Kajian Tentang Aliran
Kajian Tentang Aliran
1. Positivisme Sosial
Positivisme sosial merupakan hasil pemikiran dari salah satu tokoh
positivisme, yaitu August Comte. Beliau yang meyakini bahwa kemajuan sosial
hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu-ilmu positif. Positivisme ini juga
dikembangkan di Inggris oleh James Mill, J.Bentham, dll. Demikian juga di Italia
oleh Carlo Cattaneo dan Giussepe Ferrari. Lalu di Jerman oleh Friederich Jodl dan
Ernst Laas.
August Comte membagi sejarah peradaban manusia atau perkembangan
pemikiran manusia menjadi tiga tahapan:
a) Teologikal
Manusia memahami segala sesuatu di alam ini sebagai campur tangan Tuhan
secara langsung dan mutlak. Pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya
kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama). Di sini manusia percaya kepada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik kejadian tersirat
adanya maksud tertentu.
b) Metafisis
Keyakinan tentang campur langsung Tuhan tidak lagi begitu kuat, tetapi beralih
menjadi keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam ini sudah
diatur berdasarkan ketentuan metafisis. Pada tahap ini manusia hanya sebagai
tujuan pergeseran dari tahap teologikal. Sifat yang khas adalah kekuatan yang
tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai
pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam.
c) Positivisme-ilmiah
Manusia mengusahakan kemajuannya lewat pemanfaatan ilmu pengetahuan
positif yang menggunakan pengamatan dan pengukuran empiris. Pada tahap ini
manusia telah mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologikal dan
metafisi tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum
yang berasal dari fakta-fakta pengamatan dengan memakai akal.
makna. Salah seorang penganut paham tersebut adalah A.J Ayer dalam bukunya
yang berjudul Language, Truth and Logic. Salah satu pendapatnya yang dikutip dari
buku tersebut adalah “Sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filsuf
sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan uga tidak ada
gunanya”.
Positivisme logikal berusaha membedakan antara pernyataan bermakna
dengan pernyataan tidak bermakana berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi.
Pernyataan yang dapat diverifikasi adalah pernyataan yang dapat diuji dan
dibuktikan kebenarannya melalui pengalaman dan pengamatan inderawi.
Positivisme logikal menganut prinsip isomorfi, prinsip yang mengakui adanya
hubungan mutlak bahasa dan fakta (Bertand Russell dan dikembangkan
Wittgenstein). Menurut mereka, bahasa yang dipakai sehari-hari tidak cukup jelas,
karena itu perlu diciptakan bahasa yang logikal dengan tingkat kecermatan
matematis. Sebuah pernyataan dikatakan bermakna apabila:
a. Dapat dibenarkan secara definisi atau tautologies-analitik
Contoh : rektor adalah pimpinan universitas
b. Dapat dibenarkan secara empiris
Contoh : Andi adalah idiot, -- tes IQ
Pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris, seperti metafisik tidak
layak dimasukkan dalam bagian ilmu pengetahuan yang dapat dikaji dan
dikembangkan. Karena itu, metafisik pada dasarnya tidak akan mampu
menciptakan kemajuan di dunia ini. Keteguhan positivisme untuk mengukuhkan
pengalaman dan pengamatan inderawi sebagai satu-satunya kriteria kebenaran
membawa aliran ini tidak memberikan tempat yang sejajar antara ilmu sosial
dengan ilmu alam.
Bagi mereka, ilmu alam dan ilmu sosial harus dipandang sebagai satu-
kesatuan, tidak ada perbedaan, namun dengan tolak ukur ilmu alam. Prinsip
kesatuan ilmu ini pada gilirannya berdampak pada perlunya menyatukan ilmu
pengetahuan yang berbasis pada tolak ukur ilmu alam dalam satu bahasa ilmiah.
Dalam mewujudkan pandangan positivisme, filsafat bertugas sebagai analisia atas
kata-kata atau pernyataan-pernyataan.
6
Karya utama Kant selama periode kritis meliputi Critique of Pure Reason,
di mana dia menguji akal manusia dan menyimpulkan bahwa manusia mampu
membangun ilmu pengetahuan, dan bukan metafisika. Pada tahun 1783 ia
menerbitkan Prolegomena atau Prologues to any Future Metaphysics, di mana
dia menguji hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Pada 1785
terbitlah karyanya berjudul Foundation for the Metaphysics of Ethics, di mana ia
mendiskusikan masalah moral berdasarkan prinsip-prinsip kritik transendental.
Dalam bukunya Critique of Judgment, ia menguji finalitas alam semesta dan
masalah etika.
Ada 3 kritik yang mendasari pemikiran Immanuel Kant dalam merumuskan
fenomenalitas Rasionalisme Kritis yaitu :
1. Kritik atas rasio murni (Pure Reasoning Critique)
Dalam kritik ini, Kant merujuk pada pemikiran rasionalisme ala Descartes,
Spinoza, dan Leibniz, di mana rasionalisme gagal menunjukan validitas dan
keabsahannya kepada ilmu alam, tanpa jatuh ke dalam Panteisme. Dalam hal lain,
Kant juga mengkritik pemikiran Hume mengenai empirisme. Hume mengajukan
ide tentang Asociation of Impression (Asosiasi Impresi) inderawi, di mana manusia
yang mendapatkan kesan atau impresi menghubungkan ide-ide tersebut dan
menyatukannya sehingga membentuk nilai-nilai universalitas. Tapi, jika intelek
bisa menghubungkan impresi-impresi inderawi dan mengaskan aspek universalitas,
maka hal ini bukanlah tabula rasa melainkan sudah ada innate value di dalam diri
kita. Oleh karena itu, Kant berusaha menemukan jalan keluar melalui pendekatan
sintesis apriori yaitu pendekatan bagaimana sesuatu harus ada dalam intelektual kita
dahulu sebelum kita melihatnya di dunia nyata. Forma (bentuk) harus ada dalam
pikiran sebelum mewujud menjadi bentuk mater (Materi). Hal ini merupakan
bentuk penyatuan daripada rasionalisme dan empirisme. Karena, forma mewakili
rasionalisme yang awalnya hanya ada di pikiran kita, lalu mewujud ke dalam materi
yang merupakan bukti empiris . Jadi inilah poin yang ingin disampaikan Immanuel
Kant. Forma dan Mater.
2. Kritik atas rasio praktis (Practical Reason Critique)
11