Anda di halaman 1dari 11

Nama : Erwinda Giastuti

NIM : 1910323008

KEMISKINAN DAN PERMASALAHAN SUMBER DAYA MANUSIA DI INDONESIA

A. Kemiskinan di Indonesia
Menurut Kamus Bahasa Indonesia kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung
dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga
berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi
masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan mengatakan seseorang dianggap
miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup
minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo
kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan,
pendidikan, kesehatan dan transportasi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2008
mencapai sekitar 35.000.000 jiwa. Angka itu merupakan hasil survei sosial ekonomi
nasional, Susenas dengan sampel hanya 68.000 rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga
di Indonesia mencapai 55.000.000.
B. Perhitungan Tingkat Kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori, yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten,
tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut
adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan
tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Sumber
data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul
Konsumsi dan Pengeluaran.
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai
penduduk miskin. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari.
Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan,
minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan
minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di
pedesaan. Rumus yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan adalah sebagai
berikut:
GK = GKM + GKNM
Keterangan: GK = Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan
Adapun teknik penghitungan GKM adalah:
1. Tahap pertama adalah menentukan kelompok referensi yaitu 20 persen penduduk yang
berada diatas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). Kelompok referensi ini didefinisikan
sebagai penduduk kelas marginal. GKS dihitung berdasar GK periode sebelumnya yang
di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
2. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi
dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan
dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya
Pangan dan Gizi 1978. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan
dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut.
Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah:

Keterangan:
GKM∗jp : Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100
kilokalori) provinsi p
Pjkp : Rata-rata harga komiditi k di daerah j dan provinsi p
Qjkp : Rata-rata kuantitas komiditi k yang dikonsumsi di daerah j di provinsi p
Vjkp : Nilai pengeluaran untuk konsumsi komiditi k di daerah j provinsi p
j : Daerah (perkotaan atau pedesaan)
p : Provinsi ke-p
Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan
mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk
referensi, sehingga:

Keterangan:
K jkp : Kalori dari komiditi k di daerah j di provinsi p
: Harga rata-rata kalori di daerah j di provinsi p

3. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan


minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan,
sandang, pendidikan dsan kesehatan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan
mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan
perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14
komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di pedesaan. Sejak tahun 1998 terdiri dari 27 sub
kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di
pedesaan. Nilai kebutuhan minimum perkomoditi /sub-kelompok non-makanan dihitung
dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok tersebut terhadap
total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul
konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar
2004 (SPKKP 2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi
rumah tangga per komoditi non-makanan yang lebih rinci dibanding data Susenas Modul
Konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis dapat
diformulasikan sebagai berikut:

GKNMjp : Pengeluaran minimum non-makanan atau garis kemiskinan non-makanan


daerah j dan provinsi p
Vkjp : Nilai pengeluaran per komoditi/ sub-kelompok non-makanan daerah j dan
provinsi p
rkj : Rasio pengeluaran komidito/sub-kelompokm non-makanan k menurut daerah
(Hasil SPKKD 2004) dan daerah j
k : Jenis komiditi non-makanan terpilih
j : Daerah (perkotaan atau pedesaan)
p : Provinsi ke-p
Head Count Index (HCI-P0), adalah persentase penduduk yang berada dibawah
Garis Kemiskinan (GK). Rumus perhitungan persentasi kemiskinan adalah sebagai
berikut:

Keterangan:
α =0
z = garis kemiskinan.
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis
kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
n = jumlah penduduk.

Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), merupakan ukuran


rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran pesuduk
dari garis kemiskinan. Rumus perhitungan indeks kedalaman kemiskinan adalah
sebagai berikut:

Keterangan:
α =1
z = garis kemiskinan.
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis
kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
n = jumlah penduduk.
Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin
tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Rumus perhitungan indeks kedalaman kemiskinan adalah sebagai berikut:

Keterangan:
α =2
z = garis kemiskinan.
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis
kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
n = jumlah penduduk.

C. Penyebab dan Langkah Strategis Mengatasi Kemiskinan di Indonesia


Faktor penyebab kemiskinan yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Laju Pertumbuhan Penduduk
Angka kelahiran yang tinggi akan mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk
suatu negara menjadi besar. Bila laju pertumbuhan ini tidak sebanding dengan
pertumbuhan ekonomi, maka hal ini akan mengakibatkan angka kemiskinan akan
semakin meningkat di suatu negara.
2. Angka Pengangguran Tinggi
Lapangan kerja yang terbatas menyebabkan angka pengangguran di suatu negara
menjadi tinggi. Semakin banyak pengangguran maka angka kemiskinan juga akan
meningkat. Peningkatan angka pengangguran juga dapat menimbulkan masalah lain
yang meresahkan masyarakat. Misalnya munculnya pelaku tindak kejahatan, pengemis,
dan lain-lain.
3. Tingkat Pendidikan yang Rendah
Masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah cenderung tidak memiliki
keterampilan, wawasan, dan pengetahuan yang memadai. Sehingga mereka tidak bisa
bersaing dengan masyarakat yang berpendidikan tinggi di dunia kerja maupun dunia
usaha. Hal ini kemudian membuat angka pengangguran dan kemiskinan menjadi
bertambah.
4. Bencana Alam
Bencana alam merupakan faktor penyebab kemiskinan yang tidak dapat dicegah
karena berasal dari alam. Bencana alam seperti tsunami, banjir, tanah longsor, dan lain-
lain, akan menimbulkan kerusakan pada infrastruktur maupun psikologis. Peristiwa
bencana alam yang besar dapat mengakibatkan masyarakat mengalami kemiskinan
karena kehilangan harta.
5. Distribusi yang Tidak Merata
Ketidaksamaan pola kepemilikian sumber daya akan menimbulkan ketimpangan
dalam distribusi pendapatan. Pada umumnya, masyarakat yang hanya memiliki sumber
daya terbatas dan berkualitas rendah berada di bawah garis kemiskinan.
Berikut cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan:
1. Memperluas lapangan kerja
Cara yang satu ini cukup ampuh dalam mengatasi masalah kemiskinan yang ada
dengan cara mengurangi jumlah tingkat pengangguran yang kian bertambah dari tahun
ke tahun. Pemerintah harus menyediakan lapangan kerja lebih banyak lagi di setiap
wilayah tertentu, dimana wilayah itu sedang kekurangan lapangan pekerjaan. Dengan
kata lain, diharapkan pemerintah mampu dalam memenuhi jumlah pelamar kerja agar
sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia. Pemerintah dapat membangun industri
besar, perusahaan, apartemen, hotel, rumah makan, dan sebagainya yang tentu
membutuhkan tenaga kerja. Dengan adanya lapangan pekerjaan yang cukup, seseorang
bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari anggota keluarganya.
2. Memberi bantuan pendidikan secara gratis
Dalam hal edukasi, pemerintah telah mengadakan program bantuan pendidikan
berupa wajib belajar sembilan tahun bagi masyarakat yang tidak mampu. Di samping
itu, pemerintah juga perlu memberi keringanan biaya iuran bulanan sekolah kepada
siswa yang orang tuanya merasa kurang mampu. Dengan itu, masalah putus sekolah
dapat diatasi sehingga pada suatu saat nanti siswa yang telah lulus tersebut dapat leluasa
mencari pekerjaan karena dia telah memiliki kemampuan dan ketrampilan di dunia
kerja.
3. Memberi fasilitas yang memadai dan subsidi gratis
Pemerintah sebaiknya membantu dalam memberi fasilitas yang merata di setiap
wilayah. Pemberian fasilitas tersebut dapat diwujudkan dengan melengkapi sejumlah
sarana dan prasarana yang dinilai kurang atau masih belum cukup keberadaannya.
Setelah fasilitas terpenuhi, diharapkan masyarakat dapat hidup layak dan sejahtera.
Selain itu, Pemerintah juga perlu memberikan subsidi gratis kepada masyarakat yang
membutuhkan. Subsidi ini dapat berupa barang pokok/sembako yang diberikan secara
gratis kepada masyarakat yang kurang mampu. Pemberian sembako secara gratis dapat
memberikan keringanan kepada sejumlah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokok hidupnya.
4. Lakukan hal yang inovatif dan kreatif
Sebagian dari manusia malas untuk bekerja. Selain itu, ia tidak memiliki
kemampuan serta ketrampilan dalam bekerja. Alhasil, ia lebih memilih untuk
bersenang-senang atau hanya diam di rumah saja tanpa melakukan sesuatu yang
bermanfaat. Hal inilah yang menyebabkan angka pengangguran kian meningkat.
Daripada melakukan hal-hal semacam itu, lebih baik lakukanlah kegiatan yang
bermanfaat. Kegiatan itu dapat berupa hal-hal yang inovatif dan kreatif, seperti
membuat kerajinan dari barang bekas. Hasil karya yang diperoleh dari kerajinan itu,
dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
5. Membuka lapangan kerja sendiri
Dalam usaha untuk mencegah kemiskinan, kita dapat berinisiatif untuk
membuka usaha sendiri, seperti warung makan sederhana, restoran, tempat penginapan,
toko roti, dan lain sebagainya. Tentunya, jika kita membuka usaha, maka akan
membutuhkan sejumlah tenaga kerja sebagai penggerak jalannya suatu usaha kita.
Dengan itu, orang-orang yang mencari kerja akan membutuhkan permintaan kerja
kepada kita. Dengan cara inilah, pengangguran yang merupakan faktor utama
kemiskinan dapat dikurangi jumlahnya.
Untuk mengantisipasi segala faktor penyebab munculnya masalah kemiskinan
tersebut, pemerintah seharusnya perlu menindaklanjuti penanganan dari masalah
kemiskinan yang ada di lingkungan masyarakat sekitarnya. Tidak hanya pemerintah, namun
semangat, kemauan, dan usaha yang berasal dari diri kita sendiri juga harus dikembangkan
dalam memberantas kasus-kasus kemiskinan ini.
D. Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia
Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia (IPM) menjelaskan bagaimana
penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan,
pendidikan, dan sebagainya. IPM diperkenalkan oleh United Nations Development
Programme (UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan
tahunan Human Development Report (HDR). IPM dibentuk oleh 3 (tiga) dimensi dasar:
1. Umur panjang dan hidup sehat
2. Pengetahuan
3. Standar hidup layak
IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya
membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM dapat menentukan
peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara. Bagi Indonesia, IPM merupakan
data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja Pemerintah, IPM juga digunakan sebagai
salah satu alokator penentuan Dana Alokasi Umum (DAU).
E. Kondisi Kualitas Sumber Daya Manusia (Indeks Pembangunan Manusia) dan Langkah
Strategis yang Harus dilakukan
Pembangunan manusia menjadi satu keniscayaan bagi suatu bangsa, karena sejatinya
pembangunan tidak hanya dilihat dari capaian fisik saja tetapi juga dari sudut manusianya,
hal ini sejalan dengan kriteria yang dikembangkan Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNDP), dimana pembangunan seharusnya tidak hanya dianalisis dari
pertumbuhan ekonomi saja, tapi juga harus dipahami dari sudut manusianya. Untuk itu,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diciptakan untuk menegaskan bahwa manusia dan
segenap kemampuannya harus menjadi kriteria utama untuk menilai keberhasilan
pembangunan sebuah negara.
PM Indonesia telah meningkat sebesar 0,161. Jika dihitung rata-ratanya, IPM
Indonesia meningkat 0,00644 tiap tahunnya atau dibulatkan sebagai 0,006. Puncak kejayaan
peningkatan IPM Indonesia terjadi pada masa Orde Baru, lalu terjadi perhentian
perkembangan IPM pada tahun 1998 karena jatuhnya pendapatan per kapita sebagai akibat
dari Krisis Moneter. Pada masa Reformasi, yaitu masa yang kini sedang berjalan,
peningkatan IPM Indonesia yang lebih dari rata-rata selama ini terjadi pada tahun 1999-
2000, 2003, 2006, dan 2009-2012.
Jika dilihat dari Indeks Pembangunan Manusianya yang masih tertinggal, UNDP
mencatat bahwa IPM Indonesia 2015 sebesar 0,689 dan berada di tingkat 113 dari 188
negara di dunia. IPM ini meningkat sekitar 30,5 persen dalam 25 tahun terakhir. Namun, di
saat yang bersamaan, UNDP melihat ada sejumlah indikator kesenjangan yang bertolak
belakang dengan peningkatan IPM tersebut, yaitu:
1. Tingkat kemiskinan dan kelaparan karena ada sekitar 140 juta orang Indonesia yang
hidup dengan biaya kurang dari Rp20.000,00 per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi
buruk
2. Tingkat kesehatan dan kematian karena sebanyak dua juta anak di bawah usia satu tahun
belum menerima imunisasi lengkap dan angka kematian ibu sebanyak 305 kematian per
100 ribu kelahiran hidup
3. Akses layanan dasar karena UNDP melihat bahwa hampit lima juta anak tidak bersekolah
dan anak-anak di Papua memiliki tingkat dikeluarkan dari sekolah yang tinggi
Selain hal-hal di atas, kesenjangan antarkelamin pun masih menjadi salah satu
permasalahan besar. Penasihat Teknis Bidang Demokrasi Pemerintahan dan Satuan
Penanggulangan Kemiskinan UNDP Indonesia, Juliaty Ansye Sopacua mengatakan bahwa
dalam perihal kensejangan kelamin, Indonesia harus belajar dengan Tiongkok dan Filipina.
IPM tahun 2015 untuk laki-laki Indonesia 0,712, sedangkan perempuan 0,660. Dalam hal
ini, di Tiongkok IPM bagi kaum pria 0,753 dan perempuan 0,718. Sementara Filipina,
kelompok laki-laki memiliki IPM 0,681 dan perempuan 0,682. Kesenjangan ini pun
diperparah oleh status IPM masing-masing kelamin di mana IPM laki-laki yang lebih dari
sama dengan 0,700 meletakkan pria Indonesia di status IPM tinggi, sedangkan IPM
wanitanya yang besarnya di bawah 0,700 meletakkan IPM wanita Indonesia di status
sedang.
Dalam kurun waktu 2010 sampai dengan 2016, nilai IPM Indonesia terus mengalami
peningkatan. Dari tahun 2010 bernilai 66,53 terus meningkat sampai 70,18 di tahun 2016.
Apabila kita bandingkan peringkat IPM Indonesia dengan negara ASEAN, maka peringkat
Indonesia berada dibawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand. Untuk
mengatasi masalah tersebut, perlu diketahui komponen indeks apa yang masih rendah
sehingga pengambil kebijakan dapat menentukan prioritas untuk meningkatkan IPM
Indonesia.
Pada tahun 2010 UNDP telah melakukan penyempurnaan metodologi penghitungan
IPM. Penyempurnaan meliputi perubahan komponen, yaitu mengganti angka melek huruf
dengan harapan lama sekolah dan mengganti teknik penghitungan IPM dari rata-rata
aritmatik menjadi rata-rata geometrik. Pada metode rata-rata geometrik, untuk mendapatkan
nilai IPM yang tinggi maka capaian ketiga dimensi indeks harus tinggi pula. Jika salah satu
saja dari ketiga dimensi indeks bernilai rendah maka dapat menyebabkan nilai IPM menjadi
rendah. Oleh karena itu perlu menjaga agar kenaikan nilai terjadi di tiap dimensi dan tidak
terjadi hanya pada satu atau dua dimensi saja. Berikut adalah rumus penghitungan IPM:
IPM = (Indeks kesehatan x Indeks Pengetahuan x Indeks Pengeluaran) ^1/3
Peningkatan IPM nasional pada tahun 2017 yang mencapai 70,81 merupakan
peningkatan sebesar 0,63 poin atau tumbuh sebesar 0,90 persen dibandingkan tahun 2016.
Data lebih terperinci dari laman Biro Pusat Statistik didapat bahwa harapan hidup menjadi
71,06 tahun, lebih lama 0,16 tahun dibandingkan dengan mereka yang lahir tahun
sebelumnya. Angka harapan lama sekolah pada tahun 2017 selama 12,85 tahun (Diploma
I), lebih lama 0,13 tahun dibandingkan tahun 2016.
Sementara itu, penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata-rata telah menempuh
pendidikan selama 8,10 tahun (kelas IX), lebih lama 0,15 tahun dibandingkan tahun
sebelumnya. Pada tahun 2017, masyarakat Indonesia memenuhi kebutuhan hidup dengan
rata-rata pengeluaran per kapita sebesar 10,66 juta rupiah per tahun, meningkat 244 ribu
rupiah dibandingkan pengeluaran tahun sebelumnya.
Indeks pengetahuan menjadi momok IPM di Indonesia, karena menyeret nilai IPM
menjadi lebih rendah. Walaupun indeks kesehatan dan indeks pengeluaran sudah masuk
kategori tinggi pada tahun 2010, tetapi nilai IPM Nasional tetap dikategori sedang.
Buruknya indeks pengetahuan menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah dalam
meningkatkan nilai IPM.
Indeks pengetahuan merupakan rata-rata dari indeks rata-rata lama sekolah dan indeks
harapan lama sekolah. Rata-rata lama sekolah menunjukan rata-rata lama sekolah penduduk
usia 25 tahun ke atas, sementara harapan lama sekolah menunjukan harapan anak usia 7
tahun dalam bersekolah. Indeks harapan lama sekolah sudah masuk dikategori tinggi pada
tahun 2016 yaitu sebesar 70,67. Nilai indeks harapan lama sekolah sudah sejalan dengan
IPM Indonesia. Indeks rata-rata lama sekolah di Indonesia masih sangat rendah yaitu 53.00
pada tahun 2016. Meskipun Indonesia telah merdeka selama 51 tahun, tetapi rata-rata lama
sekolah selama 7,95 tahun atau belum tamat kelas 8 SLTP. Untuk meningkatkan indeks
rata-rata lama sekolah diperlukan program jangka panjang.
Program kejar paket dapat meningkatkan indeks rata-rata lama sekolah apabila diikuti
oleh penduduk yang telah lewat usia sekolah agar meningkatkan pendidikan formalnya.
Program yang datawarkan yaitu pendidikan wajib sampai SMA atau paket C untuk setiap
penduduk, baik masih usia sekolah maupun telah lewat usia sekolah. Apabila berhasil maka
rata-rata lama sekolah di Indonesia menjadi 12 tahun dengan indeks rata-rata lama sekolah
menjadi 80.
Untuk meningkatkan nilai IPM, pembuat kebijakan sebaiknya meningkatkan seluruh
dimensi penyusun IPM. Indeks pengetahuan menjadi dimensi penyusun IPM yang memiliki
nilai paling rendah karena nilai rata-rata lama sekolah yang rendah. Salah satu cara dengan
menggalakan wajib belajar 12 tahun baik bagi penduduk usia sekolah maupun penduduk
yang sudah melewati usia sekolah dengan kejar paket C.Langkah yang dilakukan
pemerintah dalam usaha peningkatan IPM ialah dalam hal pendidikan, pemerintah telah
melakukan Program Indonesia Pintar melalui pendistribusian dan pemanfaatan Kartu
Indonesia Pintar yang merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah untuk meningkatkan
rata-rata lamanya sekolah dan menekan angka drop out di sekolah. Staf Ahli bidang
Kependudukan Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Sonny Harry B. Harmadi mengatakan bahwa pemerintah berfokus lebih pada
upaya peningkatan IPM yang merata, sehingga pada tahun 2019, Indonesia mampu menjadi
negara berstatus high human development sembari menurunkan angka ketimpangan

Anda mungkin juga menyukai