Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu keadaan yang menyerupai penyakit hati yang terdapat pada bayi baru lahir
adalah terjadinya hiperbillirubin yang Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana
kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan
ikterus pada kulit, sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern
ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak.
Kelainan ini tidak termasuk kelompok penyakit saluran pencernaan makanan, namun karena
kasusnya banyak dijumpai maka harus dikemukakan. Kasus ikterus ditemukan pada ruang
neonatus sekitar 60% bayi aterm dan pada 80 % bayi prematur selama minggu pertama
kehidupan. Ikterus tersebut timbul akibat penimbunan pigmen bilirubin tak terkonjugasi dalam
kulit. Bilirubin tak terkonjugasi tersebut bersifat neurotoksik bagi bayi pada tingkat tertentu dan
pada berbagai keadaan.

Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis atau patologis.
Ikterus fisiologis terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus
kurang bulan sebesar 80%. Ikterus tersebut timbul pada hari kedua atau ketiga, tidak punya dasar
patologis, kadarnya tidak membahayakan, dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologis adalah ikterus yang punya dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai
suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologis yang dimaksud yaitu jenis bilirubin,
saat timbul dan hilangnya ikterus, serta penyebabnya.

Neonatus yang mengalami ikterus dapat mengalami komplikasi akibat gejala sisa yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh sebab itu perlu kiranya
penanganan yang intensif untuk mencegah hal-hal yang berbahaya bagi kehidupannya
dikemudian hari. Maka sebagai calon perawat profesional kita harus memiliki kompetensi yang
baik dalam menanggulangi kejadian penyakit hiperbilirubin untuk memperbaiki mutu dan
kualitas kesehatan masyarakat.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Hiperbilirubin” adalah :

1. Untuk Mengetahui Pengertian Hiperbilirubin

2. Untuk Mengetahui Etiologi Hiperbilirubin

3. Untuk Mengetahui Patofisiologi Hiperbilirubin


4. Untuk Mengetahui Klasifikasi Hiperbilirubin

5. Untuk Mengetahui Manisfestasi Klinis Hiperbilirubin

6. Untuk Mengetahui WOC Hiperbilirubin

7. Untuk Mengetahui Komplikasi Hiperbilirubin

8. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Hiperbilirubin

9. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Hiperbilirubin


BAB II

2.1 Pengertian

Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah


berlebihan, melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum sehingga menimbulkan joundice
pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari
normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4
mg/dl.

Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang


disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam
lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.Frekuensi dan jumlah
konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan
Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya
sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.

2.2 Etiologi

1. Peningkatan produksi :

 Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian


golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
 Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
 Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada
bayi Hipoksia atau Asidosis.
 Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
 Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol
(steroid).
 Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase, sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat
misalnya pada berat lahir rendah.

.2.Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada


Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.

3.Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat
langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.
4.Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.

5.Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif Kuman penyebabnya


adalah mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia,
yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artificial.

2.3 Patofisiologi

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia.

Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar


Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.

Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi
mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila
Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl

2.4 Klasifikasi

1. Ikterus Fisiologis

Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki
karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):

 Timbul pada hari kedua-ketiga


 Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
 Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
 Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
 Ikterus hilang pada 10 hari pertama
 Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia

Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik,
atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada
bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

3. Kern Ikterus

Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada
Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus
pada dasar Ventrikulus IV.

4. Ikterus prehepatik

Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel darah merah.
Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga
menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.

5. Ikterus hepatik

Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati maka terjadi
gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi
bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan
regurgitasi.

6. Ikterus kolestatik

Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan bilirubin terkonjugasi
tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi
dalam serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin

2.5 Manisfestasi klinis

Tanda dan gejala pada penderita hiperbilirubin adalah;

1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.

2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.

3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada hari ke
tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya
merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak kuning
terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning
kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.

5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul

6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati

7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar

8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap

9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental

10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot

2.7 Komplikasi

Keadaan bilirubin yang tidak teratasi akan menyebabkan memperburuk keadaan, dan
menyebabkan komplikasi;

 Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)


 Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hiperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang melengking.

2.8 Penatalaksanaan

Tindakan umum

 Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil, mencegah truma lahir,
pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat menimbulkan ikhterus,
infeksi dan dehidrasi.
 Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan
bayi baru lahir.
 Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.

Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan


untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai
tujuan :

1. Menghilangkan Anemia

2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi

3. Meningkatkan Badan Serum Albumin


4. Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus


Albumin dan Therapi Obat

1. Fototherapi

Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk
menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a
boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin
dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar
Bilirubin tak terkonjugasi.

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi


tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia. Secara
umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5
mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam
pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

2. Tranfusi Pengganti Transfusi Pengganti/Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :

 Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.


 Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
 Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
 Tes Coombs Positif
 Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
 Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
 Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
 Bayi dengan Hidrops saat lahir.
 Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
 3. Transfusi Pengganti digunakan untuk :
 Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah
merah terhadap Antibodi Maternal.
 Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
 Menghilangkan Serum Bilirubin
 Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
4. Therapi Obat

Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan


konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk
beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post
natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat
mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
Enterohepatika.
2.9 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

1. Identitas pasien dan keluarga

2. Riwayat Keperawatan

1) Riwayat Kehamilan: Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat mempercepat proses
konjungasi sebelum ibu partus.

2) Riwayat Persalinan : Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan, dokter. Atau data obyektif ;
lahir prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia dan asfiksia

3) Riwayat Post natal : Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak
kuning.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga : Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia,
gangguan saluran cerna dan hati ( hepatitis )

5) Riwayat Pikososial : Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua

6) Pengetahuan Keluarga : Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu terhadap bayi
yang ikterus.

3. Pengkajian Kebutuhan Dasar manusia

1) Aktivitas / Istirahat : Letargi, malas.

2) Sirkulasi : Mungkin pucat menandakan anemia.

3) Eliminasi : Bising usus hipoaktif. Pasase mekonium mungkin lambat. Feses mungkin
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin. Urin gelap pekat; hitam kecoklatan
(sindrom bayi bronze)

4) Makanan / Cairan : Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui daripada
menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum ( reflek menghisap dan menelan lemah
sehingga BB bayi mengalami penurunan). Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran
limfa, hepar

5) Neuro sensori : Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal
yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum. Edema umum,
hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung,
fontanel menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis)

6) Pernafasan : kaji apakah ada Riwayat asfiksia

7) Keamanan : Riwayat positif infeksi / sepsis neonates, Dapat mengalami ekimosis berlebihan,
ptekie, perdarahan intracranial, Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah dan
berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi Bronze) sebagai efek
samping fototerapi.

8) Seksualitas : Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan retardasi
pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes. Trauma kelahiran dapat terjadi
berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia. Terjadi lebih sering
pada bayi pria dibandingkan perempuan.

9) Penyuluhan / Pembelajaran

- Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier, fibrosis kistik.

- Faktor keluarga; missal riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya, penyakit


hepar, fibrosis kristik, kesalahan metabolisme saat lahir (galaktosemia), diskrasias darah
(sferositosis, defisiensi gukosa-6-fosfat dehidrogenase.

- Faktor ibu, seperti diabetes; mencerna obat-obatan (missal, salisilat, sulfonamide oral pada
kehamilan akhir atau nitrofurantoin (Furadantin); inkompatibilitas Rh/ABO; penyakit infeksi
(misal, rubella, sitomegalovirus, sifilis, toksoplamosis).

- Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinan praterm, kelahiran dengan ekstrasi vakum,
induksi oksitosin, perlambatan pengkleman tali pusat, atau trauma kelahiran.

B. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin indirek dalam
darah, ikterus pada sclera leher dan badan.

2. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan tindakan


berhubungan dengan kurangnya paparan informasi

3. Risiko tinggi cedera terhadap SSP berhubungan dengan peningkatan bilirubin indirek dalam
darah yang bersifat toksik terhadap otak.

4. Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping fototerapi berhubungan dengan
pemaparan sinar dengan intensitas tinggi.
C. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin indirek dalam
darah, ikterus pada sclera leher dan badan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas kulit
kembali baik/ normal dengan

kriteria hasil :

 Kadar bilirubin dalam batas normal ( 0,2 – 1,0 mg/dl )


 Kulit tidak berwarna kuning/ warna kuning mulai berkurang
 Tidak timbul lecet akibat penekanan kulit yang terlalu lama Mandiri

a. Monitor warna dan keadaan kulit setiap 4-8 jam

b. Monitor keadaan bilirubin direk dan indirek ( kolaborasi dengan dokter dan analis )

c. Ubah posisi miring atau tengkurap. Perubahan posisi setiap 2 jam berbarengan dengan
perubahan posisi lakukan massage dan monitor keadaan kulit

d. Jaga kebersihan kulit dan kelembaban kulit/ Memandikan dan pemijatan bayi

a. Berikan atau jelaskan informasi penyakit sesuai kebutuhan.

b. Tinjau ulang maksud dari mengkaji bayi terhadap peningkatan kadar bilirubin

c. Diskusikan penatalaksanaan di rumah dari ikterik fisiologi ringan atau sedang, termasuk
peningkatan pemberian makan, pemajanan langsung pada sinar matahari dan program tindak
lanjut tes serum.

d. Berikan informasi tentang mempertahankan suplai ASI

e. Kaji situasi keluarga dan system pendukung

f. Diskusikan kemungkinan efek-efek jangka panjang dari hiperbilirubinemia dan kebutuhan


terhadap pengkajian lanjut dan intervensi dini.
3 Risiko tinggi cedera terhadap SSP berhubungan dengan peningkatan bilirubin indirek dalam
darah yang bersifat toksik tehhadap otak.

Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kadar bilirubin menurun dengan kriteria hasil:

 Kadar bilirubin indirek dibawah 12 mg/dl pada bayi cukup bulan pada usia 3 hari
 Resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan
 SSP berfungsi dengan normal Mandiri

a. Periksa resus darah ABO

b. Tinjau catatan intrapartum terhadap factor resiko yg khusus

c. Perhatikan penggunaan ekstrator vakum untuk kelahiran

d. Tinjau ulang kondisi bayi pada kelahiran

e. Pertahankan bayi tetap hangat dan kering

f. Mulai memberikan minum oral awal dengan 4 sampai 6 jam setelah kelahiran, khusus bila bayi
diberi ASI. Kaji bayi terhadap tanda-tanda hipoglikemia. Dapatkan kadar Dextrostix, sesuai
indikasi

Kolaborasi

Pantau pemeriksaan laboratorium, sesuai indikasi.

a. Bilirubin direk dan indirek.

b. Tes Coombs darah tali pusat direk/indirek

c. Inkompatibilitas ABO mempengaruhi 20% dari semua kehamilan dan paling umum terjadi
pada ibu

d. Kondisi klinis tertentu dapat menyebabkan pembalikan barier darah-otak, meningkatkan


resiko terhadap keterlibatan SSP

e. Resorpsi darah yang terjebak pada jaringan kulit kepala janin dan hemolisis yang berlebihan
dapat meningkatkan jumlah bilirubin yang dilepaskan dan menyebabkan ikterik

4. Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping fototerapi berhubungan dengan
pemaparan sinar dengan intensitas tinggi.
Setelah diberikan asuhan keperawatan cairan tubuh neonatus adekuat dengan kriteria hasil:

 Tugor kulit baik


 Membran mukosa lembab
 Intake dan output cairan seimbang
 Nadi, respirasi dalam batas normal ( N: 120-160 x/menit, RR : 35 x/menit )
 suhu ( 36,5-37,5 C ) Mandiri

a. Pantau masukan dan haluan cairan; timbang berat badan bayi 2 kali sehari.

b. Perhatikan tanda- tanda dehidrasi.

c. Perhatikan warna dan frekuensi defekasi dan urine.

d. Tingkatkan masukan cairan per oral sedikitnya 25%. Beri air diantara menyusui atau memberi
susu botol.

e. Pantau turgor kulit

f. Berikan cairan per parenteral sesuai indikasi

a. Peningkatan kehilangan air dapat menyebabkan dehidrasi.

b. Bayi dapat tidur lebih lama dalam hubungannya dengan fototerapi, meningkatkan resiko
dehidrasi bila jadwal pemberian makan yang sering tidak di pertahankan.)

c. Defeksi encer, sering dan kehijauan serta urine kehijauan menandakan keefektifan fototerapi
dengan pemecahan dan ekskresi bilirubin.

d. Meningkatkan input cairan sebagai kompensasi pengeluaran feces yang encer sehingga
mengurangi risiko bayi kekurangan cairan.

e. Turgor kulit yang buruk, tidak elastis merupakan indikator adanya kekurangan volume cairan
dalam tubuh bayi.

f. Mungkin perlu untuk memperbaiki atau mencegah dehidrasi berat.


D. Evaluasi

1. Dx. 1 Integritas kulit kembali baik / normal,

 Kadar bilirubin dalam batas normal


 Kulit tidak berwarna kuning/ warna kuning mulai berkurang
 Tidak timbul lecet akibat penekanan kulit yang terlalu lama

2. Dx. 2 Pengetahuan keluarga bertambah,

 Mengungkapkan pemahaman tentang penyebab, tindakan, dan kemungkinan hasil


hiperbilirubinemia
 Mendemonstrasikan perawatan bayi yang tepat

3. Dx. 3 Kadar bilirubin menurun,

 Kadar bilirubin indirek dibawah 12 mg/dl pada bayi cukup bulan pada usia 3 hari
 Resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan
 Bebas dari keterlibatan SSP

4. Dx. 4 Cairan tubuh neonatus adekuat,

 Tugor kulit baik


 Membran mukosa lembab
 Intake dan output cairan seimbang
 TTV dalam batas normal.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya
lebih dari normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk
0,1 – 0,4 mg/dl. Hal tersebut disebabkan peningkatan produksi bilirubin (hemolisis, pendarahan
tertutup akibat trauma, kelainan kongenital,gangguan metabolik, kurangnya enzim Glukoronil
Transeferase, sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat), Gangguan transportasi akibat
penurunan kapasitas pengangkutan, Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme atau toksion, Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik, dan
Peningkatan sirkulasi Enterohepatik.

Adapun gejala dan tanda yang ditimbulkan yaitu tampak ikterus pada sklera, kuku atau
kulit dan membran mukosa, muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat,
seperti dempul, perut membuncit dan pembesaran pada hati, pada permulaan tidak jelas, yang
tampak mata berputar-putar, letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap, dapat tuli, gangguan
bicara dan retardasi mental, bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.

3.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis mengharapkan kepada para mahasiswa keperawatan


khususnya, agar dapat memahami dan menambah pengetahuan kita tentang Penyakit
Hiperbilirubin dalam mata kuliah sistem reproduksi. Serta diharapkan kritik dan saran yang
membangaun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta:EGC

Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Jakarta : EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik Edisi 6.
Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi
8. Jakarta : EGC

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.

Ngastiyah. 2000. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai