Anda di halaman 1dari 3

Berilah, Nanti Kau Akan Menerima

AKHIRNYA Bakin tidak tahan juga mendengarkan keluh istrinya tentang hutangnya yang menumpuk di
Mak Siti. Ia mengatakan pada ljah, bahwa ia warung akan ke kota menjual seekor kambing "Dulu aku kan
sudah bilang, Ijah. Kita piara kambing untuk jaga-jaga. Kapan kita butuh duit untuk beli ini kek, itu kek,
kita jual seckor. Kalau perlu dua ekor. Nah, seperti sekarang, kita tak punya uang, kita jual saja yang besar
itu. Apa boleh buat, kan masih mendingan. Uh, kalau begini, ljah, aku jadi teringat pada Dullah." ljah
yang tak mengerti sangkut-pautnya, bertanya, "Dullah siapa?" Alaah, Dullah yang pergi ke Sumatera itu.
Ah, sudahlah, sudahlah. Keburu siang aku mau pergi ke pasar sekarang." Bakin meninggalkan istrinya
keluar halaman lalu berteriak memanggil Soleh, anaknya, "Di mana kambingnya, Soleh?"

m Dengan berjalan kaki Bakin menuju pasar ternak diikuti eh kambingnya yang paling besar. Lima
kilometer jauhnya. Sebenarnya ia sangat sayang pada piaraannya itu. Gemuk, hulunya putih, tanduknya
melengkung, di sekitar matanya ada pelak hitam, seakan-akan kambing itu mengenakan kacamata.
Sedianya Bakin akan menjualnya nanti pada hari raya Qurban. Pasti bisa laku sampai sembilan atau
sepuluh ribu rupiah. Tapi sekarang, dalam keadaan terpepet kebutuhan, berapa saja ditawar orang,
Bakin akan melepaskannya. Oh, betapa pedihnya terjepit kebutuhan! Barangkali dahulu Dullah, adik
sepupunya, juga merasakan kesempitan seperti dialami Bakin sekarang, Sepuluh tahun yang lalu Dullah
dibebaskan, setelah setahun dipenjara karena suatu perkara. Dari penjara dia langsung menuju ke rumah
Bakin. "Sekarang apa rencanamu, Dullah?" Bakin bertanya dengan pengertian. "Kukira aku tak bisa lagi
hidup di sini, Kang Bakin. Aku malu pada orang-orang di sini." "Jadi kau mau ke mana?" "Sumatera. Mau
adu untung di sana." "Sumatera?" segera mengerti apa maksud kedatangan Dullah itu. Nepada siapa lagi
adik sepupunya itu akan lari meminta tolong kalau tidak pada Bakin? Bakin satu-satunya keluarga
terdekat Bakin yang masih hidup. Dan lagi, ketika itu Bakin masih dan lembu dan kerbau. sawah punya
Jadi berapa kau butuh uang?" Bakin langsung bertanya.

"Yah, aku mau berdagang kain cita kasar atau hasil bumi" "Lima ribu cukup?" "Lima ribu?" Dullah
kelihatan terkejut karena jumlah uang itu jauh lebih banyak dari yang dibutuhkannya. Tangan nya
gemetar ketika Bakin meletakkan lima puluh lembar uang ratusan di depannya. Kambing-kambing
mengembik di pasar karena kebetul an hari itu pekan Pahing, Bakin mengincar-incarkan matanya karena
hari sudah terasa terik. "Lima ribu?" penawar pertama itu ketawa terkekeh. "Masa kambing begini lima
ribu rupiah, Kang? Yang bener, ah." Bakin menaksir calon pembeli dan masih saja mau bertahan dengan
harga yang dilontarkannya itu. "Ini gemuk, Den. Dan lihat tanduknya. Rupanya bagus pula. Dekat hari
raya harganya bisa sepuluh ribu, Den. Hari raya tinggal dua bulan lagi." "Sudahlah, empat ribu kalau
boleh." Penawar itu sudah terpengaruh dan menaikkan pena- warannya. Cepat-cepat Bakin menangkap
kesempatan itu dan pura-pura mengeluh, "Ya, deh. Bolehlah empat ribu. Sampeyan beruntung, Den.
BAKIN pulang dari pasar ternak dengan mengantongi uang empat ribu rupiah. Betapa pun pedihnya
berpisah dengan kambingnya, ia kini merasa terlepas dari kerepotan. Besok ia bisa makan. Kegembiraan
itu membuatnya teringat lagi pada Dullah.

Bakin merasa bersyukur bahwa dulu ia bisa menolong Dullah. Melepaskan Dullah dari himpitan seperti
dirasakannya hari ini Kenapa Dullah sarmpai sekarang tak pernah memberi kabar? Berhasilkah usahanya,
ataukah ia sudah meninggal di rantau? "Ah, itu urusan Dullah sendiri," Bakin berkata dalam hati "Aku
sudah menolongnya dan aku puas karena bisa menolong Mudah-mudahan saja ia selamat." Dan
begitulah selamanya sifat Bakin. Hatinya tidak tahan terhadap kesengsaraan orang lain. Tangannya selalu
siap untuk menolong, Sekarang di bawah terik panas Bakin berjalan menuju ke desanya. Hatinya ringan
karena ia bisa menolong dirinya sendiri. "He, Kang Bakin! Kang Bakin!" Bakin berhenti agak terkejut. la
menoleh. Dari sebuah warung tepi jalan muncul seorang lelaki melambaikan tangan. Bakin seketika
mengenal orang itu, tapi sangat terperanjat melihat keadaannya. Wajah lelaki itu kotor, pakaiannya
lusuh. "Hei, Hisyam!" Bakin berseru dan menyambut tangan lelaki itu. "Tumben, tunben. Kita ketemu di
sini. Kenapa kau ini? Bagaimana kau selama ini, heh? Anak istrimu baik-baik?" Pertanyaan Bakin
beruntun tidak terkendali, membuat lelaki yang bernama Hisyam jadi tergagap-gagap untuk menyahut.
"Kebetulan aku ketemu kau, Kang Bakin. Aku mau bicara penting," "Ada apa? "Aku butuh
pertolonganmu. Aku dalam kesulitan. Ayo kita duduk di warung itu. Tak ada orang di sana."

Duduk di dalam kedai yang sepi itu, Hisyam mulai ber bicara dengan bisik-bisik. Ia menceritakan bahwa
rumahnya dan seluruh barang dagangannya habis terbakar. Dan Ali, anaknya, meninggal karena kena api.
Sekarang Hisyam dan istrinya menumpang tidur di sebuah gudang yang rusak. Sedang istrinya baru hamil
tua, Schari dua hari lagi akan melahirkan anat "Aku tidak peduli, Kang Bakin," Hisyam berkata sambil
menangis, "Apakah anakku nanti akan lahir hidup atau me Tapi aku berharap istriku bisa selamat. Aku
harus membawanya ke dukun bayi. Tadi aku mencari kawanku untuk pinjam uane tapi aku tak bisa
ketemu." Bakin menatap wajah Hisyam. la hanya melihat satu warna kebingungan, keputusasaan,
ketakutan, kengerian. Bakin menelan ludah. Yah, selamanya hatinya tidak pernah tahan melihat
kesengsaraan orang lain. Lalu dari mulutnya keluar kata- kata yang kaku. "Berapa kau butuh uang?" "Kau
mau meminjami aku, Kang Bakin?" "Kau butuh berapa?" "Empat ribu rupiah." Itulah seluruh jumlah uang
yang ada di dalam kantong Bakin sekarang, Seluruh hasil penjualan kambing hari itu. Bakin merogoh lalu
mengeluarkan uang dan memberikannya pada Hisyam. "Ambillah," katanya. "Dan jangan kau pikirkan
untuk mengembalikannya padaku. Ini semua untukmu. Untuk ke lamatan istrimu. Dan anakmu."

"Oh, terima kasih, Kang Bakin. Alhamdulillah." BAKIN meninggalkan kedai itu dengan perasaan yang
ganjil. Perasaannya menjadi sangat ringan, seakan-akan segala beban terlepas dari kuduknya. Apa yang
telah dilakukannya itu? Menyerahkan seluruh uang hasil penjualan kambing pada Hisyam? Tapi apa yang
bisa diperbuatnya lain? Hatinya tak pernah tahan terhadap kesengsaraan orang lain. Bakin melanjutkan
perjalanan pulang, Makin dekat dengan rumahnya, makin terbayang dalam pikirannya bagaimana
keadaan liah. Apa kata Ijah nanti? Ya, apa kata ljah nanti? Dengan gugup Bakin merogohi sakunya. Tidak,
ia sama sekali tidak membawa uang lagi. Semuanya telah diserahkannya pada Hisyam. Lalu apa yang
dimakannya besok? Bakin menjadi makin gugup. Dan tidak terasa langkahnya jadi makin bertambah
cepat, seolah-olah ada kekuatan gaib yang mendorongnya. Lalu seperti tiba-tiba Bakin sudah berdiri di
halaman rumahnya. la terperanjat. Hai, apa yang dilihatnya? Didepan rumahnya berhenti sebuah mobil
yang besar. Bakin mendekati dan memperhatikan mobil itu dengan kecengangan yang gugup. Mobil
siapa? Kenapa ke mari? Apa maksudnya? Lalu Bakin memanggil istrinya: jah! Ijah! Mobil siapa ini? Ijah
mobil siapa ini?" Tidak sabar Bakin terus menaiki tangga dan masuk ke umahnya. Di sana dilihatnya
Dullah dan keluarganya sedang ctcakap dengan ljah dan Soleh. Dullah sudah menjadi pedagang karet
yang kaya raya. la sengaja datang ke Jawa untuk menemui Bakin. Tentu saja, bagaimana mungkin Dullah
akan melupakan budi baik Bakin sepuluh tahun lewat? Bakin dan Dullah saling melompat dan
merangkul. Dalam tangis Bakin mengucapkan kata-kata yang tidak jelas artinya. Baru setelah tenang,
Dullah berkata: "Kang Bakin, hidupku tidak mungkin jadi begini, seandainya sepuluh tahun yang lalu
engkau tidak menolongku. Bukan jumlah uang yang kau berikan itu yang penting, melainkan
ketulusanmu untuk menimbulkan kepercayaan dalam diriku. Aku sangat putus asa waktu itu. Sekarang
aku datang dan merasa sedih melihat keadaan keluargamu. Aku harus membalas kebaikanmu, Kang
Bakin. Aku akan mendirikan rumah baru untukmu di sini. Kau akan kubelikan sawah, lembu dan kerbau."
Bakin tidak bisa berkata-kata hanya menangis tersedu seperti anak kecil. Ia bukan terharu karena akan
menerima kekayaan baru, melainkan karena kebenaran yang diyakininya, selama ini ternyata tidak
pernah luntur. Yaitu, bahwa berdagang dengan Tuhan selamanya menguntungkan. Kita menjual
kebajikan dengan menolong orang lain secara tulus. Tuhan nanti pasti akan membayarnya dengan pahala
yang berlipat-lipat.

Anda mungkin juga menyukai