Anda di halaman 1dari 9

Saiful Aris Munandar

160104022
1. Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat
melalui pengadilan.
Syarat sahnya suatu surat gugatan haruslah memenuhi syarat-syarat yang ada
didalam HIR dan RBg,antara lain sebagai berikut:
a. Syarat formal
 Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
 Materai
 Tanda tangan
b. Syarat substansial
 Identitas dan alamat para pihak, dirinya maupun kuasanya
 Posita (fundamentum petendi) atau duduk persoalan yang menjadi
sengketa (factual ground) disertai dasar-dasar hubungan hukum yang
ada (legal ground).
 Petitum gugatan/permohonan yang diminta dari suatu gugatan pokok
(primair),pengganti(subsidair), yang biasanya dirumuskan dengan
kalimat “mohon putusan yang seadil-adilnya”.

Asas-asas surat gugatan :

1. Actor Sequitur Forum Rei (gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat
tinggal tergugat);
2. Actor Sequitur Forum Rei dengan Hak Opsi (dalam hal ada beberapa orang tergugat,
gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal salah satu tergugat atas
pilihan penggugat);
3. Actor Sequitur Forum Rei Tanpa Hak Opsi, tetapi berdasarkan tempat tinggal debitur
principal (dalam hal para tergugat salah satunya merupakan debitur
pokok/debitur principal, sedangkan yang selebihnya berkedudukan sebagai penjamin,
maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal debitur
pokok/principal);
4. Pengadilan Negeri di Daerah Hukum Tempat Tinggal Penggugat (dalam hal tempat
tinggal atau kediaman tergugat tidak diketahui);
5. Forum Rei Sitae (Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan patokan
tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa);
6. Kompetensi Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili (para pihak dalam perjanjian
dapat menyepakati domisili pilihan yakni menyepakati untuk memilih Pengadilan
Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari
perjanjian);
7. Negara atau Pemerintah dapat Digugat pada Setiap PN (dalam hal Pemerintah
Indonesia bertindak sebagai penggugat atau tergugat mewakili negara, gugatan dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri di mana departemen yang bersangkutan berada).
2. Tata cara penyelesaian suatu surat gugatan oleh hakim sampai adanya adanya putusan
hakim
a) Majelis hakim setelah menerima berkas perkara dalam waktu 7 hari sudah
harus menetapkan hari sidang.
b) Setelah hari sidang ditetapkan, panitera menunjuk jurusita unutuk memanggil
para pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang yang telah ditetapkan
c) Bila pada hari sidang yang telah ditetapkan penggugat/pemohon tidak hadir,
majelis hakim memerintahkan memanggil sekali lagi dan jika setelah
dipanggil secara sah dan patut juga tidak hadir kepersidangan maka majelis
hakim menggugurkan perkara tersebut
d) Jika pada hari sidang pertama yang telah ditetapkan yergugat tidak hadir
kepersidangan, majelis haikim memerintahkan untuk memanggil lagi sampai
3x panggilan dan jika tergugat tidak hadir juga tanpa alasan yang dapat
dibenarkan oleh hukum, maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan
perkara dan memutus tanpa hadirnya tergugat (verstek)
e) Setelah para pihak yang berperkara hadir dalam persidangan maka majelis
hakimmembuka persidangan pertama dengan agenda mendamaikan para pihak
dan melanjutkan dengan prosedur mediasi (PERMA NO.1 Tahun 2016)
sebelum proses persidangan dilanjutkan dengan menunjuk seorang mediator
agar perkara dapat diselesaikan dengan damai
f) Jika usaha perdamaian yang diusahakan melalui mediasi tidakn tercapai maka
dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan dan tergugat mengajukan
gugatan balik terhadap penggugat (gugatan rekonpensi) sehingga kedudukan
tergugat menjadi penggugat rekonpensi dan penggugat asal menjadi tergugat
rekonpensi.
g) Selanjutnya pemeriksaan berlanjut dengan jawab menjawab yaitu replik dan
duplik dalam proses jawab menjawab ini dapat juga terjadi intervensi atau
ikutnya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang diperiksa
h) Setelah selesai jawab menjawab lalu para pihak yang berperkara diberi
kesempatan membuktikan dalilnya melalui persidangan dengan acara
pembuktian.
i) Tahap selanjutnya para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan
kesimpulan dari keseluruhan proses persidangan yang telah dilalui
j) Untuk menilai fakta-fakta hukum terhadap seluruh proses persidangan yang
telah dilalui maka majelis hakim melakukan melakukan musyawarah guna
menjatuhkan putusan hakim yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum.

3. Apa yang dimaksud dengan putusan hakim dan bagaimana rumusan putusan hakim

Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam persidangan,


menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan
dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki
kekuatan hukum tetap.
Rumusan putusan hakim ada dalam Pasal 183,184,187 HIR mengatur yang harus
dimuat dalam suatu putusan hakim ,yang terdiri dari:
 Kepala putusan
 Nomor putusan yaitu nomor registrasi perkara
 Nama pengadilan/mahkamah yang memutus perkara
 Identitas para pihak secara lengkap
 Tentang duduknya perkara
 Pertimbangan hukum
 Amar putusan
 Tanggal musyawarah
 Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
 Hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dibacakan

4. Apa yang dimaksud dengan upaya banding, kasasi, peninjauan kembali, dan apa
landasan hukum dan syarat-syaratnya?
1) Upaya Banding adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak
tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No
4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No
20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus diajukan kepada
panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Syarat-syarat upaya banding antara lain dalam pasal 233:
 Permohonan diajukan kepada panitera pengadilan negeri yang memutus
perkara tersebut.
 Permohonan banding diajukan terhadap putusan yang dapat diminta
banding.
 Permintaan banding diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan
yakni 7 hari sesudah putusan dijatuhkan.

2) Kasasi Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah


pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan
dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Prosedur
permohonan kasasi antara lain meliputi :
 pengajuan permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang telah
memutuskan perkaranya dalam waktu 14 hari sesudah putusan dan
ditandai dengan adanya tanda terima penyerahan memori kasasi.
 permintaan tersebut ditulis oleh panitera yang kemudian ditandatangani
oleh panitera dan pemohon serta dicatat dalam berkas perkara.
 Permintaan kasasi wajib diberitahukan kepada semua pihak yang
berkepentingan.
 Pemeriksaan kasasi dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang
hakim meliputi berkas perkara. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya
pemeriksaan tambahan.
3) Peninjauan kembali (PK) merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
terpidana dalam suatu kasus hukum terhadap putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap dalam sistem peradilan indonesia.
Syarat-syarat peninjauan kembali
 Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada
Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara dalam
tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan.
 Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis
dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar
permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama.
 Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka Panitera
berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas)
hari memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut
kepada pihak lawan pemohon
 dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu
alasan yang tersebut Pasal 67 huruf c sampai dengan huruf f agar dapat
diketahui.
 Tenggang waktu bagi fihak lawan untuk mengajukan jawabannya
sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah 30 (tiga puluh) hari
setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali.
 Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu
oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban
tersebut, yang salinannya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak
pemohon untuk diketahui.
 Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh
Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
 Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat menyurat
antara pemohon dan/atau pihak lain dengan Mahkamah Agung.

5. Eksepsi adalah penolakan/keberatan yang disampaikan oleh seorang terdakwa, disertai


dengan alasan-alasannya bahwa dakwaan yang diberikan kepadanya dibuat tidak
dengan cara yang benar dan tidak menyangkut hal tentang benar atau tidak benarnya
sebuah tindak pidana yang didakwakan.

Kompetensi relatif Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan


berdasarkan pada daerah hukum. Daerah hukum pengadilan negeri meliputi
kabupaten/kota. Artinya setiap badan peradilan berwenang mengadili perkara yang
menjadi kekuasaanya berdasarkan wilayah hukum yang berlaku.
Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan yang memberikan wewenang berupa
dilaksanakannya apa yang dicantumkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat
negara. Dan kata-kata “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
memberi kekuatan eksekutoril bagi putusan-putusan pengadilan di Indonesia. Jadi bila
merujukan pada ketentuan tersebut terlihat bahwa kekuatan eksekutorial merupakan
jenis kekuatan eksekusi alat-alat negara yang diberikan kewenangan oleh Pengadilan
untuk melaksanakan putusan. Seperti, putusan hukum mati bagi pembunuhan
berencana.

Novum merupakan keadaan baru yang ditemukan setelah dijatuhkannya putusan


pertama. Sehingga, dengan ditemukan keadaan barunya itu, putusan berikutnya
kemungkinan akan berubah. “Bisa saja terdakwa dinyatakan tidak bersalah, onstlag
(lepas), atau dihukum lebih rendah.

Nebis In Idem adalah suatu larangan pengajuan gugatan untuk yang kedua kalinya
dalam perkara yang sama baik mengenai subjeknya, objeknya dan alasan-alasan telah
diputus oleh pengadilan yang sama.

Putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat


diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil. Ini artinya, gugatan tersebut
tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili sehingga tidak ada objek
gugatan dalam putusan untuk dieksekusi.

Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het Herziene Indonesisch Reglement
(“HIR”) yang berbunyi: “Jika penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang
ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang
lain menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap gugur dan penggugat
dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali
lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.”

Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai


kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh
karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara
Putusan Pengadilan.
Eksekusi berarti melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan
bantuan kekuatan alat negara apabila pihak yang kalah (tereksekusi) tidak mau
menjalankan secara sukarela. Syarat-syarat eksekusi sebagai berikut,antara lain:
1) Permohonan dan Tahap sita Eksekusi

a) Pembayaran Panjar.

b) Aanmaning (Teguran).

c) Eksekusi.
d) Pelaksanaan Eksekusi

 Isi perintah, agar menjalankan eksekusi sesuai amar keputusan.


 Eksekusi dilakukan oleh panitera/juru sita (109 R.Bg/pasal 197 HIR).
 Dalam pelaksanaannya, panitera/juru sita dibantu oleh 2 (dua) orang
saksi (210 R.Bg) atau pasal 197 ayat (6) HIR.
 Eksekusi dilaksanakan ditempat objek/barang berada.
 Membuat berita acara

2) Bahwa Putuan Hakim yang telah berkekuatan hukum yang tetap (In kracht van
gewijsde) yang harus dijalankan (eksekusi), wajib untuk dihormati oleh
seluruh warga Negara, Lembaga-Lembaga Negara tanpa kecuali ;
3) Bahwa saluran hukum yang benar bagi pihak yang merasa dirugikan sebagai
akibat hukum suatu eksekusi adalah “ Gugatan Perdata Biasa”.
4) Bahwa protes keberatan pihak ketiga terhadap eksekusi yang belum terlaksana
adalah dengan Gugatan Perlawanan (derden verzet) dan bukan dengan “opini”.
5) Bahwa perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap eksekusi adalah
berdasarkan dalil gugat dasar “hak milik”.
6) Bahwa dalil gugat dasar “hak milik”, tidak otomatis menunda eksekusi,
karena penerapannya dilakukan secara “kasuistis”, dan wajib memperhatikan
Tri Azas Peradilan ( sederhana cepat, dan biaya ringan).

6. Asas-Asas Hukum Acara Perdata

Asas Hukum Acara Perdata adalah suatu pedoman atau dasar yang harus dilaksanakan
oleh hakim dalam mengadili suatu perkara.

1. Asas Hakim Bersifat Pasif

Hakim bersifat pasif dalam pengertian yang luas adalah bahwa suatu perkara diajukan
ke pengadilan atau tidak untuk penyelesaiannya sepenuhnya, tergantung inisiatif dari para
pihak yang sedang berperkara bukan dari hakim yang akan memeriksa karena sebelum
perkara diajukan ke pengadilan hakim bersifat pasif, sedangkan kalau suatu perkara telah
diajukan oleh para pihak ke persidangan pengadilan maka hakim harus bersifat aktif untuk
mengadili perkara tersebut seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Hakim tidak diperbolehkan
atau dilarang memberikan putusan yang tidak di tuntut oleh para pihak yang berperkara
karena akan berakibat putusannya cacat hukum dan dapat batal demi hukum (pasal 178 HIR
jo. Pasal 189 RBg).

2. Asas Sifat Terbukanya Persidangan

Dalam praktik persidangan yang terbuka untuk umum persidangannya dilaksanakan


dalam ruangan yang pintunya terbuka dan setiap orang tanpa terkecuali dapat menyaksikan
jalannya persidangan. Dalam perkara yang terbuka untuk umum maka harus terbuka untuk
umum karena jika ternyata hakim dalam menangani suatu perkara tidak terbuka untuk umum,
keputusan yang dibuat oleh hakim tidak sah dan atau cacat hukum serta dapat batal demi
hukum (pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).

Namun dalam hal sidang terbuka untuk umum terdapat pengecualiannya yaitu khusus
untuk perkara-perkara perceraian persidangannya tertutup untuk umum karena menyangkut
rahasia keluarga.

3. Asas Mendengar Kedua Belah Pihak

Asas mendengar kedua belah pihak adalah hakim dalam menangani suatu perkara
terhadap para pihak yang sedang berperkara harus mendengarkan keterangan tentang
terjadinya peristiwa hukum dari kedua belah pihak.

Dalam memberikan keputusan hakim tidak boleh hanya berdasarkan keterangan salah
satu pihak saja terkecuali jika tergugat setelah dipanggil dengan patut dua (2) kali berturut-
turut tidak hadir (Purge) dan tidak memerintahkan wakil atau kuasa hukumnya serta tidak
mempergunakan haknya untuk didengar keterangannya, hakim dapat memeberikan putusan
verstek. Tetapi jika setelah hakim memberikan putusan verstek da nada perlawanan (verzet)
dari pihak tergugat maka hakim juga harus mendengar keterangan pihak tergugat dan
memberikan putusan yang adil (pasal 121 ayat 2, 132a HIR jo. Pasal 145 ayat 2, 157 RBg. jo.
Pasal 47 Rv. jo pasal 4 UU No. 14 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

4. Asas Bebas Dari Campur Tangan Para Pihak Di Luar Pengadilan

Maksud dari asas ini adalah Hakim pengadilan dalam memberikan keputusan
terhadap para pihak yang berperkara harus berdasarkan keyakinannya dan tidak boleh
terpengaruh dengan pihak lain diluar pengadilan.

Hakim wajib menjaga kemandiriannya dalam hal memberikan keputusan tanpa


terpengaruh oleh pihak lain di luar pengadilan sekalipun pengaruh itu dari pejabat negara
bahkan presiden sekalipun tetap hakim tidak boleh terpengaruh. ( lihat pasal 1 angka 1, pasal
3 ayat 1 dan 2 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim dalam
memberikan keputusan harus berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya tanpa terpengaruh
oleh pihak lain di luar pengadilan.

5. Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan

Maksud dari asas ini adalah Hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha
semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama
sehingga tidak memakan biaya yang banyak. Sederhana diartikan hakim dalam pelaksanaan
mengadili harus menggunakan kalimat atau bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti
oleh para pihak yang berperkara. Cepat diartikan hakim dalam memeriksa para pihak yang
berperkara setelah ada bukti-bikti yang cukup dan akurat segera memberikan keputusan dan
waktunya tidak diulur-ulur atau penundaan persidangan.
6. Asas Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan

Asas ini maksudnya adalah putusan hakim dalam suatu perkara harus menggunakan
dalil-dalil atau dasar hukum positif yang ada.Hal ini dimaksudkan untuk pertanggungjawaban
dari sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh hakim, sehingga pihak lawan juga akan
kesulitan mencari celah atau kelemahan dari putusan tersebut.

Hakim dalam menerapkan dalil-dalil atau hukum harus sesuai dengan sengketa yang
dihadapi oleh para pihak jika tidak maka keputusan yang dikeluarkan oleh hakim tersebut
berakibat cacat hukum dan dapat dibatalkan, diubah dan diperbaiki di tingkat banding. Dan
agar supaya keputusan yang dikeluarkan apabila diajukan upaya hukum lain oleh pihak lawan
tidak berakibat dibatalkan, diperbaiki, dan diubah di tingkat banding, kasasi, maupun
peninjauan kembali.

7. Asas Putusan Harus Dilaksanakan Setelah 14 (Empat Belas) Hari Lewat

Maksud dari asas ini adalah setiap keputusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan
(eksekusi) setelah tenggang waktu 14 (empat belas) hari telah lewat dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) atau tidak ada upaya hukum lain dari
pihak yang dikalahkan kecualai dalam putusan Provisionil dan putusan uit voerbaar bij
voorraad.

8. Asas Beracara Dikenakan Biaya

Maksud dari asas beracara dikenakan biaya adalah para pihak yang beracara di
pengadilan dikenakan biaya perkara. Biaya perkara pada umumnya berupa biaya
pemanggilan, pemberitahuan dan biaya materai. Biaya-biaya tersebut diperlukan oleh
pengadilan untuk memperlancar jalannya persidangan. Biaya-biaya tersebut umumnya
dibebankan kepada pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan.

Jika dalam perkara tersebut ada barang-barang jaminan baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak yang harus di sita oleh panitera pengadilan negeri maka selain biaya-
biaya tersebut diatas masih ada biaya tambahan yaitu biaya sita eksekusi dari eksekusi lelang
termasuk didalamnya biaya-biaya pengacara, para saksi, saksi ahli dan juru bahasa (pasal 121
ayat 4, pasal 182, pasal 183 HIR jo. Pasal 145 ayat 4, pasal 192, pasal 193 RBg. jo. Pasal 2
ayat 2, pasal 4 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Biaya-biaya yang harus dibayar di atas terdapat pengecualaian untuk para pihak yang
tidak mampu yang telah mengajukan permohonan ke pengadilan dengan beracara di
pengadilan tanpa biaya (prodeo) dan tidak dilawan oleh pihak lawan serta dikabulkan oleh
hakim. Jika dalam persidangan dikalahkan tidak dikenakan biaya (pasal 237, 238, 239 HIR
jo. Pasal 273, 274, 275 RBg).

Apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya tidak berpedoman atau menyimpang dari
asas-asas hukum yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka keputusannya
dapat berakibat cacat hukum dan dapat batal demi hukum.
7. SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

1. Peraturan Perundang-undangan peninggalan pemerintah Hindia Belanda yaitu :

 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) / RIB (Reglement Indonesia yang


dibarui ) Stb. 1948 No 16 jo Stb 1941 No 44. berlaku untuk daerah jawa dan
madura.
 RBG (Rechtsreglement Buitengewesten) / RDS (Reglement Daerah seberang),
Stb 1927 No 227, berlaku untuk daerah luar jawa dan Madura.
 Rv (Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoordering) / Reglemen Hukum Acara
perdata untuk golongan eropa Stb.1847 No 52 jo Stb.1849.

2. Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia setelah


kemerdekaan yaitu :

 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan ulangan untuk


daerah Jawa dan madura.
 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman.
 Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 jo Undang-undang No 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung.
 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 8 Tahun
2004 tentang Peradilan umum.

3. Berasal dari sumber hukum lainnya diantaranya :

 Yurisprudensi
 Adat kebiasaan yang dianut oleh hakim (Menurut pendapat Prof.Wirjono
Prodjodikoro).
 Perjanjian internasional.
 Doktrin/Pendapat sarjana.
 Surat edaran mahkamah agung (SEMA).

Anda mungkin juga menyukai