Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PUASA SUNNAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ajaran Islam, puasa mempunyai kedudukan yang tinggi, karena disamping
sebagai ibadah wajib yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga mengandung
banyak hikmah yang berkaitan dengan rohani dan jasmani. Hanyalah Allah yang mampu
menghitung secara pasti berapa banyak fadlilah dan pahala puasa sunnah; dari sini, Allah
berkenan menyandarkan ibadah puasa untuk diri-Nya sendiri, bukan yang lain; Allah
berfirman (dalam hadits qudsi): Semua perbuatan manusia itu untuknya sendiri, kecuali
puasa, karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalas cukup
ibadah puasanya itu. Dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim: barangsiapa berpuasa
satu hari di jalan Allah, maka Allah akan memisahkan dirinya dari neraka sejauh 70 kharif
(70 tahun jarak perjalanan)[1]
Selain Ramadhan, bulan-bulan yang paling afdhal untuk melakukan puasa adalah
bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab; dan yang paling afdhal
daripadanya adalah bulan Muharram, kemudian Rajab, kemudian Dzul Hijjah, kemudian
Dzul Qa’dah dan barulah Sya’ban[2]

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Puasa Sunnah ?
2. Apa Pahala Dan Keutamaan Berpuasa ?
3. Apasaja Macam-Macam Puasa Sunnah ?
4. Bagaimana Ketentuan Melakukan Puasa Sunnah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian, pahala dan keutamaan serta macam-macam puasa sunnah
2. Mengetahui ketentuan melakukan puasa Sunnah

D. Manfaat Penulisan
Agar dapat mengetahui ada berapa macam puasa sunnah dan keistimewaannya serta dapat
mengetahui ketentuan dalam melakukan puasa sunnah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa Sunnah


Puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu
pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang
terdepan (as saabiqun al muqorrobun). Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan
mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,
ِ ‫ص َرهُ الَّذِى يُب‬
‫ْص ُر بِ ِه‬ َ ُ‫ فَإِذَا أَحْ بَ ْبتُهُ ُك ْنت‬، ُ‫ى بِالنَّ َوافِ ِل َحتَّى أ ُ ِحبَّه‬
َ َ‫ َوب‬، ‫س ْمعَهُ الَّذِى يَ ْس َم ُع بِ ِه‬ َّ َ‫َو َما يَزَ ا ُل َع ْبدِى َيتَقَ َّربُ إِل‬
ُ‫ َولَئِ ِن ا ْستَعَاذَنِى أل ُ ِعيذَنَّه‬، ُ‫ْط َينَّه‬
ِ ‫سأَلَنِى ألُع‬
َ ‫ َوإِ ْن‬، ‫ش بِ َها َو ِرجْ لَهُ الَّتِى يَ ْمشِى بِ َها‬ ُ ‫ َويَدَهُ الَّتِى يَ ْب‬،
ُ ‫ط‬

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah


sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi
petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang
ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia
memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya”
B. Pahala dan Keutamaan Berpuasa
Puasa merupakan salah satu amalan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala yang
mana Allah menjanjikan keutamaan dan manfaat yang besar bagi yang mengamalkannya,
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
َ ‫ فَإِذَا َكانَ يَ ْو ُم‬.ٌ‫صيَا ُم ُجنَّة‬
‫ص ْو ِم أَ َح ِد ُك ْم‬ ّ ِ ‫ َوال‬.‫ فَإِنَّهُ ِلي َوأَنَا أَجْ ِزي بِ ِه‬.‫ام‬ َ َ‫الصي‬ ِ ‫ ُك ُّل َع َم ِل اب ِْن آد َ َم لَهُ إال‬:ّ‫قَا َل هللاُ َع َّز َو َجل‬
ُ ‫صائِ ٌم – َم َّرتَي ِْن – َوالَّذِي نَ ْف‬
.ِ‫س ُم َح َّم ٍد ِبيَ ِده‬ َ ‫ إِنِّي‬:‫ فَ ْليَقُ ْل‬،ُ‫ فَإ ِ ْن شَات َ َمهُ أ َ َحد ٌ أ َ ْو قَاتَلَه‬.‫صخَبْ َوال يَجْ َه ْل‬ْ َ‫ث َوال ي‬ ْ ُ‫فَال يَ ْرف‬
ْ ‫ط َر فَ ِر َح بِ ِف‬
.ِ‫ط ِره‬ َ ‫ إِذَا أَ ْف‬:‫َان يَ ْف َر ُح ُه َما‬
ِ ‫صائِ ِم فَ ْر َحت‬ ْ َ ‫صائِ ِم أ‬
ِ ِ‫ط َيبُ ِع ْندَ هللاِ يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة ِم ْن ِريْح‬
َّ ‫ َو ِلل‬.‫المسْك‬ ُ ‫لَ َخلُ ْو‬
َّ ‫ف فَ ِم ال‬
َ ‫َو ِإذَا لَ ِق‬
َ ‫ي َربَّهُ فَ ِر َح ِب‬
‫ص ْو ِم ِه‬
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali
puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, puasa adalah
perisai, maka apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah ia berkata-kata
keji, dan janganlah berteriak-teriak, dan janganlah berperilaku dengan perilakunya orang-
orang jahil, apabila seseorang mencelanya atau menzaliminya maka hendaknya ia
mengatakan: Sesungguhnya saya sedang berpuasa (dua kali), demi Yang diri Muhammad
ada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah
pada hari kiamat dari wangi kesturi, dan bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan
yang ia berbahagia dengan keduanya, yakni ketika ia berbuka ia berbahagia dengan buka
puasanya dan ketika berjumpa dengan Rabbnya ia berbahagia dengan puasanya.” (HR
Bukhari, Muslim dan yang lainnya)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ً ‫س ْب ِعيْنَ خ َِريْفا‬ ِ ‫ َوجْ َههُ َع ِن الن‬،‫ بِذَلِكَ اليَ ْو ِم‬،ُ‫ إال بَا َعدَ هللا‬.‫س ِب ْي ِل هللا‬
َ ‫َار‬ َ ‫ص ْو ُم َع ْبد ٌ يَ ْو ًما فِي‬
ُ َ‫ال ي‬
“Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah kecuali Allah akan
menjauhkan wajahnya dari api neraka (dengan puasa itu) sejauh 70 tahun jarak
perjalanan.” (HR. Bukhari Muslim dan yang lainnya).
Sebagaimana jenis ibadah lainnya maka puasa haruslah didasari niat yang benar yakni
beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata-mata serta dilaksanakan sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Secara Syar’i makna puasa
adalah “menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta segala sesuatu yang
membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat beribadah
kepada Allah subhanahu wa ta’ala” , Maka jika seseorang menahan diri dari makan dan
minum tidak sebagaimana pengertian di atas atau menyelisihi dari apa yang menjadi
tuntunan Rasulullah saw. maka tentu saja ini merupakan hal yang menyimpang dari
syariat, termasuk perbuatan yang sia-sia dan bahkan bisa jadi mendatangkan kemurkaan
Allah subhanahu wa ta’ala, Penyimpangan yang bisa terjadi dalam berpuasa diantaranya:
1. Berpuasa tidak dalam rangka beribadah kepada Allah.
Semisal seseorang yang berpuasa karena hendak mendapatkan bantuan dari jin/syaitan
berupa sihir atau yang lainnya, atau bernadzar puasa kepada selain Allah, maka perbuatan
ini termasuk kesyirikan yang besar karena memalingkan ibadah kepada selain Allah
subhanahu wa ta’ala. Adapun seseorang yang berpuasa semata-mata karena alasan
kesehatan, walaupun hal ini boleh-boleh saja akan tetapi ia keluar dari pengertian puasa
yang syar’i sehingga tidaklah ia termasuk orang yang mendapatkan keutamaan puasa
sebagaimana yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala.

2. Menyelisihi tata cara Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, diantaranya:


Mengkhususkan tata cara tertentu yang tidak dituntunkan oleh Nabi saw., semisal puasa
mutih (menyengaja menghindari makan daging atau yang lainnya), puasa sehari semalam
tanpa tidur atau tanpa berbicara dengan menganggap hal ini memiliki keutamaan dan
yang lainnya.
Mengkhususkan waktu tertentu yang tidak dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam semisal mengkhususkan puasa pada hari atau bulan tertentu tanpa dalil dari al-
Qur’an dan sunnah, ataupun mengkhususkan jumlah hari yang tidak dikhususkan dalam
syariat.
Maka seyogyanya kaum muslimin menahan diri dari beribadah tanda dasar ilmu atau
tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah hadits dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ْس َعلَ ْي ِه أ َ ْم ُرنَا فَ ُه َو َرد‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَي‬
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka
tertolak.” (HR. Muslim).
Maka berikut ini adalah beberapa jenis puasa yang dianjurkan di dalam Islam di luar
puasa yang wajib (Puasa Ramadhan) berdasarkan dalil-dalil yang syar’i, semoga kita
diberi kemudahan untuk mengamalkannya berdasarkan ilmu dan terhindar dari perkara-
perkara yang menyelisihi syariat Allah subhanahu wa ta’ala sehingga kita dapat
memperoleh berbagai keutamaan dari apa-apa yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala.

C. Macam-macam Puasa Sunnah


Disamping puasa wajib di bulan Ramadhan, disyariatkan beberapa macam puasa sunat
diluar Ramadhan, yaitu:
a. Puasa enam hari bulan Syawal
Puasa ini disyariatkan berdasarkan hadits Nabi SAW berikut:
‫عن أبي أيوب قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من صام رمضان ثم اتبعه ستا من شوال كان كصيام‬
)‫الدهرز (رواه مسلم‬
Dari Abi Ayyub r.a., Rasulullah SAW bersabda:”bang siapa puasa pada bulan
Ramadhan kemudian ia puasa pula enam hari pada bulan Syawal adalah seperti puasa
sepanjang masa.” (HR. Muslim)

Para ahli memahami hadits tersebut dengan mengaitkannya kepada hadits yang
menerangkan bahwa satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Jadi satu bulan (30
hari) berpuasa pada bulan Ramadhan sama nilainya dengan sepuluh bulan (300 hari)
berpuasa di luar Ramadhan, dan enam hari berpuasa pada bulan Syawal sama nilainya
dengan dua bulan (60 hari). Dengan demikian jadilah puasanya seperti 12 bulan (1 tahun)

b. Puasa hari senin dan hari kamis, sebagaimana dianjurkan Nabi SAW melalui sabdanya:
)‫عن عا ئشة رضي هللا عنها كان النبي صلى هللا عليه وسلم يتحر صيام اإلثنين والخمس (زواه ابو داود‬
dari Aisyah r.a., bahwa Nabi SAW memilih waktu puasa pada hari senin dan hari
kamis. (HR. Abu Daud).

Pada hadits lain, hadits shahih yang menerangkan bahwa Nabi saw. mementingkan untuk
melakukannya, sabdanya: Amal-amal perbuatan dilaporkan pada hari senin dan kamis,
maka aku senang bila amalku dilaporkan dalam keadaan aku sedang berpuasa;
maksudnya dilaporkan kepada Allah.[3]

Adapun dibawanya amal-amal tersebut oleh Malaikat, adalah satu kali malam dan satu
kali siang hari; dan tentang dibawanya pada bulan sya’ban adalah dibelokkan pada
pengertian, dibawanya amal satu tahun secara keseluruhan. Puasa hari senin lebih Afdhal
dari pada kamis, karena adanya kekhususan-kekhususan yang banyak dikemukakan oleh
para Ulama[4]
c. Puasa pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang haji, sedangkan bagi orang
yang haji puasa itu tidak disunatkan, sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:
‫عن ابى قتادة أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال ما من يوم أكثر من أن يعتق هللا فيه من النار من يوم غرفة‬
) ‫( زواه مسلم‬
Dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda: tiadalah dari hari yang paling banyak Allah
membebaskan hamba-Nya dari api neraka selain hari ‘Arafah (HR. Muslim).
Hukum puasa ini sunnah muakad. Dosa yang dilebur adalah dosa-dosa kecil yang tidak
ada sangkut pautnya dengan hak-hak Adam, sebab dosa besar bisa dilebur hanya dengan
bertaubat yang sah, sedangkan hak Adam terserah pada kerelaan yang bersangkutan
sendiri. Jikalau tak punya dosa kecil maka kebajikan-kebajikannya akan ditambah.[5]
d. Puasa tiga hari setiap bulan (hari Bidl), yaitu pada hari 13, 14 dan 15. Tapi bila
dilaksanakan pada selain hari-hari tersebut dipandang sah. Nabi SAW bersabda:
‫عن ابي ذر قال رسول هلل صلى هللا عليه وسلم يا أبا ذر إذا صمت من الشهر ثالثة فثم ثالثة عشرة وأربع‬
)‫عشرة وخمس عشرة (رواه أحمد والنسائى‬
Dari Abi Zarr, Nabi SAW. Bersabda: “Hai Abu Zarr, apabila engkau hendak puasa tiga
hari dalam sebulan, hendaklah engkau puasa pada hari ke 13, 14, dan 15.” (HR. Ahmad
dan Nasa’i)
e. Puasa hari ke-9 pada bulan Muharram (puasa Tasu’a), sebagaimana dijelaskan pada
hadits:
ّ
)‫ألصومن التسع والعاشر (زواه مسلم‬ ‫عن ابن عباس رضي هللا عنه لو بقيت على قابل‬
Dari Ibn Abbas, berkata:” Jika aku masih hidup sampai masa (bulan) depan, aku akan
melaksanakan puasa pada hari yang ke-9 dan 10 (Muharram).”(HR. Muslim)

Dari keterangan ini, bagi orang yang tidak bepuasa tasu’a disunnahkan berpuasa pada
tanggal 11-nya, bahkan telah berpuasa tanggal 9 sekalipun; tersebut didalam Al-Umm :
tidaklah mengapa, bila berpuasa pada tanggal 10 nya juga.[6]

f. Puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram), sesuai dengan hadits Nabi berikut:
)‫عن قتادة قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم صوم يوم عشوراء يكفر سئة ماضية (رواه مسلم‬
Dari Abi Qatadah, Rasulullah bersabda:”Puasa hari ‘Asyura itu menhapuskan dosa satu
tahun yang telah lalu.” (HR. Muslim)

Hukum puasa ini sunnah muakad. Diterangkan dalam haadits Muslim bisa melebur dosa
selama 1 tahun yang telah lewat. Adapun hadits-hadits tentang bercelak mata, mandi, dan
memakai harum-haruman di hari ‘Asyura adalah palsuan para pemalsu hadits[7]
g. Puasa bulan Sya’ban. Dalam hal ini Nabi Bersabda:
)‫عن عائشة رضي هللا عنها قالت لم يكن النبي صلى هللا عليه وسلم يصوم أكثر من الشعبان (رواه الخمسة‬
Dari Aisyah berkata:”Nabi tidak berpuasa lebih banyak selain dari pada bulan
Sya’ban.” (HR. Al-Khamsah)
Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban
dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
‫سو َل‬ ُ ‫ فَ َما َرأَيْتُ َر‬. ‫صو ُم‬
ُ َ‫ َويُ ْف ِط ُر َحتَّى نَقُو َل الَ ي‬، ‫صو ُم َحتَّى نَقُو َل الَ يُ ْف ِط ُر‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
ُ َ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – ي‬
َ ‫صيَا ًما ِم ْنهُ فِى‬
َ‫ش ْعبَان‬ ِ ‫ َو َما َرأَ ْيتُهُ أ َ ْكث َ َر‬، َ‫ضان‬
َ ‫ش ْه ٍر ِإالَّ َر َم‬
َ ‫ام‬ ِ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – ا ْست َ ْك َم َل‬
َ َ‫صي‬ َّ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa
beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak
berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak
pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.”
(HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,


ُ‫ش ْعبَانَ ُكلَّه‬ َ ‫ش ْه ًرا أ َ ْكث َ َر ِم ْن‬
ُ َ‫ فَإِنَّهُ َكانَ ي‬، َ‫ش ْعبَان‬
َ ‫صو ُم‬ َ ‫صو ُم‬ ُّ ‫لَ ْم يَ ُك ِن النَّ ِب‬
ُ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – ي‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih
banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada
bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,


ً‫ش ْعبَانَ ِإالَّ قَ ِليال‬ ُ َ‫ش ْعبَانَ ُكلَّهُ َكانَ ي‬
َ ‫صو ُم‬ ُ َ‫ َكانَ ي‬.
َ ‫صو ُم‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.
Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,


َ ‫صلُهُ ِب َر َم‬
َ‫ضان‬ َ َّ‫ش ْه ًرا ت َا ًّما ِإال‬
ِ ‫ش ْع َبانَ َي‬ َ ‫سنَ ِة‬ ُ ‫أَنَّهُ لَ ْم َي ُك ْن َي‬.
َّ ‫صو ُم ِمنَ ال‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain
pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu
Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada
bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)?
Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita
katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah
kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari
Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa
pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh
bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban?
An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan
Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ”(Syarh Muslim,
4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan
Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang
mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki
keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah
puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan,
maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa
wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di Balik Puasa Sya’ban
1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut
dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan
sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan
amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang
yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu
adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah
tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena
pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari.
Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan
Sya’ban. Jadi beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban
sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah,
maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna
sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
3. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan
Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia
akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan.
(Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk
memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk
orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.
ُ‫ َويَدَه‬، ‫ْص ُر بِ ِه‬ َ َ‫ َوب‬، ‫ فَإِذَا أَحْ بَ ْبتُهُ ُك ْنتُ َس ْمعَهُ الَّذِى يَ ْس َم ُع بِ ِه‬، ُ‫ى بِالنَّ َوافِ ِل َحتَّى أ ُ ِحبَّه‬
ِ ‫ص َرهُ الَّذِى يُب‬ َّ َ‫َو َما يَزَ ا ُل َع ْبدِى يَتَقَ َّربُ إِل‬
ُ‫ َولَ ِئ ِن ا ْستَعَاذَنِى أل ُ ِعيذَنَّه‬، ُ‫ْطيَنَّه‬
ِ ‫سأَلَنِى ألُع‬
َ ‫ َو ِإ ْن‬، ‫ش ِب َها َو ِرجْ لَهُ الَّتِى يَ ْمشِى ِب َها‬ ُ ‫الَّتِى يَ ْب‬
ُ ‫ط‬
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah
sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi
petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang
ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia
memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang
yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan
Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan
kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya
(terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd
Al Abad
h. Puasa berselang hari, yaitu puasa satu hari berbuka satu hari (Puasa Daud), sebagaimana
hadits Nabi SAW:
‫عن عبد هللا بن عمر أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال أفضل الصيام صوم داود كان يصوم يوما ويفطر‬
)‫يوما (متفق عليه‬
Dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya Nabi SAW bersabda:”Puasa yang lebih
adalah puasa Nabi Daud, yaitu puasa satu hari dan buka puasa satu.” (HR. Muttafaaq
‘alaih)
i. Puasa delapan hari bulan Dzulhijjah sebelum hari ‘Arafah (puasa Tarwiyah). Hukum
puasa ini sunnah muakad. Puasa ini dianjurkan baik kepada orang yang sedang haji
maupun yang bukan melaksanakan haji, karena dalam sebuah riwayat yang diterima dan
hafshah diterangkan bahwa amal yang dilaksanakan 10 hari awal Dzulhijjah mempunyai
keutamaan, termasuk kedalamnya amal ibadah puasa. (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
j. Puasa pada bulan-bulan yang terhormat (al-asyhar al-hurum), yaiitu bulan Dzulqadah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
‫عن أبي هريرة رضي هللا ع نه أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال أفضل الصالة بعد المكتوبة جوف الليل‬
)‫وأفضل الصيام بعد زمضان شهز هللا المحترم (رواه مسلم‬
Dari Abi Hurairah ra., sesungguhnya Nabi SAW bersabda:”Shalat yang paling baik
setelah shalat yang diwajibkan adalah shalat ttengah malam dan puasa yang lebih baik
setelah bulan Ramadhan ialah puasa pada bulan-bulan terhormat.” (HR. Muslim)

Menurut ahli fiqh Hanafiyah puasa yang dianjurkan itu ialah tiga setiap bulan tersebut,
yaitu hari Kamis, Jum’at dan Sabtu

Barangsiapa mengalami Talabbus (terkacaukan) dengan puasa sunnah atau shalat


sunnah, maka diperbolehkan memotong di tengah jalan (tidak diteruskan sampai akhir);
tidak boleh bila itu haji sunnah. Barangsiapa Talabbus dengan melakukan qadla wajib,
maka tidak boleh memotong di tengah jalan
Haram melakukan puasa pada hari-hari Tasyriq (11, 12, 13 bulan Dzul Hijjah),
Idul Fitri, idul Adha, dan juga hari Syak bagi selain yang telah membiasakan puasa pada
hari-hari tertentu misalnya senin kamis, hari syak yaitu tanggal 30 Sya’ban
D. Ketentuan Melakukan Puasa Sunnah
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum
dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa
wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami
menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.”
Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah,
kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).”
Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku
berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim,
“Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal
(bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun
tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah
hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin
memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari
sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka
semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap
menyempurnakan puasa tersebut.
Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya
kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali
dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut
adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang
dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh
para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk
bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan
segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri
melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”
Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri
boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa
bersenang-senang dengannya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Puasa mempunyai kedudukan yang tinggi, karena disamping sebagai ibadah wajib
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga mengandung banyak hikmah yang
berkaitan dengan rohani dan jasmani. Hanyalah Allah yang mampu menghitung secara
pasti berapa banyak fadlilah dan pahala puasa sunnah; dari sini, Allah berkenan
menyandarkan ibadah puasa untuk diri-Nya sendiri, bukan yang lain. Puasa sunnah ada
11, yaitu:
1. Puasa enam hari bulan Syawal 6. Puasa pada hari ‘Asyura (10
2. Puasa hari senin dan hari kamis Muharram)
3. Puasa pada hari ‘Arafah (9 7. Puasa bulan Sya’ban
Dzulhijjah) 8. Puasa berselang hari, yaitu puasa satu
4. Puasa tiga hari setiap bulan (hari hari berbuka satu hari (puasa Daud)
Bidl) 9. Puasa delapan hari bulan Dzulhijjah
5. Puasa hari ke-9 pada bulan sebelum hari ‘Arafah (puasa
Muharram (puasa Tasu’a) Tarwiyah)
10. Puasa pada bulan-bulan yang
terhormat (al-asyhar al-hurum)

B. Saran
Kita sebagai seorang mukmin selain menunaikan ibadah puasa wajib di bulan
Ramadhan, kita seharusnya melaksanakan puasa-puasa sunnah sama seperti yany
dikerjakan oleh Rosulullah, karena dalam puasa-puasa sunnah tersebut terdapat banyak
sekali faidah-faidah/keutamaan-keutamaan jika kita dapat melaksanakannya. Maka dari
itu kita selaku orang mukmin hendaknya berusaha untuk melaksanakan puasa-puasa
sunnah tersebut
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya dan orang yang
mendengarkannya. Tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan, maka dari itu kamu akan menerima kritikan-kritikan atau saran-saran
para pembaca maupun pendengar demi kesempurnaan makalah kami ini.
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Alliy, Tarjamah Fathul Mu’in jilid 2, Yogyakarta: Menara Kudus, 1979,

http://muslim.or.id/bahasan-utama-2/anjuran-puasa-syaban.html

http://www.jadipintar.com/2014/03/Pengertian-Puasa-Sunnah-Macam-dan-
Ketentuannya.html

[1] H. Aliy, As’ad, Tarjamah Fathul Mu’in jilid 2, Yogyakarta: Menara Kudus, 1979, hal: 96.
[2] Ibid., hal: 100
[3] H. Aliy, As’ad, Tarjamah Fathul Mu’in jilid 2, Yogyakarta: Menara Kudus, 1979, hal: 99
[4] Ibid,.
[5] Ibid, hal: 97
[6] Ibid,.
[7] Ibid,.

Anda mungkin juga menyukai