Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
2.1. Pengertian Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA)
Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan dasar yang berfungsi
membina peran serta masyarakat sebagi pusat pembangunan kesehatan masyarakat.
Manajemen yang baik merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
mewujudkan fungsi puskesmas. Fungsi manajemen tersebut, terutama dalam hal
monitoring (pemantauan) dan evaluasi (penilaian) keberhasilan program puskesmas.
Salah satu upaya monitoring dan evaluasi adalah dengan menggunakan Pemantauan
Wilayah Setempat (PWS). Program kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah
satu program pokok di puskesmas yang mendapat prioritas tinggi, mengingat
kelompok ibu hamil, menyusui, bayi dan anak merupakan kelompok yang sangat
rentan terhadap kesakitan – kematian.
Pemantauan wilayah setempat –KIA adalah suatu alat manajemen program KIA
untuk memantau cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah (Puskesmas/Kecamatan)
secara terus menerus, sehingga dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat
terhadap desa dengan cakupan pelayanan KIA yang masih rendah (Depkes, 1994).
Prinsip pengelolaan PWS KIA meliputi beberapa hal yang mencakup indikator
ketercapaian program PWS KIA. Adapun indikator tersebut adalah :
1. Pelayanan antenatal
Pelayanan antenatal selengkapnya mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik
(umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas indikasi, serta intervensi
dasar dan khusus (sesuai resiko yang ada termasuk penyuluhan dan konseling). Akan
tetapi dalam penerapan sehari-hari pelayanan antenatal secara minimal terstandar
sehingga dapat diakui sebagai bentuk pelayanan antenatal. Dalam penerapan
operasionalnya dikenal dengan standar minimal “5T” yang terdiri dari :
a. Timbang Badan dan ukur tinggi badan dengan alat ukur terstandar.
b. (Ukur) Tekanan darah dan prosedur yang benar.
c. (Ukur) Tinggi fundus uteri dengan prosedur yang benar.
d. (Pemberian imunisasi) tetanus toksoid (TT) lengkap (sesuai jadwal).
e. (Pemberian) Tablet tambah Darah minimal 90 tablet selama kehamilan.
Seiring berjalannya waktu pasti akan ada tuntutan peningkatan kualitas pelayanan
kebidanan. Salah satu dari hal tersebut adalah pada beberapa wilayah standar minimal
pemeriksaan antenatal tidak lagi “5T” tetapi menjadi “7T”, yaitu 5T ditambahkan
dengan :
f. Tes laboratorium (rutin dan khusus)
Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan hemoglobin, protein urine,
gula darah, dan hepatitis B. Pemeriksaan khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi
dan atau kelompok perilaku beresiko dilakukan terhadap HIV, sifilis, malaria,
tuberkulosis, cacingan dan thalasemia.
g. Temu wicara (konseling)
Pelayanan antenatal ini hanya dapat diberikan oleh tenaga kesehatan dan tidak dapat
dilakukan oleh dukun bayi. Ditetapkan pula frekuensi pelayanan antenatal adalah
minimal 4 x selama kehamilan, dengan ketentuan waktu sebagai berikut :
1) Minimal satu kali pada trimester I
2) Minimal satu kali pada trimester II
3) Minimal dua kali pada trimester III
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut ditentukan untuk menjamin mutu
pelayanan antenatal. Selain itu juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang
cukup kepada pemberi asuhan antenatal dalam menangani kasus resiko tinggi yang
ditemukan.
2. Pertolongan Persalinan
Dalam program KIA dikenal beberapa jenis tenaga yang memberikan
pertolongan persalinan kepada masyarakat, yaitu : dokter spesialis kebidanan, dokter
umum, bidan, perawat bidan. Meskipun demikian, di daerah terpencil masih banyak
juga penolong persalinan yang berasal dari keluarga ataupun masyarakat yang
dipercaya dapat manolong persalinan.
Pada prinsipnya, penolong persalinan baik yang dilakukan di rumah klien
maupun di sarana kesehatan seperti bidan praktik swasta (BPS), klinik, puskesmas
dan sarana kesehatan lain, harus tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Sterilitasi/pencegahan infeksi.
b. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar pelayanan.
c. Merujuk kasus yang memerlukan tingkat pelayanan lebih tinggi.
Dengan penempatan bidan di desa diharapkan secara bertahap jangkauan
persalinan oleh tenaga kesehatan terus meningkat. Selain itu diharapkan pula
masyarakat semakin menyadari pentingnya persalinan yang bersih dan aman.
3. Deteksi Dini Ibu Hamil Beresiko
Untuk menurunkan angka kematian ibu secara bermakna maka deteksi dini dan
penanganan ibu hamil beresiko/komplikasi kebidanan perlu lebih ditingkatkan baik
fasilitas pelayanan KIA maupun di masyarakat. Dalam rangka itulah deteksi ibu
hamil beresiko/komplikasi kebidanan perlu difokuskan kepada keadaan yang
menyebabkan kematian ibu bersalin di rumah dengan pertolongan oleh dukun bayi
juga oleh masyarakat atau tenaga non kesehatan yang tidak berwenang.
Resiko tinggi/komplikasi kebidanan pada kehamilan merupakan keadaan
penyimpangan dari normal, yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan
kematian ibu maupun bayi. Semakin cepat diketahuinya adanya resiko
tinggi/komplikasi semakin cepat akan mendapatkan penanganan yang semestinya.
Sehingga angka kematian ibu secara signifikan dapat diturunkan.
Faktor resiko ibu hamil diantaranya :
1. Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
2. Anak lebih dari 4.
3. Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun.
4. Tinggi badan kurang dari 145 cm.
5. Berat badan kurang dari 38 kg atau lingkar lengan atas < 23,5 cm.
6. Kelainan bentuk tubuh, misalnya kelainan tulang belakang atau panggul.
7. Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya atau sebelum kehamilan ini.
8. Sedang/pernah menderita penyakit kronis, antara lain : tuberkulosis, kelainan
jantung-ginjal-hati, psikosis, kelainan endokrin (diabetes melitus, sistemik lupus
erritematosus dll), tumor dan keganasan.
9. Riwayat kehamilan buruk : keguguran berulang, kehamilan ektopik terganggu, mola
hidatidosa, ketuban pecah dini, bayi dengan cacat kongenital.
10. Riwayat persalinan beresiko : persalinan dengan seksio sesarea, ekstraksi
vakum/forseps.
11. Riwayat nifas beresiko : perdarahan pasca persalinan, infeksi masa nifas, psikosis
postpartum (post partum blues).
12. Riwayat keluarga menderita penyakit kencing manis, hipertensi dan riwayat cacat
kongenital.
Semakin banyak ditemukan faktor resiko pada seorang ibu hamil, maka semakin
tinggi resiko kehamilannya. Resiko tinggi/komplikasi kebidanan meliputi :
a. Hb kurang dari 8 gr%.
b. Tekanan darah tinggi (sistole > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg.
c. Oedema yang nyata.
d. Eklamsia.
e. Perdarahan pervaginam (abortus imminens, plasenta previa, solusio plasenta).
f. Ketuban pecah dini.
g. Letak lintang pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu.
h. Letak sungsang pada primigravida.
i. Infeksi berat/sepsis.
j. Ancaman persalinan prematur.
k. Kelainan jumlah janin (kehamilan ganda, kembar siam, dll).
l. Kelainan besar janin (janin besar, intra uterine growth retardation).
m. Distosia (persalinan macet, persalinan tak maju).
n. Perdarahan pasca persalinan : atonia uteri, retensi plasenta, robekan jalan lahir,
kelainan darah.
o. Infeksi masa nifas.
p. Penyakit kronis pada ibu. (jantung, paru, ginjal, dll).
q. Riwayat obstetrik buruk (riwayat bedah sesar dan komplikasi kehamilan).
Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah apabila mendapat penanganan yang
adekuat di fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor waktu dan transportasi merupakan
hal yang sangat menentukan dalam merujuk kasus resiko tinggi. Oleh karenanya
deteksi faktor resiko pada ibu baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat
merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah kematian dan kesakitan ibu.
Penempatan bidan di desa memungkinkan penanganan dan rujukan ibu hamil
beresiko sejak dini, serta identifikasi tempat persalinan yang tepat bagi ibu hamil
sesuai dengan resiko kehamilan yang disandangnya.
4. Penanganan Komplikasi Kebidanan
Diperkirakan sekitar 15-20 % ibu hamil akan mengalami komplikasi kebidanan.
Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga atau
diramalakan sebelumnya, oleh karenanya semua persalinan harus ditolong oleh
tenaga kesehatan agar komplikasi kebidanan dapat segera di deteksi dan ditangani.
Oleh karena itu ibu hamil harus berada sedekat mungkin pada sarana pelayanan yang
mampu memberi pelayanan obstetric dan neonatal emergensi dasar (PONED).
Kebijakan Depkes dalam penyediaan puskesmas mampu PONED adalah setiap
kabupaten/kota harus mempunyai minimal 4 puskesmas mampu PONED. Pelayanan
medis yang dapat dilakukan di puskesmas PONED meliputi pelayanan obstetric
berikut :
a. Pencegahan dan penanganan perdarahan.
b. Pencegahan dan penanganan pre-eklamsi dan eklamsi.
c. Pencegahan dan penanganan infeksi.
d. enanganan partus lama/macet.
e. Pencegahan dan penanganan abortus.
Pelayanan neonatal meliputi :
a. Pencegahan dan penanganan asfiksia.
b. Pencegahan dan penanganan hipotermi.
c. Pencegahan dan penanganan BBLR.
d. Pencegahan dan penanganan kejang/ikhterus ringan-sedang.
e. Pencegahan dan penanganan gangguan minum.
5. Pelayanan Kesehatan Neonatal
Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap
pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada
bayi atau bayi mengalami masalah kesehatan. Resiko terbesar kematian bayi baru
lahir terjadi pada 24 jam pertama, minggu pertama dan bulan pertama kehidupannya.
Upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian neonatal diutamakan pada
pemeliharaan kehamilan sebaik mungkin, pertolongan persalinan ‘’3 bersih’’ (bersih
tangan penolong, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu) dan perawatan
bayi baru lahir yang adekuat termasuk perawatan tali pusat yang higienis.
Pelayanan kesehatan neonatal dasar menggunakan pendekatan komprehensif,
manajemen terpadu bayi muda untuk bidan, meliputi :
a. Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi bakteri, ikhterus, diare, bayi
berat lahir rendah.
b. Perawatan tali pusat.
c. Pemberian Vitamin K1 bila belum diberikan pada saat lahir.
d. Imunisasi Hepatitis B bila belum diberikan pada saat lahir.
e. Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI Eksklusif, pencegahan
hipotermi dan melaksanakan perawatan bayi baru lahir di rumah dengan
menggunakan buku KIA.
f. Penanganan dan rujukan kasus.
g. Pelayanan kesehatan neonatus (bayi berumur 0-28 hari) yang dilaksanakan oleh
dokter spesialis anak/dokter/bidan/perawat terlatih, baik di fasilitas kesehatan
maupun kunjungan rumah. Setiap neonatus harus diberikan pelayanan kesehatan
sedikitnya 2 kali pada minggu pertama dan 1 kali pada minggu ke 2 setelah lahir.
Pelayanan kesehatan neonatus :
a. Kunjungan pelayanan kesehatan neonatus.
b. Kunjungan neonatal hari ke 3 (KN2).
c. Kunjungan neonatal minggu ke 2 (KN2).
Resiko tinggi neonatal meliputi :
a. BBLR
b. Bayi dengan tetanus neonatorum
c. Bayi baru lahir dengan asfiksia
d. Bayi dengan ikhterus neonatorum (ikhterus > 10 hari setelah lahir)
e. Bayi baru lahir dengan sepsis
f. Bayi baru lahir dengan berat > 4000 gram
g. Bayi pre-term dan post-term
h. Bayi lahir dengan cacat bawaan sedang
i. Bayi lahir dengan persalinan dengan tindakan
Namun ada penambahan indikator pemantauan namun belum umun
diaplikasikan di wilayah kerja disesuaikan dengan keadaan wilayah masing-masing.
Adapun penambahan itu adalah :
6. Pelayanan Kesehatan Bayi
Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan
kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan bayi, sehingga
cepat mendapat pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit
melalui pemantauan pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi
dengan stimulasi tumbuh kembang. Dengan demikian hak anak mendapatkan
pelayanan kesehatan dapat terpenuhi. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi :
a. Pemberian imunisasi dasar (BCG, Polio 1 s.d 4, Hepatitis B1 s/d 3, dan Campak)
b. Stimulasi deteksi intervensi tumbuh kembang bayi (SDIDTK)
c. Pemberian vitamin A 100.000 IU 6-11 bulan)
d. Konseling ASI Eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI.
e. Konseling pencegahan hipotermi dan perawatan kesehatan bayi di rumah.
f. Penanganan dan rujukan kasus.
Pelaksanaan kesehatan bayi :
a. Kunjungan bayi antara umur 29 hari-3 bulan.
b. Kunjungan bayi antara umur 3-6 bulan.
c. Kujungan bayi antara 6-9 bulan.
d. Kunjungan bayi antara umur 9-11 bulan
7. Pelayanan Kesehatan Balita
Pelayanan kesehatan anak balita adalah pelayanan kesehatan terhadap anak yang
berumur 12-59 bulan yang sesuai dengan standar oleh tenaga keshatan, ahli gizi,
penyuluh kesehatan masyarakat dan petugas sector lain, yang meliputi :
a. Pelayanan pemantauan pertumbuhan setiap bulan yang tercatat dalam buku
KIA/KMS, dan pelayanan stimulasi deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang
(SDIDTK) serta mendapat Vitamin A 2 kali dalam setahun.
b. Pelayanan SDIDTK meliputi pemantauan perkembangan motorik kasar, motorik
halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali per tahun (setiap 6 bulan)
c. Suplementasi Vitamin A dosis tinggi (200.000 IU) diberikan pada anak balita
minimal 2 kali per tahun.
d. Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap anak balita.
8. Pelayanan KB berkualitas
Pelayanan KB berkualitas adalah pelayanan KB yang sesuai dengan standar
dengan menghormati hak individu sehingga diharapkan mampu meningkatkan
derajat kesehatan dan menurunkan tingkat fertilitas (kesuburan). Pelayanan KB
bertujuan untuk menunda, menjarangkan dan/atau menghentikan kehamilan, dengan
menggunakan metode kontrasepsi.
Untuk mempertahankan dan meningkatkan cakupan peserta KB perlu
diupayakan pengelolaan program yang berhubungan dengan peningkatan aspek
kualitas, teknis, dan aspek manajerial pelayanan KB. Dari aspek kualitas perlu
diterapkan pelayanan yang sesuai standar dan variasi pilihan metode KB, sedangkan
dari segi teknis perlu dilakukan pelatihan klinis dan non klinis secara
berkesinambungan. Selanjutnya aspek manajerial, pengelola program KB perlu
melakukan revitalisasi dalam segi analisis situasi program KB dan system pencatatan
dan pelaporan pelayanan KB.
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan KB kepada masyarakat
adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter umum, perawat dan bidan.
8. Cakupan Akses
Adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu, yang
pernah mendapat pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit satu kali selama
kehamilan. Cara menghitungnya adalah sbb:
(jumlah kunjungan baru ibu hamil dibagi dengan jumlah sasaran ibu hamil yang ada
disuatu wilayah kerja dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan 100 %.
9. Cakupan Ibu Hamil (K4)
Adalah persentase ibu hamil disuatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu, yang
mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit 4 kali dengan
trimester I, 1 kali pada trimester ke II dan 2 kali pada trimester ke III. Cara
menghitungnya adalah sbb :
(Jumlah ibu hamil yang telah menerima K4 dibagi jumlah sasaran ibu hamil dengan
kurun waktu 1 tahun) dikalikan 100 %)
10. Sasaran Ibu Hamil
Adalah jumlah semua ibu hamil disuatu wilayah dalam kurun waktu 1
tahun, angka ini dapat diperoleh dengan berbagai cara yaitu :
1. Angka sebenarnya, yang diperoleh berdasarkan cacah jiwa.
2. Angka perkiraan, yaitu memakai rumus :
= angka kelahiran kasar (CBR) x 1.1 x jumlah penduduk setempat ; dengan
pengambilan angka CBR dari provinsi atau bila ada dari kabupaten setempat atau 3
% x jumlah penduduk setempat.
11. Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan
Adalah persentase ibu bersalin di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang
ditolong persalinannya oleh tenaga kesehatan.
12. Cakupan Penjaringan Ibu Hamil Beresiko Oleh Masyarakat
Adalah persentase ibu hamil beresiko yang ditemukan oleh kader dan dukun bayi
yang kemudian dirujuk ke puskesmas/tenaga kesehatan, dalam kurun waktu tertentu.
13. Cakupan Penjaringan Ibu Hamil Beresiko Oleh Tenaga Kesehatan
Adalah persentase ibu hamil beresiko yang ditemukan baik oleh tenaga kesehatan
maupun oleh kader/ dukun bayi yang telah dipastikan oleh tenaga kesehatan, yang
kemudian ditindaklanjuti (dipantau secara intensif dan ditangani sesuai kewenangan
dan /atau dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi) dalam kurun waktu tertentu.
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun dihitung berdasar jumlah perkiraan
(angka proyeksi) ibu hamil dalam 1 wilayah tertentu dengan rumus :
jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun = angka kelahiran kasar (Crude Birth
Rate/CBR) x 1,1 x jumlah penduduk wilayah tersebut.
Angka kelahiran kasar (CBR) digunakan angka terakhir kabupaten/kota yang
diperoleh dari kantor statistik kabupaten/kota.
Contoh:
Untuk menghitung jumlah perkiraan ibu hamil di desa maju propinsi X yang
mempunyai penduduk 2000 jiwa, maka jumlah ibu hamil = 0,027 (CBR Propinsi X)
x 1,1 x 2000 = 59,4.
Jadi sasaran ibu hamil adalah 59 orang.
Jumlah sasaran ibu bersalin dalam 1 tahun dihitung berdasar jumlah perkiraan melalui
perhitungan :
= CBR propinsi x 1,05 x jumlah penduduk setempat. Bila propinsi tidak mempunyai
data CBR dapat digunakan angka nasional, sehingga rumusnya sbb :
= 2,8 % x jumlah penduduk setempat.
4. Penjaringan (Deteksi) Ibu Hamil Beresiko Oleh Masyarakat.
Dengan indikator ini dapat diukur tingkat kemampuan dan peran serta masyarakat
dalam melakukan deteksi ibu hamil beresiko di suatu wilayah.
Rumus :
Jumlah ibu hamil beresiko yang dirujuk oleh
dukun bayi/kader ketenagakesehatan
X 100 %
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun
DAFTAR PUSTAKA