Anda di halaman 1dari 15

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHALUAN...............................................................................................................
A. LATAR BELAKANG..................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................................
C. TUJUAN PENELITIAN..............................................................................................
D. MANFAAT PENELITIAN.........................................................................................
E. METODE PENELITIAN............................................................................................
F. SISTEMATIKA PENELITIAN.................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................
A. PENGERTIAN PENGAKUAN.................................................................................
B. MACAM-MACAM PENGAKUAN..........................................................................
C. TEORI-TEORI PENGAKUAN................................................................................
D. PENGAKUAN TERHADAP INSURGENSI DAN BELIGERENSI....................
E. PENGAKUAN BERDASARKAN WILAYAH DAN NON WILAYAH..............
F. AKIBAT AKIBAT HUKUM DARI PENGAKUAN..............................................

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................


A.KESIMPULAN............................................................................................................
B.SARAN.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum Internasional merupakan bagian hukum yang mengatur aktifitas entitas


bersekala internasional. Pada awalnya hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku
dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang
semakn komplek. Hukum Internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa
atau hukum antar negara. Hukum bangsa-bangasa dipergunakan untuk menunjukan pada
kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antar raja zaman dahulu. Hukum
antar bangsa atau negara menunjukan pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antar negara dengan negara, negara
dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum satu sama lain.
Negara-negara yang termasuk kedalam massyarakat internasional selalu tidak tetap
dan berubah-ubah, perjalanan sejarah yang panjang membuahkan banyak perubahan tersebut.
Negara-negara lama lenyap atau bergabung dengan dengan negara lain unutk kemudian
membentuk sebuah Negara baru, atau terpecah menjadi beberapa Negara baru, atau wilayah-
wilayah koloni atau wilayah-wilayah jajahan melalui proses emansipasi memperoleh status
Negara.
Perubahan-perubahan seperti ini telah meyebabkan persoalan-persoalan bagi
massyarakat internasional salah satu dari persoalan tersebut adalah pengakuan (recognition)
terhadap Negara baru atau pemerintah baru atau hal-hal yang berkaitan dengan perubahan
status lainya.
Masalah pengakuan lama-kelamaan mau tidak mau harus dihadapi oleh beberapa
Negara terutama apabila hubungan diplomatik dengan Negara-negara atau pemerintah-
pemerintah yang diakui itu dianggap perlu untuk dipertahankan. Oleh karna itu dalam
penulian makalah ini, penulis berupaya untuk mengupas fakta dan permasalahan yang terjadi
yang berkaitan erat dengan pengkuan.

B. Rumusan masalah

Dari latar belakang tersebut, saya akan membatasi pokok bahasan makalah ini. Saya
membatasi masalah menjadi:
1. Pengaertian pengakuan
2. Pengakuan de jure dan de facto
3. Akibat hukum dari pengakuan
4. Pengakuan terhadap insurgensi dan beligerensi
5. Pengakuan berkenaan dengan wilayah dan non wilayah
C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui apa itu Pengakuan
2. Bagaimana cara memperoleh pengakuan secara de jure maupun secara de facto
3. Untuk mengetahui apakah akibat dari pengakuan

D. Manfaat Penilitian

Dengan diselesaikannya penulisan makalah ini, penulisan makalah ini diharapkan


hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut :
1. Secara teoritis, hasil makalah ini dapat memberikan sumbangan pemikiran pada
pengembangan ilmu hukum di bidang hokum internasional tentang pengakuan de jure dan de
facto hokum internasional. Selain itu dapat memperluas pandangan ilmiah mengenai
Pengkuan Hukum Internasional
2. Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi pembuat Undang-undang di bidag Hukum
Internasional untuk melakukan pembaharuan peraturan perundang-undangan serta sistem
hukumnya. Selain itu, sebagai bahan informasi bagi para pelaksana kebijakan dalam
mengambil langkah-langkah perumusan kebijakan mengenai Pengakuan Hukum
Internasional

E. Metode Penelitian
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode yuridis normatif yang
berbentuk studi pustaka. Yaitu tekhnik pengambilan data yang didasarkan pada sumber-
sumber sekunder.

F. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika penulisan dalam karya tulis ini adalah :


Bab I : pendahuluan, yang terdiri dari : latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan
Bab II : pembahasan, yang terdiri dari : Pengertian pengakuan, macam-macam pengakuan,
teori-teori pengakuan, akiat pengakuan, Pengakuan Terhadap Insurgensi dan Beligerensi,
pengakuan berdasarkan wilayah dan non wilayah.
Bab III : penutupan, yang terdiri dari : Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengakuan

Pengakuan (recognition) adalah perbuatan politik dari perbuatan hokum karena


pengakuan merupakan perbuatan pilihan yang di dasarkan pada pertimbangan kepentingan
negara yang mengakui dan bukann di dasarkan pada ketentuan kaidah hokum yang
menimbulkan hak dan kewajiban berdasarkan hukum.

Nampaklah bahwa negara-negara dalam memberikan pengakuan ini semata-mata hanya


didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan alasan hukum. Dari praktek negara-negara tidak
ada keseragaman dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah
pengakuan ini. Namun dengan diakuinya suatu negara/pemerintah baru, konsekuensi yang
ditimbulkannya dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara
negara yang diakui dengan Negara yang mengakui.

Konsekuensi politis misalnya, antara kedua negara dapat dengan leluasa mengadakan
hubungan diplomatik, sedangkan konsekuensi yuridis misalnya berupa: Pertama, pengakuan
tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang sebenarnya, Kedua, pengakuan
menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan
diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diakui; Ketiga, pengakuan memperkokoh
status hukum negara yang diakui dihadapan pengadilan negara yang mengakui.
Selain alasan politis pemberian pengakuan suatu Negara kepada negara lain terlebih dahulu
harus ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur minimum suatu
negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru tersebut menguasai dan mampu
memimpin wilayahnya.

Adapun unsur-unsur lain dari pemberian pengakuan yaitu: Pertama, pemerintah dalam negara
baru tersebut harus mendapatkan kekuasaannya melalui cara-cara konsitutisional, kedua,
negara tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain.
Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka dicoba memberikan definisi tentang pengakuan,
yaitu tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subyek hukum
internasional yang mengakibatkan hukum tertentu.

Identitas dan jumlah_jumlah Negara-negara yang termasuk kedalam masyarakat internasional


selalu tidak tetap berubah-ubah. Perjalanan sejarah yang telah membuahkan tersebut Negara-
negara lama lenyap atau bergabung dengan Negara lain atau membentuk suatu Negara baru,
atau terpecah menjadi Negara baru atau wilayah-wilayah koloni atau wilayah jajahan melalui
proses emansipasi memperoleh status Negara bahkan dalam lingkungan Negara yang ada,
terjadi revolusi atau berkuasanya pihak militer dan status dari pemerintah-pemerintah
barutersebut menjadi persoalan bagi Negara-negara lalin yang sebelumnya menjalin
hubungan-hubunngan dengan pemerintah atau apabila tidak di ikuti kebijaksanaan untuk
tidak mengakui pemerintah baru yang semata-mata karena pergaulan

Namun persoalan ini merupakan salah-satu dari persoalan yang cukup sulit dan pada tahap
pengembangan hokum internasional ini dapat di kemukakan sebagai suatu kumpulan kaidah
atau prinsip yang sedikit lebih memiliki kejelasan kalau tidak sebagai suatu rangkaian
praktek Negara yang berubah-ubah tidak konsisten dan tidak sistematis yang meliputi juga
kebjaksanaan Negara-negara, misalnya, sebagaimana yang akan lihat kita nanti, beberapa
diantara Negara-negara itu menerapkan cara pengakuan tradisional atau tidak memberikan
pengakuan terhadap pemerintah baru, sedangakan Negara-negara lain meninggalkan cara
pengakuan dan mengembangakn system yang saat ini di pakai, sesuai dengan keadaan-
kedaan dengan menjalin hubungan atau tidak mengadakan hubungan dengan rejim-rejim
pemerintah yang baru tanpa memperhatikan diberikanya pengakuan resmi atau tidak
mengakui secara resmi. Teori pembuktian lebih lanjut didukung oleh aturan-aturan berikut;

1. Aturan bahwa apabila timbul persoalan di pengadilan Negara yang baru saat mengenai
saat Negara itu berdiri, maka tidak relepan untuk mempertimbangkan saat kapan diakui
traktat-traktat dengan Negara lain yang mengakuinya berlaku. Saat persyaratan-persayaratan
status kenegaraan di penuhi itulah sesungguhnya yang merupakan saat yang tepat

2. Aturan bahwa pengakuan juga berlaku terhadap pemerintah-pemerintah yang baru


mempunyai akibat berlaku surut (retroactive) yaitu kembali kepada pmasa lahirnya Negara
itu sebagai Negara merdeka.
Telah di kemukakan bahwa Negara memiliki kewajiban menurut hokum internasional untuk
mengakui Negara baru atau pemerintah baru yang telah memenuhi persayratan-persyaratan
status kenegaraan atau kapasitas pmerintahan , namun demikian exsistensi dari kewajiban
tersebut tidak di dukung oleh presiden dan praktek yang kuat khususnya untuk perbedaan
sikap seperti yang terjadi selama tahun 1949-1980 menyangkut pengakuan terhadap Republik
rakyat cina, meskipun mungkin dapat dikatakan bahwa dalam pemberian pengakuan terhadap
Negara-negara yang baru berdiri (misalnya kepada wilayah-wilayah dekolonisasi atau
wilayah-wilayah perwalian yang telah memperoleh emansipasi) beberapa Negara
menganggap bahwa dirinya terikat untuk memberikan pengakuan demikian
B. Macam –Macam Pengakuan
1. Pengakuan berdasarkan sifatnya:

a. Pengakuan Tidak Langsung


Pengakuan tidak langsung atau diam-diam (implied recognition), adalah keadaan-
keadaan yang secara tegas mengindikasikan kemauan untuk menjalin hubungan resmi dengan
negara atau pemerintah baru.
Dalam praktek peristiwa-peristiwa yang disimpulkan melegitimasi pengakuan secara tidak
langsung, adalah;
1. Penandatangan suatu traktat resmi bilateral oleh negara yang mengakui dan yang diakui.
Contoh; penandatangan Treaty of Commerce antara Cina Nasionalis dengan Amerika Serikat
pada tahun 1928.
2. Dimulainya hubungan diplomatik resmi antar negara yang diakui dan yang mengakui.
3. Dikeluarkannya suatu exequatur konsuler (duta besar) oleh negara yang mengakui bagi
konsul negara yang diakui.

b. Pengakuan Bersyarat
Jarang terjadi negara-negara diakui secara bersyarat, umumnya berupa suatu
kewajiban yang harus dipenuhi negara itu, akibat pengakuan bersyarat demikian adalah
apabila keawjiban-kewajiban tidak dipenuhi tidak akan menghapus pengakuan yang sudah
diberikan, karena sekali pengakuan itu diberikan maka tindakan tersebut tidak dapat ditarik
kembali. Apabila dengan syarat yang ditentukan negara tidak memenuhinya tentu saja akan
menimbulkan suatu pelanggaran, dengan pelanggran atas syarat-syarat tersebut maka negara
yang diakui dapat dinyatakan bersalah melanggar hukum internasional, dan terbuka
kesempatan bagi negara yang mengkui untuk memutuskan hubungan diplomatik sebagai
sanksinya.

c. Pengakuan Kolektif
Pengakuan secara kolektif ini diwujudkan dalam suatu perjanjian internasional atau
konferensi multilateral. Contoh; Melalui helsinki treaty tahun 1976, negara-negara NATO
mengakui republik demokrasi jerman timur dan negara-negara pakta warsawa mengakui pula
republik federal jerman. Pada tanggal 18 april 1975 kelima negara asean secara bersama
mengakui pemerintahan kamboja yang baru segera setelah jatuhnya ibukota phnom penuh ke
tangan kelompok komunis.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa masuknya suatu Negara sebagai anggota PBB sama sekali
tidak berarti adanya pengakuan secara kolektif dari Negara-negara anggota organisasi dunia
tersebut. Penerimaan suatu negara sebagai anggota PBB hanya berarti bahwa negara tersebut
telah memenuhi persyaratan keanggotaan masyarakat internasional tersebut. Seperti telah
disinggung sebelumnya, negara-negara arab pada umunya tidak mengakui israel walaupun
sama-sama sebagai anggota PBB. Demikian juga suatu negara yang diterima sebagai anggota
PBB tidak mempuyai hak untuk diakui oleh negara-negara lainnya.
Namun pendapat tersebut ditentang oleh Prof. George scelle dari universite de paris-
sorbonne mengatakan tidak masuk akal negara-negara yang sama-sama anggota suatu
organisasi internasional yang bersama-sama merumuskan resolusi, pernyataan, dan
instrumen-instrumen hukum tetapi saling menolak eksistensi satu sama lain. Untuk
memperkuat pandangannya ia merujuk pada pasal 10 pakta liga bangsa-bangsa yang
menyebutkan bahwa negara-negara anggota saling menjamin keutuhan wilayah dan
kebebasan politik masing-masing negara. Dengan demikian, menurut prof. George scelle
adalah paradoksal untuk menolak mengakui suatu negara sedangkan sebelumnya integritas
wilayah negara tersebut dijamin terhadap agresi dari luar. Orang hanya menjamin apa yang
diakui dan apa yang akan dijamin kalau sebelumnya ada pengakuan. Selanjutnya dengan
alasan yang sama, ia merujuk pada pasal 2 ayat 4 piagam, yang antara lain melarang
digunakannya kekerasan terhadap keutuhan wilayah dan kebebasa politik negara-negara
anggota.

d. Pengakuan terhadap Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan


Terhadap Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan tidak akan mempengaruhi
pengakuan suatu negara. Tepatnya apabila pemerintah dari suatu negara menolak
memberikan pengakuan terhadap suatu perubahan dalam bentuk pemerintahan negara lain,
maka hal ini bukan berarti menghapuskan pengakuan terhadap status kenegaraanya.

2. Pengakuan berdasarkan jenisnya :

Pengakuan di bagi menjadi pengakuan de jure dan de facto ;


a. Pengakuan de facto adalah pengakuan yang di berikan dengan anggapan dan
kepercayaan bahwa yang di akui untuk sementara dan dengan reservasi dikemudian hari telah
memenuhi syarat dan hubungan internasional

b. Pengakuan de jure adalah pengakuan yang di dasarkan pertimbangan bahwa yang di akui
telah memneuhi syarat untuk ikut serta dalam hubungan internasional
Pegankuan de jure berarti bahwa menurut Negara yang mengakui, Negara atau pemerintah
yang diakui secara formal telah memenuhi persyaratan yang di tentukan hokum internasional
untuk dapat berfartisipasi secara efektif dalam masyarakat Indonesia.

Pengakuan de facto berarti bahwa menurut Negara yang mengakui untuk sementara dan
secara temporer serta dengan gejala reservasi yang layak di masa mendatang bahwa Negara
atau pemerintah yang telah di akui telah memenuhi syarat berdasarkan fakta (de facto). Oleh
karena itu Nampak bahwa sebutan de jure dan de facto secara tegas, tidak merupakan
deskripsi atas proses pengakuan itu sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan status
nrgara taau pemerintah tertentu untuk siapa pengakuan itu dikeluarkan.

Apabila ada bukti yang meyakinkan mengenai pengakuan de jure, maka peradilan tidak
berhak untuk membuktikan telah adanya pengkuan de facto, juga atas suatu kesatuan yang
berada di bawah pemerintah yang diakui secara de jure, apabila sebuah pengadila yang
berkedudukan di suatu wilayah tertentu harus menentukan suatu pemerintahan yang baru
yang tidak secara sah melaksanakan control terhadap wilyah tersebut, maka tidak ada
persoalan mengenai pengakuan de jure terhadap pemerintah baru. Pengadilan ersebut harus
memutuskan, bukan hanya mengenai apakah rezim yang merebut kekuasaan tersebut
merupakan pemeritahan yang berdiri secara de facto, tetapi apakah rezim itu sama sekali
merupakan suatu pemerintah yang sah menurut hokum.

Mengenai pengakuan de facto, apabila di berikan oleh negar-Negara yang tidak termasuk
kedalam kelompok Negara-negara yang menganut kebijksanaan tidak mengakui pemerintaha
yang baru, adalah keliru menganggap pengakuan demikian sebagai suatu pengakuan yang
sifatnya selalu tentative atau yang dapat ditarik kembali; umumnya pengakuan ini merupakan
suatu permulaan yang baik menuju bentuk pengakuan yang lebih formal dan lebh permanen,
yaitu pengakuan de jure, kedua tipe pengakuan tersebut mensyaratkan adanya control
pemerintah yang benar-benar efektif.

Pengakuan de facto terhadap suatu pemerintah asing mengikat secara konklusi. Pada akhirnya
seperti juga pengakuan de jure karena alas an-alasan sebagaimana dikatakan oleh Waringgton
L.J.., dalam perkataan Aksionairnoye Obschestvo A M Luther v James Sagor and Co.
“Dalam kasus belakangan, juga dalam kasus sebelumnya, pemerintah yang terkait
mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai Negara merdeka yang berdaulat oleh Negara
yang mengakui, dan meskipun demikian pemerintah kita tidak segan-segan menyatakan opini
mengenai legalitas atau mengenai cara-cara sebagaimana kekuasaanya itu diperoleh”
Demikian juga bahwa tindakan pengakuan de facto mempunyai kekuatan berlaku
surut(retroactive) persis seperti pengakuan de jure. Lebih lanjut, transaksi –transaksi dengan
pemerintah suatu Negara asing yang telah memperoleh pengakuan de facto adalah mengikat
terhadap Negara asing tersebut dan tidak dapat di hapuskan oleh pemerintah yang muncul
kemudian yang menggulingkan pemerintah yang sebelumnya melalui cara kekerasan.
C. Teori – Teori Tentang Pengakuan
Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah
pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya
pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu negara
menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada beberapa teori :
1. Teori Deklaratoir
2. Teori Konstitutif
3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah.

Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja
bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak
mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum
internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap
pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional.

Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan
justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara
sebagai anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-
tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) suatu negara.
Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek
hukum internasional.

Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang
mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut
teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan
kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak
memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara
lain.

D. Pengakuan Terhadap Insurgensi dan Beligerensi

Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri
suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara
yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang,
seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-
negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau
menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan
dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan
terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang
mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum
internasional
Pemberontakan adalah urusan dalam negeri suatu negara. Tujuan Pemberontakan :
menggulingkan pemerintah yang sah, memisahkan diri dan membentuk negara sendiri,
menuntut etonomi yang lebih luas. HI tidak menentukan hukuman apapun terhadap
pemberontak.

Ada 3 istilah pemberontakan :


1. Revolution (revolusi), bertujuan untuk merombak secara radikal suatu tatanan politis atau
sosial yang sudah mapan di seluruh wilayah negara.
2. Rebellion (rebeli), perjuangan sebagian wilayah negara untuk menggulingkan kekuasaan
di wilayah negara lainnya.
3. Insurrection (pemberontakan), kegiatan yang luas dan tujuannya lebih sempit daripada
kedua pengertian di atas.

Lahirnya pengakuan ini didorong oleh rasa kemanusiaan terhadap nasib kaum pemberontak
yang menjadi buruan di negaranya, padahal mereka sebenarnya bukanlah penjahat kriminal
biasa, melainkan pejuang-pejuang politik yang mengangkat senjata.
Pengakuan ini akan memberikan kedudukan hukum tertentu kepada kaum pemberontak,
setidak-tidaknya untuk menjamin bahwa tindakan-tindakan mereka tidak dianggap semata-
mata sebagai pelanggaran hukum belakag. Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara
kepada kaum pemberontak tidak berarti negara tersebut berpihak kepada kaum pemberontak
tersebut.

Pengakuan ini sifatnya lebih jelas dan tegas daripada pengakuan pemberontak. Pengakuan ini
diberikan jika kaum pemberontak kedudukannya kuat dan seolah-olah sudah memiliki
pemerintahan sendiri sebagai tandingan pemerintahan yang sedang berkuasa, seakan-akan
ada dua pemerintahan yang sedang bertanding. Negara ketiga akan memberikan pengakuan
beligerensi dan kaum pemberontak akan diakui statusnya sebagai belligerent, yang
mempunyai konsekuensi.
Kapal-kapal kaum pemberontak diijinkan memasuki pelabuhan negara yang mengakuinya;
1. Dapat mengadakan pinjaman-pinjaman;
2. Berhak mengadakan penggeledahan terhadap kapal-kapal di lautan serta melakukan
penyitaan barang-barang selundupan;
3. Berhak melakukan blockade
Namun yang terpenting, negara-negara yang memberikan pengakuan beligerensi tersebut
harus tetap menjaga netralitasnya. Pengakuan ini sifatnya sementara, karena jika salah satu
pihak menang / kalah maka pengakuan ini tidak berlaku lagi.
E. Pengakuan Berdasarkan Wilayah dan Non Wilayah

Sering Negara-negara memperoleh wilayah baru atau hak-hak lain melalui tindakan
sepihak yang kemungkinan:
a. Sesuia dengan hukum internasional
b. Melanggar hukum internasional

Dalam hal melanggar hokum internasional, pengakuan mungkin dapat di upayakan untuk
mengubah keraguan atas hak tersebut menjadi sesuatu yang sah dank arena pengakuan itu
akan menjadi pelepasan dari tuntutan Negara-negara lain berupa klaim-klaim atau keberatan-
keberatan yang tidak sesuai dengan hak yang diakui, dengan cara ini kemungkinan bahwa
tidak di berikanya pengakuan akan melemakan tuntutan yang di dasarkan atas persetujuan
diam-diam di kesampingkan. Kesinambungan hubungan-hubungan resmi dengan Negara
yang bersangkutan, setelah pengambil alihan wilayah tersebut tidak dengan sendirinya
mengandung arti pengakuan terhadap hak atas wilayahnya.

F. Akibat-Akibat Hukum Dari Pengakuan

Pengakuan menimbulkan akibat-akibat/konsekuensi hukum yang menyangkut hak-


hak, kekuasaan-kekuasaan dan privilege-privilege dari negara atau pemerintah yang diakui
baik menurut hukum internasional maupun menurut hukum nasional negara yang
memberikan pengakuan.

Kapasitas dari suatu negara atau pemerintah yang diakui dapat dilihat dari segi negative,
dengan cara mengetahui kelemahan-kelemahan dari suatu negara yang tidak diakui.
Kelemahan hukum yang utama dari suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui, adalah
antara lain, sebagai berikut:

1. Negara itu tidak dapat berperkara di pengadilan-pengadilan negara yang belum


mengakuinya. Prinsip yang melandasi kaidah ini secara tepat ditegasaka dalam suatu kasus
Amerika : “suatu negara asing yang mengajukan perkara di Mahkamah kita bukanlah karena
persoalan hak. Kewenangan unutk melakukan hal tersebut merupakan komitas (kesopanan).
Sebelum Pemerintah tersebut diakui oleh Amerika Serikat, maka komitas demikian tidak
ada”.

2. Dengan alasan prinsip yang sama, tindakan-tindakan dari suatu negara atau pemerintah
yang belum diakui pada umumnya tidak akan berakibat hukum dipengadilan-pengadilan
negara yang tidak mengakuinya sebagaimana yang biasa diberikan menurut aturan-aturan
“komitas”
3. Perwakilannya tidak dapat menuntut imunitas dari proses peradilan

4. Harta kekayaaan yang menjadi hak suatu negara yang pemerintahannya tidak diakui
sesungguhnya dapat dimiliki oleh wakil-wakil dari rezim yang telah digulingkan.
Dengan adanya pengakuan mengubah kelemahan-kelemahan ini menjadi negara atau
pemerintah yang berdaulat yang berstatus penuh. Dengan demikian untuk negara yang diakui
akan mendapatkan:

1. Memperoleh hak untuk mengajukan perkara di muka pengadilan-pengadilan negara yang


mengakuinya.
2. Dapat memperoleh pengukuhan atas tindakan-tindakan legislatif dan eksekutif baik di
masa lalu maupun di masa mendatang oleh pengadilan-pengadilan negara yang mengakuinya.
3. Dapat menuntut imunitas dari pengadilan berkenaan dengan harta kekayaan dan
perwakilan-perwakilan diplomatiknya.
4. Berhak untuk meminta dan menerima hak milik atau untuk menjual harta kekayaan yang
berada didalam yuridiksi suatu negara yang mengakuinya yang sebelumnya menjadi milik
dari pemerintah terdahulu.

Menurut hukum internasional, status negara atau pemerintah yang diakui secara de jure
membawa serta hak-hak istimewa penuh keanggotaan dalam massyarakat internsional.
Dengan demikian negara tersebut memperoleh kapasitas untuk menjalin hubungan-hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain dan untuk membentuk traktat-traktat dengan negara
negara tersebut. Juga negara-negara tersebut tunduk pada berbagai kewajiban menurut hukum
internsional dalam hubungannya dengan negara atau pemerintah yang baru diakui, yang pada
gilirannya menimbulkan kewajiban-kewajiban yang sama secara timbal-balik. Oleh karna itu,
maka sejak pengakuan tersebut, kedua belah pihak memikul beban hak dan kewajiban hukum
internasional.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lembaga pengakuan merupakan masalah yang cukup krusial dalam rana hukum
internasional karena tidak ada satu ketentutan hukum internsional yang mengatur tentang
lembaga pengakuan tersebut. Kerap kali dalam praktek sebagian besar negara, pengakuan
merupakan masalah politik daripada masalah hukum.

Kebijaksanaan dari suatu negara untuk mengkui negara lain ditentukan terutama oleh
perlunya perlindungan atas kepentingan-kepentingan negara yang erat kaitannya dengan
terpelihara hubungan dengan setiap negara baru atau pemerintah baru yang mungkin stabil
dan tetap. Pertimbangan politis lainya adalah: perdangan, strategi dan lainnya yang akan
menimbulkan pertimbangan-pertimbangan suatu negara dalam memberikan pengakuannnya.

B. Saran
Lembaga pengakuan memang memiliki tempat tersendiri dalam hukum internsaional,
apabila suatu negara tidak diakui oleh negara lain maka negara tersebut tidak dapat
mengadakan hubungan dengan negara yang bersangkutan. Dalam praktek cenderung lembaga
pegakuan dihantui oleh nuansa politik, oleh karna itu terdapat suatu istilah bahwa lembaga
pengkuan sebernya bukan sesuatu yang berdampak yuridis tetapi hannya sekedar kegiatan-
kegiatan petimbangan kepentingan semata.

Harapan saya dalam kesempatan ini agar negara tidak lagi menggunakan kepentingannya
untuk memberikan pengakuan kepada negara lain. Saya berharap agar ada ketentuan khusus
yang secara limitatif menegasakan bahwa garis-garis besar suatu negara yang pantas diakui
itu seperti apa, agar tidak ada lagi kerancuan yang terjadi seperti sebagian negara mengakui
negara lain, sedangkan sebagian lagi tidak.
DAFTAR FUSTAKA

Starke J.G., 2010. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta : Sinar Grafika.


http://rigoristo.blogspot.com/2011/09/pemberontak-beligerensi-sebagai-subjek.html
http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-law/
tyosetiadilaw.wordpress.com/2010/04/14/pengakuan-dalam-hukum-internasional/
sm-noor.blogspot.com/2012/02/pengakuan-dalam-hukum-internasional.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai