Anda di halaman 1dari 9

PPI Brief Series

Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

PPI Brief no. 2 / 2018


Pengembangan Gas Metana Batubara sebagai
Energi Baru Terbarukan di Indonesia: Kebijakan
dan Strategi Percepatan
Oleh Aldin Ardian
PPI Brief 1
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

RINGKASAN EKSEKUTIF
• Dewan Energi Nasional telah menyusun diversifikasi energi nasional hingga tahun 2050,
dan Energi baru terbarukan (EBT) diproyeksikan mampu memiliki tingkat pertumbuhan
paling tinggi. Gas Metana Batubara atau Coalbed methane (CBM) menjadi salah satu anda
lan EBT. Namun, produksi listrik dari CBM diragukan pertumbuhannya untuk mencapai
target bauran energi nasional.

• Evaluasi kebijakan, pemetaan hambatan, dan pemberian solusi prospektif harus dilakukan
untuk meningkatkan pertumbuhan industri CBM di Indonesia.

• Tantangan pada pengembangan industri CBM di Indonesia adalah (1) eksplorasi dan pem
bebasan lahan, (2) aspek teknis pada proses dewatering (proses pengeringan sumur produk
si), dan (3) rezim fiskal. Pemerintah perlu mengupayakan kebijakan untuk merespons beber
apa hal ini melalui aturan hukum dan peta jalan yang komprehensif.

ENERGI BARU TERBARUKAN DI INDONESIA


Dewan Energi Nasional (DEN) telah menyusun target bauran energi nasional dari tahun 2015
hingga tahun 2050. Pada tahun 2015 hingga 2020, minyak masih mendominasi bauran energi
nasional, diikuti oleh batubara pada tahun 2025 hingga 2035. Namun demikian, Energi baru
terbarukan (EBT) pada 2050 diproyeksikan mendominasi bauran energi nasional (gambar 1).

Bagan 1. Bauran Energi Nasional Tahun 2015 dan 2050

2015 2050
Sumber: (DEN, 2014)
Keterangan:
ET : Energi Terbarukan
EB : Energi Baru
EBT : Energi Baru Terbarukan
MTOE : Million Tonnes of Oil Equivalent
PPI Brief 2
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

Menariknya, EBT ditargetkan memiliki tingkat pertumbuhan paling tinggi dari awal
hingga akhir (tabel 1). Khususnya energi baru (EB) seperti Gas Metana Batubara Coalbed
methane (selanjutnya akan disebut CBM), nuklir, hidrogen, batubara tergaskan dan tercair-
kan hingga tahun 2030 diproyeksikan memiliki pertumbuhan lebih dari 2 kali lipat.
Bahkan, pemerintah menargetkan kontribusinya sebesar 22% dari total EBT atau 6,8% (68
MTOE) dari total bauran energi nasional.

Tabel 1. Tingkat Pertumbuhan Sumber Produksi Energi Nasional

Sumber: (Dewan Energi Nasional, 2014) (diolah)

Pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia bisa dikatakan cukup bervariasi. Energi
nuklir menjadi alternatif terakhir karena alasan keselamatan, hidrogen dan batubara tergaskan
masih belum terlihat perkembangannya, kemudian batubara tercairkan sempat digadang-ga-
dang menjadi sumber energi baru pada tahun 2009 yang akan dibangun di Sumatera Selatan,
tetapi hingga saat ini perkembangannya belum terlihat signifikan (Kementerian-ESDM,
2018a). Sementara itu, meskipun pengembangan Coalbed Methane cenderung lambat,
perkembangannya saat ini mulai menunjukkan hasil untuk menjadi sumber energi baru.

Oleh karena itu, pengembangan energi baru perlu mendapat perhatian lebih, terutama di
bidang CBM. PPI Brief ini mengupas prospek pengembangan kebijakan sektor energi baru di
Indonesia, ditinjau dari aspek teknis dan regulasi. Kami berargumen bahwa pengembangan
CBM di Indonesia tak terlepas dari tiga sisi penting: eksplorasi, pengembangan, dan rezim
fiskal. PPI Brief ini mengulas pengembangan CBM berdasarkan tiga aspek tersebut dan mere-
komendasikan beberapa strategi percepatan ke depan.
PPI Brief 3
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

MENGAPA GAS METANA BATUBARA PENTING BAGI


PENGEMBANGAN ENERGI DI DI INDONESIA?
Coalbed Methane atau Gas Metana Batubara (CBM) adalah gas yang terbentuk melalui proses
geologi pembatubaraan (koalifikasi) dengan suhu dan tekanan tinggi atau aktivitas metabo-
lisme mikroorganisme pada batubara (Haq et al., 2018). Gas ini sebelumnya hanya dianggap
racun pada kegiatan penambangan batubara, tetapi sekarang gas ini dapat dimanfaatkan
sebagai sumber energi dengan menerapkan teknologi baru (Debnath, 2016; Haswell & Beth-
mont, 2016). Amerika serikat merupakan negara pertama yang mengeksploitasi CBM pada
tahun 1930, diikuti oleh Tiongkok Australia, Kanada, dan Jerman sebagai negara dengan
angka produksi CBM terbesar di dunia (Formolo, Martini, & Petsch, 2008; IEA, 2018).
Sementara itu, eksplorasi CBM di Indonesia dimulai pada tahun 2009 dengan mengeluarkan
54 PSC (production-sharing contract). Stevens (2004) memperkirakan sumber daya CBM Indo-
nesia berkisar pada angka 453 TCF (trillion cubic feet), dengan potensi terbesar di Sumatera
Selatan. Sayangnya hingga hari ini, produksi CBM di Indonesia belum mencapai target bauran
energi nasional.

Pada tahun 2013, salah satu pemegang PSC, PT. Virginia Indonesia Company (VICO) untuk
pertama kali memproduksi listrik dengan jumlah kecil (Kontan, 2014). Sedangkan perkemban-
gan produksi pemegang PSC lainnya masih dibelakang VICO. Hingga tahun 2015, produksi
listrik dari CBM Indonesia masih di angka 0,08 MTOE. Perlu diketahui bahwa CBM ditarget-
kan mampu memproduksi listrik 3 MTOE pada tahun 2015, kemudian pada tahun 2014 diper-
barui bahwa target pada tahun 2015 menjadi 0 MTOE dan pada tahun 2020 menjadi 5 MTOE
(Blueprint, 2006; DEN, 2014).

Hingga 2018, paling tidak ada 22 PSC memilih menghentikan operasinya karena alasan
keekonomian dan lingkungan (Kementerian-ESDM, 2018b). Hal ini tentunya mengkhawatir-
kan, mengingat Indonesia memiliki sumber daya CBM yang tinggi, harga minyak yang terus
meningkat, dan target capaian bauran energi nasional yang patut dipatuhi. Oleh sebab itu,
strategi percepatan perlu dirumuskan untuk memastikan Indonesia bisa mencapai target
bauran energi nasional yang sudah ditetapkan. Sebagai tambahan, industri pertambangan
batubara menjadi lebih aman dari emisi gas beracun dan risiko ledakan jika gas metananya
telah dieksploitasi (Rychlicki & Twardowski, 2002; Zhou et al., 2015).

PENGEMBANGAN GAS METANA BATUBARA DI INDONESIA: TANTANGAN KEBIJAKAN


Pemerintah sudah merumuskan beberapa kebijakan CBM di Indonesia, misalnya melalui
Peraturan Menteri ESDM No. 33 Tahun 2006 tentang Pengusahaan CBM. Peraturan ini kemu-
dian direvisi melalui Peraturan Menteri ESDM No. 36 tahun 2008, yang merevisi peraturan
sebelumnya untuk mempercepat proses investasi dan pengusahaan CBM. Belakangan, Men-
PPI Brief 4
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

teri ESDM menggabungkan peraturan menteri tersebut ke dalam Peraturan Menteri ESDM
No. 8 tahun 2017 tentang Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Bumi.

Melihat perkembangan industri CBM di Indonesia saat ini yang masih jauh dari target, anali-
sis teknis maupun non-teknis perlu dilakukan. Oleh karena itu, beberapa tantangan kebijakan
pengembangan CBM yang dilakukan oleh pemerintah perlu dievaluasi, agar peta jalan yang
lebih komprehensif bisa dirumuskan untuk mempercepat pengembangan energi baru terbaru-
kan di Indonesia. PPI Brief ini memetakan tantangan tersebut di dalam tiga tahap: eksplorasi,
pengembangan (development), dan rezim fiskal.

Tahap Eksplorasi
Nampaknya hambatan pengembangan industri CBM Indonesia bermula sejak tahap paling
awal, yaitu eksplorasi. Pada tahap ini, lahan yang luas diperlukan untuk membangun sumur
bor dalam jumlah besar (Flores, 2004). Sehingga, peran pemerintah dalam pembebasan lahan
dirasa cukup signifikan. Sebenarnya, pemerintah dalam hal ini, telah mengeluarkan peraturan
tentang pembebasan lahan yang tertuang dalam Permen ESDM No. 33 tahun 2016. Namun,
fakta di lapangan masih terjadi konflik yang belum terselesaikan antara pihak investor dan
warga sekitar atau pemilik lahan.

Tahap Pengembangan
Masalah selanjutnya pada tahap development. Iklim Indonesia dengan curah hujan tinggi,
mengakibatkan proses dewatering (pengeringan sumur produksi, sebelum eksploitasi CBM)
membutuhkan waktu hingga tahunan (Sumarno & Bergmann, 2017). Ini jauh lebih lama dib-
anding dengan negara produsen CBM lainnya seperti USA, Australia, dan Kanada yang
memiliki iklim kering dengan proses dewatering 1 – 6 bulan (Montgomery, 1999). Proses
dewatering yang lebih lama meningkatkan biaya development. Hal ini diperparah bila untuk
mendapatkan ijin plan of development (POD) menghabiskan waktu berbulan-bulan.

Rezim Fiskal
Masalah ketiga adalah fiscal regime. Modal pengusahaan CBM lebih besar dibanding usaha
hidrokarbon konvensional ditambah dengan risiko pada industri CBM di Indonesia masih
tinggi dibanding minyak dan gas konvensional, maka perlu dibentuk skema khusus untuk
meningkatkan minat investor. Pemerintah telah memberikan skema PSC terbaru yaitu Gross
Split yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 8 tahun 2017 serta insentif fiskal
berupa pembebasan bea masuk atas impor barang dalam Peraturan Menteri Keuangan
No.177/PMK.011/2007. Namun, nampaknya hingga akhir 2018, produksi CBM masih belum
signifikan dibanding akhir tahun 2015 lalu.
PPI Brief 5
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

MENCAPAI TARGET BAURAN ENERGI NASIONAL: STRATEGI PERCEPATAN


Sampai saat ini, secara umum kebijakan CBM di Indonesia merupakan turunan dari kebijakan
Migas yang mengalami modifikasi khusus untuk gas nonkonvensional. Oleh karena itu, dari
masalah di atas dan kebijakan yang telah ada, perlu dikaji lebih jauh dengan tujuan mening-
katkan produksi CBM guna mencapai target bauran energi nasional.

1. Memperbaiki proses pembebasan lahan yang berkeadilan dan mengakomodasi kepentin-


gan semua pihak, baik warga terdampak maupun investor

Masalah pembebasan lahan hampir terjadi di semua pengusahaan CBM di Indonesia maupun
luar negeri, karena dengan target produksi yang sama, CBM membutuhkan jumlah sumur
lebih banyak dibanding eksploitasi gas konvensional. Peran pemerintah cukup krusial untuk
memberikan ketenangan bagi warga terdampak dan bagi investor. Jika memungkinkan. ker-
jasama investor dengan pemilik lahan dapat dilakukan melalui perjanjian kontrak atau royalti
dan disetujui dewan konservasi sumber daya energi. Dalam konteks Indonesia, perlu adanya
upaya untuk menengahi konflik kepentingan yang muncul, termasuk juga dampak-dampak
lingkungan yang menyertai proses pembebasan lahan tersebut. Beberapa instrument seperti
Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau analisis sosial perlu dipertimbangkan
dalam konteks ini.

2. Memperbaiki Kesenjangan Pengetahuan dan Biaya Ekonomi dalam Pengembangan


Teknologi, khususnya Dewatering

Masalah selanjutnya adalah kendala teknis pada tahap development berupa proses dewater-
ing. Proses dewatering yang memakan waktu hingga menahun berakibat pada besarnya capi-
tal expenditure investor. Keringanan pajak dan bagi hasil khusus CBM dapat menjadi solusi
efektif. Masalah ini dapat pula dilihat dari sisi knowledge gap berupa sumber daya manusia
dan teknologi.

Mengatasi masalah pada proses dewatering, kerjasama lintas kementerian dapat menjadi
solusi. Sebagai contoh, pemerntah bisa memfasilitasi perguruan tinggi untuk mengembang-
kan riset terkait dewatering. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bisa mem-
berikan hibah penelitian di bidang eksplorasi, dewatering, dan pengembangan teknologi.
Selain itu, Kementerian Keuangan bisa memberikan tax holiday bagi investor CBM atau peru-
sahaan yang memanfaatkan CBM, subsidi alat produksi, kemudahan perbankan, atau beasis-
wa pendidikan.
PPI Brief 6
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

Hal ini tentu membutuhkan kerjasama antara kementerian, yang sampai saat ini masih menja-
di pekerjaan rumah besar bagi birokrasi di Indonesia. Dewan Energi Nasional bisa memainkan
peran untuk memfasilitasi koordinasi lintas Kementerian/Lembaga ini, sehingga risiko pen-
gusahaan CBM secara khusus dan energi baru terbarukan secara umum dapat dikurangi.

3. Mengembangkan Skema Investasi Fiskal Khusus CBM pada tahap eksplorasi hingga
produksi

Masalah rezim fiskal membutuhkan koordinasi kebijakan terkait dengan perekonomian.


Makmun and Sitepu (2012) berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya memberikan skema
PSC atau insentif fiskal khusus CBM pada tahap eksplorasi hingga produksi untuk menguran-
gi biaya produksi dan meningkatkan daya beli, mengingat industri CBM masih baru. Dengan
diterbitkannya Permen ESDM No. 8 tahun 2017, dapat dikatakan kebijakan ini memancing
investor gas alam nonkonvensional, seperti CBM, dengan memberi peluang split lebih besar
dan waktu perijinan jauh lebih singkat.

Namun, perlu dipertimbangkan juga bahwa risiko CBM di Indonesia terbilang tinggi sebagai
energi baru. Oleh karena itu, fleksibilitas pemerintah merubah persentase split, insentif perpa-
jakan lainnya dapat dipertimbangkan. Sebagai contoh, pemerintah bisa menerbitkan regulasi
terkait dengan, misalnya, tax holiday hingga periode capaian bauran energi berikutnya. Hal
ini akan memberikan keringanan untuk mempercepat investasi di sektor energi baru tersebut.

Jika target bauran energi sudah tercapai atau iklim investasi CBM sudah baik, insentif dapat
dihentikan. Di samping itu, manfaat yang diterima pemerintah harus lebih tinggi (misal multi-
plier effect). Jika ternyata pemberian insentif hanya bertujuan mencapai target bauran energi
dan mengorbankan manfaat yang lebih fundamental, kebijakan bauran energi untuk EB atau
CBM bisa menjadi kajian tersendiri.

KESIMPULAN
Industri CBM masih tergolong baru di Indonesia. Bagi investor, risiko untuk terjun di industri
ini masih tinggi. Di sisi lain, pemerintah harus menjaga ketahanan energi nasional guna men-
jamin pemerintahan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat vital teru-
tama sebagai pengatur, pengarah, dan pengawas. Pengambilan kebijakan yang tepat oleh
pemerintah akan memberikan hasil yang optimal bagi para pemangku kepentingan pada
industri CBM. Iklim investasi CBM yang kondusif, tercapainya ketahanan energi nasional dan
kesejahteraan masyarakat menjadi kondisi ideal yang diharapkan.
PPI Brief 7
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

TENTANG PENULIS
Aldin Ardian adalah Kandidat PhD dalam Kajian Miner-
al Economics di McGill University, Montreal, Kanada dan
Anggota Komisi Energi PPI Dunia.

PPI Brief adalah analisis bulanan PPI Dunia atas Kondisi nasional dan internasional terkini.
Kritik dan Saran bisa diberikan pada pusgerak@ppidunia.org

Dewan Redaktur: Ahmad Rizky M. Umar, Bening Tirta Muhammad, Rachmad Adi Riyanto,
dan Tim Pusat Kajian & Gerakan PPI Dunia 2018/2019

CATATAN AKHIR
Blueprint. (2006). Blueprint pengelolaan energi nasional 2006-2025.

Debnath, R. (2016). Studies on recovery of coal bed methane and its possible utilization in
power generation systems. Everyman's Science, L1(4), 247.

DEN. (2014). Laporan Dewan Energi Nasional 2014. Dewan Energi Nasional Republik Indone-
sia.

Flores, R. (2004). Coalbed methane in the Powder River Basin, Wyoming and Montana: an
assessment of the Tertiary–Upper Cretaceous coalbed methane total petroleum system. US
Geological survey digital data series dds-69-c, 2, 56.

Formolo, M., Martini, A., & Petsch, S. (2008). Biodegradation of sedimentary organic matter
associated with coalbed methane in the Powder River and San Juan Basins, USA. International
Journal of Coal Geology, 76(1-2), 86-97.

Haq, S. R., Tamamura, S., Ueno, A., Tamazawa, S., Aramaki, N., Murakami, T., . . . Kaneko, K.
(2018). Biogenic methane generation using solutions from column reactions of lignite with
hydrogen peroxide. International Journal of Coal Geology, 197, 66-73.

Haswell, M., & Bethmont, A. (2016). Health concerns associated with unconventional gas
mining in rural Australia. Rural Remote Health, 16, 3825.
PPI Brief 8
Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

IEA (Producer). (2018, November 23rd 2018). Unconventional gas production database.
Retrieved from https://www.iea.org/ugforum/ugd/

Kementerian-ESDM (Producer). (2018a). Ditjen EBTKE gelar diskusi tax allowance dan solusi
alternatif pendanaan EBT. Retrieved from https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direk-
torat-jenderal-ebtke/ditjen-ebtke-gelar-diskusi-tax-allowance-dan-solusi-alternatif
-pendanaan-ebt

Kementerian-ESDM (Producer). (2018b, November 23rd 2018). Sembilan WK CBM lakukan tes
produksi. [Berita] Retrieved from https://www.migas.esdm.go.id/post/read/sembi-
lan-wk-cbm-lakukan-tes-produksi

Kontan (Producer). (2014, November 23rd 2018). VICO investasi US$200 juta di blok CBM San-
ga-Sanga. [Berita] Retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/vico-investasi-us200-ju-
ta-di-blok-cbm-sanga-sanga

Makmun, M., & Sitepu, E. M. P. (2012). Effect of fiscal incentives on coal bed methane price: a
hypothetical analysis. Review of Indonesian Economic and Business Studies, 3(2), 37.

Montgomery, S. L. (1999). Powder River basin, Wyoming: an expanding coalbed methane (CBM)
play. AAPG bulletin, 83(8), 1207-1222.

Rychlicki, S., & Twardowski, K. (2002). World coalbed methane projects. Polish Geological Insti-
tute Special Papers, 7, 215-224.

Stevens, S. H. (2004). Indonesia: coalbed methane indicators and basin evaluation. Paper pre-
sented at the SPE Asia Pacific oil and gas conference and exhibition.

Sumarno, T. B., & Bergmann, A. (2017). Coal Bed Methane (CBM) in Indonesia: A comparative
analysis of Net Production Sharing Contract (PSC) and Non-Cost Recovery Gross PSC Sliding
Scale. Paper presented at the East Meets West SPE Congress, Krakow, Poland.

Zhou, H., Zhang, R., Cheng, Y., Dai, H., Ge, C., & Chen, J. (2015). Methane and coal exploitation
strategy of highly outburst-prone coal seam configurations. Journal of Natural Gas Science and
Engineering, 23, 63-69.

Anda mungkin juga menyukai