Anda di halaman 1dari 7

Konsep Politik Islam

Sebagai sebuah ilmu, Islam memberikan banyak panduan mengenai berbagai bidang,
termasuk dalam bidang politik. Salah satu ilmuannya, Al Mawardi merupakan tokoh pertama
yang mengeluarkan teori mengenai politik negara yang berdasarkan dengan prinsip dan nilai
Islam. Menurut Rashda Diana dalam disertasinya, konsep politik negara Islam yang diajukan
oleh Al Mawardi sesuai dengan kriteria politik yang ada saat ini, artinya konsep ini relevan
untuk diterapkan di masa moderen ini. Hal tersebut diungkapkannya pada Sidang Doktor
Terbuka program Pascasarjana Politik Islam yang didakan pada hari Sabtu (29/6) di Ruang
Amphiteater Gedung Kasman Singodimedjo Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY).

Dalam disertasi dengan judul Pelembagaan Politik Negara Modern Al Mawardi tersebut
Rashda menyebutkan bahwa konsep tersebut merupakan salah satu pikiran yang melampaui
masanya. “Al Mawardi merupakan pakar politik pertama yang menjelaskan mekanisme
pemilihan dan pengangkatan kepala negara serta penerapannya dengan baik. Al Mawardi
menjelaskan bahwa sebuah negara perlu memiliki pondasi berupa lembaga khilafah (Sistem
kepemimpinan), khalifah (Pemimpin), dan persyaratan yang diperlukan untuk menjadi
khalifah. Dalam konsep tersebut Al Mawardi lebih mengutamakan pendekatan institusional
dengan memaksimalkan fungsi pelembagaan negara,” ujarnya.

Rashda menyebutkan bahwa konsep ini sangat relevan dengan perkembangan pelembagaan
modern dalam wilayah tata negara, utamanya pada sistem pemerintahan dan administrasi
negara. “Konsep yang diperkenalkan Al Mawardi ini memiliki kesesuaian dengan apa yang
diungkapkan oleh Samuel Phillips Huntington dan juga Montesquieu, terutama pada tugas
serta fungsi lembaga negara; seperti kewajiban untuk menjamin kehidupan masyarakatnya
dalam berbagai aspek. Serta pembagian kekuatan dalam lembaga pemerintahan dengan
adanya Khalifah sebagai Eksekutif; Lembaga Ahl al-Halli wa al-‘Aqdhi sebagai Legislatif;
dan Ahl al-Ikhtiyar sebagai Yudikatif,” jelasnya.

“Konsep ini memiliki relevansi dengan negara yang menggunakan sistem monarki
konstitusional, salah satunya Malaysia dengan status quo untuk kriteria pemimpinnya dan
sistem pemerintahan parlementernya. Prinsip penting yang menjadi esensi dari sistem
pemerintahan yang diajukan Al Mawardi ini adalah musyawarah, yang akan menjadi
pemandu bagi Khalifah dalam bertindak. Karena itu, ini sekaligus menjadi klarifikasi bahwa
fenomena kerajaan di dunia Islam bukan bentuk dari khilafah, karena kerajaan dipandu oleh
kepentingan kelompok tertentu sedangkan khilafah dipandu oleh musyawarah,” lanjutnya.

Selain itu, sosok pemimpin juga menjadi bagian integral dalam konsep yang diajukan Al
Mawardi tersebut. “Ada paradigma yang menyebutkan bahwa agama dan negara
berhubungan secara simbiotik yang saling memerlukan. Agama memerlukan negara sebagai
wadahnya untuk berkembang secara terjamin dan negara membutuhkan agama sebagai
pembimbing dalam etika dan moral. Karena itu kriteria pemimpin dalam konsep ini
didasarkan pada agama, yaitu Quran dan Sunnah,”
Hukum dan HAM Demokrasi dalam Islam
Hukum dan ham demokrasi dalam islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian

dari agama Islam atau dari dasar hukum islam. Adapun konsepsi hukum dan ham demokrasi

dalam islam,dasar kerangkanya ditetapkan oleh Allah. Hukum ham dalam islam mengatur

hak hak manusia dari semua umur mulai dari anak anak hingga tua dan apa saja yang menjadi

keutamaan atau kewajiban setiap umat,

misalnya kewajiban sebagai anak, kewajiban suami terhadap istri dalam islam, sebagai istri,

sebagai pemimpin, dsb. Sedangkan dalam hal demokrasi, hukum demokrasi dalam islam

berhubungan dengan organisasi atau kepemimpinan untuk mencapai keadilan dan tujuan

bersama yang sesuai dengan syariat islam.

1. Hukum HAM dalam Islam

Sejarah mencatat bahwa Musyawarah Nasional Alim Ulama yang digelar Nahdlatul Ulama

pada 17 20 November 1997 di Nusa Tenggara Barat menghasilkan sejumlah keputusan

penting. Beberapa persoalan yang didiskusikan antara lain nasbul Imam dan demokrasi, hak

asasi manusia dalam islam, dan kedudukan wanita dalam islam.

Persoalan persoalan yang disebut di atas masuk dalam kajian Komisi Bahtsul Masail Diniyah

Maudlu’iyah yang fokus pada rumusan konseptual. Berbeda dari bahtsul masail diniyah

waqi‘iyah yang berorientasi menemukan ketegasan status hukum HAM dalam islam “halal

haram”, bahtsul masail diniyah maudlu’iyah mengaji tema tema spesifik untuk dijelaskan

secara deskriptif naratif.

Terkait hak hak asasi manusia dalam islam (al huquq al insaniyyah fil islam), musyawirin

menjelaskannya dengan merujukkan pada ulasan ulasan yang pernah disinggung para ulama

klasik ketika menjelaskan tentang filosofi hukum HAM dalam islam Islam. Keterangan ini

antara lain bisa ditemukan kitab kitab ushul fiqh seperti Al Mustashfa min Ilm al Ushul karya

Hujjatul Islam Abu Hamid al Ghazali.


Imam al Ghazali menyebutnya maqâshidusy syarî‘ah (pokok pokok yang menjadi

tujuan sumber syariat islam). Berikut adalah kutipan lengkap hasil keputusan Munas Alim

Ulama yang diberlangsung di Pondok Pesantren Qomarul Huda Bagu, Pringgarata, Lombok

Tengah itu mengenai hak asasi manusia dalam islam:

Islam merupakan ajaran yang menempatkan individu pada posisi yang sangat tinggi. Bahkan

al Qur’an menjamin adanya hak pemuliaan dan pengutamaan individu. Firman Allah SWT:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak anak Adam, Kami angkut mereka di daratan

dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik baik dan Kami lebihkan mereka

dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS.

Al Isra’: 70)

Dengan demikian individu memiliki hak al karâmah dan hak al fadlîlah karena kasih sayang

Allah kepada hambaNya Apalagi misi Rasulullah adalah rahmatan lil alamin, di mana

kemaslahatan/ kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh individu dan alam semesta.

Elaborasi (pengejawantahan) misi di atas disebut sebagai ushul al khams (lima prinsip dasar)

yang melingkupi hifdhud dîn, Hukum HAM dalam islam nafs wal ’irdl, Hukum HAM dalam

islam aql, Hukum HAM dalam islam nasl dan Hukum HAM dalam islam mal.
 Hukum HAM dalam islam dîn

Memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al

din). Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang

bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan

adanya pemaksaan agama yang satu dengan agama lainnya.

 Hukum HAM dalam islam nafs wal ’irdh

Memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) individu, untuk tumbuh dan berkembang

secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar

(hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari

penganiayaan dan kesewenang wenangan.

 Hukum HAM dalam islam ‘aql


Adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan

mengeluarkan opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam

melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi, minuman

keras dan lain lain.

 Hukum HAM dalam islam nasl

Merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi

(pekerjaan), jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan

berkualitas. Free sex, zinah menurut syara’, homoseksual, adalah perbuatan yang dilarang

karena bertentangan dengan hifdh al nasl.

 Hukum HAM dalam islam mâl

Dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan lain lain. Dan

larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi,

monopoli, oligopoli, monopsoni dan lain lain.

Lima prinsip dasar (al huquq al insaniyyah) di atas sangatlah relevan dan bahkan seiring

dengan prinsip prinsip hak hak asasi manusia dalam islam (HAM). Di samping itu, Islam

sebagai agama tauhid, datang untuk menegakkan kalimat Lâ ilâha illallâh, tiada Tuhan selain

Allah. Suatu keyakinan (aqidah) yang secara transendental, dengan menisbikan tuntutan

ketaatan kepada segenap kekuasaan duniawi

serta segala perbudakan individu dengan berbagai macam jenis kelamin, status sosial, warna

kulit dan lain sebagainya. Keyakinan semacam ini jelas memberikan kesuburan bagi

tumbuhnya penegakan HAM melalui suatu kekuasaan yang demokratis. Oleh karena itu,

Munas Alim Ulama merekomendasikan kepada PBNU agar rumusan rumusan HAM yang

bersifat substansial ini, menjadi sebuah konsep yang utuh untuk memperjuangkan

terwujudnya al huquq al insaniyyah (HAM) secara aktif dan sungguh sungguh di bumi

Indonesia.
2. Hukum Demokrasi dalam Islam

Menurut pencetus dan pengusungnya, hukum demokrasi adalah pemerintahan rakyat (dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Rakyat pemegang kekuasaan mutlak. Pemikiran ini

bertentangan dengan syari’at Islam dan aqidah Islam. Allah berfirman.

 Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. [Al An’am/6 : 57]


 Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang orang kafir. [Al Maidah/5 : 44]
 Apakah mereka mempunyai sembahan sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk
mereka agama yang tidak dizinkan Allah ? [As Syura/42 : 21]
 Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. [An Nisa/4 : 65]
 Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutuNya dalam menetapkan keputusan. [Al
Kahfi/18 : 26]

Sebab hukum demokrasi merupakan undang undang thagut, padahal kita diperintahkan agar

mengingkarinya, firmanNya.

 (Oleh karena itu) barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak akan putus.
Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. [Al Baqarah/2 : 256]
 Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap tiap umat (untuk menyerukan) :
Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thagut itu.[An Nahl/16 : 36]
 Apakah kamu tidak memperhatikan orang orang yang diberi bahagian dari Al Kitab ? Mereka
percaya kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang orang Kafir (musyrik Mekah),
bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang orang yang beriman. [An Nisa/4 : 51]

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :

 Kebebasan beragama
 Kebebasan berpendapat
 Kebebasan kepemilikan
 Kebebasan bertingkah laku

Hukum demokrasi berlawanan dengan islam, tidak akan menyatu selamanya. Oleh karena itu

hanya ada dua pilihan, beriman kepada Allah dan berhukum dengan hukumNya atau beriman

kepada thagut dan berhukum dengan hukumnya. Setiap yang menyelisihi syari’at Allah pasti

berasal dari thagut.


Adapun orang orang yang berupaya menggolongkan hukum demokrasi ke dalam sistem

syura, pendapatnya tidak bisa diterima, sebab sistem syura itu teruntuk sesuatu hal yang

belum ada nash (dalilnya) dan merupakan hak Ahli Halli wal Aqdi yang anggotanya para

ulama yang wara’ (bersih dari segala pamrih). Hukum demokrasi sangat berbeda dengan

system syura seperti telah dijelaskan di muka.

Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi generasi sebelumnya,

sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti

Persia dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR.

Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301),

menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat

lain dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat. Sekarang dapat kita rasakan

kebenaran sabda Beliau SAW,

dalam pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai

sistem terbaik, bahkan tidak jarang hukum Islam pun dinilai dengan sudut pandang

demokrasi, kalau hukum Islam tersebut dianggap tidak sesuai dengan demokrasi maka tidak

segan segan dibuang atau diabaikan.

Demokrasi yang telah dijajakan Barat ke negeri negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem

kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung.

Demokrasi bertentangan dengan hukum hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya,

dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya,

serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.


Konsep masyarakat madani

Masyarakat Madani adalah konsep yang berwayuh wajah dan memiliki makna yang berbeda-
beda. Jika merujuk pada pengertian dalam Bahasa Inggris, Masyarakat Madani berasal dari
kata Civil Society atau masyarakat sipil yang merupakan kontraposisi dari masyarakat
militer.
Selain mengacu pada konsep Civil Society, juga berdasar pada konsep negara-kota Madinah
yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di tahun 622 M. Masyarakat Madani juga
mengacu pada konsep tamadhun atau masyarakat yang beradab. Hal ini diperkenalkan oleh
Ibn Khaldun.
Ada juga konsep Al Madinah Al Fadhilah (Madinah sebagai negara utama) yang diungkap
oleh filsuf Al-Farabi di abad pertengahan. Menurut seorang peneliti pada Lembaga
Pengembangan Pesantren dan Studi Islam di Haramain yaitu Dr. Ahmad Hatta, Piagam
madinah merupakan dokumen terpenting yang membuktikan betapa majunya masyarakat
yang dibangun pada masa itu.
Disamping juga memberi penegasan tentang kejelasan hukum serta konstitusi sebuah
masyarakat. Bahkan, menurut Hamidullan (First Written Constitutions in the World, Lahore,
di tahun 1985), Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama pada sejarah manusia.
Konstitusi ini telah mengatur mengenai apa yang orang ributkan mengenai hak-hak sipil
(Civil Rights) atau lebih familiar dengan istilah HAM (Hak Asasi Manusia).
Piagam Madinah dibentuk jauh sebelum adanya Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American
Declaration of Independence di tahun 1997), Deklarasi Universal PBB mengenai HAM
(1948), dan Revolusi Perancis di tahun 1789. Sementara itu, dalam konsep khazanah Barat,
lebih dikenal dengan istilah Civil Society atau masyarakat sipil.
Hal ini muncul ketika masa pencerahan (Renaissance) di Eropa melalui pemikiran dari
Emmanuel Kant dan John Locke. Konsep ini berasal dari proses sejarah panjang yang
biasanya disandingkan dengan konsepsi mengenai state atau negara. Di dalam tradisi
masyarakat Eropa di abad 18. pengertian masyarakat sipil dianggap sama dengan negara (the
state). Yaitu kelompok atau kesatuan yang ingin mendominasi kelompok yang lain.

Anda mungkin juga menyukai