Anda di halaman 1dari 9

MANUSIA MENURUT AGAMA HINDU

By I Made Artayana on 26 Desember 2015

ATMAN SRADHA

Kepercayaan umat Hindu yang kedua adalah “Atma Tatwa”, yaitu filsafat tentang
adanya atma atau jiwa yang menjadi sumber hidup mahluk. Atma merupakan percikan-
percikan kecil dari ParamaAtma/Hyang Widhi yang berada dalam setiap mahluk hidup.
Atma merupakan bagian dari Brahman/Hyang Widhi yang memberikan energi hidup
pada badan jasmani segala mahluk sesuai dengan hukum yang ditentukan oleh Hyang
Widhi. Atma sering disebut dengan “Swatman” atau “Jiwatman” yaitu roh yang
memberikan tenaga untuk hidup.

SARASAMUSCAYA

BAB I sloka 1 – 11.

BAB V sloka 41 – 54

CATUR ASRAMA
Hubungan tata kemasyarakatan Hindu dibagi menjadi empat tingkat kehidupan yang
dikenal dengan Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat lapangan atau tingkatan
hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup. Tiap- tiap tingkat kehidupan manusia
diwarnai oleh adanya ciri- ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa
(asrama) dengan masa lainnya, tetapi merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Sebagai contoh adanya perbedaan sifat tugas dan kewajiban seorang bapak dengan
ibu dengan anak- anaknya.
Menurut agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem
Catur Asrama, ialah sebagai berikut:

1. Brahmacari Asrama adalah tingkat kehidupan berguru/ menuntut ilmu. Setiap orang
harus belajar (berguru). Diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan
pengakuan dengan pemberian Samawartana/ Ijazah.
Dalam kegiatan belajar mengajar ini siswa/ Snataka harus mengikuti segala peraturan
yang telah ditetapkan bahkan kebiasaan untuk mengasramakan siswa sangat penting
guna memperoleh ketenangan belajar serta mempermudah pengawasan.
Brahmacari juga mengandung makna yaitu orang yang tidak terikat/ dapat
mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala tenaga dan
pikirannya benar- benar diarahkan kepada kemantapan belajar, serta upaya
pengembangan ketrampilan sebagai bekal hidupnya kelak.
2. Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama
ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki
masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara
(Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka
kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan
kehidupan sosial lainnya). Oleh karena itu penggunaan Artha dan Kama sangat penting
artinya dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi
berdasarkan Dharma.
3. Wanaprastha Asrama adalah tingkat kehidupan ketiga dengan menjauhkan diri dari
nafsu- nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan
ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang,
melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk
memperoleh kelepasan/ moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
4. Sanyasin (bhiksuka) Asrama adalah merupakan tingkat kehidupan di mana pengaruh
dunia sama sekali lepas. Yang diabdikan adalah nilai- nilai dari keutamaan Dharma dan
hakekat hidup yang benar. Pada masa ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra,
Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada
Sang Hyang Widhi Wasa untuk mencapai Moksa.

CATUR PURUSA ARTHA

Agama Hindu memberikan tempat yang utama terhadap ajaran tentang dasar dan
tujuan hidup manusia. Dalam ajaran Agama Hindu ada suatu sloka yang berbunyi:
“Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah“, yang berarti bahwa tujuan beragama
adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin (kedamaian
abadi). Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau
Catur Warga yang berarti empat dasar dan tujuan hidup manusia, yang terdiri dari :

1. Dharma merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk berbudi


pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup. Dharma itulah
yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan dharma
sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan keteguhan
budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah laku manusia.
2. Artha adalah kekayaan dalam bentuk materi/ benda- benda duniawi yang merupakan
penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda sangat mutlak
adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita jangan sampai diperbudak oleh nafsu
keserakahan yang berakibat mengaburkan wiweka (pertimbangan rasional) tidak
mampu membedakan salah ataupun benar. Nafsu keserakahan materi melumpuhkan
sendi- sendi kehidupan beragama, menghilangkan kewibawaan. Bahwa artha
merupakan unsur sosial ekonomi bersifat tidak kekal berfungsi selaku penunjang hidup
dan bukan tujuan hidup. Artha perlu diamalkan (dana punia) bagi kepentingan
kemanusiaan (fakir miskin, cacat, yatim piatu, dan lain- lain).
3. Kama adalah keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama berfungsi
sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia dalam hidup memiliki
kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai makhluk berbudi ia mampu
menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan. Dengan ungkapan lain
bahwa perilaku yang baik dimaksudkan adalah selarasnya kebutuhan manusia dengan
norma kebenaran yang berlaku.
4. Moksa adalah kelepasan, kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana)
manunggalnya hidup dengan Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan
utama, tertinggi, dan terakhir, bebasnya Atman dan pengaruh maya serta ikatan subha
asubha karma (suka tan pawali duka).
CATUR WARNA

Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ”Catur” berarti
empat dan kata “warna” yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih.
Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan
berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja
yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam
dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan.
Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah:
Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.

1. Warna Brahmana Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di


dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam
swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
2. Warna Ksatrya Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di
dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam
swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan
negara.
3. Warna Wesya Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang
kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
4. Warna Sudra Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang
ketenagakerjaan.

Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem


Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut
Catur Wangsa atau Turunan darah. Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian
golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.

Kata “Kasta” berasal dari bahasa Portugis “Caste” yang berarti pemisah, tembok, atau
batas. Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses
sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan
pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di
masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah “kasta” tidak diatur di
dalam kitab suci Weda. Kata “Kasta” itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti “kayu”.
Keterangan yang cukup menarik tentang Catur Warna yang sering dikaburkan dengan
kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo Weda (Bhagavad-Gita) yang menjelaskan
struktur masyarakat berdasarkan Warna. Menurut isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian
masyarakat menjadi empat kelompok- kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena
pengaruh “guna” yang merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat). Dalam
hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.
Di dalam bab Karma Kandanya dijelaskan bahwa dunia aktif (bergerak, bekerja) dan
gerak ini disebabkan oleh guna itu sendiri. Ada tiga macam guna dikemukakan yaitu

1. Satwam (kebajikan)
2. Rajas (keaktifan)
3. Tamas (kepasifan/masa bodoh)

Sifat- sifat ini selanjutnya memberikan pengaruh lebih luas lagi sehingga menimbulkan
warna dalam kelahiran manusia di dunia. Seseorang yang kelahirannya diwarnai oleh
Guna Satwam akan menampilkan sifat- sifat kesucian, kebajikan, dan keilmuan.
Seseorang yang diwarnai oleh Guna Rajah akan menampilkan kehidupan yang penuh
kreatif, ingin berkuasa, ingin menonjol. Berbeda dengan seseorang yang kehidupannya
diwarnai oleh Guna Tamah, akan selalu menampakkan sifat- sifat malas, bodoh, pasif,
lamban dalam segala- galanya.

Ketiga sifat ini terdapat di dalam setiap tubuh manusia yang lahir dan masing- masing
guna ini berjuang saling mempengaruhi dalam badan manusia. Bagi mereka yang
teguh iman maka Satwam itulah yang menguasainya, sedangkan Rajah dan Tamah itu
akan diatasi seluruhnya. Sebaliknya kalau Rajah lebih kuat, maka Tamah dan Satwam
itu akan ditundukkannya. Begitu pula apabila Tamah yang berkuasa, maka Rajah dan
Satwam akan ditundukkannya. Dengan jalan seperti inilah Bhagavad-Gita menjelaskan
timbulnya garis perbedaan pembawaan seseorang yang disebut Warna kelahiran dari
kecenderungan sifat- sifat guna itu.

Di dalam Bhagawata Purana dan Smrti Sarasamuçcaya pasal 63 dengan tegas


dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu warna kalau tanpa dilihat dari segi
perbuatannya.
Dari perbuatan dan sifat- sifat seperti tenang, menguasai diri sendiri, berpengetahuan
suci, tulus hati, tetap hati, teguh iman kepada Hyang Widhi, jujur adalah gambaran
seseorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah berani, termasyhur,
suka memberi pengampunan, perlindungan maka mereka itulah yang disebut Ksatrya.

Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa keempat warna itu tidak ditentukan oleh
kelahiran, misalnya dari keluarga Brahmana lalu lahir anak Brahmana juga, tetapi sifat
dan perbuatan mereka itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian
seperti adanya empat warna itu.

Sedangkan didalam Wiracarita Mahabarata dijelaskan bahwa sifat- sifat Brahmana


ialah: jujur, suka beramal/ berderma, pemaaf, pelindung, takwa, cenderung untuk
melakukan pertapaan. Dan dijelaskan pula bahwa kelahiran anak dari seorang Sudra
yang dikatakan mempunyai sifat- sifat seperti tersebut di atas, mereka bukanlah Sudra
tetapi mereka adalah Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak
mempunyai sifat- sifat seperti itu, maka ia sesungguhnya Sudra.

Dari sumber- sumber tersebut di atas kita peroleh suatu pandangan dan pengertian
yang sama mengenai Catur Warna, yaitu merupakan pembidangan karya dan sikap
mental manusia yang mewarnai pengabdiannya dalam swadharma masing- masing.

PRO DAN KONTRA ANTARA CATUR WANGSA, KASTA DAN CATUR


WARNA

Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi polemik dalam pemahaman dan pemaknaan
warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan.

Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci
Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang
dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut
Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam
kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur
menurut garis keturunan.

Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu
Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada
suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah
pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena
itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.

Setiap orang yang lahir ke dunia sudah dibekali dengan kelebihan dan keahliannya
masing-masing dalam rangka mencapai tujuan dari catur purusha artha yaitu dharma
,artha , kama, dan moksa.
Namun dalam implementasinya dalam kehidupan nyata, masih banyak orang yang
merasa enggan memakai golongan diatas sesuai dengan pekerjaan dan keahlian yang
mereka punya. Hampir sebagaian besar dari mereka yang telah memiliki garis
keturunan lebih tinggi masih memangu jabatan leluhurnya, padahal terang – terangan
terlihat bahwa orang tersebut memiliki bakat dan kemampuan dalam bidang yang
berbeda dari leluhur sebelumnya. Banyak alasan yang menjadi dalih untuk menghindari
hal tersebut.

NAMA ORANG BALI

Nama orang Bali pada umumnya memiliki kaitan erat dengan kasta, karena pada nama
orang Bali biasanya akan terlihat apa kastanya. Imbuhan kasta ini akan terlihat di
bagian awal nama misalkan memakai : Gusti, Anak Agung, Cokorde, Dayu, Desak,
dsb..

Di Bali umumnya seorang anak kastanya harus sama dengan orang tuanya. Jadi
seorang anak tidak boleh diberi nama dengan awalan “Anak Agung” di depannya kalau
orang tuanya bukan dari kasta tersebut.

Pernikahan

Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah


menikah dan menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam
pernikahan beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah biasa
jika dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi. Bahkan pihak keluarga
perempuan kadang ada rasa bangga.

Lalu bagaimana jika seorang perempuan berkasta menikah dengan lelaki tidak berkasta
atau dengan lelaki yang kastanya lebih rendah?
Ini istilahnya “nyerod” atau turun kasta. Pernikahan seperti sangat dihindari dan
kalaupun terjadi biasanya dengan sistem “ngemaling” yaitu menikah dengan sembunyi-
sembunyi. Karena pernikahan “nyerod” seperti ini biasanya tidak akan diijinkan oleh
keluarga besar pihak perempuan.

Oya, sistem patrilineal ini juga menyebabkan orang Bali secara tidak langsung lebih
menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ya walaupun tidak semua
orang tua seperti itu.

Bagaimana jika tidak memiliki anak laki-laki? Ada juga sistem pernikahan matrilineal.
Yaitu pihak lelaki yang akan bergabung dengan keluarga perempuan. Istilahnya
“nyentana” atau “nyeburin”, saat ini juga cukup lumrah terjadi.

Kalau pernikahan “nyeburin” atau “nyentana” ini terjadi dalam satu tingkatan kasta yang
sama, biasanya tidak akan ada masalah. Tapi bagaimana kalau beda kasta?
Pernikahan “nyentana” dengan kasta berbeda sangat jarang terjadi, karena baik “naik
kasta” atau pun “turun kasta” akan terlihat aneh di masyarakat.

Misalnya saja si Wayan yang “nyentana” yaitu menikah pihak perempuan yang
berkasta, ini sangat sulit. Pertama, pihak keluara perempuan biasanya tidak akan
menerima. Masyarakat di sekitar juga nanti bingung, apakah si Wayan akan naik kasta
menjadi berkasta seperti istrinya atau tetap tidak berkasta. Lalu ketika mereka punya
anak, apa kastanya? Ah, ribet.

Itu yang “naik kasta”, lalu bagaimana dengan turun kasta? Misalnya seorang lelaki
berkasta menikah “nyentana” ke perempuan yang tidak berkasta. Berarti lelaki tersebut
akan kehilangan kastanya. Hal ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga pihak
lelaki. Jadi, berkaitan dengan kasta, pernikahan model “nyentana” akan ribet kalau
terjadi dengan berbeda kasta.

CATUR WARNA apa KASTA ?

Kekacauan Sistem kemasyarakatan antara KASTA dan WARNA ini lama-lama menjadi
kesalah-pahaman. Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam
ajaran agama hindu. Perbedaan persepsi dan pemahaman tentang kasta serta warna
masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Misalnya, yang paling
umum adalah yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang
keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka
yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak
bisa menjadi Pendeta (Pedanda).

Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan
terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.

Setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959.
Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan
perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra.

Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak
memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan
upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah
kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu
disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang
berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak
lagi berkaitan dengan “Kasta” yang feodal itu.

Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam
kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan
kemampuannya. Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir
sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa
meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi
rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang
itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya.
Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur
Warna dalam Hindu.

Anda mungkin juga menyukai