Anda di halaman 1dari 22

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2012


TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BEKERJA

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Semester VI


Mata Kuliah Kebijakan dan Perencanaan Sosial
Dosen Pengampu : Hutri Agustino, S.Sos., M.Si

HALAMAN JUDUL

Oleh :
Siti Noor Khatija Ibrahim
201610030311116

PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 4
2.1 KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 4
2.1.1 Konsep Implementasi Kebijakan ...................................................... 4
2.1.2 Konsep Evaluasi Kebijakan ............................................................. 7
2.1.3 Konsep Perlindungan Pekerja Anak ................................................. 8
2.1.4 Defenisi Perdagangan Manusia (Human Trafficking) ..................... 10
2.2 HASIL ANALISA ................................................................................... 12
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 18
3.1 Rekomendasi ........................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam penyelenggaraan perlindungan di bidang ketenagakerjaan, telah


dilandasi oleh beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat lokal,
nasional maupun internasional. Berkaitan dengan kebijakan ketenagakerjaan bagi
masyarakat Indonesia, pada dasarnya sudah memilki ketentuan yang tegas. Hal
tersebuat ditegaskan dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 “tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Adanya
pencantuman amanat perlindungan atas hak warga negara di dalam konstitusi, maka
sudah menjadi kewajiban bagi negara dalam menjamin dan memberikan
perlindungan secara nyata terhadap warga negaranya. Dengan kata lain, sebagai
konsekuensi dari negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, maka sudah seharusnya negara menghormati, menghargai dan melindungi
hak-hak setiap warga negaranya sebagai bentuk tanggung jawab negara, terutama
pemerintahan.
Sebagai upaya penjaminan pemenuhan dan perlindungan hak-hak seseorang
dalam bekerja, di tahun 2003 dikeluarkannya kebijakan dalam bentuk Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam Undang-undang
ketenagakerjaan ini secara lengkap dibahas tentang kewajiban perusahaan terhadap
para pekerja dan hak-hak apa saja yang didapatkan oleh pekerja. Salah satunya
yakni kesejahteraan pekerja anak yang dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 68
sampai Pasal 75 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan pasal 68 menentukan bahwa
pengusaha dilarang memperkerjakan anak. Lebih lanjut, ketentuan mengenai
perlindungan hak-hak ketenagakerjaan yang berkaitan dengan larangan
memperkerjakan anak juga telah diatur dalam konvensi perburuhan internasional
yang berada dibawah naungan International Labour Organisation (ILO) dimana
pada poin ke tiga dari empat kategori peraturan ketenagakerjaan yang menjadi hak
fundamental para pekerja adalah penghapusan pekerja anak secara efektif sebagai
bentuk perlindungan terhadap anak.1

1
“ILO, 2009. Prinsip-Prinsip Ketenagakerjaan : Global Compact – Perserikatan Bangsa-
Bangsa/Panduan Untuk Dunia Usaha”, ILO : Organisasi Perburuhan Internasional – Jakarta, hal.
13.

1
Selain itu, terdapat peraturan-peraturan yang secara khusus mengatur
perlindungan terhadap anak yakni UU Nomor 23 Tahun 2002 dan berbagai
kebijakan terkait dengan perlindungan para pekerja anak diantaranya Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2001, UU Nomor 1 Tahun 2000, Keputusan Presiden
Nomor 87 Tahun 2000 dan lain sebagainya. 2 Namun nampaknya bebagai
ketentuan-ketentuan yang mengamanatkan perlindungan terhadap anak hingga saat
ini hanya menjadi narasi eksklusif non-aplikatif. Dalam pelaksanaan perlindungan
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan khususnya bagi kelompok rentan dan
kurang beruntung seperti pekerja anak nampaknya masih menghadapi
permasalahan. Realitas sosial membuktikan dimana banyak terjadinya kasus-kasus
pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan dimana anak-anak terlibat dalam aktivitas
ekonomi sebagai pekerja anak (child labour) yang harus mendapatkan
perlindungan.
Menurut organisasi buruh internasional (ILO), sekitar 200 juta anak-anak
bekerja atau aktif di luar rumah karena kemiskinan dan urbanisasi. 3 Di Indonesia
buruh anak juga menjadi masalah akut. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun
2017, proporsi pekerja anak pada 2017 sebesar 1,5 persen dari total populasi anak
sebesar 84,4 juta jiwa. Mereka tak mengenyam bangku sekolah sama sekali. Lama
bekerja pun beragam, mulai dari satu jam hingga 97 jam seminggu. 4 Pekerja anak
ini sangat meresahkan karena banyak anak-anak yang bekerja dikarenakan alasan
kemiskinan keluarga bahkan tidak jarang justru orang tua menuntut agar anak-anak
tersebut mengakhiri sekolahnya dan memilih untuk bekerja. Sehingga bayak dari
anak-anak yang beresiko terperangkap dalam bentuk-bentuk terburuk pekerja anak.
Bahkan dalam kasus dan bentuk-bentuk tertentu pekerja anak telah masuk sebagai
kualifikasi anak-anak yang bekerja pada situasi yang paling tidak bisa di tolelir (the
5
intolerable from of child labor). Sala satu bentuk terburuk pekerja anak yakni
menjadi budak akibat terjerat sindikat perdagangan manusia (human trafficking).

2
Sugeng Pujileksono, 2016. “Perundang-undangan Sosial dan Pekerjaan Sosial : Prespektif
Pemenuhan Keadilan & Kesejahteraan Sosial Masyarakat”, Setara Press : Malang, hal.200-201.
3
Muhammad Joni & Zlechiana Z, Tanamas, 1999. “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan
Prespektif Konvensi Hak Anak”, Citra Aditya Bhakti : Bandung, hal.97.
4
https://beritagar.id/artikel/berita/pekerja-anak-di-bawah-bayang-kemiskinan-dan-minim-
pendidikan/se (Di akses pada Jum’at 24 Mei 2019)
5
Muhammad Joni & Zlechiana Z, Tanamas, 1999. “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan
Prespektif Konvensi Hak Anak”, Citra Aditya Bhakti : Bandung.

2
Dalam beberapa tahun teakhir Provinsi Nusa Tengara Timur (NTT) menjadi
provinsi dengan kasus human trafficking atau perdagangan manusia yang
menempati rangking teratas. Meskipun angka tenaga kerja Indonesia yang berasal
dari NTT bukan yang terbanyak di Indonesia namun angka kasus human trafficking
dari NTT menurut data Bareskrim Polri tertinggi di Indonesia. Hingga tahun 2016
setidaknya sudah ada 1.667 korban perdagangan manusia asal NTT. Lebih lanjut
polisi memaparkan bahwa para korban ini diposisikan benar-benar seperti barang
dagangan. Mereka dikirim oleh sejumlah jaringan kerja perdagangan manusia
untuk bekerja di Medan dan Malaysia dan rata-rata remaja berumur 14-18 tahun
dijual dengan harga Rp. 4,5 juta sampai Rp. 22,5 juta.6
Berbagai regulasi sebagai bentuk pemberian proteksi terhadap tenaga kerja
anak telah dikeluarkan oleh pemerintahan daerah NTT. Salah satunya yakni
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 09 Tahun 2012 Tentang
Perlindungan Terhadap Anak Yang Bekerja dimana pada Pasal 1 Ayat 20 dengan
tegas menjelaskan bahwa Perlindungan terhadap anak yang bekerja adalah segala
daya upaya yang dilakukan secara terencana untuk melindungi agar anak
terpenuhi hak-haknya selama bekerja dan/atau anak tidak terlibat dalam jenis
pekerjaan terburuk bagi anak. Namun regulasi ini nampaknya hanya sekedar
menjadi formalitas yang tak bermakna.
Dengan melihat fenomena nyata kondisi pekerja anak yang terperangkap
dalam bentuk-bentuk tindak kekerasan, eksploitasi dan penelantaran dari pihak-
pihak yang tidak bertanggungjawab menunjukan bahwa Peraturan Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap
Anak Yang Bekerja hanya menjadi narasi non aplikatif. Artinya peraturan daerah
tersebut hingga saat ini belum mampu memberikan perlindungan terhadap pekerja
anak sehingga peraturan daerah yang telah berjalan 7 tahun lamanya ini perlu di
evaluasi bahkan di perbaharui jika tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Melihat
fenomena tersebut, penulis tertarik menuangkannya dalam bentuk paper dengan
judul Evaluasi Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Timur Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak Yang Bekerja.

6
https://www.voaindonesia.com/a/perdagangan-manusia-merajalela-di-ntt/3484585.html
(Di akses pada Jum’at 24 Mei 2019).

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KAJIAN PUSTAKA


2.1.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Secara konsep, definisi dari implementasi kebijakan (policy implementation)
masih belum memiliki keseragaman. Keragaman definisi implementasi kebijakan
ini disebabkan oleh sifatnya yang multidimensional dan multiinterprestasi. Dalam
sudut pandang teori siklikal (cyclical theory), maka implementasi akan
diperlakukan sebagai suatu tahapan penting yang berlangsung dalam proses
kebijakan, terutama setelah wacana legal formal, biasanya berupa undang-undang,
peraturan atau bentuk-bentuk produk hukum lainnya dianggap telah usai. 7 Dengan
kata lain, konsep implementasi menurut teori siklikal sebagai aktivitas lanjutan
setelah produk-produk kebijakan yang berupa perundang-undangan, peraturan dan
lain sebagainya diberlakukan.
Kamus Webster, lexicografis merumuskan bahwa istilah to implement
(mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to
(menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).8 Dengan demikian, implementasi
kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan
yang berupa perundang-undangan dan atau produk hukum lainnya dimana dalam
melaksanakan kebijakan tersebut sekurang-kurangnya didasarkan pada tiga unsur
(1) Adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan; (2) Adanya kelompok
sasaran, yakni kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan
menerima manfaat dari program tersebut dengan tujuan perubahan atau
peningkatan; (3) Adanya pelaksana (implementor), baik organisasi atau peroranian,
yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan maupun pengawasan dari
proses implementasi tersebut.
Dalam proses implementasi kebijakan tidak selamanya berjalan lancar. Dapat
dikatakan bahwa kebijakan yang dirancang sebenarnya mengandung resiko untuk

7
Solichin Abdul Wahab, 2012. “Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Penyusunan Model-
Model Implementasi Kebijakan Publik”, PT Bumi Aksara : Jakarta, hal. 133.
8
Ibid, hal. 135

4
gagal. Kegagalan kebijakan ini oleh Hogwood dan Gunn (1986) dibagi menjadi dua
kategori yakni non-implementation dan unsuccessful implementation.9 Sehingga
proses implementasi ini perlu menadapatkan perhatian yang seksama dari perbagai
actor yang terlibat agar dapat mewujudkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Senada dengan yang di sampaikan oleh Van Meter dan Van Hom (1975) bahwa
merumuskan proses implementasi sebagai “those actions by public or private
individuals (or group) that are directed at the achievement of objective set fort in
prior policy decision” (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu
/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan
pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan). 10
Implementasi kebijakan pada dasarnya secara sengaja dilaksanakan untuk
meraih kinerja yang tinggi dimana selama proses berlangsung dipengaruhi beberapa
faktor. Jika dilihat berdasarkan model implementasi kebijakan yang berlaku secara
umum, maka model yang diperkenalkan oleh Van Metter dan Van Horn merupakan
model yang paling klasik. Model pendekatan implementasi kebijakan yang
dirumurkan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy
Implementation. Van Metter dan Van Horn memberikan penjelasan mengenai
model dasar dari proses implementasi kebijakan yang meliputi enam variabel dan
memiliki kaitan antara kebijakan dan kinerja. Enam variabel Menurut Van Meter
dan Van Horn, diantaranya : (1) Standar dan Tujuan Kebijakan; (2) Sumber Daya;
(3) Karakteristik Organisasi Pelaksana; (4) Sikap (Disposision) Para Pelaksana; (5)
Komunikasi Antar Organisasi Pelaksana; (6) Lingkungan Sosial Ekonomi dan
Politik. 11
Variabel-veriabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van
Horn dijelaskan sebagai berikut:
1. Standar dan Tujuan Kebijakan. Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur
tingkat keberhasilannya dari satndar dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis

9
Solichin Abdul Wahab, 2012. “Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Penyusunan Model-
Model Implementasi Kebijakan Publik”, PT Bumi Aksara : Jakarta, hal. 129.
10
Ibid, hal. 133
11
Budi Winarno, 2007. “Kebijakan Publik Teori : Proses dan Studi Kasus”, Media Pessindo
: Yogyakarta, hal. 155-156

5
dengan sosio kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan
sasaran kebijakan terlalu ideal maka akan sulit direalisasikan.
2. Sumber Daya. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung
dan kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan
sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses
implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi
menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan
yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Ketika
kompetensi dan kapabilitas dan sumber-sumber daya itu nihil maka kinerja
kebijakan publik sangat sulit untuk
3. Karakteristik Organisasi Pelaksana. Pusat perhatian pada agen pelaksana
meliputi organisasi formal dan organisasi non formal yang akan terlibat
pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja
implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri
yang tepat serta cocok dengan peran agen pelaksananya. Selain itu cakupan atau
luas wilayah implentasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak
menentukan agen pelaksana maka seharusnya semakin besar pula agen yang
dilibatkan.
4. Sikap (Disposision) Para Pelaksana. Sikap penerimaan atau penolakan dari
(agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya
kinerja implementasi kebijakan Publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh
karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulassi warga setempat
yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi
kebijakan yang akan implementator laksanakan adalah kebijakan “dari atas”
(Top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak
mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginanm atau
permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi Antar Organisasi Pelaksana. Agar kebijakan publik bisa
dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Metter, apa yang
menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (Impelementators).
Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena
itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.

6
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan
publik, semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan
sangat kecil untuk terjadi, begitu pula sebaiknya.
6. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik. Hal terakhir yang perlu juga di
perhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan dalam perspektif yang
ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan
eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan.
Lingkungan ekonomi, social dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi
biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu upaya
untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan
kondisi lingkungan eksternal.

Selain itu, perlu disadari bahwa apa yang terjadi saat implementasi akan
mempengaruhi hasil akhir kebijakan. Dengan demikian keberhasilan dalam
mewujudkan hasil akhir yang diinginkan akan semakin besar jika sejak proses tahap
perancangan hingga pengesahan telah dipikirkan berbagai kendala yang mungkin
muncul dan dapat menghambat proses implementasi. Proses-proses ini pada
dasarnya sesuai dengan fungsi implementasi kebijakan itu sendiri. Dimana secara
garis besar fungsi implementasi adalah untuk membentuk suatu hubungan yang
memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan diwujudkan
sebagai “outcome” (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang dilakukan. 12 Untuk dapat
mengetahui keberhasilan atau kegagalan pengimplementasian suatu kebijakan
maka evaluasi menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

2.1.2 Konsep Evaluasi Kebijakan


Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. 13 Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai

12
Solichin Abdul Wahab, 2012. “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, UMM Press :
Malang, hal. 177.
13
Budi Winarno, 2014. “Kebijakan Publik Teori : Proses dan Studi Kasus”, Media Pessindo
: Yogyakarta, hal. 229

7
suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada
tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Menurut
Lester dan Stewart (2000: 126) evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat
sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah
kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak
yang diinginkan.14
Keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan
cara mengikur atau membandingkan antara hasil akhir program-program tersebut
dengan tujuan-tujuan kebijakan. Secara umum, Dunn menggambarkan terdapat
enam kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi berhasil dan tidaknya
sebuah kebijakan, diantaranya (Riant Nugroho, 2004: 185-186) : (1) Efektivitas;
(2) Efisiensi ; (3) Kecukupan; (4) Perataan; (4) Responsivitas; (6) Ketepatan.15

2.1.3 Konsep Perlindungan Pekerja Anak


Pasal 2 ayat 3 dan 4 UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979, tentang
kesejahteraan anak berbunyi anak berhak atas pemeliharan dan perlindungan baik
semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Dikatakan anak adalah orang
yang berusia di bawah 18 tahun. Sebagaimana pengertian anak menurut Undang-
Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang
berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Pada dasarnya anak mempunyai kebutuhan khusus yang harus dipenuhi
semasa masih anak-anak. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar. Kedua ayat ini secara tegas menyatakan perlu adanya
perlindungan sosial dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan
yang adil terhadap anak.16 Aktor yang mengusahakan peningkatan kesejahteraan
anak dalam pasal 11 ayat 2, UU RI No. 4 Tahun 1979 yakni pemerintah dan
masyarakat.

14
Leo Agustino, 2012. “Dasar-Dasar Kebijakan Publik”. Bandung : Alfabeta, hal. 185
15
Riant Nugroho, 2004. “Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi”.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, hal. 186-186
16
Arif Gosita, 2004. “Masalah Perlindungan Anak”, PT Bhuna Ilmu Populer : Jakarta, hal.
17-18.

8
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Dalam Konvensi Hak Anak
telah ditegaskan sejumlah hak-hak anak yang kemudian diterapkan ke dalam
hukum nasional mengenai hukum anak diberbagai bidang. 17 Artinya hak-hak anak
sebagaimana yang dituangkan dalam Konvensi Hak Anak bukan hanya sekedar
hak-hak yang diberikan kepada anak ketika anak dalam keadaan sulit dan tertindas
sehingga perlu dilindungi akan tetapi hak-hak terseut juga memasuki wilayah luas
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian perlindungan anak
harus diusahakan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Masalah perlindungan anak menjadi hal yang kompleks karena menyangkut
berbagai macam aspek secara sosial, ekonomi, budaya bahkan politik. Meskipun
masalah perlindungan anak menyangkut berbagai macam aspek, namun dalam
kenyataan keseharian terdapat masalah anak yang paling mendesak dilakukan
langkah intervensi secara khusus yakni kategori anak yang berada dalam keadaan
sulit. Salah satu kategori anak yang berada dalam situasi sulit berdasarkan bentuk
dan bobot pelanggaran hak-hak menurut Konvensi Hak Anak adalah anak-anak
dalam situasi eksploitasi. 18 Salah satu aspek yang perlu dilindungi pemerintah dan
masyarakat adalah perlindungan pekerja anak (child labour).
Pekerja anak (child labour) adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan
secara rutin untuk orang tuanya, untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah
besar waktu dengan menerima imbalan atau tidak. Pasal 1 ayat 24 Peraturan Daerah
Provinsi NTT Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak Yang
Bekerja menegaskan “Anak yang bekerja adalah anak yang karena kondisi
ekonomi keluarga terpaksa bekerja untuk membantu orang tua tanpa menerima
upah atau bekerja pada orang lain, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya dengan mendapat upah atau imbalan dalam bentuk lain”.19 Dari pengertian
tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anak yang bekerja dapat
menimbulkan bahaya serius pada kesehatan fisik dan psikologis anak terlebih
ketika anak-anak terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan berbahaya yang

17
Muhammad Joni & Zlechiana Z, Tanamas, 1999. “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan
Prespektif Konvensi Hak Anak”, Citra Aditya Bhakti : Bandung, hal. 109
18
Ibid, hal. 110
19
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 9 Tahun 2012 Tentang
Perlindungan Terhadap Anak Yang Bekerja, hal.5.

9
menimbulkan risiko serius terhadap kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan
mereka. Sebagaimana menurut ILO / IPEC, pekerja anak adalah anak yang bekerja
pada semua jenis pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental,
intelektual dan moral.20
Pekerja anak merupakan pelanggaran hak asasi dan merupakan kendala
utama bagi kerja layak berkelanjutan untuk pembanguna. Memberantasnya
merupakan prioritas yang bersifat global dan disepakati secara global. Melalui
Target 8.7 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), masyarakat dunia
telah berkomitmen untuk menghapus segala bentuk pekerjaan anak pada tahun
2025. Target ini hanya dapat dicapai jika tidak ada anak yang tertinggal dalam
perang melawan pekerjaan anak.21
Pekerja anak perlu untuk dilindungi sebab ia sangat erat dengan situasi dan
kondisi kerja yang eksploitatif. Bahkan dalam kasus dan bentuk-bentuk tertentu
pekerja anak telah masuk sebagai kualifikasi anak-anak yang bekerja pada situasi
22
yang paling tidak bisa di tolelir (the intolerable from of child labor). Salah satu
bentuk terburuk pekerja anak yakni menjadi korban eksploitasi atau perbudakan
akibat terjerat sindikat perdagangan manusia (human trafficking).

2.1.4 Defenisi Perdagangan Manusia (Human Trafficking)


Perdagangan Manusia (Human Trafficking) mrupakan suatu tindakan
transaksi jual beli manusia yang ilegal dan menjadi bentuk perbudakan modern
dengan tujuan untuk mengeksploitasi seksual dan kerja paksa. Selain itu,
perdagangan manusia juga dapat diartikan sebagai bentuk perdagangan organ-
organ tubuh seperti ginjal, mata, jantung dan lain sebagainya.
Pasal 1 UU No. 21 tahun 2007 mendefenisikan Perdagangan Manusia
(Human Trafficking) sebagai :
Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

20
Arief, Hartuti, Hesti. “Artikel Implementasi Kebijakan Tentang Pekerja Anak dan
Penanggulangannya”. FISIP : Universitas Diponegoro.
21
ILO, 2017. “Lindungi Anak Agar Tidak Menjadi Pekerja Anak”.
22
Muhammad Joni & Zlechiana Z, Tanamas, 1999. “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan
Prespektif Konvensi Hak Anak”, Citra Aditya Bhakti : Bandung.

10
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam
negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan
orang tereksploitasi. 23

Berdasarkan defenisi tersebut, perdagangan manusia harus memenuhi tiga


unsur, yaitu : (a) Proses/aktivitas, yaitu terdiri dari tindakan perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan, dan penerimaan oleh pihak ketiga; (b)
Cara, yaitu terdiri dari unsur penggunaan kekerasan, penipuan, penculikan,
penjeratan utang dan pemberi bayaran atau manfaat; (c) Tujuan yakni untuk tujuan
eksploitasi.
Berkaitan dengan perdagangan manusia, kerap kali perempuan dan anak
menjadi sasaran perdagangan tersebut. Keterbatasan sumber pembiayaan
kebutuhan keluarga, telah memaksa sebagian keluarga untuk secara sengaja
mempekerjakan anak-anak ke dunia kerja pada usia dini baik di jalanan maupun di
sektor lain. Akibat dari kondisi yang serba terbatas dalam keluarga tersebut yang
kemudian memberi peluang bagi pihak trafficker untuk melakukan pendekatan
kepada keluarga anak-anak. Tujuannya agar diberi izin untuk mempekerjakan anak
pada pihak tertentu dengan iming-iming imbalan yang lumayan besar.
Sebagaimana menurut ILO (2008 : 20-23) faktor yang menyebabkan
tingginya perdagangan manusia diantaranya adalah kemiskinan, budaya
(materialistis, peran perempuan dan anak dalam keluarga, perkawinan dini),
kurangnya kesadaran migrasi yang aman, kurangnya pendidikan dan keterampilan,
putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga serta lemahnya penegakan hukum. 24

23
Sugeng Pujileksono, 2016. “Perundang-undangan Sosial dan Pekerjaan Sosial :
Prespektif Pemenuhan Keadilan & Kesejahteraan Sosial Masyarakat”, Setara Press : Malang,
hal.198.
24
Ibid, hal. 199

11
2.2 HASIL ANALISA
Berkaitan dengan Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Timur Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak Yang Bekerja,
maka dalam tulisan ini penulis menganalisis dengan menggunakan teori Van Meter
dan Van Horn yang disebut dengan A Model of the Policy Implementation. Van
Metter dan Van Horn menyebutkan terdapat enam variabel yang memiliki kaitan
antara kebijakan dan kinerja, diantaranya : (1) Standar dan Tujuan Kebijakan; (2)
Sumber Daya; (3) Karakteristik Organisasi Pelaksana; (4) Sikap (Disposision) Para
Pelaksana; (5) Komunikasi Antar Organisasi Pelaksana; (6) Lingkungan Sosial
Ekonomi dan Politik.
Berdasarkan variable-variabel tersebut maka dapat digambarkan
Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 09 Tahun
2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak Yang Bekerja, sebagai berikut :
1. Standar dan Tujuan Kebijakan.
Untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya harus menegaskan
standar dan tujuan yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Ukuran dasar
kebijakan perlindungan anak di NTT pada dasarnya telah ditetapkan oleh Perda
NTT Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak Yang Bekerja.
Dalam Perda ini secara tegas menjelaskan bahwa tujuan pembentukan Peraturan
Daerah adalah terjaminnya pemenuhan hak-hak anak yang bekerja serta
memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat dan pemberi
kerja dalam melindungi anak yang bekerja.
Namun dalam pelaksanaannya, sulit menemukan sasaran kebijakan pekerja
anak salah satunya pemberi kerja yang benar-benar menjamin pemenuhan hak-hak
anak. Tinginya kasus memperkerja anak yang diperparah dengan maraknya
penjualan anak atau sering disebut child trafficking di NTT menjadi bukti bahwa
sasaran kebijakan belum sepenuhnya memahami standar kebijakan perlindungan
anak tersebut. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota, pemberi kerja,
masyarakat dan bahkan orangtua mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab
mereka dalam menjamin terselenggaranya perlindungan terhadap anak yang
bekerja. Umumnya pemberi kerja terkesan menutup-nutupi adanya pekerja anak.

12
2. Sumber Daya.
Sumber daya yang utama dalam implementasi kebijakan adalah Sumber Daya
Manusia. Belum optimalnya implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh
manusianya yang tidak mencukupi, memadai ataupun tidak kompeten dibidangnya.
Sehubungan dengan variabel sumber daya dalam mengiplementasikan peraturan
daerah perlindungan pekerja anak nampaknya baik Pemerintah
Daerah/Kabupaten/Kota, pemberi kerja, orang tua dan masyarakat belum optimal
dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana yang telah
ditegaskan dalam Perda NTT No 09 TAHUN 2012 pasal 6,7,8 dan 9.
Pemerintah baik daerah, kabupaten maupun kota yang ada di NTT belum
sepenuhnya menjalankan kewajiban secara optimal seperti melaksanakan
pendaftaran, pendataan, pencatatan anak yang bekerja dan siapa pemberi kerjanya
sehingga mengakibatkan kesulitan dalam mengkoordinasikan pihak-pihak lain
dalam penyelenggaran perlindungan terhadap anak. Pendataan terhadap pekerja
anak baik di dalam maupun di luar negeri serta para pemberi kerja pada dasarnya
bertujuan untuk kepentingan pantauan pemerintah terhadap tenaga kerja. Bahkan di
beberapa kasus child trafficking yang terjadi di NTT justru melibatka para aparat
pemerintahan dalam melakukan aksi jahat mereka. Sebagai contoh salah satu kasus
child trafficking yang terjadi di Kabupaten Rote Ndoa, NTT dimana kepala desa
yang berinsial HK terlibat dalam kasus perdagangan anak dan baru ditangkap pada
Mei 2018. 25
Sama halnya dengan Pemberi kerja anak yang belum optimal melaksanakan
tanggung jawabnya dimana belum adanya kesadaran dan pemahaman tentang
pentingnya perlindungan terhadap pekerja anak yang mana dapat dibuktikan
dengan banyaknya perusahan-perusahan yang terkesan menutup-nutupi adanya
pekerja anak serta pelanggaran-pelanggaran terhadap hak pekerja anak.
Berdasarkan Data Perdagangan Orang November 2014 terdapat enam perusahaan
yang terlibat dalam human trafficking yang perlu diawasi, diantaranya PT Paulisa
Sukses Mandiri Medan, PT Bina Sakti Mandiri, PR Borneo Sejahtera Marimun
Jakarta, PT Pilar Warnapersada Kalimantan Tengah, PT Malindo Mitra Perkasa

25
https://regional.kompas.com/read/2018/05/02/16402781/terlibat-kasus perdagangan-
manusia-kepala-desa-di-ntt-ditangkap-polisi (diakses pada Senin, 27 Mei 2019)

13
Bekasi.Dari sekian perusahan-perusahan ini sebagian memperkerjakan anak korban
perdagangan anak. 26
Selain itu masyarakat dan orang tua secara umum belum sadar akan
pentingnya perlindungan terhadap anak yang bekerja. Ini dibuktikan dengan masih
banyak orang tua yang ada di NTT khususnya di daerah-daerah yang terpencil yang
justru memperkerjakan anak sendiri. Tidak jarang orang tua memperkerjakan anak
di beberapa pekerjaan terburuk bagi anak dan masyarakat tidak memberikan
informasi kepada pihak yang berwenang ketika mengetahui adanya anak yang
bekerja pada jenis-jenis pekerjaan terburuk.

3. Karakteristik dan Sikap Organisasi Pelaksana


Menurut Van Meter dan Van Horn, dalam mengimplementasikan suatu
program, karakter dari pelaksana kebijakan harus berkarakteristik keras dan ketat
pada aturan serta taat pada sanksi hukum yang berlaku.
Berkaitan dengan sikap dan karakteristik organisasi pelaksana dalam
implementasi Perda NTT Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap
Anak Yang Bekerja nampak sangat jauh dari asas pengayoman, perikemanusiaan,
kekeluargaan, keadilan, partisipatif dan berkelanjutan yang telah ditegaskan dalam
pasal 2 Perda NTT Nomor 09 Tahun 2012. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sejak
tahun 2014 hingga saat ini tidak sedikit lembaga/organisasi-organisasi yang terlibat
dalam kasus perdagangan anak di NTT. Organisasi/lembaga-lembaga ini justru
tidak berkarakteristik keras, ketat pada aturan serta taat pada sanksi hukum yang
berlaku. Data perdagangan orang yang dirilis pada November 2014 menunjukan
bahwa terdapat tujuh lembaga publik yang perlu diawasi dalam kasus perdagangan
orang, antara lain : Dinas Neketranas Prov. NTT, Polda NTT, Polri, Pemprov NTT,
BNP2TKI NTT dan Bnadar Udara El Tari.27

26
Data Perdagangan Orang di NTT November 2014, hal. 20 – 25
http://www.irgsc.org/files/November2014.pdf (diakses pada Senin, 27 Mei 2019).
27
Ibid, hal. 25-26

14
4. Komunikasi Antar Organisasi Pelaksana.
Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn
dan Van Mater apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu
(implementors) yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan
kebijakan. Karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para
pelaksana. Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam
implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-
pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin
kecil, demikian sebaliknya.
Jika kita melihat berbagai kasus perdagangan manusia yang terjadi di NTT
dimana dalam kasus tersebut tidak jarang melibatkan aparat pemerintahan
daerah/kota/kabupaten, Dinas Neketranas Prov. NTT, Polda NTT, Polri, Pemprov
NTT, BNP2TKI NTT dan Bnadar Udara El Tari hingga pada pegawai migrasi serta
perusahaan-perusahaan dan lain sebagainya maka dapat disimpulkan bahwa tidak
adanya koordinasi atau sosialisai yang baik antara pihak-pihak yang bersangkutan
dalam mewujudkan tujuan perda NTT No 09 tahun 2012.

5. Lingkungan Sosial Ekonomi dan Politik.


Lingkungan sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan.
Adanya kondisi lingkungan yang kondusif memungkinkan implementasi kebijakan
berjalan lancar dan terkendali. Artinya keberhasilan implementasi Peraturan Daerah
NTT No. 09 Tahun 2012 juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di NTT. Nusa
Tenggara Timur menjadi provinsi dengan peringkat perdagangan manusia tertinggi
juga disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang buruk. Tingginya perdagangan
manusia di NTT disinyilir lantaran kemiskinan yang melanda wilayah bagian timur
Indonesia itu. Kemiskinan menjadi masalah sosial utama yang terjadi di provinsi
NTT. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2014, sekitar
991.88 ribu (19,6 %) dari total 4,9 juta populasi NTT tergolong dalam kategori
penduduk miskin. Jumlah ini terus mengalami peningkatan dimana pada maret
2018 sebanyak 1.142.17 ribu (21,35 %) dari total 5,2 juta populasi NTT. 28

28
https://ntt.bps.go.id Jumlah Penduduk Miskin September 2014 dan Maret 2018 (diakses pada
Senin, 27 Mei 2019)

15
Sebagai konsekuensi tingginya kemiskinan dan minimnya akses
kesejahteraan inilah yang kemudian menempatkan perempuan dan anak-anak
sebagai pihak yang sangat rentan terjebak dalam tindakan kejahatan, eksploitasi
praktek perdagangan. Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi salah satu alasan
tingginya perdagangan manusia. Suatu sistem ekonomi yang terjadi di NTT dimana
tidak memungkinkan adanya pemerataan kesempatan orang mencari nafkah secara
legal yang mendorong orang melakukan pelanggaran demi kepentingan hidupnya.
Forrel menyatakan “Traffickers are motivated by money”, pelaku perdagangan
manusia termotivasi oleh uang.
Selain faktor ekonomi, rendahnya pemenuhan hak atas akses pendidikan turut
melatari munculnya korban kejahatan. Tingginya kasus perdagangan di NTT tidak
hanya disebabkan faktor kemiskinan atau ekonomi, tetapi juga pada minimnya
tingkat pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam bidang pendidikan. Hal
ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa NTT berada pada predikat tingkat pendidikan
terendah nomor tiga. Tingginya angka putus sekolah yang didominasi SD dan SMP
bahkan tidak sekolah sama sekali mengakibatkan terjadinya penumpukan generasi
pengangguran desa. Keterbatasan pengetahuan dan susahnya akses komunikasi
menempatkan NTT pada keadaan akan buta perkembangan informasi. Kondisi
inilah yang kemudian membuat perempuan serta anak-anak muda ditipu dan
gampang diiming-iming upah kerja serta diperdaya sehingga mudah dijadikan
korban perdagangan manusia. Contoh kasus, seperti 2 bocah yakni Fikri (12) dan
Ifan (10) yang diduga menjadi korban child trafficking. Kedua korban yang sedang
mengenyam pendidikan SD terbujuk rayuan om-om untuk mencari uang di
Samarinda. Dalam kasus ini kedua bocah tersebut dipekerjakan sebagai pengamen
dan pengemis di jalanan dan dipaksa harus mendapatkan uang 1 juta dari hasil kerja
mereka, jika tidak maka akan dipukul menggunakan balik. 29
Selain itu, penulis mencoba mengevaluasi kebijakan Peraturan Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Perlindungan
Terhadap Anak Yang Bekerja menggunakan enam kriteria yang dapat digunakan

29
https://www.google.com/amp/s/m.merdeka.com/amp/peristiwa/dua-bocah-asal-ntt-diduga-jadi-
korban-perdagangan-anak-di-samarinda.html (diakses pada Senin, 27 Mei 2019)

16
untuk mengevaluasi berhasil dan tidaknya sebuah kebijakan, diantaranya : (1)
Efektivitas; (2) Efisiensi ; (3) Kecukupan; (4) Perataan; (4) Responsivitas; (6)
Ketepatan.
1. Efektifitas dan Efisiensi. Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Timur Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak
Yang Bekerja dinilai kurang efektif dan efisen. Hal ini dapat dilihat dari masih
banyak terjadinya kasus terhadap pekerja anak. Justru di tahun 2014 hingga saat
ini kasus perdagangan anak jauh lebih tinggi dibanding sebelum dikeluarkannya
perda tersebut.
2. Kecukupan. Setelah tujuh tahun pasca disahkan perda tersebut nampak belum
cukup memberikan dampak yang baik terhadap masalah yang di hadapi.
3. Perataan. Belum adanya pemerataan dalam hal fasilitas pemerintahan daerah
sebagai upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Hal ini ditandai
dengan masih adanya kesenjangan akses pendidikan di NTT dan kurang
meratanya fasilitas-fasilitas yang bertujuan untuk meningkatkan kterampilan
kerja seperti balai latihan kerja atau training.
4. Responsivitas. Dampak dari perda ini diharapkan mampu menjadi resolusi atas
isu yang kian terjadi di NTT yakni perdagangan anak. Pemerintah, pemberi
kerja, Masyarakat dan orangtua pada umumnya memberikan respon yang baik
atas diberlakukannya peraturan ini hanya saja kurangnya sosialisasi serta
koordinasi yang di ciptakan yang kemudian menjadikan perda ini belum
maksimal dalam proses implementasi seperti terjadi pelanggaran orang-orang
yang tidak bertanggungjawab.
5. Ketepatatan. Menjadi tepat adanya regulasi yang memproteksi para pekerja
anak. Namun dalam regulasi ini belum adanya program-program yang relevan
dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap pekerja anak.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Rekomendasi
1. Mengingat faktor utama penyebab terjadinya kasus tindak pidana perdagangan
anak adalah kemiskinan, pendidikan yang rendah dan tidak jarang keterlibatan
orang tua/keluarga dalam kasus child trafficking yang menunjukan bahwa
lemahnya ketahanan sosial keluarga sehingga disarankan kepada unit
pemberdayaan peran keluarga dapat meningkatkan peran dan fungsi keluarga.
2. Perlu adanya pemerataan dalam hal fasilitas-fasilitas sebagai upaya peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia seperti peningkatan pemerataan akses
pendidikan baik formal maupun non formal, balai latihan kerja atau training
yang bertujuan untuk mendaoatkan pembinaan, pendidikan dan pelatihan
keterampilan kerja.
3. Perlu adanya sinergitas antar lembaga yang peduli terhadap perempuan dan anak
baik pemerintah, lembaga penegak hukum, BNP2TKI, dan LSM dalam
melakukan sosialisasi dan penguatan Satuan Tugas Perlindungan Anak (Satgas
PA) hinga ke desa yang pelosok.
4. Agar dapat mewujudkan perlindungan pekerja anak sebagai bentuk pemenuhan
prinsip-prinsip Hak Asasi maka harus terciptanya kerja sama yang harmonis dari
semua kalangan baik pengusaha/perusahaan, pemerintahan, masyarakat dan
orangtua. Kerjasama ini di bangun melalui kesadaran akan tanggung jawab
masing-masing pihak yang sudah di tegaskan dalam Perda NTT No 09 Tahun
2012 pasal 6,7,8 dan 9. Dengan membangun dunia kerja yang memberikan
kenyamanan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia para pekerja
anak maka dapat memberikan pengaruh penting dalam upaya pencapaian standar
kehidupan yang layak dan bermartabat.
5. Pemerintah daerah Nusa Tenggatra Timur perlu melakukan komunikasi yang
lebih insentif dan memonitoring serta mengevaluasi kembali Perda NTT No. 09
Tahun 2012.

18
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Arif Gosita, 2004. “Masalah Perlindungan Anak”, PT Bhuna Ilmu Populer :
Jakarta
Budi Winarno, 2007. “Kebijakan Publik Teori : Proses dan Studi Kasus”, Media
Pessindo : Yogyakarta.
Leo Agustino, 2012. “Dasar-Dasar Kebijakan Publik”. Bandung : Alfabeta.
Muhammad Joni & Zlechiana Z, Tanamas, 1999. “Aspek Hukum Perlindungan
Anak dan Prespektif Konvensi Hak Anak”, Citra Aditya Bhakti : Bandung.
Riant Nugroho, 2004. “Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan
Evaluasi”. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Solichin Abdul Wahab, 2012. “Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke
Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik”, PT Bumi
Aksara : Jakarta.
Solichin Abdul Wahab, 2012. “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, UMM Press
: Malang
Sugeng Pujileksono, 2016. “Perundang-undangan Sosial dan Pekerjaan Sosial :
Prespektif Pemenuhan Keadilan & Kesejahteraan Sosial Masyarakat”,
Setara Press : Malang.

Internet :
Arief, Hartuti, Hesti. “Artikel Implementasi Kebijakan Tentang Pekerja Anak dan
Penanggulangannya”. FISIP : Universitas
Diponegoro. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/download
/2501/2508. (diakses pada Minggu, 26 Mei 2019).
Data Perdagangan Orang di NTT November 2014, hal. 20 – 25
http://www.irgsc.org/files/November2014.pdf (diakses pada Senin, 27 Mei
2019).
https://beritagar.id/artikel/berita/pekerja-anak-di-bawah-bayang-kemiskinan-dan-
minim-pendidikan/se (Di akses pada Jum’at 24 Mei 2019).
https://ntt.bps.go.id Jumlah Penduduk Miskin September 2014 dan Maret 2018
(diakses pada Senin, 27 Mei 2019).
https://regional.kompas.com/read/2018/05/02/16402781/terlibat-kasus
perdagangan-manusia-kepala-desa-di-ntt-ditangkap-polisi (diakses pada
Senin, 27 Mei 2019).
https://www.google.com/amp/s/m.merdeka.com/amp/peristiwa/dua-bocah-asal-
ntt-diduga-jadi-korban-perdagangan-anak-di-samarinda.html (diakses pada
Senin, 27 Mei 2019).

https://www.voaindonesia.com/a/perdagangan-manusia-merajalela-di-
ntt/3484585.html (Di akses pada Jum’at 24 Mei 2019).

19
ILO, 2017. “Lindungi Anak Agar Tidak Menjadi Pekerja
Anak”. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---
ilo-jakarta/documents/publication/wcms_559204.pdf. (diakses pada Minggu,
26 Mei 2019)
ILO, 2009. Prinsip-Prinsip Ketenagakerjaan : Global Compact – Perserikatan
Bangsa-Bangsa/Panduan Untuk Dunia Usaha”, ILO : Organisasi
Perburuhan Internasional – Jakarta.
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_535274.pdf. (diakses pada Minggu, 26
Mei 2019)
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 9 Tahun 2012 Tentang
Perlindungan Terhadap Anak Yang
Bekerja. http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_NTT_9_2012.doc
(diakses pada Minggu, 26 Mei 2019)

20

Anda mungkin juga menyukai