Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH IKLIM TERHADAP PERTUMBUHAN

TERNAK UNGGAS DI DAERAH TROPIS

OLEH
DIMAS PRASETYO SILABAN
E10018167

PROGRAM STUDI PETENAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karna rahmat dan
berkat nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan waktu yang telah
ditentukan.. Dan tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah
membantu dan membimbing dalam pembuatan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang ditemukan
dalam penulisan makalah ini. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran
atas yang membangun dan sebagai bahan evaluasi guna memperbaiki laporan ini.
Dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan
bagi kami penulis.

Jambi, Desember 2018

Dimas Prasetyo Silaban


PENDAHULUAN

Secara turun temurun ayam lokal di Indonesia telah dipelihara


oleh masyarakat,umumnya yang berada di pedesaan. Posisi ayam lokal di
pedesaan tersebut cukup strategis,mulai dari yang bersifat kesenangan sebagai
hewan piaraan sampai tabungan keluarga.Selain itu pemeliharaan ayam tokal ada
yang ditaklukan secarakomersial untuk memperoteh penghasilan
pokok.Pemeliharaan secara tradisionat,semi intensif,dan intensif dapat dijumpai di
masyarakat.Bagaimanapun juga,setelah melihat dan menelaah berbagai
manfaat ayam lokal bagi kehidupan manusia,sudah barang tentu perlu
dikembangkan suatu cara pemeliharaan ayam lokat yang baik dan layak.
Oleh karena itu cara pemeliharaan ayam lokal harus dikembangkan
berdasarkan kebutuhan ayam itusendiri secara optimal dan memenuhi berbagai
kebutuhan untuk kehidupannya.Pengembangan cara pemeliharaan ayam lokal
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,seperti keragaman karakteristik
fenotipe,karakteristikreproduksi,dan karateristik penurunan sifat-sifat khas pada
turunannya.Karateristik ayam tokal Indonesia beragam mulai dari ayam hutan yang
sudah didomestikasi menjadi ayam lokal,sampai ayam dari luar
Indonesia,yangkemudian berkembangbiak dan beradaptasi menjadi salah satu
kelompok sumber daya genetik ayam di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Prestasi ayam broiler dapat dicapai berdasarkan dua faktor. Faktor genetik
merupakan bahan dasar ternak hasil dari keturunan yang baik, serta untuk tumbuh
dengan baik memerlukan faktor lingkungan yang baik pula. Lingkungan menurut
Pringgoseputro dan (Ames 1995)
Cuaca adalah salah satu faktor lingkungan dimana merupakan kondisi
lingkungan yang tersusun dari temperatur, presipitasi, tekanan barometer,
kelembaban, arah dan kecepatan angin, awan yang menutupi, dan sebagainya pada
waktu dan tempat tertentu. (Soeharsono 1976).
Pengaruh lingkungan yang tidak baik pada ternak akan mengakibatkan
perubahan status fisiologis, yang disebut stres atau cekaman. Stres banyak sekali
penyebabnya, salah satunya adalah lingkungan, yang timbul dari beberapa faktor
yalitu teknik peternakan, iklim atau cuaca, kandang makanan, antimetabolit,
tingkah laku ternak, serta berbagai interaksi seperti : antara makanan dengan
lingkungan, antara cuaca dengan lingkungan, dan antara genetik dengan lingkungan
(Sihombing dkk., 2000).
Kendala umum yang dihadapi oleh ternak khususnya di daerah tropis yaitu
stres panas, yang mengakibatkan pengaruh secara langsung dan tidak langsung.
Pengaruh secara langsung reaksinya melalui stres terhadap mekanisme pengaturan
suhu tubuh, sedang secara tidak langsung terhadap kualitas pakan pada ayam
kemudian menyusul reaksi tubuh terhadap kemampuan menjaga fungsi-fungsi
normal tubuh terutama dalam hal produksi maupun penampilan produksi (secara
individu), yang dikenal dengan istilah adaptasi produktif (Productive adaptability).
Ayam broiler termasuk ternak yang peka terhadap suhu lingkungan, suhu 10 °C –
32 °C masih ditolerir oleh ayam, sedangkan suhu optimal untuk pemeliharaan
broiler diantara 15 °C – 27 °C. Berdasarkan micro climate di Indonesia, suhu rata-
rata daerah dataran rendah berkisar antara 23 °C – 35 °C, dan 20 °C – 30 °C untuk
daerah dataran tinggi (Nasroedin, 1985).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Sistem Pembuangan Panas Pada Ternak

Ternak dalam kehidupannya secara fisik dipengaruhi oleh lingkungannya


baik itu lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan sosial. Lingkungan
fisik yang secara langsung diterima oleh ternak antara lain, dari tanah, temperatur,
sinar matahari, kelembaban dan juga angin. Ternak untuk mempertahankan diri dari
lingkungan yang mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung, akan
memproduksi panas. Panas tersebut yang diproduksi oleh ternak akan
menggantikan panas yang hilang akibat penyesuaian suhu tubuh ternak.
Ternak dalam melepaskan panas untuk menyesuaikan dengan kondisi
lingkungannya melalui radiasi, konveksi, konduksi, evaporasi dan metabolisme.
Perpindahan energy yang dikeluarkan ternak pada lingkungannya sesuai dengan
panas yang dihasilkan (Hafez. By. E.S.E, 1968).

3.2. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas dari ternak yang mempunyai suhu lebih
tinggi pada sebuah benda yang suhunya lebih rendah. Kecepatan dari beberapa
konduksi panas dari berbagai subtansi alam, misalnya konduktivitas panas dari
perak adalah 1000 ; kulit manusia 3,5 – 0,8 (tergantung dari aliran darah); air 1,4 ;
kelinci 0,06 ; udara 0,056. Sehingga kecepatan konduksi panas memasuki kulit
adalah sama jumlahnya seperti yang masuk pada perbandingan dari air, tetapi lebih
tinggi 10 – 60 kali dari pada perbandingan pada penyulingan air (Hafez. By. E.S.E,
1968).
Konduksi terjadi tergantung dari pada 1) kontak fisik dengan benda atau
permukaan sekelilingnya; 2) temperatur dari permukaan tersebut (tinggi
temperatur); 3) konduktivitas ternak, temperatur dan luas permukaan yang kontak.
Misalnya huniditas yang tinggi di musim dingin akan meningkat rasa dingin, oleh
karna itu ditingkatkan konduktivitasnya melalui perlakuan penutup. Air dingin
merupakan alat pendingin yang efisien dan efektif melalui konduksi. Berbagai
metal mudah mengkonduksi panas, sedangkan udara, minyak, lemak, bulu, rambut,
nilon, sutera, kayu dan wol sukar mengkonduksi panas. Sebab itu manusia memilih
panci penggorengan dari metal (dengan alat pegangan dari kayu). Panas hilang
melalui konduksi, namun dapat diminimalkan dengan insulasi fur dan pakaian
penutup. Sapi dan babi mendisipasi panas melalui konduksi dengan tidur di lantai
yang dingin (Sihombing dkk, 2000). Panas yang dihasilkan ternak dapat hilang dari
tubuh dengan cara kontak lansung dengan permukaan yang lebih dingin. Sebaliknya
ternak juga dapat menambah panas melalui kontak denga permukaan yang lebih
panas. Jumlah energy panas yang dapat dipindahkan melalui konduksi, tergantung
pada perbedaan temperatur diantara dua tempat, luasnya permukaan yang kontak,
dan penutup dari dua benda yang saling berkontak. Perpindahan panas hingga ke
struktur badan juga melalui proses konduksi. Pemindahan panas dari ternak ke
lantai kandang akan lebih besar jika ternak tiduran dari pada berdiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan disspasi panas melalui konveksi
diantaranya adalah :
1) Luas permukaan tubuh
2) Kecepatan permukaan tubuh
3) Temperatur permukaan tubuh ternak
4) Temperatur sekitar.
Udara dekat ternak biasanya leibh panas dari udara lingkungan sekitarnya.
Menggantikan lapiasan udara yang mengelilingi ternak dengan udara lingkungan
yang dingin akan memindahkan panas dari ternak melalui konveksi. Pada udara
yang diam, suatu benda yang lebih panas dari udara akan menyebabkan udara dekat
benda tersebut dihangatkan. Karena udara tersebut lebih panas dari udara sekitar
yang juga kurang padat, maka udara yang panas akan naik, membawa panas dari
benda panas tadi dan serentak membawa udara yang lebih dingin di sekeliling benda
tersebut. Konveksi dipertinggi oleh angin, mungkin mendinginkan ataupun
memanaskan ternak, tergantung dari apakah udara tersebut lebih dingin atau lebih
panas dari temperatur permukaan tubuh ternak (Sihombing dkk, 2000).
Dengan demikian konveksi merupakan mekanisme pemindahan panas dari
satu molekul ke molekul lain dengan kontak fisik (panas ditranfer ke udara,
panasnya udara meningkat, lalu udara membawa panas tersebut bersamanya).
Akibatnya, udara yang datang lebih dingin menggantikan udara yang lebih panas,
atau sebaliknya (Hafez. By. E.S.E, 1968).

3.3. Evaporasi

Suatu sarana yang palin penting untuk melepaskan panas yang tinggi adalah
melalui evaporasi. Evaporasi dari kulit tergantung pada : temperatur dan uap
lembab kulit, penutup kulit (rambut, Wool, bulu), humiditas, kecepatan dan
temperatur udara sekitar, laju dan volume respirasi/pernafasan, ketersediaan air
untuk dievaporasikan, luas permukaan tubuh ternak (Sihombing dkk, 2000).
Proporsi banyaknya panas yang hilang oleh evaporasi dapat diubah oleh
pengukuran bulu atau wol. Ternak ungga yang berbulu normal kehilangan sekitar
50% panasnya oleh evaporasi, sedangkan unggas berbulu keriting hanya kehilangan
15 – 20% panasnya oleh evaporasi, karena kelilangan panas unggas berbulu keriting
lebih banyak melalui radiasi.
Pada ternak yang tidak berpeluh, sangat sedikit uap air yang keluar dari
kulitnya yaitu hanya uap lembab yang mencapai permukaan oleh osmosis, atau
permeabilitas fisis dan bukan dari aktivitas kelenjar keringat. Unggas tidak
memiliki kelenjar keringat oleh karena itu pendinginan evaporatif dilakukan dengan
mengengah-engah (panting) yang biasanya dimulai pada temperatur lingkungan
26,7 – 32,2 OC.
Pendinginan evaporatif juga telah terbukti berhasil pada kandang ayam
petelur dengan lingkungan terkontrol. Sewaktu temperetur lingkungan diluar
kandang 37,8OC (100 OF) atau lebih, kemudian didinginkan dengan menggunakan
kipas exhaust untuk menarik udara melalui permukaan basah (air disirkulasi
melalui wol-kayu atau ekseltor, di dinding samping) sehingga
menurunkan temperetur kandang 10 – 15OF (menjadi 32,2 – 29,4OC) akan
meningkatkan jumlah telur yang dihasilkan (Hafez. By. E.S.E, 1968).

3.4. Radiasi.

Radiasi adalah suatu alat yang sangat penting untuk penghilang panas dari
ternak ke benda yang lebih dingin dan ternak memperoleh panas dari benda yang
lebih panas. Energi radiasi tidak memanaskan udara secara langsung, tetapi secara
tidak langsung memanaskan permukaan padat, seperti tanah, air, bangunan,
pepohonan, kabut, debu, ternak dan sebagainya. Dengan cara ini energi radiasi
diubah menjadi energi termal, yang selanjutnya memanasi udara melalui konduksi
dan konveksi, dan memasuki benda padat melalui pantulan radiasi (Sihombing dkk,
2000). Memperoleh atau kehilangan panas yang ditransfer gelombang sinar infra
merah (> 700 mu, milimikron) tergantung bukan hanya pada temperatur tetapi juga
pada warna dan tektur benda (makin gelap dan makin kasar permukaan benda akan
memaksimalkan proses radiasi).
Faktor yang mempengaruhi kehilangan atau perolehan panas melalui radiasi adalah
1) luas permukaan tubuh
2) temperatur kilit ternak
3) temperatur udara sekeliling ternak
4) emisivitas (emissivbity, absorptivity) kulit ternak, yakni kesanggupan tubuh
ternak menyerap dan memancarkan panas.

3.5. Pengaruh Iklim Terhadap Pertumbuhan

Efek dari iklim yang panas pada ayam broiler akan mengakibatkan
menurunkan konsumsi pakan, dan meningkatkan konsumsi air minum untuk
mengimbangai dan menyesuaikan suhu tubuh dengan suhu lingkungan. Dengan
menurunnya konsumsi pakan maka nilai nutrisi yang masuk dalam tubuh juga akan
berkurang, yang selanjutnya pada bobot badan yang dihasilkan juga akan menurun
jika dibandingkan dengan ayam broiler yang dipelihara pada suhu yang termonetral.
Soeharsono, (1976) Dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada fase
pertama pengendalian berupa peningkatan produksi panas atau pengeluaran panas,
sedang pada fase kedua bersifat peningkatan atau pengurangan pemasukan energi.
Yang segera tampak dari efek temperatur lingkungan yang tinggi dalam
keseimbangan produksi panas adalah perubahan temperatur tubuh, sedangkan
dalam pengaturan pemasukan energi ini ialah adanya perubahan konsumsi ransum.
Dalam hal ini naiknya temperatur lingkungan menyebabkan naiknya temperatur
tubuh dan disusul oleh menurunnya konsumsi ransum yang akhirnya dapat
menurunkan pertumbuhan. Oleh karena itu konsumsi ransum merupakan kunci
pengaruh pola keseimbangan antara zat-zat makanan dalam ransum di daerah
tropik, terutama imbangan kalori/protein.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Ayam broiler yang mempunyai suhu pertumbuhan optimal 19 – 21°C,


apabila mendapat cekaman suhu panas akan menyesuaikan dengan konduksi
berbaring pada lantai, konveksi dengan meregangkan sayap untuk memperluas
permukaan tubuh, radiasi dengan memantulkan panas yang diterima melalui bulu-
bulunya dan respirasi dengan terlihat mempercepat pernapasan “panting”.
DAFTAR PUSTAKA

Ames, 1995. Tunnel Ventilation to Alleviate Animal Heat


Stress. Iowa State University Extension.
Brotowijoyo, 1987. Parasit Parasitisme. Penerbit PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Hafez. By. E.S.E, 1968. Adaptation of Domestic Animals. Lea and
Febiger. Philadelphia.
Horst P. dan Mathur P.K., 1989. Position of local fowl for tropically oriented
breeding activities. In genotip x environtment interaction in poultry
production. Edit, P. Merat, Jony. En-Josas (France) May 9 – 11. P: 159 –
174.
Nasroedin, 1985. Poultry Hausing in Tropical Climate /Indonesia.
Pringgosaputro S. dan Srigandono B., 1990. Dalam Terjemahan Ekologi
Umum. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Rozany H. R., 1982. Pengaruh minyak kelapa dan minyak kacang tanah terhadap
pertumbuhan ayam pedaging. Tesis, Fakultas Pasca Sarjana Institut
PertanianBogor.
Soeharsono, 1976. Respon broiler terhadap berbagai kondisi lingkungan. Disertasi
pada Universitas Negeri Padjadjaran.
Sihombing. DTH, dkk, 2000. Lingkungan Ternak. Universitas Terbuka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai