Anda di halaman 1dari 8

IRI, DENGKI, DAN KESENJANGAN KELUARGA

Ayahku adalah salah satu sosok hebat yang paling berkesan di hidupku. Ia merupakan
pria keturunan Sampit yang memutuskan untuk merantau demi pendidikan dan pekerjaan. Ia
juga merupakan sosok yang cerdas. Setelah bertahun-tahun menikahi ibuku dan dikaruniai 2
orang anak, ayahku mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikannya di Jerman
yang akhirnya membuat ibu dan kakak-kakakku yang masih kecil ikut serta pergi
meninggalkan Indonesia dengan kurun waktu yang cukup lama, kurang lebih 5 tahun. Mereka
yang merupakan orang asli Indonesia terpaksa harus menyesuaikan diri dengan tempat, bahasa,
budaya, dan kebiasaan orang Barat.

Semua perjalanan hidup mereka tempuh dengan suka cita, kedua kakakku yang masih
TK dan SD melanjutkan sekolahnya di Jerman, yang membuat mereka harus menyesuaikan
dengan bahasa yang bahkan saat itu mereka tidak pernah mengenalnya sekalipun, ayah serta
ibuku pun melanjutkan pendidikannya di sana, dan kursus berbahasa Jerman.

Saat itu, ibuku sedang mengandung aku dalam rahimnya. Itu pula yang menyebabkan
ibuku memutuskan tidak melanjutkan pendidikannya di sana, karena ingin fokus merawat
anak-anaknya yang masih kecil dan aku yang masih ada dalam kandungannya. 29 Oktober
2002 aku pun terlahir dengan proses normal. Kelahiranku lumayan terkenal di Freiburg, daerah
kelahiranku, karena berita kelahiran bayi selalu di tulis di koran daerah. Para tetangga di sana
pun selalu berdatangan membawakan hadiah akan kelahiranku. Meskipun kami tidak berasal
dari negara itu, masyarakat sekitar tetap menghormati dan akrab dengan keluargaku.

Saat di sana pun aku sudah berkeliling negeri-negeri di Eropa, karena setiap minggu
keluargaku selalu mengadakan piknik ke luar daerah. Bepergian keliling Eropa cukup mudah
karena transportasi yang mudah di dapatkan, kami bepergian menggunakan straβenbahn atau
yang kita kenal sebagai MRT yang kini sudah ada di Jakarta. Meskipun aku masih bayi saat itu
dan sekarang tidak ingat apa-apa tentang kehidupanku di negeri orang, aku cukup bangga
karena dalam riwayat hidupku, aku sudah pernah berkeliling Eropa.

Ya, bisa dibilang kalau aku hanya menumpang lahir di Jerman, karena saat umurku
setahun, aku dititipkan bersama keluarga ayahku di Sampit, Kalimantan Tengah, sedangkan
keluargaku? Mereka kembali ke Jerman dan melanjutkan rutinitasnya. Tapi tak lama setelah
itu, ayahku menyelesaikan pendidikannya, dan beasiswa pun sudah berhenti. Akhirnya
keluargaku kembali ke Indonesia, dan tinggal di rumah nenekku di Banjarbaru, sebenarnya
ayah dan ibuku sebelum pergi ke Jerman sudah memiliki rumah di Banjarbaru, tapi karena
pergi ke Jerman, rumahnya pun dijual. Makanya setelah kembali ke Banjarbaru, kami tidak
memiliki tempat tinggal tetap.

Tak lama kemudian ayah dan ibuku melanjutkan perjalanannya dengan naik haji ke
Makkah. Kakak-kakakku dititipkan di rumah nenekku di Banjarbaru, sedangkan aku masih di
Sampit. Kami semua terpisah. Tapi kakak sulung lelakiku pernah sekali menjenguk aku
sendirian, kami sudah setengah tahun tidak bertemu, ia sangat senang melihatku yang sudah
bisa berjalan dan berlari. Aku dititipkan bersama keluargaku di Sampit selama 8 bulan, tidak
pernah bertemu kakak perempuanku dan orang tuaku lagi saat itu.

Setelah pulang naik haji ibuku langsung menyiapkan diri untuk menjemputku di
Sampit, ia sangat takut. Takut jika aku tidak mengenali ibuku lagi, karena aku ditinggal di usia
1 tahun yang rentan sulit mengenali jika lama tidak bertemu, ibuku sudah menyiapkan foto-
foto, dan barang-barang saat aku bayi untuk berjaga-jaga mengingatkan aku jika aku lupa
dengan ibuku. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, aku yang dipikir melupakan ibuku malah
berlari dan memanggil ibuku saat pertama kali melihat ibuku di halte bus. Kata ibuku, saat itu
aku memeluk erat ibuku sampai tertidur digendongannya. Jelas ibuku sangat senang dan tidak
menyangka kalau aku yang sudah ditinggal selama 8 bulan, masih mengingat ibuku dengan
jelas. Tidak menunda-nunda, ibuku langsung membawaku pergi ke Banjarbaru menemui
keluargaku yang lainnya.

Sesampainya di Banjarbaru, aku sangat disambut oleh keluargaku, terutama kakak


perempuanku yang sudah sangat lama tidak bertemu aku, bahkan saat aku dititipkan di Sampit,
orang tuaku dipanggil ke sekolahnya, karena kakakku terlihat sangat murung setelah berpisah
denganku. Tetapi saat kami bertemu, kakakku menyapa dan tak sabar ingin memelukku, aku
malah menangis ketakutan. Aku lupa dengan kakak perempuanku dan juga ayahku, yang
kuingat hanya ibu dan kakak sulungku yang pernah menjengukku di Sampit. Butuh waktu
untuk membuat aku akrab dengan keluarga yang baru ku temui di Banjarbaru.

Setelah cukup lama menginap dirumah nenek, akhirnya kami memiliki rumah sendiri.
Aku pun di masukkan ke dalam PAUD dekat rumahku, dan setahun kemudian saat umurku 4
tahun aku disekolah kan di TK ABA Rahmaniah karena dekat dengan SD kakak perempuanku.
Kami biasanya pergi ke sekolah naik angkot dan saat pulang, aku terpaksa harus menunggu
jam pulang sekolah kakakku, agar ibuku tidak bolak-balik menjemput. Alhasil, ketika aku
pulang sekolah, aku selalu menunggu hingga tersisa aku sendirian di sekolahku. Jika bosan,
aku pergi ke sekolah kakakku dan membaca buku diperpustakaan sekolahnya.

Aku memang tidak dibiasakan manja dari kecil, karena saat aku TK, aku sudah
memiliki adik kecil yang bisa dibilang mencuri perhatian orang tuaku. Tapi aku memaklumi
hal itu, aku selalu berpikir kalau akulah yang harus menyesuaikan diri dengan hal itu dan aku
harus membiasakan diri. Semenjak adikku lahir, aku membiasakan diriku untuk mandiri dari
hal yang kecil, seperti di saat anak-anak TK lainnya masih harus ditemani saat tidur, aku harus
terbiasa tidur sendiri di kamarku tanpa siapapun yang menemani dan membereskannya sendiri
di pagi hari. Aku juga harus menyiapkan keperluan sekolahku sendirian, bahkan untuk bekal
disekolah aku hanya diberi uang dan diajarkan untuk beli sendiri ke warung di samping
sekolahku. Tapi aku menikmatinya, aku senang bisa lebih mandiri dari yang lain, aku merasa
hebat.

Aku juga lumayan terkenal dikalangan guru, penjual jajanan, dan teman sekolahku baik
yang di kelas maupun kakak kelasku, karena saat aku harus menunggu jam pulang sekolah
kakakku, aku terpaksa harus berkenalan dan mengajak orang lain untuk menemani aku. Aku
cukup pandai bersosialisasi. Para guru juga mengenalku dengan baik karena aku termasuk siswi
yang suka bergaul dan pintar membaca disaat aku masih dikelas TK kecil. Itulah mengapa aku
hanya TK dengan kurun waktu 1 tahun saja, aku dianggap sudah pandai membaca dan guru
yakin jika aku sudah siap melanjutkan ke jenjang SD.

Meskipun aku sudah sangat pandai membaca dan menulis, aku mendapatkan banyak
masalah ketika ingin mendaftar SD. Umurku yang kala itu masih 5 tahun tidak memenuhi
persyaratan mendaftar yang menuliskan bahwa minimal usia masuk SD adalah 6 tahun. Aku
bisa masuk SD karena kepala sekolah yang kebetulan berteman dengan ibuku.

Sekolah baruku tidak begitu jauh dari rumahku. Saat itu kakak sulungku sudah bisa
mengendarai motor, jadi aku selalu pergi ke sekolah diantar oleh kakakku, kami naik motor
bertiga. Aku biasanya diturunkan di depan gang sekolah saja, demi menghemat waktu untuk
kakak-kakakku sampai disekolahnya. Pulangnya aku dijemput ibuku, kadang aku berjalan jika
ibuku sibuk.

Kehidupanku di Sekolah Dasar tidak banyak berubah, aku tetap teguh ingin lebih
mandiri dari yang lain. Aku sudah diajarkan ibuku untuk menabung dari uang saku yang
diberikan saat itu. Dengan uang saku Rp.5000 per-hari, aku biasanya selalu menabung
setidaknya Rp.2000 per-hari. Ditambah setiap puasa aku mendapat Rp.50.000 sampai
Rp.100.000 per-hari, aku menjadi tambah semangat untuk menabung. Meskipun saat itu
bahkan aku bingung cara menghabiskannya.

Dulu aku menghabiskannya dengan membelikan adikku boneka dan eskrim, sisanya
kukembalikan kepada ayah dan ibu untuk membantu mereka membeli keperluan di rumah. Aku
senang karena saat aku memiliki uang dari usahaku sendiri, aku bisa membantu orang lain dan
membuat orang lain ikut senang.

Selain menabung, aku juga sudah memulai bisnis kecil-kecilan dari kelas 2 SD dengan
menjual buku coretan dari kertas hvs yang kubuat sendiri dengan barang barang yang ada di
rumah. Aku sering membantu ayahku menjilid kertas, dari situlah aku mencoba membuat
sendiri dan membawanya ke sekolah sebagai buku coretan, tetapi banyak temanku yang bilang
ingin punya buku seperti punyaku. Akupun awalnya hanya ingin membuatkannya tanpa
imbalan, tetapi ia malah membayar Rp.1000 sebagai gantinya. Tentu saja itu tidak seberapa
dengan apa yang ku buat, tetapi dari situlah awal mula jiwa bisnisku dimulai.

Saat memasuki awal kelas 5 SD, ayah dan ibuku memulai budidaya jamur tiram yang
masih sangat jarang di Banjarbaru. Aku pun mengatakan tertarik untuk menjualnya ke teman-
temanku, dengan syarat aku harus mendapatkan kompensasi dari hasil penjualan. Ibuku sangat
mendukungku, karena ibuku melihat potensi bisnis yang sudah ada di diriku dan tidak dimiliki
kakak-kakakku.

Dulu ibuku juga suka berjualan ketika ia masih kecil, dia bilang demi bisa naik becak
ke sekolah. Karena setiap harinya dia hanya bisa berjalan kaki untuk menuju ke sekolah. Jadi
ketika ada uang lebih, ia gunakan untuk naik becak. Karena kondisi keluarga ibuku yang pas-
pasan karena ia memiliki 7 orang saudara, ia harus menyesuaikan dengan keadaannya saat itu.

Aku pun memulai berjualan jamur crispy dimulai dari jangkauan yang terdekat karena
aku masih malu untuk berjualan, tapi ternyata tak disangka-sangka, teman-temanku sangat
antusias dan permintaan pun mulai melunjak bertambah, itupula yang meyakinkanku untuk
memperluas jangkauan penjualan. Aku mulai menjualnya ke kakak kelas dan adik kelas,
dibantu oleh teman-temanku.

Aku merupakan tipikal anak yang sangat peka dengan kondisi keluargaku, walaupun
ayah dan ibuku tidak pernah mengeluh akan kondisi keuangannya yang saat itu tidak stabil,
aku selalu tau jika ada masalah tentang keuangan di keluarga. Aku selalu ingin berusaha untuk
membantu. Dengan keadaan saat itu, aku selalu berusaha untuk tidak menambah pengeluaran
orang tuaku untuk hal-hal yang kuanggap kurang penting. Saat itu aku sudah mulai belajar
untuk menahan nafsu membeli barang-barang yang tidak terlalu penting. ha ha ha ha ha ha ha

Hasil penjualan jamur crispy pun akhirnya kutabung dan kugunakan untuk uang saku
ku sendiri, aku merasa tidak nyaman meminta uang kepada orang tua disaat aku punya
penghasilan sendiri dan dalam kondisi ayah ibuku sedang krisis keuangan. Terkadang aku
memberikan penghasilanku untuk uang saku adikku juga. Saat itu aku benar-benar tidak ingin
merepotkan orang tua. Aku hanya minta uang dikeadaan mendesak karena kehabisan uang. H

Mulai dari situlah aku menjadi segan untuk menyuarakan keinginanku di depan orang
tuaku, aku takut permintaanku malah merepotkan mereka. Kadang aku kesal karena tidak bisa
membeli hal yang ku mau, makanya aku selalu memikirkan cara agar mendapatkan barang
yang kuinginkan tanpa merepotkan kedua orang tuaku. Hah ha ha ha ha ha ha ha hah aha ha ha

Aku selalu disibukkan dengan pemikiran-pemikiran seperti itu, bahkan saat itu aku
belum memasuki jenjang SMP. Aku memang selalu overthink ke segala hal. Sesaat aku
membandingkan diriku dengan adikku, aku sangat heran dengan sifatnya yang dengan bebas
menyuarakan keinginannya dan tidak seperti aku yang mengusahakan segalanya untuk tidak
merepotkan ayah dan ibu. Aku kesal. Tapi aku mencoba memahaminya, karena adikku masih
kecil dan tidak paham apa-apa.

Tetapi, semakin lama aku mulai merasa tidak adil. Bahkan sampai aku memasuki
jenjang SMP, ia tetap melanjutkan sifat manja nya itu, ia tidak pernah sekali terpikir bahwa
ayah dan ibu sedang krisis keuangan. Aku sangat kesal dan berkali-kali terpikir “Kenapa dia
tidak seperti aku?” Aku semakin sering membandingkan diriku dengan adikku yang 4 tahun
lebih muda daripada aku. Tindakan manjanya yang sedikit-sedikit menangis, selalu boros dan
tidak pernah berempati dengan kondisi keluarga selalu menjadi bayang-bayang kebencian di
kepalaku.

Banyak pertanyaan di kepalaku yang semakin membuatku benci dengan adikku,

“Mengapa ia dimanja dan selalu dituruti? Padahal aku dari kecil sudah belajar mandiri”

“Kenapa hanya aku yang mandiri? Mengapa hanya aku yang merasa tidak boleh merepotkan
orang tua?”

“Kenapa dia tidak ada keinginan membantu dan mandiri seperti aku?”
“Mengapa dia begitu mudah menyuarakan keinginannya tanpa berusaha terlebih dahulu?”

Semua pertanyaan itu selalu mengiringi kebencianku pada adikku. Aku merasa aku lah
yang seharusnya mendapat perhatian itu, karena aku lebih bisa dibanggakan, aku bisa mandiri
artinya aku hebat. Dari pada dibilang benci, menurutku lebih tepat disebut iri. Aku juga ingin
diperhatikan, dimanja, dan dituruti semua permintaannya tanpa harus berusaha terlebih dahulu
seperti adik bungsuku. Tapi aku tidak pernah menunjukkan iri dengki ku pada adikku ke orang
lain, aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa aku bukanlah anak bungsu yang dimanja.

Pada akhirnya, aku tetap tidak berani menyuarakan keinginanku pada orang tuaku, aku
tetap kembali menjalani kehidupanku seperti biasa. Tapi dengan kebencian, iri, dan dengki
yang ada dalam diriku, aku berubah menjadi sosok yang pemberontak saat masa SMP, tetapi
aku tidak pernah menunjukkan sosok kelamku ini pada teman-temanku. Aku melampiaskan
semuanya kepada orang-orang di rumah. Ibuku selalu mengatakan jika aku seperti anak-anak
yang dipenuhi dengan rasa iri. Aku selalu berpikir jika ibuku hanya tidak tau saja rasa iri ku itu
disebabkan oleh perilaku tidak adilnya. Aku selalu diajarkan untuk menjadi anak yang mandiri,
sedangkan adikku bagai putri yang selalu dilayani.

Masa SMP ku bisa dibilang penuh cerita, cerita suka dan cerita kelam yang tidak pernah
aku ceritakan. Aku yang tidak bisa menyuarakan keinginanku dengan mudah menjadi sering
menyuarakan hal-hal berbau kebencian dari diriku. Emosiku saat itu sangat tidak stabil. Aku
selalu melampiaskan rasa kesalku, aku menjadi berani berdebat dengan orang tuaku dengan
nada tinggi, aku sering memarahi adikku, dan berkelahi dengan kakak-kakakku. Aku benar-
benar tidak bisa menahan emosiku, amarah selalu keluar menggebu-gebu tak sadarkan diri.

Mendapat hukuman? Itu sudah menjadi hal biasa bagiku saat itu. Aku selalu dimarahi
karena terlalu lancang. Bukannya merasa bersalah, aku malah semakin merasa diperlakukan
tidak adil. Aku benci orang tuaku. Aku selalu merasa paling benar dan ingin mendapat
pengakuan. Aku pun malah menutup diri dari keluarga dan orang tuaku, tapi saat bersama
teman-temanku aku selalu berlagak tak terjadi apa-apa pada diriku.

Mandiri yang kutanam sejak aku kecil tetap melekat dalam diriku saat itu, walaupun
aku selalu di hukum dan dimarahi, aku tetap selalu mencari peluang bisnis yang
menguntungkanku, sekaligus sebagai pengalihan stress yang kudapatkan selama itu.
Keinginanku dulu yang tidak ingin merepotkan orang tua perlahan berganti menjadi keinginan
dituruti dan diperlakukan sama seperti adikku. Ya, aku sangat kekanakan. A a a a a aha aha
Bahkan teguran dan hukumannya pun belum cukup menyadarkan sifat kekanakanku
yang menjadi masalah yang dibesar-besarkan ini. Ini juga akibat keegoisanku yang timbul
karena ketakutan akan tidak dikabulkannya keinginanku. Aku merasa semua keinginanku
harus dituruti seperti adikku juga, aku tidak ingin kalah. Ga ha ah ha ha ha ha ha ha ha ha haha

Akhirnya aku sampai di titik dimana sudah sangat lelah untuk berdebat, lelah dimarahi
orang tua, dan lelah mendapat hukuman. Semuanya hanya menambah beban pikiranku saja,
sampai-sampai membuat tekanan darahku terbilang tinggi untuk ukuran remaja seusiaku dan
nilaiku pun ikut turun saat itu. Akhirnya aku pun mulai mencoba mengontrol emosiku, Aku
meyakinkan diriku sendiri untuk merubah diri dan mencoba terbuka pada diriku sendiri. Aku
pun mulai kembali berfikir,

“Keadilan seperti apa yang sebenarnya aku cari dan inginkan? Apakah keinginanku ini
benar caranya? Jika aku benar, mengapa aku selalu dimarahi?”

Aku juga memberanikan diriku untuk menyuarakan keinginanku tersebut kepada ibuku,
dan akupun hanya bisa menangis mendengar nasehatnya. Ia bilang aku tak perlu khawatir,
ibuku mengatakan kalau ia pasti tahu apa yang ia perlakukan kepada anaknya.

“Tiap anak memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda, perlakuan ibu berbeda-
beda menyesuaikan dengan karakter yang dimiliki anak itu”. Ha haah hah haa haha haha

Ia juga mengingatkan aku bahwa tidak dimanja bukan berarti diperlakukan berbeda, ia
bilang ia merasa aku mampu untuk mengayomi diriku sendiri, aku sudah cukup mandiri untuk
melayani diriku sendiri, dan tidak semua orang bisa disamakan seperti aku, makanya orang-
orang yang tidak bisa seperti aku, perlu perlakuan lebih. Dan dia juga bilang kalau aku tidak
boleh iri dengan hal itu, akulah yang menjadi sosok yang membuat orang lain iri.

Seketika aku hanya bisa menangis dan merenung, aku tersadar perbuatanku selama ini
tidaklah benar. Aku terlalu kekanak-kanakan. Aku meminta maaf dengan ibuku dengan isak
tangis yang melimpah. Aku berjanji untuk merubah diriku. Mulai saat itu aku mulai membuka
diri kembali kepada keluarga, setelah lumayan lama terjadi kesenjangan satu sama lain. Mereka
memaafkanku dan menganggap wajar karena aku sedang dalam proses pendewasaan diri yang
membuatku menjadi emosional berlebihan. H h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h
hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
hhhh
Butuh waktu dan banyak pengalihan untuk membuatku bisa terbuka penuh kepada
keluargaku kembali. Tapi itu merupakan hal yang melegakan ketika kita sudah bisa kembali
akrab dengan keluarga tanpa perasaan benci lagi. Akhirnya aku bisa melalui masa-masa SMP
ku tanpa harus menutupi apa yang ada dalam pikiranku dan malah mengangguku disekolah.
Aku bisa menjadi diriku sendiri lagi.

Aku mulai belajar untuk menyuarakan pendapat hingga keinginanku saat itu, ternyata
tidak semenakutkan itu. Aku mulai belajar mengontrol diri. Tentu saja tak lepas dari bimbingan
orang tuaku. Awalnya aku masih tertutup, tapi seiring berjalannya waktu aku sudah bisa
menyesuaikan diri dengan cepat.

Sebenarnya, hingga kini aku selalu berusaha sendiri dahulu sebelum ingin meminta hal
kepada ayah dan ibuku. Aku jarang meminta uang, terkecuali uang saku. Tapi jika aku sedang
ada penghasilan, aku tidak meminta uang saku lagi pada orang tuaku. Menurutku, untuk
mendapatkan sesuatu harus ada perjuangannya terlebih dahulu. Itulah yang kutanamkan dalam
diriku sekarang.

Walaupun kusebut masa SMP ku kelam, tapi aku tetap bersyukur karena sudah
disadarkan oleh orang tuaku. Aku sangat bersyukur saat aku melakukan kesalahan, ayah dan
ibuku tidak pernah lelah menegur bahkan sampai menghukum, itu semua agar aku menyadari
kesalahanku.

Sekarang aku sudah mengerti, apapun perlakuan dari ayah dan ibuku, apapun
perkataannya, yang menyakitkan maupun menyenangkan, itu pasti untuk kebaikanku. Karena
orang tua tidak mungkin melakukan hal buruk pada anaknya tanpa maksud dan tujuan tertentu.

Kini aku sudah bisa bebas menyuarakan pendapat dan keinginanku. Mungkin dulu aku
takut jika keinginanku tidak dikabulkan. Aku sudah mengerti, ketika keinginanku tidak
dikabulkan ada 2 alasan yang memungkinkan, antara “tidak sekarang, tapi nanti” atau “tidak,
masih ada yang lebih baik dari itu”.

Aku menyukai keadaan keluargaku sekarang, sangat tentram dan penuh tawa, terasa
hangat. Ternyata keterbukaan satu sama lain adalah kunci dari hangatnya keluarga. Tak sedikit
orang-orang iri dengan keseruan yang ada di keluargaku sekarang. Keluargaku sudah sempurna
bagiku, memiliki ayah yang cerdas dan humoris, memiliki ibu yang perhatian dan gaul, kakak
yang pintar dan tekun, hingga adik yang penurut dan pengertian adalah impian semua orang.
Aku sangat bersyukur akan itu.

Anda mungkin juga menyukai