untuk itu umat. Islam harus
meletakkan Allah sebagai pemegang otoritas, Tuhan yang maha objektif dengan 99 nama indah.

Tujuan Ilmu Sosial Profetik


Ilmu sosial profetik bertujuannya lebih pada usaha untuk proses transformasi sosial. Ilmu
sosial tidak boleh tinggal diam atau value neutral tapi berpihak, dengan semangat inilah ilmu sosial
profetik digulirkan. (Iqbal, 2002: 213). Nilai-nilai profetik Kuntowijoyo mencerminkan proses
pendidikan, dengan klasifikasinya humanisasi kegiatan yang mampu mengembangkan
psikomotorik dan rasa kepedulian sosial. Kemudian, liberasi merupakan pendidikan akal pikiran,
dan transendensi merupakan pendidikan hati nurani yang melambung karena akidah serta
pengalaman spiritual.

Nilai-nilai profetik Kuntowijoyo (2006:83) mencerminkan proses pendidikan, dengan klasifikasi


humanisasi sebagai bentuk kegiatan psikomotorik individu, liberasi sebagai pendidikan akal,
sedangkan transendensi sebagai melambungkan hati, akidah, dan keyakinan spiritual. Ilmu sosial
selama ini telah terlanjur dikembangkan dengan suatu asumsi bahwa ilmu dan agama adalah dua
hal yang terpisah yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan ilmu sosial. Asumsi inilah yang
hingga saat ini masih dipegang oleh para ilmuwan sosial, terutama yang berhaluan dengan
positivisme. Perkembangan peradaban modernlah yang kemudian memunculkan situasi
perkembangan ilmu sosial semacam ini. Akibat kemunculan peradaban modern yang diawali
dengan konflik hebat antara ilmu pengetahuan dan gereja, ilmu sosial yang terlahir dari perhelatan
ini kemudian menolak agama sebagai bagian dari ilmu. Itu sebabnya, modernisme juga bisa
dikatakan differentiation (pemisahan).
E. Paradigma Islam Sebagai Kritik Peradaban Modern

Menurut Kuntowijoyo paradigma islam dan peradaban modern adalah satu poin yang sangat
penting untuk dipahami , dimana tugas utama paradigma islam ialah melawan sekularisme.
Sekulerisme mempunyai multi efek, merasuk dalam-dalam ke jiwa peradaban, dan sangat
fundamental dalam cara berfikir manusia. Cita-cita renaisans adalah mengembalika lagi
kedaulatan manusia, yang selama berabad-abad telah terampas.

Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan
mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan
karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, motif dan arti dari
masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang
akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan. Transendensi adalah dasar dari
humanisasi dan liberasi. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran
materialistik di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya menuju kesadaran
transendental. Transendensi akan menjadi tolak ukur kemajuan dan kemunduran manusia
III. KESIMPULAN

Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode
dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari tauhid, akan ada
tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah.

Paradigma Islam adalah hasil keilmuan yakni paradigma baru tentang ilmu-ilmu integralistik,
sebagai hasil penyatuan agama dan wahyu dan Islam sebagai ilmu yang merupakan proses
sekaligus sebagai hasil. Ada dua metodelogi yang dipakai dalam proses pengilmuan islam, “ yaitu
integralisasi dan objektifikasi.

integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu. Sedangkan


objektifikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang .

Kuntowijoyo menjelaskan, bahwa dalam ilmu-ilmu yang terlahir dari akal budi manusia (Ilmu
Sekuler) diawali dengan filsafat, antroposentrisme, diferensiasi, hingga menjadi ilmu sekuler.
Daftar Pustaka

Muhammad Iqbal, Rekoustruksi Pemikiran Agama Dalam Islam. Terj.Ali Audah dkk. Prolog
Ahmad Syafi’i Ma’rif (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), Hal 204-205

L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde,
Verandering, Ogelijkheid: Een Inleiding in De Geschiedenis van De Sociologie), alih bahasa
Sumekto, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 137.

Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociology, London: Heinemann, 1975, hlm. 3-4
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta:
Kanisius, 1990, hlm. 58.

http://galaxyprop.blogspot.com/2018/02/makalah-tentang-islam-sebagai-ilmu.html / di
unduh tanggal 15 November 2019

Anda mungkin juga menyukai