Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN TENTANG PENGARUH ALIRAN ILMU

TERHADAP STUDI HUKUM

A. Aliran Positivisme Logikal


Sejak periode modern bergulir, perhatian ahli tertuju pada usaha untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh manusia. Potensi ini tidak lain adalah
akal yang merupakan sumber utama lagi pemajuan pembahasan ilmiah. Ada
kekecewaan yang menyeruak di antara mereka ketika menyadari dominasi teologi
yang begitu tinggi pada periode sebelumnya sehingga pembahasan iliah yng
mengedepankan objektivitas dan rasionalitas hampir-hampir tidak terlihat.
Dunia ilmu menjadi suram. Para ahlipun, khususnya di bidang filsafat ilmu,
berusaha keras memikirkan dan memecahkan problem di balik kemunduran dan
kelambanan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu usaha tersebut adalah
munculnya beberapa asumsi dan tawaran dari positivisme logikal.
1. Sejarah Munculnya Positivisme Logikal
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang
diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya.
Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti
adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya,
fakta-fakta tersebut diatur sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi)
ke masa depan.
Positivisme adalah aliran filsafat yang terang-terangan berpendapat pentingnya
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang bisa dicerna secara empiris.
Aliran ini dicetuskan oleh Henry Saint Simon (1760-1825) dan muridnya August
Comte (1798-1857). Namun August Comte-lah yang mempopulerkannnya hingga
mendominasi wacana filsafat ilmu abad ke-20. Beberapa tokoh positivisme lainnya
adalah John S.Mill (1806-1873) dan Herbet Spencer (1820-1903).
Dalam perkembangannya, positivisme logikal lahir dari berbagai jenis aliran
positivisme yang semuanya memiliki alur keinginan yang sama, yaitu keinginan
untuk meraih kemjauan di dunia. Benih-benih (aliran-aliran positivisme) yang
melahirkan terbentuknya positivisme logikal:
2

1. Positivisme Sosial
Positivisme sosial merupakan hasil pemikiran dari salah satu tokoh
positivisme, yaitu August Comte. Beliau yang meyakini bahwa kemajuan sosial
hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu-ilmu positif. Positivisme ini juga
dikembangkan di Inggris oleh James Mill, J.Bentham, dll. Demikian juga di Italia
oleh Carlo Cattaneo dan Giussepe Ferrari. Lalu di Jerman oleh Friederich Jodl dan
Ernst Laas.
August Comte membagi sejarah peradaban manusia atau perkembangan
pemikiran manusia menjadi tiga tahapan:
a) Teologikal
Manusia memahami segala sesuatu di alam ini sebagai campur tangan Tuhan
secara langsung dan mutlak. Pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya
kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama). Di sini manusia percaya kepada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik kejadian tersirat
adanya maksud tertentu.
b) Metafisis
Keyakinan tentang campur langsung Tuhan tidak lagi begitu kuat, tetapi beralih
menjadi keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam ini sudah
diatur berdasarkan ketentuan metafisis. Pada tahap ini manusia hanya sebagai
tujuan pergeseran dari tahap teologikal. Sifat yang khas adalah kekuatan yang
tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai
pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam.
c) Positivisme-ilmiah
Manusia mengusahakan kemajuannya lewat pemanfaatan ilmu pengetahuan
positif yang menggunakan pengamatan dan pengukuran empiris. Pada tahap ini
manusia telah mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologikal dan
metafisi tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum
yang berasal dari fakta-fakta pengamatan dengan memakai akal.

Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan tanpa


teologi atas dasar filsafat positifnya). Pemikiran tersebut mengangungkan akal dan
3

mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur


sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”. Istilah yang diciptakannya yang terkenal
adalah altruism, yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha
untuk hidup bagi kepentingan orang lain.
Ciri-ciri yang dikembangkan dalam positivisme menurut August Comte adalah:
a) bebas nilai
b) fenomenalisme
c) reduksionisme : semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi
d) naturalisme : kealamiahan
e) mekanisme : semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanis-determinis
seperti mesin.
2. Positivisme Evolusioner
Positivisme Sosial dan Evolusioner sama-sama meyakini realitas kemajuan.
Perbedaan di antara keduanya adalah pada alasan yang mendasari kemajuan
tersebut; positivisme sosial mengusung ilmu murni sebagai basis untuk
memperoleh kemajuan, sedangkan positivisme evolusioner mendasarkan kemajuan
pada hasil interaksi antara manusia dengan alam semesta. Positivisme Evolusioner
terlihat dalam gagasan Charles Darwin, Herbert Spencer, dll.
3. Positivisme Kritis (Kantianisme Empiris)
Positivisme Kritis dikembangkan oleh Ernst Mach dan Richard Avenarius.
Kemunculan positivisme logikal berhubungan dengan konteks perkembangan
masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20. Perang dunia I telah menimbulkan
berbagai masalah mulai dari masalah sosial, ekonomi, hingga politik. Akumulasi
masalah ini lalu memotivasi para intelektual untuk menata masyarakat dari puing-
puing kehancuran.
Di antara gerakan yang mula-mula menawarkan diri untuk melakukan restorasi
itu adalah para teolog (positivism klasik). Menurut mereka, masyarakat harus ditata
berdasarkan asas-asas teologi. Namun, tawaran tersebut ditolak keras oleh kaum
positivisme logikal dengan menyatakan bahwa masalah-masalah masyarakat
merupakan masalah yang hanya bisa dipecahkan melalui ilmu-ilmu positif.
4

Persamaan positivisme klasik dengan positivisme logikal adalah sama-sama


menjunjung ilmu pengetahuan objektif. Perbedaanya, positivisme klasik lebih
menekankan perhatian pada pengaturan masyarakat secara ilmiah, sedangkan
positivisme logikal memusatkan diri pada logika dan bahasa ilmiah. Filsafat harus
mengabdi pada ilmu pengetahuan yang tugasnya adalah melakukan pengkajian
pada aspek metodologi dan konsep keilmuan.
2. Positivisme Logikal
Positivisme logikal kerap pula dinamakan neo-positivisme, empirisme logikal,
dan empirisme rasional. Disebut demikian karena dianggap telah memperbarui ide-
ide dasar positivisme awal terutama yang digagas oleh August Comte. Positivisme
logikal merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang
dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara
istilah-istilah. Muncul pada awal abad ke-20 atau tepatnya pada 1920-an di Wina,
aliran ini diusung oleh kelompok ilmiah Der Wiener Kreis (Lingkaran Wina) di
Wina, Austria.
Para anggotanya terdiri dari pakar-pakar dalam berbagai latar belakang
keilmuan. Di antara mereka adalah : M.Schlick (Guru Besar filsafat Universitas
Mina), Rudolph Carnap (ahli logika), Ph Frank (ahli eksakta), V.Kraft (ahli
sejarah), H.Feigl dan F. Waismann (ahli filsafat). Pada 1929 Carnap, H.Hahn, dan
Otto Neurath menerbitkan manifesto berjudul Wissenschaftie Weltauffassung Der
Wiener Kreis (Pandangan Dunia Ilmiah Kelompok Wina). Manifesto ini memicu
perkembangan positivisme logikal di Inggris yang dipelopori oleh A.J.Ayer dan
John Wisdorn.
Penganut neo-positivisme sepaham untuk menyelesaikan semua persoalan
dengan dua cara:
a. berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman
inderawi;
b. dengan menganalisa bahasa dan berusaha menunjukkan betapa kita terpedaya
oleh struktur bahasa.
Mereka yang menganut paham positivisme logikal menolak pernyataan-
pernyataan yang bersifat metafisik serta menganggapnya tidak mengandung
5

makna. Salah seorang penganut paham tersebut adalah A.J Ayer dalam bukunya
yang berjudul Language, Truth and Logic. Salah satu pendapatnya yang dikutip dari
buku tersebut adalah “Sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filsuf
sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan uga tidak ada
gunanya”.
Positivisme logikal berusaha membedakan antara pernyataan bermakna
dengan pernyataan tidak bermakana berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi.
Pernyataan yang dapat diverifikasi adalah pernyataan yang dapat diuji dan
dibuktikan kebenarannya melalui pengalaman dan pengamatan inderawi.
Positivisme logikal menganut prinsip isomorfi, prinsip yang mengakui adanya
hubungan mutlak bahasa dan fakta (Bertand Russell dan dikembangkan
Wittgenstein). Menurut mereka, bahasa yang dipakai sehari-hari tidak cukup jelas,
karena itu perlu diciptakan bahasa yang logikal dengan tingkat kecermatan
matematis. Sebuah pernyataan dikatakan bermakna apabila:
a. Dapat dibenarkan secara definisi atau tautologies-analitik
Contoh : rektor adalah pimpinan universitas
b. Dapat dibenarkan secara empiris
Contoh : Andi adalah idiot, -- tes IQ
Pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris, seperti metafisik tidak
layak dimasukkan dalam bagian ilmu pengetahuan yang dapat dikaji dan
dikembangkan. Karena itu, metafisik pada dasarnya tidak akan mampu
menciptakan kemajuan di dunia ini. Keteguhan positivisme untuk mengukuhkan
pengalaman dan pengamatan inderawi sebagai satu-satunya kriteria kebenaran
membawa aliran ini tidak memberikan tempat yang sejajar antara ilmu sosial
dengan ilmu alam.
Bagi mereka, ilmu alam dan ilmu sosial harus dipandang sebagai satu-
kesatuan, tidak ada perbedaan, namun dengan tolak ukur ilmu alam. Prinsip
kesatuan ilmu ini pada gilirannya berdampak pada perlunya menyatukan ilmu
pengetahuan yang berbasis pada tolak ukur ilmu alam dalam satu bahasa ilmiah.
Dalam mewujudkan pandangan positivisme, filsafat bertugas sebagai analisia atas
kata-kata atau pernyataan-pernyataan.
6

3. Pengaruh Positivisme Logikal terhadap Studi Hukum


Seperti telah diuraikan, paradigma sebagai suatu sistem filosofis utama, induk,
atau ‘payung’ yang meliputi ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu yang
tidak dapat begitu saja dipertukarkan (dengan ontologi, epistemologi dan
metodologi dari paradigma lainnya). Paradigma mereprentasikan suatu belief
system tertentu yang menyodorkan cara bagaimana dunia ini dilihat, dipahami,
dimengerti dan dipelajari. Dengan kata lain mengaitkan atau merekatkan
penganut/pemegang/pemakai-nya pada worldview tertentu. Sebagai filosofi utama
atau “payung”, paradigma akan mempengaruhi seluruh cabang ilmu dan
melahirkan paham-paham atau aliran-aliran dalam masing-masing cabang ilmu
tersebut. Dalam ilmu hukum aliran yang dipengaruhi paradigma positivisme adalah
aliran ilmu hukum positif atau positivisme.
Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat (teori) hukum, yang
beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkutpaut dengan hukum positif
saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan
tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat.
Hart, seorang pengikut positivisme, mengajukan berbagai arti dari positivisme
(Dias, 1976 : 451) :
1. Hukum adalah perintah
2. Analisa terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk
dilakukan. Analisa yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan
histories serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari
peraturanperaturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk
kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Penghukuman (judgment) secara moral tidak dapat ditegakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.
Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap
positivisme ini. Selanjutnya Theo Huijbers mengatakan bahwa :
7

1. Dalam pandangan positivisme yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena


hukum itu mendapat positifnya dari suatu instansi yang berwenang.
2. Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang.
Dengan kata lain: hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan
bentuk formalnya. Dengan bentuk ini bentuk yuridis hukum dipisahkan
dari kaidah-kaidah hukum material.
3. Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu
pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap variabel dan bersifat
sewenang-wenang. Isi hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu
negara, maka harus dipelajari dalam suatu ilmu pengetahuan lain, bukan
dalam ilmu pengetahuan hukum.
Austin, seorang positivis yang utama, mepertahankan, bahwa satusatunya
sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-
sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate
sources)
Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif
yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. “Ilmu tentang hukum berurusan
dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa
disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau
kejelekannya.” Menurut Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk
menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern.
Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur yang bersifat historis di dalamnya, namun
secara sadar unsur-unsur tersebut diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah
dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Austin secara tegas melepaskan hukum dari masalah keadilan. Ia mengartikan
“kebaikan dan keburukan” sebagai landasan hukum dengan “kekuasaan dari
penguasa”. Menurut David M. Trubek, aliran positivisme lahir karena tuntutan
liberalisme dan kapitalisme. Ada aspek yang perlu pada hukum dalam
pengembangan ekonomi kapitalis yaitu tuntutan diciptakannya sistem hukum
formal-rasional yang dapat mendukung terciptanya a stable and predictable
atmosphere. Untuk mencapai kondisi seperti itu maka dibutuhkan
8

peraturanperaturan hukum tertulis secara formal-rasional yang berlaku dan


mengikat masyarakat untuk dapat menjamin prediktabilitas keadaan yang akan
dicapai.
Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo bahwa perkembangan
industrialisasi dan kapitalisme merupakan faktor-faktor yang membantu kelahiran
sistem hukum modern. Inti hukum modern adalah kepastian hukum, diwujudkan
secara formal-rasional, dan dinyatakan (articulated) melalui hukum positif.
Satjipto Rahardjo mengidentifikasikan ciri-ciri penting hukum modern dari
Max Weber dalam karakteristik berikut :
1. Bidang (penyelenggaraan) hukum menjadi sangat spesialistis;
2. Keadaan spesial itu berkaitan dengan dilakukannya sistematisasi dan
digunakannya logical rationality sebagai alatnya;
3. Perkembangan prosedur dengan teknik rasional;
4. Penyelengaraan hukum yang semakin bertumpu pada rasionalisasi hukum,
menjadikan hukum menjadi sarana penanganan masalah yang mekanistis
sekali;
5. Berkembangnya logika hukum profesional, yang berarti bahwa bidang
hukum semakin tertutup bagi mereka yang tidak profesional.
Selanjutnya, bagaimana pengaruh aliran positivisme terhadap perkembangan
dan penegakan hukum di Indonesia? bagaimana aliran positivisme mempengaruhi
pola pikir dan perilaku penegak/perilaku hukum? Menurut Erlyn Indarti, ide bahwa
hukum beserta segenap prosesnya adalah rasional, adil, dan lugas merupakan
bagian integral dari pemikiran hukum yang jamak dipahami orang. Dalam kaitan
ini para pelaku hukum tidak diharapkan untuk menyentuh atau melibatkan
keyakinan pribadi mereka berkenaan dengan salah atau benarnya suatu perkara dan
keputusan selalu dikembalikan kepada “fakta” yang disodorkan kepada mereka.
Mereka tidak pula diharapkan untuk bekerja berdasarkan seperangkat nilai-nilai
sosial budaya tertentu. Sebaliknya, mereka diharuskan memperlakukan semua yang
datang ke hadapan mereka secara tanpa bias, tidak berpihak, dan dingin.
9

Mereka yang berwenang untuk menerjemahkan dan menerapkan hukum, yakni


para pelaku hukium, diyakini melakukannya dengan “mengambil jarak” yang
memadai dan tepat terhadap para pihak kepada siapa keadilan akan disampaikan.
Lebih jauh Artijo arkostar mengatakan bahwa perkembangan hukum di
Indonesia saat ini terbelenggu oleh “kapsul” positivisme hukum Eropa Kontinental
abad. positivisme hukum tidak peduli dengan keadilan, karena masalah keadilan
bukan urusan hukum positif. Aliran positivisme hukum menekankan pada kepastian
hukum. Akibatnya pertumbuhan hukum Indonesia berjalan tanpa visi dan tidak
jelas paradigmanya. Mereka yang berwenang untuk menerjemahkan dan
menerapkan hukum, yakni para pelaku hukum, diyakini melakukannya dengan cara
“mengambil jarak” yang memadai dan tepat terhadap para pihak kepada siapa
keadilan akan disampaikan.
Selanjutnya perlu direnungkan keprihatinan Ahmad Ali :
…yang lebih memprihatinkan lagi, karena akibat penggunaan kecamata
positivistic kaku dalam menginterprestasikan berbagai undang-undang (di
Indonesia), maka berbagai kebijakan penegak hukum maupun putusan hakim,
gagal untuk menghasilkan suatu keadilan melainkan hanya sekadar mampu
menghasilkan keadilah yang prosedural.

B. Aliran Rasionalis Kritis


Manusia adalah makhluk yang kompleks, tidak bisa dipandang melalui satu sisi
saja, melainkan dari berbagai aspek yang meliputi manusia itu sendiri. Perdebatan
panjang antara rasionalisme dan empirisme membuat seorang filsuf yang lahir pada
tahun 1724 di kota Koenigsberg di Prusia yang sekarang menjadi milik Rusia yang
bernama kota Kaliningrad. Ia bernama Immanuel Kant. Terlahir dari orang tua yang
sederhana, yang bekerja sebagai pembuat pelana kuda. Kant tidak terlalu kaya
ketika ia lahir, sampai pada umur 50 tahun ia bekerja sebagai Profesor yang bergaji
tinggi. Ia menulis bukunya yang pertama yaitu General Natural History and Theory
of Heavens. Ia mengemukakan pendapatnya berupa pemikiran tentang asal mula
alam semesta yang berupa nebula (awan).
10

Karya utama Kant selama periode kritis meliputi Critique of Pure Reason,
di mana dia menguji akal manusia dan menyimpulkan bahwa manusia mampu
membangun ilmu pengetahuan, dan bukan metafisika. Pada tahun 1783 ia
menerbitkan Prolegomena atau Prologues to any Future Metaphysics, di mana
dia menguji hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Pada 1785
terbitlah karyanya berjudul Foundation for the Metaphysics of Ethics, di mana ia
mendiskusikan masalah moral berdasarkan prinsip-prinsip kritik transendental.
Dalam bukunya Critique of Judgment, ia menguji finalitas alam semesta dan
masalah etika.
Ada 3 kritik yang mendasari pemikiran Immanuel Kant dalam merumuskan
fenomenalitas Rasionalisme Kritis yaitu :
1. Kritik atas rasio murni (Pure Reasoning Critique)
Dalam kritik ini, Kant merujuk pada pemikiran rasionalisme ala Descartes,
Spinoza, dan Leibniz, di mana rasionalisme gagal menunjukan validitas dan
keabsahannya kepada ilmu alam, tanpa jatuh ke dalam Panteisme. Dalam hal lain,
Kant juga mengkritik pemikiran Hume mengenai empirisme. Hume mengajukan
ide tentang Asociation of Impression (Asosiasi Impresi) inderawi, di mana manusia
yang mendapatkan kesan atau impresi menghubungkan ide-ide tersebut dan
menyatukannya sehingga membentuk nilai-nilai universalitas. Tapi, jika intelek
bisa menghubungkan impresi-impresi inderawi dan mengaskan aspek universalitas,
maka hal ini bukanlah tabula rasa melainkan sudah ada innate value di dalam diri
kita. Oleh karena itu, Kant berusaha menemukan jalan keluar melalui pendekatan
sintesis apriori yaitu pendekatan bagaimana sesuatu harus ada dalam intelektual kita
dahulu sebelum kita melihatnya di dunia nyata. Forma (bentuk) harus ada dalam
pikiran sebelum mewujud menjadi bentuk mater (Materi). Hal ini merupakan
bentuk penyatuan daripada rasionalisme dan empirisme. Karena, forma mewakili
rasionalisme yang awalnya hanya ada di pikiran kita, lalu mewujud ke dalam materi
yang merupakan bukti empiris . Jadi inilah poin yang ingin disampaikan Immanuel
Kant. Forma dan Mater.
2. Kritik atas rasio praktis (Practical Reason Critique)
11

Dalam kritik rasio praktis, Kant menyajikan sebuah pandangan mengenai


tindakan yang diambil bukan berdasarkan hasil akhir yang akan dicapai, melainkan
karena ketaatan pada kewajiban itu sendiri. “Kewajiban untuk kewajiban itu
sendiri”, inilah yang menjadi pokok teori deontologist oleh Immanuel Kant.
Dengan demikian, Kant menyarankan bahwa yang imperative (perintah) harus
dibedakan antara kategoris dengan yang hipotesis. Misalnya Anda harus
mengerjakan tugas jika ingin mendapat nilai baik di kelas. Tujuan akhir yang ingin
dicapai adalah nilai baik. Namun, menurut Kant, kita tidak perlu memikirkan hal
tersebut. Tanpa hasil akhir yang perlu dipertimbangkan dan hanya melakukan hal
“pekerjaan rumah” di sini maka inilah yang disebut imperative kategoris. Hanya
imperative kategoris yang memiliki nilai universalitas dan pada dasarnya menjadi
dasar untuk moralitas. Karena Kant adalah tokoh deontologist, maka ia sendiri
yakin bahwa tindakan itu sendirilah yang membuat sesuatu baik atau bermoral,
bukan sebaliknya. Jadi, dalam hal ini Kant menegaskan bahwa dalam rasio praktis
kita bisa menentukan manakah tindakan yang bermoral.
3. Kritik atas putusan (Judgement Critique)
Dalam kritiknya, Kant menyebut ada 2 putusan yang terkait dengan refleksinya
yang berhubungan dengan finalitas alam, bahwa alam ini mengarah kepada suatu
hasil akhir. Putusan teleologis, seperti yang terdapat dalam karya Kant, mengatakan
bahwa alam semesta mengembangkan dirinya melalui serangkaian proses yang
harmonis dan kreatif. Di mana suatu finalitas atau akhir akan selalu dicapai, seolah-
olah adanya kekuatan yang lebih besar atau Absolute dalam mengatur semesta ini.
Contohnya adalah setiap individu pasti akan hidup, organ-organnya berkembang
menuju kesempurnaan, dan mati.
Putusan estetis, di mana seseorang merasakan dirinya sebagai seorang pribadi
atau satu kesatuan. Contohnya adalah ketepatan nada dalam sebuah konser musik.
Seorang pribadi menilai dan menikmati apa yang didengarnya . Ia merasa dan
menikmati dirinya sendiri sebagai satu pribadi yang bebas dari teori dan nilai
praktis. Perlu diingat bahwa putusan estetis bukanlah pengetahuan sejati, hal ini
disebabkan karena kemendesakan individu untuk mengekspresikan perasaannya
12

melalui cara-cara tersebut. Dengan demikian, kritik tersebut menyajikan pemikiran


Kant mengenai pandangan mengenai rasionalisme dan empirisme.

Anda mungkin juga menyukai