Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HTN

Topik : Sengketa Antar Lembaga Negara

BAB I PENDAHULUAN
(Deskripsi topik yang ditulis secara singkat serta permasalahannya)

Lembaga negara adalah lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan atas Undang-Undang


Dasar NRI 1945 , Undang-Undang , Peraturan Presiden atau oleh peraturan yang lebih rendah. Lembaga
Negara atau yang umumnya disebut dengan lembaga pemerintahan atau "Civilizated Organization"
tersebut dibuat oleh negara, dari negara dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun negara
itu sendiri untuk kesejahteraan seluruh rakyat yang ada di negara itu. Amandemen UUD 1945 tidak
hanya merubah dan menambah butir-butir ketentuan di dalamnya. Namun, amandemen tersebut
mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan antara beberapa Lembaga negara,
penghapusan Lembaga negara tertentu dan pembentukan Lembaga-lembaga negara baru. (Jimly
Asshiddiqie, “Konstitusi dan Amandemen Konstitusi”, (Makalah disampaikan pada Kuliah
Umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 29 April
2006), hlm. 14.) Hal tersebut memang dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
penyelenggaaraan negara agar lebih demokratis dan penyempurnaan prinsip checks and balances.
Hubungan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain diikat oleh prinsip checks and
balances, di mana lembaga-lembaga tersebut diakui sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama
lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam
melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.
Beberapa persoalan yang terjadi pada lembaga negara seringkali lembaga negara disalah artikan sebagai
alat politik di dalam pemerintahan. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ
tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah
diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan
melalui proses peradilan tata negara, yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri dengan nama
Mahkamah Konstitusi. (Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,
(Jakarta: Konpress, 2005)., hlm. 2..) Hal ini juga sesuai dengan latar belakang dibentuknya
Mahkamah Konstitusi, yakni sebagai akibat amandemen UUD 1945 yang menyebabkan bertambahnya
lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sehingga potensi sengketa Lembaga negara menjadi
semakin banyak. Menurut I Dewa Gede Palguna, memang lazimnya diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi, karena lembaga negara inilah yang memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of constitution). Bahkan, kewenangan demikian harus dianggap ada, walaupun konstitusi
tidak secara tegas menyatakannya.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi sendiri termaktub dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945
yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasan kehakiman. hal ini
bisa ditarik kesimpulan bahwa Mahmakah Konstitusi merupakan suatu lembaga peradilan sebagai
cabang kekuasaan yudisiil yang memiliki prinsip independent sesuai dengan pasal 1 (1) UU 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik IndonesiaPasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
. adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
merupakan suatu harapan bagi .

BAB II PEMBAHASAN
(Analisa/pembahasan topik yang ditulis berdasarkan peraturan perundang-undangan)

PEMBAHASAN

Lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia dimulai dengan adanya ide Constitutional Court dalam
perubahan UUD 1945. Perkembangan ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Oleh karena itu, salah satu
ketentuan baru yang sangat penting dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 ini adalah adanya ketentuan
mengenai Mahkamah Konstitusi yang dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1) sampai dengan ayat (6).
Dalam sistem ketatanegaraan yang diadopsikan dalam UUD setelah amandemen sendiri mekanisme
hubungan antarlembaga negara bersifat horizontal, tidak lagi bersifat vertikal.(2) Hubungan antara satu
lembaga dengan lembaga lainnya diikat oleh prinsip check and balances, dimana lembaganegara satu
dengan lembaga negara lain mempunyai kedudukan yang sedarajat dan saling mengendalikan
diantaranya.

Kata lembaga negara sendiri termuat dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur
tentang kewenangan MK, dimana satu diantaranya adalah”memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal
tersebut diulangi lagi dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK. Dari ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD NRI Tahun 1945 belum
dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai
lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945. Ada kalanya
penyebutan dalam UUD NRI Tahun 1945 merupakan penugasan kepada pembuat undang-undang untuk
membentuk lembaga negara tersebut yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung
jawabnya dalam satu undang- undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara
yang memperoleh kewenangannya dari undang-undang. Secara definitif, lembaga negara adalah
institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Sedangkan secara
konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara adalah selain untuk menjalankan fungsi
negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga
itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka
penyelenggaraan fungsi negara.(1)

Berdasarkan uraian secara singkat terkait dengan lahirnya MK diatas terdapat sekurang-kurangnya dua
hal pemikiran yang melatarbelakangi dibentuknya MK itu sendiri yaitu: pertama, ada kekosongan
hukum atau tepatnya kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. Kedua, kekosongan peraturan perundang-undangan yang
berkenaan dengan kemungkinan timbulnya konflik kewenangan diantara lembaga negara yang ada.
Terkait dengan materi dalam pembahasan ini akan dititikberatkan pada kemungkinan timbulnya konflik
kewenangan antar-lembaga negara yang ada bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti apabila lembaga
negara yang ada bertindak tidak proporsional dalam melaksanakan kewenangannya, atau bertindak
melebihi kewenangan yang dimilikinya, sehingga melampaui batas kewenangan yang telah ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua, dalam kerangka checks and balances system ,
timbul sebagai akibat dari terjadinya perbedaan interpretasi atas kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga negara, baik yang digariskan oleh UUD NRI 1945 ataukah berdasarkan
peraturan perundang-undangan lainnya. Ketiga, timbulnya kepentingan politik yang berbeda diantara
lembaga negara yang satu dan lembaga negara yang lainnya

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri tidak menyebutkan atau
menjelaskan tentang lembaga negara apa saja yang dimaksud dengan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar itu. Sehingga dalam hal ini dapat mengundang
beberapa penafsiran yang berbeda. Oleh karena itu, untuk membatasi lembaga negara sebagai Pemohon
maupun sebagai Termohon dalam sengketa konstitusional lembaga negara (SKLN), Mahkamah
Konstitusi telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 08/PMK/2006 tentang
Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Perubahan UUD 1945 Pasal 24 (3)menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata
usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi,
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah
badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah.27

Mahkamah Agung dalam arti luas sebenarnya memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus
(a) permohonan kasasi; (b) sengketa kewenangan mengadili (kompetensi pengadilan); (c) permohonan
peninjauan kembali (PK) putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tepat; dan (d)
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review).

Adanya kewenangan MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara adalah untuk menyelesaikan
perselisihan hukum atas suatu kewenangan lembaga negara. Artinya, esensi kewenangan konstitusional
MK untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara dalam perimbangan kekuasaan lembaga
negara merupakan suatu fungsi kontrol dari badan peradilan terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh
lembaga negara yaitu dengan menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan lembaga negara
sesuai proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur menurut UUD NRI Tahun 1945.(4)

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan Oleh


UUD NRI Tahun 1945

1. Objectum Litis dan Subjectum Litis Perkara SKLN Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah telah
menyatakan pendiriannya sejak Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 antara lain menyatakan:

‘’Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan
lembaga negara harus mempertimbangkan adanya hubungan erat antara kewenangan dan lembaga yang
melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam menetapkan apakah Mahkamah berwenang
untuk memeriksa permohonan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan
secara langsung pokok yang dipersengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga negara yang
mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada lembaga negara tersebut kewenangan itu diberikan,
sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal standing Pemohon
yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo.(5)

Kata “lembaga negara” yang terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengharuskan
MK menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara dalam pasal tersebut (subjectum litis).
Sehingga MK berlandaskan pada beberapa uraian dalam pertimbangan hukumnya bahwa kewenangan
Mahkamah adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, maka yang pertama-tama dilakukan oleh MK adalah harus diperhatikan
adanya kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa
kewenangan- kewenangan tersebut diberikan.18 Karena kewenangan sifatnya terbatas dan untuk
sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi
terkait dengan kewenangan yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan
nama apapun berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan kewenangannya yang
diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Rumusan “sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” mempunyai maksud bahwa hanyakewenangan
yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 saja yang menjadiobjectum litis dari sengketa dan MK
mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar
kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila
ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis “kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar”, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus.

2. Kewenangan Lembaga Negara Yang Diberikan Oleh UUD NRI Tahun 1945 Dan
Kategorisasi Lembaga Negara Yang Dapat Bersengketa Dalam Perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara

Untuk dapat mengetahui lembaga negara mana yang dapat menjadi pihak dalam perkara
sengketa kewenangan lembaga negara, maka perlu diperhatikan maksud dari perumus
perubahan UUD 1945 mengenai pasal yang mengatur hal tersebut (original intent). Pada awal
pembahasan Panitia Ad Hoc I MPR masa sidang Tahun 1999 - 2000, usul yang muncul pertama
kali bukan sengketa antar-lembaga negara, melainkan sengketa antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Usul tersebut sempat dimunculkan pada Rapat Pleno ke-41 tanggal 8 Juni
2000 oleh Soetjipto dari F-UG (Utusan Golongan), Ia mengusulkan dalam Rapat tersebut
bahwa:

‘’MK fungsinya bukan hanya untuk hak uji UU, tetapi MK di negara lain juga mengadili
persengketaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan juga mengadili
persengketaan adanya pembubaran partai politik dan juga mengadili apabila ada persengketaan
pemilu F-UG menganggap perlunya suatu MK. Untuk konkritnyaakan saya bacakan mengenai
Pasal-pasal. Pasal berikutnya yaitu mungkin menjadi Pasal 25. Ayat (1), MK mempunyai
kewenangan-kewenangan sebagai berikut: 1.Menguji undang-undang atas permintaan
pengadilan. 2.Mengadili Pembubaran partai politik. 3.Mengadili persengketaan antara instansi
Pemerintah Daerah dan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. 4.Mengadili
adanya suatu pertentangan undang-undang.’’(6)

Pada rapat-rapat PAH I BP MPR 2000, usulan mengenai sengketa antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah kemudian menjadi usulan kewenangan dalam penyelesaian sengketa antar-
lembaga negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dan antara Pemerintah Daerah.

Perdebatan yang muncul kemudian adalah batasan dari sengketa yang dapat diajukan ke MK.
Mengenai hal tersebut, AsnawiLatief dari F-PDU Rapat Pleno Ke-35 PAH I BP MPR, 25
September 2001 menyampaikan, persengketaan yang dapat diajukan ke MK adalah
persengketaan antar-lembaga negara dalam rangka menjalankan peraturan perundang-
undangan. Ia menyampaikan bahwa:

‘’Pasal 24A itu yang menyangkut hak uji materiil peraturan perundang- undangan itu kita
limpahkan kepada MK, di samping dia mempunyai wewenang terhadap putusan atas
pertentangan atau persengketaan antar lembaga dalam menjalankan peraturan perundang-
undangan. Soalnya kan yang kedua ini tempo hari diperlukan adanya MK itu apabila terjadi -
pertentangan di dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan siapa yang berhak
memberikan kata putus, kita tidak sepakat memberikan kepada MA sehingga lahirlah ide baru
untuk menciptakan MK dan itu juga hasil dari studi banding di banyak negara diperlukan
mahkamah seperti itu, oleh karena itu apabila wewenang-wewenang ini disepakati fraksi kami
setuju ada MK juga menyangkut usulan tambahan penyelesaian sengketa Pemilu, toh wong
tidak ada nanti di pasal berikutnya saya secara umum saja meninjau itu adalah menyangkut
soal persengketaan itu wewenang MK.’’(7)
Dari berbagai perdebatan tersebut, ternyata tidak ada penyebutan secara langsung lembaga
negara apa saja yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antar-lembaga negara.
Dengan kata lain, tidak ada pertalian penyelesaian sengketa lembaga negara dengan maksud
pembagian lembaga negara secara teoritis, seperti berdasarkan fungsinya yang ditentukan oleh
Montesquieu, maupun berdasarkan kedudukannya, sebagaimana George Jellinek bagi, yaitu
lembaga negara yang langsung (unmittenbare organ) dan lembaga negara yang tidak langsung
(mittenbare organ), ataupun penggolongan lain berdasarkan kedudukannya menurut George
Jellinek, lembaga negara utama atau lembaga negara primer (main state's organs atau primary
constitutional organs)dan lembaga negara penunjang atau lembaga negara pendukung
(auxiliary. organs). Karenanya, MK dapat melakukan berbagai penafsiran dan penemuan
hukum dalam penyelesaian perkara tersebut.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara


tidak diserahkan kepada proses politik yang hanya didasarkan atas posisi politik lembaga
negara yang bersengketa, melainkan diserahkan kepada proses hukum (yudisial). UUD NRI
Tahun 1945 hanya menetapkan sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI Tahun
1945 saja yang menjadi kategori kewenangan MK untuk menyelesaikannya, sedangkan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tidak menjadi kewenangan MK.

Dengan mencermati dinamika perkembangan ketatanegaraan dan perkembangan pemikiran


atau gagasan yang pesat, serta tuntutan masyarakat terhadap penegakan supremasi konstitusi
dan perlindungan hak-hak konstitusional warga masyarakat, tidak tertutup kemungkinan
peluang kedepan, gagasan-gagasan agar kewenangan MK dalam memutus perkara sengketa
kewenangan lembaga negara tidak hanya terbatas pada perkara SKLN yang sumber
kewenangannya berasal dari UUD NRI Tahun 1945 saja, akan tetapi juga mencakup SKLN
yang sumber kewenangannya diperoleh dari undang-undang.

Seiring dengan perubahan kedudukan dan hubungan lembaga-lembaga negara dan banyaknya
lembaga negara baru yang dibentuk, pemaknaan terhadap lembaga negara juga mengalami
perubahan. Hasil amandemen dan juga hasil dari beberapa putusan MK terkait dengan sengketa
kewenangan lembaga negara diakumulasikan dengan tidak adanya tolak ukur yang jelas untuk
menempatkan lembaga-lembaga negara diluar atau di dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga
menimbulkan berbagai interpretasi atau penafsiran.

Pada awalnya metode interpretasi oleh Bruggink dikelompokkan kedalam 4 (empat) kelompok,
yaitu metode interpretasi bahasa atau interpretasi gramatikal, interpretasi historis undang-
undang, interpretasi sistematis, dan interpretasi keteologis/sosiologis. Selanjutnya dikenal pula
interpretasi komparatif, dan antisipatif atau futuristik. Sementara itu metode interpretasi yang
dianut dikenal di Indonesia saat ini juga ada interpretasi restriktif dan ekstensif. Selain itu,
menurut Yudha Bhakti Adhiwisastra dikenal pula adanya interpretasi autentik, interdisipliner,
dan multidisipliner.

Dilihat dari beberapa Putusan MK dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga
negara, untuk menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, MK melakukan penafsiran
gramatika(grammatischeinterpretatie). Menurut MK, penempatan kata “sengketakewenangan”
sebelum kata “lembaga negara” mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang
dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945adalah memang “sengketa kewenangan” atau
tentang “apa yang disengketakan” dan bukan tentang “siapa yang bersengketa”. Kata “lembaga
negara” dalam Pasal24C ayat (1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak terpisahkan dengan
frasa“yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengandirumuskannya
anak kalimat “lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”,
secara implisit terkandung pengakuan bahwa terdapat “lembaga negara, yang kewenangannya
bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar.”

Untuk itu, dalam menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945 ditentukan terlebih dahulu
kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar dan barukernudian
kepada lembaga apa kewenangan- kewenangan tersebut diberikan.35

Meskipun disebut dan diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki

legal standing untuk dapat menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan
MK, haruslah secara eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat
kewenangannya tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan syaratlegal standing dalam pasal 3
Peraturan MK Nomor08/PMK/2006, ditetapkan tiga syarat terkaitlegal standing tersebut yaitu:

1. Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya


diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara
yang lain.
2. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.
3. Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi,
menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.(8)

Beberapa Contoh Sengketa yang pernah ditangani oleh Mahkamah Konstitusi

1. Putusan Perkara Nomor 070/PUU-II/2004

Dalam perkara Nomor 070/PUU-II/2004 tentang Kewajiban Provinsi Induk terhadap Provinsi
Pemekaran, Pemohon H.M.Amin Syam sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan42
keberatan dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Provinsi Sulawesi Barat, berkaitan dengan adanya kewajiban provinsi induk (Sulawesi Selatan)
membantu dana kepada provinsi hasil pemekaran (Sulawesi Barat) selama 2 (dua) tahun
berturut-turut paling sedikit Rp. 8.000.000.000.- (delapan miliar rupiah) setiap tahun anggaran
{Pasal 15 ayat (7)}, dan adanya sanksi berupa penundaan penyaluran pemberian dana
perimbangan ke kas daerah Provinsi Sulawesi Selatan apabila pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan tidak melaksanakan ketentuan ayat (7) dan ayat (9) sebagaimana diatur pada Pasal 15
Undang-Undang tersebut.43

Pemohon mendalilkan legal standing-nya bahwa Provinsi Sulawesi Selatan adalah badan
hukum publik yang dibentuk oleh undang-undang, yang mengemban hak dan kewajiban,
memiliki kekayaan, dan dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan. Selaku
Gubernur/Kepala Daerah sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 huruf (f) Undang-
Undang Pemerintahan Daerah berhak mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan
dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya. Pemohon beranggapan, hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dijamin oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 18A
ayat (2), Pasal 22A, Pasal 27 UUD NRI Tahun 1945 menjadi hilang atau berkurang akibat
diberlakukannya Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004.44
Mahkamah berpendapat bahwa suatu daerah yang diberikan otonomi yang seluas-luasnya tetap
merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tetap harus menaati
ketentuan dan pembatasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Sehingga Pembebanan
kewajiban sebagaimana dituangkan dalam Pasal 15 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2004 melalui Perda tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.45

Menurut Pemohon Pasal 15 ayat (7) dan ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 bertentangan
dengan prinsip equal justice before the law dalam Pasal 27 UUD NRI Tahun 1945
dibandingkan dengan undang-undang tentang pembentukan provinsi lainnya. Terhadap dalil
Pemohon ini, Mahkamah berpendapat keadilan bukan berarti semua subjek hukum
diperlakukan sama tanpa melihat kondisi yang dimiliki oleh setiap pihak masing-masing,
keadilan justru harus menerapkan prinsip proporsionalitas artinya memberlakukan sama
terhadap hal-hal yang sama dan memberlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang
berbeda. Karena diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan berbeda tanpa
ada alasan yang masuk akal.46

Karena itu menurut Mahkamah, anggapan Pemohon tidak cukup berdasar. Berdasarkan
pertimbangan yang telah dikemukakan diatas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil yang
dikemukakan Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga permohonan Pemohon ditolak untuk
seluruhnya.

2. Putusan Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006

Pemohon merupakan hakim agung, berjumlah 31 orang, yang mengajukan diri sebagai
perorangan warga negara Indonesia sebagai hakim agung yang mempunyai kepentingan
hukum dalam permohonan, karena menganggap hak dan kewenangan konstitusional pemohon,
dirugikan oleh berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan frasa
“pengawasan hakim” yang diaturdalam Bab III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat
(5).

Kemudian Pemohon juga merasa dirugikan hak dan kewenangan konstitusionalnya dengan
berlakunya Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal
25 ayat (3) dan ayat (4), berkaitan dengan usul penjatuhan sanksi yang menimbulkan kerugian
pada para Pemohon sebagai Hakim Agung termasuk juga Hakim MK menjadi atau sebagai
objek pengawasan serta dapat diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi oleh KY.

Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa calon hakim agung diusulkan KY kepada
DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
presiden. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, KY bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Berdasarkan ketentuan itu, hubungan KY dengan MA terjadi dalam proses
pengusulan calon hakim agung, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengawasi perilaku hakim, maka tidak salah
banyak orang berpendapat KY memiliki posisi yang lebih tinggi atau utama dari lembaga
yang diawasi, dalam hal ini para hakim sebagai representasi MA sebagai lembaga pemegang
kekuasaan kehakiman. Padahal kedudukan KY secara struktural adalah sederajat dengan MA
dan MK sebagai penunjang (auxilary) terhadap kekuasaan kehakiman.
Asumsi tersebut pada prakteknya telah menimbulkan kesan bahwa KY mempunyai kedudukan
hukum yang lebih tinggi dari MA, terlebih setelah KY menggeledah ruangan Ketua MA, Bagir
Manan pada saat itu dibarengi dengan pemeriksaan sejumlah hakim. Isu mafia peradilan mencuat.
KY pun mengusulkan gagasan revolusioner, yaitu kocok ulang 49 hakim agung. Isu ini membuat
para hakim gerah.Apalagi, KY juga merilis data 13 hakim agung bermasalah yang lalu disikapi
laporan ke polisi oleh sejumlah hakim agung yang merasa dicemarkan.51Problem lain adalah
menyangkut masalah sinkronisasi dan harmonisasi lembaga pengawasan yang terdapat di
dalam UU MA dengan perundang-undangan lainnya. Terjadinya perseteruan MA-KY soal
ini tidak lain karena belum adanya sinkronisasi dan harmonisasi di antara undang-undang
yang ada. MA melalui pasal 32 ayat (1) UU MA memiliki kewenangan untuk melakukan
pengawasan terhadap hakim. Sedangkan, secara normatif pasal 20 UU KY juga telah
memberikan kewenangan kepada komisi ini untuk melakukan pengawasan. Ini harus segera
diakhiri dengan sinkronisasi ketiga undang-undang lembaga peradilan, (in casu; UU MA,
UU MK, dan UU KY).
Mahkamah kemudian menyampaikan kesimpulan terkait dengan pengujian undang-undang
tersebut dengan beberapa poin kesimpulan yaitu:
‘’Pertama,....sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi
Hakim Konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan Pemohon harus dikabulkan. Dengan
demikian, untuk selanjutnya, Hakim Konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh
KY.Kedua,... (i) perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY mengenai wewenang lain sebagaimana penjabaran
dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam
penormaannya dalam UU KY yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid); (ii) UU KY terbukti tidak
dirinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek
yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan
tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan UU KY serta perbedaan dalam rumusan kalimat seperti dimaksud pada
butir (i) menyebabkan semua ketentuan UU KY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. (iii) Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UU KY didasarkan atas
paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan checks and balancesantarcabang kekuasaan dalam
konteks ajaran pemisahan (separation of power), sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam
pelaksanaannya.’’(9)
Oleh karena itu segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Untuk mengatasi
akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas KY, Khususnya yang
berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku Hakim, UU KY segera harus
disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya.

Contoh-contoh konflik antar-lembaga negara yang dikemukakan diatas, tentunya akan berpengaruh
negatif bagi perkembangan hukum di Indonesia, sehingga dibutuhkan suatu lembaga MK dalam
mewujudkan rechtside dan meningkatkan kualitas negara hukum di Indonesia. Demikian pula
hubungan antara lembaga negara, khususnya MK dan MA, bukan tidak mungkin terjadi dalam
praktik akan adanya konflik kewenangan yurisdiksi.

Oleh karena pentingnya prinsip kesetaraan dan independensi lembaga- lembaga negara yang
kewenangannya ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945, maka mekanisme hubungan satu sama lain
sangat perlu diatur menurut prinsip-prinsip hukum. Sehingga, jika timbul persengketaan dalam
menjalankan kewenangan konstitusionalnya masing-masing diperlukan lembaga pemutus menurut
UUD NRI Tahun 1945. Karena itulah UUD NRI 1945 menyediakan mekanisme peradilan khusus
untuk mengatasi berbagai kemungkinan timbulnya sengketa kewenangan konstitusional antara
lembaga negara. Fungsi pemutus itulah yang diamanatkan kepada MK sebagai salah satu
kewenangannya dalam mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi (highest law of the
land).
SIG IKI FOOTNOTE E AKU GAISO NGELEBOKNO -nadya

1 Firmansyah Arifin, dkk.,Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara, Jakarta: Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005, hlm. 30-31.

2 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, Cetakan Pertama, Jakarta, 2005,
hlm2

3 Landasan konstitusional pembentukan Mahkamah Agung di Indonesia.

4IkhsanRosyadaParluhutanDaulay, MK, Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,


Jakarta: Rineka Cipta, 2006.,hlm. 33-36

5Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006, Op.Cit., hlm. 86.

6 Majelis Permusyawaratan Rakyat, “Risalah Rapat Ke-41 PAH I BP MPR 2000, Kamis, 8 Juni 2000”.,hlm. 22.

7Majelis Permusyawaratan Rakyat,"Risalah Rapat Pleno KE-35 PAH I BP MPR, 25 September 2001" hlm. 6-7.

8Syaratyang disebut pada angka (1) pasal 3 PMK nomor 08/PMK/2006 yang berlaku mulai tanggal 18 Juli
2006, adalah mengambil alih pasal 61 ayat (1) UU nomor 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

9Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, Op.Cit., hlm. 199.


BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Setelah mengalami perubahan amandemen sebanyak empat kali, UUD NRI 1945 tidak lagi
menggunakan lembaga tertinggi negara sebagai lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat. Dengan
demikian, tidak ada lagi lembaga negara yang kedudukannya lebih tinggi yang keputusannya dapat
dijadikan rujukan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Kekuasaan yang diberikan kepada lembaga negara sifatnya adalah saling membatasi antara satu
lembaga dengan lembaga yang lainnya (checks and balances). Oleh karena itu, proses peradilan di
Mahkamah Konstitusi sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan sengketa kewenangan yang terjadi antar
lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.Baik dalam UUD 1945
maupun UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan secara detail tentang
pelaksanaan kewenangan tersebut, sehingga Mahkamah Konstitusi hanya diberikan kewenangan untuk
mengatur hal-hal lain yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, yang
diatur dalam Bab VI Ketentuan Lain-Lain Pasal 86 UU 24 Tahun 2003.Selain itu, Mahkamah Konstitusi
dapat melakukan interpretasi terhadap konstitusi karena Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai
pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan juga berfungsi sebagai penafsir konstitusi
(the sole interpreter of the constitution).
Untuk memberikan pedoman dalam beracara, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/ PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara tertanggal 18 Juli 2006 yang menentukan Lembaga
negara apa saja yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan
konstitusiona , lembaga negara yang dimaksud adalah : a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan
Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); d. Presiden; e. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK); f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau g. Lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, sedangkan Kewenangan yang dijadikan sengketa adalah
kewenangan yang diberikan atau ditentukan dan diatur oleh UUD 1945.

DAFTAR BACAAN

Buku
Asshidiqie , Jimly ,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta:Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,2006
Asshiddiqie, Jimly ,Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta: Konpress, 2005).,
hlm. 2
Jurnal
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010

 Minimal 3 Buku, 3 Jurnal dan salah satu jurnal berasal dari Yuridika
 Cantumkan referensi melalui Footnotes

Anda mungkin juga menyukai