PENDAHULUAN
Kita harus sadari bahwa agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal maka dibutuhkan beberapa upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar anak.
Salah satu kebutuhan penting dari anak adalah imunisasi, karena imunisasi dapat
mencegah beberapa penyakit yang berperan dalam penyebab kematian pada anak.
Seperti Tuberculosis, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Campak dan Hepatitis ini
merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012, angka kematian bayi (AKB) 34/1000 kelahiran hidup dan angka kematian
balita (AKBA) 44/1000 kelahiran hidup. Hasil survei Riskesdas tahun 2013
didapatkan data cakupan imunisasi HB-0 (79,1%), BCG (87,6%), DPT-HB-3
(75,6%), Polio-4 (77,0%), dan imunisasi campak (82,1%). Survei ini dilakukan
pada anak usia 12– 23 bulan.
Dibandingkan dengan negara lain di antara sebelas negara di asia tenggara
(searo), indonesia memiliki cakupan imunisasi campak sebesar 84% dan termasuk
dalam kategori cakupan imunisasi campak sedang (world health statistics 2015).
1
Sedangkan timor leste dan india termasuk dalam kategori cakupan imunisasi campak
rendah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
Sedangkan vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme
yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau
berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein
rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada
seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit
tertentu. (Kemenkes RI, 2017)
3
untuk membentuk antibodi. Antibodi yang terbentuk setelah imunisasi berguna untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif sehingga dapat
mencegah atau mengurangi akibat penularan PD3I. (Pusdatin, 2016)
Sistem kekebalan adalah suatu sistem yang rumit dari interaksi sel yang tujuan
utamanya adalah mengenali adanya antigen. Antigen dapat berupa virus atau bakteri
yang hidup atau yang sudah diinaktifkan. Jenis kekebalan terbagi menjadi kekebalan
aktif dan kekebalan pasif.
Menuru WHO, vaksin umumnya dapat dikelola bersama (yaitu lebih dari satu
vaksin yang diberikan di lokasi yang berbeda selama kunjungan yang sama).
Rekomendasi yang secara eksplisit mendukung administrasi bersama ditunjukkan
dalam tabel, namun, kurangnya rekomendasi pemberian bersama secara eksplisit tidak
berarti bahwa vaksin tidak dapat diadministrasikan; lebih jauh, tidak ada rekomendasi
menentang pemberian bersama.
Dosis yang diatur oleh kampanye mungkin atau mungkin tidak berkontribusi pada
jadwal imunisasi rutin anak tergantung pada jenis dan tujuan kampanye (mis.,
Kampanye tambahan versus rutin / nadi untuk alasan akses). Untuk beberapa antigen,
rekomendasi untuk usia inisiasi seri imunisasi primer dan / atau dosis penguat tidak
tersedia. Sebagai gantinya, kriteria usia pada dosis pertama harus ditentukan dari data
epidemiologi lokal. (WHO, 2018)
4
Sub PIN
Outbreak Response Immunization (ORI)
c. Imunisasi Khsusus
B Imunisasi Pilihan
(Sumber : PMK No.12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi)
6
1) Pemberian Imunisasi Hb0
Penyakit Hepatitis B merupakan penyakit yang merusak hati dan
dapat menjadi kronis sehingga bisa menimbulkan pengerasan hati,
kanker hati dan kematian. Hepatitis disebabkan oleh virus yang
penularannya bisa vertikal yaitu dari ibu ke bayi selama proses
persalinan maupun secara horizinal melalui suntikan yang tidak aman,
transfusi darah, dari darah dan produknya.
Gejalanya adalah merasa lemah, gangguan perut, warna kuning
terlihat pada mata, kulit, urin menjadi kuning dan feses menjadi pucat.
Untuk meningkatkan kekebalan tubuh bayi/anak perlu diberikan
imunisasi Hepatitis. Vaksin hepatitis berupa vaksin virus recombian
yang telah diinaktivasikan dan bersifat noninfectious yang bersal dari
HBsAG.
Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam
waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin
K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB
monova-len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg)
pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi
dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian
pada usia 2, 4, dan 6 bulan. (IDAI, 2017)
a) Jumlah pemberian dan dosis
Pemberian imunisasi Hepatitis B sebanyak 4 kali (dosis). Setiap kali
pemberian dosisnya 0,5 ml atau 1 (buah) HB PID
b) Lokasi Penyuntikan
Disuntikkan secara intramuskuler sebaiknya pada anterolateral paha
c) Efek samping
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di
sekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan
biasanya hilang setelah 2 hari.
d) Penanganan efek samping
Orang tua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI).
7
Jika demam pakaikan pakaian yang tipis.
Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kg BB setiap 3–4 jam
(maksimal 6 kali dalam 24 jam).
Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat
e) Kontra indikasi
Penderita infeksi berat yang disertai kejang.
Dalam jurnal resminya, berikut beberapa point penting yang
dipaparkan WHO, yaitu :
Vaksinasi hepatitis B dianjurkan untuk semua anak di seluruh dunia.
Menjangkau semua anak dengan setidaknya 3 dosis vaksin hepatitis
B harus menjadi standar untuk semua program imunisasi nasional.
Karena penularan pasca kelahiran perinatal atau awal adalah sumber
infeksi HBV kronis yang paling penting secara global, semua bayi
(termasuk bayi berat lahir rendah dan bayi prematur) harus
menerima dosis pertama vaksin hepatitis B sesegera mungkin setelah
lahir, idealnya dalam 24 jam.
Dosis kelahiran harus diikuti oleh 2 atau 3 dosis tambahan untuk
melengkapi seri primer. Kedua opsi berikut dianggap tepat: (i)
jadwal 3 dosis dengan dosis pertama (monovalen) diberikan saat
lahir dan yang kedua dan ketiga (monovalen atau sebagai bagian dari
vaksin gabungan) diberikan pada saat yang sama dengan dosis
pertama dan ketiga vaksin yang mengandung DTP; atau (ii) 4 dosis,
di mana dosis kelahiran monovalen diikuti oleh 3 dosis vaksin
(monovalen atau gabungan), biasanya diberikan dengan vaksin bayi
rutin lainnya; dosis tambahan tidak menyebabkan kerusakan apa
pun. Interval antara dosis harus setidaknya 4 minggu.
Dosis kelahiran vaksin hepatitis B dapat diberikan untuk berat lahir
rendah (<2000g) dan bayi prematur. Untuk bayi-bayi ini, dosis
kelahiran tidak boleh dihitung sebagai bagian dari seri 3-dosis
primer; 3 dosis dari seri primer standar harus diberikan sesuai
dengan jadwal vaksinasi nasional.
8
Untuk mengejar individu yang tidak divaksinasi, prioritas harus
diberikan kepada kelompok usia yang lebih muda karena risiko
infeksi kronis paling tinggi pada kelompok ini. Vaksin catch-up
adalah kesempatan terbatas waktu untuk pencegahan dan harus
dipertimbangkan berdasarkan sumber daya dan prioritas yang
tersedia. Individu yang tidak divaksinasi harus divaksinasi dengan
jadwal 0, 1, 6 bulan.
Vaksinasi kelompok berisiko tinggi untuk memperoleh HBV
dianjurkan. Ini termasuk pasien yang sering membutuhkan darah
atau produk darah, pasien dialisis, pasien diabetes, penerima
transplantasi organ padat, orang dengan penyakit hati kronis
termasuk mereka dengan Hepatitis C, orang dengan infeksi HIV,
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, orang dengan
banyak seksual mitra, serta pekerja perawatan kesehatan dan orang
lain yang mungkin terkena darah, produk darah atau cairan tubuh
yang berpotensi menular selama bekerja.
2) Pemberian Imunisasi BCG
Menurut WHO dalam website resminya, Vaksinasi BCG universal saat
lahir dianjurkan di negara atau rangkaian dengan insidensi TB dan /
atau beban lepra tinggi. Satu dosis vaksin BCG harus diberikan kepada
semua neonatus yang sehat saat lahir, idealnya bersama dengan dosis
kelahiran Hepatitis Negara-negara dengan insidensi TB rendah atau
beban kusta dapat memilih untuk memvaksinasi neonatus secara
selektif dalam kelompok berisiko tinggi.
Vaksinasi BCG juga direkomendasikan untuk anak-anak, remaja dan
orang dewasa yang tidak divaksin TST- atau IGRA-negatif yang lebih
tua dari pengaturan dengan insidens TB dan / atau beban lepra tinggi,
yang bergerak dari rendah ke tinggi insiden TB / pengaturan beban
kusta dan orang yang berisiko pajanan di tempat kerja di daerah dengan
insiden TB rendah dan tinggi (misalnya pekerja perawatan kesehatan,
pekerja laboratorium, mahasiswa kedokteran, pekerja penjara, individu
lain dengan paparan kerja). Vaksinasi BCG tidak dianjurkan selama
kehamilan.
9
Jika orang yang terinfeksi HIV, termasuk anak-anak, menerima ART,
secara klinis baik dan stabil secara imunologis (CD4%> 25% untuk
anak usia <5 tahun atau jumlah CD4 ≥200 jika usia > 5 tahun) mereka
harus divaksinasi dengan BCG.
Neonatus yang lahir dari wanita dengan status HIV yang tidak
diketahui harus divaksinasi karena manfaat vaksinasi BCG lebih besar
daripada risikonya. Neonatus status HIV yang tidak diketahui lahir dari
wanita yang terinfeksi HIV harus divaksinasi jika mereka tidak
memiliki bukti klinis yang menunjukkan infeksi HIV, terlepas dari
apakah ibu menerima ART. Untuk neonatus dengan infeksi HIV yang
dikonfirmasi dengan tes virologi awal, vaksinasi BCG harus ditunda
sampai ART dimulai dan bayi dikonfirmasi stabil secara imunologis
(CD4> 25%). Bayi prematur sedang sampai akhir (usia kehamilan> 31
minggu) dan bayi berat lahir rendah (<2500 g) yang sehat dan stabil
secara klinis dapat menerima vaksinasi BCG saat lahir, atau paling
lambat, setelah pulang.
Gejalanya antara lain: berat badan anak susah bertambah, sulit
makan, mudah sakit, batuk berulang, demam dan berkeringat di malam
hari, juga diare persisten. Selain menghindari anak berkontak dengan
penderita TB, juga meningkatkan daya tahan tubuhnya yang salah
satunya melalui pemberian imunisasi BCG. Vaksin BCG merupakan
vaksin beku kering yang mengandung Mycrobacterium bovis hidup
yang dilemahkan. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3
bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau
lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. (IDAI, 2017)
10
b) Usia Pemberian
Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan,
disarankan tes (tuberculin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi
sudah kemasukan kuman Mycobacterium tubercolusis atau belum.
Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika ada penderita TB
yang tinggal serumah atau sering bertandang ke rumah, segera
setelah lahir si kecil diimunisasi BCG.
c) Lokasi Penyuntikan
Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertio
musculus deltoideus), dengan menggunakan ADS.
d) Efek Samping
Umumnya 2-6 minggu setelah imunisasi BCG daerah bekas suntikan
timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat
terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh
perlahan dengan menimbulkan jaringan parut dengan diameter 2-10
mm.
e) Penanganan efek samping
Apabila ulkus mengeluarkan cairan perlu dikompres dengan
cairan antiseptik.
Apabila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar
anjurkan orang tua membawa bayi ke dokter.
f) Kontra indikasi
Tidak bisa diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau
menunjukkan Mantoux positif.
11
Gejala dari penyakit polio diawali dengan demam, nyeri otot dan
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama. Kematian dapat terjadi
karena kelumpuhan pada otot-otot pernafasan yang terinfeksi dan tidak
segera ditangani. Oleh karena itu pemberian imunisasi polio harus
diberikan pada anak.
Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di
sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan. Selanjutnya,
untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau
IPV. Paling se-dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan
dengan pemberian OPV-3. (IDAI, 2017)
14
dilaporkan sebanyak 11.521 kasus campak, dengan incidence rate (IR)
campak sebesar 4,64 per 100.000 penduduk.
Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila
sudah mendapatkan MMR. (IDAI, 2017)
b) Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
menjamin terjaganya tingkat imunitas pada anak baduta, anak usia
sekolah, dan wanita usia subur (WUS) termasuk ibu hamil.
15
Vaksin DPT-HB-Hib terbukti aman dan memiliki efikasi yang tinggi,
tingkat kekebalan yang protektif akan terbentuk pada bayi yang sudah
mendapatkan tiga dosis Imunisasi DPT-HB-Hib. Walau Vaksin sangat
efektif melindungi kematian dari penyakit difteri, secara keseluruhan
efektivitas melindungi gejala penyakit hanya berkisar 70-90 %.
Setelah mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada saat bayi, seorang
anak membutuhkan imunisasi lanjutan selain saat berusia sebelum tiga
tahun (batita) dengan mendapatkan imunisasi DPT-HB-Hib dosis ke-4 dan
campak dosis kedua dan pada saat usia sekolah dasar, yaitu imunisasi
campak dan DT Pemberian imunisasi pada anak SD, diberikan dalam
kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yaitu imunisasi Campak
dilaksanakan pada bulan Agustus sedangkan imunisasi DT dan Td pada
bulan November.
Hasil penelitian (Kimura et al,1991) menunjukkan bahwa titer
antibodi yang terbentuk setelah dosis pertama <0.01 IU/mL dan setelah
dosis kedua berkisar 0.05-0.08 IU/mL dan setelah 3 dosis menjadi 1,5 -1,7
IU/mL dan menurun pada usia 15-18 bulan menjadi 0.03 IU/mL sehingga
dibutuhkan booster. Setelah booster diberikan didapatkan titer antibodi
yang tinggi sebesar 6,7 – 10.3 IU/mL.
Hasil serologi yang didapat pada anak yang diberikan DPT-HB-Hib
pada usia 18-24 bulan berdasarkan penelitian di Jakarta dan Bandung
(Rusmil et al,2014) diketahui Anti D 99.7 %, Anti T 100 %, HbSAg
99.5%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Imunisasi DPT harus
diberikan 3 kali dan tambahan pada usia 15-18 bulan untuk meningkatkan
titer anti bodi pada anak-anak.
Penyakit lain yang membutuhkan pemberian Imunisasi lanjutan pada
usia baduta adalah campak. Penyakit campak adalah penyakit yang sangat
mudah menular dan mengakibatkan komplikasi yang berat. Vaksin
campak memiliki efikasi kurang lebih 85%, sehingga masih terdapat anak-
anak yang belum memiliki kekebalan dan menjadi kelompok rentan
terhadap penyakit campak.
16
Tabel 2.3 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Dua Tahun
Umur Jenis Imunisasi Interval Minimal Setelah Imunisasi Dasar
18 Bulan DPT-Hb-Hib 12 bulan dari DPT-HB-Hib 3
Campak 6 bulan dari Campak dosis pertama
Catatan:
• Pemberian Imunisasi lanjutan pada baduta DPT-HB-Hib dan Campak
dapat diberikan dalam rentang usia 18-24 bulan
• Baduta yang telah lengkap Imunisasi dasar dan mendapatkan Imunisasi
lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai status Imunisasi T3.
Tabel 2.4 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar
Sasaran Imunisasi Waktu Pelaksanaan
Kelas 1 SD Campak DT Agustus, November
Kelas 2 SD Td November
Kelas 5 SD Td November
Catatan :
Anak usia sekolah dasar yang telah lengkap Imunisasi dasar dan Imunisasi
lanjutan DPT-HB-Hib serta mendapatkan Imunisasi DT dan Td dinyatakan
mempunyai status Imunisasi T5.
17
2. Imunisasi Tambahan
Yang termasuk dalam kegiatan Imunisasi Tambahan adalah:
a. Backlog fighting
Merupakan upaya aktif di tingkat Puskesmas untuk melengkapi
Imunisasi dasar pada anak yang berumur di bawah tiga tahun. Kegiatan ini
diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa yang selama dua tahun berturut-
turut tidak mencapai UCI.
b. Crash program
Kegiatan ini dilaksanakan di tingkat Puskesmas yang ditujukan untuk
wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah
terjadinya KLB. Kriteria pemilihan daerah yang akan dilakukan crash
program diantaranya angka kematian bayi akibat PD3I tinggi, infrastruktur
(tenaga, sarana, dana) kurang, dan desa yang selama tiga tahun berturut-
turut tidak mencapai UCI. Crash program bisa dilakukan untuk satu atau
lebih jenis Imunisasi, misalnya campak, atau campak terpadu dengan
polio.
c. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Merupakan kegiatan Imunisasi massal yang dilaksanakan secara
serentak di suatu negara dalam waktu yang singkat. PIN bertujuan untuk
memutuskan mata rantai penyebaran suatu penyakit dan meningkatkan
herd immunity (misalnya polio, campak, atau Imunisasi lainnya).
Imunisasi yang diberikan pada PIN diberikan tanpa memandang status
Imunisasi sebelumnya.
d. Cath Up Campaign (Kampanye)
Merupakan kegiatan Imunisasi Tambahan massal yang dilaksanakan
serentak pada sasaran kelompok umur dan wilayah tertentu dalam upaya
memutuskan transmisi penularan agent (virus atau bakteri) penyebab
PD3I. Kegiatan ini biasa dilaksanakan pada awal pelaksanaan kebijakan
pemberian Imunisasi, seperti pelaksanaan jadwal pemberian Imunisasi
baru.
e. Sub PIN
Merupakan kegiatan serupa dengan PIN tetapi dilaksanakan pada
wilayah terbatas (beberapa provinsi atau kabupaten/kota).
18
f. Imunisasi dalam Penanggulangan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI)
Pedoman pelaksanaan Imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan
dengan situasi epidemiologis penyakit masing-masing.
3. Imunisasi Khusus
a. Imunisasi Meningitis Meningokokus
Meningitis meningokokus adalah penyakit akut radang selaput otak
yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis. Pencegahan dapat
dilakukan dengan Imunisasi dan profilaksis untuk orang-orang yang
kontak dengan penderita meningitis dan carrier. Imunisasi meningitis
meningokokus diberikan kepada masyarakat yang akan melakukan
perjalanan ke negara endemis meningitis, yang belum mendapatkan
Imunisasi meningitis atau sudah habis masa berlakunya (masa berlaku 2
tahun).
Pemberian Imunisasi meningitis meningokokus diberikan minimal
30 (tiga puluh) hari sebelum keberangkatan. Setelah divaksinasi, orang
tersebut diberi ICV yang mencantumkan tanggal pemberian Imunisasi.
Bila Imunisasi diberikan kurang dari 14 (empat belas) hari sejak
keberangkatan ke negara yang endemis meningitis atau ditemukan adanya
kontraindikasi terhadap Vaksin meningitis, maka harus diberikan
profilaksis dengan antimikroba yang sensitif terhadap Neisseria
Meningitidis. Bagi yang datang atau melewati negara terjangkit meningitis
harus bisa menunjukkan sertifikat vaksin (ICV) yang masih berlaku
sebagai bukti bahwa mereka telah mendapat Imunisasi meningitis.
c. Imunisasi Rabies
Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan
suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
virus rabies yang ditularkan oleh anjing, kucing dan kera. Vaksin rabies
dapat mencegah kematian pada manusia bila diberikan secara dini pasca
gigitan. Vaksin anti rabies (VAR) manusia diberikan kepada seluruh kasus
gigitan hewan penular rabies (HPR) yang berindikasi, sehingga
kemungkinan kematian akibat rabies dapat dicegah.
d. Imunisasi Polio
Polio adalah penyakit lumpuh layu yang disebabkan oleh virus Polio
liar yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian. Pencegahan dapat
dilakukan dengan Imunisasi untuk orang-orang yang kontak dengan
penderita polio dan carrier. Imunisasi Polio diberikan kepada orang yang
belum mendapat Imunisasi dasar lengkap pada bayi atau tidak bisa
menunjukkan catatan Imunisasi/buku KIA, yang akan melakukan
perjalanan ke negara endemis atau terjangkit polio. Imunisasi diberikan
minimal 14 (empat belas) hari sebelum keberangkatan, dan dicatatkan
dalam sertifikat vaksin (International Certificate of Vaccination).
20
2.2.2 Imunisasi Pilihan
Imunisasi pilihan adalah Imunisasi lain yang tidak termasuk dalam
Imunisasi program, namun dapat diberikan pada bayi, anak, dan dewasa sesuai
dengan kebutuhannya dan pelaksanaannya juga dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang berkompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Introduksi Imunisasi Pilihan ke dalam Imunisasi Program dapat diawali
dengan kampanye atau demonstrasi program di lokasi terpilih sesuai dengan
epidemiologi penyakit. Beberapa vaksin yang digunakan dalam pelaksanaan
Imunisasi Pilihan saat ini adalah:
1) Vaksin Measles, Mumps, Rubela :
Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka
vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan).
Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat
diberikan vaksin MMR/MR. (IDAI, 2017)
Vaksin MMR bertujuan untuk mencegah Measles (campak), Mumps
(gondongan) dan Rubela merupakan vaksin kering yang mengandung virus
hidup, harus disimpan pada suhu 2–80C atau lebih dingin dan terlindung dari
cahaya. Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 (satu) jam setelah dicampur
dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terhindar dari cahaya, karena setelah
dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan potensinya pada
temperatur kamar. Dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau
subkutan dalam. Diberikan pada usia 12–18 bulan dan pada populasi dengan
insidens penyakit campak dini yang tinggi, Imunisasi MMR dapat diberikan
pada usia 9 (sembilan) bulan.
Rekomendasi:
1) Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan dan rubela atau sudah mendapatkan Imunisasi campak.
2) Anak dengan penyakit kronis seperti kistik fibrosis, kelainan jantung
bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.
3) Anak berusia ≥ 1 tahun yang berada di day care centre, family day care
dan playgroups.
21
4) Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
Kontra Indikasi:
1) Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau dengan
gangguan imunitas, yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif
atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2
mg/kgBB/hari prednisolon)
2) Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan,
sulit bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin
3) Pemberian MMR harus ditunda pada anak dengan demam akut, sampai
penyakit ini sembuh
4) Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin
virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini Imunisasi MMR
ditunda lebih kurang 1 bulan setelah Imunisasi yang terakhir. Individu
dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin.
5) Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat Imunisasi MMR (karena
komponen rubela) dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan
setelah mendapat suntikan MMR.
6) Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah yang mengandung
imunoglobulin (whole blood, plasma). Dengan alasan yang sama
imunoglobulin tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah
vaksinasi.
7) Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya
HIV bukan kontra indikasi, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk
meminta petunjuk pada dokter spesialis anak (konsultan).
2) Vaksin Tifoid
Vaksin Polisakarida Parenteral diberikan untuk anak usia ≥ 2 tahun.
Penyimpanan vaksin pada suhu 2 – 80C dan jangan dibekukan. Kadaluwarsa
dalam 3 tahun. Kontra indikasi alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin dan
pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif. Dosis 0,5
ml suntikan secara intra muskular atau subkutan pada daerah deltoid atau
paha. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun, daya proteksi vaksin ini hanya 50%-
22
80%, walaupun telah mendapatkan Imunisasi tetap dianjurkan untuk memilih
makanan dan minuman yang higienis
3) Vaksin Varisela
Vaksin varicella dan pneumokokus polisakarida, mungkin bermanfaat
secara individu tetapi umumnya belum direkomendasikan untuk imunisasi
rutin. Lihat kertas posisi spesifik untuk lebih jelasnya. (WHO, 2018)
Vaksin virus hidup varisela-zoster yang dilemahkan terdapat dalam
bentuk bubuk kering. Penyimpanan pada suhu 2–80C, vaksin dapat diberikan
bersama dengan vaksin MMR (MMR/V). Vaksin diberikan mulai umur
masuk sekolah (5 tahun), pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk
diberikan dua kali selang 4 minggu, dan pada keadaan terjadi kontak dengan
kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam
setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak berhubungan).
Kontra indikasi pemberian imunisasi varisela adalah demam tinggi, hitung
limfosit kurang dari 1200/μl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti
selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi, pasien
yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari
atau lebih), serta alergi neomisin. Dosis 0,5 ml suntikan secara subkutan,
dosis tunggal.
4) Vaksin Hepatitis A
Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine).
Pemberian bersama vaksin lain tidak mengganggu respon imun masing-
masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping.
Rekomendasi:
1) Populasi risiko tinggi tertular Virus Hepatitis A (VHA).
2) Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia >2 tahun
antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya
semakin luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap makanan dan
minuman yang tercemar.
3) Pasien Penyakit Hati Kronis, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular
VHA.
23
4) Kelompok lain: pengunjung ke daerah endemis; penjamah makanan; anak
usia 2–3 tahun di Tempat Penitipan Anak (TPA); staf TPA; staf dan
penghuni institusi untuk cacat mental; pria homoseksual dengan pasangan
ganda; pasien koagulopati; pekerja dengan primata; staf bangsal
neonatologi.
Kontra indikasi vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu
yang mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama. Dosis
vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien, vaksin diberikan 2
kali, suntikan kedua atau booster bervariasi antara 6 sampai 18 bulan setelah
dosis pertama, tergantung produk, vaksin diberikan pada usia ≥ 2 tahun.
5) Vaksin Influenza
Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated
influenza virus). Vaksin influenza mengandung antigen dari dua sub tipe
virus. Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus-menerus, maka
perlu dilakukan vaksinasi secara teratur setiap tahun, menggunakan vaksin
yang mengandung galur yang mutakhir. Vaksin influenza harus disimpan
dalam Vaccine Refrigerator dengan suhu 2º- 8ºC dan tidak boleh dibekukan.
Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun.
Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang
dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6-
36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL.
(IDAI, 2017)
Rekomendasi:
1) Semua orang usia ≥ 65 tahun
2) Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal dan
kelemahan sistem imun
3) Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk
diabetes, penyakit disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi
4) Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko
tinggi mendapat komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti
petugas kesehatan dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang
sekitarnya, semua orang yang kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23
24
bulan, dan orang-orang yang melayani atau erat dengan orang yang
mempunyai risiko tinggi
5) Imunisasi influenza dapat diberikan kepada anak sehat usia 6–23 bulan
Kontra Indikasi
1) Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin
influenza sebelumnya dan protein telur jangan diberi vaksinasi influenza
2) Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur
mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas
akut atau pingsan
3) Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang
menderita penyakit demam akut yang berat
6) Vaksin Pneumokokus
Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan
interval 2 bulan; dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis
terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.(IDAI,
2017)
Terdapat dua macam vaksin pneumokokus yaitu vaksin pneumokokus
polisakarida (Pneumococcal Polysacharide Vaccine/PPV) dan vaksin
pneumokokus konyugasi (Pneumococcal Conjugate Vaccine/PCV).
Rekomendasi:
a. Vaksin Pneumokokus polisakarida (PPV) diberikan pada:
1) Lansia usia > 65 tahun
2) Anak usia > 2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD (Invasive
Pneumococcal Disease) yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau
didapat), penyakit sickle cell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi
diberikan dua minggu sebelum splenektomi
3) Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS,
sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan
transplantasi organ
4) Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit
kronis yaitu penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes
5) Pasien usia > 2 tahun kebocoran cairan serebrospinal
25
b. Vaksin Pneumokokus konyugasi (PCV) direkomendasikan pada:
1) Semua anak sehat usia 2 bulan – 5 tahun;
2) Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik
kongenital atau didapat, termasuk anak dengan penyakit sicklecell,
splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum
splenektomi;
3) Pasien dengan imunokom promais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik,
multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ;
4) Pasien dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu
penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes;
5) Pasien kebocoran cairan serebrospinal; dan
6) Selain itu juga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang
huniannya padat, lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering
terserang akut otitis media
7) Vaksin Rotavirus
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan
usia 6-14 minggu (dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu),
dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3
kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertama tidak diberikan
pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-
10 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu. (IDAI, 2017)
Terdapat dua jenis Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran
yaitu vaksin monovalent dan pentavalent. Vaksin monovalent oral diberikan
secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya. Pemberian dalam 2
dosis pada usia 6–12 minggu dengan interval 8 minggu. Sedangkan vaksin
pentavalent oral merupakan kombinasi dari strain yang diisolasi dari human
dan bovine. Pemberian dalam 3 (tiga) dosis dengan interval 4 – 10 minggu
sejak pemberian dosis pertama. Dosis pertama diberikan umur 2 bulan.
Vaksin ini maksimal diberikan pada saat bayi berumur 8 bulan. Pemberian
vaksin rotavirus diharapkan selesai pada usia 24 minggu.
26
8) Vaksin Japanese Ensephalitis
Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis
yang akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka
panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya.
Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada
hari ke 0, 7 dan ke 28. Untuk anak yang berumur 1–3 tahun dosis yang
diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Booster diberikan
pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml tiga tahun kemudian
9) Vaksin Human Papillomavirus (HPV)
Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen
diberikan tiga kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen
dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun,
pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara
dengan 3 dosis.(IDAI, 2017)
Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen
diberikan tiga kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen
dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun,
pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara
dengan 3 dosis.Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan
teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat
dua jenis vaksin HPV yaitu Vaksin bivalen dan Vaksin quadrivalen. Vaksin
HPV mempunyai efikasi 96–98% untuk mencegah kanker leher rahim yang
disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada
anak perempuan sejak usia >9 tahun. Dosis 0,5 ml, diberikan secara intra
muskular pada daerah deltoid. Vaksin HPV bivalen, jadwal pemberian
dengan interval 0,1 dan 6 bulan pada anak usia 9 - 25 tahun. Vaksin HPV
quadrivalen jadwal pemberian dengan interval 0 dan 12 bulan pada anak usia
9 - 13 tahun dan jadwal pemberian dengan interval 0,2 dan 6 bulan pada anak
usia > 13 - 45 tahun
10) Vaksin Herpes Zoster
Vaksin Herpes Zoster bertujuan untuk mencegah penyakit Herpes
zoster dan nyeri pasca herpes (NPH). Setelah dilarutkan vaksin harus segera
disuntikkan ke pasien (tidak boleh lebih dari 30 menit setelah vaksin
27
dilarutkan). Sediaan bentuk serbuk terlipofilisasi dari Virus Varicella Zoster
yang dilemahkan dari anak yang terkena varicella secara alamiah. Saat akan
digunakan direkonstitusi/dilarutkan dengan pelarut yang disediakan. Indikasi
pemberian vaksin herpes zoster yaitu untuk individu usia 50 tahun ke atas,
imunokompeten dengan atau tanpa episode zoster dan histori cacar air
sebelumnya
11) Vaksin Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B bertujuan untuk memberikan perlindungan dan
mengurangi insiden timbulnya penyakit hati kronik dan karsinoma hati.
Setelah dilarutkan vaksin harus segera disuntikkan ke pasien (tidak boleh
lebih dari 30 menit setelah vaksin dilarutkan). Vaksin Hepatitis B
mengandung HbsAg yang telah dimurnikan (vaksin DNA rekombinan).
Vaksin Hepatitis B diberikan kepada kelompok individu dengan risiko tinggi
tertular Hepatitis B, diantaranya adalah :
Petugas kesehatan atau pekerja lainnya yang berisiko terhadap paparan
darah penderita Hepatitis B
Pasien hemodialisis
Pasien yang membutuhkan transfusi darah maupun komponen darah
Individu yang memiliki keluarga dengan riwayat Hepatitis B
Kontak atau hubungan seksual dengan karier Hepatitis B atau Hepatitis B
akut
Turis yang bepergian ke daerah endemik Hepatitis B
Pengguna obat-obatan suntik
Populasi berisiko secara seksual
Pasien dengan penyakit hati kronik
Pasien yang berencana melakukan transplantasi organ
Vaksin Hepatitis B diberikan dalam 3 dosis, yaitu pada bulan ke-0, 1
dan 6 atau sesuai dengan petunjuk produsen vaksin. Diberikan di lengan atas
secara intra muskular.
12) Vaksin Dengue
Vaksin Dengue adalah jenis virus dari group Flavivirus yang
mempunyai 4 sero tipe, Dengue1, Dengue2, Dengue3 dan Dengue4. Vaksin
Dengue terdiri dari powder dan pelarut, setiap dosis 0,5ML diberikan secara
28
subkutan pada lengan. Pada penerima vaksin dengue CYD didapatkan 305
reaksi lokal berupa nyeri, 40% reaksi sistemik berupa nyeri kepala, lemas,
dan nyeri otot. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12
bulan. (IDAI, 2017).
Negara-negara harus mempertimbangkan pengenalan vaksin dengue
CYD-TDV hanya dalam pengaturan geografis (nasional atau
subnasional) di mana data epidemiologi menunjukkan beban penyakit
yang tinggi.
Dalam menentukan populasi yang akan ditargetkan untuk vaksinasi,
infeksi sebelumnya dengan virus dengue dari serotipe apa saja, yang
diukur dengan seroprevalensi, harus sekitar 70% atau lebih besar pada
kelompok usia yang ditargetkan untuk vaksinasi untuk memaksimalkan
dampak kesehatan masyarakat dan efektivitas biaya.
Vaksinasi populasi dengan seroprevalensi antara 50% dan 70% dapat
diterima tetapi dampak program vaksinasi mungkin lebih rendah.
Vaksin tidak dianjurkan ketika seroprevalensi di bawah 50% pada
kelompok usia yang ditargetkan untuk vaksinasi.
Pengenalan vaksin Dengue harus menjadi bagian dari strategi
pengendalian demam berdarah yang komprehensif, termasuk
pengendalian vektor yang dilakukan dengan baik dan berkelanjutan,
praktik terbaik berbasis bukti untuk perawatan klinis untuk semua pasien
dengan penyakit demam berdarah, dan pengawasan demam berdarah
yang kuat. Pengantar vaksin harus disertai dengan strategi komunikasi
yang ditargetkan.
Keputusan tentang pengenalan memerlukan penilaian yang cermat di
tingkat negara, termasuk pertimbangan prioritas lokal, epidemiologi
dengue nasional dan subnasional, perkiraan dampak dan keefektifan
biaya dengan input spesifik negara, keterjangkauan dan dampak
anggaran.
Pada saat pengenalan, negara didorong untuk memiliki sistem
farmakovigilans fungsional dengan setidaknya kapasitas minimal untuk
memantau dan mengelola efek samping setelah imunisasi.
29
Negara-negara yang mempertimbangkan vaksinasi juga harus memiliki
sistem surveilans dengue yang dapat mendeteksi dan melaporkan kasus
demam berdarah yang dirawat di rumah sakit dan parah secara konsisten
dari waktu ke waktu.
Diadministrasikan sebagai seri 3-dosis yang diberikan pada jadwal
0/6/12 bulan. Jika dosis vaksin ditunda karena alasan apa pun, kursus
vaksin harus dilanjutkan (tidak dimulai kembali), mempertahankan
interval 6 bulan antara dosis berikutnya. Karena durasi 12 bulan dari
jadwal imunisasi dan untuk memungkinkan pemantauan vaksin yang
lebih baik, negara-negara harus memiliki sistem untuk melacak
vaksinasi.
Usia target untuk vaksinasi rutin harus ditentukan oleh masing-masing
negara, berdasarkan pada memaksimalkan dampak vaksinasi dan
kelayakan program untuk menargetkan kelompok usia tertentu.
Beberapa negara mungkin mengalami insiden penyakit dengue tertinggi
di kalangan orang dewasa dan dapat mempertimbangkan populasi
vaksinasi hingga usia 45 tahun.
30
digunakan. Jika tidak ditangani dengan sebaik-baiknya maka dapat
mengakibatkan kerusakan vaksin, menyebabkan potensi vaksin dapat berkurang
bahkan hilang dan tidak dapat diperbaiki lagi sehingga dapat mengakibatkan
kerugian yang cukup besar.
31
ruangan, terlindung dari sinar matahari langsung.
(Kemenkes RI, 2017)
Tabel 2.6 Penyimpanan Vaksin
PROVINSI KAB/KOTA PKM/PUSTU Bides/UPK
VAKSIN Masa Simpan Vaksin
2 Bln + 1 Bln 1 Bln + 1 Bln 1 Bln + 1 Mg 1 Bln + 1 Mg
POLIO -15oC s.d -25oC
DPT-HB-Hib
DT
BCG
CAMPAK 2oC s.d 8oC
Td
IPV
Hepatitis B Suhu Ruang
(Sumber : PMK No.12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi)
Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu 2°C s.d. 8°C atau pada suhu ruang
terhindar dari sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut
disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C.
Beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan dalam pemakaian
vaksin secara berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa
kadaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan
pemakaian sisa vaksin.
1. Keterpaparan Vaksin Terhadap Panas
VVM adalah alat pemantau paparan suhu panas. Fungsi VVM untuk
memantau suhu vaksin selama dalam perjalanan maupun dalam
penyimpanan. Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak
(yang dinyatakan dengan perubahan kondisi Vaksin Vial Monitor [VVM]
VVM A ke kondisi B) harus digunakan terlebih dahulu meskipun masa
kedaluwarsanya masih lebih panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C dan D
tidak boleh digunakan. Semua vaksin dilengkapi VVM, kecuali BCG.
32
Alat pemantau vaksin (VVM) yang menunjukkan kondisi yang berbeda
2. Masa Kadaluwarsa Vaksin
Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih
pendek masa kadaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO).
3. Waktu Penerimaan Vaksin (First In First Out/FIFO)
Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih
dahulu. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih
awal mempunyai jangka waktu pemakaian yang lebih pendek.
4. Pemakaian Vaksin Sisa
Vaksin sisa pada pelayanan statis (Puskesmas, Rumah Sakit, atau
Praktik Swasta) bisa digunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut.
Penyelenggaraan imunisasi wajib
a. Disimpan pada suhu 2oC s.d. 8oC;
b. VVM dalam kondisi A atau B;
c. Belum kadaluwarsa;
d. Tidak terendam air selama penyimpanan;
e. Belum melampaui masa pemakaian.
Tabel 2.7 Masa Pemakaian Vaksin Sisa
33
2.3.4 Pendistribusian
Pemerintah bertanggung jawab dalam pendistribusian logistik sampai ke
tingkat provinsi. Pendistribusian selanjutnya merupakan tanggung jawab
pemerintah daerah secara berjenjang. Seluruh proses distribusi vaksin dari pusat
sampai ke tingkat pelayanan, harus mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi
agar mampu memberikan kekebalan yang optimal kepada sasaran.
Distribusi dari puskesmas ke tempat pelayanan vaksin dibawa dengan
menggunakan vaksin carrier yang diisi cool pack dengan jumlah yang sesuai.
34
Gambar Cold/Cool Pack
35
6) Membuka pintu kamar dingin atau kamar beku jangan terlalu lama
7) Jangan membuat cool pack bersama vaksin di dalam kamar dingin,
pembuatan cool pack harus menggunakan Vaccine Refrigerator tersendiri;
8) Jangan membuat cold pack bersama vaksin di dalam kamar beku,
pembuatan cold pack harus menggunakan freezer tersendiri.
36
Bentuk pintu lemari es/freezer
1) Bentuk buka dari depan (front opening)
Lemari es/freezer dengan bentuk pintu buka dari depan banyak
digunakan dalam rumah tangga atau pertokoan, seperti untuk menyimpan
makanan, minuman, buah-buahan yang sifat penyimpanannya sangat
terbatas. Bentuk ini tidak dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
38
BAB III
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. 2015. Buku Ajar Imunisasi. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan
Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan No.12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi
WHO, 2018. http://www.who.int/immunization/ diakses tanggal 20 November 2018
Hikmarida, Faradiba. 2014. Keeratan Penyimpanan dan Pencatatan Dengan Kualitas
Rantai Dingin Vaksin DPT di Puskesmas. Jurnal Berkala Epidemiologi. http://e-
journal.unair.ac.id/index.php/JBE/article/viewFile/1304/1063 (Diunduh Tanggal 27
Oktober 2017)
Lumentut, P, dkk. 2015. Evaluasi Penyimpanan dan Pendistribusian Vaksin Dari Dinas
Kesehatan Kota Manado Ke Puskesmas Tuminting, Puskesmas Paniki Bawah dan
Puskesmas Wenang. Jurnal Ilmiah Farmasi.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=332349&val=1015&title=EVA
LUASI%20PENYIMPANAN%20DAN%20PENDISTRIBUSIAN%20VAKSIN%2
0DARI%20DINAS%20KESEHATAN%20KOTA%20MANADO%20KE%20PUS
KESMAS%20TUMINTING,%20PUSKESMAS%20PANIKI%20BAWAH%20DA
N%20PUSKESMAS%20WENANG (Diunduh Tanggal 17 November 2018)
iii