Anda di halaman 1dari 13

1.

Pendahuluan
Optimalisasi pembayaran pajak ini merupakan suatu langkah pengamanan
yang harus dilakukan wajib pajak terkait transaksi dengan pihak ketiga dan
penjagaan Cash flow perusahaan, yang tujuan nya adalah untuk mendatangkan
penghematan pajak. Optimalisasi pembayaran pajak dapat dilakukan seperti
diuraikan dibawah ini :
1. Pengamanan kontrak-kontrak bisnis dari potensi pemotongan with
holding tax
2. Optimalisasi pengkreditan Pajak Penghasilan yang telah dibayar
3. Pengajuan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25
4. Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23
5. Mengangsur atau menunda pembayaran pajak
6. Rekonsiliasi atau ekualisasi SPT PPh badan dengan SPT PPH Pasal 21,
PPh Pasal 23/26 dan SPT Masa PPN

2. Pengamanan Kontrak-Kontrak Bisnis dari Potensi Pemotongan


Witholding Tax
Dalam praktik bisnis banyak terjadi kasus pemungutan atau pemotongan
pajak dari pihak ketiga, dimana yang membuat kontrak bisnis misalnya kontrak
jual beli/kontrak jasa konstruksi/kontrak sewa-kurang memahami atau
memgabaikan aspek perpajakannya secara detail dan sesuai dengan ketentuan
perpajakan, sehingga saat periksaan oleh fiskus, perusahaan dikenai kewajiban
untuk membayar witholding tax ditambah denda keterlambatan penyetoran
sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Belum lagi bila vendor tidak bersedia dipotong pajaknya karena
pembayaran nya mengacu pada kontrak yang telah di setujui sebelumnya,
sehingga bila perusahaan pembeli atau pemilik proyek tIdak memotong
witholding tax, perusahaan pembeli atau pemilik proyek mau tidak mau dikenai
kewajiban untuk membayar witholding tax ke kas negara berikut sanksi
perpajakanya . Ada 2 pilihan perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut:
a. Jika mau witholding tax tersebut dibiayakan dalam Laporan Keuangan
Fiskal, maka nilai traksaksi dalam kontrak yang akan dibayar tersebut di

1
gross-up, sehingga jumlah transakasi dalam kontrak sudah termasuk pajak
yang harus dipungut.
b. Bila perusahaan membayarkan witholding taxtidak boleh dibebankan
sebagau biaya oleh oerusahaan karena tidak di gross-up.

3. Optimalisasi Pengkreditan PPh yang Telah Dibayar


Kredit pajak merupakan jumlah pembayaran pajak yang dibayar oleh
wajib pajak sendiri, setelah ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut
oleh pihak lain. Optimalisasi kredit pajak dapat dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan administrasi harus tertata dengan baik dan tertib, baik
dalam hal pencatatannya maupun kelengkapan dokumentasinya
b. Untuk memenuhi kelengkapan formal, terutama pada saat pe,meriksaan
berlangsung, setiap kali pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak
lain sebaiknya langsung diminta Bukti Pemotongan atau Pemungutan
PPh nya.

4. Pengajuan Permohonan Penurunan Angsuran PPH Pasal 25


Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dengan di sertai proyeksi laba pada akhir tahun dan
alasan terjadinya penurunan laba, dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalanya tahun pajak, wajib pajak
dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk
tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari Pajak Penghasilan yang terutang
yang menjadi dasar penghitungan besarnya pajak penghasilan pasal 25.

b. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25


harus disertai dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan
terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau
diperoleh dan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan
yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

2
5. Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23
Pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan
diberikan Dirjen Pajak melalui Surat Keterangan Bebas. Beberapa kriteria yang
harus dipenuhi oleh wajib pajak adalah :
1. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan
terutang Pajak Pengahasilan karena:
a. Wajib pajak yang mengalami kerugian fiskal berhak melakukaj
kompensasi keuangan fiskal
b. Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dan pajak
penghasilan yang akan terutang, dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain kepada Direktur Jendral Pajak
2. Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final
3. Surat Keterangan Bebas diberikan kepada:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak
akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal
b. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak
akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi
kerugian fiskal dengan memperhitungkan besarnya kerugian tahun-
tahun pajak sebeluknya yang masih dapat dikompensasikan yang
tercantun dalam SPT Pajak Penghasilan
c. Wajib pajak yang dapat membuktika Pajak Penghasilan yang telah dan
akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang
d. Wajib pajak yanga ats penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat
final

Permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan Pajak


Penghasilan diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat wajib pajak terdaftar dengan syarat :
1. Telah menyampaikan SPT Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir
sebelum tahun diajukannya permohonan kecuali untuk wajib pajak yang
baru berdiri dan masih dalam tahap investasi

3
2. Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan atau pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan atau Pasal 23
dengan menggunakan formulir yang telah disediakan
3. Permohonan harus dilampiri penghitungan Pajak Penghasilan yang
diperkirakan akan terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan
untuk wajib pajak

6. Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak


Wajib pajak diberi hak mengajukan permohonan mengangsur atau
menunda pembayaran pajak untuk semua jenis ketetapan pajak, baik berupa SKP
maupun STP. Pasal 19 ayat (1) KUP No.28 tahum 2007 mengatur pengenaqn
sanksi administrasi berupa bunga, dalam hal apa wajib pajak di perbolehkan
mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

7. Rekonsiliasi/equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT Lainnya dan


Laporan Keuangan (Fiskal)
a. Rekonsiliasi/equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN
Rekonsiliasi dilakukan atas tranksaksi pembelian dan penjualan serta PPN
yang mengikutinya, yakni PPN masukan dari transaksi pembelian dan PPN
keluaran dari omset penjualan, apakah kedua SPT tersebut telah menunjukkan
angka yang sama atau belum. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh
badan dengan SPT PPN bisa berbeda, disebabkan beberapa hal berikut:

1) Omzet penjualan di SPT PPh Badan bisa lebih besar dari omzet penjualan
di SPT PPN karena penjualan di SPT PPjh Badan menganut akrual basis
sehingga atas penjualan kredit, jika barangnya telah diserahkan, penjualan
sudah dilaporkan, sedangkan pada SPT PPN, penjualan kredit bisa dibuat
faktur pajaknya pada akhir buoan setelah bulan penyerahan barang
2) Omzet penjualan di SPT PPh Badan lebih kecil dari pada omzet penjualan
di SPT PPN, karena penerimaan uang atas penjualan sudah harus di buat
faktur pajaknya meskipun barangnya belum diserahkan, sementara
penjualan tersebut baru dilaporkan setelah penyerahan barang.

4
4. Pencadangan/Penghapusan Piutang Tak Tertagih
Sesuai dengan ketentuan UU PPh 2008 Pasal 9 (1) huruf c, jenis
jasa yang diperkenankan menyisihkan cadangan diperluas. Pengeluaran yang
tidak boleh dikurangkan dengan pembentukan atau pemupukan dana
cadangan, kecuali:
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dari badan usaha lain
yang menyalurkan kredit.
b. Cadangan untuk usaha asuransi, termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial.
c. Cadngan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambagan.
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuagan limbah
industry untuk usaha pengolahan limbah industry.

 Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan


sebagai biaya (sesuai peraturan Menkeu No. 81/KMK.03/2009), yaitu:
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjang piutang, yang meliputi:
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk:
- Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
vensional.
- Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
- Bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
- Bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegitan usaha
berdsarkan prinsip syariah.
b. Cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, yang meliputi:
- Koperasi simpan pinjam.
- PT Permodalan Nasional Madani (Persero)
c. Cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan
konsumen.
d. Cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi:
a. Cadangan premi tangungan sendiri.

5
b. Cadangan premi untuk perushaan asuransi jiwa.
3. Cadangan penjminan untuk lembaga penjamin simpanan.
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.

 Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum ysng


melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional ditetapkan sebagai
beikut:
1. Besarnya cadanfan piutang tak tertagih untuk bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional ditetapkan sebagai
berikut:
a. 1% dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar.
b. 5% dari piutang dengn kualitas yang digolongkan dalam perhatian
khusus.
c. 15% dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar
d. 50% dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan.
e. 100% dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet.
2. Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah ditetapkan
sebagai berikut:
a. 1% dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar
b. 5% dari piutang dengn kualitas yang digolongkan dalam perhatian
khusus.
c. 15% dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar
d. 50% dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan.
e. 100% dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet.
3. Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional ditetapkan
sebagai berikut:
a. 0,5% dari piutang dengan kualitas lancar.
b. 10% dari piutang dengan kualutas kurang lancar.
c. 50% dari piutang dengan kualitas diragukan.
d. 100% dari piutang dengan kualitas macet.
4. Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
ditetapkan sebagai berikut:
a. 0,5% dari piutang dengan kualitas lancar.

6
b. 10% dari piutang dengan kualutas kurang lancar.
c. 50% dari piutang dengan kualitas diragukan.
d. 100% dari piutang dengan kualitas macet.
5. Besarnya cadangan piutang tak tertagih koperasi simpan pinjam
ditetapkan sebagai berikut:
a. 0,5% dari piutang dengan kualitas lancar.
b. 10% dari piutang dengan kualutas kurang lancar.
c. 50% dari piutang dengan kualitas diragukan.
d. 100% dari piutang dengan kualitas macet.
6. Besarnya cadangan khusus penyisihan pembiayaan PT. Permodalam
Nasionl Madani (Persero) ditetapkan sebagai berikut:
a. 2,5 % dari baki debet yang digolongkan dalam perhatian khusus.
b. 5% dari baki debet yang digolongkan kurang lancar.
c. 50% dari baki debet yang digolongkan diragukan.
d. 100% dari baki debet yang digolongkan macet.

5. Biaya Pra-Oprasi (Pre-Operating Cost/Biaya Pendirian)


Pengeluaran untuk biaya pendirian suatu perushaan dibebankan
pada tahun terjadinya pengeluaran sesuai dnegan kelompok harta tak berwujud
yang ditetapkan dengan ketentuan sebagaimna dimaksud dalam pasal 11 A ayat
(2) UU PPh No.36 tahun 2008.

6. Reimbursement
Transaksi reimbursementitems merupakan pengeluaran-
pengeluaran yang sudah ditalanagi lebih dulu oleh pihak lan kemudian
dimintakan penggantian ke perusahaan. Secara fiskal reimbursementdituntut
senantiasa konsisten antara substansi, ketentuan formal dalam kontrak,
pembukuan dan dokumentasinya.

7. Pembukuan dalam Valuta Asing


Wajib pajak menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing
dan satuan mata uang selain rupiah yaitu bahasa inggris dan satuan mata uang
dolar amerika serikat. Wajib pajak tersebut meliputi:
a. Wajib pajak dalam rangka penanaman modal asing.
b. Wajib pajak dalam rangka kontrak karya.
c. Wajib pajak kontraktor kontrak kerja sama
d. Bentuk usaha tetap
e. Wajib pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya.
f. Kontrak investasi kolektif.

7
g. Wajib pajak yang berafilasi langsung dengan perusahaan induk di luar
negeri

8. Transaksi dalam Mata Uang Asing


Perlakuan pajak penghasilan terhadap selisih kurs:
a. Secara umum peraturan perpajakan tentang selisih kurs diatur dala
mperaturan pemerintah No.94 tahun 2010.
b. Peraturan pelaksana perpajakan tentang selisih kurs diatur dalam surat
edaran dirjen pajak No. SE-03/P3.31/1997.
c. Perlakuan Pajak penghasilan atas laba/rugi selisih kurs atas perkiraan utang
kepada kantor pusat bagi BUT (SE.No. 11/PJ.42/2000 dan 08/PJ.42/2000).

9. Rekonsiliasi Fisikal
Rekonsiliasi fisikal adalah sebuah lampiran SPT Tahunan PPH Badan
berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian laba/rugi sebelum pajak menurut
komersial atau pembukuan (yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi)
dengan laba/rugi yang terdapat dalam laporan keuangan fisikal. Berdasarkan
Keputusan Dirjen Pajak No.KEP.141/PJ./2004:
Penyesuaian fisikal postif adalah penyesuaian bersifat menambah atau
memperbesar penghasilan berdasarkan laporan keuangan komersial, karena
adanya biaya, pengeluaran, dan kerugian yang tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan
ketentuan Undang-undang pajak penghasilan beserta peraturan
pelaksanaannya.
Penyesuaian fisikal negative adalah penyesuaian terhadap penghasilan
neto komersial dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan
UU PPh beserta peraturan pelaksananya, yang bersifat mengurangi penghasilan
dan atau menambah biaya-biaya komersial. Ada dua macam koreksi fisikal
yaitu koreksi fisikal positif dan koreksi fisikal negative.

Bentuk Kertas Kerja Rekonsiliasi Fisikal


Untuk keperluan akuntansi pajak penghasilan, kita mengenal juga
bentuk lain dari koreksi fisikal yakni:
a. Beda tetap terjadi apabila terdapat transaksi yang diakui oleh wajib
pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya dalam akuntadi secara
komersial yang diatur dalam SAK. Namun berdasarkan ketemtuan

8
peraturan perpajakan, atas transaksi tersebut bukan merupakan
penghasilan atau bukan merupakan biaya atau sebagian merupakan
pengahasilan atau sebagian merupakan biaya
b. Beda waktu terjadi karena adanya perbedaan pengakuan besarnya
waktu secara akuntansi komersial dibandingkan dengan secara
fisikal, misalnya dalam ketentuan masa manfaat dari aktiva yang
dilakukan penyusutan atau amortisasi.
10. Penerapan Tax Planning pada Usaha Mikro Kecil Menengah dan
Aspek Keadilan dalam Kebijakan Perpajakannya
a. Perubahan UU PPh dan Kriteria Pengusaha UMKM

Peningkatan Daya Saing Perekonomian Indonesia


Dengan adanya perubahan Undang-undang PPh (UU PPh) , tarif PPh
badan menjadi tarif tunggal dan diturunkan menjadi 28% tahun 2009, dan
menjadi 25% tahun 2010. Tarif tunggal tersebut dimaksudkan sebagai fasilitas
dan kesederhanaan bagi wajib pajak. Tarif tunggal ini pasti menguntungkan bagi
sebagian WP Badan namun sekaligus juga dirasakan kurang adil bagi sebgajan
WP lainnya utamanya WP kecil. Oleh karena itu pemerintah memberikan
fasilitas perpajakan bagi WP badan berskala kecil yaitu UMKM dengan
pemberian fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal untuk
peredaran bruto sampai dengan Rp.4,8 miliar.

Pasal 31E UU PPh No.36 Tahun 2008

Contoh:
b.

Peredaran bruto PT Y tahun pajak 2009 sebesar Rp.4,5 miliar dengan PhKP
Rp 500 juta.

Karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp.$,8 miliar, maka

Penghitungan pajak yang terutang adalah sbb:

PPH yang terutang (50% x 28%) x Rp. 500.000.000 = 70 Juta

9
Strategi Tax Planning UMKM

Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2008, pemekaran


usaha adalah pemisahan satu wajib pajak badan yang modalnya terbagi atas
saham, menjadi dua wajib pajak badan atau lebih dengan cara mendirikan badan
usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajibannya kepada badan
usaha baru tersebut tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama. Kebijakan
berdasarkan peredaran bruto ini dapat menimbulkan upaya tax avoidance yang
dilakukan wajib pajak badan, khususnya UMKM untuk memperkecil omzet demi
mencapai syarat dari fasilitas yang diberikan melalui pasal 31E tersebut.

Kebijakan pemekaran usaha secara alternatif dimungkinkan bila dilakukan


efisiensi biaya operasional. Secara potensial omzet usaha juga akan naik seiring
dengan meningkatnya aktifitas perusahaan karena penajaman core bisnis dan
membesarnya segmentasi pasar, sehingga benefit dari pemekaran usaha dapat
diperoleh.

Aspek Keadilan dalam Kebijakan Perpajakan UMKM

Dalam mendesain sebuah kebijakan perpajakan, pembuat kebijakan harus


memperhatikan asas-asas perpajakan sehingga kebijakan tersebut tidak timpang
karena ketimpangan tersebut bisa merugikan pihak-pihak tertentu yang terkait
dengan kebijakan tersebut. Formulasinya adalah asas keadilan (equity). Pemilihan
kebijakan yang sudah adil dalam formulasinya (secara normatif) namun belum
tentu adil dalam pratiknya, karena pada umunya mengukur keadilan sangat relatif
tergantung dari aspek/sudut pandang/parameter mana kita menilainya. Adanya
ketidakadilan itu tampat dalam kebijakan pengurangan tarif PPh bagi WP badan
UMKM ini.

Ukuran Keadilan Pajak

10
Hal yang menarik untuk dikaji disini adalah bagaimana cara kita menguji
ketidakadilan perlakuan perpajakan dari fasilitas diskon tarif pajak 50% bagi
badan UMKM.

Prinsip keadilan itu ada dua macam, yaitu keadilan horizontal dan vertikal.
Prinsip keadilan horizontal adalah, badan UMKM yang berpendapatan sama harus
membayar jumlah pajak yang sama, sedangkan prinsip keadilan vertikal
beranggapan bahwa badan UMKM yang memiliki kemampuan berbeda,
membayar jumlah pajak gmyang berbeda pula.

Ketidakadilan Horizontal

Syarat keadilan horizontal dalam suatu pemungutan pajak dapat dikatakan


terpenuhi bila:

l Wajib pajak yang berada dalam “kondisi” (Penghasilan Kena Pajak) yang
sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals)
l Semua orang yang mempunyai tambahan ekonomi yang sama dengan
tanggungan yang sama tanpa membedakan jenis atau sumber
pengahasilan, harus membayar pajak dalam jumlah yang sama.
Pada prinsipnya equal treatment for the equals menyatakan bahwa, dalam
“kondisi” (Penghasilan Kena Pajak) yang sama, UMKM yang mempunyai
Penghasilan Kena Pajak yang sama akan dikenakan pajak yang sama. Sayangnya
Pasal 31E memiliki kecendrungan diskriminatif (yang jelas bertentangan dengan
prinsip keadilan) dalam pemberian fasilitss atau insentif atau kemudahan kepada
badan UMKM. Pada hakekatnya fasilitas yang ditujukan pada subjek yang sama
yaitu badam UMKM, namun aspek keadilan pajak terabaikan dalam perhitungan
pajak yang terutanmg karena tarif yang dikenakan kepada badan UMKM
didasarkan pada peredaran bruto.

Ketidakadilan Vertikal

Syarat keadilan vertikal dalam suatu pemungutan pajak dapat dikatakan


terpenuhi bila:

11
l Wajib pajak yang berada dalam “kondisi” (Penghasilan Kena Pajak) yang
berbeda diperlakukan secara berbeda pula (unequal treatment for the
unequal)
l Dalam “kondisi” (Penghasilan Kena Pajak) yang tidak sama akan
dihasilkan pajak terutang yang tidak sama pula. Jumlah pajak yang
dibayar semakin besar, sebanding dengan semakin besarnya kemampuan
badan UMKM membayar pajak
Dengan demikian bila badan UMKM memiliki penghasilan kena pajak yang
berbeda dengan badan UMKM lainnya, maka pajak yang terutang juga akan
berbeda

Kebijalan pasa 31E tidak sesuai dengan teori keadilan unequal treatment for
the unequal , karena pada penghasilan kena pajak yang lebih besar sekalipun akan
menghasilkan pajak yang sama dengan penghasilan kena pajak yang lebih kecil.
Ini bertentangan dengan asas keadilan vertikal.

B. Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2013 Tentang PPHh Final 1%

Pada pertengahan tahun 2013 pemerintah mulai lagi memberikan sentif fisikal
kelada pengusaha-pengusaha UMKM dengan mengeluarkan peraturan pemerintah
No.46 tahun 2013 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2013 , diterapkam sebagai
berikut:

1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap,
yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak
melrbihi Rp.48.000.000.000,00 dalam satu tahun pajak, dikenai pajak
penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 1% dari bruto

12
2. Ketentuan tersebut tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau jasa yang dalam
usahanya:
a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,
baik yang menetap maupun tidak menetap
b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepemtingan
umum yang tidak diperuntukkan sebagai tempat usaha atau
berjualan.

13

Anda mungkin juga menyukai