Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Thalassemia adalah suatu penyakit anemia hoemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah
merah di dalam pembluh darah sehingga umur ertirosit menjadi pendek (kuerang dari 100 hari)
(Williams, 2005).

Thalassemia adalah gangguan genetic yang mengakibatkan menurunnya produksi dan rusaknya
hemoglobin sehingga menyebabkan kelebihan zat besi dan kadar hemoglobin yang rendah yang
dapat menimbulkan komplikasi.

Di RS Banyumas pasien thalassemia sudah diterapkan metode pendidikan kesehatan dan


booklet yang diadakan sebulan sekali, namun metode ini dianggap kurang berhasil dikarenakan
masih tingginya peresepan obat obat kelasi besi. Sehubungna dengan semakin baiknya
perkembangan teknologi maka peneliti tertarik untuk menerapkan SKEDit ( ) pada pasien
thalassemia.

B. Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi pengaruh penggunaan media whatsapp dengan menggunakn aplikasi
SKEDit untuk meningkatkan tingkatb pengetahuan dan kepatuhan pengobatan pada pasien
thalasemia
BAB II
ANALISA JURNAL
A. Jurnal Utama
Judul : ”TELENURSING USING SKEDit TO EDUCATE PARENTS WITH
THALASEMIA CHILDREN”
Peneliti : Chandra Andodo, Fitri Haryanti, Widyandana
1. Populasi : sample sebanyak 61 responden, dengan menggunakan teknik sampling yang
digunakan adalah Purposive sampling yang dibagi menjadi 2 grup yaitu grup intervensi
sebanyak 31 responden dan control grup sebanyak 30 responden.
2. Desain penelitian : menggunakan quasi experimental pre test dan post test with control
group design
3. Instrumen yang digunakan : Kuesioner, booklet, soft copy dan Pill Count
4. Uji Statistik dengan menggunakan : Uji Mann Whitney and Wilcoxon Test

B. Jurnal Pendukung
1. Judul Jurnal : PENINGKATAN PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG
PERAWATAN PASKA TRASFUSI PADA ANAK THALASEMIA MELALUI
PEMBERIAN KOMUNIKASI EDUKASI BERBASIS AUDIO VISUAL DI
KABUPATEN KUNINGAN
2. Peneliti : Nanang Saprudin, Rani Mulyani Sudirman
3. Hasil Penelitian : penelitian menunjukkan adanya peningkatan skor dan perbedaan
pengetahuan responden dengan p value 0,000 < 0,005, terdapat peningkatan rerata skor
pengetahuan setelah pemberian KIE dan terdapat perbedaan pengetahuan responden
sebelum dan sesudah pemberian KIE

C. Analisa PICO
1. Problem

Di RS Banyumas pasien thalassemia sudah diterapkan metode pendidikan kesehatan dan


booklet yang diadakan sebulan sekali, namun metode ini dianggap kurang berhasil dikarenakan
masih tingginya peresepan obat obat kelasi besi. Sehubungna dengan semakin baiknya
perkembangan teknologi maka peneliti tertarik untuk menerapkan SKEDit ( ) pada pasien
thalassemia.

2. Intervensi
Ada 2 grup sample yaitu grup intervensi dan grup control. Grup intervensi sebanyak 31
responden diberikan informasi menggunakan media soft copy image ( aplikasi SKEDit via
whatsapp ) dan grup control sebanyak 30 responden diberi informasi menggunakan booklet.
3. Comparison
Jurnal yang diambil sebagai pembanding berjudul “PENGARUH PAKET EDUKASI
THALASEMIA (PEdTal) TERHADAP KUALITAS HIDUP ANAK THALASEMIA”,
dengan hasil perbedaann signifikan pengetahuan orang tua sebelum dan sesudah penkes (0,001)
tetapi tidak ada perbedaan signifikan perubahan kualitas hidup setelah PEdTal.

4. Outcome
Ada perbedaan signifikan dalam tingkat kepatuhan pre test dan post test pada kelompok
intervensi (p = 0,028), tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kepatuhan pretest dan
post test pada kelompok control (p = 0,214). Terdapat peningkatan pengetahuan sebelum dan
sesudah test pada kedua kelompok.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Thalasemia
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produk rantai
globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia merupakan salah satu penyakit
genetik tersering di dunia. Penyakit genetic ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang
membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007).
Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi
untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee &Ganong,2010).
Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari penduduk dunia
mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasusnya adalah
di Asia. Prevalensi karier thalasemia di Indonesia mencapai 3-8%. Pada tahun 2009, kasus
thalasemia di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari 3653 kasus yang tercatat di
tahun 2006 (Wahyuni, 2010). Data yang didapatkan dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru,
penyakit thalasemia menduduki peringkat pertama di ruang rawat inap anak. Jumlah penderita
thalasemia pada tahun 2013 sebanyak 485 orang dan pada tahun 2014 jumlah pasien thalasemia
sebanyak 488 orang (Rekam Medis RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, 2014).
Anak yang menderita thalasemia sering mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
reproduksi. Faktor yang berperan pada pasien thalasemia adalah factor genetik dan lingkungan.
Selain itu hemoglobin juga berpengaruh, bila kadar hemoglobin dipertahankan tinggi, lebih kurang
10 g/dl disertai pencegahan hemokromatosis, maka gangguan pertumbuhan tidak terjadi (Arijanty,
2008).
Gangguan pertumbuhan pada penderita thalasemia disebabkan oleh kondisi anemia dan
masalah endokrin. Kondisi anemia dan masalah endokrin ini dapat mengganggu proses
pertumbuhan anak penderita thalasemia, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan seperti
postur yang pendek (Mariani, 2011). Penelitian yang dilakukan Febrianis (2009) menemukan
adanya masalah pertumbuhan pada anak penderita thalasemia, yaitu mengalami malnutrisi berat
sebanyak 20 orang (67%) dan juga ditemukan masalah perkembangan dimana anak penderita
thalasemia mengalami suspek atau meragukan sebanyak 24 orang (80%).
Penelitian yang dilakukan Asadi-Pooya, Karimi, dan Immanieh (2004) di Iran adanya
hubungan antara kadar hemoglobin rata-rata sebelum transfusi dan kecepatan
pertumbuhan.Tranfusi darah bertujuan untuk mempertahankan kadar hemoglobin 9-10 g/dl
(Rahayu, 2012). Pemberian tranfusi darah secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya
penumpukan besi pada jaringan parenkim hati dan disertai dengan kadar serum besi yang tinggi.
Efek samping dari tranfusi adalah meningkatnya akumulasi zat besi dalam tubuh (Rudolph,
Hoffmand, & Rudolph, 2007).
Pemberian tranfusi yang berulang mengakibatkan kerusakan organorgan tubuh seperti hati,
limpa, ginjal, jantung, tulang, dan pankreas. Terapi yang diberikan pada pasien yang melakukan
tranfusi secara reguler adalah terapi kelasi besi. Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah
diberikan saat kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali,
dan sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Kelebihan beban besi akan terjadi apabila penderita
thalasemia dibiarkan tidak diterapi sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian usia
muda. Penelitian yang dilakukan Anggororini, Fadlyana, dan Idjradinata (2009) yang dilakukan
pada anak usia 10-18 tahun di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ditemukan sebanyak 25 (83%)
anak kelompok dengan thalasemia mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kematangan
seksual. Penyebab masalah ini adalah adanya perbedaan pemberian kelasi besi sehingga jumlah
besi di dalam tubuh akan berbeda-beda. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti didapatkan
bahwa semua orang tua anak penderita thalassemia mengatakan setiap bulan mereka membawa
anaknya untuk ditransfusi darah, jika anaknya tidak mendapatkan transfuse maka kondisi anak
akan mudah lemah, tidak bertenaga, dan pucat.
B. Pengertian Desferal
Desferal (deferosamine) merupakan obat cair yang diberikan dibawah kulit. Biasanya obat
ini Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”.
(Rakhmawati,2009).
Menurunkan/mencegah penumpukan Fe dalam tubuh baik itu hemochromatosis
(penumpukan Fe di bawah kulit) atau pun hemosiderosis (penumpukan Fe dalam organ).
(Rakhmawati, 2009).
1. INDIKASI / KONTRAINDIKASI
Indikasi :
a. Dilakukan pada klien dengan thalasemia yang mendapatkan transfusi darah secara rutin
(berulang).
b. Kadar Fe≥ 1000 mg/ml.
c. Dilakukan 4 - 7 kali dalam seminggu post transfuse.
Kontraindikasi :
Tidak dilakukan pada klien dengan gagal ginjal.(Rakhmawati, 2009)
2. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
a. Pengkajian
- Menyampaikan salam kepada klien/keluarganya
- Melakukan pengkajian kondisi klien meliputi : usia, tingkat hemocromatosis &
hemosiderosis (kadar Fe).
b. Persiapan
Mencuci tangan
Menyusun alat-alat yang diperlukan dengan memperhatikan teknik aseptic dan antiseptik
Steril :
- Syringe 10 cc
- Wing needle
Tidak Steril :
- Alas
- Bengkok
- Kapas alkohol pada tempat tertutup
- Infusa pump
- Obat yang diperlukan (desferal)
- Pengencer (aquadest steril) dalam botol
- Perban gulung/kantong infusa pump
- Plester
- Gunting plester
2.3. Mempersiapkan obat desferal sesuai kebutuhan
- Melakukan cek ulang obat yang akan diberikan sesuai perencanaan
- Mengkalkulasi dosis sesuai kebutuhan klien
Usia > 5 tahun = 1 gram (2 vial)
Usia < 5 tahun = 0,5 gram (1 vial)
Mengencerkan obat dengan tepat : (catatan : 1 vial (0,5 gram) obat desferal dioplous
dengan aquadest 4-5 cc) Membersihkan bagian atas botol aquadest dengan kapas
alkohol dan menarik cairan aquadest dari botol secukupnya dengan menggunakan
syringe/spuit 10 cc, kapas buang ke bengkok
- Membersihkan bagian atas botol vial desferal dengan kapas alkohol dan
membiarkan kering sendiri, membuang kapas alkohol ke bengkok
- Memasukkan jarum syringe 10 cc yang berisi aquadest melalui karet penutup botol
ke dalam botol
- Kocok vial obat sampai mencampur rata
- Memegang botol dengan tangan yang tidak dominan dan tarik obat sejumlah yang
diperlukan
- Memeriksa adanya udara dalam syringe/spuit, bila ada keluarkan dengan posisi
tepat
- Mengecek ulang volume obat dengan tepat
- Menyambungkan syringe/spuit dengan wing needle
- Memeriksa kembali adanya udara dalam syringe/spuit & wing needle, bila ada
keluarkan dengan posisi yang tepat
- Menyiapkan infusa pump
2.4. Membawa peralatan ke dekat klien

3. Melakukan Pemasangan Desferal


3.1. Mencuci tangan
Menggunakan sarung tangan bila pada pasien yang menderita penyakit menular
(AIDS, Hepatitis B)
3.2. Menjaga privacy dan mengatur kenyamanan klien
- Mendekati dan mengidentifikasi klien
- Jelaskan prosedur kepada klien dengan bahasa yang jelas
- Memasang sampiran (bila perlu)
3.3. Memperhatikan teknik aseptic & antiseptik
Mempersiapkan alat dan klien :
- Menyiapkan plester untuk fiksasi
- Memasang alas/perlak
- Mendekatkan bengkok pada klien
3.4. Menyuntikkan desferal dengan teknik steril
- Bersihkan lokasi injeksi dengan alkohol dengan teknik sirkuler atau atas ke bawah
sekali hapus
- Membuang kapas alkohol ke dalam bengkok
- Membiarkan lokasi kering sendiri
- Menyuntikkan obat dengan tepat (subkutan : area m.deltoid)
- Memfiksasi wing needle dengan plester
3.5. Mengatur obat desferal pada alat infusa pump
- Memfiksasi infusa pump dengan menggunakan perban gulung (a) atau kantong
infusa pump (b dan c)
3.6. Mencuci tangan

4. Evaluasi
4.1. Melihat kondisi klien
4.2. Memperhatikan respon klien selama tindakan dilakukan
4.3. Menanyakan perasaan klien setelah tindakan dilakukan
5. Mendokumentasikan Tindakan
5.1. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dan respon klien selama tindakan dan kondisi
setelah tindakan
5.2. Mencatat dengan jelas, mudah dibaca, ditandatangani disertai nama jelas
5.3. Tulisan yang salah tidak dihapus tetapi dicoret dengan disertai paraf
5.4. Catatan dibuat dengan menggunak ballpoint atau tinta.

BAB IV
ANALISA SWOT
1. Strength
Penelitian ini menggunakan jumlah sample yang sesuai dengan standart penelitian, memiliki
grup control.
2. Weakness
Peneliti tidak menyebutkan jumlah populasi yang digunakan dan tidak disebutkan lama dan
waktu penelitian.
3. Opportunities
Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan orang tua
merawat anak dengan thalasemia
4. Threats
Intervensi yang digunakan memerlukan teknologi yang maju seperti smartphone dengan media
whatsapp, sehingga tidak semua orang tua dengan anak thalassemia dapat memanfaatkan
SKEDit

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai