Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK KONSUMER

Disusun Oleh :

Nama : Mochamad Irfan Alfianto


NIM : 171710101012
Kelompok/Kelas : 1 / THP C
Acara : Lemak (Mayones)

Asisten : 1. Afina Desi Wulandari


2. Aji Gesang Prayogi
3. Dewi Astuti Purnama Sari
4. Livia Wahyuni
5. Ridzkia Anggiaputri E.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mayonnaise termasuk produk pangan yang cukup populer dan banyak
digemari oleh masyarakat dunia. Mayonnaise memiliki bentuk tekstur yang mirip
dengan saos, berwarna kekuningan dan memiliki rasa yang khas.
Mayonnaise merupakan salah satu jenis bahan pangan berupa emulsi minyak
dalam air, yang berbentuk semi padat yang terbuat dari minyak nabati, cuka atau
asam sitrat, kuning telur dan beberapa bumbu lainnya seperti garam dan gula.
Kadar minyak tidak boleh kurang dari 65% berat dan membentuk emulsi yang
sangat halus dalam cuka. Minyak nabati yang sering digunakan dalam pembuatan
Mayonnaise yaitu minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak jagung.
Mayonnaise termasuk emulsi minyak dalam air dengan kuning telur berfungsi
sebagai emulsifier. Kandungan lemak yang terkandung di dalam mayones berkisar
70-80%. Komposisi lemak yang tinggi inilah yang membuat mayones tergolong
dalam emulsi oil in water (O/W) (Di Mattia, 2013).
Telur merupakan sumber protein hewani yang mempunyai nilai zat gizi
tinggi, karena didalamnya mengandung protein, lemak, karbohidrat, dan air.
Protein telur sangat mudah untuk dicerna, diserap, dan digunakan oleh tubuh
untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Selain itu, telur
khususnya kuning telur banyak mengandung vitamin A, D, E, K juga merupakan
sumber mineral yang baik terutama zat besi, untuk membuat mayonnaise telur
khususnya kuning telur merupakan bahan utama didalamnya. Hal ini dikarenakan
telur berfungsi untuk memberi kekentalan pada mayonnaise. Kuning telur
sebagian besar tersusun oleh lipoprotein suatu zat pengemulsi dan stabilitator
yang baik dari seluruh telur. Lipoprotein kuning telur bersifat koloid senang air
terserap diantara minyak dan air. Kuning telur besar sekali manfaatnya dalam
pembuatan mayonnaise (Audina, 2011).
Dalam pembuatan mayonnaise, minyak merupakan bagian terbesar
dibandingkan bahan-bahan lainnya. Penambahan minyak nabati bertindak sebagai
fase internal sangat mempengaruhi viskositas mayonnaise, sehingga pada
konsentrasi yangberbeda akan memberikan perbedaan terhadap viskositas
mayonnaise. Menurut SNI 01-4473-1998 penggunaan minimum minyak nabati
dalam pembuatan mayonnaise adalah 65% (Badan Standar Nasional, 1998).
Penggunaan minyak nabati dengan konsentrasi 80-84% akan menghasilkan
mayonnaise dengan karateristik agak kaku dan bila ditingkatkan lebih dari 84%
akan memiliki konsistensi yang kaku dan mudah terpisah (Weiss, 1983).
Pada dasarnya pembuatan mayonnaise adalah pencampuran minyak nabati
dengan cuka, gula, garam, dan kuning telur sebagai pengemulsi yang akan
membentuk system emulsi. Bahan pengemulsi sangat diperlukan untuk
mempertahankan stabilitas sistem emulsi setelah pengocokan, sehingga antara
minyak nabati dan bahan-bahan yang lain tidak terpisah. Pengemulsi yang tidak
baik dan tidak dalam formula yang tepat dengan minyak nabati menyebabkan
emulsi yang diperoleh tidak stabil, Oleh karena itu dilakukan praktikum
pembuatan mayones untuk mengetahui formulasi bahan yang tepat dalam
pembuatan mayonnaise agar diperoleh mayonnaise yang mempunyai sifat
fisikokimia yang baik dan dapat diterima oleh konsumen.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya praktikum mayonnaise yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh jenis minyak terhadap sifat mayonnaise
2. Mengetahui pengaruh jumlah/ konsentrasi minyak terhadap sifat
mayonnaise
3. Mengetahui pengaruh jumlah/ konsentrasi kuning telur terhadap sifat
mayonnaise

`
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mayonnaise
Mayonnaise termasuk produk pangan yang cukup populer dan banyak
digemari oleh masyarakat dunia. Mayonnaise memiliki bentuk tekstur yang mirip
dengan saos, berwarna kekuningan dan memiliki rasa yang khas.
Mayonnaise merupakan salah satu jenis bahan pangan berupa emulsi minyak
dalam air, yang berbentuk semi padat yang terbuat dari minyak nabati, cuka atau
asam sitrat, kuning telur dan beberapa bumbu lainnya seperti garam dan gula.
Kadar minyak tidak boleh kurang dari 65% berat dan membentuk emulsi yang
sangat halus dalam cuka. Minyak nabati yang sering digunakan dalam pembuatan
Mayonnaise yaitu minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak jagung.
Mayonnaise termasuk emulsi minyak dalam air dengan kuning telur berfungsi
sebagai emulsifier. Kandungan lemak yang terkandung di dalam mayones berkisar
70-80%. Komposisi lemak yang tinggi inilah yang membuat mayones tergolong
dalam emulsi oil in water (O/W) (Di Mattia, 2013).
Tabel 1. Sifat-Sifat Fisik Kimia Mayonnaise
Sifat fisik kima mayonnaise Nilai dan besaran
Minyak ≥ 78.5%1,≥ 70%2
Kuning telur ≥ 6%1, ≥ 5%2
Air 17%
KH 21%
Protein 21.6%
Lemak 47.8%
Abu 3.4%
pH 3.6-4.2
Gula 7-10%
Garam 9%
Aw 0.925
Viskositas 2.54 Pa.s
Ukuran droplet 5µm
Standar FAO/WHO/CODEX (Man 1994 dalam Arpah 2003)2Standar CIMSCEE

Berikut ini syarat mutu mayonnaise berdasarkan SNI 01-4473-1998 yang


menjadi standar mutu mayonnaise di Indonesia (Tabel 2).
Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Mayonnaise (SNI 01-4473-1998)

No Jenis uji Satuan Persyaratan


1 Keadaan Normal
- Bau - Normal
- Rasa - Normal
- Warna - Normal
- Tekstur - Normal
2 Air % b/b Maks 30
3 Protein % b/b Min 0,9
4 Lemak % b/b Min 65
5 Karbohidrat % b/b Maks 4
6 Kalori kkal/100 g Min 600
7 Pengawet - Sesuai SNI 01-0222-
1995
8 Cemaran logam Sesuai SNI 01-4473-
1998
9 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 0,1
10 Cemaran mikroba
- ALT Koloni/g Maks 104
- Bakteri bentuk coli APM/g Maks 10
- E.coli Koloni/10 g Negatif
- Salmonella Koloni/25 g Negatif
Sumber : SNI 01-4473-1998

2.2 Emulsifier
Emulsifier atau zat pengemulsi merupakan zat untuk membantu menjaga
kestabilan emulsi minyak dan air. Pada umum bahan pengemulsi terdiri dari
emulsifier alami dan emulsifier buatan (sintetis). Pengemulsi alami dibuat dari
bahan-bahan yang berasal dari alam. Misalnya kuning telur. Adapun bahan
pengemulsi buatan atau sintetis ini berasal dari rekayasa manusia untuk
menghasilkan jembatan antara minyak dan air. Meskipun disebut sintetis, tetapi
tidak sepenuhnya berasal dari bahan sintetis. Hanya proses pembuatannya saja
yang dirancang secara buatan manusia, tetapi bahan-bahannya sering berasal dari
bahan alami (Winarno, 1992).
Pada produk mayonaise bagian yang terdispersi adalah minyak nabati,
bagian yang mendispersi (media pendispersi) asam cuka atau lemon juice, dan
bagian emulsifiernya adalah kuning telur. Kuning telur merupakan emulsifier
yang sangat kuat (terdapat sejenis bahan yang memiliki tingkat kesukaan terhadap
air dan minyak sekaligus). Satu ujung molekul tersebut suka air dan ujung yang
lainnya suka minyak. Oleh karena itu, bahan tersebut dapat dijadikan jembatan
untuk mencampurkan antara bahan lemak dan bahan air. Sifat seperti itu sangat
dibutuhkan dalam pengolahan berbagai jenis makanan, seperti dalam pembuatan
biskuit, cake, kue, mayonaise, dan sebagainya (Winarno, 1992).
Pada dasarnya paling sedikit sepertiga kuning telur terdiri dari lemak,
tetapi yang menyebabkan daya emulsifier yang kuat adalah kandungan lesitinnya
yang terdapat dalam bentuk kompleks sebagai lesitin-protein. Lecithin adalah
istilah umum pada setiap kelompok warna kecoklatan dan zat-kuning lemak yang
terdapat pada hewan dan jaringan tumbuhan, serta kuning telur yang terdiri dari
asam fosfat, kolin, asam lemak, gliserol, glycolipids, trigliserida, dan fosfolipid.
Fosfatidilkolin merupakan jenis fosfolipid di lesitin. Fosfolipid termasuk dalam
kelompok lemak/lipid yang komponen utamanya membrane sel karena fosfolipid
dapat membentuk bilayers lipid. Kebanyakan fosfolipid terdiri dari diglycerid,
gugus fosfat, dan molekul organik sederhana seperti kolin, kecuali sphingomyelin
yang merupakan turunan dari sphingosine bukan dari gliserol. Identifikasi
fosfolipid pertamakali yaitu lesitin, atau fosfatidilkolin dalam kuning telur
(Winarno, 1992).
2.3 Fungsi Bahan Yang Digunakan
2.3.1 Minyak Kelapa
Minyak kelapa adalah contoh lemak nabati yang banyak diketahui
masyarakat dalam pembuatan mayones. Asam lemak yang paling dominan dalam
minyak kelapa adalah asam laurat. Minyak kelapa merupakan minyak yang
diperoleh dari kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan) atau dari perasan
santannya. Berdasarkan komponen utama asam lemaknya, minyak kelapa
tergolong sebagai minyak asam laurat. Berdasarkan bilangan iod, minyak kelapa
tergolong sebagai minyak non drying oils dengan bilangan iod berkisar antara 7,5-
10,5. Komposisi trigliserida dengan molekul asam lemak jenuh minyak kelapa
kurang lebih adalah 90%, terdiri dari 84% trigliseria (TG) dengan 3 molekul asam
lemak jenuh, 12% TG dengan 2 molekul asam lemak jenuh, dan 4% TG dengan 1
molekul asam lemak jenuh. Minyak kelapa yang belum dimurnikan memiliki
tokoferol 0,003% dan asam lemak bebas kurang dari 5%. Warna coklat terbentuk
dari kandungan protein dan karbohidrat yang mengalami reaksi browning. Warna
tersebut berasal dari reaksi senyawa hidroksil (pemecahan peroksida) dengan
asam amino, dan juga akibat suhu tinggi (Ketaren 1986). Didalam pembuatan
mayones, minyak kelapa berfungsi sebagai bahan utama yang akan bereaksi
dengan kuning telur membentuk sistem emulsi. Minyak kelapa berperan sebagai
fase internal untuk menciptakan emulsi. Didalam mayones, minyak kelapa
merupakan fase diskontinyu atau fase terdispersi.
Standar mutu minyak kelapa berdasakan SNI (01-2902-1992) adalah
sebagai berikut:
Tabel 3. Syarat Mutu Minyak Kelapa
Parameter Nilai
Air Maks 0,5%
Bilangan peroksida (mgO2/g contoh) Maks 5,0
Asam lemak bebas (asam laurat) Maks 5%

2.3.1 Minyak Kelapa Sawit


Minyak Kelapa sawit merupakan jenis minyak yang diperoleh dari
pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Secara garis besar buah
kelapa sawit terdiri dari serabut buah (pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah
kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut
pericarp, lapisan lebih dalam disebut mesocarp atau pulp dan lapisan paling dalam
disebut endocarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm
dan embrio. Mesocarp mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti
(kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endocarp tidak mengandung
minyakMinyak kelapa sawit dihasilkan dari inti sawit yang dinamakan minyak
inti sawit dan juga hasil sampingannya atau bungkil inti minyak sawit (palm
kernel meal atau pellet).
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak adalah air dan kotoran,
asam lemak bebas, bilangan peroksida, dan daya pemucatan. Kandungan karoten
dalam minyak kurang lebih 500-700ppm, sedangkan kandungan tokoferol
bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi. Warna minyak
ditentukan oleh pigmen yang masih tersisa selama proses pemucatan karena
asam lemak dan gliserida pada dasarnya tidak berwarna. Warna oranye dan
kuning terbentuk akibat adanya pigmen karoten yang larut dalam lemak. Bau
dan flavor minyak terdapat secara alami, karena adanya asam lemak rantai
pendek yang terbentuk akibat kerusakan minyak. Adapun bau khas timbul
akibat adanya senyawa beta ionone (Ketaren 1986).
Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh
dengan persentase yang hampir sama. Asam palmitat dan asam oleat merupakan
asam lemak yang dominan terkandung dalam minyak sawit. Kandungan asam
palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi
(ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Sifat dan standar mutu serta komposisi
asam lemak minyak kelapa sawit disajikan pada Tabel 4, 5 dan 6.
Tabel 4. Sifat Minyak Kelapa Sawit Setalah Dimurnikan
Sifat Nilai
o
Titik cair awal ( C) 29,4
o
Bobot jenis (pada 15 C) 0,859-0,870
Bilangan iod 46-52

Tabel 5. Standar mutu SPB (special prime bleaching) dan ordinary


Kandungan SPB Ordinary
Asam lemak bebas% 1-2 3-5
Kadar air% 0,1 0,1
Besi ppm 0,002 0,01
Bilangan iod 53 ± 1,5 45-56
Karoten 500 500-700
tokoferol 800 400-600

Tabel 6. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit*

Jenis Asam Lemak Kandungan (%)


Asam Kaproat -
Asam Kaprilat -
Asam Laurat -
Asam Miristat 1,1-2,5
Asam Palmitat 40-46
Asam Stearat 3,6-4,7
Asam Oleat 30-45
Asam Linoleat 7-11
Sumber : Sudram, 2007
2.3.3 Kuning Telur

Telur sebagai salah satu produk ternak yang bernilai gizi dan memiliki
protein bermutu tinggi. Berbagai jenis telur dapat digunakan untuk pembuatan
produk, misalnya putih telur berfungsi untuk membentuk gel dalam pembuatan
cake, mencegah kristalisasi dalam pengembangan roti, sedangkan kuning telur
dapat digunakan sebagai pengemulsi yang kuat pada pembuatan mayonnaise
(Jaya, dkk., 2013).
Komponen kimia telur terbesar adalah air (72,8-75,6 %), protein (12,8-
13,4 %), dan lemak (10,5-11,8 %). Komposisi tersebut menyatakan bahwa telur
mempunyai zat gizi yang tinggi (Stadelman dan Cotterill, 1977). Kuning telur
berperan dalam membentuk dan menstabilkan emulsi karena adanya lipoprotein.
Kuning telur dalam pembuatan mayonnaise akan mempengaruhi ukuran partikel
minyak selama pembentukan mayonnaise (Jones, 2007). Adapun komposisi gizi
telur ayam (dalam 100 g bahan) dapat dilihat pada Tabel 7
Tabel 3. Komposisi gizi telur ayam per 100 g bahan
.
Komposisi gizi
Kalori (Kal) 361,0 50,0
Air (g) 49,4 87,8
Protein (g) 16,3 10,8
Lemak (g) 31,9 0,0
Karbohidrat (g) 0,7 0,8
Kalsium (mg) 157,0 6,0
Fosfor (mg) 586,0 17,0
Vitamin A (SI) 2000, 0,0
0
Sumber : Direktorat Gizi Departeemen Kesehatan RI (1989).

Lemak kuning telur memiliki daya pengemulsi yang kuat dibandingkan


putih telur. Komponen zat pengemulsi pada kuning telur adalah lesitin, kolesterol,
lipoprotein, dan protein. Kemampuan kuning telur sebagai zat pengemulsi
dipengaruhi oleh adanya fosfolipid (lesitin, ovosepalin, dan ovosfingomyelin) dan
perbandingan antar zat pengemulsi, misalnya lesitin dan kolesterol. Kuning telur
juga memiliki fungsi sebagai pewarna pada mayonnaise karena adanya pigmen
kuning dari xantofil, lutein, beta karoten, dan kriptoxantin (Mutiah, 2002).
Lesitin kuning telur mempunyai gugus polar dan non polar. Gugus polar
yang terdapat pada ester fosfatnya bersifat hidrofilik dan mempunyai
kecenderungan larut dalam air, sedangkan gugus non polar yang terdapat pada
ester asam-asam lemaknya adalah lipofilik yang mempunyai kecendrungan untuk
larut dalam lemak atau minyak (Winarno, 2008).
Menurut Jaya, dkk (2013) menunjukkan bahwa penggunaan kuning telur
sebesar 9% dan minyak kedelai 75% menghasilkan mayonnaise dengan mutu
yang terbaik dibandingkan penggunaan kuning telur sebesar 6% dan 12 %.
Konsentrasi tersebut dipilih sebagai perlakuan terbaik karena mayonnaise yang
dihasilkan memiliki nilai organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur
yang disukai dan dapat diterima oleh panelis. Kuning telur sendiri memiliki fungsi
sebagai emulsifier, sehingga menyebabkan emulsi menjadi stabil dan
meningkatkan viskositas produk serta dapat memberikan warna pada mayonnaise.
2.3.4 Cuka
Asam cuka merupakan suatu senyawa berbentuk cairan, tidak berwarna,
berbau menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut di dalam air, alkohol,
gliserol, dan eter. Proses produksi asam cuka dapat dilakukan secara kimiawi dan
biologis. Untuk kebutuhan pangan, produksi asam cuka harus dilakukan melalui
proses biologis, salah satunya adalah fermentasi dari bahan baku alkohol
(Hardoyo, dkk., 2007). Asam cuka aman digunakan sebagai bahan pengawet
makanan. Asam cuka dapat dijadikan pengawet yang aktif dalam menghambat
pertumbuhan kapang dan juga bakteri patogen (Pundir dan Jain, 2010).
Asam cuka diperoleh dari fermentasi alkohol khamir yang dioksidasi oleh
bakteri asam asetat dari bahan pangan yang mengandung gula atau pati. Asam
cuka berperan sebagai pemberi rasa asam, medium pendisepersi, dan juga
menghambat kerusakan mayonnaise oleh mikroorganisme. Asam cuka sebagai
pengatur keasaman hingga pH 4,1 atau lebih rendah berfungsi sebagai senyawa
penghambat pertumbuhan mikroorganisme (Mutiah, 2002).
2.3.5 Garam
Garam dalam pengolahan pangan tidak hanya sebagai pemberi rasa asin.
Garam juga dapat mempengaruhi tekstur dan meningkatkan hidrasi protein dan
kemampuan protein untuk berikatan dengan komponen lain termasuk lemak.
Garam juga mampu menghambat bahkan menghentikan aktivitas
mikroorganisme dengan menyerap kandungan air dalam makanan sehingga
metabolisme bakteri terganggu akibat kekurangan cairan dan akhirnya
mikroorganisme mati (Ayustaningawarno, dkk., 2014). Penggunaan garam terlalu
banyak menyebabkan protein kuning telur terakumulasi dalam fase cair pada
emulsi daripada membentuk lapisan pada partikel-partikel minyak (Depree
dan Savage, 2001).
2.3.6 Gula
Gula termasuk golongan senyawa karbohidrat yang berfungsi memberikan
rasa manis pada produk. Oleh karena itu gula juga akan menambah citarasa pada
produk karena gula mampu menetralisir rasa asin dari garam pada produk. Pada
konsentrasi tinggi gula juga digunakan sebagai pengawet karena mampu
meningkatkan viskositas larutan (Buckle, dkk., 2009).
Fungsi gula selain untuk memperbaiki aroma dan rasa, penambahan gula
dalam produk pangan sebesar 30% padatan terlarut dapat menurunkan aW dari
bahan pangan. Penggunaan gula sebagai pengawet akan menurunkan aw dari
bahan pangan sehingga mikroorganisme dapat terhambat pertumbuhannya (Gianti
dan Evanuarini, 2011).
Gula selain sebagai pemberi rasa manis, juga memiliki fungsi sebagai
pembentuk tekstur, pengawet, dan pembentuk citarasa (Widayanti, dkk., 2013).
Dalam pembuatan mayonnaise, gula berfungsi untuk memberi rasa yang khas
pada mayonnaise. Gula dan garam akan bercampur dalam campuran mayonnaise
memberikan rasa yang khas pada mayonnaise (Palma, dkk., 2004).
2.3.7 Air
Air merupakan suatu komponen penting dalam pembuatan mayonnaise,
karena air sebagai penghubung dalam penggabungan dua komponen minyak dan
kuning telur. Kuning telur merupakan emulsifier yang sangat kuat (terdapat
sejenis bahan yang memiliki tingkat kesukaan terhadap air dan minyak sekaligus).
Satu ujung molekul tersebut suka air dan ujung yang lainnya suka minyak. Oleh
karenanya bahan itu dapat dijadikan jembatan untuk mencampurkan antara bahan
lemak dan bahan air. Sifat seperti itu sangat dibutuhkan dalam pengolahan
berbagai jenis makanan, seperti dalam pembuatan biskuit, cake, kue, mayonaise,
dan sebagainya (Paundrianagari, 2010).
2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil akhir mayonnaise diantaranya
adalah kecepatan dan konsistensi pengocokkan, selain itu, penambahan asam cuka
pun mempengaruhi kenampakan dan rasa akhir mayonnaise. CCP pada proses
pembuatan mayonnaise terletak pada saat pengocokan telur yang harus jauh dari
tempat yang mengandung kontaminan-kontaminan, pemasakan yang sebaiknya
menggunakan api kecil, dan pengadukan selama pembuatan harus cepat dan
konstan kecepatannya agar mendapatkan kualitas mayonnaise yang baik.
Penggunaan jumlah atau konsentrasi kuning telur yang digunakan juga dapat
mempengaruhi pada warna mayonnaise yang dihasilkan (Gaonkar, 2010).
2.5 Proses Pembentukan Emulsi Pada Mayonnaise
Sistem emulsi yang membentuk mayonnaise merupakan sistem heterogen
yang terdiri atas dua fase yang tidak tercampur, tetapi cairan yang satu terdispersi
dengan baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula)
dengan diameter antara 0,01-50 µm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase
terdispersi atau fase internal, sedangkan fase tempat cairan terdispersi disebut fase
pendispersi (Nawar, 1985). Menurut Paul dan Palmer (1972), tipe emulsi yang
terbentuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu emulsi minyak dalam air dimana
minyak menjadi fase terdispersi dan air menjadi fase pendispersi, serta emulsi air
dalam minyak dimana minyak menjadi fase pendispersi dan air sebagai fase
terdispersi.
Pada pembentukan suatu sistem emulsi, cairean fase internal harus
terdispersi dengan sempurna dalam fase pendispersi, sehingga dibutuhkan suatu
energi untuk memperkecil partikel-partikel fase terdispersi dan memisahkan
antara satu dengan yang lainnya dalam sistem emulsi. Energi tersebut diperoleh
dari alat pengadukan mekanis seperti mixer, dan energi ini dinamakan emulsator.
Besarnya energi yang diperlukan tergantung dari tegangan permukaan antar kedua
cairan tersebut. Semakin tinggi tegangan permukaan, maka semakin sulit
terbentuknya suatu emulsi sehingga dibutuhkan energi yang besar dan begitu pula
sebaliknya (Paul dan Palmer, 1972).
Emulsi merupakan sistem yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan dua hal
untuk membentuk emulsi yang stabil, yaitu penggunaan alat mekanis untuk
mendispersikan sistem dan penggunaan bahan pengemulsi atau penstabil untuk
mempertahankan sistem tetap terdispersi. Penambahan bahan pengemulsi
bertujuan menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan
interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi, sedangkan penambahan
bahan penstabil bertujuan meningkatkan viskositas fase kontinu agar emulsi yang
terbentuk menjadi stabil (Muchtadi, 1990).
Stabilitas emulsi memegang pernanan penting untuk menentukan mutu
suatu produk makanan yang mengandung minyak, seperti mayonnaise dan saus
selada. Kerusakan emulsi ditandai dengan terbentuknya lapisan minyak dan air
yang terpisah (Sutikna, 1987). Kestabilan emulsi dipengaruhi oleh keseimbangan
proporsi air dan protein. Jika jumlah air terlalu tinggi, sedangkan protein dalam
jumlah terbatas, akan menyebabkan air cepat memisah karena protein yang ada
tidak mampu mengikat semua air dalam sistem sehingga dihasilkan kestabilan
emulsi yang rendah (Mutiah, 2002).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Adapun alat- alat yang digunakan dalam pembuatan mayonaise sebagai
berikut :
1. Neraca analitik
2. Beaker glass
3. Gelas ukur
4. Sendok
5. Baskom
6. Pengaduk
7. Mixer
8. Water bath
9. Oven

3.1.2 Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mayonaise
sebagai berikut :
1. Minyak kelapa
2. Minyak Sawit
3. Kuning telur
4. Cuka
5. Garam
6. Gula
7. Aquades
3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Perlakuan pembuatan mayones pada prakatikum ini terbagi menajadi 8
seperti pada tabel berikut:

Per Jenism Jumlah Jumlah Larutan Air Gula Gara


lak inyak minyak Kuning telur cuka m
ua 5%
n
1 Kelapa 130g (70,7%) 18g (9,8%) 16 ml 8 10 g 2g
ml
2 130g (68,4%) 24g (12,6%) 16 ml 8 10 g 2g
ml
3 150g 18g (8,8%) 16 ml 8 10 g 2g
(73,5%) ml
4 150 g (71,4) 24g (11,4%) 16 ml 8 10 g 2g
ml
5 Sawit 130g (70,7%) 18g (9,8%) 16 ml 8 10 g 2g
ml
6 130g (68,4%) 24g (12,6%) 16 ml 8 10 g 2g
ml
7 150g 18g (8,8%) 16 ml 8 10 g 2g
(73,5%) ml
8 150 g (71,4) 24g (11,4%) 16 ml 8 10 g 2g
ml
Kuning telur,
½ jumlah cuka,
½ jumlah air

Larutan
(Gula, garam, Mixing dengan kecepatan tinggi
½ jumlah air)

Minyak kelapa Mixing


dan sawit

Sisa cuka Mixing sampai terbentuk emulsi

Pengujian

Gambar. 1 Diagram Alir Pembuatan Mayonnaise

Pada pembuatan mayonnaise tahap pertama yang dilakukan yaitu


penimbangan bahan-bahan sesuai dengan proporsi masing-masing. Kemudian
bahan berupa kuning telur, ½ jumlah cuka, ½ jumlah air selama satu menit
Selanjutnya 10 gram gula, 2 gram garam, ½ jumlah air dicampur terpisah.
Penambahan garam berfungsi untuk mengikatkan tekanan osmotik substrat yang
menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam bahan pangan sehingga
mikroorganisme tidak dapat tumbuh, ionisasi garam juga akan menghasilkan ion
khlor yang bersifat racun bagi mikroorganisme. Serta gula bersifat
menyempurnakan rasa asam dan cita rasa lainnya. Dan air yang berfungsi sebagai
pelarut. Kedua campuran dicampur menggunakan mixer pada kecepatan tinggi.
Minyak kelapa atau sawit ditambahkan sedikit demi sedikit dengan tetap di mixer.
Setelah semua minyak ditambahkan, pencampuran dilanjutkan sampai terbentuk
emulsi sekitar 7 menit. Sisa cuka ditambahkan dan pencampuran dilanjutkan
selama satu menit. Cuka berperan sebagai pemberi rasa asam pada mayonnaise.
Mayones yang telah jadi kemudian dilakukan pengamatan kestabilan emulsi dan
uji sensoris berdasarkan parameter viskositas, warna, dan aroma.
BAB 4. DATA PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Data Pengamatan


4.1.1 Uji Sensoris
Sampel Viskositas Warna Aroma
Kelompok 1 +4 +1 +2
Kelompok 2 +4 +2 +4
Kelompok 3 +2 +2 +5
Kelompok 4 +2 +2 +5
Kelompok 5 +4 +4 +2
Kelompok 6 +4 +3 +2
Kelompok 7 +3 +4 +4
Kelompok 8 +5 +4 +1
Keterangan:
Viskositas Warna
+1 : Cair +1 : Pudar
+2 : Agak Cair +2 : Agak Pudar
+3 : Netral +3 : Netral
+4 : Agak Kental +4 : Agak Kuning
+5 : Kental +5 : Kuning
Aroma

+1 : Sangat Tidak Amis


+2 : Agak Tidak Amis
+3 : Netral
+4 : Agak Amis
+5 : Amis

4.1.2 Berat Mayonnaise


Berat Sebelum (g) Berat Sesudah (g)
Sampel
Ul 1 Ul 2 Ul 1 Ul 2
Kelompok 1 29.01 30,07 21,44 23,98
Kelompok 2 30 30 6,75 10,19
Kelompok 3 30 30 6,46 6,94
Kelompok 4 30 30 8,69 6,89
Kelompok 5 30,01 30,08 19,01 19,98
Kelompok 6 30,09 30,05 9,92 2,76
Kelompok 7 30,07 30,04 17,56 18,38
Kelompok 8 30,16 30,4 23,97 22,44
4.2 Hasil Perhitungan
Kestabilan Emulsi (%)
Sampel Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
Kelompok 1 99,74 99,80 99,77
Kelompok 2 99,22 99,34 99,28
Kelompok 3 99,22 99,24 99,23
Kelompok 4 99,29 99,23 99,26
Kelompok 5 99,64 99,67 99,65
Kelompok 6 99,33 99,09 99,21
Kelompok 7 99,58 99,62 99,60
Kelompok 8 99,80 99,74 99,77
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Uji Organoleptik


Menurut Agusman (2013), penilaian dengan indera disebut juga penilaian
organoleptik atau penilaian sensorik. Penilaian dengan indera ini banyak
digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian
cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung.
Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian
dalam laboratorium, dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian organoleptik telah
digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan.
Uji organoleptik pada produk pangan berguna untuk memberikan
informasi mengenai kualitas dan karakteristik dari suatu produk pangan dan
merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan daya terima dan kepuasan
konsumen.
5.1.1 Viskositas

Viskositas
6
5
4
3
2 Viskositas
1
0

Gambar 2. Viskositas Mayonnaise


Viskositas diartikan sebagai resistensi atau ketahanan suatu fluida untuk
mengalir yang disebabkan karena adanya gesekan. Penilaian organoleptik
terhadap kekentalan mayonnaise terdiri penilaian panelis baik secara mutu
maupun tingkat kesukaan. Berdasarkan gambar 2, dapat diketahui bahwa uji
viskositas pada produk mayonnaise untuk sampel 1,2,5, dan 6 mendapatkan skor
penilaian sebesar +4 (Agak kental). Pada sampel 3 dan 4 mendapatkan skor
penilaian sebesar +2 (Agak cair). Pada sampel 7 mendapatkan skor +3 (Netral).
Sedangkan pada sampel 8 mendapatkan skor penilaian sebesar +5 (kental). Hasil
tersebut menunjukkan bahwa kelompok 8 memiliki nilai viskositas tertinggi yaitu
+5 artinya memiliki viskositas mayones yang kental. Hal ini disebabkan karena
formulasi sampel 8, mayonnaise terbuat dari minyak sawit dengan konsentrasi
minyak sawit lebih tinggi dan memiliki kandungan kuning telur tertinggi pula.
Kandungan kuning telur yang tinggi menandakan kuning telur yang digunakan
lebih banyak, hal ini yang menyebabkan sistem emulsi menjadi lebih stabil.
Kekentalan pada mayones juga dipengaruhi oleh komposisi penyusun mayonnaise
yaitu minyak. Viskositas mayonnaise yang kental juga disebabkan oleh
kandungan minyak sawit yang digunakan. Namun, beberapa sampel ada yang
viskositasnya rendah. Rendahnya viskositas yang dihasilkan pada saat praktikum
dipengaruhi oleh kuning telur yang digunakan dalam pembuatan mayonnaise.
Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan viskositas rendah. Selain itu waktu
pemixeran juga menyebabkan viskositas rendah, apabila pemixerannya dalam
waktu yang lama maka akan semakin kental sehingga viskositasnya semakin
tinggi. Sedangkan sebaliknya apabila waktu pemixerannya hanya sebentar maka
viskositasnya rendah.
Peningkatan viskositas mayonnaise juga sesuai dengan meningkatnya
konsentrasi minyak nabati dan kuning telur yang ditambahkan, karena permukaan
molekul minyak dapat dilapisi dengan baik, sehingga dapat bersatu dengan air.
Selain itu, peningkatan konsentrasi minyak nabati dan kuning telur akan
meningkatkan jumlah lemak yang terdispersi dalam pembentukan sistem emulsi,
sehingga akan meningkatkan viskositas mayonnaise. Winarno (1993) menjelaskan
bahwa selain sebagai komponen gizi yang penting, protein dalam telur memiliki
kemampuan untuk membentuk gel, buih dan emulsi. Minyak nabati bertindak
sebagai fase internal sangat mempengarui viskositas mayonnaise, sehingga pada
konsentrasi yang berbeda akan memberikan perbedaan terhadap viskositas
mayonnaise. Le Hsich and Regeastein (1992) menyatakan bawa jumlah fase
internal yang lebih besar daripada fase eksternal dapat meningkatkan viskositas
emulsi, karena partikel-partikelnya terdesak dalam sistem emulsi. Viskositas akan
meningkat apabila suhu penyimpanan menurun. Hal ini bisa disebabkan dengan
flokulasi sangat cepat atau koelensesi tetesan kecil terjadi dengan suhu
penyimpanan meningkat. Protein dan interaksi gusi mempengaruhi stabilitas dan
viskositas mayonnaise dengan membentuk pelindung penghalang sterik disekitar
tetesan minyak (Ghous et al, 2008).
5.1.2 Warna
Pada penilaian mutu komoditi, cara yang terutama masih dipakai ialah
dengan penglihatan. Dengan melihat, orang dapat mengenal dan menilai bentuk,
ukuran, kekeruhan, kesegaran produk, warna, dan sifat-sifat permukaan seperti
suram, mengilap, homogeny-heterogen, dan datar gelombang. Meskipun warna
paling cepat dan mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan
sulit cara pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subyektif dengan
penglihatan masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi (Zuhrina, 2011).
Pada pengujian organoleptik mayonnaise pada parameter warna dilakukan dengan
memberikan skor pada produk mayonnaise dengan rentang skor 1-5 (1= Pudar; 2=
Agak pudar; 3= netral; 4= Agak kuning; 5= Kuning).

Warna
4,5
4
3,5
3
2,5
2
1,5 Warna
1
0,5
0

Gambar 3. Hasil Uji Organoleptik Warna


Berdasarkan gambar 3, dapat diketahui bahwa uji organoleptik warna
sampel 1 mendapatkan skor penilaian sebesar +1 (Pudar). Pada sampel 2, 3, dam 4
mendapatkan skor penilaian sebesar +2 (Agak pudar). Pada sampel 5,7 dan 8
mendapatkan skor +4 (Agak Kuning). Sedangkan pada sampel 6 mendapatkan
skor penilaian sebesar +3 (Netral). Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa
penilaian aroma pada mayones masing-masing formulasi memiliki perbedaan
namun terdapat juga beberapa formulasi yang memiliki nilai sama. Perbedaan
tersebut dapat terjadi karena perbedaan kuning telur yang ditambahkan sehingga
dapat mempengaruhi warna mayones yang dihasilkan. Kuning telur juga
mengandung lutelin yang dapat meningkatkan warna mayonnaise (Evanuarini
dkk., 2016). Persamaan warna pada beberapa formulasi dapat terjadi karena
pengocokan yang tidak merata sehingga warna mayonnaise yang dihasilkan tidak
merata. Hal ini yang menyebabkan warna mayonnaise cenderung agak kuning
meskipun konsentrasi telur yang ditambahkan tidak sama atau lebih sedikit.
adanya penyimpangan atau ketidaksesuaian terhadap literatur. Peningkatan
konsentrasi minyak nabati dan kuning telur ayam tidak memberikan perbedaan
terhadap nilai kesukaan warna mayonnaise yang dihasilkan. Hal ini dimungkinkan
karena warna dari mayonnaise tidak berbeda pada masing-masing perlakuan,
sehingga sulit untuk menentukan tingkat kesukaanya.
Minyak nabati yang digunakan (minyak kelapa dan minyak sawit)
cenderung tidak berwarna, sehingga tidak dapat berfungsi sebagai pewarna dalam
pembuatan mayonnaise. Menurut Ketaren (1986), minyak cenderung tidak
berwarna sebagai akibat dari proses pengolahannya. Zat warna yang secara alami
terdapat dalam minyak dapat berkurang intensitas warnanya dengan adanya proses
hidrogenasi.
Kuning telur berfungsi sebagai pewarna dalam suatu produk pangan, tetapi
fungsi tersebut dipengaruhi oleh warna kuning telur itu sendiri. Warna kuning
telur ayam juga daapat dipengaruhi oleh pakan yang diberikan pada ayam.
Gaonkar et al. (2010) mengemukakan bahwa warna kuning telur dipengaruhi oleh
kandungan karotenoid dalam ransum, dimana apablia ransum mengandung
karotenoid dalam jumlah yang tinggi, kuning telur akan berwarna kuning pucat
atau hampir penuh.
Pada dasarnya warna pada mayonnaise dipengaruhi oleh jumlah atau
konsentrasi kuning telur dan minyak nabati yang digunakan. Semakin banyak
kuning telur yang ditambahkan maka semakin kuning warna mayonnaise yang
dihasilkan (Arsyad, 2016). Penggunaan minyak nabati tidak terlalu berpengaruh
terhadap warna karena minyak nabati cenderung tidak berwarna sehingga tidak
berfungsi sebagai perwarna pada pembuatan mayonnaise. Penyimpangan ini
terjadi karena panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sehingga
panelis kesulitan untuk membedakan tingkat kecerahan warna pada mie yang
disajikan.
5.1.3 Aroma
Pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat
mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya
atau aromanya dari jarak jauh. Indera pembau berfungsi untuk menilai aroma dari
suatu produk atau komoditi baik berupa makanan maupun nonpangan. Kepekaan
pembauan lebih tinggi daripada pencicipan. Zat yang diperlukan untuk dapat
merangsang indera pembau jumlahnya lebih rendah daripada zat yang diperlukan
untuk perangsang indera pencicip. Dalam banyak hal, enaknya makanan
ditentukan oleh aromanya. Industri pangan menganggap sangat penting uji aroma
karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produksinya, disukai atau
tidak disukai (Agusman, 2013). Pada pengujian organoleptik mayonnaise pada
parameter aroma dilakukan dengan memberikan skor pada produk mayonnaise
dengan rentang skor 1-5 (1= Sangat tidak amis; 2= Agak tidak amis; 3= netral; 4=
Agak amis; 5= Amis).
Aroma
6
5
4
3
2 Aroma
1
0

Gambar 4. Hasil Uji Organoleptik Aroma Mayonnaise


Berdasarkan gambar 4, dapat diketahui bahwa uji organoleptik aroma
sampel 1, 5 dan 6 mendapatkan skor penilaian sebesar +2 (Agak tidak amis). Pada
sampel 2 dan 7 medapatkan skor penilaian sebesar +4 (Agak amis). Pada sampel 3
dan 4 mendapatkan skor +5 (Amis). Sedangkan pada sampel 8 mendapatkan skor
penilaian sebesar +1 (Sangat tidak amis). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh
penilaian aroma pada mayones masing-masing formulasi memiliki perbedaan
namun terdapat juga beberapa formulasi yang memiliki nilai sama. Perbedaan
tersebut dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi kuning telur yang
ditambahkan sehingga dapat mempengaruhi aroma mayones yang dihasilkan.
Kuning telur juga memiliki aroma yang amis, hal inilah yang mendasari bau amis
pada mayonnaise muncul (Evanuarini dkk., 2016). Perbedaan aroma pada
mayonnaise yang dihasilkan juga pada beberapa formulasi dapat terjadi karena
pengocokan yang tidak merata dan terlalu lama sehingga aroma mayones yang
dihasilkan tidak sama. Hal ini yang menyebabkan aroma mayones cenderung
tidak amis meskipun konsentrasi telur yang ditambahkan tidak sama atau lebih
banyak. Sedangkan pada saat pengujian, untuk menguji viskositas dilakukan
pengadukan oleh panelis sehingga menyebabkan aroma amis menjadi sedikit
berkurang. Aroma tidak amis pada mayones juga dapat disebabkan karena
penambahan cuka yang berfungsi untuk menghilangkan aroma amis akibat
penambahan kuning telur.
5.2 Kestabilan Emulsi

Kestabilan Emulsi
99,9
99,8
99,7
99,6
99,5
99,4
99,3
99,2 Kestabilan Emulsi
99,1
99
98,9

Gambar 5. Kestabilan Emulsi Mayonnaise


Menurut Soekarto (2013) menyatakan bahwa kestabilan emulsi o/w
dipengaruhi oleh kandungan dan perbandingan minyak. Daya simpan emulsi
dipengaruhi oleh kestabilan emulsi yang merupakan salah satu karakter penting
dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan.
Kestabilan emulsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ukuran partikel,
perbedaan densitas dua fase, kondisi penyimpanan, termasuk tinggi rendahnya
suhu, jumlah dan efektivitas pengemulsi emulsi (Suseno dan Husodo, 2000).
Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh, pengaruh bahan pengemulsi dan
jenis minyak serta interaksi antara bahan pengemulsi dan jenis minyak terhadap
kestabilan emulsi mayones pada setiap kelompok tidak berbeda nyata. Sampel 1
memiliki nilai rata-rata kestabilan emulsi sebesar 99,77%; sampel 2 sebesar
99,28%; sampel 3 sebesar 99,23%; sampel 4 sebesar 99,26%; sampel 5 sebesar
99,65%; sampel 6 sebesar 99,21; sampel 7 sebesar 99,60; dan sampel 8 sebesar
99,77. Kestabilan emulsi tertinggi diperoleh dari perlakuan kelompok 1 dan 8,
kemudian untuk kestabilan emulsi terendah didapatkan dari perlakuan kelompok
6. Pemisahan minyak dan air merupakan indikator ketidakstabilan emulsi.
Kestabilan emulsi akan meningkat pada penggunakan minyak dan kuning telur
yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada m a y o n n a i s e kelompok 1 dan 8 yang
memiliki kestabilan emulsi yang tinggi.
Perbedaan yang tidak nyata antar perlakuan disebabkan minyak nabati
yang digunakan teremulsi dengan baik dalam mayonnaise dikarenakan adanya
penambahan kuning telur sebagai emulsifier. Menurut Weiss (1983) bahwa
minyak tidak akan teremulsi dengan stabil apabila tidak adanya kuning telur,
karena kuning telur dapat menjaga butir minyak tetap terdispersi dalam emulsi.
Kandungan fosfatidilkolin sebagai emulsifier yang dimiliki kuning telur ayam.
Selain karena penambahan konsentrasi kuning telur yang tinggi, pada sampel 8
juga menggunakan jenis minyak sawit yang memiliki konsentrasi tertinggi.
Penggunakan minyak sawit tersebut akan mengahasilkan kestabilan emulsi yang
lebih baik. Semakin tinggi minyak yang digunakan maka semakin baik tingkat
kestabilan emulsinya. Minyak nabati bertindak sebagai fase internal sangat
mempengarui kestabilan emulsi mayones, sehingga pada konsentrasi yang
berbeda akan memberikan perbedaan terhadap kestabilan emulsi mayones.
Begitupun sebaliknya, sampel 6 terdiri dari konsentrasi minyak rendah sehingga
sistem emulsi kurang stabil jika dibandingkan dengan sampel 8. Namun nilai
kestabilan yang dihasilkan sudah cukup mendekati. Sedangkan pada sampel 1,
terdapat penyimpangan pada data yang dihasilkan. Pada sampel 1 yang memiliki
konsentrasi minyak kelapa dan kuning telur terendah memiliki nilai kestabilan
emulsi tertinggi sama dengan sampel 8. Hal ini dapat terjadi karena beberapa
faktor seperti kesalahan pada saat pengocokan, pengovenan maupun pemisahan
fase cairan setelah pengovenan.
BAB 6. KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini, yaitu sebagai
berikut :
1. Penggunaan jenis minyak yang berbeda dapat mempengaruhi kestabilan
emulsi, viskositas, dan warna serta mayonnaise.
2. Semakin tinggi konsentrasi minyak yang digunakan pada pembuatan
mayonnaise maka kestabilan emulsi dan viskositas semakin meningkat.
3. Perbedaan jumlah atau konsentrasi minyak dan kuning telur yang
digunakan pada pembuatan mayonnaise dapat mempengaruhi kestabilan
emulsi, viskositas, dan warna serta aroma.
4. Semakin tinggi konsentrasi minyak dan kuning telur yang digunakan
dalam pembuatan mayonnaise, maka kestabilan emulsi, viskositas, dan
warna serta aroma semakin tinggi juga.
6.2 Saran
Dalam pembuatan mayonnaise harus diperhatikan cara pengadukan yang
baik sebab hal tersebut sangat berpengaruh keberhasilan pembentukan
mayonnaise, sehingga kesalahan dalam melakukan praktikum dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA

Agusman. 2013. Pengujian Organoleptik. Modul Penanganan Mutu Fisis


(Organoleptik). Semarang. Program Studi Teknologi Pangan :
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Arsyad, M. 2016. Pengaruh Penambahan Tepung Mocaf Terhadap Kualitas
Produk Biskuit. Jurnal Agropolitan Vol.3 (3).
Audina. 2011. Perbandingan Mutu Mayones Telur Ayam dan Mayones Telur Itik.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI No.01- 4473-1998 Standar Mutu
Mayonnaise Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta.
Buckle, K. A., R. A. Edward, G. H. Fleet, dan M. Wooton. 2009. Ilmu Pangan.
Penerjemah : H. Purnomo dan Adiono. Jakarta : UI-Press.
Depree, J. A., dan G. P. Savage. 2001. Physical and flavour stability of
mayonnaise. Food Science and Technology. 12 : 157-163.
Di Mattiaa, C., et al. 2013. Physical Properties, Microstructure and Stability of
Extra-Virgin Olive Oil Based Mayonnaise. Inside Food Symposium,
Luven, Belgium
Evanuarini, H., Nurliyani, Indratiningsih, Hastuti, P. 2016. Kestabilan Emulsi dan
Karakteristik Sensoris Low Fat Mayonnaise dengan Menggunakan
Kefir sebagai Emulsifier Replacer. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak Vol. 11 No. 2 53-59.
Gaonkar, G. R. Koka, K. Chen and B. Campbell. 2010. Emulsifying functionality
of enzyme-modified milk proteins in O/W and mayonnaise-like
emulsions. African Journal of Food Science; 4 (1) :016-025.
Gianti, I., dan H. Evanuarini. 2011. Pengaruh penambahan gula dan lama
penyimpanan terhadap kualitas fisik susu fermentasi. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Ternak. 6 (1) : 28-33.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia.. 180
Le Hsich, Y.T. and J.M. Regeastein. 1992. Storage Stability Of Fish Oils, Soy Oil
and Corn Oil Mayonnaisas. Inc. New York.
Muchtadi, T. (1992). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Edisi kedua. Bandung :
Penerbit Alfabeta.
Muchtadi, T. R., Sugiyono, dan F. Ayustaningwarno. 2010. Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Cetakan Kedua. Bogor : Alfabeta, CV. 95-96.
Mutiah. 2002. Perbandingan Mutu Mayones Telur Ayam dan Mayones Telur Itik.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Nawar, W. W. 1985. Lipids. In : Food Chemistry. O. R. Fennema (ed.). pp.139-
244. Marcel Dekker, Inc., New York.
Nawar. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Jakarta : Bharatara Karya Aksara.
Palma A.,dkk. 2004. Effector Edible Oils On Quality and Shelf Life of Low-fat
Mayonnaise. Pakistan Journal of Nutrition 3 (6): 340-343.
Paul, P. C dan Palmer, H. H. 1972. Food Theory anf Application. New York: John
Willey anda Sons.
Paundrianagari, (2011), Peranan Lemak dalam Mayonnaise.
http ://paundrianagarimagisterilmugiziundip.com. Akses : 26 November
2019.
Pundir, R. K., dan P. Jain. 2010. Screening for antifungial activity of
commercially available chemical food preservatives. International
Journal of Pharmaceutical Science Review and Research. 5 (2) : 25-27.
Romanoff, A. L. dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Wiley and
Sons, Inc. New York. Hal: 341.
Soekarto, S.T. 2013. Teknologi Penanganan dan Pengolahan Telur. Bandung :
Alfabeta.
Suseno, T. I. P dan M. M. Husodo. 2000. Pengaruh Jenis dan Jumlah Lemak yang
Ditambahkan terhadap Sifat Mentega Tempe. Jurnal Teknologi Pangan
dan Gizi. Surabaya : Universitas Katolik Widya Mandala.
Weiss, E.A. 1983. Oil Seed Crops. Logman Inc. New York. USA.
Widayanti, A., S. R. Naniek, dan R. A. Damayanti. 2013. Pengaruh kombinasi
sukrosa dan fruktosa cair sebagai pemanis terhadap sifat fisik kembang
gula jeli sari buah pare (Momordica charantia L.). Farmasains. Vol
2(1) : 26-30.
Winarno, F. G. 1993. Pangan gizi, teknologi dan konsumen. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
101-104
Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Zuhrina. . 2011. “Pengaruh Penambahan Tepung Kulit Pisang Raja (Musa
Paradisiaca) Terhadap Daya Terima Kue Donat”. Skirpsi. Medan:
Universitas Sumatra Utara.
LAMPIRAN DOKUMENTASI

No Gambar Keterangan
.
1. Pemasukan gula kedalam gelas ukur

2. Pengukuran air 8 ml yang digunakan


untuk melarutkan gula dan garam

3. Pemasukan air kedalam beaker glass


untuk melarutkan gula dan garam

4. Penimbangan kuning telur sebanyak 18


gram atau 24 gram
5. Penimbangan minyak kelapa atau sawit
sebanyak 150 ml atau 130 ml

6. Pengocokan kuning telur dengan


kecepatan tinggi

7. Pemasukan larutan gula dan garam


kedalambaskom dan kemudian dilakukan
pengocokan kembali

8. Pemasukan cuka kedalam baskom dan


dilakukan pengocokan kembali
9. Pemasukan minyak kelapa atau sawit ke
dalam baskom dan kemudian dikocok

10. Penambahan cuka dan dilakukan


pengocokan

11. Adonan mayonnaise


dimasukkankedalampiringkecil dan
beaker glass. Pada adonan yang
diletakkan kedalam piring kecil akan
dilakukan uji visual dengan parameter
warna, viskositas, dan aroma.

12. Adonan mayonnaise yang diletakkan


kedalam beaker glass dilakukan
pengovenan selama 30 menit
13. Mayonnaise yang telah dioven akan
dilakukan pemisahan air dan
gumpalannya

14. Bagian yang menggumpal akan dilakukan


penimbangan untuk menghitung
kestabilan emulsi
LAMPIRAN PERHITUNGAN

Rumus

Kestabilan Emulsi (%) =

a. Kelompok 1 c. Kelompok 3

Ul 1 = Ul 1 =
= =
= 100 – 0,26 = 100 – 0,78
= 99,74% = 99,22%
Ul 2 = Ul 2 =

= =
= 100 – 0,20 = 100 – 0,76
= 99,80% = 99,24%
Rata-rata = Rata-rata =

= =
= 99,77% = 99,23%
b. Kelompok 2 d. Kelompok 4

Ul 1 = Ul 1 =

= =
= 100 – 0,71
= 100 – 0,775
= 99,29%
= 99,22%
Ul 2 =
Ul 2 =
=
=
= 100 – 0,77
= 100 – 0,66
= 99,23%
= 99,34%
Rata-rata =
Rata-rata =
=
=
= 99,26%
= 99,28%
e. Kelompok 5 = 99,62%

Ul 1 = Rata-rata =
=
=
= 99,60%
= 100 – 0,36
h. Kelompok 8
= 99,64%
Ul 2 = Ul 1 =

= =
= 100 – 0,327 = 100 – 0,20
= 99,67% = 99,80%
Rata-rata = Ul 2 =

= =
= 99,65% = 100 – 0,26
f. Kelompok 6 = 99,74%

Ul 1 = Rata-rata =
=
=
=99,77%
= 100 – 0,67
= 99,33%
Ul 2 =
=
= 100 – 0,908
= 99,09%
Rata-rata =
=
= 99,21%
g. Kelompok 7

Ul 1 =
=
= 100 – 0,416
= 99,58%
Ul 2 =
=
= 100 – 0,38

Anda mungkin juga menyukai