Anda di halaman 1dari 11

1.

Jelaskan Respon Metabolic Terhadap Stress Yang Terjadi Pada Pasien


Kritis?

Fase Ebb

Respon metabolik tubuh terhadap stres terjadi melalui dua fase, yaitu fase ebb
dan fase flow. Fase ebb dimulai segera setelah terjadi stres, baik akibat trauma
atau sepsis dan berlangsung selama 12-24 jam. Namun, fase ini dapat
berlangsung lebih lama, tergantung pada keparahan trauma dan kecukupan
resusitasi. Fase ebb disamakan juga dengan periode syok yang memanjang
dan tidak teratasi, yang ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan penurunan
aktivitas metabolik secara keseluruhan. Sebagai upaya kompensasi tubuh
terhadap keadaan ini, hormon katekolamin akan dikeluarkan, dimana
norepinefrin menjadi mediator utama pada fase ebb. Norepinefrin dikeluarkan
dari saraf perifer dan berikatan dengan reseptor beta 1 di jantung dan reseptor
beta 2 di perifer dan dasar vaskular splanik. Efek paling penting adalah pada
sistem kardiovaskular, karena norepinefrin merupakan stimulan kuat jantung,
menyebabkan peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung dan
vasokonstriksi. Hal ini merupakan usaha dalam mengembalikan tekanan
darah, meningkatkan perfoma jantung dan maksimalisasi venous return.

Hiperglikemia mungkin terjadi pada fase ebb. Hiperglikemia terjadi akibat


glikogenolisis hepar yang merupakan efek sekunder dari katekolamin dan
akibat stimulasi simpatik langsung dari pemecahan glikogen. Hiperglikemia
yang terjadi setelah trauma merupakan masalah yang sangat penting untuk
segera diatasi karena dapat menempatkan pasien pada kondisi berisiko tinggi
terhadap berbagai komplikasi, masa penyembuhan yang lebih lama,
peningkatan waktu lama rawat, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Fase Flow

Permulaan fase flow, yang meliputi fase anabolik dan katabolik, ditandai
dengan curah jantung (CO) yang tinggi dengan restorasi oxygen delivery dan
substrat metabolik. Durasi fase flow tergantung pada keparahan trauma atau
adanya infeksi dan perkembangan menjadi komplikasi. Secara khas, puncak
fase ini adalah sekitar 3-5 hari, dan akan turun pada 7-10 hari, dan akan
melebur ke dalam fase anabolik selama beberapa minggu. Selama terjadi fase
hipermetabolik, insulin akan meningkat, namun peningkatan level
katekolamin, glukagon, dan kortisol akan menetralkan hampir semua efek
metabolik dari insulin. Peningkatan mobilisasi asam amino dan free fatty
acids dari simpanan otot perifer dan jaringan adiposa merupakan akibat dari
ketidak seimbangan hormon-hormon tersebut. Beberapa

hormon akan mengeluarkan substrat yang digunakan untuk produksi energi


salah satunya secara langsung sebagai glukosa atau melalui liver sebagai
trigliserid. Substrat lainnya akan berkontribusi terhadap sintesis protein di
liver, dimana mediator humoral akan meningkatkan produksi reaktan fase
akut. Sintesis protein yang serupa juga terjadi pada sistem imun guna
menyembuhkan kerusakan jaringan. Meskipun, fase hipermetabolik ini
melibatkan proses katabolik dan anabolik, hasilnya adalah kehilangan protein
secara signifikan, yang ditandai dengan keseimbangan nitrogen negatif dan
penurunan simpanan lemak. Hal ini akan menuju pada modifikasi komposisi
tubuh. secara keseluruhan, ditandai dengan kehilangan protein, karbohidrat,
dan simpanan lemak, disertai dengan meluasnya kompartemen cairan
ekstraselular (dan intraselular).
2. Mengapa Pada Pasien Kritis akan Mengalami Kehilangan Masa Otot,
Protein dan Albumin?

a. Jaringan otot tubuh merupakan bagian yang paling banyak menyimpan


dan menggunakan protein. Ketika tubuh kekurangan protein, maka protein
dalam otot rangka akan diambil secara perlahan untuk memenuhi
kebutuhan protein tersebut. Dalam waktu yang lama defisiensi protein
dapat menyebabkan penurunan massa otot yang serius.
b. Protein adalah salah satu nutrisi penting bagi tubuh untuk membantu
membangun otot dan jaringan tubuh, Sayangnya, tubuh tidak dapat
menyimpan protein dalam waktu lama. Oleh karena itu Anda akan perlu
mencukupi kebutuhan protein setiap hari.

Fungsi protein : Jumlah protein yang sangat banyak dalam tubuh tentunya
bukan tanpa alasan. Protein menyebar di seluruh tubuh dan menjalankan
perannya masing-masing. Berikut adalah beberapa fungsi protein dalam
tubuh:

1. Sumber energy
Fungsi protein sebagai sumber energi bagi tubuh memang sudah tidak
perlu dipertanyakan lagi. Protein merupakan salah satu makronutrien
selain karbohidrat dan lemak. Makronutrien adalah nutrien atau nutrisi
yang memberikan energi untuk tubuh dan dibutuhkan oleh tubuh
dalam jumlah yang besar.
2. Menjaga sistem imun dalam tubuh
Fungsi protein yang kedua adalah menjaga sistem imun tubuh. Ketika
terdapat benda asing berbahaya yang menyerang tubuh seperti bakteri
atau virus, tubuh akan membentuk antibodi sebagi sistem pertahanan
tubuh agar virus dan bakteri tersebut tidak dapat berkembang dalam
tubuh.
3. Alat transportasi nutrisi dalam tubuh
Tidak hanya berperan sebagai makronutrien, fungsi protein lainnya
adalah menjadi alat transportasi bagi nutrisi lainnya yang ada dalam
tubuh. Protein memiliki peran dalam mengangkut berbagai nutrisi
seperti vitamin dan mineral, oksigen, kolesterol, hingga gula darah.
4. Penyimpanan nurtisi
Selain sebagai alat transportasi bagi zat lainnya, protein juga berperan
dalam menyimpan nutrisi dalam tubuh. Salah satu contohnya adalah
Feritin yang dapat menyimpan zat besi. Feritin akan mengeluarkan zat
besi secara terkontrol ketika tubuh membutuhkannya.
5. Menyeimbangkan pH
Fungsi protein selanjutnya adalah untuk menyeimbangkan pH darah
dan cairan lainnya dalam tubuh. pH yang seimbang sangat penting
untuk kesehatan tubuh. Nilai pH yang terlalu asam atau terlalu basa
dan di luar nilai normal bisa menyababkan berbagai masalah dalam
tubuh.
6. Pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh
Fungsi protein lainnya adalah membantu pertumbuhan dan
pemeliharaan tubuh. Protein berperan penting pada proses
pembentukan sel-sel tubuh sehingga sangat dibutuhkan dalam tumbuh
kembang anak. Tapi tentunya protein tidak hanya dibutuhkan pada saat
masa pertumbuhan saja, tetapi protein juga berperan penting dalam
pemeliharaan jaringan tubuh.
c. Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh
manusia, yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal
adalah 3,8-5,0 g/dl. Albumin terdiri dari rantai tunggal polipeptida dengan
berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam amino. Pada molekul
albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan asam-asam
amino yang mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips
sehingga dengan bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan
viskositas plasma dan larut sempurna. Kadar albumin serum ditentukan
oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi, dan distribusi antara kompartemen
intravaskular dan ekstravaskular. Cadangan total albumin 3,5-5,0 g/kg BB
atau 250-300 g pada orang dewasa sehat dengan berat 70 kg, dari jumlah
ini 42% berada di kompartemen plasma dan sisanya di dalam
kompartemen ektravaskular (Evans, 2002). Albumin manusia (human
albumin) dibuat dari plasma manusia yang diendapkan dengan alkohol.
Albumin secara luas digunakan untuk penggantian volume dan mengobati
hipoalbuminemia (Uhing, 2004: Boldt, 2010).

Fungsi albumin : Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum


albumin di dalam tubuh mempertahankan tekanan onkotik plasma,
peranan albumin terhadap tekanan onkotik plasma rnencapai 80% yaitu 25
mmHg. Albumin mempunyai konsentrasi yang tinggi dibandingkan
dengan protein plasma lainnya, dengan berat molekul 66,4 kDa lebih
rendah dari globulin serum yaitu 147 kDa, tetapi rnasih mempunyai
tekanan osmotik yang bermakna. Efek osmotik ini memberikan 60%
tekanan onkotik albumin. Sisanya 40% berperan dalam usaha untuk
mempertahankan intravaskular dan partikel terlarut yang bermuatan positif
(Nicholson dan Wolmaran, 2000; Dubois dan Vincent, 2002).
3. Mengapa pada Pasien dengan Kondisi Kritis akan Mengalami Gangguan
Keseimbangan Cairan Elektrolit?
Pasien kritis pada fase ebb akan biasanya akan mengalami hipovelemi
dan dapat reversibel sepenuhnya dengan terapi cairan yang tepat. Namun,
ketiadaan resusitasi cairan dalam 24 jam akan meningkatkan resiko kematian.
Respon awal pasien terhadap hipovolemia ditujukan untuk menjaga perfusi
adekuat untuk menjaga perfusi otak dan jantung. Oliguria, yang terjadi pada
saat trauma, adalah konsekuensi dari pelepasan hormone antidiuretic (ADH)
dan aldosterone. Sekresi ADH dari supraoptik nuclei dihipotalamus anterior
distimulus oleh pengurangan volume dan peningkatan osmolalitas.
Peningkatan osmolalitas akan menyebabkan peningkatan sodium dicairan
ekstraseluler.

Ada dua fase pada pasien kritis yaitu :

1. pasien kritis yang sadar, dengan keseimbangan cairan yang ada dalam
tubuhnya bisa dikatakan normal karena asupan nutrisi yang diberikan bisa
dimakan.
2. . pasien kriitis yang tidak sadar, keseimbangan cairan pada tubuh pasien
akan berkuang karena pasien tidak sadar sehingga asupan nutrisi yang
diberikan tidak maksimal tidak maksimal karena pasien tidak bisa
menelan secara normal oleh sebab itu cairan yang ada dalam tubuh pasien
berkurang.
3. Jelaskan Respon Hormonal Terhadap Stress yang Terjadi pada
Pasien Kritis?
Respon stres baik akibat trauma fisik atau sepsis akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada sistem metabolik dan hormonal dalam rangka
mempertahankan homeostasis tubuh. Respon stres yang berlangsung
intensif dan lama akan berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Pada pasien dalam kondisi kritis, sulit untuk melakukan
mekanisme pertahanan, sehingga dapat dengan mudah mengalami
ketidakseimbangan yang dapat mengancam homeostasis tubuh. Respon
metabolik diawali dengan fase ebb, yang ditandai dengan hipoperfusi
jaringan dan penurunan aktivitas metabolik secara keseluruhan dan
berlangsung selama 12-24 jam, dan berlanjut pada fase flow dengan
puncak fase ini adalah sekitar 3-5 hari. Selain itu terjadi hipermetabolisme
protein dan glukosa, serta perubahan pada cairan dan elektrolit. Respon
hormonal, akan diaktivasi aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA)
yang salah satu dampaknya adalah mencetuskan sinyal anti inflamasi
sistemik, ditandai dengan penurunan kadar beberapa mediator
proinflamasi. Mediator inflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6) mengeluarkan
substrat dari jaringan host untuk membantu aktivitas limfosit T dan B.
Mediator inflamasi berperan dalam terjadinya systemic inflammatory
response syndrome (SIRS), dan dapat berkembang menjadi multiple organ
dysfunction syndrome (MODS).
5. Seorang laki-laki berusia 24 tahun dirawat di ICU karena kecelakaan
kendaraan bermotor, pasien didiagnosa menderita luka bakar dengan
luas luka bakar 30% dari hasil pengkajian didapatkan BB 69 kg, TB 168
cm, hasil pemeriksaan kimia darah didapatkan albumin 1,9 g/dl, SGOT:
40 u/l, SPGT: 50 u/l, hasil pemeriksaan lab rutin didapatkan Hb: 10 g/dl,
leukosit 18.000/µl, trombosit 150. 000/µl

A. Berapakah kebutuhan energy pasien berdasarkan rumus Actual


Energy Expenditure (AAE)

Jawab :

Langkah 1 cari BEE

Rumus For men : 66.5 + (13.75 x BB) + (5.003 x TB) – (6.775 x Usia)

= 66.5 (13.75 x 69 Kg) + (5.003 x 168 Cm ) – (6.775 x 24 Tahun)

= (66.5) + (948,775) + (840,504) – (162.6)

BEE = 1.693,154

Langkah 2 Cari AEE

AEE = Rumus BEE x Stress Faktor x 1,25

= 1.693,154 x 2.00 x 1,25

= 4.233,85.

Jadi, kebutuhan energy pasien berdasarkan rumus (AEE) adalah


4.233,85 kkal
B. Berapakah kebutuhan Energy berdasarkan rumus sederhana ?

Jawab :

Rumus :40 – 45 kcal/Kg BB/Hari

= 45 x 69 Kg

= 3.105.

Jadi, kebutuhan energy pasien berdasarkan rumus sederhana adalah


3.105 kcal/hari.

6. Mengapa pada Pasien Kritis Mengalami Peningkatan Nilai SGOT dan


SGPT (peningkatan fungsi hepar)
SGOT adalah singkatan dari Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase atau disebut juga dengan AST (aspartate aminotransferase),
merupakan enzim hati yang terdapat di dalam sel parenkim hati. Ingat, pada
kondisi normal berada di dalam sel, sehingga apabila sel hati rusak, maka enzim ini
akan keluar dan banyak terdapat dalam darah.

SGPT adalah singkatan dari Serum Glutamic Pyruvate Transaminase atau


disebut juga dengan ALT (alanin aminotransferase), sama seperti SGOT
yaitu suatu enzim yang terdapat di dalam sel hati. Ketika sel hati
mengalami kerusakan maka enzim ini akan keluar dan mengalir ke
dalam aliran dalam darah Pada pemeriksaan tes darah di laboratorium akan
terlihat kadar SGPT yang meningkat

Apa artinya jika SGOT dan SGPT Tinggi?

Meskipun bukan hanya kadar SGOT SGPT saja yang akan


menentukan seseorang mengalami penyakit hati. Namun kadar SGOT SGPT
tinggi cukup menjadi alasan untuk melihat adanya gangguan pada fungsi hati.
Pada gangguan fungsi hati, kenaikan SGOT SGPT bisa mencapai puluhan
bahkan ribuan kali lipat dari nilai normal. Hal ini menunjukkan kerusakan sel-
sel hati yang masif (nekrosis luas).Biasa pada keadaan kritis SGOT dan SGPT
akan meningkat:

a. Adanya kerusakan hati yang massif yang ditimbulkan oleh racun


seperti overdosis acetaminophen (parasetamol) atau keracunan jamur.

b. Kegagalan sirkulasi (syok) berkepanjangan yang menyebabkan hati


kekurangan darah memberikan oksigen sel dan nutris

7. Pasien yang terpassang hiperkapnea, bagaimanakah terapi nutrisi


diberikan ?

Untuk pemberian makronutrien dengan rasio antara karbondioksida


yang dihasilkan dan oksigen yang digunakan yaitu Respiratory
Question (RQ). RQ ini berguna karena volume karbondioksida yang
diproduksi dan oksigen yang dikonsumsi tergantung pada sumber
energy yang di metabolisme oleh lemak, sedang kan karbohidrat dan
protein hal ini penting untuk menentukan regimen nutrisi pada pasien
sesak pada penyakit paru kronik atau pasien yang membutuhkan
ventilator pada asupan nutrient dapat secara langsung mempengaruhi
pertukaran gas secara adekuat akibat produksi CO2. Setiap molekul
karbohidrat yang dimakan akan memproduksi satu molekul CO2.
Sehingga respiratory Quotient untuk karbohidrat adalah 1. Sedangkan
RQ untuk protein adalah 0,8 dan untuk lemak adalah 0,7.

Pada pasien hiperkapnea diberikan komposisi karbohidrat 25-30% dan


lemak 50-55% sedangkan pada pasien tanpa hiperkapnea diberikan
komposisi karbohidrat 50-60%. Lemak 20-30% dan protein 15-20%.
Pemberian mikronutrien yang terkait dengan fungsi otot pernafasan
seperti fosfor harus diperhatikan karena akan mengakibatkan
gangguan kontratilitas otot diafragma. Diet tinggi lemak tidak lagi di
anjurkan pada tatalaksana nutrisi pasien kritis. Kecukupan kalori
dengan komposisi nutrient seimbang. Protein antara 10-20%, lemak
20-30%, dan karbohidrat 60-70% yang lebih diutamakan. Dan
pemberian nutrisi ini melalui oral atau enteral, diberikan dalam porsi
sedikit tapi sering.
Daftar Pustaka

Fitri,Y.(2014) Respon Stress Pada Pasien Kriris. Jurnal keperawatan


sriwijaya. 1.(1) hal 86-87.

Weissman, C. (1990). The Metabolic Response to Stress: An Overview and


Update.Review Article. Anesthesiology, 73:308-327. Melalui huc.min-
saude.pt

Voldby AW, Branstrup B. Fluid Therapy in the Perioperative Setting. Journal


of Intensive Care. 2016; 4 :

Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam


Buku Ajar

Jurnal Keperawatan Sriwijaya 1 (1), 86-93, 2015

Anda mungkin juga menyukai