Halaman
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHALUAN...............................................................................................................
A. LATAR BELAKANG..................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................................
C. TUJUAN PENELITIAN..............................................................................................
D. MANFAAT PENELITIAN.........................................................................................
E. METODE PENELITIAN............................................................................................
F. SISTEMATIKA PENELITIAN.................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................
A. PENGERTIAN PENGAKUAN.................................................................................
B. MACAM-MACAM PENGAKUAN..........................................................................
C. TEORI-TEORI PENGAKUAN................................................................................
D. PENGAKUAN TERHADAP INSURGENSI DAN BELIGERENSI....................
E. PENGAKUAN BERDASARKAN WILAYAH DAN NON WILAYAH..............
F. AKIBAT AKIBAT HUKUM DARI PENGAKUAN..............................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut, saya akan membatasi pokok bahasan makalah ini. Saya
membatasi masalah menjadi:
1. Pengaertian pengakuan
2. Pengakuan de jure dan de facto
3. Akibat hukum dari pengakuan
4. Pengakuan terhadap insurgensi dan beligerensi
5. Pengakuan berkenaan dengan wilayah dan non wilayah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penilitian
E. Metode Penelitian
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode yuridis normatif yang
berbentuk studi pustaka. Yaitu tekhnik pengambilan data yang didasarkan pada sumber-
sumber sekunder.
F. Sistematika Penelitian
A. Pengertian Pengakuan
Konsekuensi politis misalnya, antara kedua negara dapat dengan leluasa mengadakan
hubungan diplomatik, sedangkan konsekuensi yuridis misalnya berupa: Pertama, pengakuan
tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang sebenarnya, Kedua, pengakuan
menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan
diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diakui; Ketiga, pengakuan memperkokoh
status hukum negara yang diakui dihadapan pengadilan negara yang mengakui.
Selain alasan politis pemberian pengakuan suatu Negara kepada negara lain terlebih dahulu
harus ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur minimum suatu
negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru tersebut menguasai dan mampu
memimpin wilayahnya.
Adapun unsur-unsur lain dari pemberian pengakuan yaitu: Pertama, pemerintah dalam negara
baru tersebut harus mendapatkan kekuasaannya melalui cara-cara konsitutisional, kedua,
negara tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain.
Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka dicoba memberikan definisi tentang pengakuan,
yaitu tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subyek hukum
internasional yang mengakibatkan hukum tertentu.
Namun persoalan ini merupakan salah-satu dari persoalan yang cukup sulit dan pada tahap
pengembangan hokum internasional ini dapat di kemukakan sebagai suatu kumpulan kaidah
atau prinsip yang sedikit lebih memiliki kejelasan kalau tidak sebagai suatu rangkaian
praktek Negara yang berubah-ubah tidak konsisten dan tidak sistematis yang meliputi juga
kebjaksanaan Negara-negara, misalnya, sebagaimana yang akan lihat kita nanti, beberapa
diantara Negara-negara itu menerapkan cara pengakuan tradisional atau tidak memberikan
pengakuan terhadap pemerintah baru, sedangakan Negara-negara lain meninggalkan cara
pengakuan dan mengembangakn system yang saat ini di pakai, sesuai dengan keadaan-
kedaan dengan menjalin hubungan atau tidak mengadakan hubungan dengan rejim-rejim
pemerintah yang baru tanpa memperhatikan diberikanya pengakuan resmi atau tidak
mengakui secara resmi. Teori pembuktian lebih lanjut didukung oleh aturan-aturan berikut;
1. Aturan bahwa apabila timbul persoalan di pengadilan Negara yang baru saat mengenai
saat Negara itu berdiri, maka tidak relepan untuk mempertimbangkan saat kapan diakui
traktat-traktat dengan Negara lain yang mengakuinya berlaku. Saat persyaratan-persayaratan
status kenegaraan di penuhi itulah sesungguhnya yang merupakan saat yang tepat
b. Pengakuan Bersyarat
Jarang terjadi negara-negara diakui secara bersyarat, umumnya berupa suatu
kewajiban yang harus dipenuhi negara itu, akibat pengakuan bersyarat demikian adalah
apabila keawjiban-kewajiban tidak dipenuhi tidak akan menghapus pengakuan yang sudah
diberikan, karena sekali pengakuan itu diberikan maka tindakan tersebut tidak dapat ditarik
kembali. Apabila dengan syarat yang ditentukan negara tidak memenuhinya tentu saja akan
menimbulkan suatu pelanggaran, dengan pelanggran atas syarat-syarat tersebut maka negara
yang diakui dapat dinyatakan bersalah melanggar hukum internasional, dan terbuka
kesempatan bagi negara yang mengkui untuk memutuskan hubungan diplomatik sebagai
sanksinya.
c. Pengakuan Kolektif
Pengakuan secara kolektif ini diwujudkan dalam suatu perjanjian internasional atau
konferensi multilateral. Contoh; Melalui helsinki treaty tahun 1976, negara-negara NATO
mengakui republik demokrasi jerman timur dan negara-negara pakta warsawa mengakui pula
republik federal jerman. Pada tanggal 18 april 1975 kelima negara asean secara bersama
mengakui pemerintahan kamboja yang baru segera setelah jatuhnya ibukota phnom penuh ke
tangan kelompok komunis.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa masuknya suatu Negara sebagai anggota PBB sama sekali
tidak berarti adanya pengakuan secara kolektif dari Negara-negara anggota organisasi dunia
tersebut. Penerimaan suatu negara sebagai anggota PBB hanya berarti bahwa negara tersebut
telah memenuhi persyaratan keanggotaan masyarakat internasional tersebut. Seperti telah
disinggung sebelumnya, negara-negara arab pada umunya tidak mengakui israel walaupun
sama-sama sebagai anggota PBB. Demikian juga suatu negara yang diterima sebagai anggota
PBB tidak mempuyai hak untuk diakui oleh negara-negara lainnya.
Namun pendapat tersebut ditentang oleh Prof. George scelle dari universite de paris-
sorbonne mengatakan tidak masuk akal negara-negara yang sama-sama anggota suatu
organisasi internasional yang bersama-sama merumuskan resolusi, pernyataan, dan
instrumen-instrumen hukum tetapi saling menolak eksistensi satu sama lain. Untuk
memperkuat pandangannya ia merujuk pada pasal 10 pakta liga bangsa-bangsa yang
menyebutkan bahwa negara-negara anggota saling menjamin keutuhan wilayah dan
kebebasan politik masing-masing negara. Dengan demikian, menurut prof. George scelle
adalah paradoksal untuk menolak mengakui suatu negara sedangkan sebelumnya integritas
wilayah negara tersebut dijamin terhadap agresi dari luar. Orang hanya menjamin apa yang
diakui dan apa yang akan dijamin kalau sebelumnya ada pengakuan. Selanjutnya dengan
alasan yang sama, ia merujuk pada pasal 2 ayat 4 piagam, yang antara lain melarang
digunakannya kekerasan terhadap keutuhan wilayah dan kebebasa politik negara-negara
anggota.
b. Pengakuan de jure adalah pengakuan yang di dasarkan pertimbangan bahwa yang di akui
telah memneuhi syarat untuk ikut serta dalam hubungan internasional
Pegankuan de jure berarti bahwa menurut Negara yang mengakui, Negara atau pemerintah
yang diakui secara formal telah memenuhi persyaratan yang di tentukan hokum internasional
untuk dapat berfartisipasi secara efektif dalam masyarakat Indonesia.
Pengakuan de facto berarti bahwa menurut Negara yang mengakui untuk sementara dan
secara temporer serta dengan gejala reservasi yang layak di masa mendatang bahwa Negara
atau pemerintah yang telah di akui telah memenuhi syarat berdasarkan fakta (de facto). Oleh
karena itu Nampak bahwa sebutan de jure dan de facto secara tegas, tidak merupakan
deskripsi atas proses pengakuan itu sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan status
nrgara taau pemerintah tertentu untuk siapa pengakuan itu dikeluarkan.
Apabila ada bukti yang meyakinkan mengenai pengakuan de jure, maka peradilan tidak
berhak untuk membuktikan telah adanya pengkuan de facto, juga atas suatu kesatuan yang
berada di bawah pemerintah yang diakui secara de jure, apabila sebuah pengadila yang
berkedudukan di suatu wilayah tertentu harus menentukan suatu pemerintahan yang baru
yang tidak secara sah melaksanakan control terhadap wilyah tersebut, maka tidak ada
persoalan mengenai pengakuan de jure terhadap pemerintah baru. Pengadilan ersebut harus
memutuskan, bukan hanya mengenai apakah rezim yang merebut kekuasaan tersebut
merupakan pemeritahan yang berdiri secara de facto, tetapi apakah rezim itu sama sekali
merupakan suatu pemerintah yang sah menurut hokum.
Mengenai pengakuan de facto, apabila di berikan oleh negar-Negara yang tidak termasuk
kedalam kelompok Negara-negara yang menganut kebijksanaan tidak mengakui pemerintaha
yang baru, adalah keliru menganggap pengakuan demikian sebagai suatu pengakuan yang
sifatnya selalu tentative atau yang dapat ditarik kembali; umumnya pengakuan ini merupakan
suatu permulaan yang baik menuju bentuk pengakuan yang lebih formal dan lebh permanen,
yaitu pengakuan de jure, kedua tipe pengakuan tersebut mensyaratkan adanya control
pemerintah yang benar-benar efektif.
Pengakuan de facto terhadap suatu pemerintah asing mengikat secara konklusi. Pada akhirnya
seperti juga pengakuan de jure karena alas an-alasan sebagaimana dikatakan oleh Waringgton
L.J.., dalam perkataan Aksionairnoye Obschestvo A M Luther v James Sagor and Co.
“Dalam kasus belakangan, juga dalam kasus sebelumnya, pemerintah yang terkait
mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai Negara merdeka yang berdaulat oleh Negara
yang mengakui, dan meskipun demikian pemerintah kita tidak segan-segan menyatakan opini
mengenai legalitas atau mengenai cara-cara sebagaimana kekuasaanya itu diperoleh”
Demikian juga bahwa tindakan pengakuan de facto mempunyai kekuatan berlaku
surut(retroactive) persis seperti pengakuan de jure. Lebih lanjut, transaksi –transaksi dengan
pemerintah suatu Negara asing yang telah memperoleh pengakuan de facto adalah mengikat
terhadap Negara asing tersebut dan tidak dapat di hapuskan oleh pemerintah yang muncul
kemudian yang menggulingkan pemerintah yang sebelumnya melalui cara kekerasan.
C. Teori – Teori Tentang Pengakuan
Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah
pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya
pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu negara
menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada beberapa teori :
1. Teori Deklaratoir
2. Teori Konstitutif
3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah.
Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja
bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak
mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum
internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap
pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional.
Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan
justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara
sebagai anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-
tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) suatu negara.
Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek
hukum internasional.
Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang
mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut
teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan
kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak
memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara
lain.
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri
suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara
yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang,
seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-
negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau
menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan
dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan
terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang
mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum
internasional
Pemberontakan adalah urusan dalam negeri suatu negara. Tujuan Pemberontakan :
menggulingkan pemerintah yang sah, memisahkan diri dan membentuk negara sendiri,
menuntut etonomi yang lebih luas. HI tidak menentukan hukuman apapun terhadap
pemberontak.
Lahirnya pengakuan ini didorong oleh rasa kemanusiaan terhadap nasib kaum pemberontak
yang menjadi buruan di negaranya, padahal mereka sebenarnya bukanlah penjahat kriminal
biasa, melainkan pejuang-pejuang politik yang mengangkat senjata.
Pengakuan ini akan memberikan kedudukan hukum tertentu kepada kaum pemberontak,
setidak-tidaknya untuk menjamin bahwa tindakan-tindakan mereka tidak dianggap semata-
mata sebagai pelanggaran hukum belakag. Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara
kepada kaum pemberontak tidak berarti negara tersebut berpihak kepada kaum pemberontak
tersebut.
Pengakuan ini sifatnya lebih jelas dan tegas daripada pengakuan pemberontak. Pengakuan ini
diberikan jika kaum pemberontak kedudukannya kuat dan seolah-olah sudah memiliki
pemerintahan sendiri sebagai tandingan pemerintahan yang sedang berkuasa, seakan-akan
ada dua pemerintahan yang sedang bertanding. Negara ketiga akan memberikan pengakuan
beligerensi dan kaum pemberontak akan diakui statusnya sebagai belligerent, yang
mempunyai konsekuensi.
Kapal-kapal kaum pemberontak diijinkan memasuki pelabuhan negara yang mengakuinya;
1. Dapat mengadakan pinjaman-pinjaman;
2. Berhak mengadakan penggeledahan terhadap kapal-kapal di lautan serta melakukan
penyitaan barang-barang selundupan;
3. Berhak melakukan blockade
Namun yang terpenting, negara-negara yang memberikan pengakuan beligerensi tersebut
harus tetap menjaga netralitasnya. Pengakuan ini sifatnya sementara, karena jika salah satu
pihak menang / kalah maka pengakuan ini tidak berlaku lagi.
E. Pengakuan Berdasarkan Wilayah dan Non Wilayah
Sering Negara-negara memperoleh wilayah baru atau hak-hak lain melalui tindakan
sepihak yang kemungkinan:
a. Sesuia dengan hukum internasional
b. Melanggar hukum internasional
Dalam hal melanggar hokum internasional, pengakuan mungkin dapat di upayakan untuk
mengubah keraguan atas hak tersebut menjadi sesuatu yang sah dank arena pengakuan itu
akan menjadi pelepasan dari tuntutan Negara-negara lain berupa klaim-klaim atau keberatan-
keberatan yang tidak sesuai dengan hak yang diakui, dengan cara ini kemungkinan bahwa
tidak di berikanya pengakuan akan melemakan tuntutan yang di dasarkan atas persetujuan
diam-diam di kesampingkan. Kesinambungan hubungan-hubungan resmi dengan Negara
yang bersangkutan, setelah pengambil alihan wilayah tersebut tidak dengan sendirinya
mengandung arti pengakuan terhadap hak atas wilayahnya.
Kapasitas dari suatu negara atau pemerintah yang diakui dapat dilihat dari segi negative,
dengan cara mengetahui kelemahan-kelemahan dari suatu negara yang tidak diakui.
Kelemahan hukum yang utama dari suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui, adalah
antara lain, sebagai berikut:
2. Dengan alasan prinsip yang sama, tindakan-tindakan dari suatu negara atau pemerintah
yang belum diakui pada umumnya tidak akan berakibat hukum dipengadilan-pengadilan
negara yang tidak mengakuinya sebagaimana yang biasa diberikan menurut aturan-aturan
“komitas”
3. Perwakilannya tidak dapat menuntut imunitas dari proses peradilan
4. Harta kekayaaan yang menjadi hak suatu negara yang pemerintahannya tidak diakui
sesungguhnya dapat dimiliki oleh wakil-wakil dari rezim yang telah digulingkan.
Dengan adanya pengakuan mengubah kelemahan-kelemahan ini menjadi negara atau
pemerintah yang berdaulat yang berstatus penuh. Dengan demikian untuk negara yang diakui
akan mendapatkan:
Menurut hukum internasional, status negara atau pemerintah yang diakui secara de jure
membawa serta hak-hak istimewa penuh keanggotaan dalam massyarakat internsional.
Dengan demikian negara tersebut memperoleh kapasitas untuk menjalin hubungan-hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain dan untuk membentuk traktat-traktat dengan negara
negara tersebut. Juga negara-negara tersebut tunduk pada berbagai kewajiban menurut hukum
internsional dalam hubungannya dengan negara atau pemerintah yang baru diakui, yang pada
gilirannya menimbulkan kewajiban-kewajiban yang sama secara timbal-balik. Oleh karna itu,
maka sejak pengakuan tersebut, kedua belah pihak memikul beban hak dan kewajiban hukum
internasional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga pengakuan merupakan masalah yang cukup krusial dalam rana hukum
internasional karena tidak ada satu ketentutan hukum internsional yang mengatur tentang
lembaga pengakuan tersebut. Kerap kali dalam praktek sebagian besar negara, pengakuan
merupakan masalah politik daripada masalah hukum.
Kebijaksanaan dari suatu negara untuk mengkui negara lain ditentukan terutama oleh
perlunya perlindungan atas kepentingan-kepentingan negara yang erat kaitannya dengan
terpelihara hubungan dengan setiap negara baru atau pemerintah baru yang mungkin stabil
dan tetap. Pertimbangan politis lainya adalah: perdangan, strategi dan lainnya yang akan
menimbulkan pertimbangan-pertimbangan suatu negara dalam memberikan pengakuannnya.
B. Saran
Lembaga pengakuan memang memiliki tempat tersendiri dalam hukum internsaional,
apabila suatu negara tidak diakui oleh negara lain maka negara tersebut tidak dapat
mengadakan hubungan dengan negara yang bersangkutan. Dalam praktek cenderung lembaga
pegakuan dihantui oleh nuansa politik, oleh karna itu terdapat suatu istilah bahwa lembaga
pengkuan sebernya bukan sesuatu yang berdampak yuridis tetapi hannya sekedar kegiatan-
kegiatan petimbangan kepentingan semata.
Harapan saya dalam kesempatan ini agar negara tidak lagi menggunakan kepentingannya
untuk memberikan pengakuan kepada negara lain. Saya berharap agar ada ketentuan khusus
yang secara limitatif menegasakan bahwa garis-garis besar suatu negara yang pantas diakui
itu seperti apa, agar tidak ada lagi kerancuan yang terjadi seperti sebagian negara mengakui
negara lain, sedangkan sebagian lagi tidak.
DAFTAR FUSTAKA