Kelompok 3:
Penulis
i
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe mekkah
(serambi mekkah). Nafas islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh
sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan islam. Contoh paling dekat adalah
pembuatan rencong sebagai senjata tradisional di ilhami dari Bismillah. Seni tari-
tarian seudati konon katanya berasal dari kata syahadatain, dua kata untuk
meresmikan diri menjadi pemeluk islam.
Saat syariat islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro dan
kontra terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah dituding ada
unsur politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap kekuatan
GAM (gerakan Aceh merdeka). Nada-nada sinis kerap terdengar seperti “pue payah
awak jawa jak peu islam tanyoe, ka dari jameun uroe jeh tanyoe ka islam” (kenapa
harus pemerintah pusat / jawa yang mengislamkan orang Aceh, sedari zaman dulu
Aceh adalah islam).
Ciri khas budaya dan sikap kontra yang diperagaka melahirkan pertanyaan
sejak kapan syariat islam sudah berlaku di NAD? Lazimnya bicara sejarah maka
kita akan mengkaji 3 (tiga) dimensi waktu keberadaan hokum islam di bumi
serambi mekkah ini. Masa dulu yaitu pada masa orde lama dan orde baru. Sekarang
ketika pemerintah melibatkan diri apa yang melatarbelakangi penerapan syariat
islam secara kaffah? Hokum apa saja yang di atur dalam syariat islam? Seperti apa
pola penerapannya agar menjadi awal masyarakat bertingkah laku? Bagaimana
perkembangannya sejak diterapkan tahun 2001-sekarang, baik dari segi perubahan
yang terjadi dalam masyarakat setelah syariat islam diterapkan maupun konstitensi
lembaga yang berwenang untuk menjalankan peraturan syariah yang sudah
dicanangkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa instansi pendukung syari’at islam?
2. Apa intitusi yang terkait dengan pelaksanaan syari’at islam di Aceh?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar kita bisa lebih mengetahui
tentang instansi pendukung syari’at islam.
2. Mengetahui intitusi yang terkait dengan pelaksanaan syari’at islam di Aceh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Eksekutif
Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh secara resmi ditetapkan dimuali
kebijakan pemerintah pusat Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang
keistimewaan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Syari’at Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) sudah diisytiharkan secara sah dan resmi semenjak
tanggal 1 Muharram 1423 H/15 Maret 2002 M.1 Hitungan sejak saat itu sampai
dengan sekarang (2017) pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh telah terlaksana
selama 15 tahun, tentu ini merupakan waktu yang panjang.
Eksekutif (pemerintah) merupakan elemen atau pilar utama terhadap
pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat legislatif (DPR). Kedua pilar tersebut,
eksekutif dan legislatif memiliki cakupan tugas pokok masing-masing di negara.
Cakupan tugas eksekutif sebagai pelaksana kebijakan yang dihasilkan atau
dibuat oleh legislatif. Hal ini mengacu pada teori tris politika mulanya diangkat oleh
John Locke (1632-1784) dan Montesquieu (1689-1755) yang menjelaskan tentang
pembagian atau pembatasan tugas tata negara.
Pembagian atau pembatasan tugas ketatanegaraan, jika merujuk pada
Montesquieu dengan teori trias politica-nya, yang terkenal; legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Merujuk pada teori tersebut, maka pembagian atau pembatasan tugas
dalam negara mencakupi; eksekutif (pemerintah), legislatif (MPR), dan yudikatif.
Pembatasan tugas tersebut memiliki tujuan agar sistem negara dapat terlaksana
dengan efektif.2
Mengacu pada teori tersebut, gubernur Aceh sebagai pemerintah daerah Aceh
merupakan pilar eksekutif yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan syariat
Islam di Aceh. Gubernur Aceh memiliki peran strategis dalam penerapan syariat
Islam di Aceh.
3
1. Gubernur Aceh sebagai pilar eksekutif
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki peran penting dalam
sistem pemerintah daerah. Edi Sutrisno menjelaskan gubernur sebagai kepala
provinsi berfungsi selaku wakil pemerintah pusat di daerah, dalam pengertian
untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan
fungsi pemerintahan guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun
pelaksanaan tugas agar tercapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan karena peran gubernur sangat signifikan bagi keberhasilan
pembangunan nasional.3
Gubernur Aceh sebagai pilar eksekutif pelaksanaan pemerintahan daerah
Aceh memiliki peran penting terhadap pencapaian pembangunan di Aceh,
termasuk sebagai penggerak utama pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.
Peran strategis gubernur Aceh terhadap pelaksanaan dan realisasi syariat
Islam di Aceh dapat ditelusuri dalam ketetapan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, Bab VIII Pemerintah Aceh Dan
Pemerintah Kabupaten/ Kota, bagian kedua tentang tugas dan wewenang, pasal
42 menetapkan sebagai berikut:
Gubernur atau bupati/walikota mempunyai tugas dan wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama antara Gubernur dan DPRA atau bupati/walikota
dan DPRK;
b. Mengajukan rancangan qanun;
c. Menetapkan qanun yang telah mendapat persetujuan bersama antara
Gubernur dan DPRA, atau bupati/ walikota dan DPRK;
d. Menyusun dan mengajukan rancangan qanun tentang APBA kepada
DPRA dan APBK kepada DPRK untuk dibahas, disetujui, dan
ditetapkan bersama;
e. Melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari’at Islam secara
menyeluruh;
f. Memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban mengenai
penyelenggaraan pemerintahan kepada DPRA atau DPRK;
g. Memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh kepada
Pemerintah;
h. Memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota
kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah;
3 Edy Sutrisno. Gubernur Sebagai Wakil Pemerintahan Pusat Dalam Sistem Pemerintahan Daerah
di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disertasi. (Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Administrasi Program Pasca Sarjana, 2015) hlm 86.
4
i. Menyampaikan informasi penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/
kabupaten/kota kepada masyarakat;
j. Mengupayakan terlaksananya kewenangan pemerintahan;
k. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat
menguasakan kepada pihak lain sebagai kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
l. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Gubernur sebagai penerima wewenang dari pemerintah pusat. 4 Dari itu,
pelaksanaan UUPA dan pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan tugas
gubernur Aceh yang dipertanggung jawabkan kepada pemerintah pusat dan
kepada masyarakat Aceh.
Peran strategis gubernur dalam pelaksanaan pemerintahan daerah Aceh
sebagai pilar yang memiliki kewenangan terhadap pelaksana pemerintahan
Aceh yang berbasis pada syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam di provinsi
Aceh merupakan tanggung jawab gubernur sebagai pemerintah daerah Aceh.
Peran strategis gubernur Aceh (eksekutif) dalam penetapan atau pengesahan
qanun tentang syariat Islam Aceh. Qanun syariat Islam sebagai landasan hukum
pelaksanaan syariat di Aceh tidak bisa diberlakukan tanpa pengesahan
gubernur, karena penatapan qanun merupakan kewenangan gubernur sebagai
pilar atau elemen eksekutif di Aceh.
Contohnya, penetapan qanun jinayat yang sempat tertunda pada era
gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan wakilnya Muhammad Nazar periode 2007-
2012, dianggap waktu itu masih ada yang harus disempurnakan. Selanjutnya
qanun jinayat baru disahkan atau ditetapkan oleh gubernur berikutnya yaitu
Zaini Abdullah pada tanggal 22 Oktober 2014. Aspek Ini merupakan bagian
dari peran gubernur sebagai pilar eksekutif, tentu masih banyak peran- peran
strategis lain yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.
4 Eko Noer Kristiyanto. Pemilihan Gubernur Tak Langsung Sebagai Penegasan Eksistensi
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintahan Di Daerah. Jurnal Rechts Vinding, Vol. 1, No. 3, Desember
2012, hlm 400.
5
Kewenangan pemerintah Aceh, bupati/walikota secara keseluruhan
mencakupi semua aspek pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Hal tersebut dapat
ditelusuri dalam ketetapan Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok
Syariat Islam, BAB VIII, Pasal 39 menetapkan:
1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/ Kota bertanggung jawab
mensosialisasi, membina, mengawasi, dan menegakkan Qanun ini dan
Qanun lainnya mengenai pelaksanaan Syariat Islam.
2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan
Kerja Perangkat Aceh (SKPA)/ Satuan Kerja Perangkat
Kabupaten/Kota (SKPK) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-
masing.
Demikian peran strategis gubernur Aceh dan bupati/ walikota Aceh dalam
sebagai pilar eksekutif (pelaksana) syariat Islam di provinsi Aceh.
b. Legislatif
Legislatif dan eksekutif dua pilar utama pendukung terhadap pelaksanaan
dan pembuat kebijakan pemerintahan. Kedua pilar tersebut memiliki tugas dan
kewenangan yang berbeda dalam sistem pemerintahan. Pemerintah (eksekutif)
sebagai pelaksana pemerintah, sementara DPR (legeslatif) memiliki tuga dan
kewenangan sebagai pembuat undang-undang.
Dewan perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pilar legislatif, menurut Syahrial
Syarbaini secara umum memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. Bersama-sama dengan presiden membentuk undang- undang.
b. Bersama dengan presiden menetapkan anggaran pendapatan dan belanja
negara.
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang- undang, APBN,
dan kebijakan pemerintah.
d. Membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas
pernyataan perang, pembuatan perdamaian, dan perjanjian dengan
negara lain yang dilakukan oleh presiden.
e. Membahas hasil pemeriksaan keuangan negara yang diberitahukan oleh
BPK.
f. Melakukan hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan MPR kepada DPR.5
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki wewenang yang luas, di antara
wewenang tersebut adalah membentuk undang-undang. Demikian juga, Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memiliki wewenang terhadap pembuatan
kebijakan daerah berupa Perda atau qanun untuk di Aceh.
6
Selanjutnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai pilar
legislatif, memiliki wewenang untuk mendesak (eksekutif) pemerintah Aceh
untuk melaksanakan syariat Islam kaffah berdasarkan ketetapan qanun. Di
samping itu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memiliki wewenang
pengawasan terhadap pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh. Demikian
pula wewenang DPRK di provinsi Aceh.
7
l. Mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas
Pemilihan; dan
m. Melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan
penggunaan anggaran kepada KIP Aceh dalam penyelenggaraan
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
2) DPRA melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
3) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan kewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam peraturan tata tertib DPRA dengan berpedoman pada
peraturan perundang- undangan.
8
g. Memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan kepada
pemerintah kabupaten/kota terhadap rencana kerja sama
internasional di kabupaten/kota yang bersangkutan;
h. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana
kerja sama antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan kabupaten/ kota;
i. Mengusulkan pembentukan KIP kabupaten/kota dan
membentuk Panitia Pengawas Pemilihan;
j. Melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan
penggunaan anggaran kepada KIP kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota; dan
k. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk
penilaian kinerja pemerintahan.
2) DPRK melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
3) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan kewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam peraturan tata tertib DPRK dengan berpedoman
pada peraturan perundang- undangan.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh merupakan tanggung jawab
pemerintah Aceh (eksekutif) mulai dari tingkat provinsi sampai di tingkat
kabupaten kota, juga DPRA dan DPRK sebagai pilar pembuat kebijakan
dan pengawasan terhadap gubernur Aceh sebagai pelaksana qanun syariat
Islam di provinsi Aceh.
Dukungan dalam bentuk kerja sama eksekutif dan legislatif sangat
menentukan terhadap kesuksesan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.Wahid
Abdulrahman menjelaskan, sinergi gubernur dan DPRD sangat diperlukan
dalam perencanaan pembangunan.6
Ungkapan hampir sama juga terdapat dalam penjelasan Nina Andriana,
yang mengisyaratkan tentang relasi eksekutif- legeslatif.7
Eksekutif (gubernur) Aceh dan legislatif (DPRA) diharapkan dapat
membangun relasi yang kuat untuk membangun Aceh sebagai daerah yang
7 Nina Andriana. Pemilu Dan Relasi Eksekutif Dan Legislatif General Election And Executive-Legislative
Relations. urnal Penelitian PolitikVolume 11 No. 2 Desember 2014, hlm105.
9
memiliki otonomi khusus dalam melaksanakan syariat Islam. Kesinergian
kedua pilar eksekutif (gubernur) dan legislatif (DPRA) merupakan
pendukung utama dalam pembentukan qanun dan pelaksanaan syariat Islam
di Aceh.
1. Meunasah di Aceh
Meunasah merupakan central peradaban Islam pada tingkat gampong (desa)
di Aceh. Setiap desa di Aceh memiliki satu meunasah berfungsi sebagai tempat
ibadah shalat jamaah bagi masyarakat desa, di samping sebagai tempat kegiatan
soial. Khairuddin menjelaskan, Setiap kampung di Aceh dibangun meunasah
yang berfungsi sebagai center of culture (pusat kebudayaan) dan center of
education (pusat pendidikan) bagi masyarakat. Dikatakan center of culture,
karena meunasah ini memang memainkan peranan yang sangat penting dalam
kehidupan orang Aceh dan disebutkan center of education, karena secara formal
anak-anak masyarakat Aceh memulai pendidikannya di lembaga ini.8
Taqwaddin Husin. Dkk, dalam artikelnya menjelaskan bahwa, a meunasah
or masjid also serves as the center for gampong government. In this case, other
than for congregational prayer purposes, it is used as an office for keuchik, the
secretariat for tuha peut, a venue for community discussion and deliberation,
Islamic boarding school/Quran reading training center, and other social events
of gampong.9 Artinya “Sebuah meunasah atau masjid juga berfungsi sebagai
pusat pemerintahan gampong. Di dalam Kasus ini, selain untuk tempat berdoa
berjamaah, digunakan sebagai kantor untuk keuchik, Sekretariat untuk tuha
peut, tempat diskusi dan musyawarah masyarakat, Islam Asrama/pusat
pelatihan membaca Quran, dan acara sosial gampong lainnya.”
8 KM. Akhiruddin. Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara. Jurnal Tarbiya. Volume: 1 No: 1
Tahun 2015, hlm 213.
9 Taqwaddin Husin. Dkk. Role of Community and Communal Law of Aceh in the Great Sumatra
Earthquake and Tsunami Recovery: A Case Study in Lambada Lhok Village, Aceh Besar District, Aceh,
Indonesia. Journal of International Cooperation Studies,Vol.21, No.2&3 Tahun 2014, hlm 65.
10
Sejalan dengan penjelasan tersebut, Umaimah Wahid juga menjelaskan
bahwa Besides as learning and community center, meunasah is also as gampong
government center.10 Artinya “Selain sebagai pusat pembelajaran dan
masyarakat, meunasah juga sebagai pusat pemerintahan gampong.
Keberadaan meunasah pada setiap desa di Aceh sebagai sentral lembaga
agama sudah terkenal sejak zaman dulu. Mujianto Solichin menjelaskan, pada
abad ke 17 merupakan puncak kemajuan kebudayaan Islam, khususnya pada
masa kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-
1636), Sultan Iskandar Thani (1636-1641), dan Sulthanah Syafiatuddin (16-
1636). Pada masa pusat-pusat pengembangan kebudayaan Islam tersebar di
seluruh kerajaan, seperti meunasah pada tingkat gampong “gampong/kampung”
(wilayah terkecil yang diperintahkan oleh seorang keuchik), Mesjid dan Dayah
pada tingkat Mukim (gabungan beberapa gampong diperintahkan oleh imum
mukim), Nanggro (gabungan beberapa mukim diperintahkan oleh seorang
Uleebalang), Sagi (gabungan beberapa Nanggroe diperintahkan oleh panglima
Sagi) dan terutama sekali ibu kota kerajaan Bandar Aceh Darussalam.11
Institusi Meunasah di Aceh memiliki multi fungsi, Sabirin menjelaskan,
meunasah juga dapat difungsikan seluas-luasnya, meliputi segenap aktivitas
masyarakat gampong.12 Multi fungsi institusi meunasah di Aceh dapat
disebutkan sebgai berikut:
10 Umaimah Wahid. Meunasah, Power And Self-Critics Towards Government And Aceh Political
Elite On Aceh Women Political Struggle. Journal of Asian Scientific Research, 2015, 5(8):385-393,
hlm 386.
12 Sabirin. Meunasah Dan Ketahanan Masyarakat Gampong (Kajian Kritis Terhadap Power Of Local
Wisdom). Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. II, No. 02, Mei 2014, hlm 109.
11
Instistusi meunasah pada tingkat desa di Aceh merupakan sentral
pembinaan agama Islam terhadap masyarakat pada umumnya dan sentral
pembinaan syariat Islam terhadap generasi muda. Fungsi ini tentunya harus
dapat dioptimalkan secara terus menerus oleh perangkat dan tokoh agama yang
terdapat pada tingkat desa.
Meunasah sebagai lembaga sosial di tingkat desa memiliki peran penting
terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Selain itu, Keeksistensialan
masyarakat dalam menghidupkan meunasah sebagai senter syariat Islam di
tingkat desa perlu di dukungan dan perhatian serius dari pemerintah agar
semangat pelaksanaan syariat Islam di tingkat desa berjalan dengan efektif.
Bentuk dukungan tersebut, pertama, bisa dalam bentuk program
pengembangan kompetensi tokoh agama di tingkat desa dengan pelatihan-
pelatihan, tujuannya untuk mengembangkan kompetensi tokoh agama seperti
iman meunasah (imum meunasah). Kedua, pemberian insentif kepada iman
meunasah untuk mendorong peran mereka agar lebih efektif.
2. Mesjid di Aceh
Mesjid merupakan tempat paling mulai dalam Islam. Kedudukan mesdji
dalam Islam sebagai sentral tempat Ibadah. Demikian halnya, kedudukan
mesjid bagi masyarakat Aceh. Azman Ismail merujuk pada penjelasan A.
Hasjmy bahwa mesjid adalah pusat kegiatan agama umat Islam di tingkat
mukim dan meunasah di tingkat desa (gampong), baik kegiatan keagamaan,
kegiatan pendidikan, kegiatan ekonomi, kegiatan politik, dan kegiatan seni
budaya ataupun kegiatan-kegiatan lainnya.13
Selain meunasah, Mesjid juga menjadi pilar sentral tempat ibadah bagi
masyarakat Aceh, khususnya ibadah shalat. Di samping itu, mesjid juga
digunakan sebagai sentral kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial di Aceh.
Ibnu Mujib. Dkk, menjelaskan bahwa di Aceh hubungan meunasah dengan
mesjid dalam patron simbol budaya adat Aceh, telah dimaknai dengan narit
maja (hadih maja) “Agama ngon Adat (hukom), lagei dzat ngon sifeut”.14
Selanjutnya, sejalan dengan penerapan syariat di provinsi Aceh, kedudukan
mesjid di Aceh telah menjadi sentral pelaksanaan syariat Islam, sebagai berikut:
1. Mesjid sebagai sentral tempat ibadah.
2. Mesjid sebagai sentral kegiatan keagamaan.
14 Ibnu Mujib. Dkk. Gagasan Aceh Baru: Pembentukan Identitas Aceh Dari Dalam Reaktualisasi
Ruang Publik Bagi Aksi Pengelolaan Kearifan Lokal Pasca-Konflik Dan Tsunami. Jurnal Kawistara,
Vol. 4, No. 1, April 2014, hlm 54.
12
3. Mesjid sebagai sentral kegiatan sosial.
4. Mesjid sebagai sentral edukasi Islam.
5. Mesjid sebagai sentral pembinaan syariat Islam terhadap masyarakat
dan generasi muda.
6. Mesjid sebagai sentral pelaksanaan syariat Islam.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh tentu harus didukung oleh
semua pusat kegiatan yang ada di Aceh, termasuk mesjid sebagai sentral
kegiatan keagamaan di Aceh. Fungsi Mesjid sebagai pilar sentral pelaksanaan
syariat Islam di tingkat mukim di Aceh telah memberikan kontribusi yang
bersifat progresif terhadap kemajuan dan perkembangan pelaksanaan syariat
Islam yang sedang di laksanakan oleh pemerintah provinsi Aceh.
13
2) Dinas Syariat Islam dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris
Daerah.
Dinas Syariat Islam adalah perangkat pemerintah provinsi Aceh yang
bertanggung jawab terhadap pemerintahan Aceh. Tata organisasi Dinas Syariat
Islam Aceh pada tingkat provinsi berada di bawah gubernur Aceh dan Dinas
Syariat Islam di tingkat kabupaten kota berada di bawah bupati/walikota.
14
b. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan
sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat
Islam;
c. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban
pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan
Syiar Islam;
d. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam di tengah-tengah
masyarakat; dan
e. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan pembimbingan dan
penyuluhan Syariat Islam;
Secara umum Dinas Syariat Islam provinsi Aceh memiliki fungsi sebagai
pelaksana syariat Islam berdasarkan pada ketetapan qanun yang sudah
disepakati. Berdasarkan ketetapan tersebut Dinas syariat Islam memiliki fungsi
yang luas dalam pelaksanaan tugas.
Sementara kewenangan Dinas syariat Islam, juga berdasarkan ketetapan
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001
Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam
Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Bab II, Pasal 5, menetapkan: Untuk
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Dinas Syariat
Islam mempunyai kewenangan sebagai berikut:
a. Merencanakan program, penelitian dan pengembangan unsur-unsur
Syariat Islam;
b. Melestarikan nilai-nilai islam;
c. Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan Syariat Islam yang
meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlak, pendidikan
dan dakwah Islamiah, amar makruf nahi mungkar, baitalmal,
kemasyarakatan, Syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat,
munakahat dan mawaris;
d. Mengawas terhadap pelaksanaan Syariat Islam; dan
e. Membina dan mengawasi terhadap Lembaga Pengembangan
Tilawatil Quran (LPTQ);
Pembentukan Dinas syariat Islam di provinsi Aceh dapat pula disebutkan
sebagai wadah fasilitator pelaksanaan syariat Islam. Hal ini sebagaimana
terdapat dalam penjelasan RENJA Dinas Syariat Islam tahun 2016, bahwa
keinginan untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah di Aceh dapat
diwujudkan dengan membentuk sebuah lembaga/institusi yang mempunyai
tugas dan kewenangan sebagai fasilitator, koordinator dan regulator
15
pelaksanaan syariat Islam.17 Demikian kewenangan Dinas Syariat Islam
provinsi Aceh terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
17 Revisi Rencana Kerja (Renja) Dinas Syariat Islam Tahun 2016. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam
Aceh, 2015, hlm 1.
18 Zulkairnaini. Dkk. Catatan Penting Penyuluhan Islam. Cet. I. (Banda Aceh: Nasa, 2012), hlm 82.
19 Muhibbuththabary. Wilayatul Hisbah Di Aceh (Konsep Dan Inplementasi). Cet. I. (Banda Aceh:
Pena, 2010), hlm 86.
16
terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang syariat Islam
dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.20
Berdasarkan ketetapan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 1 Tahun 2004
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, menetapkan
pada Pasal 4:
1) Wilayatul Hisbah mempunyai tugas;
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran
peraturan Perundang-undangan di bidang syariat Islam.
b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang
berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang- undangan di bidang syariat Islam.
c. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan muhatsib perlu
memberitahukan hal itu kepada penyelidik terdekat atau kepada
Keuchik/Kepala Gampong atau keluarga pelaku.
d. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang syariat Islam kepada penyidik.
2) Pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf a meliputi;
a. Memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya peraturan
perundang-undangan di bidang syariat Islam.
b. Menemukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan syariat
Islam.
3) Pelaksanaan tugas pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf b meliputi;
a. Menegur, memperingatkan dan menasihati seseorang yang patut diduga
telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan syariat Islam.
b. Berupaya untuk menghentikan kegiatan/ perbuatan yang patut diduga
telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam.
c. Menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui rapat adat
gampong.
d. Memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi
penyalahgunaan izin penggunaan suatu tempat atau sarana.
Sementara kewenangan Lembaga Wilayatul Hisbah (WH) dalam
pelaksanaan syarait Islam di Aceh yang diatur dalam Keputusan Gubernur Aceh
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Wilayatul Hisbah, adalah sebagai berikut:
20 Hasanuddin Yusuf Adan. Refleksi Implementasi Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. (Banda Aceh:
Adnin Foundation Publisher Bekerja Sama Pena, 2009), hlm 29.
17
1) Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan;
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan dan
perundang-undangan di bidang syariat Islam.
b. Menegur, menasihati, mencegah, dan melarang setiap orang yang
patut diduga telah, sedang atau akan melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam.
2) Muhtasib berwenang;
a. Menerima laporan pengaduan dari masyarakat.
b. Menyuruh berhenti seseorang yang patut diduga sebagai pelaku
pelanggaran.
c. Meminta keterangan identitas setiap orang yang patut diduga telah
dan sedang melakukan pelanggaran.
d. Menghentikan kegiatan yang patut diduga melanggar peraturan
perundnag-undangan.
3) Dalam proses pembinaan, Muhtasib berwenang meminta bantuan
kepada Keuchik dan Tuha Peut setempat.
4) Muhtasib dalam menjalankan tugas pembinaan terhadap seseorang
minimal 3 kali dalam masa tertentu.
5) Setiap orang yang pernah mendapatkan pembinaan petugas muhtasib,
tetapi masih melanggar diajukan kepada penyidik.21
Sejalan dengan ketetapan tersebut, kewenangan Lembaga Wilayatul Hisbah
(WH) juga terdapat dalam Qanun Nomor 11 Tahun tentang Pelaksanaan Syariat
Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syariat Islam, Bab VI Pasal 14 menetapkan:
1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar
Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota membentuk Wilayatul
Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
Qanun ini.
2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman,
kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya.
3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan
telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat
pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang untuk menegur/
menasehati si pelanggar.
4) Setelah upaya menegur / menasehati dilakukan sesuai dengan ayat (3)
di atas, ternyata perilaku sipelanggar tidak berubah, maka pejabat
18
pengawas menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat
penyidik.
5) Susunan organisasi Kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbah diatur
dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU.
Demikian tugas dan kewenangan Wilayatul Hisbah (WH) secara formal
berdasarkan ketetapan qanun terhadap pelaksanaan syariat Islam di provinsi
Aceh.
4. Mahkamah Syar’iyyah
a. Eksistensi Mahkamah Syar’iyyah dalam pelaksanaan syari’at Islam di
Aceh
Mahkamah Syar’iyyah di Aceh saat ini merupakan perubahan dari peradilan
Agama yang telah ada di Aceh, sama dengan provinsi lain. Namun khusus untuk
provinsi Aceh karena dalam konteks pelaksanaan syariat Islam berdasarkan
kebijakan pemerintah UU Nomor 44 tahun1999 tentang keistimewaan Aceh dan
UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus, maka, peradilan Agama
tersebut di rubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah.
Ridwan menjelaskan, pada awal pembentukan Mahkamah Syar’iyyah
belum sepenuhnya dapat melaksanakan sesuai dengan qanun-qanun syariat
Islam, karena tidak ada hukum acaranya. Keberadaan Mahkamah syar’iyyah
yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 itu apakah juga
berada pada lingkup peradilan yang ada di Indonesia, tidak disebut dengan jelas
oleh Undang-Undang ini.22
Ridwan menambahkan bahwa, menghadapi keadaan yang demikian, maka
pemerintah Aceh menyikapi dan mensahkan qanun Provinsi Aceh Nomor 10
tahun 2002 tang Mahkamah Syar’iyyah, yang menetapkan kewenangan
Mahkamah Syar’iyyah, kedudukan Mahkamah Syar’iyyah, dan organisasi
Mahkamah Syar’iyyah. Namun setelah keluar Keputusan Presiden Nomor 11
tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyyah yang memperkuat kembali
kedudukan Mahkamah Syar’iyyah di Aceh. Akan tetapi keputusan Presiden ini
lebih sempit dari kewenangan yang ada dalam qanun Aceh. ini merupakan suatu
kendala bagi Mahkamah Syar’iyyah dalam melaksanakan tugasnya.23
Eksistensi atau kedudukan Mahkamah Syar’iyyah terhadap pelaksanaan syariat
Islam di provinsi Aceh.
22 Ridwan M. Hasan. Modernisasi Syariat Islam Di Aceh. Cet.II. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam
Aceh, 2013), hlm 102.
19
b. Kewenangan Mahkamah syar’iyyah dalam pelaksanaan syariat Islam
di Aceh
Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah, UU No. 18 Tahun 2001 menyarankan
pada qanun provinsi Aceh.24 Kemudian, Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah
dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh ditetapkan dalam ketetapan Qanun
Nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan syariat, Bab III kekuasaan dan
kewenangan Mahkamah, menetapkan:
Pasal 49
Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang:
a. Ahwal al-syakhshiyah;
b. Mu’amalah;
c. Jinayah
Pasal 50
1) Mahkamah Syar’iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah
dalam tingkat banding.
2) Mahkamah Syar’iyah Provinsi juga bertugas dan berwenang mengadili
dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar
Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 51
Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49
dan Pasal 50, Mahkamah dapat diserahi tugas dan kewenangan lain yang
diatur dengan Qanun.
Berdasarkan ketetapan qanun 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat
Islam ini, Mahkamah Syar’iyyah memiliki dua tugas dan fungsi yaitu justisial
dan non justisial. Pertama fungsi bidang Justisial, Mahkamah Syar’iyah
mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara
antar orang Islam di bidang ahwal al-syakshiyah (hukum keluarga), Muamalah
(perdata) dan Jinayah (pidana). Lihat ketetapan pasal 49 qanun Nomor 10
Tahun 2002. Kedua fungsi di bidang non yudisial meliputi pengawasan
24 A. Baihaqi Djalil. Peradilan Agama Di Indonesia: Gemeruhnya Politik Hukum (Hukum Islam,
Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Tentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan
Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm 170.
20
terhadap jalannya Mahkamah Syar’iyah (Pasal 52 Qanun Nomor 10 Tahun
2002).25 Demikian terkait tugas dan fungsi justisial dan non justisial.
25 Teuku Saiful. Penerapan Syariat Islam di Aceh Dalam Konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia. fhunilak.ac.id/downlot.
27 Ulama berperan tidak hanya dalam dakwah saja tetapi juga berperan dalam berbagai kehidupan
masyarakat Aceh termasuk fatwa. Lihat Mujiburrahman. Ulama Di Bumi Syariat. Cet. I. (Banda Aceh:
Ar-Raniry Press, 2014), hlm 228.
21
a. Fungsi MPU dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh
Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) dapat disebutkan wadah atau
tempat bernaung seluruh ulama Aceh dalam berbagai perspektif keilmuan,
seperti; ulama fiqih dan ulama tasuf secara umum yang terkenal di Aceh. Upaya
memperjelas apa yang dimaksud dan siapa yang dimaksud MPU di Aceh,
penulus merujuk pada ketetapan Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis
Permusyawaratan Ulama, Bab I Pasal 1, Poin Nomor 10 menetapkan bahwa
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh yang selanjutnya disingkat MPU Aceh
adalah majelis yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim
yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.
Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh memiliki fungsi strategis
dalam penerapan syariat Islam di Aceh, terutama sekali dalam aspek
memberikan pertimbangan terhadap pemerintah daerah di Aceh dalam
menetapkan kebijakannya. Di samping itu, MPU Aceh memiliki fungsi sebagai
lembaga yang memberikan bimbingan kepada masyarakat Aceh termasuk
pemerintah Aceh.
Fungsi MPU Aceh secara formal telah ditetap dalam Qanun Nomor 2 Tahun
2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, Bab II Pasal 4 menetapkan:
MPU dan MPU kabupaten/ kota berfungsi:
a. Memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, meliputi bidang
pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan
kemasyarakatan;
b. Memberikan nasehat dan bimbingan kepada masyarakat berdasarkan
ajaran.
Husni menjelaskan, Dengan demikian, fungsi MPU ada dua yaitu sebagai
penasehat yang memberi saran, pertimbangan kepada pemerintahan daerah
(eksekutif dan legislatif) dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan
daerah, baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan
kemasyarakatan serta tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang Islami.28 MPU
Aceh sebagi mitra pemerintah dan DPRA dalam penerapan syariat Islam di
Aceh.29
28 Husni Jalil. Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, hlm 133.
29 Abidin Nurdin.Reposisi Peran Ulama Dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh. Jurnal “Al-Qalam”
Volume 18 Nomor 1 Januari - Juni 2012, hlm 60.
22
b. Kedudukan dan kewenangannya dalam pelaksanaan syariat Islam di
Aceh
MPU memiliki kedudukan dan kewenangan penting dalam penerapan
syariat Islam di Aceh, terutama sekali dalam aspek fatwa. Abidin Nurdin
menjelaskan, MPU memiliki peran memberikan pertimbangan dalam bentuk
fatwa, tausyiah atau rekomendasi. Bahkan tidak hanya terbatas pada pihak
eksekutif dan legislatif saja, terkait dengan pembangunan di Aceh tetapi semua
aspek dan kepada semua stakeholder di Aceh.15
Kewenangan MPU secara formal berdasarkan ketetapan Qanun Nomor 2
Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, Bab II:
Pasal 5
1) MPU mempunyai kewenangan:
a. Menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan,
ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan;
b. Memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah
keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama
lainnya.
2) MPU kabupaten/kota mempunyai kewenangan:
a. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh
MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Memberikan pertimbangan dan masukan kepada pemerintah
kabupaten/kota yang meliputi bidang pemerintahan,
Pasal 6
1) MPU mempunyai tugas:
a. Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah
Aceh dan DPRA dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at
Islam;
b. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan,
kebijakan daerah berdasarkan syariat Islam;
c. Melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan, penerbitan,
dan pendokumentasian terhadap naskah- naskah yang berkenaan
dengan syariat Islam;
d. Melakukan pengkaderan ulama.
2) MPU kabupaten/kota mempunyai tugas:
a. Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah
Kabupaten/kota dan DPRK dalam menetapkan kebijakan
berdasarkan syari’at Islam;
b. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan,
kebijakan daerah berdasarkan syariat Islam;
23
c. Melakukan pengkaderan ulama;
d. Melakukan pemantauan dan kajian terhadap dugaan adanya
penyimpangan kegiatan keagamaan yang meresahkan masyarakat
serta melaporkannya kepada MPU.
Peran lembaga MPU Aceh juga terdapat dalam ketetapan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, BAB XIX Majelis
Permusyawaratan Ulama, Pasal 139 Poin nomor (1) menetapkan bahwa MPU
berfungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan
terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan,
pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi.
6. Baitul Mal
a. Pembentukan Baitul Mal di Aceh
Baitul Mal dapat sebutkan badan atau lembaga pengempulan dan
pengelolaan zakat di Aceh. Dalam ketetapan Qanun Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Pengelolaan Zakat, Bab V Pasal 11, Poin Nomor (1) menetapkan,
Badan Baitul Mal merupakan Lembaga Daerah yang berwenang melakukan
tugas pengelolaan zakat, infaq dan harta Agama lainnya di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Baitul Mal di Aceh secara resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 2004.16
Pembentukan lembaga Baitul Mal di Aceh berlandasan pada Qanun Nomor 7
Tahun 2004.30 Tentang Pengelolaan Zakat, kemudian Qanun ini direvisi dengan
Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.31
Hasanuddin Yusuf Adan menjelaskan terdapat beberapa perbedaan prinsipil
di antaranya; adanya pengurangan PPh bagi pembayaran zakat, adanya aturan
tentang wakaf produktif, perwalian, harta tak bertuan (seperti harta tsunami)
dan adanya kewenangan Baitul Mal kemungkinan untuk mengelola wakaf.
Sebelumnya Aceh memiliki banyak nama Badan Harta Agama (BHA), Badan
Amil Zakat Infak dan sadakah (BAZIS), Lembaga Amil Zakat dan Sadakah
(LAZIS), dan sekarang Baitul Mal.
Sekarang Baitul Mal Aceh sudah terbentuk mulai tingkat provinsi sampai
pada tingkat Kabupaten/kota dan bahkan sampai pada tingkat gampong/desa di
Aceh. Keberadaan lembaga Baitul Mal ini sebagai pengelola zakat yang
dikeluar oleh masyarakat Aceh. Adapun ruang lingkup pengelolaan zakat yang
dilakukan lembaga Baitul Mal berdasarkan ketetapan Qanun Nomor 7 Tahun
30 Hasanuddin Yusuf Adan. Refleksi Implementasi Syariat Islam ..., hlm 71.
24
2004 Tentang Pengelolaan Zakat Bab II Pasal 2 Poin Nomor 1 menetapkan
bahwa Ruang lingkup pengelolaan zakat meliputi seluruh harta yang dimiliki
oleh orang Islam dan atau harta badan yang dimiliki oleh orang Islam yang telah
memenuhi syarat sebagai muzakki dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Setiap orang yang beragama Islam dan atau setiap badan yang berdomisili
atau melakukan kegiatan usaha dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam,
yang memenuhi syarat sebagai muzakki, wajib membayar zakat melalui Badan
Baitul Mal. Demikian berdasarkan ketetapan qanun nomor 7 Tahun 2004
Tentang Pengelolaan Zakat.
25
berdasarkan ketetapan Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, Bab
III, Pasal 8, menetapkan:
1) Baitul Mal mempunyai fungsi dan kewenangan sebagai berikut:
a. Mengurus dan mengelola zakat, wakaf, dan harta agama;
b. Melakukan pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat;
c. Melakukan sosialisasi zakat, wakaf dan harta agama lainnya;
d. Menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali
pengawas terhadap wali nashab, dan wali pengampu terhadap orang
dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
e. Menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli
warisnya berdasarkan putusan Mahkamah Syari’ah; dan
f. membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk
meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip saling
menguntungkan.
Kemudian kewenangan dan kewajiban Baitul Mal Aceh juga di tetapkan
dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, Bab III Pasal 10
menetapkan:
1) Baitul Mal Aceh sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 berwenang
mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan:
a. Zakat Mal pada tingkat Provinsi meliputi: BUMN, BUMD Aceh dan
Perusahaan swasta besar;
b. Zakat Pendapatan dan Jasa/Honorium dari:
1) Pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan Pemerintah Pusat yang berada
di Ibukota Provinsi;
2) Pejabat/PNS/Karyawan lingkup Pemerintah Aceh;
3) Pimpinan dan anggota DPRA;
4) Karyawan BUMN/BUMD dan perusahaan swasta besar pada
tingkat Provinsi; dan
5) Ketua, anggota dan karyawan lembaga dan badan daerah tingkat
provinsi.
c. Harta Agama dan harta waqaf yang berlingkup provinsi.
Kewenangan Baitul Mal sebagai pengelola zakat di Aceh juga terdapat
dalam ketetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan
Aceh, Pasal 19 menetapkan bahwa Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola
oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Eksekutif (pemerintah) merupakan elemen atau pilar utama terhadap
pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat legislatif (DPR). Cakupan tugas eksekutif
sebagai pelaksana kebijakan yang dihasilkan atau dibuat oleh legislatif.
Gubernur Aceh sebagai pilar eksekutif pelaksanaan pemerintahan daerah Aceh
memiliki peran penting terhadap pencapaian pembangunan di Aceh, termasuk
sebagai penggerak utama pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.
Pelaksanaan syariat islam di tingkat daerah kabupaten/ kota merupakan tugas
dan tanggung jawab bupati/walikota di provinsi Aceh.
Legislatif dan eksekutif dua pilar utama pendukung terhadap pelaksanaan dan
pembuat kebijakan pemerintahan. Kedua pilar tersebut memiliki tugas dan
kewenangan yang berbeda dalam sistem pemerintahan. Pemerintah (eksekutif)
sebagai pelaksana pemerintah, sementara DPR (legeslatif) memiliki tuga dan
kewenangan sebagai pembuat undang-undang.
Gubernur Aceh (eksekutif) dan DPRA (legislatif), keduanya merupakan pilar
utama pelaksanaan syariat Islam dan pembentukan qanun syariat Islam di provinsi
Aceh. di samping kedua pilar tersebut, pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh
di dukung pula oleh lembaga-lembaga sosial yang ada di Aceh, seperti meunasah
dan mesjid.
Meunasah merupakan central peradaban Islam pada tingkat gampong (desa) di
Aceh. Setiap desa di Aceh memiliki satu meunasah berfungsi sebagai tempat
ibadah shalat jamaah bagi masyarakat desa, di samping sebagai tempat kegiatan
soial.
Mesjid merupakan tempat paling mulai dalam Islam. Kedudukan mesdji dalam
Islam sebagai sentral tempat Ibadah.
27
Dinas syariat Islam merupakan lembaga yang dibentuk oleh perintah Aceh.
Muhibuththabary merujuk pada penjelasan Al Yasa Abubakar menjelaskan Dinas
Syariat Islam adalah suatu birokrasi yang terkait dengan penerapan Syariat Islam
yang dibentuk berdasarkan Perda Nomor 33 Tahun 2001 di mana pembentukan
Organisasi dan tata kerja serta pelantikan pejabatnya dilakukan pada akhir Februari
2002.
Tugas Dinas syariat Islam mencakupi tugas umum dan tugas khusus, terkait
dengan apa saja tugas Dinas Syariat Islam di provinsi Aceh, merujuk pada
ketetapan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun
2001 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat
Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Bab II, Pasal 3, menetapkan: Dinas Syariat
Islam mempunyai tugas melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah
dan Pembangunan serta bertanggung jawab di bidang pelaksanaan Syariat Islam.
Wilayatul Hibsah (WH) merupakan unit organisasi yang memiliki peran penting
terhadap pengawasan pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.
Mahkamah Syar’iyyah di Aceh saat ini merupakan perubahan dari peradilan
Agama yang telah ada di Aceh, sama dengan provinsi lain. Namun khusus untuk
provinsi Aceh karena dalam konteks pelaksanaan syariat Islam berdasarkan
kebijakan pemerintah UU Nomor 44 tahun1999 tentang keistimewaan Aceh dan
UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus, maka, peradilan Agama
tersebut di rubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah.
Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) memiliki peran penting dalam
penerapan syariat Islam di Aceh. Peran tersebut sebagai mana terdapat dalam
penjelasan Qanun Aceh tahun Nomor 8 tahun 2014, bahwa dalam perjalanan
sejarah mulai abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19, Aceh mencapai
puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, pertahanan
dan ekonomi.
Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh memiliki fungsi strategis
dalam penerapan syariat Islam di Aceh, terutama sekali dalam aspek memberikan
28
pertimbangan terhadap pemerintah daerah di Aceh dalam menetapkan
kebijakannya.
Baitul Mal di Aceh secara resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 2004.16
Pembentukan lembaga Baitul Mal di Aceh berlandasan pada Qanun Nomor 7
Tahun 2004. Baitul Mal Aceh merupakan sebuah lembaga daerah nonstruktural
yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, dan
harta agama lainnya dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi
wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan
terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan baik dalam
penyajiannya maupun teknis penyusunannya. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari
berbagai pihak yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan.
29
DAFTAR PUSTAKA
Andriana, Nina. 2014. Pemilu Dan Relasi Eksekutif Dan Legislatif General Election
and Executive-Legislative Relations. urnal Penelitian PolitikVolume 11 No. 2.
Berutu, Ali Geno. 2016. Penerapan Syariat Islam Dalam Lintasan Sejarah Aceh.
Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 2.
Husin, Taqwaddin. Dkk. 2014. Role of Community and Communal Law of Aceh in the
Great Sumatra Earthquake and Tsunami Recovery: A Case Study in Lambada
Lhok Village, Aceh Besar District, Aceh, Indonesia. Journal of International
Cooperation Studies, Vol.21, No.2&3 Tahun 2014.
Ismail, Azman. Dkk. 2011. Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Cet. I.
Banda Aceh; Dinas Syariat Islam.
30
Jalil, Husni. 2007. Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam Pelaksanaan
Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Equality,
Vol. 12 No. 2 Agustus 2007.
Mujib, Ibnu. Dkk. 2014. Gagasan Aceh Baru: Pembentukan Identitas Aceh Dari
Dalam Reaktualisasi Ruang Publik Bagi Aksi Pengelolaan Kearifan Lokal
Pasca-Konflik Dan Tsunami. Jurnal Kawistara, Vol. 4, No. 1.
Nurdin, Abidin. 2012. Reposisi Peran Ulama Dalam Penerapan Syariat Islam di
Aceh. Jurnal “Al-Qalam” Volume 18 Nomor 1 Januari - Juni 2012.
Sabirin. 2014. Meunasah Dan Ketahanan Masyarakat Gampong (Kajian Kritis
Terhadap Power of Local Wisdom). Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. II, No. 02.
Saiful, Teuku. Penerapan Syariat Islam di Aceh Dalam Konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sutrisno, Edy. 2015. Gubernur Sebagai Wakil Pemerintahan Pusat Dalam Sistem
Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta:
Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen
Ilmu Administrasi Program Pasca Sarjana.
31
Wahid, Umaimah. 2015. Meunasah, Power and Self-Critics Towards Government
and Aceh Political Elite on Aceh Women Political Struggle. Journal of Asian
Scientific Research.
32