Anda di halaman 1dari 23

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tanah merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang


mempunyai peranan penting dalam berbagai segi kehidupan makhluk hidup,
khususnya tumbuhan yang sangat berkaitan dengan unsur-unsur di dalam tanah
dimana karakteristik unsur-unsur dalam tanah sangat berpengaruh terhadap
karakteristik unsurunsur dalam tanaman yang tumbuh di atasnya, sehingga
kandungan unsur-unsuresensial dan non esensial yang kurang atau berlebihan
dalam jaringan tanaman akan mencerminkan kandungan unsur-unsur dalam tanah.
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang dijumpai di Indonesia yang
penyebarannya di beberapa pulau besar mencapai luas sekitar 45.794.000 ha atau
25% dari luas wilayah daratan Indonesia. Tanah ini berkembang pada berbagai
topografi, mulai dari bergelombang hingga bergunung dengan curah hujan yang
tinggi.
Menurut Sri Adiningsih dan Mulyadi (1993), Ultisol mempunyai ciri
memiliki penampang tanah yang dalam, reaksi tanah masam (pH <4,5), kejenuhan
Al tinggi dan kejenuhan basa rendah. Umumnya ultisol berwarna kuning
kecokelatan hingga merah, terbentuk dari bahan induk tufa masam, batu pasir dan
sedimen kuarsa, sehingga tanahnya bersifat masam dan miskin unsur hara,
kejenuhan basa, kapasitas tukar kation dan kandungan bahan organik rendah.
Ultisol tergolong lahan marginal dengan tingkat produktivitasnya rendah,
kandungan unsur hara umumnya rendah karena terjadi pencucian basa secara
intensif, kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan
cepat terutama di daerah tropika. Ultisol memiliki permeabilitas lambat hingga
sedang, dan kemantapan agregat rendah sehingga sebagian besar tanah ini
mempunyai daya memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi.
Menurut Sinukaban dan Rachman (1982 dalam Utomo, 2008) sifat fisika
Ultisol yang mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman adalah porositas
tanah, laju infiltrasi dan permeabilitas tanah rendah sampai sangat rendah,
kemantapan agregat dan kemampuan tanah menahan air yang rendah.
Kadar air pada kapasitas lapang sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah.
Tekstur tanah yang dominan pada Ultisol adalah liat. Tekstur liat memiliki
kapasitas yang lebih tinggi jika dibandingkan tanah bertekstur pasir. Hal ini
berkaitan dengan ukuran butir tanah yang bertekstur liat, sehingga memiliki
kemampuan menahan air lebih tinggi.
Ultisol memiliki ciri adanya horizon argilik atau kandik dengan kejenuhan
basa (dengan menghitung jumlah kation) kurang dari 35 persen. Sebaran terluas
tanah Ultisol terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera
(9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa
(1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada
berbagai relief atau topografi, mulai dari datar hingga bergunung. Dari data
analisis Ultisol dari berbagai wilayah di Indonesia, 11 menunjukkan bahwa tanah
tersebut memiliki ciri reaksi tanah sangat masam (pH 4,1 – 4,8). Kandungan
bahan organik lapisan atas yang tipis (8 – 12 cm), umumnya rendah sampai
sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5 – 10). Kandungan P-potensial yang rendah
dan K-potensial yang bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik lapisan atas
maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa tukar rendah, kandungan K-dd hanya
berkisar 0 – 0,1 me 100/g tanah di semua lapisan termasuk rendah, dapat
disimpulkan bahwa potensi kesuburan alami Ultisol sangat rendah sampai rendah.
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat
tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk
bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam
pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian pupuk organik terhadap struktur
tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah
lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi
struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat,
sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan
asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan
membentuk komplek lempung-logam-humus.
Pengaruh pupuk organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah
terhadap peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang
menunjukkan 13 bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi oleh
udara dan air. Pori pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro, pori meso dan
pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori kapiler, pori meso dikenal
sebagai pori drainase lambat, dan pori makro merupakan pori drainase cepat.
Tanah pasir yang banyak mengandung pori makro sulit menahan air, sedang tanah
lempung yang banyak mengandung pori mikro drainasenya jelek. Pori dalam
tanah menentukan kandungan air dan udara dalam tanah serta menentukan
perbandingan tata udara dan tata air yang baik. Penambahan bahan organik pada
tanah kasar (berpasir), akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan
menurunkan pori makro. Dengan demikian akan meningkatkan kemampuan
menahan air.
Ultisol termasuk tanah tua dengan tingkat pelapukan lanjut, pencucian
hebat, dan kesuburan kimia, fisika, serta biologi yang sangat rendah. Kendala sifat
fisika Ultisol yang kurang baik, diantaranya daya pegang air rendah, tekstur
lempung berliat, struktur kurang mantap dan permeabilitas makin ke bawah makin
rendah. Penggunan jenis tanaman yang ditanam dan pengelolaan lahan pada tanah
hutan yang dikonversi, terutama lahan pertanian akan berpengaruh terhadap sifat-
sifat fisika tanah.
Pengelolaan lahan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mencapai
hasil yang optimal dan berkelanjutan.Oleh karena itu, pengelolaan lahan (tanah)
harus diupayakan tanpa menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan maupun
menurunkan kualitas sumber daya lahan, dan sebaiknya diarahkan pada perbaikan
struktur fisik, dalam tanah, pelapukan bahan organikberjalan sangat cepat. Dengan
demikian pemberian bahan organik harus diberikan secara berulang setiap musim.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sifat fisika Ultisol?
2. Bagaimana pengelolaan Ultisol yang tepat sesuai dengan sifat fisika
tanah tersebut?
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui sifat fisika Ultisol
2. Untuk mengetahui pengelolaan Ultisol yang tepat sesuai dengan sifat
fisika tanah tersebut.
D. Manfaat
1. Manfaat bagi peneliti yaitu dapat menyelesaikan laporan akhir fisika
tanah dengan baik dan benar
2. Manfaat bagi masyarakat yaitu dapat mengetahui karakteristik Ultisol
serta pengolahan lahan Ultisol dengan baik dan benar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik Ultisol
Ultisol atau yang lebih dikenal sebagai tanah Podsolik Merah
Kuning (PMK) merupakan salah satu jenis tanah kurang subur yang
dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Ultisol dicirikan oleh adanya
akumulasi liat pada horison bawah permukaan sehingga mengurangi daya
resap air dan meningkatkan aliran permukaan serta erosi tanah.
Pemanfaatan tanah Ultisol sebagai lahan pertanian yaitu terdapat pada
sektor perkebunan kelapa sawit (Bunga Andalusia dkk., 2016)
Ultisol tergolong tanah yang tergolong miskin unsur hara. Selain
perharaannya, permasalahan lain adalah sifat fisik tanah nya juga kurang
menguntungkan. Salah satu fisik tanahnya yang menonjol yaitu tekstur
tanah yang dicirikan oleh kandungan liat yang tinggi dan debu yang
rendah. (Yulnafatmawita dkk., 2012)
Kondisi tekstur mendasari timbulnya banyaknya masalah lain pada
ultisol diantaranya masalah retensi dan transmisi air, pemadatan tanah dan
penetrasi akar. Distibusi pori yang kurang seimbang, karena didominasi
pori mikro menyebabkan aerasi yang kurang baik, laju infiltasi rendah dan
peka erosi. Kemantapan agregat dan permeabilitas tanah juga rendah
dikarenakan kandungan bahan organik yang rendah. (Yulnafatmawita
dkk., 2012)
Sifat fisika tanah dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi
tanaman adalah porositas tanah, laju infiltrasi dan permeabilitas tanah
rendah sampai sangat rendah, kemantapan agregat dan kemampuan tanah
menahan air yang rendah. Sedangkan sifat kimia tanah Ultisol yang
mengganggu pertumbuhan tanaman adalah pH yang rendah (masam) yaitu
< 5,0 dengan kejenuhan Al tinggi yaitu >42%, kandungan bahan organik
rendah yaitu <1,15%, kandungan hara rendah yaitu N berkisar 0,14%, P
sebesar 5,80 ppm, kejenuhan basa rendah yaitu 29% dan KTK juga rendah
yaitu sebesar 12,6 me/100 g. Ultisol tergolong lahan marginal dengan
tingkat produktivitasnya rendah, kandungan unsur hara umumnya rendah
karena terjadi pencucian basa secara intensif, kandungan bahan organik
rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat terutama di daerah
tropika. Ultisol memiliki permeabilitas lambat hingga sedang, dan
kemantapan agregat rendah sehingga sebagian besar tanah ini mempunyai
daya memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi. (Rusli, 2016)
Pada umumnya ultisol mempunyai potensial yang cukup besar
dalam hal penyebarannya yang cukup luas di daerah Sumatera Utara.
Ultisol mempunyai mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan
bagi perluasan lahan pertanian untuk tanaman pangan dengan tata
pengolahan lahan yang tepat. Namun kendala yang dihadapi dalam
mengolah tanah ini dan harus diperhatikan yakni sifat kimia tanah dan
sifat fisiknya. (Erwin Syahputra dkk., 2015)
Ultisol merupakan tanah yang memiliki masalah keasaman tanah,
bahan organik rendah dan nutrisi makro rendah dan memiliki ketersediaan
P sangat rendah. kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan
C-organik rendah, kandungan aluminium (kejenuhan Al) yang tinggi,
fiksasi P tinggi, kandungan besi (Fe) dan mangan (Mn) yang mendekati
batas meracuni tanaman, peka terhadap erosi. Tingginya curah hujan di
sebagian wilayah Indonesia menyebabkan tingkat pencucian hara tinggi
terutama basa-basa, sehingga basa-basa dalam tanah akan segera tercuci
keluar lingkungan tanah dan yang tinggal dalam tanah menjadi bereaksi
masam dengan kejenuhan basa rendah. (Erwin Syahputra dkk., 2015)
Bahan organik merupakan salah satu faktor pembentuk tanah yang
berperan dalam memperbaiki, mempertahankan dan meningkatkan sifat-
sifat tanah baik sifat sifat fisik tanah, kimia maupun biologi tanah mineral.
Hal tersebut disebabkan karena bahan organik setelah mengalami
pelapukan akan membentuk senyawa antara yang agak stabil dan koloid
tanah yang bersifat reaktif. Sifat koloid membuat bahan organik mampu
memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Diantara nya yang utama
terhadap sifat fisika tanah adalah membentuk dan memantapkan agregat
tanah. Tanah yang memiliki agregat yang mantap akan mampu
mempertahankan kondisi tanah dari serangan atau gangguan dari energi
luar seperti energi kinetik dari curah hujan, energi dari pengolahan tanah
dan sebagainya. Dengan demikian, laju infiltrasi tanah akan bisa
dipertahankan sehingga aliran permukaan bisa diantisipasi atau diatasi dan
kemungkinan erosi bisa terhindar. (Yulnafatmawita dkk., 2012)
Bahan organik tanah di daerah tropis basah cenderung rendah,
walaupun produksi biomasa tanaman pada tanah tersebut melimpah.
Kondisi iklim dengan suhu dan curah hujan yang tinggi dapat
menyebabkan laju pelapukan bahan organik dengan cepat. Apalagi hal
tersebut terjadi pada lahan pertanian tanaman semusim yang umumnya
tanah diolah dengan cara yang intensif. (Yulnafatmawita dkk., 2012)
Penipisan kandungan bahan organik tanah dengan waktu akan
memicu terjadinya bencana alam. Oleh karena itu, salah satu cara
mengantisipasi hal tersebut terjadi, kandungan bahan organik tanah harus
dipertahankan pada level tertentu. Bahan organik dapat membantu
memperbaiki sifat fisika tanah, seperti memodifikasi pengaruh tekstur
tanah yang berliat tinggi pada ultisol. (Yulnafatmawita dkk., 2012)
Tekstur tanah yang dominan pada Ultisol adalah liat. Tekstur liat
memiliki kapasitas yang lebih tinggi jika dibandingkan tanah bertekstur
pasir. Hal ini berkaitan dengan ukuran butir tanah yang bertekstur liat,
sehingga memiliki kemampuan menahan air lebih tinggi. Tekstur tanah
yang didominasi tekstur liat menyebakan pori mikro pada tanah lebih
mendominasi dari pada pori makro. Tekstur tanah ini dapat dipengaruhi
oleh kadar air dalam tanah pada kapasitas lapang (field capacity). (Bunga
Andalusia dkk., 2016)
Sebagian besar sub ordo tanah Ultisol di Sumatera terdiri atas
Udults dan Aquults. Adiwiganda dkk (1994) menyatakan bahwa tanah
Ultisol di wilayah Sumatera Utara terdiri atas beberapa sub grup
diantaranya adalah Typic Hapludults, Typic Paleudults, Psammentic
Paleudults, Typic Plinthudults, Typic Ochraquults, dan Typic Paleaquults,
dimana masing-masing sub grup tersebut menyebar dibeberapa lokasi
dengan ketinggian tempat yang berbeda. (Subagyo dkk., 2004)
Secara umum, sifat kimia pada sub grup Ultisol berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Tetapi untuk menentukan perbedaan dari masing-
masing sub grup tanah tersebut perlu dilakukan analisis berdasarkan
spesifik lokasi tanah itu diambil. Tanah yang tersebar di permukaan bumi
memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda. Hal tersebut
disebabkan karena adanya faktor-faktor geografis saat terjadi pembentukan
tanah. Faktor-faktor pembentukan tanah antara lain bahan induk tanah,
topografi atau relief, iklim, organisme dan waktu. (Erwin Syahputra dkk.,
2015)
Dalam sistem klasifikasi tanah USDA terbaru (1985) masih terus
dikembangkan dengan kerjasama internasional untuk kesempurnaannnya,
tanah podsolik berwarna merah-kuning secara umum masuk dalam
klasifikasi ordo Ultisol. Secara umum hal tersebut dikatakan karena pada
dasarnya nama tanah tersebut tersebut berasal dari sistem klasifikasi yang
berbeda tidak mungkin dipadankan secara langsung dan lengkap. Hal
tersebut dikarenakan setiap sistem klasifikasi menggunakan seperangkat
kriteria kelas yang berbeda. Walaupun kriterianya sama akan tetapi
hierarki penerapannya berbeda, hasil dari pembentukan kelas tanah
berbeda pula. Pada sistem FAO atau UNESCO tanah yang disebut Ultisol
terpilihkan menjadi dua satuan tanah utama, yaitu Acrisol dan Nitosol.
Acrisol ialah kelompok yang lebih buruk, sedang Nitosol ialah kelompok
yang lebih baik. (Tejoyuwono, 2006)
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah.
Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961),Ultisol
diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning(PMK). Ultisol umumnya
mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut.
Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol.
(I Putu Sujana dkk., 2015)
Dominasi Ultisol di sebagian besar wilayah Indonesia
menimbulkan masalah tersendiri dalam hal pencapaian produktivitas
pertanian dan perkebunan yang optimal. Jenis tanah ini dicirikan dengan
agregat kurang stabil, permeabilitas, bahan organik dan tingkat kebasaan
rendah. Tekstur tanah berlempung, mengandung mineral sekunder kaolinit
yang sedikit tercampur gibsit dan montmorilonit, pH tanah rata-rata 4,2-
4,8. Peningkatan produksi tanaman jagung pada ultisol tidak cukup hanya
dengan memberikan pupuk sebagai sumber hara karena pupuk tersebut
tidak akan efektif bila pH tanah masih dibawah 4,5. (I Putu Sujana dkk.,
2015)
Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena
batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi Ultisol menurut
Soil Taxonomy. Beberapa jenis Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation
< 16 cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Reaksi
Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali
Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak
masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada Ultisol dari granit,
sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara
2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg,
sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong
tinggi (>17 cmol/kg). (I Putu Sujana dkk., 2015)
Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya
peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizonseperti yang
disyaratkan dalam Soil Taxonomy. Horizon tanah dengan peningkatan liat
tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali
dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil
tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap
perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat
menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik. (I
Putu Sujana dkk., 2015)
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena
pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik
rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa
erosi. Pada tanah Ultisol yang mempunyai horizon kandik, kesuburan
alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas.(I Putu
Sujana dkk., 2015)
Pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh Ultisol, yang
dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang
atau menyimpan air yang rendah, tetapi kadar Al dan Mn tinggi. Oleh
karena itu, kesuburan Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kadar
bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan ini tererosi maka tanah
menjadi miskin hara dan bahan organik.(I Putu Sujana dkk., 2015)
Ultisol merupakan tanah basah yang berkembang di bawah iklim
panas tropika. Ultisol lebih hebat mengalami pelapukan dan lebih asam
daripada Alfisol, tetapi pada umumnya tidak lebih asam daripada
Spodosol. Ultisol mempunyai horison argilik (lempung) dengan kejenuhan
basa < 35%, horison di bawah permukaan berwarna merah atau kuning,
terdapat timbunan oksida besi bebas tetapi masih mempunyai mineral
yang dapat dilapukkan. Ultisol terbentuk di atas permukaan tanah tua,
umumnya di bawah vegetasi hutan. (Reno Setyo, 2011)

B. Pengolahan Tanah

Persoalan ketahanan pangan nasional tampaknya masih terus akan


menjadi isu strategis bagi Indonesia. Berkenaan dengan aspek kecukupan
produksi, distribusi, dan konsumsi pangan yang mempunyai dimensi
sangat luas, terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu
dari ketiga aspek tersebut merupakan implikasi dari besarnya jumlah
penduduk Indonesia yang pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai
266 juta jiwa. Hal ini memacu para pelaku usaha tani untuk meningkatkan
produksi sektor pertanian baik pangan, hortikultura, perkebunan,yang
salah satunya melalui perluasan lahan pertanian dengan memanfaatkan
lahan hutan dengan ord0 Ultisol.(Mahfudz, 2001)
Pemanfaatan Ultisol sebagai lahan pertanian yaitu terdapat pada
sektor perkebunan kelapa sawit. Provinsi Aceh merupakan wilayah yang
terdapat Ultisol cukup luas di Sumatera, sehingga dimanfaatkan dalam
perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di Aceh tersebar di
beberapa kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Aceh Utara. (Bunga
Andalusia dkk., 2016)
Pengolahan tanah yang intensif telah menyebabkan peningkatan
oksidasi bahan organik dalam tanah serta pelepasan gas CO2 ke udara.
Penipisan kandungan bahan organik tanah dengan waktu akan memicu
terjadinya bencana alam. Oleh sebab itu, salah satu usaha untuk
mengantisipasi terjadinya bencana alam, kandungan BO tanah haruslah
dipertahankan pada level tertentu. Bahan organik mampu memperbaiki
sifat fisika tanah, seperti memodifikasi pengaruh tekstur yang berliat tinggi
pada Ultisol. (Bunga Andalusia dkk., 2016)
Berbagai jenis sumber bahan bisa ditambahkan ke dalam tanah.
Pemilihan salah satu bahan organik yang diplikasikan sangat tergantung
pada keberadaan atau ketersediaan dari bhan organik tersebut, apakah
dalam bentuk pupuk kandang, kompos, sisa tanaman, ataupun bahan segar
tanaman yang masih hijau. Diantara sumber tersebut bahan organik segar
kelihatannya akan lebih efisien karena bisa langsung diproduksi pada
lahan pertanian. (Bunga Andalusia dkk., 2016)
Peningkatan produktivitas Ultisol dapat dilakukan dengan
menaikkan pH tanah sekaligus menambahkan hara kalsium. Bahan kapur
merupakan pengendali kemasaman tanah yang paling tepat karena
reaksinya berlangsung cepat dan menunjukkan perubahan kemasaman
tanah yang sangat nyata. (Rusli Alibasyah, 2016)
Pemberian kapur setara 1x Al-dd dapat menaikkan pH dari 4,5-5,0
menjadi 5,3-5,4 dan menurunkan kejenuhan Al < 30%. Apabila pemberian
kapur setara 2x Al-dd dapat menaikkan pH hingga 5,9-6,0 dan kejenuhan
Al turun hingga 3-5%. Kondisi tersebut cocok untuk semua jenis tanaman
pangan. (Rusli Alibasyah, 2016)
Ultisol mengandung berbagai kendala berat untuk budidaya
tanaman yang saling berkaitan. Hal ini menuntut penanganan lahan
serentak. Menyelesaikan masalah tanpa menghiraukan yang lain justru
dapat menimbulkan persoalan yang lebih berat. Segala persoalan yang
muncul dalam Ultisol bersumber pada sejarah pembentukannya.
(Tejoyuwono, 2006)
Pada umumnya tanah Ultisol mempunyai potensi yang cukup besar
dalam hal sebarannya yang cukup luas di daerah Sumatera Utara. Tanah
Ultisol mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan bagi
perluasan lahan pertanian untuk tanaman pangan asal dibarengi dengan
pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. penggunaan lahan kering untuk
usaha tani tanaman pangan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi
saat ini seluas 12,9 juta ha, sehingga bila dibandingkan dengan potensinya
maka masih terbuka peluang untuk pengembangan tanaman pangan.
Namun demikian, kendala yang dihadapi pada tanah ini harus tetap di
perhatikan terutama pada sifat kimia tanah dan fisiknya.(Erwin Syahputra
dkk., 2015)
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan tempat


Pelaksanaan praktikum Fisika Tanah dilaksanakan pada hari Selasa,
dimulai pada tanggal 03 September sampai dengan tanggal 29 Oktober 2019, yang
dilaksanakan pukul 13.30 sampai dengan selesai di Laboratorium Fisika Tanah,
Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.

3.2 Bahan dan alat


3.2.1 Permeabilitas
Bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum adalah sampel tanah, air,
Constant head permeameter, stopwach dan penggaris.
3.2.2 BV, TRP , %KA
Bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum adalah sampel tanah utuh
(BV dan TRP), sampel tanah terganggu (% KA), oven (suhu 1050C), timbangan
analitik, cawan perselen, dan kertas label.
3.2.3 Stabilitas Agregat
Bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum adalah sampel tanah,
timbangan, ayakan kering (8 mm, 4,7 mm, 2,8 mm, 2,00 mm), ayakan basah (4,75
mm, 2,80 mm, 2,00 mm, 1 mm, 212 mesh, 100 mesh, 53 mesh).
3.2.4 Indeks Plastisitas
Bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum adalah sampel tanah,
perangkat ketuk untuk menetapkan batas cair dan pembuat alur spatula,
timbangan dengan sentivitas 0,01 gram, botol semprot, gelas plastik, lempeng
kaca, dan cawan aluminium.
3.2.5 Tekstur
Bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum adalah sampel tanah,
larutan H2O2 (10%), H2O2 (30%), peptisator ( Na-hexametapospat), larutan HCL,
aquades, gelas piala, hotplate, ayakan 500 mesh, tabung shaker, dan silinder kaca.

3.3 Metode
3.3.1 Permeabilitas
Metode yang digunakan adalah Constant Head Permeameter, dimana
metode ini memiliki prinsip mempertahankan tekanan air agar tetap, sehingga
percobaan dilakukan dengan mempertahankan perbedaan tinggi muka air agar
tidak berubah selama percobaan.
3.3.2 BV, TRP, %KA
Metode yang digunakan adalah Gravimetri, dimana metode ini merupakan
metode yang paling sederhana, yang mencakup pengukuran kehilangan air dengan
menimbang contoh tanah sebelum dan sesudah dioven dengan suhu 1050C.
3.3.3 Stabilitas Agregat
Metode yang digunakan adalah metode ayakan basah dan metode ayakan
kering, metode ini disebut juga dengan metode ayakan ganda, karena
menggunakan dua ayakan yang berbeda yaitu ayakan basah dan ayakan kering,
dimana pengayakan kering dilakukan sebelum melakukan ayakan basah.
3.3.4 Indeks Stabilitas
Metode yang digunakan adalah metode Casa Grande, metode ini
melibatkan gaya kohesi pada tanah dengan konsistensi tanah 170kpa, yang
disertai dengan pengukuran batas plastis.
3.3.5 Tekstur
Metode yang digunakan adalah pipet dan ayakan, metode ayakan
merupakan metode langsung pengambilan contoh partikel tanah dari dalam
suspensi dengan menggunakan pipet pada kedalaman dan waktu tertentu, metode
pipet menggunakan natrium yang bersifat mampu mendispersikan atas
memecahkan partikel tanah.

3.4 Cara kerja


3.4.1 Permeabilitas
Sampel ring direndam selama 1×24 jam sebelum praktikum di
laboratorium, saat dilakukan perendaman sampel dipastikan bahwa bagian bawah
atau bagian ring yang tajam yang direndam. Perendaman ring diletakkan pada
wadah yang datar dan berisi air setinggi 1/3 dari tinggi ring sampel. Perendaman
ini ditujukan untuk menjenuhkan sampel terlebih dahulu. Setelah dilakukan
perendaman ring sampel dipasangkan pada alat constan head permeameter,
setelah terpasang dengan rapi dan benar dialirkan air pada alat tersebut selama 15
menit dan disambungkaan pula botol pada ring sampel yang telah terpasang untuk
bertujuan untuk menampung air yang mengalir dari alat tersebut, dan dicatat hasil
dari air yang tertampung pada botol.
3.4.2 BV, TRP, %KA
Pada pengukuran BV digunakan sampel ring utuh, dimana ring sampel
dimasukkan pada oven dengan suhu 1050C selama 2×24 jam, setelah itu diambil
sampel dan didinginkan pada alat desikator, kemudian ditimbang sampel untuk
mendapatkan berat kering dari sampel tersebut, setelah itu dibersihkan ring dari
tanah dan ditimbang pula berat dari ring, selanjutnya dikurangkan berat dari
penimbangan sampel dengan berat dari ring untuk mendapatkan berat kering
sampel yang sebenarnya, dan dicatat hasil. Untuk mendapatkan hasil dari nilai BV
dicari terlebih dahulu volume total dari sampel ring kemudian dimasukkan dalam
rumus.
Pada pengukuran nilai TRP, digunakan sampel yang sama saat melakukan
pengukuran BV, setelah diperoleh nilai BV maka untuk didapatkannya nilai dari
TRP dimasukkan ke dalam rumus dan catat hasilnya.
Pada pengukuran nilai %KA digunakan sampel tanah terganggu yang telah
diayak dengan ukuran 2 mm, setelah itu ditimbang tanah sebanyak 10 gram dan
didinginkan kedalam cawan porselen dan di masukkan ke dalam oven dengan
suhu 1050C selama 2×24 jam. Setelah itu diambil sampel dan dinginkan pada
desikator dan ditimbang sampel untuk mendapatkan bobot keringnya yang
dikurangkan dengan berat cawan, dan dicatat hasilnya.
3.4.3 Stabilitas Agregat
Pertama dilakukan pengayakan kering pada sampel tanah yang ditimbang
sebanyak 500 gram, kemudian dimasukkan sampel pada ayakan yang telah
disusun terlebih dahulu dari ukuran 8 mm, 4,75 mm, 2,8 mm, 2 mm. Selanjutnya
dilakukan penshakeran selama 5 menit, setelah itu sisa-sisa tanah pada masing-
masing ayakan diambil dan ditimbang lalu di masukkan sisa dari masing-masing
ayakan tersebut pada kotak pop ice yang berbeda pula. Lalu dijenuhkan sampel
pada kotak pop ice tadi selama 1×24 jam.
Setelah itu dilakukan pengayakan basah, dimana sampel tanah dari ayakan
kering tadi dimasukkan pada ayakan yang telah disusun pula dari 4,75 mm, 2,80
mm, 2 mm, 1 mm, 212 mesh, 100 mesh, dan 53 mesh, setelah ayakan tersusun di
bawahnya dipasang penampung, kemudian ayakan dipasangkan pada alat shaker
yang dialiri air selama proses pengayakan, pengayakan dilakukan selama 15
menit. Setelah itu diambil 10 gram dari masing-masing sampel pada ayakan dan
dimasukkan pada cawan yang berbeda.
3.4.4 Indeks Plastisitas
Pada pengukuran batas cair, ditimbang sampel tanah sebanyak 100 grm
dengan ukuran 2 mm, kemudian dimasukkan pada cawan welle dan diratakan
permukaannya. Setelah itu diberi batas pada cawan secara vertikal menggunakan
alat, lalu dihitung waktu dentuman dari alat tersebut sampai tanah yang diberi
batas tadi kembali menyatu dengan catatan jika waktu ketukan ke ≤ 15 tanah
menyatu maka sampel ditambah dengan tanah, tetapi jika ketukan ≥ 35 maka
sampel ditambah dengan air, selanjutnya diambil tanah dari cawan welle tersebut
sebanyak 10 gram dan di masukkan kedalam oven dengan suhu 1050C.
Pada pengukuran batas plastis, ditimbang tanah masing-masing sebanyak
15 gram yang berukuran 2 mm, kemudian sampel dimasukkan pada tiga kotak
pop ice, selanjutnya pada masing-masing sampel ditambah aquades dengan tiga
perlakuan (sedikit, sedang, basah) dengan cara disemprotkan. Setelah itu diambil
masing-masing dari sampel yang telah diberi aquades dan dilakukan
penggulungan tanah sampai berbentuk seperti cacing sampai tanah menjadi remah
atau putus. Kemudian diambil sebanyak 8 gram dari masing-masing sampel tadi
dan dimasukkan ke dalam cawan dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
1050C.
3.4.5 Tekstur
Dimasukkan sampel tanah berukuran 2 mm dengan berat 10 gram kedalam
gelas piala dan ditambahkan H2O2 10 % sebanyak 50 ml dan didiamkan selam
1×24 jam, lalu pada hari berikutnya ditambahkan lagi H2O2 30% sebanyak 25 ml,
lalu sampel dipanaskan dengan hot plate sampai buih menghilang dan
ditambahkan 180 ml aquades dan HCL sebanyak 20 ml kemudian panaskan lagi
selama 10 menit. Setelah itu dicukupkan dengan aquades hingga 500 ml sampai
mengendap (dilakukan endap tuang sebanyak 3 kali) pada endap tuang yang ke
empat dicukupkan lagi dengan 500 ml aquades lalu ditambahkan peptisator
sebanyak 10 ml.
Langkah selanjutnya adalah sampel dituangkan pada ayakan berukuran
500 mesh yang dibawahnya dipasang penampung yang berguna untuk
menampung pasir, kemudian pasir yang tertampung dimasukkan kedalam cawan
dan dioven selama 1×24 jam.
Sedangkan air yang tertampung mengandung debu dan liat, dimana hasil
tampungan air ini dimasukkan pada tabung shaker yang muncuk tabungnya
ditutup dan dilakukan penshakeran selama 5 menit. Kemudian dimasukkan
kedalam silinder kaca dan pipet debudan liat sebanyak 20 ml, lalu ditunggu
selama 3 jam dan dilakukan pemipetan kembali untuk memipet liat, kemudian
sampel dioven selama 1×24 jam, lalu ditimbang dan dicatat hasilnya.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Parameter
No Lahan BV(gr/ Permebilitas Indeks Stabilitas Tekstur(%)
TRP(%) KA(%)
cm³) (cm/jam) plastisitas Agregat Pasir Debu Liat
1 Salak 0,925 65,1 28,534 1,968 34,068 310,559 26,65 20,3 53,02
2 Kakao 0,94 64,5 22,85 3,171 24,91 62,89 20,83 31,56 47,6
3 Campuran 0,982 63 24,069 2,51 23,68 89,28 15,53 36,64 47,81
4 Semak 0,656 62,41 24,07 0,087 18,8 224,049 20,46 3,96 75,56

4.2 Pembahasan

4.2.1 Permeabilitas

Berdasarkan praktikum mengenai permeabilitas yang telah dilakukan di


laboratorium didapatkan hasil yang tertera di atas. Percobaan dilakulan dengan
menggunakan sampel tanah dengan lahan yang ditumbuhi vegetasi berbeda-beda
sehingga didapatkan nilai yang berbeda-beda pula.
Percobaan terhadap permeabilitas ini dilakukan pada waktu yang sama pada
setiap sampel tanah bervegetasi berbeda. Didapatkan air yang tertampung dan
dapat diloloskan oleh tanah yang ditumbuhi vegetasi salak dan cacao tidak jauh
berbeda nilainya hal ini bisa disebabkan karena tanah memiliki tesktur cukuap
berpasir sehingga mudah meloloskan air yang masuk ke dalam tanah.
Percobaan pada tanah yang ditumbuhi vegetasi semak belukar, didapatkan
nilai yang jauh berbeda dengan tanah lainnya, nilai permeabilitas tanah tersebut
sangat rendah yang berarti bahwa tanah ini memiliki kemampuan melolosakn air
sangat kecil yaitu 0,0811 cm/jam dengan jumlah air yang tertampung sebanyak
0,8 ml. Percobaan ini menggunakan metode Constant Head Permeameter.
Permeabilitas yang rendah padatanah yang bervegetasi semak belukar ini
disebabkan karena adanya beberapa faktor yaitu terkstur, porositas, struktur,
gravitasi dan viskositas.
Tanah yang ditumbuhi semak belukar sendiri memiliki tesktur liat sehingga
memiliki pori mikro lebih banyak dibandingkan pori makro. Hal tersebut
memnyebabkan tanah mengalami kesulitan dalam meloloskn air saat penyerapan
air ke dalam tanah. Hal ini hampir sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh
Ultisol. Tanah yang dtumbuhi vegetasi dengan pori halus akan memiliki lebih
banyak pori mikro.

4.2.2 BV, TRP, KA

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan mengenai pengukuran berat


volume, total ruang pori, kadar air tanah didapatkan hasil pada tabel di atas. Berat
volume tanahyang didapatkan berdasarkan percobaan pada sampel tanah yang
ditumbuhi berbagai varietas tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Hal
tersebut menandakan bahwa kandungan bahan mineral dari setiap sampel tanah
yang digunakan hampir sama. Tetapi jika diambil sampel yang paling banyak
mengandung mineral adalah sampel tanah bervegetasi cacao dengan berat volume
1,0305 g/cm3 karena berat volume dari sampel tersebut yang paling besar
nilainya. Acuan yang digunakan dari perhitungan merupakan berat jenis dari
tanah mineral, maka semakin besar jumlah berat volume dari sampel tanah maka
semakin besar atau banyak pula kandungan mineral pada tanah tersebut.
Tekstur tanah seperti liat, lempung, dan pasir dapat ditentukan melalui
persentase total ruang pori. Total ruang pori pada tanah yang mengandung banyak
liat akan memliki nilai total ruang pori yang kecil karena struktur liat yang sangat
kecil mengisi pori-pori tanah. Sehingga menutupi semua ruang pori pada tanah.
Contohnya pada tanah bervegetasi kakao yang memiliki persen TRP paling kecil,
hal ini berarti bahwa dari semua sampel yang ada, tanah inilah yang memiliki
kandungan mineral paling banyak. Hal ini juga didukung oleh nilai berat volume
tanah tersebut. Sedangkan pada tanah yang ditumbuhi vegetasi salak memiliki
kandungan persen TRP yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa tanah tersebut
tidak mengandung terlalu banyak liat atau mineral.
Kadar air tanah merupakan jumlah air yang dapat dipanaskan dengan
mengggunakan oven yang bersuhu 105°C sampai didaptakan berat kering mutlak
tanah yang tetap. Hasil pengukuran kadar air dari tanah yang bervegetasi semak
belukar yaitu 24,07%. Hal ini menandakan bahwa kemampuan tanah untuk
menahan air kurang baik karena tanah memiliki pori-pori yang banyak, porositas
tinggi serta kandungan bahan organik yang tinggi juga. Semakin tinggi
perbandingan kadar air dari total ruang pori berarti tanah tersebut mengandung
banyak bahan organik. Tanah yang paling banyak mengandung bahan organik
adalah tanah bervegetasi salak karena perbandingan kadar air sampel tanah
dengan total ruang porinya. Semakin besar persentase perbandingan kadar air
dengan total ruang pori tanah maka tanah tersebut dapat dikatakan subur. Namun
pada hasil yang didapatkan kurang tepat atau sesuai, hal ini bisa disebabkan
ketidakseriusan atau kurang teliti dalam melakukan percobaan.

4.2.3 Stabilitas Agregat

Stabilitas agregat didapatkan hasil seperti tabel di atas. Stabilitas


agregatini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengolahan tanah,
aktivitas mikroorganisme yang ada dalam tanah, serta pemakaian penutupan tajuk
tanman pada permukaan tanah yang dapat menghindari Splash Erotion akibat
curah hujan yang tinggi.
Pada praktikum kali ini ditentukan pengujian kemantapan agregat
tanah pada lahan dengan vegetasi yang berbeda-beda. Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan, didapatkan nilai stabilitas agregat pada tanah bervegetasi
salak dan semak belukar yaitu 310,559 dan 224,049 dengan kriteria sangat mantap
sekali.hal ini menandakan bahwa tanah tersebut memiliki kandungan bahan
organik yang cukup banyak. Hasil percobaan inijuga menandakan bahwa
pemberian pupuk pada tanah juga berpengaruh terhadap kandungan bahan organik
dalam tanah karena tanah yang diambil pada lahan yang sudah dijadikan lahan
percoban.
Pada tanah yang dtumbuhi vegetasi kakao dan cmpuran didapatkan hasil
indeks kemantapan agregat sebesar 62,89dan 89,28 dengan kriteria agak mantap
dan sangat mantap. Hal ini terjadi karena faktor vegetasi yang menempati lahan
tersebut serta kandungan bahan organik yang berbeda-beda. Tanah yang memiliki
kandungan bahan organik yanng cukup banyak akan meiliki sifat tanah yang baik
seperti paa agregat tanah yang sangat mantap sekali. Bahan organik juga dpat
memperbaiki sifat fisik tanah dan berfungsi sebagai bahan perekat untuk
terbentuknya agregat tanah dan memantapkan agregat tanah.
Berdasarkan literatur yang telah dibaca, didapatkan bahwa Ultisol
merupakan tanah yang mempunyai sifat fisika yang kurang menguntungkan,
diantaranya kandungan bahan organik dan stabilitas aggregat tanah yang rendah,
serta permeabilitas yang lambat.
4.2.4 Indeks Plastisitas
Indeks plastisitas dipengaruhi oleh beberapa aktir diantaranya kandungan
bahan organik, kadar air dalam tanahdan kandungan liat yang terkandung di
dalam tanah. Berdsarkan hasil yang telah didapatkan setelah dilakukannya
pengujian didapatkan indeks plastisitas tanah yang ditumbuhi vegetasi berbeda
juga berbeda-beda.
Pada lahan yang ditumbuhi vegetasi salak didapatkan batas cair senilai
85,87 dan batas plastisnya 51,802 dan indeks plastisitas sebesar 34,068 dengan
kriteria sangat tnggi. Pada tanah bervegetasi kakao didaptkan nilai batas cair yaitu
44,85, batas plastis 19,94 dengan indeks plastisitas 24,91 menempati kriteria
tinggi. Tanah bervegetasi camuran didapatkan nilai batas cairnya sebesar 73,31,
batas plastis sebesar 49,63 dan indeks plastisitas 23,68 dengan kriteria tingg juga.
Selanjutnya tanah yang bervegetasi semak belukar didapatkan nilai batas cairnya
sebesar 69,70, batas plastis sebesar 50,942 dan indeks plastisitas sebesar 18,758
dengan kriteria tinggi.
Hal tersebut di atas daopat terjadi dikarenakan oleh beberapa hal. Pada
sampel dengan kriteria indeks plastisitas sangat tinggi yaitu pada tanah
bervegetasi salak dikarenakan pada tanah tersebut memiliki kandungan bahan
organik yang tinggi, kadar air tanah yang baik dan kandungan liatnya juga banyak
sehingga tanah tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam mempertahankan
bentuknya. Tanah ini juga tergolong bertekstur liat karena kemampuannya
mempertahankan bentuknya sangat baik.
Tanah yang memiliki tekstur berpasir, plastisitas tanahnya sangatlah kurng
karena ikatan antar partikel tanah yang tidak terlalu baik dan plastisitas yang
paling baik adalah tanah dengan tekstur liat karena mempunyai ikatan yang angat
baik. Pada pengujian indeks plastistas di laboratorium terjadi beberapa kendala
diantaranya pada saat pengujian batas cair, ketukan pada cawan welle didapatkan
lebih dari 35 namun tanah belum dapat menyatu meski sudah ditambahkan air
sehingga dilakukan beberapa kali pengulangan.
Berdasarkan liteatur yang telah dibaca, indeks plastisitas Ultisol adalah
34,54% dan itu lebih tinggi dari pada indeks plastisitas Entisol 21,29%. Hal ini
sesuai dengan indeks plastisitas Ultisol di lahan percobaan Universitas Andalas
dengan vegetasi salak yaitu 34,069%. Faktor yang mempengaruhi indeks
plastisitas tanah diantaranya kandungan bahan organik tanah, penambahan pupuk
kandang atau pupuk hijau pada tanah yang dapat menurunkan indeks plastisitas
tanah apabila diberikan secara berlebihan. Namun pada sampel tanah yang
digunakan untuk percobaan tampak faktor yang mempengaruhi indeks plastisitas
tanah adalah kandungan bahan praktikum dalam tanah, jumlah kandungan kadar
air dalam tanah serta kandungan liat pada setiap lahan tersebut.
4.2.4 Tekstur

Tanah terdiri dari butiran-butiran yang berbeda baik dalam ukuran maupun
bentuk. Besarnya partikel tanah relative sangat kecil biasanya diistilahkan dengan
tekstur. Tekstur menunjukkan sifat halus dan kasarnya butiran-butiran tanah.
Tekstur tanah dapat diartikan sebagai perbandingan relative (proporsi) dari
komposisi fraksi-fraksi penyusun tanah. Fraksi tersebut antara lain fraksi pasir
(sand), fraksi debu (silt), dan fraksi lempung atau liat (clay).
Dalam penentuan kelas tekstur tanah pada praktikum ini digunakan sampel
tanah pada empat lahan dengan vegetasi yang berbeda yaitu salak, kakao,
campuran dan semak belukar. Pada praktikum pengujian tekstur digunakan
metode kuantitatif dengan metode pipet dan ayakan yang dapat memperjelas hasil
dari penetapan tekstur.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil penetapan
tekstur seperti pada tabel di atas. Tanah dengan vegetasi salak memiliki kadar
fraksi pasir 26,65%, fraksi debu 20,316% dan fraksi liat 53,027%. Selanjutnya
pada tanah yang ditumbuhi vegetasi kakao memiliki kadar fraksi pasir 28,831%,
fraksi debu 31,5625% dan fraksi liat sebanyak 97,60%. Tanah yang ditumbuhi
vegetasi campuran memiliki kadar fraksi pasir 15,921%, fraksi debu 36,64% dan
fraksi liat 47,819%. Pada tanah yang ditumbuhi vegetasi semak belukar memiliki
kadar fraksi pasir 20,468%, fraksi debu 3,966% dan fraksi liat sebesar 75,56%.
Pada masing-masing sampel tanah dengan berbagai vegetasi menempati kelas
tekstur liat karena masing-masing sampel memiliki kadar fraksi liat yang tinggi.
Sifat-sifat fisika tanah banyak bersangkutan dengan kesesuaian tanah untuk
berbagai penggunaan.
Tanah dengan vegetasi salak memiliki kadar fraksi pasir 20,65%, fraksi
debu 20,316% dan fraksi pasir 53,027%. Hal tersebut menunjukkan tanah
bervegetasi salak memiliki tekstur liat yang memiliki ciri-ciri seperti bersifat
lengket atau liat dan membentuk gumpalan, ketika tanah kering karena kandungan
jenis mineral lempung yang terkandung dalam tanah tersebut banyak.
Tanah yang ditumbuhi vegetasi kakao memiliki kadar fraksi pasir sebanyak
28,831%, fraksi debu 31,5625% dan fraksi liat 97,60%. Tanah ini menempati
kelas tekstur liat dengan ciri-ciri yang sama dengan tanah bervegetasi salak.
Tanah dengan vegetasi campuran memiliki kadar fraksi pasir sebanyak 15,923%,
fraksi debu 36,64% dan fraksi liat 47,819%. Dapat dilihat pada segitiga tekstur
tanah ini menempati kelas tekstur liat begitu pula dengan tanah yang ditumbuhi
vegetasi semak belukar dengan kandungan fraksi pasir 20,468%, fraksi debu
3,966% dan fraksi liat 75,56%. Dapat dilihat bahwa fraksi pasir lebih tinggi dari
pada fraksi debu dan fraksi liat lebih tinggi dari pada fraksi debu dan pasir.
Hal di atas dipengaruhi oleh sistem perakaran dari vegetasi yang tumbuh
pada tanah tersebut. Semakin banyak perakaran perakaran yang terdapat dalam
tanah maka penyerapan air juga semakin tinggi dan menyebabkan kadar air tinggi
dan tekstur akan semakin liat.
Berdasarkan literatur yang telah dibaca, tanah di lahan percobaan
Universitas Andalas merupakan jenis Ultisol. Ciri morfologi yang penting pada
jenis tanah ini adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada
horizon seperti yang dinyatakan pada Soil Taxonomy. (Soil Survey, 2003)
Peningkatan fraksi liat ini terjadi pada horizon argilik yang kaya akan Al.
Pada horizon argilik perkembangan akar tanaman tidak akan menembus horizon
tersebut dan hanya akan berkembang di atas horizon argilik saja. (Suhardi dkk.,
1993)

Anda mungkin juga menyukai