Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit menular khususnya
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang diberikan kepada tidak
hanya anak sejak masih bayi hingga remaja tetapi juga kepada dewasa. Imunisasi
merupakan salah satu investasi kesehatan yang paling cost-effective (murah), karena
terbukti dapat mencegah dan mengurangi kejadian sakit, cacat, dan kematian akibat
PD3I yang diperkirakan 2 hingga 3 juta kematian tiap tahunnya. (Pusdatin, 2016)
Seperti kita ketahui, bahwa di masyarakat masih ada pemahaman yang berbeda
mengenai imunisasi, sehingga masih banyak bayi dan balita yang tidak mendapatkan
pelayanan imunisasi. Alasan yang disampaikan orangtua mengenai hal tersebut, antara
lain karena anaknya takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat
imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/ repot. Karena itu, pelayanan
imunisasi harus ditingkatkan di berbagai tingkat unit pelayanan.

Kita harus sadari bahwa agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal maka dibutuhkan beberapa upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar anak.
Salah satu kebutuhan penting dari anak adalah imunisasi, karena imunisasi dapat
mencegah beberapa penyakit yang berperan dalam penyebab kematian pada anak.
Seperti Tuberculosis, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Campak dan Hepatitis ini
merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012, angka kematian bayi (AKB) 34/1000 kelahiran hidup dan angka kematian
balita (AKBA) 44/1000 kelahiran hidup. Hasil survei Riskesdas tahun 2013
didapatkan data cakupan imunisasi HB-0 (79,1%), BCG (87,6%), DPT-HB-3
(75,6%), Polio-4 (77,0%), dan imunisasi campak (82,1%). Survei ini dilakukan
pada anak usia 12– 23 bulan.
Dibandingkan dengan negara lain di antara sebelas negara di asia tenggara
(searo), indonesia memiliki cakupan imunisasi campak sebesar 84% dan termasuk
dalam kategori cakupan imunisasi campak sedang (world health statistics 2015).

1
Sedangkan timor leste dan india termasuk dalam kategori cakupan imunisasi campak
rendah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah dari penulisan
makalah ini adalah :
1. Apakah imunisasi dasar, imunisasi ulangan/boster, dan imunisasi anjuran pada
neonatus, bayi, dan balita itu? Apa saja jenisnya?
2. Bagaimanakah cara, waktu/ jadwal pemberian imunisasi-imunisasi tersebut
menurut usianya?
3. Bagaimanakah cara penyimpanan vaksin imunisasi agar tidak rusak?
4. Apa sajakah indikasi dan kontraindikasi dari pemberian imunisasi?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan ini untuk mengetahui dan memahami imunisasi
dasar, imunisasi ulangan/boster, dan imunisasi anjuran pada neonates, bayi, dan
balita.

1.3.2 Tujuan khusus


Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
 Mengetahui dan memahami jenis-jenis dari imunisasi
 Mengetahui dan memahami cara penyimpanan vaksin imunisasi
 Mengetahui dan memahami dosis dan cara pemberian imunisasi
 Mengetahui dan memahami jadwal pemberian imunisasi
 Mengetahui dan memahami indikasi dan kontra indikasi pemberian imunisasi
 Mengetahui dan memahami rantai dingin

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
Sedangkan vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme
yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau
berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein
rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada
seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit
tertentu. (Kemenkes RI, 2017)

Imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang telah diselenggarakan di


Indonesia sejak 1956. Program ini terbukti pula paling efektif dan efisien dalam
pemberian layanan kesehatan. Lewat program ini pula Indonesia dinyatakan bebas dari
penyakit cacar sejak tahun 1974. Mulai tahun 1977, selanjutnya kegiatan imunisasi
diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan
penularan terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I),
yaitu Tuberkolosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus, Hepatitis-B, serta
Pneumonia. Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan
komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara adalah eradikasi polio
(ERAPO), eliminasi campak dan rubela dan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal
(ETMN). (Buku Ajar Imunisasi 2015)
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa program imunisasi ke
dalam penyelenggaraan pelayanan yang bermutu dan efisien. Upaya tersebut
didukung dengan kemajuan yang pesat dalam bidang penemuan vaksin baru
(Rotavirus, Jappanese Encephalitis, dan lain-lain). Perkembangan teknologi lain
adalah menggabungkan beberapa jenis vaksin sebagai vaksin kombinasi yang terbukti
dapat meningkatkan cakupan imunisasi, mengurangi jumlah suntikan dan kontak
dengan petugas.
Cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen bakteri atau virus tertentu
yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan merangsang sistem imun tubuh

3
untuk membentuk antibodi. Antibodi yang terbentuk setelah imunisasi berguna untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif sehingga dapat
mencegah atau mengurangi akibat penularan PD3I. (Pusdatin, 2016)
Sistem kekebalan adalah suatu sistem yang rumit dari interaksi sel yang tujuan
utamanya adalah mengenali adanya antigen. Antigen dapat berupa virus atau bakteri
yang hidup atau yang sudah diinaktifkan. Jenis kekebalan terbagi menjadi kekebalan
aktif dan kekebalan pasif.
Menuru WHO, vaksin umumnya dapat dikelola bersama (yaitu lebih dari satu
vaksin yang diberikan di lokasi yang berbeda selama kunjungan yang sama).
Rekomendasi yang secara eksplisit mendukung administrasi bersama ditunjukkan
dalam tabel, namun, kurangnya rekomendasi pemberian bersama secara eksplisit tidak
berarti bahwa vaksin tidak dapat diadministrasikan; lebih jauh, tidak ada rekomendasi
menentang pemberian bersama.
Dosis yang diatur oleh kampanye mungkin atau mungkin tidak berkontribusi pada
jadwal imunisasi rutin anak tergantung pada jenis dan tujuan kampanye (mis.,
Kampanye tambahan versus rutin / nadi untuk alasan akses). Untuk beberapa antigen,
rekomendasi untuk usia inisiasi seri imunisasi primer dan / atau dosis penguat tidak
tersedia. Sebagai gantinya, kriteria usia pada dosis pertama harus ditentukan dari data
epidemiologi lokal. (WHO, 2018)

2.2 Jenis - Jenis Imunisasi Berdasarkan Penyelenggaraan


Berdasarkan jenis penyelenggaraannya, Imunisasi dikelompokkan menjadi
Imunisasi Program dan Imunisasi Pilihan.
Tabel Jenis-jenis Imunisasi Berdasarkan Penyelenggaraan
A Imunisasi Program
a. Imunisasi Rutin
 Imunisasi dasar pada bayi
 Imunisasi lanjutan pada batita (bayi dibawah tiga tahun)
 Imunisasi lanjutan pada anak sekolah
 Imunisasi lanjutan pada wanita usia subur
b. Imunisasi tambahan
 Backlogfighting (upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang
berumur 1-3 tahun)
 Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
 Catch up campaign campak
 Crash program (Program percepatan)

4
 Sub PIN
 Outbreak Response Immunization (ORI)
c. Imunisasi Khsusus
B Imunisasi Pilihan
(Sumber : PMK No.12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi)

2.2.1 Imunisasi Program


Imunisasi Program adalah Imunisasi yang diwajibkan kepada seseorang
sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan
dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi.
Imunisasi Program terdiri atas Imunisasi rutin, Imunisasi tambahan, dan
Imunisasi khusus.
Imunisasi diberikan pada sasaran yang sehat untuk itu sebelum pemberian
Imunisasi diperlukan skrining untuk menilai kondisi sasaran.
Prosedur skrining sasaran meliputi:
a) Kondisi sasaran;

Sistematika Skrining Pemberian Imunisasi


(Sumber : PMK No.12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi)

b) Jenis dan manfaat Vaksin yg diberikan;

c) Akibat bila tidak diImunisasi;


5
d) Kemungkinan KIPI dan upaya yang harus dilakukan; dan

e) Jadwal Imunisasi berikutnya.


Imunisasi Program terbagi menjadi 3 yaitu Imunisasi Rutin, Imunisasi
Tambahan dan Imunisasi Khusus. Berikut penjelasan mengenai ketiga jenis
Imunisasi Program :
1. Imunisasi Rutin
a) Imunisasi Dasar
Setiap negara mempunyai program imunisasi yang berbeda,
tergantung prioritas dan keadaan kesehatan di masing-masing negara.
Penentuan jenis imunisasi ini didasarkan atas kajian ahli dan analisa
epidemilogi atas penyakit-penyakit yang timbul. Di Indonesia, program
imunisasi mewajibkan setiap bayi (usia 0-11 bulan) mendapatkan
imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 1 dosis hepatitis B, 1 dosis BCG,
3 dosis DPT-HB-Hib, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis campak dengan
jadwal pemeberian sebagai berikut :

Tabel Jadwal Pemberian Imunisasi

6
1) Pemberian Imunisasi Hb0
Penyakit Hepatitis B merupakan penyakit yang merusak hati dan
dapat menjadi kronis sehingga bisa menimbulkan pengerasan hati,
kanker hati dan kematian. Hepatitis disebabkan oleh virus yang
penularannya bisa vertikal yaitu dari ibu ke bayi selama proses
persalinan maupun secara horizinal melalui suntikan yang tidak aman,
transfusi darah, dari darah dan produknya.
Gejalanya adalah merasa lemah, gangguan perut, warna kuning
terlihat pada mata, kulit, urin menjadi kuning dan feses menjadi pucat.
Untuk meningkatkan kekebalan tubuh bayi/anak perlu diberikan
imunisasi Hepatitis. Vaksin hepatitis berupa vaksin virus recombian
yang telah diinaktivasikan dan bersifat noninfectious yang bersal dari
HBsAG.
Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam
waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin
K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB
monova-len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg)
pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi
dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian
pada usia 2, 4, dan 6 bulan. (IDAI, 2017)
a) Jumlah pemberian dan dosis
Pemberian imunisasi Hepatitis B sebanyak 4 kali (dosis). Setiap kali
pemberian dosisnya 0,5 ml atau 1 (buah) HB PID
b) Lokasi Penyuntikan
Disuntikkan secara intramuskuler sebaiknya pada anterolateral paha
c) Efek samping
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di
sekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan
biasanya hilang setelah 2 hari.
d) Penanganan efek samping
 Orang tua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI).
7
 Jika demam pakaikan pakaian yang tipis.
 Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
 Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kg BB setiap 3–4 jam
(maksimal 6 kali dalam 24 jam).
 Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat

e) Kontra indikasi
Penderita infeksi berat yang disertai kejang.
Dalam jurnal resminya, berikut beberapa point penting yang
dipaparkan WHO, yaitu :
 Vaksinasi hepatitis B dianjurkan untuk semua anak di seluruh dunia.
Menjangkau semua anak dengan setidaknya 3 dosis vaksin hepatitis
B harus menjadi standar untuk semua program imunisasi nasional.
Karena penularan pasca kelahiran perinatal atau awal adalah sumber
infeksi HBV kronis yang paling penting secara global, semua bayi
(termasuk bayi berat lahir rendah dan bayi prematur) harus
menerima dosis pertama vaksin hepatitis B sesegera mungkin setelah
lahir, idealnya dalam 24 jam.
 Dosis kelahiran harus diikuti oleh 2 atau 3 dosis tambahan untuk
melengkapi seri primer. Kedua opsi berikut dianggap tepat: (i)
jadwal 3 dosis dengan dosis pertama (monovalen) diberikan saat
lahir dan yang kedua dan ketiga (monovalen atau sebagai bagian dari
vaksin gabungan) diberikan pada saat yang sama dengan dosis
pertama dan ketiga vaksin yang mengandung DTP; atau (ii) 4 dosis,
di mana dosis kelahiran monovalen diikuti oleh 3 dosis vaksin
(monovalen atau gabungan), biasanya diberikan dengan vaksin bayi
rutin lainnya; dosis tambahan tidak menyebabkan kerusakan apa
pun. Interval antara dosis harus setidaknya 4 minggu.
 Dosis kelahiran vaksin hepatitis B dapat diberikan untuk berat lahir
rendah (<2000g) dan bayi prematur. Untuk bayi-bayi ini, dosis
kelahiran tidak boleh dihitung sebagai bagian dari seri 3-dosis
primer; 3 dosis dari seri primer standar harus diberikan sesuai
dengan jadwal vaksinasi nasional.

8
 Untuk mengejar individu yang tidak divaksinasi, prioritas harus
diberikan kepada kelompok usia yang lebih muda karena risiko
infeksi kronis paling tinggi pada kelompok ini. Vaksin catch-up
adalah kesempatan terbatas waktu untuk pencegahan dan harus
dipertimbangkan berdasarkan sumber daya dan prioritas yang
tersedia. Individu yang tidak divaksinasi harus divaksinasi dengan
jadwal 0, 1, 6 bulan.
 Vaksinasi kelompok berisiko tinggi untuk memperoleh HBV
dianjurkan. Ini termasuk pasien yang sering membutuhkan darah
atau produk darah, pasien dialisis, pasien diabetes, penerima
transplantasi organ padat, orang dengan penyakit hati kronis
termasuk mereka dengan Hepatitis C, orang dengan infeksi HIV,
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, orang dengan
banyak seksual mitra, serta pekerja perawatan kesehatan dan orang
lain yang mungkin terkena darah, produk darah atau cairan tubuh
yang berpotensi menular selama bekerja.
2) Pemberian Imunisasi BCG
Menurut WHO dalam website resminya, Vaksinasi BCG universal saat
lahir dianjurkan di negara atau rangkaian dengan insidensi TB dan /
atau beban lepra tinggi. Satu dosis vaksin BCG harus diberikan kepada
semua neonatus yang sehat saat lahir, idealnya bersama dengan dosis
kelahiran Hepatitis Negara-negara dengan insidensi TB rendah atau
beban kusta dapat memilih untuk memvaksinasi neonatus secara
selektif dalam kelompok berisiko tinggi.
Vaksinasi BCG juga direkomendasikan untuk anak-anak, remaja dan
orang dewasa yang tidak divaksin TST- atau IGRA-negatif yang lebih
tua dari pengaturan dengan insidens TB dan / atau beban lepra tinggi,
yang bergerak dari rendah ke tinggi insiden TB / pengaturan beban
kusta dan orang yang berisiko pajanan di tempat kerja di daerah dengan
insiden TB rendah dan tinggi (misalnya pekerja perawatan kesehatan,
pekerja laboratorium, mahasiswa kedokteran, pekerja penjara, individu
lain dengan paparan kerja). Vaksinasi BCG tidak dianjurkan selama
kehamilan.

9
Jika orang yang terinfeksi HIV, termasuk anak-anak, menerima ART,
secara klinis baik dan stabil secara imunologis (CD4%> 25% untuk
anak usia <5 tahun atau jumlah CD4 ≥200 jika usia > 5 tahun) mereka
harus divaksinasi dengan BCG.
Neonatus yang lahir dari wanita dengan status HIV yang tidak
diketahui harus divaksinasi karena manfaat vaksinasi BCG lebih besar
daripada risikonya. Neonatus status HIV yang tidak diketahui lahir dari
wanita yang terinfeksi HIV harus divaksinasi jika mereka tidak
memiliki bukti klinis yang menunjukkan infeksi HIV, terlepas dari
apakah ibu menerima ART. Untuk neonatus dengan infeksi HIV yang
dikonfirmasi dengan tes virologi awal, vaksinasi BCG harus ditunda
sampai ART dimulai dan bayi dikonfirmasi stabil secara imunologis
(CD4> 25%). Bayi prematur sedang sampai akhir (usia kehamilan> 31
minggu) dan bayi berat lahir rendah (<2500 g) yang sehat dan stabil
secara klinis dapat menerima vaksinasi BCG saat lahir, atau paling
lambat, setelah pulang.
Gejalanya antara lain: berat badan anak susah bertambah, sulit
makan, mudah sakit, batuk berulang, demam dan berkeringat di malam
hari, juga diare persisten. Selain menghindari anak berkontak dengan
penderita TB, juga meningkatkan daya tahan tubuhnya yang salah
satunya melalui pemberian imunisasi BCG. Vaksin BCG merupakan
vaksin beku kering yang mengandung Mycrobacterium bovis hidup
yang dilemahkan. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3
bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau
lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. (IDAI, 2017)

a) Jumlah pemberian dan dosis


Cukup 1 kali saja dan diberikan saat usia 1 bulan, tak perlu diulang
(booster), sebab vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi
yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan vaksin berisi
kuman mati, hingga memerlukan pengulangan. Dosis pemberian
0,05 ml.

10
b) Usia Pemberian
Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan,
disarankan tes (tuberculin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi
sudah kemasukan kuman Mycobacterium tubercolusis atau belum.
Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika ada penderita TB
yang tinggal serumah atau sering bertandang ke rumah, segera
setelah lahir si kecil diimunisasi BCG.
c) Lokasi Penyuntikan
Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertio
musculus deltoideus), dengan menggunakan ADS.
d) Efek Samping
Umumnya 2-6 minggu setelah imunisasi BCG daerah bekas suntikan
timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat
terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh
perlahan dengan menimbulkan jaringan parut dengan diameter 2-10
mm.
e) Penanganan efek samping
 Apabila ulkus mengeluarkan cairan perlu dikompres dengan
cairan antiseptik.
 Apabila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar
anjurkan orang tua membawa bayi ke dokter.
f) Kontra indikasi
Tidak bisa diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau
menunjukkan Mantoux positif.

3) Pemberian Imunisasi Polio


Penyakit Polio merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Penyakit polio adalah penyakit pada susunan saraf
pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan,
yaitu virus polio tipe 1, 2 atau 3. Secara klinis penyakit polio dapat
menyerang pada anak usia di bawah 15 tahun. Penyebaran penyakit
melalui kotoran manusia yang terkontaminasi.

11
Gejala dari penyakit polio diawali dengan demam, nyeri otot dan
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama. Kematian dapat terjadi
karena kelumpuhan pada otot-otot pernafasan yang terinfeksi dan tidak
segera ditangani. Oleh karena itu pemberian imunisasi polio harus
diberikan pada anak.
Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di
sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan. Selanjutnya,
untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau
IPV. Paling se-dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan
dengan pemberian OPV-3. (IDAI, 2017)

a) Jumlah pemberian dan dosis


Vaksin Polio Oral (OPV): Pemberian imunisasi Polio Oral sebanyak
4 kali (dosis). Setiap kali pemberian dosisnya 2 (dua) tetes.
b) Usia pemberian
Dosis pertama diberikan pada usia 1 bulan dan dosis berikutnya
diberikan dengan interval 4 minggu (1 bulan)
c) Lokasi Pemberian
Secara oral (melalui mulut), 1 dosis (dua tetes)
d) Efek samping
Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio oral
e) Penanganan efek samping
Orang tua tidak perlu melakukan tindakan apapun
f) Kontra indikasi
Pada individu yang menderita immune deficiency tidak ada efek
berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang
sedang sakit.

4) Pemberian Imunisasi DPT-HB-Hib


Difteri merupakan penyakit yang menyerang sistem pernafasan.
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria.
Penyebarannya melalui kontak fisik dan pernafasan. Gejala awal
penyakit adalah radang pada tenggorokan, hilang nafsu makan, dan
demam ringan. Dalam 2-3 hari timbul selaput putih kebiru-biruan pada
12
tenggorokan dan tonsil. Difteri dapat menimbulkan komplikasi berupa
gangguan pernafasan yang berakibat kematian.
Pertusis merupakan penyakit batuk rejan atau disebut juga batuk
100 hari adalah penyakit pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh
bakteri Bordetella pertusis. Penyebaran melalui percikan ludah yang
keluar dari batuk atau bersin. Gejala penyakit ini adalah pilek, mata
merah, bersin, demam dan batuk ringan lama kelamaan menjadi parah.
Komplikasi yang ditimbulkan adalah Pneumonia bacterialis yang dapat
menyebabkan kematian.
Tetanus merupakan penyakit anak yang disebabkan oleh
Clostridium tetani yang menghasilkan neurotoksin. Penyebaran
penyakit ini melalui kotoran yang masuk ke dalam luka yang dalam.
Gejala awal penyakit ini adalah kaku otot pada rahang disertai kaku
pada leher, kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat dan demam.
Pada bayi dapat juga gejala berhenti menetek, kejang yang hebat dan
tubuh menjadi kaku. Komplikasi penyakit tetanus adalah patah tulang
akibat kejang, pneumonia dan infeksi lain yang dapat menimbulkan
kematian. Ketiga penyakit tersebut dapat dicegah dengan pemberian
imunissi DTP. Pada umumnya pemberian imunisasi DTP bersamaan
dengan Hb dan Hib. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada
usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka
interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6
bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan
booster Td diberikan setiap 10 tahun. (IDAI, 2017)
a) Jumlah pemberian dan dosis
Pemberian imunisasi DTP sebanyak 3 kali (dosis). Setiap kali
pemberian dosisnya 0,5 ml.
b) Usia Pemberian
Pemberian pertama pada bayi usia 2 bulan kemudian pemberian
selanjutnya dengan interval 4 minggu.
c) Lokasi Penyuntikan
Disuntikkan secara Intra Muskuler atau Sub Cutan dalam.
13
d) Efek Samping
Efek samping berupa bengkak, nyeri dan kemerahan pada lokasi
suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala demam,
anak rewel dan menangis dengan nada tinggi dapat terjadi pada 24
jam setelah pemberian imunisasi.
5) Penanganan efek samping
 Orang tua dianjurkan untuk memberikan minum yang lebih
banyak.
 Jika demam, kenakan pakaian yang tipis.
 Bekas suntukan yang nyeri dapat di kompres dengan air biasa.
 Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam
(maksimal 6 kali
 dalam 24 jam).
 Anak boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
6) Kontra indikasi:
Hipersensitif terhadap komponen dari vaksin.

5) Pemberian Imunisasi Campak


Campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan
cara imunisasi (PD3I). Vaksinasi campak dapat menurunkan 75%
kematian akibat campak atau diperkirakan 15,6 juta kematian selama
tahun 2000-2013. Namun faktanya pada tahun 2013 kasus campak
masih cukup tinggi, case fatality rate kasus campak di dunia sebesar
81% yang diperkirakan sekitar 400 kematian setiap hari atau 16
kematian setiap jam, sedangkan incidence rate (IR) kasus campak di
regional SEARO pada tahun 2013 sebesar 9,2 per 1.000 penduduk.
Penyakit campak dapat berpotensi untuk menjadi kejadian luar
biasa (KLB). Campak dinyatakan sebagai suatu kejadian luar biasa
(KLB) apabila terdapat 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu
berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan dengan adanya
hubungan epidemiologis. Pada tahun 2013, jumlah KLB campak yang
terjadi di Indonesia sebanyak 128 KLB dengan jumlah kasus adalah
1.677 kasus. Di Indonesia tahun 2013, angka kejadian campak yang

14
dilaporkan sebanyak 11.521 kasus campak, dengan incidence rate (IR)
campak sebesar 4,64 per 100.000 penduduk.
Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila
sudah mendapatkan MMR. (IDAI, 2017)

a) Jumlah pemberian dan dosis


Pada bayi imunisasi campak diberikan hanya 1 kali dengan dosis
pemberian 0,5 ml.
b) Usia pemberian
Imunisasi campak pada bayi diberikan pada usia 9 – 1 bulan.
c) Lokasi pemberian
Disuntikan secara subcutan pada lengan kiri atau anterolateral paha.
d) Efek samping
Hingga 15% pada pasien dapat mengalami demam ringan dan
kemerahan selama 3 hari yang terjadi 8 -12 hari setelah vaksinasi.
e) Penanganan efek samping
 Orang tua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI atau sari buah).
 Jika demam pakaikan pakaian yang tipis.
 Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
 Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam
(maksimal 6 kali dalam 24 jam).
 Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
 Jika reaksi tersebut berat dan menetap bawa bayi ke dokter.
f) Kontra indikasi
Individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu
yang diduga menderita, serta gangguan respons imun karena
leukemia, limfoma.

b) Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
menjamin terjaganya tingkat imunitas pada anak baduta, anak usia
sekolah, dan wanita usia subur (WUS) termasuk ibu hamil.

15
Vaksin DPT-HB-Hib terbukti aman dan memiliki efikasi yang tinggi,
tingkat kekebalan yang protektif akan terbentuk pada bayi yang sudah
mendapatkan tiga dosis Imunisasi DPT-HB-Hib. Walau Vaksin sangat
efektif melindungi kematian dari penyakit difteri, secara keseluruhan
efektivitas melindungi gejala penyakit hanya berkisar 70-90 %.
Setelah mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada saat bayi, seorang
anak membutuhkan imunisasi lanjutan selain saat berusia sebelum tiga
tahun (batita) dengan mendapatkan imunisasi DPT-HB-Hib dosis ke-4 dan
campak dosis kedua dan pada saat usia sekolah dasar, yaitu imunisasi
campak dan DT Pemberian imunisasi pada anak SD, diberikan dalam
kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yaitu imunisasi Campak
dilaksanakan pada bulan Agustus sedangkan imunisasi DT dan Td pada
bulan November.
Hasil penelitian (Kimura et al,1991) menunjukkan bahwa titer
antibodi yang terbentuk setelah dosis pertama <0.01 IU/mL dan setelah
dosis kedua berkisar 0.05-0.08 IU/mL dan setelah 3 dosis menjadi 1,5 -1,7
IU/mL dan menurun pada usia 15-18 bulan menjadi 0.03 IU/mL sehingga
dibutuhkan booster. Setelah booster diberikan didapatkan titer antibodi
yang tinggi sebesar 6,7 – 10.3 IU/mL.
Hasil serologi yang didapat pada anak yang diberikan DPT-HB-Hib
pada usia 18-24 bulan berdasarkan penelitian di Jakarta dan Bandung
(Rusmil et al,2014) diketahui Anti D 99.7 %, Anti T 100 %, HbSAg
99.5%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Imunisasi DPT harus
diberikan 3 kali dan tambahan pada usia 15-18 bulan untuk meningkatkan
titer anti bodi pada anak-anak.
Penyakit lain yang membutuhkan pemberian Imunisasi lanjutan pada
usia baduta adalah campak. Penyakit campak adalah penyakit yang sangat
mudah menular dan mengakibatkan komplikasi yang berat. Vaksin
campak memiliki efikasi kurang lebih 85%, sehingga masih terdapat anak-
anak yang belum memiliki kekebalan dan menjadi kelompok rentan
terhadap penyakit campak.

16
Tabel 2.3 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Dua Tahun
Umur Jenis Imunisasi Interval Minimal Setelah Imunisasi Dasar
18 Bulan DPT-Hb-Hib 12 bulan dari DPT-HB-Hib 3
Campak 6 bulan dari Campak dosis pertama
Catatan:
• Pemberian Imunisasi lanjutan pada baduta DPT-HB-Hib dan Campak
dapat diberikan dalam rentang usia 18-24 bulan
• Baduta yang telah lengkap Imunisasi dasar dan mendapatkan Imunisasi
lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai status Imunisasi T3.

Tabel 2.4 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar
Sasaran Imunisasi Waktu Pelaksanaan
Kelas 1 SD Campak DT Agustus, November
Kelas 2 SD Td November
Kelas 5 SD Td November
Catatan :
 Anak usia sekolah dasar yang telah lengkap Imunisasi dasar dan Imunisasi
lanjutan DPT-HB-Hib serta mendapatkan Imunisasi DT dan Td dinyatakan
mempunyai status Imunisasi T5.

Tabel Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur (WUS)


Status Imunisasi Interval Minimal Masa Perlindungan
Pemberian
T1 - -
T2 4 Minggu setelah T1 3 tahun
T3 6 Minggu setelah T2 5 tahun
T4 1 tahun setelah T3 10 tahun
T5 1 tahun setelah T4 Lebih dari 25 tahun
Catatan:
• Sebelum Imunisasi, dilakukan penentuan status Imunisasi T (screening) terlebih
dahulu, terutama pada saat pelayanan antenatal.
• Pemberian Imunisasi Td tidak perlu diberikan, apabila status T sudah mencapai
T5, yang harus dibuktikan dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak, kohort dan/atau
rekam medis.

17
2. Imunisasi Tambahan
Yang termasuk dalam kegiatan Imunisasi Tambahan adalah:
a. Backlog fighting
Merupakan upaya aktif di tingkat Puskesmas untuk melengkapi
Imunisasi dasar pada anak yang berumur di bawah tiga tahun. Kegiatan ini
diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa yang selama dua tahun berturut-
turut tidak mencapai UCI.
b. Crash program
Kegiatan ini dilaksanakan di tingkat Puskesmas yang ditujukan untuk
wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah
terjadinya KLB. Kriteria pemilihan daerah yang akan dilakukan crash
program diantaranya angka kematian bayi akibat PD3I tinggi, infrastruktur
(tenaga, sarana, dana) kurang, dan desa yang selama tiga tahun berturut-
turut tidak mencapai UCI. Crash program bisa dilakukan untuk satu atau
lebih jenis Imunisasi, misalnya campak, atau campak terpadu dengan
polio.
c. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Merupakan kegiatan Imunisasi massal yang dilaksanakan secara
serentak di suatu negara dalam waktu yang singkat. PIN bertujuan untuk
memutuskan mata rantai penyebaran suatu penyakit dan meningkatkan
herd immunity (misalnya polio, campak, atau Imunisasi lainnya).
Imunisasi yang diberikan pada PIN diberikan tanpa memandang status
Imunisasi sebelumnya.
d. Cath Up Campaign (Kampanye)
Merupakan kegiatan Imunisasi Tambahan massal yang dilaksanakan
serentak pada sasaran kelompok umur dan wilayah tertentu dalam upaya
memutuskan transmisi penularan agent (virus atau bakteri) penyebab
PD3I. Kegiatan ini biasa dilaksanakan pada awal pelaksanaan kebijakan
pemberian Imunisasi, seperti pelaksanaan jadwal pemberian Imunisasi
baru.
e. Sub PIN
Merupakan kegiatan serupa dengan PIN tetapi dilaksanakan pada
wilayah terbatas (beberapa provinsi atau kabupaten/kota).
18
f. Imunisasi dalam Penanggulangan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI)
Pedoman pelaksanaan Imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan
dengan situasi epidemiologis penyakit masing-masing.

3. Imunisasi Khusus
a. Imunisasi Meningitis Meningokokus
Meningitis meningokokus adalah penyakit akut radang selaput otak
yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis. Pencegahan dapat
dilakukan dengan Imunisasi dan profilaksis untuk orang-orang yang
kontak dengan penderita meningitis dan carrier. Imunisasi meningitis
meningokokus diberikan kepada masyarakat yang akan melakukan
perjalanan ke negara endemis meningitis, yang belum mendapatkan
Imunisasi meningitis atau sudah habis masa berlakunya (masa berlaku 2
tahun).
Pemberian Imunisasi meningitis meningokokus diberikan minimal
30 (tiga puluh) hari sebelum keberangkatan. Setelah divaksinasi, orang
tersebut diberi ICV yang mencantumkan tanggal pemberian Imunisasi.
Bila Imunisasi diberikan kurang dari 14 (empat belas) hari sejak
keberangkatan ke negara yang endemis meningitis atau ditemukan adanya
kontraindikasi terhadap Vaksin meningitis, maka harus diberikan
profilaksis dengan antimikroba yang sensitif terhadap Neisseria
Meningitidis. Bagi yang datang atau melewati negara terjangkit meningitis
harus bisa menunjukkan sertifikat vaksin (ICV) yang masih berlaku
sebagai bukti bahwa mereka telah mendapat Imunisasi meningitis.

b. Imunisasi Yellow Fever (Demam Kuning)


Demam kuning adalah penyakit infeksi virus akut dengan durasi
pendek masa inkubasi 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) hari dengan tingkat
mortalitas yang bervariasi. Disebabkan oleh virus demam kuning dari
genus Flavivirus, famili Flaviviridae, vektor perantaranya adalah nyamuk
Aedes aegypti. Icterus sedang kadang ditemukan pada awal penyakit.
Setelah remisi singkat selama beberapa jam hingga 1 (satu) hari, beberapa
kasus berkembang menjadi stadium intoksikasi yang lebih berat ditandai
19
dengan gejala perdarahan seperti epistaksis (mimisan), perdarahan
ginggiva, hematemesis (muntah seperti warna air kopi atau hitam),
melena, gagal ginjal dan hati, 20%-50% kasus ikterus berakibat fatal.
Pencegahan dapat dilakukan dengan Imunisasi demam kuning yang
akan memberikan kekebalan efektif bagi semua orang yang akan
melakukan perjalanan berasal dari negara atau ke negara/daerah endemis
demam kuning. Vaksin demam kuning efektif memberikan perlindungan
99%. Antibodi terbentuk 7-10 hari sesudah Imunisasi dan bertahan seumur
hidup. Semua orang yang melakukan perjalanan, berasal dari negara atau
ke negara yang dinyatakan endemis demam kuning (data negara endemis
dikeluarkan oleh WHO yang selalu di update) kecuali bayi di bawah 9
(sembilan) bulan dan ibu hamil trimester pertama harus diberikan
Imunisasi demam kuning, dan dibuktikan dengan International Certificate
of Vaccination (ICV).

c. Imunisasi Rabies
Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan
suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
virus rabies yang ditularkan oleh anjing, kucing dan kera. Vaksin rabies
dapat mencegah kematian pada manusia bila diberikan secara dini pasca
gigitan. Vaksin anti rabies (VAR) manusia diberikan kepada seluruh kasus
gigitan hewan penular rabies (HPR) yang berindikasi, sehingga
kemungkinan kematian akibat rabies dapat dicegah.

d. Imunisasi Polio
Polio adalah penyakit lumpuh layu yang disebabkan oleh virus Polio
liar yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian. Pencegahan dapat
dilakukan dengan Imunisasi untuk orang-orang yang kontak dengan
penderita polio dan carrier. Imunisasi Polio diberikan kepada orang yang
belum mendapat Imunisasi dasar lengkap pada bayi atau tidak bisa
menunjukkan catatan Imunisasi/buku KIA, yang akan melakukan
perjalanan ke negara endemis atau terjangkit polio. Imunisasi diberikan
minimal 14 (empat belas) hari sebelum keberangkatan, dan dicatatkan
dalam sertifikat vaksin (International Certificate of Vaccination).
20
2.2.2 Imunisasi Pilihan
Imunisasi pilihan adalah Imunisasi lain yang tidak termasuk dalam
Imunisasi program, namun dapat diberikan pada bayi, anak, dan dewasa sesuai
dengan kebutuhannya dan pelaksanaannya juga dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang berkompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Introduksi Imunisasi Pilihan ke dalam Imunisasi Program dapat diawali
dengan kampanye atau demonstrasi program di lokasi terpilih sesuai dengan
epidemiologi penyakit. Beberapa vaksin yang digunakan dalam pelaksanaan
Imunisasi Pilihan saat ini adalah:
1) Vaksin Measles, Mumps, Rubela :
Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka
vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan).
Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat
diberikan vaksin MMR/MR. (IDAI, 2017)
Vaksin MMR bertujuan untuk mencegah Measles (campak), Mumps
(gondongan) dan Rubela merupakan vaksin kering yang mengandung virus
hidup, harus disimpan pada suhu 2–80C atau lebih dingin dan terlindung dari
cahaya. Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 (satu) jam setelah dicampur
dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terhindar dari cahaya, karena setelah
dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan potensinya pada
temperatur kamar. Dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau
subkutan dalam. Diberikan pada usia 12–18 bulan dan pada populasi dengan
insidens penyakit campak dini yang tinggi, Imunisasi MMR dapat diberikan
pada usia 9 (sembilan) bulan.
Rekomendasi:
1) Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan dan rubela atau sudah mendapatkan Imunisasi campak.
2) Anak dengan penyakit kronis seperti kistik fibrosis, kelainan jantung
bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.
3) Anak berusia ≥ 1 tahun yang berada di day care centre, family day care
dan playgroups.

21
4) Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
Kontra Indikasi:
1) Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau dengan
gangguan imunitas, yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif
atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2
mg/kgBB/hari prednisolon)
2) Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan,
sulit bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin
3) Pemberian MMR harus ditunda pada anak dengan demam akut, sampai
penyakit ini sembuh
4) Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin
virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini Imunisasi MMR
ditunda lebih kurang 1 bulan setelah Imunisasi yang terakhir. Individu
dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin.
5) Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat Imunisasi MMR (karena
komponen rubela) dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan
setelah mendapat suntikan MMR.
6) Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah yang mengandung
imunoglobulin (whole blood, plasma). Dengan alasan yang sama
imunoglobulin tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah
vaksinasi.
7) Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya
HIV bukan kontra indikasi, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk
meminta petunjuk pada dokter spesialis anak (konsultan).

2) Vaksin Tifoid
Vaksin Polisakarida Parenteral diberikan untuk anak usia ≥ 2 tahun.
Penyimpanan vaksin pada suhu 2 – 80C dan jangan dibekukan. Kadaluwarsa
dalam 3 tahun. Kontra indikasi alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin dan
pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif. Dosis 0,5
ml suntikan secara intra muskular atau subkutan pada daerah deltoid atau
paha. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun, daya proteksi vaksin ini hanya 50%-

22
80%, walaupun telah mendapatkan Imunisasi tetap dianjurkan untuk memilih
makanan dan minuman yang higienis

3) Vaksin Varisela
Vaksin varicella dan pneumokokus polisakarida, mungkin bermanfaat
secara individu tetapi umumnya belum direkomendasikan untuk imunisasi
rutin. Lihat kertas posisi spesifik untuk lebih jelasnya. (WHO, 2018)
Vaksin virus hidup varisela-zoster yang dilemahkan terdapat dalam
bentuk bubuk kering. Penyimpanan pada suhu 2–80C, vaksin dapat diberikan
bersama dengan vaksin MMR (MMR/V). Vaksin diberikan mulai umur
masuk sekolah (5 tahun), pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk
diberikan dua kali selang 4 minggu, dan pada keadaan terjadi kontak dengan
kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam
setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak berhubungan).
Kontra indikasi pemberian imunisasi varisela adalah demam tinggi, hitung
limfosit kurang dari 1200/μl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti
selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi, pasien
yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari
atau lebih), serta alergi neomisin. Dosis 0,5 ml suntikan secara subkutan,
dosis tunggal.

4) Vaksin Hepatitis A
Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine).
Pemberian bersama vaksin lain tidak mengganggu respon imun masing-
masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping.
Rekomendasi:
1) Populasi risiko tinggi tertular Virus Hepatitis A (VHA).
2) Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia >2 tahun
antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya
semakin luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap makanan dan
minuman yang tercemar.
3) Pasien Penyakit Hati Kronis, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular
VHA.

23
4) Kelompok lain: pengunjung ke daerah endemis; penjamah makanan; anak
usia 2–3 tahun di Tempat Penitipan Anak (TPA); staf TPA; staf dan
penghuni institusi untuk cacat mental; pria homoseksual dengan pasangan
ganda; pasien koagulopati; pekerja dengan primata; staf bangsal
neonatologi.
Kontra indikasi vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu
yang mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama. Dosis
vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien, vaksin diberikan 2
kali, suntikan kedua atau booster bervariasi antara 6 sampai 18 bulan setelah
dosis pertama, tergantung produk, vaksin diberikan pada usia ≥ 2 tahun.

5) Vaksin Influenza
Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated
influenza virus). Vaksin influenza mengandung antigen dari dua sub tipe
virus. Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus-menerus, maka
perlu dilakukan vaksinasi secara teratur setiap tahun, menggunakan vaksin
yang mengandung galur yang mutakhir. Vaksin influenza harus disimpan
dalam Vaccine Refrigerator dengan suhu 2º- 8ºC dan tidak boleh dibekukan.
Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun.
Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang
dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6-
36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL.
(IDAI, 2017)
Rekomendasi:
1) Semua orang usia ≥ 65 tahun
2) Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal dan
kelemahan sistem imun
3) Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk
diabetes, penyakit disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi
4) Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko
tinggi mendapat komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti
petugas kesehatan dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang
sekitarnya, semua orang yang kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23

24
bulan, dan orang-orang yang melayani atau erat dengan orang yang
mempunyai risiko tinggi
5) Imunisasi influenza dapat diberikan kepada anak sehat usia 6–23 bulan
Kontra Indikasi
1) Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin
influenza sebelumnya dan protein telur jangan diberi vaksinasi influenza
2) Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur
mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas
akut atau pingsan
3) Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang
menderita penyakit demam akut yang berat

6) Vaksin Pneumokokus
Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan
interval 2 bulan; dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis
terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.(IDAI,
2017)
Terdapat dua macam vaksin pneumokokus yaitu vaksin pneumokokus
polisakarida (Pneumococcal Polysacharide Vaccine/PPV) dan vaksin
pneumokokus konyugasi (Pneumococcal Conjugate Vaccine/PCV).
Rekomendasi:
a. Vaksin Pneumokokus polisakarida (PPV) diberikan pada:
1) Lansia usia > 65 tahun
2) Anak usia > 2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD (Invasive
Pneumococcal Disease) yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau
didapat), penyakit sickle cell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi
diberikan dua minggu sebelum splenektomi
3) Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS,
sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan
transplantasi organ
4) Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit
kronis yaitu penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes
5) Pasien usia > 2 tahun kebocoran cairan serebrospinal
25
b. Vaksin Pneumokokus konyugasi (PCV) direkomendasikan pada:
1) Semua anak sehat usia 2 bulan – 5 tahun;
2) Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik
kongenital atau didapat, termasuk anak dengan penyakit sicklecell,
splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum
splenektomi;
3) Pasien dengan imunokom promais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik,
multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ;
4) Pasien dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu
penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes;
5) Pasien kebocoran cairan serebrospinal; dan
6) Selain itu juga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang
huniannya padat, lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering
terserang akut otitis media
7) Vaksin Rotavirus
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan
usia 6-14 minggu (dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu),
dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3
kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertama tidak diberikan
pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-
10 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu. (IDAI, 2017)
Terdapat dua jenis Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran
yaitu vaksin monovalent dan pentavalent. Vaksin monovalent oral diberikan
secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya. Pemberian dalam 2
dosis pada usia 6–12 minggu dengan interval 8 minggu. Sedangkan vaksin
pentavalent oral merupakan kombinasi dari strain yang diisolasi dari human
dan bovine. Pemberian dalam 3 (tiga) dosis dengan interval 4 – 10 minggu
sejak pemberian dosis pertama. Dosis pertama diberikan umur 2 bulan.
Vaksin ini maksimal diberikan pada saat bayi berumur 8 bulan. Pemberian
vaksin rotavirus diharapkan selesai pada usia 24 minggu.

26
8) Vaksin Japanese Ensephalitis
Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis
yang akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka
panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya.
Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada
hari ke 0, 7 dan ke 28. Untuk anak yang berumur 1–3 tahun dosis yang
diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Booster diberikan
pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml tiga tahun kemudian
9) Vaksin Human Papillomavirus (HPV)
Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen
diberikan tiga kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen
dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun,
pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara
dengan 3 dosis.(IDAI, 2017)
Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen
diberikan tiga kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen
dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun,
pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara
dengan 3 dosis.Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan
teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat
dua jenis vaksin HPV yaitu Vaksin bivalen dan Vaksin quadrivalen. Vaksin
HPV mempunyai efikasi 96–98% untuk mencegah kanker leher rahim yang
disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada
anak perempuan sejak usia >9 tahun. Dosis 0,5 ml, diberikan secara intra
muskular pada daerah deltoid. Vaksin HPV bivalen, jadwal pemberian
dengan interval 0,1 dan 6 bulan pada anak usia 9 - 25 tahun. Vaksin HPV
quadrivalen jadwal pemberian dengan interval 0 dan 12 bulan pada anak usia
9 - 13 tahun dan jadwal pemberian dengan interval 0,2 dan 6 bulan pada anak
usia > 13 - 45 tahun
10) Vaksin Herpes Zoster
Vaksin Herpes Zoster bertujuan untuk mencegah penyakit Herpes
zoster dan nyeri pasca herpes (NPH). Setelah dilarutkan vaksin harus segera
disuntikkan ke pasien (tidak boleh lebih dari 30 menit setelah vaksin
27
dilarutkan). Sediaan bentuk serbuk terlipofilisasi dari Virus Varicella Zoster
yang dilemahkan dari anak yang terkena varicella secara alamiah. Saat akan
digunakan direkonstitusi/dilarutkan dengan pelarut yang disediakan. Indikasi
pemberian vaksin herpes zoster yaitu untuk individu usia 50 tahun ke atas,
imunokompeten dengan atau tanpa episode zoster dan histori cacar air
sebelumnya
11) Vaksin Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B bertujuan untuk memberikan perlindungan dan
mengurangi insiden timbulnya penyakit hati kronik dan karsinoma hati.
Setelah dilarutkan vaksin harus segera disuntikkan ke pasien (tidak boleh
lebih dari 30 menit setelah vaksin dilarutkan). Vaksin Hepatitis B
mengandung HbsAg yang telah dimurnikan (vaksin DNA rekombinan).
Vaksin Hepatitis B diberikan kepada kelompok individu dengan risiko tinggi
tertular Hepatitis B, diantaranya adalah :
 Petugas kesehatan atau pekerja lainnya yang berisiko terhadap paparan
darah penderita Hepatitis B
 Pasien hemodialisis
 Pasien yang membutuhkan transfusi darah maupun komponen darah
 Individu yang memiliki keluarga dengan riwayat Hepatitis B
 Kontak atau hubungan seksual dengan karier Hepatitis B atau Hepatitis B
akut
 Turis yang bepergian ke daerah endemik Hepatitis B
 Pengguna obat-obatan suntik
 Populasi berisiko secara seksual
 Pasien dengan penyakit hati kronik
 Pasien yang berencana melakukan transplantasi organ
Vaksin Hepatitis B diberikan dalam 3 dosis, yaitu pada bulan ke-0, 1
dan 6 atau sesuai dengan petunjuk produsen vaksin. Diberikan di lengan atas
secara intra muskular.
12) Vaksin Dengue
Vaksin Dengue adalah jenis virus dari group Flavivirus yang
mempunyai 4 sero tipe, Dengue1, Dengue2, Dengue3 dan Dengue4. Vaksin
Dengue terdiri dari powder dan pelarut, setiap dosis 0,5ML diberikan secara

28
subkutan pada lengan. Pada penerima vaksin dengue CYD didapatkan 305
reaksi lokal berupa nyeri, 40% reaksi sistemik berupa nyeri kepala, lemas,
dan nyeri otot. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12
bulan. (IDAI, 2017).
 Negara-negara harus mempertimbangkan pengenalan vaksin dengue
CYD-TDV hanya dalam pengaturan geografis (nasional atau
subnasional) di mana data epidemiologi menunjukkan beban penyakit
yang tinggi.
 Dalam menentukan populasi yang akan ditargetkan untuk vaksinasi,
infeksi sebelumnya dengan virus dengue dari serotipe apa saja, yang
diukur dengan seroprevalensi, harus sekitar 70% atau lebih besar pada
kelompok usia yang ditargetkan untuk vaksinasi untuk memaksimalkan
dampak kesehatan masyarakat dan efektivitas biaya.
 Vaksinasi populasi dengan seroprevalensi antara 50% dan 70% dapat
diterima tetapi dampak program vaksinasi mungkin lebih rendah.
 Vaksin tidak dianjurkan ketika seroprevalensi di bawah 50% pada
kelompok usia yang ditargetkan untuk vaksinasi.
 Pengenalan vaksin Dengue harus menjadi bagian dari strategi
pengendalian demam berdarah yang komprehensif, termasuk
pengendalian vektor yang dilakukan dengan baik dan berkelanjutan,
praktik terbaik berbasis bukti untuk perawatan klinis untuk semua pasien
dengan penyakit demam berdarah, dan pengawasan demam berdarah
yang kuat. Pengantar vaksin harus disertai dengan strategi komunikasi
yang ditargetkan.
 Keputusan tentang pengenalan memerlukan penilaian yang cermat di
tingkat negara, termasuk pertimbangan prioritas lokal, epidemiologi
dengue nasional dan subnasional, perkiraan dampak dan keefektifan
biaya dengan input spesifik negara, keterjangkauan dan dampak
anggaran.
 Pada saat pengenalan, negara didorong untuk memiliki sistem
farmakovigilans fungsional dengan setidaknya kapasitas minimal untuk
memantau dan mengelola efek samping setelah imunisasi.

29
 Negara-negara yang mempertimbangkan vaksinasi juga harus memiliki
sistem surveilans dengue yang dapat mendeteksi dan melaporkan kasus
demam berdarah yang dirawat di rumah sakit dan parah secara konsisten
dari waktu ke waktu.
 Diadministrasikan sebagai seri 3-dosis yang diberikan pada jadwal
0/6/12 bulan. Jika dosis vaksin ditunda karena alasan apa pun, kursus
vaksin harus dilanjutkan (tidak dimulai kembali), mempertahankan
interval 6 bulan antara dosis berikutnya. Karena durasi 12 bulan dari
jadwal imunisasi dan untuk memungkinkan pemantauan vaksin yang
lebih baik, negara-negara harus memiliki sistem untuk melacak
vaksinasi.
 Usia target untuk vaksinasi rutin harus ditentukan oleh masing-masing
negara, berdasarkan pada memaksimalkan dampak vaksinasi dan
kelayakan program untuk menargetkan kelompok usia tertentu.
 Beberapa negara mungkin mengalami insiden penyakit dengue tertinggi
di kalangan orang dewasa dan dapat mempertimbangkan populasi
vaksinasi hingga usia 45 tahun.

2.3 Rantai Dingin


2.3.1 Pengertian
Rantai dingin vaksin adalah suatu prosedur yang digunakan untuk menjaga
vaksin pada suhu tertentu yang telah ditetapkan agar tetap memiliki potensi yang
baik mulai dari pembuatan vaksin sampai pada saat pemberiannya (disuntikan
atau diteteskan) kepada sasaran. (Depkes RI, 2014)
Menurut UNICEF (2010) dalam Faradiba (2014) terdapat tiga elemen
kunci dari rantai dingin yaitu personil untuk mengelola penyimpanan dan
distribusi vaksin, peralatan untuk menyimpan dan transportasi vaksin, dan
prosedur untuk memastikan bahwa vaksin disimpan dan diangkut pada suhu
yang tepat.
Menurut Nossal (2003) dalam Gebbie, dkk (2015) Vaksin sangat rentan
terhadap kerusakan, sehingga pengelolaan vaksin memerlukan penanganan
khusus. Untuk dapat mempertahankan mutu vaksin, maka penyimpanan dan
pendistribusiannya harus dalam suhu yang sesuai dari sejak dibuat hingga akan

30
digunakan. Jika tidak ditangani dengan sebaik-baiknya maka dapat
mengakibatkan kerusakan vaksin, menyebabkan potensi vaksin dapat berkurang
bahkan hilang dan tidak dapat diperbaiki lagi sehingga dapat mengakibatkan
kerugian yang cukup besar.

2.3.2 Peralatan Cold Chain


Peralatan cold chain diantaranya alat penyimpan Vaksin, meliputi cold
room, freezer room, vaccine refrigerator, dan freezer; alat transportasi Vaksin,
meliputi kendaraan berpendingin khusus, cold box, vaccine carrier, cool pack,
dan cold pack dan alat pemantau suhu, meliputi termometer, termograf, alat
pemantau suhu beku, alat pemantau/mencatat suhu secara terus-menerus, dan
alarm. (Kemenkes RI, 2017)
Sesuai dengan tingkat administrasi, maka sarana cold chain yang
dibutuhkan untuk Provinsi diantaranya Coldroom, freeze room, Vaccine
Refrigerator dan freezer, untuk Kabupaten/kota diantaranya Coldroom, Vaccine
Refrigerator dan freezer, dan untuk Puskesmas adalah Vaccine Refrigerator.
Selain kebutuhan Vaccine Refrigerator dan freezer, harus direncanakan juga
kebutuhan vaksin carrier untuk membawa vaksin ke lapangan serta cool pack
sebagai penahan suhu dingin dalam Vaksin carrier selama transportasi vaksin.
(Kemenkes RI, 2017)

2.3.3 Penyimpanan Vaksin


Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai
didistribusikan ketingkat berikutnya (atau digunakan), vaksin harus selalu
disimpan pada suhu yang telah ditetapkan, yaitu:
1) Provinsi : Vaksin Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C pada
freeze room atau freezer. Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C
pada cold room atau vaccine refrigerator
2) Kabupaten/Kota : Vaksin Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C
pada freezer. Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada cold
room atau vaccine refrigerator.
3) Puskesmas : Semua vaksin disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada vaccine
refrigerator. Khusus vaksin Hepatitis B, pada bidan desa disimpan pada suhu

31
ruangan, terlindung dari sinar matahari langsung.
(Kemenkes RI, 2017)
Tabel 2.6 Penyimpanan Vaksin
PROVINSI KAB/KOTA PKM/PUSTU Bides/UPK
VAKSIN Masa Simpan Vaksin
2 Bln + 1 Bln 1 Bln + 1 Bln 1 Bln + 1 Mg 1 Bln + 1 Mg
POLIO -15oC s.d -25oC
DPT-HB-Hib
DT
BCG
CAMPAK 2oC s.d 8oC
Td
IPV
Hepatitis B Suhu Ruang
(Sumber : PMK No.12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi)

Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu 2°C s.d. 8°C atau pada suhu ruang
terhindar dari sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut
disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C.
Beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan dalam pemakaian
vaksin secara berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa
kadaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan
pemakaian sisa vaksin.
1. Keterpaparan Vaksin Terhadap Panas
VVM adalah alat pemantau paparan suhu panas. Fungsi VVM untuk
memantau suhu vaksin selama dalam perjalanan maupun dalam
penyimpanan. Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak
(yang dinyatakan dengan perubahan kondisi Vaksin Vial Monitor [VVM]
VVM A ke kondisi B) harus digunakan terlebih dahulu meskipun masa
kedaluwarsanya masih lebih panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C dan D
tidak boleh digunakan. Semua vaksin dilengkapi VVM, kecuali BCG.

32
Alat pemantau vaksin (VVM) yang menunjukkan kondisi yang berbeda
2. Masa Kadaluwarsa Vaksin
Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih
pendek masa kadaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO).
3. Waktu Penerimaan Vaksin (First In First Out/FIFO)
Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih
dahulu. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih
awal mempunyai jangka waktu pemakaian yang lebih pendek.
4. Pemakaian Vaksin Sisa
Vaksin sisa pada pelayanan statis (Puskesmas, Rumah Sakit, atau
Praktik Swasta) bisa digunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut.
Penyelenggaraan imunisasi wajib
a. Disimpan pada suhu 2oC s.d. 8oC;
b. VVM dalam kondisi A atau B;
c. Belum kadaluwarsa;
d. Tidak terendam air selama penyimpanan;
e. Belum melampaui masa pemakaian.
Tabel 2.7 Masa Pemakaian Vaksin Sisa

33
2.3.4 Pendistribusian
Pemerintah bertanggung jawab dalam pendistribusian logistik sampai ke
tingkat provinsi. Pendistribusian selanjutnya merupakan tanggung jawab
pemerintah daerah secara berjenjang. Seluruh proses distribusi vaksin dari pusat
sampai ke tingkat pelayanan, harus mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi
agar mampu memberikan kekebalan yang optimal kepada sasaran.
Distribusi dari puskesmas ke tempat pelayanan vaksin dibawa dengan
menggunakan vaksin carrier yang diisi cool pack dengan jumlah yang sesuai.

Gambar Cold/Cool Box

34
Gambar Cold/Cool Pack

Gambar 2.6 Vaksin Carrier

2.3.5 Sarana Penyimpanan Vaksin


Sarana Penyimpanan Vaksin terdiri atas:
1. Kamar Dingin dan Kamar Beku
Kamar dingin ini berfungsi untuk menyimpan vaksin program
Imunisasi yang harus disimpan pada suhu 2oC s/d 8oC. Kamar beku (freeze
room) utamanya berfungsi untuk menyimpan vaksin polio dengan suhu
bagian dalamnya mempunyai kisaran antara -15oC s/d -25oC.
Pemantauan kamar dingin dan kamar beku :
1) Periksa suhu pada thermometer setiap hari pagi dan sore. Bila terjadi
penyimpangan suhu segera laporkan pada atasan;
2) Jangan masuk ke dalam kamar dingin atau kamar beku bila tidak perlu;
3) Sebelum memasuki kamar dingin atau kamar beku harus memberitahu
petugas lain;
4) Gunakan jaket pelindung yang tersedia saat memasuki kamar dingin atau
kamar beku;
5) Pastikan kamar dingin dan kamar beku hanya berisi vaksin;

35
6) Membuka pintu kamar dingin atau kamar beku jangan terlalu lama
7) Jangan membuat cool pack bersama vaksin di dalam kamar dingin,
pembuatan cool pack harus menggunakan Vaccine Refrigerator tersendiri;
8) Jangan membuat cold pack bersama vaksin di dalam kamar beku,
pembuatan cold pack harus menggunakan freezer tersendiri.

Gambar Sistem Penyimpanan Vaksin

2. Vaccine Refrigerator dan Freezer


Vaccine Refrigerator adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, DT,
Hepatitis B, Campak, IPV dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan
+2°C s.d. +8°C dapat juga difungsikan untuk membuat kotak dingin cair
(cool pack). Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu yang
ditentukan antara -15oC s/d -25oC atau membuat kotak es beku (cold pack).
Banyak model lemari es yang dapat digunakan, tetapi gambar berikut inilah
yang sudah terstandardisasi WHO/UNICEF. Berikut ini lemari es tingkat
Puskesmas yang sudah terdaftar di WHO/ UNICEF.

Gambar Jenis Lemari Es diitingkat Puskesmas

36
Bentuk pintu lemari es/freezer
1) Bentuk buka dari depan (front opening)
Lemari es/freezer dengan bentuk pintu buka dari depan banyak
digunakan dalam rumah tangga atau pertokoan, seperti untuk menyimpan
makanan, minuman, buah-buahan yang sifat penyimpanannya sangat
terbatas. Bentuk ini tidak dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.

Gambar Jenis lemari es

2) Bentuk Buka ke Atas (Top Opening)

Bentuk top opening pada umumnya adalah freezer yang biasanya


digunakan untuk menyimpan bahan makanan, ice cream, daging, atau
lemari es untuk penyimpanan vaksin. Salah satu bentuk lemari es top
opening adalah ILR (Ice Lined Refrigerator) yaitu Freezer yang
dimodifikasi menjadi lemari es dengan suhu bagian dalam 2o s.d. 8o C.
Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan volume penyimpanan
vaksin pada lemari es. Modifikasi dilakukan dengan meletakkan kotak
dingin cair (cool pack) pada sekeliling bagian dalam freezer sebagai
37
penahan dingin dan diberi pembatas berupa aluminium atau multiplex atau
acrylic plastic.

3. Alat Pembawa Vaksin


Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa
vaksin. Kotak dingin (cold box) ada 2 macam yaitu terbuat dari plastik atau
kardus dengan insulasi poliuretan. Vaccine carrier adalah alat untuk
mengirim/membawa vaksin dari puskesmas ke posyandu atau tempat
pelayanan Imunisasi lainnya yang dapat mempertahankan suhu +2°C s/d
+8°C.

Gambar Vaccine Carrier

4. Alat untuk mempertahankan Suhu


Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastik berbentuk segi
empat yang diisi dengan air yang dibekukan dalam freezer dengan suhu -
15°C s/d -25°C selama minimal 24 jam. Kotak dingin cair (cool pack) adalah
wadah plastik berbentuk segi empat yang diisi dengan air kemudian
didinginkan dalam Vaccine Refrigerator dengan suhu -3°C s.d +2°C selama
minimal 12 jam (dekat evaporator).

38
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :


1. Imunisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit dan salah satu cara pencegahan penyakit menular
khususnya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang diberikan
kepada tidak hanya anak sejak masih bayi hingga remaja tetapi juga dewasa.
2. Imunisasi Program terbagi menjadi Imunisasi Rutin, Imuniasi Tambahan, dan
Imunisasi Khusus. Imunisasi Rutin yang terdiri dari imunisasi dasar pada bayi,
imunisasi lanjutan pada batita, imunisasi lanjutan pada anak sekolah, dan imunisasi
lanjutan pada wanita usia subur. Imunisasi Tambahan terdiri dari Backlogfighting,
Pekan Imunisasi Nasional (PIN), Catch up campaign campak, Crash program, Sub
Pin, dan Outbreak Response Immunization (ORI). Dosis dan jadwal pemberian
imunisasi tersebut disesuaikan dengan anjuran yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No.12 Tahun 2017 tentang Penyelnggaraan Imunisasi.
3. Rantai dingin merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk menjaga vaksin
pada suhu tertentu yang telah diterapkan agar tetap memiliki potensi yang baik
mulai dari pembuatan vaksin sampai pada saat pemberiannya (disuntukan atau
diteteskan) kepada sasaran.

39
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI, 2016. Situasi Imunisasi Di Indonesia. Jakarta : Pusdatin

Kemenkes RI. 2015. Buku Ajar Imunisasi. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan
Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan No.12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi
WHO, 2018. http://www.who.int/immunization/ diakses tanggal 20 November 2018
Hikmarida, Faradiba. 2014. Keeratan Penyimpanan dan Pencatatan Dengan Kualitas
Rantai Dingin Vaksin DPT di Puskesmas. Jurnal Berkala Epidemiologi. http://e-
journal.unair.ac.id/index.php/JBE/article/viewFile/1304/1063 (Diunduh Tanggal 27
Oktober 2017)
Lumentut, P, dkk. 2015. Evaluasi Penyimpanan dan Pendistribusian Vaksin Dari Dinas
Kesehatan Kota Manado Ke Puskesmas Tuminting, Puskesmas Paniki Bawah dan
Puskesmas Wenang. Jurnal Ilmiah Farmasi.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=332349&val=1015&title=EVA
LUASI%20PENYIMPANAN%20DAN%20PENDISTRIBUSIAN%20VAKSIN%2
0DARI%20DINAS%20KESEHATAN%20KOTA%20MANADO%20KE%20PUS
KESMAS%20TUMINTING,%20PUSKESMAS%20PANIKI%20BAWAH%20DA
N%20PUSKESMAS%20WENANG (Diunduh Tanggal 17 November 2018)

iii

Anda mungkin juga menyukai