Anda di halaman 1dari 60

BAB II

TINJAUAN UMUM APOTEK

2.1 Definisi Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

2017 Tentang Apotek, dijelaskan bahwa apotek Apotek adalah sarana pelayanan

kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Sementara itu

berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan

Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu

tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan

farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.

Pekerjaan kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

N0. 51 tahun 2009 adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan

farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau

penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan

informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Apotek

sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan perlu mengutamakan kepentingan

masyarakat dan berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan

perbekalan farmasi.

Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang telah lulus sebagai

apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker yang telah diberi Surat

Izin Praktek Apoteker (SIPA). Dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasiannya,

apoteker dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang terdiri dari sarjana farmasi,
ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/ asisten

apoteker yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian

(STRTTK) (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009). Selain sebagai tempat

pengabdian profesi, apotek bagi apoteker juga menjadi sarana farmasi untuk

melakukan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat

serta sarana penyaluran perbekalan farmasi yang diperlukan masyarakat secara

meluas dan merata.

2.2 Landasan Hukum Apotek

Regulasi atau peraturan tentang apotek di Indonesia sudah beberapa kali

mengalami perubahan. Berikut beberapa peraturan yang mengatur tentang apotek:


a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.
c. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP No.

26 tahun 1965 tentang Apotik


d. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan

Farmasi dan Alat Kesehatan


e. Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
f. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.


g. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015

tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,

Psikotropika dan Prekursor Farmasi.


h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017

tentang Apotek.
i. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.


j. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/

SK/2002 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan Tata Cara Perizinan

Apotek.
k. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.


l. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017

tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika.


2.3 Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah R1 No. 25 Tahun 1980 Pasal 2, tugas

dan fungsi apotek adalah:


a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan Apoteker


b. Sarana farmasi yang melakukan peracikan, pengubahan bentuk,

pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.


c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat

yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

2.4 Syarat Pendirian Apotek


Dalam mendirikan suatu apotek harus memenuhi beberapa persyaratan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 tahun 2017 tentang apotek

persyaratan pendirian apotek harus memenuhi syarat berikut.


2.4.1 Lokasi

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di

wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan

pelayanan kefarmasian. Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah

dikenali oleh masyarakat. Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang
dengan jelas tertulis kata ‘APOTEK’. Apotek harus dapat dengan mudah diakses

oleh masyarakat. Lokasi apotek harus mempertimbangkan segi penyebaran dan

pemerataan pelayanan, jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan

kesehatan, lingkungan yang higienis dan faktor-faktor lainnya.

2.4.2 Bangunan

Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan

kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan

keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anakanak, dan orang

lanjut usia. Bangunan Apotek harus bersifat permanen. Bangunan bersifat

permanen dan dapat merupakan bagian dan/atau terpisah dari pusat perbelanjaan,

apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.

2.4.3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 tahun 2017, ruangan yang

harus tersedia dalam sebuah apotek adalah sebagai berikut 

a. Penerimaan resep

b. Pelayanan resep dan peracikan

c. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan

d. Konseling

e. Penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan

f. Arsip
Prasarana apotek paling sedikit terdiri atas:

a. Instalasi listrik.

b.Instalasi air bersih

c. Sistem tata udara

d. Sistem proteksi kebakaran

Peralatan apotek meliputi:

a. Rak obat

b. Alat peracikan

c. Bahan pengemas obat

d. Lemari pendingin, meja, kursi, komputer

e. Sistem pencatatan mutasi obat

f. Formulir catatan pengobatan pasien dan peralatan lain sesuai dengan

kebutuhan

Semua sarana, prasarana, dan peralatan yang terdapat pada apotek harus

dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.

2.4.4 Ketenagaan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, Dan Izin Kerja

Tenaga Kefarmasian, tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan

pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah

mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga

yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri


atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga menengah

Farmasi atau Asisten Apoteker.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, tenaga kerja yang

melaukan pekerjaan kefarmasian di apotek terdiri dari:

1) Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah memiliki

Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA).


2) Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping

APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka

apotek.
3) Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama

APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus-

menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak

sebagai APA di apotek lain.


4) Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-

undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten

apoteker yang berada di bawah pengawasan apoteker.

Selain itu, terdapat tenaga lainnya yang dapat mendukung kegiatan di

apotek yaitu (Umar, M., 2011):

1) Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan asisten apoteker.


2) Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan,

dan pengeluaran uang.


3) Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi

apotek dan membuat laporan pembelian, penjualan, penyimpanan, dan

keuangan apotek.

Apoteker Penanggung Jawab Apotek dalam menyelenggarakan Apotek

dapat dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga

administrasi. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memiliki surat izin
praktik.Setiap tenaga kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian wajib

memiliki surat izin sesuai tempat bekerja. Surat izin yang dimaksud berupa:

a. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek,

puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.

b. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai

Apoteker pendamping.

c. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas

kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit.

d. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan

Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian.

Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin

yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan

Kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

Untuk memperoleh SIPA menurut Permenkes RI No.

889/MENKES/PER/V/2011, Apoteker mengajukan surat permohonan kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian

dilaksanakan. Permohonan SIPA harus melampirkan:

a. Foto copy STRA yang dilegalisir oleh KFN


b. Surat pernyataan mempunyai tempat untuk praktek profesi

apoteker/Surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan

kefarmasian.
c. Surat rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat (IAI).
d. Pas foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak dua lembar dan 3x4 sebanyak

dua lembar.
STRA dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan, STRA ini dapat diperoleh jika

seorang apoteker memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Memiliki ijazah apoteker.


b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi.
c. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker.
d. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang

memiliki surat izin praktik.


e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika

profesi.

Persyaratan yang harus dilengkapi oleh Apoteker untuk mendapatkan Surat

Rekomendasi dari Organisasi Profesi (Ikatan Apoteker Indonesia) adalah sebagai

berikut:

a. Fotokopi KTP atau surat keterangan domisili dari kelurahan sesuai

dengan tempat kerja praktek/kerja.


b. Fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dengan masa

berlaku minimal tiga bulan sebelum berakhir.


c. Fotokopi Sertifikat Kompetensi Apoteker dengan masa berlaku minimal

tiga bulan sebelum berakhir.


d. Surat pernyataan akan melaksanakan praktik secara bertanggung jawab

dan tidak akan melanggar kode etik, pedoman disiplin dan peraturan

organisasi.
e. Fotokopi Surat Sumpah Apoteker.
f. Fotokopi Ijazah Apoteker.
g. Akte notaris perjanjian kerja sama Apoteker dengan Pemilik Sarana

Apotek.
h. Pas foto berwarna 4x6 dan 3x4.

2.5 Perizinan Apotek

Izinmendirikan apotekdiberikan olehMenteriKesehatan


RepublikIndonesia, kemudian

MenterimelimpahkankewenanganpemberianizinapotekkepadaKepala Dinas

KesehatanKabupaten/Kota berupa Surat Izin Apotek (SIA) yang berlaku 5 (lima)

tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

Ketentuandan TataCaraPemberianIzinApotekmenurutKeputusan Menteri

Kesehatan Republik IndonesiaNo. 9 tahun 2017 adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh Surat Izin Apotek (SIA), Apoteker harus mengajukan

permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.


2. Permohonan harus ditanda tangani oleh apoteker disertai dengan kelengkapan

dokumen administratif meliputi:


a. Fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dengan menunjukkan

STRA asli.
b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)
c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker
d. Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan
e. Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
3. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejakmenerima permohonan dan

dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif, Pemerintah

Daerah Kabupaten/ Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan

pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek.


4. Tim pemeriksa harus melibatkan unsur Dinas Keseharan Kabupaten/ Kota

yang terdiri atas:


a. Tenaga kefarmasian dan
b. Tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana.
5. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa

ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat

yang dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah Daerah

Kabupaten/ Kota.
6. Paling lamawaktu12(duabelas)harikerja sejak Pemerintah Daerah Kabupaten/

Kotamenerimalaporandan dinyatakan memenuhi persyaratan, Pemerintah


Daerah Kabupaten/ Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada Direktur

Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/ Kota, dan Organisasi Profesi.


7. Dalamhalhasil pemeriksaanmasihbelummemenuhi persyaratan,Pemerintah

Daerah Kabupaten/ Kota harus mengeluarkan Surat Penundaan paling lama

dalamwaktu12 (dua belas)hari kerja.


8. Terhadappermohonan yang dinyatakanbelum memenuhipersyaratan, pemohon

dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan sejak

Surat Penundaan diterima.


9. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan, maka

Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota mengeluarkan Surat Penolakan.


10. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan Surat Izin

Apotek (SIA) melebihi jangka waktu, apoteker pemohon dapat

menyelenggarakan apotek dengan menggunakan Berita Acara Pemeriksaan

(BAP) sebagai pengganti Surat Izin Apotek (SIA).


2.5.1 Perubahan Izin Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9 tahun 2017 tentang Apotek,

perubahan izin Apotek meliputi:

1. Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan alamat dan

pindah lokasi, perubahan Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek

harus dilakukan perubahan izin.

2. Apotek yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang sama atau

perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan Apoteker pemegang SIA,

atau nama Apotek, wajib mengajukan permohonan perubahan izin

kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Hampir sama dengan Peraturan Organisasi IAI Nomor PO.005/PP.IAI/ 1418

/V/2015 Tentang Rekomendasi Ijin Praktik atau Kerja Ikatan Apoteker Indonesia,
berikut syarat-syarat pengajuan izin apotek dengan berbagai kondisi berdasarkan

prosedur tetap (PROTAP):

1) Perpanjangan Izin Apotek

a. Surat Permohonan Perpanjangan Izin Apotek yang ditujukan kepada

Kepala Dinas Kesehatan


b. SIA lama (asli)
c. Foto copy Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA).
d. Foto copy Kartu Tanda Penduduk.
e. Rekomendasi organisasi profesi.

2) Pergantian Apoteker

APA Lama mengajukan Surat Permohonan Pengunduran Diri kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kota/kab setempat dan mengusulkan penggantinya

dengan dilampiri persyaratan sebagai berikut:

a. Surat permohonan izin Apotek karena pergantian APA yang dituju

kepada kepala Dinas Kesehatan


b. Foto copy SIPA Apoteker Baru/ Pengganti
c. Foto copy Kartu Tanda Penduduk Apoteker pengganti.
d. Berita Acara serah terima obat dari apoteker lama kepada apoteker

baru
e. Surat Pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek pengganti bahwa

tidak bekerja tetap pada perusahaan farmasi lain dan tidak menjadi

apoteker pengelola apotek di apotek lain


f. Asli dan foto copy surat izin atasan bagi pemohon PNS, ABRI.
g. Akte Perjanjian Kerja Sama APA dengan PSA.
h. Rekomendasi dari organisasi profesi.
i. SIA lama asli.

3) Pergantian Pemilik

a. Surat Permohonan Izin Apotek karena Pergantian PSA kepada

Kepala Dinas Kesehatan


b. Surat yang menyatakan status bangunan dalam bentuk Akte Hak

Milik/ Sewa/Kontrak.
c. Akte perjanjian kerja sama APA dan PSA
d. Surat pernyataan PSA tidak terlibat pelanggaran peraturan

perundang-undangan bidang obat (bermaterai)


e. Menyerahkan SIA lama asli.

4) Apotek Pindah Lokasi

a. Surat permohonan pindah lokasi ditujukan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten
b. Surat yang menyatakan status bangunan dalam bentuk Akte Hak

Milik/Sewa/Kontrak.
c. Asli dan foto copy daftar terperinci alat perlengkapan apotek
d. Menyerahkan SIA lama asli.
e. Menyerahkan SIPA lama
f. Foto copy denah bangunan Apotek dan denah situasi apotek terhadap

apotek lain.

5) Apotek Ganti Nama

a. Surat permohonan ganti nama Apotek ditujukan kepada Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten


b. Akte perjanjian kerja sama APA dan PSA
c. Menyerahkan SIA lama
d. Menyerahkan SIPA lama

Jika apoteker pemegang SIA meninggal dunia, ahli warisnya wajib

melaporkan ke pemerintah daerah kabupaten/kota, lalu dalam waktu 3 bulan,

pemerintah daerah kabupaten/kota akan menunjuk apoteker pengganti, diamana

apotekr yang baru harus melaporkan secara tertulis terjadinya pengalihan

tanggungjawab kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dalam waktu 3x24 jam

kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Pengalihan tanggung jawab disertai


dengan penyerahan dokumen resep apotek, narkotika, psikotropika, obat keras,

dan kunci penyimpanan narkotika dan psikotropika.

2.6 Pencabutan Izin Apotek

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut surat izin apotik

apabila:

1) Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai APA.


2) Apoteker tidak lagi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan,

menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan

keabsahannya terjamin.
3) APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus

menerus.
4) Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang

Psikotropika, Undang-Undang Kesehatan dan ketentuan perundang-

undangan lainnya.
5) Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) APA tersebut dicabut.
6) Pemilik sarana apotek tersebut terbukti terlibat dalam pelanggaran

perundang- undangan di bidang obat.


7) Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat

pendirian apotek serta kelengkapan sediaan farmasi dan perbekalan

lainnya baik merupakan milik sendiri atau pihak lain.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan

surat izin apotek berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan

pencabutan surat izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan:

a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut

dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan.


b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam)

bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek.


Pembekuan izin apotek ini dapat dicairkan kembali apabila apotek telah

membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan

dalam peraturan.

2.7 Pengalihan Tanggung Jawab Apotek

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9 tahun 2017 pengalihan

tanggung jawab dilakukan apabila :

1. Apoteker pemegang SIA meninggal dunia, ahli waris Apoteker wajib

melaporkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

2. Pemerintah harus menunjuk Apoteker lain untuk jangka waktu paling

lama 3 bulan.

3. Apoteker lain yang ditunjuk wajib melaporkan secara tertulis adanya

pengalihan tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota

dalam jangka waktu 3 x 24 jam.

4. Pengalihan tanggung jawab disertai dengan penyerahan dokumen resep

apotek, narkotika, psikotropika, obat keras, dan kunci penyimpanan

narkotika dan psikotropika.

2.8 Administrasi Apotek


2.8.1 Pembukuan
Pembukuan adalah salah satu rangkaian kegiatan pencatatan semua

transaksi keuangan dalam suatu badan instansi, fungsinya mengetahui dan

memperoleh dalam mengontrol jalannya proses kegiatan agar sesuai dengan

tujuan dan rencana yang telah ditetapkan. Adapun buku-buku yang digunakan

dalam pencatatan dan pelaporan adalah:

1. Buku Kas
Buku kas adalah buku pencatatan semua transaksi uang tunai, baik

itu penerimaan maupun pengeluaran. Berfungsi untuk mencatat jumlah

atau besar kecilnya pendapatan tiap bulannya. Pencatatan dilakukan

setiap akhir bulan.

2. Buku Pencatatan Barang

Buku pencatatan barang adalah buku yang digunakan untuk mencatat

barang-barang yang dikirim berdasarkan faktur barang yang

bersangkutan, yang mengisi buku ini adalah tenaga teknis kefarmasian

(TTK) yang telah diberi wewenang kemudian barang yang diterima harus

dicek terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahan.

3. Buku Pencatatan Resep

Buku pencatatan resep adalah buku yang dugunakan untuk mencatat

resep yang masuk ke apotek yang harus ditulis oleh tenaga teknis

kefarmasian (TTK) setiap hari, buku ini juga berguna apabila ada

kesalahan dalam menerima resep.

4. Buku Pencatatan Hutang/Buku Faktur

Buku faktur adalah buku yang digunakan untuk mencatat hutang

apotek sehingga dapat memperoleh dan mengetahui berapa besar hutang

yang ditanggung apotek dicatat langsung pada buku faktur yang telah

dipindahkan sesuai dengan PBF masing-masing.

5. Buku Penjualan Bebas


Buku ini digunakan untuk mencatat barang, baik obat-obat bebas,

obat bebas terbatas, obat wajib apotek, kosmetika serta alat kesehatan.

6. Buku Penjualan Obat-Obat melalui Resep Dokter

7. Buku Pencatatan Resep Umum, Narkotika dan Psikotropika

8. Blanko Pesanan Obat Surat Pesanan

Blanko ini ditulis berdasarkan buku permintaan barang kebutuhan

obat-obatan atau perbekalan farmasi di apotek yang ditandatangani opeh

Apoteker Pengelola Apotek. Macam-macam blanko pesanan obat:

a. Blanko pesanan obat bebas, bebas terbatas dan OWA.

b. Blanko Pesanan Psikotropika dan Narkotika.

c. Blanko kartu stok dan blanko persiapan barang.

d. Blanko kwitansi dan nota penjualan.

e. Blanko salinan resep.

2.8.2 Laporan

Laporan-laporan yang dibuat di apotek adalah:

- Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika tiap bulan.

- Laporan penggunaan bahan baku narkotika tiap bulan.

- Laporan khusus morfin dan petidin tiap bulan.

- Laporan penggunaan psikotropika tiap bulan.

- Laporan penggunaan bahan baku psikotropika tiap tahun.

- Laporan pemakaian obat generik berlogo tiap bulan.

- Laporan tenaga farmasi.

- Laporan tenaga kerja tiap tahun.

2.9 Peran Apoteker di Apotek


1. Apoteker sebagai Profesional

Apoteker harus memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap masalah

kesehatan yang sedang dihadapi oleh pasien (caring), kompeten dibidang

kefarmasian (competent) dan memiliki komitmen (commitment). Selain itu,

apoteker berkewajiban untuk menyediakan, menyimpan dan meyerahkan

perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin kepada

masyarakat.

2. Apoteker sebagai Manajer

Apoteker harus mampu mengelola apotek dengan baik sehingga semua

kegiatan di apotek berlangsung secara efektif dan efisien, yaitu agar obat yang

diperlukan oleh dokter dan pasien selalu tersedia setiap saat dibutuhkan dalam

jumlah cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan yang bermutu.

Apoteker harus menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen, yang meliputi:

a. Kepemimpinan (Leadership), merupakan kemampuan untuk mengarahkan

atau menggerakkan orang lain untuk bekerja dengan rela sesuai dengan

apa yang diinginkannya, dalam mencapai tujuan tertentu.

b. Perencanaan (Planning), sebagai pengelola apotek, Apoteker harus mampu

menyusun perencanaan dan suatu pekerjaan, cara dan waktu pengerjaan,

serta siapa yang mengerjakannya. Apoteker harus mampu menyusun

rencana agar tujuan apotek tercapai.

c. Pengorganisasian (Organizing). Apoteker harus mampu mengatur dan

menentukan pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh karyawan dengan

efektif dan efisie, sesuai dengan pendidikan dan pengalaman.


d. Pelaksanaan (Actuating). Apoteker harus dapat menjadi pemimpin yang

menjadi panutan karyawan, yaitu mengetahui permasalahan, dapat

menunjukan jalan keluar masalah, dan turut berperan aktif dalam kegiatan.

e. Pengawasan (Controlling). Apoteker harus mampu melakukan evaluasi

setiap kegiatan dan mengambil tindakan demi perbaikan dan peningkatan

kualitas, apakah semua sudah berjalan dengan baik kearah tercapainya

tujuan, dengan membandingkan hasilnya dengan suatu standar tertentu.

3. Apoteker sebagai Retailer

Seorang apoteker harus mempunyai kemampuan dalam menyusun suatu

rencana mengenai pemasaran obat, sehingga obat yang diterima ataupun

dikeluarkan ke pasaran berada dalam jumlah yang tepat.

2.10 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


2.10.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Dan Bahan Medis

Habis Pakai

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73

Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Pengelolaan

Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi:


A. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola

penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

B. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan

Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.
C. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis

spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam

surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

D. Penyimpanan

1. Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada

wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus

ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-

kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.

2. Semua obat atau bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai

sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan

barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi

4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan dengan memperhatikan bentuk

sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

5. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan

FIFO (First In First Out).

E. Pemusnahan

1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis

dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang


mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan

disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat

selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan

disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin

praktek atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita

acara pemusnahan.

2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat

dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan

oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar

atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara

pemusnahan resep dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan

kabupaten/kota.

3. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis

Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara

yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ ketentuan

peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar

berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM atau berdasarkan inisiasi

sukarela oleh pemilik izin edar dengan tetap memberikan laporan

kepada kepala BPOM.

5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis pakai dilakukan

terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.

F. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah

persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan

atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk

menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,

kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian

persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau

elektronik. Kartu stok sekurangkurangnya memuat nama obat, tanggal

kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

G. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi,

Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat

pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk

penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan

terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan

pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi

keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan

pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika dan

psikotropika.

2.10.2 Pelayanan Farmasi Klinik

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun

2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Pelayanan farmasi klinik

meliputi:

A. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik

dan pertimbangan klinis.

a. Pengkajian adminstratif meliputi :


 Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.
 Nama dokter, nomor Surat Izin Praktek (SIP), alamat, nomor telepon

dan paraf.
 Tanggal penulisan Resep.
b. Pengkajian kesesuaian farmasetik meliputi:

 Bentuk dan kekuatan sediaan.

 Stabilitas.

 Kompatibilitas (ketercampuran obat).

c. Pertimbangan klinis meliputi:

 Ketepatan indikasi dan dosis obat.

 Aturan, cara dan lama penggunaan obat.

 Duplikasi dan atau polifarmasi.

 Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,

manifestasi klinis lain).

 Kontraindikasi.

 Interaksi.

B. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi

obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:

1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:

 Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep


 Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan

memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik

Obat.
2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
 Warna putih untuk obat dalam/oral
 Warna biru untuk obat luar dan suntik
 Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi

atau emulsi.
4. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk oba

yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan

yang salah.

Setelah dispensing, langkah selanjutnya pada pelayanan resep adalah:

1. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan

kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan

serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan

resep).

2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.

3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.

4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.

5. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait

dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang

harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat

dan lain-lain.

6. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang

baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya

tidak stabil.
7. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau

keluarganya

8. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh

apoteker (apabila diperlukan).

9. Menyimpan resep pada tempatnya.

10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.

Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan

swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang

memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat

bebas terbatas yang sesuai. Referensi yang dapat digunakan dalam

menjalankan swamedikasi obat adalah daftar Obat Wajib Apotek (OWA).

C. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,

dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek

penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.

Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.

Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di apotek meliputi:

1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;

2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan

masyarakat (penyuluhan);

3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;

4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi

yang sedang praktek profesi;


5. Melakukan penelitian penggunaan obat;

6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;

7. Melakukan program jaminan mutu.

D. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran

dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat

dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali

konseling, apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat

kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health

Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau

keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Kriteria

pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:

1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau

ginjal, ibu hamil dan menyusui).

2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,

AIDS, epilepsi).

3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan

kortikosteroid dengan tappering down/off).

4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,

fenitoin, teofilin).

5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi

penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan

satu jenis Obat.

6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

E. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan

Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk

kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis

Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker,

meliputi:

1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan

pengobatan.

2. Identifikasi kepatuhan pasien.

3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah,

misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin.

4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum.

5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat

berdasarkan catatan pengobatan pasien

6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah.

F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan

terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan

meminimalkan efek samping. Kriteria pasien:

1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.

2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.


3. Adanya multidiagnosis.

4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.

5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.

6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang

merugikan.

G. Monitoring Efek Samping Obat

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang

merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang

digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau

memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan:

1. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi

mengalami efek samping Obat.

2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.

Faktor yang perlu diperhatikan:

1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.

2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

2.11 Penggolongan Obat

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, Obat

adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan


kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia Penggolongan obat menurut Permenkes

No. 917/1993 adalah :

2.11.1 Obat Bebas

Obat bebas termasuk obat yang relatif paling aman, dapat diperoleh tanpa

resep dokter, selain di apotek juga dapat diperoleh dari toko obat. Obat bebas dal

am kemasannya ditandai dengan lingkaran berwarna hijau. Obat-obat yang

termasuk dalam obat bebas, salah satunya adalah Paracetamol.

Gambar 1. Penandaan Obat Bebas (Departemen Kesehatan RI,2007)

2.11.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan

tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas

adalah lingkaran dengan garis tepi berwarna hitam. CTM merupakan salah satu

contoh obat yang termasuk dalam obat bebas terbatas (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2007). Sebagaimana obat bebas, obat ini juga dapat diperoleh

tanpa resep dokter di apotek dan di toko obat.

Gambar 2.Penandaan obat bebas terbatas (Departemen Kesehatan RI, 2007)


Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,

berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima)

centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih

(Departemen Kesehatan Republik indonesia, 2007).

Gambar 3.Peringatan obat bebas terbatas (Departemen Kesehatan RI, 2007)

2.11.3 Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran

merah dengan garis tepi berwarna hitam (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2007).

Golongan ini pada masa penjajahan Belanda disebut golongan G

(gevaarlijk) yang artinya berbahaya. Golongan obat ini disebut obat keras karena

jika pemakainya tidak memperhatikan dosis, aturan pakai dan peringatan yang

diberikan, dapat menimbulkan efek berbahaya.


Gambar 4. Penandaan Obat Keras (Depkes RI,2007)

2.11.4 Psikotropika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan prekursor

farmasi, psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun

sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif

pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

mental dan perilaku. Tanda khusus pada kemasan untuk obat psikotropika ini

sama dengan obat keras yaitu huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi

berwarna hitam (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Menurut Undang-Undang no. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika,

Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan:

1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: ekstasi san sabu-sabu.

2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: amfetamin dan metapetamin.

3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan digunakan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau


untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: lumubal dan

flenitrazepam.

4. Psikotropika golingan IV adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk

tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Tujuan dari pengaturan psikotropika ini sama dengan narkotika, yaitu :

1. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan

kesehatan dan ilmu pengetahuan.

2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.

3. Memberantas peredaran gelap psikotropika.

Kegiatan-kegiatan pengelolaan psikotropika :

a. Pemesanan psikotropika

Tata cara pemesanan obat-obat psikotropika sama dengan pemesanan

obat lainnya yakni dengan surat pesanan yang sudah ditandatangani

oleh APA yang dikirim ke PBF. Pemesanan psikotropika

menggunakan surat pesanan khusus psikotropika. Penyaluran

psikotropika tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2015

tentang peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan

narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dinyatakan bahwa

penyaluran psikotropika oleh apotek dalam bentuk obat jadi hanya


dapat dilakukan oleh PBF kepada apotek. Satu lembar surat pesanan

psikotropika dapat terdiri dari lebih satu jenis obat psikotropika.

b. Penyimpanan psikotropika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang

peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika,

psikotropika dan prekursor farmasi Tempat penyimpanan Narkotika,

Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat berupa gudang, ruangan,

atau lemari khusus. Gudang khusus sebagaimana dimaksud yaitu

harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang

dilengkapi dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci

yang berbeda;
 Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
 Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji

besi;
 Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker

penanggung jawab;
 Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan

pegawai lain yang dikuasakan.

Ruang khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:

 Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;


 Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji

besi;
 Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda
 Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung

jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan


 Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker

penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk.


Lemari khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:

 Terbuat dari bahan yang kuat;


 Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci

yang berbeda;
 Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk

Instalasi Farmasi Pemerintah;


 Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum,

untuk Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas,

Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan


 Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung

jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi

Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki

tempat penyimpanan Narkotika atau Psikotropika berupa lemari

khusus. Lemari khusus tersebut berada dalam penguasaan

Apoteker penanggung jawab.

c. Penyerahan psikotropika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang

peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika,

psikotropika dan prekursor farmasi penyerahan psikotropika oleh

apotek hanya dilakukan kepada apotek lainnya, puskesmas, instalasi

farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, dokter dan kepada pasien

berdasarkan resep dokter.

d. Pelaporan psikotropika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang

peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika,


psikotropika dan prekursor farmasi Apotek wajib membuat

penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan

kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan

Kepala Balai setempat. Pelaporan paling sedikit terdiri atas: nama,

bentuk sediaan, dan kekuatan Psikotropika, jumlah persediaan awal

dan akhir bulan; jumlah yang diterima; dan jumlah yang diserahkan.

- Pemusnahan psikotropika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang

peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika,

psikotropika dan prekursor farmasi pemusnahan psikotropika

dilakukan bila diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan

yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali; telah kadaluarsa;

tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan

dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa

penggunaan; dibatalkan izin edarnya; atau berhubungan dengan tindak

pidana. Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi

harus dilakukan dengan tidak mencemari lingkungan dan tidak

membahayakan kesehatan masyarakat. Pemusnahan Narkotika,

Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahapan

sebagai berikut:

 Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas

pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik

perorangan menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan

saksi kepada:
- Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan

Makanan, bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;


- Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai

Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Importir,

Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau

Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi; atau


- Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai

Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek,

Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,

Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau

Toko Obat.
 Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan,

Dinas Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan

Makanan setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan

sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.


 Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan

sebagaimana dimaksud pada huruf b.


 Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk

bahan baku, produk antara, dan produk ruahan harus dilakukan

sampling untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang

berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.


 Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat

jadi harus dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis

oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan.

Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas

pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan


yang melaksanakan pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Farmasi harus membuat Berita Acara Pemusnahan. Berita Acara

Pemusnahan paling sedikit memuat: hari, tanggal, bulan, dan tahun

pemusnahan; tempat pemusnahan; nama penanggung jawab fasilitas

produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan

lembaga/dokter praktik perorangan; nama petugas kesehatan yang

menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana tersebut; nama dan jumlah

Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dimusnahkan; cara

pemusnahan; dan tanda tangan penanggung jawab fasilitas

produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan

lembaga/ dokter praktik perorangan dan saksi. Berita Acara Pemusnahan

dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada

Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai.

2.11.5 Obat Narkotika

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika,

narkotika dapat didefinisikan sebagai suatu zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang

dibedakan ke dalam golongan-golongan yaitu :

a. Narkotika Golongan I

Narkotika yang hanya digunakan untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan dan tidak dipergunakan dalam terapi, serta


mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh : ganja, heroin dan morfin.

b. Narkotika Golongan II

Narkotika berkhasiat pengobatan dan digunakan sebagai pilihan

terakhir dalam terapi dan/atau digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan.Contoh: petidin dan turunannya,

benzetisin, betametadol.

c. Narkotika Golongan III

Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam

terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh:

kodein dan turunannya.

Dalam rangka mempermudah pengawasan penggunaan narkotika di

wilayah Indonesia makan pemerintah menetapkan PT. Kimia Farma sebagai satu-

satunya perusahaan yang diizinkan untuk meproduksi, mengimpor serta

mendistribuksikan narkotika di Indonesia.

Dalam kemasannya narkotika ditandai dengan lingkaran berwarna merah

dengan dasar putih yang di dalamnya ada gambar palang medali berwarna merah.

Gambar 5. Penandaan Obat Narkotika

Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan:


a. Pemesanan narkotika

Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan pada Pedagang Besar Farmasi

(PBF) Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek ditandatangani oleh

APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap empat, di mana tiap jenis

pemesanan narkotika menggunakan surat pesanan yang dilengkapi dengan

nomor SIK apoteker dan stempel apotek. Penyaluran psikotropika tersebut

diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2015 tentang

peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika,

psikotropika dan prekursor farmasi dinyatakan bahwa penyaluran narkotika

oleh apotek dalam bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan oleh PBF kepada

apotek.

b. Penyimpanan narkotika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan

prekursor farmasi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas,

Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki

tempat penyimpanan Narkotika berupa lemari khusus. Lemari khusus

tersebut berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab. Tempat

penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain

Narkotika.

c. Pelayanan resep mengandung narkotika


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan


prekursor farmasi pelayanan resep narkotika dilakukan dengan ketentuan:

1. Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya

dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi.

2. Penyerahan dilakukan kepada pasien harus dilaksanakan oleh

Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian.

3. Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika

kepada pasien berdasarkan resep dokter.

d. Pelaporan narkotika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan

prekursor farmasi Apotek wajib membuat penyerahan/penggunaan

Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat. Pelaporan paling

sedikit terdiri atas: nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Psikotropika,

jumlah persediaan awal dan akhir bulan; jumlah yang diterima; dan jumlah

yang diserahkan.

e. Pemusnahan narkotika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan

prekursor farmasi pemusnahan psikotropika dilakukan bila diproduksi tanpa

memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah

kembali; telah kadaluarsa; tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada

pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan,


termasuk sisa penggunaan; dibatalkan izin edarnya; atau berhubungan

dengan tindak pidana.

2.11.6 Prekursor Farmasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan prekursor

farmasi Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang

dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi

industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang

mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,

ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat.

a. Pemesanan prekursor farmasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan

prekursor farmasi Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan. Surat pesanan

Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis

Psikotropika atau Prekursor Farmasi.

b. Penyimpanan prekursor farmasi


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan

prekursor farmasi Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,

Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus menyimpan

Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi di tempat penyimpanan obat yang

aman berdasarkan analisis risiko.


c. Pelayanan resep mengandung prekursor farmasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan

prekursor farmasi Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi

golongan obat keras kepada: Apotek lainnya; Puskesmas; Instalasi Farmasi

Rumah Sakit; Instalasi Farmasi Klinik; dokter; dan pasien. Apotek,

Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik

hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada

pasien berdasarkan resep dokter. Penyerahan Prekursor Farmasi golongan

obat keras hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah

Prekursor Farmasi golongan obat keras berdasarkan resep yang telah

diterima. Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh

Apotek kepada Apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,

Instalasi Farmasi Klinik, dan Toko Obat hanya dapat dilakukan untuk

memenuhi kekurangan kebutuhan harian Prekursor Farmasi golongan obat

bebas terbatas yang diperlukan untuk pengobatan. Penyerahan Prekursor

Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya dapat dilakukan apabila

diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik di daerah terpencil yang tidak

ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyerahan harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani

oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian penanggung jawab atau dokter

yang menangani pasien. Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas

terbatas oleh Apotek kepada Toko Obat, hanya dapat dilakukan berdasarkan

surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Tenaga Teknis

Kefarmasian. Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas


kepada pasien harus memperhatikan kerasionalan jumlah yang diserahkan

sesuai kebutuhan terapi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

d. Pelaporan prekursor farmasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2015 tentang peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika dan

prekursor farmasi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi

Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib

membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan

penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai

setempat. Pelaporan paling sedikit terdiri atas: nama, bentuk sediaan, dan

kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi; jumlah

persediaan awal dan akhir bulan; jumlah yang diterima; dan jumlah yang

diserahkan. Laporan dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika,

Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi secara elektronik. Laporan

disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Ketentuan

lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau

Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur Jenderal.

e. Pemusnahan prekursor farmasi

Pemusnahan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal: diproduksi

tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat

diolah kembali; telah kadaluarsa; tidak memenuhi syarat untuk digunakan

pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan,


termasuk sisa penggunaan; dibatalkan izin edarnya; atau berhubungan

dengan tindak pidana. Tata cara pemusnahan prekursor farmasi sama dengan

tata cara pemusnahan narkotika dan psikotropika.

2.11.7 Obat Obat Tertentu

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-

Obat Tertentu Yang Sering Disalahgunakan, Obat-Obat Tertentu yang Sering

Disalahgunakan, yang selanjutnya disebut dengan Obat-Obat Tertentu, adalah

obat-obat yang bekerja di sistem susunan syaraf pusat selain Narkotika dan

Psikotropika, yang pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan

ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku, terdiri atas

obat-obat yang mengandung Tramadol, Triheksifenidil, Klorpromazin,

Amitriptilin dan/atau Haloperidol.

a. Pemesanan

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat

Tertentu Yang Sering Disalahgunakan, Pengadaan Obat-Obat Tertentu hanya

bersumber dari Industri Farmasi dan PBF berdasarkan Surat Pesanan. SP

harus: dapat ditunjukkan pada saat dilakukan pemeriksaan; ditandatangani

oleh Apoteker Penanggung Jawab/Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit

dengan mencantumkan nama lengkap dan nomor SIPA, nomor dan tanggal

SP, dan kejelasan identitas sarana (antara lain nama dan alamat jelas, nomor

telepon/faksimili, nomor ijin, dan stempel); mencantumkan nama dan

alamat Industri Farmasi/PBF tujuan pemesanan; diberi nomor urut tercetak


dan tanggal dengan penulisan yang jelas atau cara lain yang dapat tertelusur,

memberikan tanda pembatalan yang jelas untuk Surat Pesanan yang tidak

digunakan.

b. Penyimpanan

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat

Tertentu Yang Sering Disalahgunakan Obat-Obat Tertentu disimpan di

tempat yang aman berdasarkan analisis risiko masing-masing sarana.

Beberapa analisis risiko yang perlu dipertimbangkan antara lain akses

personil, dan mudah diawasi secara langsung oleh penanggungjawab.

Apabila memiliki Obat-Obat Tertentu disimpan tidak dalam wadah asli,

maka wadah harus dilengkapi dengan identitas obat meliputi nama, jumlah,

bentuk dan kekuatan sediaan, jenis kemasan, nomor bets, tanggal daluwarsa,

dan nama produsen. Memisahkan Obat-Obat Tertentu yang rusak,

kedaluwarsa, dan/atau telah dibatalkan izin edarnya dari Obat-Obat Tertentu

yang masih layak dan menyimpannya dengan aman disertai pencatatan

sebelum dimusnahkan atau dikembalikan kepada Industri Farmasi/PBF.

Melakukan investigasi adanya selisih stok dengan fisik saat stock opname

dan mendokumentasikan hasil investigasi.

c. Pelayanan resep obat-obat tertentu

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat

Tertentu Yang Sering Disalahgunakan Penyerahan Obat-Obat Tertentu

kepada pasien harus dilakukan oleh Apoteker berdasarkan resep dokter.


Penyerahan tersebut dapat dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian. Harus

dilakukan verifikasi terhadap resep yang diterima, antara lain: Keabsahan

resep atau copy resep, kewajaran jumlah obat yang diresepkan, frekuensi

resep untuk pasien yang sama. Verifikasi kewajaran jumlah obat dan

frekuensi resep harus dilakukan oleh Apoteker. Apabila ditemukan

kecurigaan terhadap keabsahan resep dan kewajaran jumlah obat yang

diresepkan, maka perlu dilakukan klarifikasi kepada dokter penulis resep.

d. Pelaporan obat-obat tertentu

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat

Tertentu Yang Sering Disalahgunakan Apotek/Instalasi Farmasi Rumah

Sakit/Instalasi Farmasi Klinik wajib membuat pencatatan secara tertib dan

akurat terhadap setiap tahapan pengelolaan mulai dari pengadaan,

penyimpanan, penyaluran, penarikan kembali obat (recall), dan pemusnahan

serta mendokumentasikannya. Pencatatan sekurangkurangnya memuat:

Nama, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan, nomor

bets, tanggal daluwarsa, dan nama produsen jumlah yang diterima,

diserahkan, dan sisa persediaan; tujuan penyerahan. dokumen pengadaan

meliputi SP, faktur pembelian, SPB, bukti retur, nota kredit dari Industri

Farmasi/PBF, wajib diarsipkan menjadi satu berdasarkan nomor urut atau

tanggal penerimaan barang. Resep Obat-Obat Tertentu harus diarsipkan

terpisah dari obat lain dan diurutkan berdasarkan nomor urut dan tanggal.

Seluruh dokumen pencatatan wajib diverifikasi oleh Apoteker Penanggung

Jawab/Apoteker Pendamping/Kepala Instalasi Farmasi. Apoteker


Penanggung Jawab/Apoteker Pendamping/Kepala Instalasi Farmasi wajib

membuat dan mengirimkan laporan kehilangan ObatObat Tertentu yang

disampaikan setiap kali kejadian kepada Kepala Badan c.q. Direktur

Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif dengan tembusan

Kepala Balai Besar/Balai POM setempat paling lambat 5 (lima) hari kerja

setelah terjadinya kehilangan. Apoteker Penanggung Jawab/Apoteker

Pendamping/Kepala Instalasi Farmasi wajib melakukan investigasi atas

kehilangan Obat-Obat Tertentu dan mengirimkan laporan hasil investigasi

paling lambat 1 (satu) bulan sejak kejadian. Dokumentasi dapat dilakukan

secara manual atau sistem elektronik. Apabila dokumentasi dilakukan dalam

bentuk manual dan elektronik, data keduanya harus sesuai satu sama lain.

Sistem elektronik yang digunakan untuk mendokumentasikan tahap

pengelolaan harus tervalidasi dan mudah ditampilkan serta ditelusuri setiap

saat diperlukan. Harus tersedia backup data dan Standar Prosedur

Operasional terkait penanganan apabila sistem tidak berfungsi. Dokumen

wajib disimpan di tempat yang aman dalam jangka waktu sekurang-

kurangnya 3 (tiga) tahun dan mudah diperlihatkan pada saat pelaksanaan

audit atau diminta oleh pemeriksa.

e. Pemusnahan obat-obat tertentu

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat

Tertentu Yang Sering Disalahgunakan Pemusnahan dilaksanakan terhadap

Obat-Obat Tertentu yang rusak dan kedaluwarsa. Obat-Obat Tertentu yang

akan dimusnahkan harus dicatat dalam daftar inventaris yang mencakup


nama obat, produsen, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan,

jumlah, nomor bets, dan tanggal daluwarsa. Pelaksanaan pemusnahan harus

memerhatikan pencegahan diversi dan pencemaran lingkungan. Kegiatan

pemusnahan ini dilakukan oleh penanggung jawab sarana dan disaksikan

oleh petugas Balai Besar/Balai POM atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

setempat. Penanggungjawab sarana yang melaksanakan pemusnahan Obat-

Obat Tertentu harus membuat Berita Acara Pemusnahan. Berita Acara

Pemusnahan harus ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab. Berita

Acara Pemusnahan yang menggunakan pihak ketiga harus ditandatangani

juga oleh pihak ketiga.

2.11.8 Obat Wajib Apotek (OWA)

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

347/Menkes/SK/VII/1990, obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat

diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Tujuan dari

adanya obat wajib apotek ini adalah:

- Untuk meningkatkan kemampuan masyarakan dalam menolong

dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan.

- Peningkatan pengobatan sendiri secar tepat, aman dan rasional.

- Meningkatkan peran apoteker dalam KIE (Komunikasi, Informasi

dan Edukasi)

Dalam pelayanan obat wajib apotek, apoteker berkewajiban untuk:


- Memenuhi ketentuan dan batasan yang disebutkan dalam obat

wajib apotek yang bersangkutan

- Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan

- Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya,

kontraindikasi,efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan

oleh pasien.

Obat wajib apotek dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:

A. Obat wajib apotek no. 1

Obat wajib apotek no 1 diatur dalam Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990, di mana obat wajib apotek

golongan 1 ini terdiri dari: obat kontrasepsi, obat saluran cerna, obat

mulut dan tenggorokan, obat saluran napas, obat yang mempengaruh

sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal. Dalam

perjalanannya, penggolongan obat-obat wajib apotek nomor 1 ini pun

berubah dan diatur dalam keputusan menteri kesehatan nomor 925 tahun

1993, di mana beberapa obat yang semula OWA berubah menjadi obat

bebas terbatas.

B. Obat wajib apotek no. 2

Obat wajib apotek no 2 diatur dalam keputusan menteri kesehatan

nomor 924/MENKES/PER/X/1993. Salah satu obat yang termasuk dalam

daftar OWA nomor 2 ini adalah omeprazol, di mana jumlah maksimal

yang boleh diberikan per pasiennya adalah 7 tablet.

C. Obat wajib apotek no. 3


Peraturan yang mengatur obat wajib apotek nomor 3 adalah

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1176/Menkes/SK/X/1999, di mana dalam peraturan ini dijelaskan bahwa

obat-obat yang termasuk OWA nomor 3 adalah: obat saluran pencernaan

dan metabolisme, obat kulit, antiinfesi umum, sistem muskuloskeletal,

sistem saluran pernapasan dan organ-organ sensorik.

2.12 Pelayanan Non-Resep

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan

swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang

memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat

bebas atau bebas terbatas yang sesuai (Permenkes 73, 2016).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919 Tahun 1993, obat yang

dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria:

- Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,

anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua di atas usia 65 tahun

- Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko

pada kelanjutan penyakit

- Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang

harus dilakukan oleh tenaga kesehatan

- Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang pravalensinya tinggi

di Indonesia

- Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang

dapatdipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.


Peran apoteker dalam penggunaan obat bebas dan bebas terbatas

adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan obat bebas dan bebas terbatas dalam pengobatan sendiri

(Swamedikasi) harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara

umum, yaitu penggunaan obat secara aman dan rasional.

Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat

yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta

membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai dengan indikasi

penyakit dan kondisi pasien.

2. Sebagai seorang profesional kesehatan dalam bidang kefarmasian,

apoteker mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan

bantuan, nasihat dan petunjuk kepada masyarakat yang ingin

melakukan swamedikasi agar dapat melakukannya secara

bertanggung jawab. Apoteker harus dapat menekankan kepada

pasien bahwa, walaupun dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun

penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas tetap dapat

menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki jika

dipergunakan secara tidak semestinya.

3. Dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas, apoteker

memiliki dua peran yang sangat penting, yaitu menyediakan produk

obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya serta

memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling

kepada pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman,

tepat dan rasional.


2.13 Pelaksanaan Swamedikasi

Menurut Depkes RI tahun 2006 tentang Pedoman Penggunaan Obat Bebas

dan Obat Bebas Terbatas, swamedikasi adalah upaya masyarakat untuk mengobati

dirinya sendiri. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-

keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam,

nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan

lain-lain.

Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang

sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan

obat yang tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien.

Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk

meningkatkan keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya swamedikasi

dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena

keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya. Dalam hal

ini Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada

masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar dari penyalahgunaan obat (drug

abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse). Masyarakat cenderung hanya

tahu merek dagang obat tanpa tahu zat berkhasiatnya.

Pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan mencakup 4 kriteria antara lain:

a) Tepat golongan obat, yaitu menggunakan golongan obat bebas dan obat

bebas terbatas
b) Tepat kelas terapi obat, yaitu menggunakan obat yang termasuk dalam

kelas terapi yang sesuai dengan keluhannya


c) Tepat dosis obat, yaitu menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari

pakai sesuai dengan umur dan


d) Tepat lama penggunaan obat, yaitu apabila berlanjut segera berkonsultasi

dengan dokter (Depkes RI, 2006).

Dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas, Apoteker memiliki

dua peran yang sangat penting, yaitu :

1. Menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan

kualitasnya.
2. Memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling

kepada pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat

dan rasional. Satu hal yang sangat penting dalam konseling swamedikasi

adalah meyakinkan agar produk yang digunakan tidak berinteraksi

negatif dengan produk-produk yang sedang digunakan atau dikonsumsi

pasien.

Informasi yang perlu disampaikan oleh Apoteker pada masyarakat dalam

penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain:

1) Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat

yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan

kesehatan yang dialami pasien.


2) Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi

dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki

kontra indikasi dimaksud.


3) Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi

informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang

harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.


4) Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada

pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup,

dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.


5) Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat

menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen

(sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat

menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.


6) Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan

jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan

tidur.
7) Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan

kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara

berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah

memerlukan pertolongan dokter.


8) Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya

pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu

bersamaan.
9) Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat
10) Cara penyimpanan obat yang baik
11) Cara memperlakukan obat yang masih tersisa
12) Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak

Disamping konseling dalam farmakoterapi, Apoteker juga memiliki tanggung

jawab lain yang lebih luas dalam swamedikasi yaitu sebagai berikut:

1) Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan

nasehat dan informasi yang benar, cukup dan objektif tentang

swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk swamedikasi.


2) Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan

kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang diperlukan,

apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi


3) Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan

laporan kepada lembaga pemerintah yang berwenang, dan untuk


menginformasikan kepada produsen obat yang bersangkutan, mengenai

efek tak dikehendaki (adverse reaction) yang terjadi pada pasien yang

menggunakan obat tersebut dalam swamedikasi.


4) Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong

anggota masyarakat agar memperlakukan obat sebagai produk khusus

yang harus dipergunakan dan disimpan secara hati-hati, dan tidak boleh

dipergunakan tanpa indikasi yang jelas. Selain melayani konsumen

secara bertatap muka di apotek, Apoteker juga dapat melayani konsumen

jarak jauh yang ingin mendapatkan informasi atau berkonsultasi

mengenai pengobatan sendiri. Suatu cara yang paling praktis dan

mengikuti kemajuan zaman adalah dengan membuka layanan informasi

obat melalui internet atau melalui telepon. Para Apoteker sudah

semestinya memberikan respons yang baik dan memuaskan dengan

memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional dan berkualitas.


BAB III

TINJAUAN KHUSUS KIMIA FARMA

3.1 SejarahKimia Farma

Kimia Farma adalah perusahaan Industri Farmasi pertama di Indonesia

yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1817. Nama perusahaan

ini pada awalnya adalah NV Chemicalien Handle Rathkamp &Co. Berdasarkan

kebijaksanaan nasionalisasi atas eks perusahaan Belanda dimasa awal

kemerdekaan, pada tahun 1958, Pemerintah Republik Indonesia melakukan

peleburan sejumlah perusahaan farmasi menjadi PNF (Perusahaan Negara

Farmasi) Bhinneka Kimia Farma. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1971,

bentuk badan hukum PNF diubah menjadi Perseroan Terbatas, sehingga nama

perusahaan berubah menjadi PT. Kimia Farma (Persero).


Pada tangga 4 Juli 2001, PT. Kimia Farma (Persero) kembali

mengubah statusnya menjadi perusahaan publik, PT. Kimia Farma (Persero)

Tbk. Bersamaan dengan perubahan tersebut, Perseroan telah dicatatkan pada

Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang kedua bursa telah merger

menjadi Bursa Efek Indonesia).


Pada tanggal 4 Januari 2002 dibentuk dua anak perusahaan yaitu PT Kimia

Farma Trading and Distribution dan PT Kimia Farma Apotek yang masing-

masing berperan dalam penyaluran sediaan farmasi, baik distribusi melalui PBF
maupun pelayanan kefarmasian melalui apotek.Berdasarkan pengalaman yang

diperoleh selama puluhan tahun, PT. Kimia Farma telah berkembang menjadi

perusahaan dengan pelayanan kesehatan terintegrasi di Indonesia.Hingga akhir

tahun 2015 Kimia Farma mengelola 725 apotek, 315 klinik, dan 43 laboratorium

klinik yang tersebar di seluruh nusantara.


PT. Kimia Farma (Persero) Tbk., dipimpin oleh seorang Direktur Utama

yang membawahi 4 Direktorat yaitu Direktorat Operasi dan Supply Chain,

Direktorat Pengembangan, Direktorat Keuangan, Direktorat Umum dan

Personalia. Dalam upaya perluasan, penyebaran, pemerataan dan pendekatan

pelayanan kefarmasian pada masyarakat, PT Kimia Farma (Persero) Tbk., telah

membentuk suatu jaringan distribusi yang terorganisir.


3.2 Logo Perusahaan

Gambar 6. Logo Perusahaan Kimia Farma


PT. Kimia Farma, memiliki logo yang menggambarkan matahari terbit

berwarna orange dan tulisan kimia farma berwarna biru dibawahnya. Simbol

tersebut memiliki makna tersendiri, yaitu:


a. Simbol Matahari
1. Paradigma baru
Matahari terbit adalah tanda memasuki babak baru kehidupan yang

lebih baik.
2. Optimis
Matahari memiliki cahaya sebagai sumber energi, cahaya tersebut adalah

penggambaran optimisme Kimia Farma dalam menjalankan bisnisnya.


3. Komitmen
Matahari selalu terbit dari timur dan tenggelam dari arah barat secara

teratur dan terus menerus memiliki makna adanya komitmen dan


konsistensi dalam manjalankan segala tugas yang diemban oleh Kimia

Farma dalam bidang farmasi dan kesehatan.


4. Sumber energi
Matahari sumber energi bagi kehidupan dan Kimia Farma baru

memposisikan dirinya sebagai sumber energi bagi kesehatan

masyarakat.
5. Semangat yang abadi
Warna orange berarti semangat, warna biru berarti

keabadian.Harmonisasi antara kedua warna tersebut menjadi satu

makna yaitu semangat yang abadi.


b. Jenis Huruf
Dirancang khusus untuk kebutuhan Kimia Farma disesuaikan dengan nilai

dan image yang telah menjadi energi bagi Kimia Farma, karena prinsip

sebuah identitas harus berbeda dengan identitas yang telah ada.

c. Sifat Huruf

 Kokoh
Memperlihatkan Kimia Farma sebagai perusahaan terbesar dalam

bidang farmasi dan memiliki bisnis hulu hilir dan merupakan

perusahaan farmasi pertama yang dimiliki Indonesia.


 Dinamis
Dengan jenis huruf italic, memperlihatkan kedinamisan dan

optimisme.
 Bersahabat
Dengan jenis huruf kecil dan lengkung, memperlihatkan keramahan

Kimia Farma dalam melayani konsumennya dalam Konsep Apotek

Jaringan.
3.3 Visi dan Misi Perusahaan PT. Kimia Farma Tbk.
3.3.1 Visi
Menjadi perusahaan Healthcare pilihan utama yang terintegrasi dan

menghasilkan nilai yang berkesinambungan.


3.3.2 Misi
1) Melakukan aktivitas usaha di bidang-bidang industri kimia dan

farmasi, perdagangan dan jaringan distribusi, retail farmasi dan

layanan kesehatan serta optimalisasi asset.


2) Mengelola perusahaan secara Good Corporate Governance dan

operational excellence didukung oleh SDM professional.


3) Memberikan nilai tambah dan manfaat bagi seluruh stakeholder.
3.4 Budaya Perusahaan

Gambar 7. Budaya Kimia Farma

Perseroan telah menetapkan budaya perusahaan yang merupakan nilai-

nilai inti Perseroan (cororates value), yaitu “I CARE” yang telah mulai dipakai

sejak tahun 2006 dan menjadi acuan atau pedoman bagi Perseroan dalam

menjalankan usahanya, untuk berkarya meningkatkan kualitas hidup dan

kesehatan masyarakat. Berikut adalah budaya perusahaan (corporate value)

Perseroan:

a. Innovative
Budaya berpikir out of the box, smart dan kreatif untuk membangun produk

unggulan.
b. Collaborative
Bekerja bersama adalah kunci kesuksesan.
c. Agile
Beradaptasi dan bergerak dengan cepat dalam menghadapi persaingan di era

revolusi industri 4.0.


d. Responsible
Memiliki tanggung jawab pribadi untuk bekerja tepat waktu, tepat sasaran

dan dapat diandalkan, serta senantiasa berusaha untuk tegar dan bijaksana

dalam menghadapi setiap masalah.


e. Enthusiastic
Menjadi energetik dan bersemangat dalam bekerja dan melayani

masyarakat.
5 As sebagai Ruh Budaya Perusahaan yang terdiri dari :

a. Kerja Ikhlas

Siap bekerja dengan tulus tanpa pamrih untuk kepentingan bersama.

b. Kerja Cerdas

Kemampuan dalam belajar cepat (fast learner) dan memberikan solusi yang

tepat.

c. Kerja Keras

Menyelesaikan pekerjaan dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk

mendapatkan hasil terbaik.

d. Kerja Antusias

Keinginan kuat dalam bertindak dengan gairah dan semangat untuk

mencapai tujuan bersama

e. Kerja Tuntas

Melakukan pekerjaan secara teraturdan selesai untuk menghasilkan output

yang maksimal sesuai dengan harapan.


3.5 PT. Kimia Farma Apotek
PT. Kimia Farma Apotek (KFA) adalah anak perusahaan Perseroan yang

didirikan berdasarkan akta pendirian tanggal 4 Januari 2003. Sejak tahun 2011,

KFA menyediakan layanan kesehatan yang terintegrasi meliputi layanan farmasi

(apotek), klinik kesehatan, laboratorium klinik dan optic, dengan konsep One Stop
Health Care Solution (OSHCS) sehingga semakin memudahkan masyarakat

mendapatkan layanan kesehatan berkualitas. Komposisi pemegang saham PT

Kimia Farma Tbk yaitu 99,99% dan Yayasan Kesejahteraan Keluarga Kimia

Farma (YKKKF) 0,01%.


PT. Kimia Farma Apotek dalam melakukan kegiatannya selain melayani

resep dokter juga melengkapinya dengan swalayan farmasi atau “Hand Verkoop”

(HV) yang berisi obat-obat bebas dan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari, juga

menyediakan tempat praktek dokter, laboratorium klinik dan optic sebagai upaya

meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien.

Anda mungkin juga menyukai