Abbas Arfan
Abstrak
Perkembangan pemikiran Islam Indonesia akhir-akhir ini dapat dikatakan cukup
membanggakan. Umat Islam tidak lagi dihadapkan dengan satu pola pikir, melainkan berbagai
ragam bentuk pemikiran. Namun, yang memperhatinkan, adanya kecenderungan kalangan
tertentu yang terlalu mengagungkan corak pemikiran para modernis dan dekonstruksionis untuk
dijadikan “imam mazhab” baru. Meskipun menggunakan kerangka metodologi yang berbeda,
pada prinsipnya kesemua pemikir modern itu sepakat untuk melakukan pembacaan ulang
terhadap turâth Islam (‘iâdah qirâ’ah al-turâth) agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan
zaman. Salah satu diantaranya adalah al-Jâbirî dengan karya tetralogi yang tergabung dalam
proyek peradabannya, namun yang akan dikaji dalam makalah hasil penelitian ini adalah
konsep Fiqh al-Siayasah-nya yang ia sebut dengan istilah “nalar politik arab”. Metode yang
digunakan dalam penelitian makalah ini adalah analisis isi lewat studi pustaka, karena memang
jenis dan sumber data dari penelitian ini adalah kualitatif. Adapun nalar politik Arab yang
dimaksud al-Jâbirî dalam bukunya al-‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî tak lain adalah “motif-motif
(muhaddidât) tindakkan politik (cara menjalankan kekuasaan dalam sebuah masyarakat),
serta manifestasi/ pengejawantahan (tajalliyât) teoritis dan praktisnya yang bersifat sosiologis”.
Disebut “nalar” (‘aql), karena motif-motif tindakan politik dan manifestasinya tersebut, semua
tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika internal yang mengorganisasi hubungan antar
pelbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berupa prinsip-prinsip yang dapat disifati dan
dianalisis secara kongkrit. Dikatakan sebagai “politik” (siyâsî) karena tugasnya bukanlah
mereproduksi pengetahuan, tapi menjalankan sebentuk kekuasaan; sebuah otoritas pemerintahan
atau menjelaskan tata cara pelaksanaannya.
Indonesian Muslims are now exposed to an array of legal thought and methodologies, all of which
are basically seeking to reread the classical Islamic literatures (i‘adah qira’at al-turats) in order to
fit the new development. One of the modern legal thought known to us in this modern period is that
of al-Jabiry with his concept of fiqh al-siyasah. Dubbed as the political logic of the Arabs, his
concept of fiqh al-siyasah signifies the motives of political measures and its theoretical and practical
implication. It is dubbed as logic because all of the political motives and their manifestations are
subjected and operated within a particular internal logic organizing all of its related components.
The logic is political because its duty is not to reproduce knowledge, but to govern and provide the
method of governing.
epistemologi indikasi serta eksplikasi (‘ulûm kesiapan ilmu tentang Us}ûl fiqh. Bahasa,
al-bayân) merupakan sistem epistemologi Balaghah dan seterusnya. Disinilah ia
yang paling awal muncul dalam pemikiran mengkritisi kaum orientalis dan sebagian
Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang pengkaji Muslim yang cenderung bersifat
keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, parsial. Selanjutnya dalam kajiannya Al-Jâbirî
yurisprudensi, ilmu hukum (fiqh) serta ’ulûm berkesimpulan bahwa bangunan keilmuan
al-Qur’ân , teologi dialektis (kalam) dan teori Islam klasik sangat kuat dipengaruhi oleh bias
sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai ideology pemikir tersebut. Al-Jâbirî kemudian
kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur mereduksi sistem berpikir Arab Islam kepada
untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting tiga sistem, dikenal dengan sistem Bayânî,
of discourse). Sistem ini didasarkan pada ‘Irfâni, dan Burhânî.
metode epistemologis yang menggunakan
pemikiran analogis, dan memproduksi Pembahasan
pengetahuan secara epistemologis pula
dengan menyandarkan apa yang tidak Biografi singkat al-Jâbirî
diketahui dengan yang telah diketahui, apa Al-Jâbirî dilahirkan di Figuig, sebelah
yang belum tampak dengan apa yang sudah Selatan Maroko pada tahun 1936, al-Jâbirî
tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulûm al-’irfân) menyelesaikan pendidikan ibtidaiyahnya
yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan di madrasah hurrah wathaniyyah, sekolah
dalam” sebagai kerangka epistemologinya, agama swasta yang didirikan sebuah
dengan memasukkan sufisme, pemikiran gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan
Shî‘ah, penafsiran esoterik terhadap Al- menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di
Qur’ân, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, Casabalanca dan memperoleh Diploma Arabic
disiplin-disiplin bukti “inferensial” (‘ulûm High School setelah Maroko merdeka. Sejak dari
al-burhân) yang didasarkan atas kerangka awal al-Jâbirî telah tekun mempelajari filsafat.
epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi Pendidikan filsafatnya dia mulai pada tahun
intelektual. Jika disingkat, metode bayânî adalah 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Al-Jâbirî
rasional, metode ’irfâni adalah intuitif, dan tidak lama bertahan di universitas ini. Setahun
metode burhânî adalah empirik, dalam kemudian dia berpindah ke Universtas Rabat
epistemologi umumnya.9 yang baru saja didirikan di negara asalnya.
Al-Jâbirî punya ambisi besar untuk Dia menyelesaikan program masternya pada
membangun sebuah epistemologi baru yang tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Târîkh ‘inda
sesuai dengan perkembangan hari ini. Untuk Ibn Khaldûn (Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn),
itu dia telah melancarkan proses dekonstruksi dibawah bimbingan N. Aziz Lahbabi (w.
terhadap bangunan pikiran Islam klasik. Proses 1992), juga seorang pemikir Arab Maghrib
dekonstruksi ini pada prinsipnya berusaha yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan
untuk meninjau kembali proses terbentuknya Sarter. Dia meraih gelar Doktor Falsafah pada
akal Arab Muslim guna mengetahui kontruk tahun 1970 dibawah bimbingan Najib Baladi.
epistemologi pemikiran Islam klasik. Maka, Disertasi Doktronya juga berkisar seputar
katanya, dalam hal ini kajian komprehensif pemikiran Ibn Khaldûn . Al-Jâbirî muda
sangat diperlukan. Seseorang tidak mungkin merupakan seorang aktifis politik berideologi
mempelajari dan mengkaji tafsir atau fiqh sosialis. Dia bergabung dengan partai Union
dengan berdiri sendiri dengan bidang ilmu Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang
lain, karena seorang faqih pada saat itu juga kemudian berubah menjadi Union Sosialiste
seorang mufassir, adib, ushuli, dan seterusnya. des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975
Oleh sebab itu untuk membaca pikiran dia menjadi anggota biro politik USFP.
seorang faqih, kita juga harus mempunyai Disamping aktif dalam politik, al-Jâbirî juga
banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari
9 Ibid.
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 99
politik dan manifestasinya tersebut, semua Quraysh terhadap ajaran Nabi Muhammad
tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran
internal yang mengorganisasi hubungan antar tauhid yang melarang penyembahan terhadap
pelbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berhala an sich. Akan tetapi, disebabkan juga
berupa prinsip-prinsip yang dapat disifati bahwa berhala-berhala tersebut merupakan
dan dianalisis secara kongkrit. Dikatakan sumber penghasilan mereka dan sekaligus
sebagai “politik” (Siyâsî) karena tugasnya sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika
bukanlah mereproduksi pengetahuan, tapi itu. 17
menjalankan sebentuk kekuasaan; sebuah Untuk itu, al-Jâbirî menganalisis praktik
otoritas pemerintahan atau menjelaskan tata politik yang saling berkelidan tersebut pada
cara pelaksanaannya. Pada akhirnya, buku ini masa Islam awal. Di sini al-Jâbirî membagi
mengulas tentang “nalar realitas Arab” (‘Aql fase perkembangan Islam awal menjadi
al-Wâqi’ al-‘Arabî), bukan “nalar teoritik Arab” tiga fase; pertama, fase dakwah Muhammad,
sebagaimana dia ulas dalam buku sebelumnya. yang diwakili dengan masa di mana Nabi
Walhasil, bahasan buku ini mengacu pada memimpin jamaahnya pada periode Makkah
bagaimana mengungkap motif-motif dan menjalankan tugas sebagai kepala negara
penyelenggaraan politik dan bentuk-bentuk pada periode Madinah. Kedua, fase negara
manifestasinya dalam rentang sejarah panjang Islam yang established, yang diwakili pada masa
peradaban Arab-Islam sampai saat ini. Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Ketiga, fase
Al-Jâbirî melihat aktivitas politik Arab ledakan kekacauan (nation under riots), yang
mempunyai motif-motif (al-muhaddidât) dan diwakili pada masa timbulnya kerajaan politik
pengejawantahan (al-tajalliyât). Adapun motif- (al-mulk al-Siyâsî) yang membangkitkan
motif tersebut, Al-Jâbirî melihat tiga motif kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali
yang dominan dalam praktik politik Arab. ini dalam bentuk despotisme dan diktatorisme
Motif ideologis (al-’aqîdah), motif ikatan in- kerajaan monarki. Timbulnya kerajaan politik
group sedarah (al-qabîlah) dan motif materi ini (al-mulk al-Siyâsî) ini merupakan salah satu
(al-ghanîmah). Motiv pertama tidak diartikan bentuk pengejawantahan (al-tajalliyât) dari
sebagai akidah agama dalam pengertian yang Nalar Politik Arab, di samping timbulnya
lazim, melainkan “fenomena politis” yang mitos ke-imam-an yang dimunculkan oleh
terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. kaum Shiah. Selain itu, timbul pula Ideologi
dan peranannya dalam memberikan inspirasi kesultanan dan–apa yang disebut oleh al-
terhadap imajinasi sosial-politik kelompok Jâbirî sebagai–fiqh siyasah yang dimunculkan
muslim generasi pertama, di satu pihak, dan oleh Dînasti Abbasiyah. Ideologi kesultanan
reaksi balik yang disampaikan oleh lawan- diadopsi oleh Ibn al-Muqaffa’ dari tradisi
lawannya, yaitu kaum kafir Quraysh, di pihak kekaisaran Persia, sedangkan fiqh politik
lain. 16 merupakan kompilasi hukum “agama” yang
Sedangkan dengan motif kedua adalah mempunyai tendensi kuat untuk mensyahkan
peranan ikatan in-group di antara suku-suku kekuasaan junta militer (ashâb al-shaukah). Tak
Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif perlu ditegaskan lagi, lanjut al-Jâbirî, bahwa
maupun negatif, dalam praktik politik Arab ideologi kesultanan inilah yang sampai sekarang
di masa awal. Ketiga, motif al-ghanîmah berarti mendominasi praktik politik Arab. Membuat
pengaruh kepentingan ekonomi dalam rakyat yang seharusnya memegang supremasi
pemihakan politik dan ideologis dalam sejarah kekuasaan, dikungkung oleh khurafât dan
Islam. Di sini al-Jâbirî meriwayatkan bahwa menyerah kepada takdir. 18
penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Analisis yang dikemukan al-Jâbirî di
atas adalah berangkat dari pendekatan
16 Al-Jâbirî, al-’Aqlal-`’Arabî al-Siyâsî, (Beirut :
Markaz Dirâsah al-Wihdah al-’Arabiyyah, 1995, cet. 17 Ibid., hlm. 99
III), hlm. 7 18 Ibid., hlm. 362
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 101
fungsionalisme-struktural dalam ilmu sosiologi. kebutuhan atas objek yang dia kaji (masyarakat
Al-Jâbirî menggunakan beberapa perangkat Arab-Islam). Menurut Al-Jâbirî, Debray
konsep (al-jihâz al-mafâhîmî) yang terdiri dari menerapkan konsepnya dalam masayarakat
dua sumber. Pertama, dari pemikiran ilmu industrial Eropa, dimana hubungan sosial
sosial politik kontemporer19; dan kedua, dari seperti relasi keluarga dan etnik menempati
sumber-sumber tradisi Arab-Islam sendiri. posisi di belakang hubungan ekonomi: relasi
Dan dari dua sumber itu, ia mengkristalkan produksi. Sementara, dalam masyarakat Arab-
tiga konsep yang digunakan dalam bukunya Islam yang menjadi objek kajiannya, baik dulu
untuk menganalisa nalar politik Arab. maupun sekarang, kenyataannya berbalik
Pertama, konsep “bawah sadar politik” (al- sama sekali. Hubungan sosial yang bersifat
la shu’ûr al-Siyâsî) yang dia pinjam dari kajian kekeluargaan dan etnik tersebut, dalam
Regis Debray (seorang guru filsafat dan scolar kehidupan politik masyarakat Arab, masih saja
asal Perancis) yang menggunakan konsep menempati posisi yang esensial dan kentara.
tersebut untuk mengungkap bawah sadar Sementara, relasi produksi tidak mendominasi
politik masyarakat Barat.20 Namun Al-Jâbirî masyarakat kecuali sebagian saja. Namun ia
tidak mengadopsi konsep Debray secara bulat- mengambil posisi yang berbeda dari Debray
bulat. Dia coba “menyimpangkannya” sebatas yang berusaha mengungkap “apa yang bersifat
keluarga dan agama dalam dunia politik Eropa
19 Dan al-Jabirî sadar betul bahwa konsep-konsep kontemporer”, konsep bawah sadar politik
yang dipinjam dari ilmu sosial-politik kontemporer digunakan Al-Jâbirî untuk mengungkap “apa
yang notabene bersumber dari Barat punya keunikan-
yang politis dalam perilaku atau tindak tanduk
keunikan tersendiri yang tidak mungkin diterapkan
secara semena-mena ketika mengkaji objek kajian yang agama dan keluarga dalam masyarakat Arab
berbeda (masyarakat Arab-Islam). Dia sedari awal tahu, dan Islam”. Ini dia anggap penting, sebab
upaya mengungkap nalar politik mayarakat prakapitalis, kehidupan politik dalam objek kajiannya,
negara peradaban Timur lama, masyarakat Arab dalam pertama-tama dijalankan berdasarkan
Abad Pertengahan dan Modern, yang biasa disebut
pertimbangan agama dan kesukuan; demikian
“Dunia Ketiga” akan berbeda sekali dengan penelitian
atas mayarakat kapitalis yang sudah maju pesat, maka arus utamanya masih berlaku sampai detik ini.
ia melakukan beberapa polesan pada konsep-konsep Maka dari itu, Al-Jâbirî menyimpulkan bahwa
yang dipinjamnya itu. “bawah sadar politik yang menjadi pembentuk
20 Dalam konsep bawah sadar politk Debray, nalar politik Arab, tidak harus dicarikan dari
fenomena politik tidak dibentuk oleh kesadaran
tindakan-tindakan yang agamis dan sukuis.”
manusia; gagasan-gagasan ataupun obsesi-obsesi
mereka. Dia juga tidak dibentuk oleh apa yang Lebih penting dari itu al-Jâbirî berupaya
melandasi kesadaran itu sendiri, seperti relasi sosial mengungkap sisi politik yang menjadi
ataupun kepentingan kelas. Tapi, penggerak utama lokomotif penggerak sektarianisme agama dan
dari sebuah fenomena politik adalah apa yang disebut fanatisme kelompok dalam objek kajiannya.
bawah sadar politik. Konsep bawah sadar politik ibarat
Jadi, kalau Debray membuat urut-urutannya
struktur yang terdiri dari relasi-relasi materi bersifat
kolektif yang memainkan peran bersifat koersif atas kajiannya dari “yang politik” menuju “yang
kesadaran individu-individu dan tidak dapat dibendung; ideologi” untuk sampai pada “yang agama”,
sebentuk pola hubungan pada masyarakat suku dan maka Al-Jâbirî membaliknya dengan hasil yang
beberapa pola hubungan sekterian yang sempit. bertolak belakang sama sekali. Di Masyarakat
Struktur hubungan yang terbentuk dari relasi yang tidak
Arab, kata Al-Jabiri, “yang sosiologis” itulah
disadari ini akan selalu hidup, sekalipun suprastruktur
masyarakat sudah mengalami perubahan sebagai justu yang membentuk “yang politik”; yang
bentuk respons atas perkembangan infrastruktur politik kemudian membentuk ideologi, dan
dalam masyarakat tersebut. Intinya, bentuk solidaritas ideologi lantas membentuk pola keagamaan.
kelompok dan fanatisme etnik, dan obsesi mereka Sebab, dalam konteks masyarakat Arab, apa
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dan
yang dipermukaan dianggap sebagai gejala
kepentingan-kepentingan akan selalu eksis baik secara
laten maupun manifes dalam sebuah kelompok, baik sektarianisme agama, bukanlah merupakan
dalam masyarakat feodal, kapitalis ataupun sosialis. pilihan politik. Makanya, bawah sadar politik
102 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108
konsep turâth Islam yang diambil dari Pro dan Kontra Konsep al-Jâbirî
Ibnu Khaldûn. Di mana terdapat tiga kunci Yang telah dilontarkan al-Jâbirî dalam karya-
penjelasan mendasar yang digunakan Ibn karyanya itu cukup mendapatkan tangggapan
Khaldûn dalam menganalisis sejarah Arab- dari dunia Islam, baik yang mendukung atau
Islam, yaitu konsep fakor fanatisme kelompok sebaliknya. Karena sudah menjadi sunnatullah
(al-‘as}abiyyah al-qabîliyyah) dan dakwah ketika sebuah pemikiran dilontarkan ke ruang
keagamaan (al-da‘wah al-dîniyyah), dan faktor publik, maka sangat wajar apabila terjadi pro
ekonomi. Maka Berangkat dari tiga kunci dan kontra. Demikian pula dengan pemikiran
yang sempat dikemukakan Ibn Khaldûn itu, al-Jâbirî mengenai Kritik Nalar Arab-nya.
al-Jâbirî kembali menggunakannya dalam Ada beberapa kajian yang telah dilaksanakan
tema yang agak berbeda, demi menjelaskan terhadap pemikiran al-Jâbirî, baik yang berupa
nalar politik Arab-Islam. Dia menggubah buku atau artikel. Ibrahim M. Abû Rabî’
tiga konsep tersebut dengan istilah yang lebih misalnya memasukan al-Jâbirî sebagai salah
fungsional dan akrab di telinga dan tradisi seorang panggagas kerangka intelektual bagi
masyarakat Islam. Konsep Ibn Khaldûn kebangkitan Islam di dunia modern sejajar
tentang peranan dakwah keagamaan (al-da’wah dengan tokoh-tokoh seperti Sayyid Qut}b,
al-dîniyyah) dia ubah menjadi kategori akidah Hasan al-Banna, Hichem Djait, Hasan Hanafî
(al-‘aqîdah), solidaritas kesukuan (al-‘as}hâbiyyah dan lain-lain. Sedangkan Armando Salvatore
al-qabîliyyah) dia singkat menjadi kategori mencoba melihat sosok al-Jâbirî dibanDîngkan
kabilah (al-qabîlah atau suku), sementara dengan Hasan Hanafî berkenaan dengan
untuk menjelaskan sistem ekonomi yang wacana otentisitas (al-As}alah) dan tradisi
disebut Ibn Khaldûn “tidak wajar” tadi, dia (al-Turâth). Adapun di Indonesia, Ahmad
menggunakan nomenklatur fiqh Islam, yaitu Baso merupakan orang yang paling banyak
kategori ghanîmah, harta rampasan perang (al- bersemangat memperkenalkan pemikiran-
ghanîmah). pemikiran al-Jâbirî, baik dalam bentuk tulisan
Untuk hal tersebut, akhir tulisannya Al- ataupun terjemahan.26
Jâbirî menawarkan tiga konsep sebagai Tetapi ternyata di dunia Arab sendiri,
jalan keluar bagi Nalar Politik Arab, dengan kebasahan pemikiran Al-Jâbirî telah begitu
bertolak pada fase dakwah Muhammad yang banyak dipertanyakan. Banyak buku dan
menurutnya sebagai prototipe ideal: artikel yang telah ditulis mengkritisi kajian
a. Mengubah masyarakat suku menjadi epistemologi Al-Jâbirî, diantaranya Naz}ariyyah
masyarakat madani yang multipartai, al-‘Aql rangkain dari projek Naqd Naqd al-‘Aql
mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, al-‘Arabî (1999, cetakan kedua) oleh George
organisasi-organisasi independen dan Tarâbisî, Naqd al-‘Aql al-‘Arabî fi al-Mizân
lembaga konstitusi. (1997) oleh Yahyâ Muhammad, Min al-Istishrâq
b. Mengubah ekonomi al-ghanîmah yang al-Gharbî ila al-Istighrâb al-Maghribî oleh Tayyib
bersifat konsumerisme dengan sistem Tizinî, Tajdîd al-Manhâj fi Taqwîm al-Turâth
ekonomi produksi. Serta membangun oleh filosof Maroko Taha ‘Abdurrahman,
kerjasama dengan ekonomi antarnegara dan Hal Hunâka ‘Aql ‘Arabî oleh Hishâm
Arab untuk memperkuat independensi. Ghâsib. Dari semua buku tersebut ada satu
hal yang hampir selalu dipertanyakan kepada
c. Mengubah sistem ideologi (al-aqîdah)
Al-Jâbirî yaitu integritas dan kejujurannya
fanatis dan tertutup dengan pemikiran
sebagai seorang intellektual. Al-Jâbirî, dalam
inklusif yang bebas dalam mencari pandangan mereka, sering tidak jujur ketika
kebenaran. Serta membebaskan diri dari membuat kutipan dari tulisan-tulisan pemikir
Nalar sektarian dan dogmatis, digantikan
dengan Nalar berijtihad dan kritis.25 26 Al-Jâbirî, Agama Negara dan Penerapan Syari’ah,
terjh. Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
25 Ibid., hlm. 374 cet. I, 2001) dalam “pengantar penerjemah”, hlm. Vi.
104 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108
terdahulu. Dia cendrung bersikap selektif, mengatakan bahwa Al-Jâbirî bukanlah orang
memilah dan memilih apa yang hanya sesuai pertama yang mengasaskan proyek Kritik
dengan tujuannya, dan tentu saja ideologinya. Akal Arab ini. Tarabisi kemudian merujuk
Al-Jâbirî, dalam berbagai tulisannya, menuduh tulisan Zaki Najib Mahmud yang berjudul
dunia Arab Timur yang direpresentasikan al-‘Aql al-’Arabî Yatadahwar di majâlah Ruz al-
oleh Ibn Sina, Ghazâlî, dan Shî‘ah dengan Yusuf tahun 1977. Setelah melakukan kajian
espitemologi Bayânî dan ‘irfâni-nya sebagai yang mendalam dengan memakan waktu
sumber keruntuhan tradisi intelektual hampir delapan tahun, Tarabisî sampai kepada
Islam. Dia selanjutnya mengagungkan dan kesimpulan bahwa ide al-Jâbirî tidak orisinil
mengidolakan tokoh-tokoh dunia Maghribi dan bahkan secara implisit Tarabisî menyebut
seperti Ibn Rushd, Ibn Tufayl, Ibn Bajah, Ibn al-Jâbirî telah melakukan plagiat, karena tidak
Khaldûn, yang berpijak pada epistemologi menyebutkan sumber rujukan ide-idenya,
burhânî. 27 meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang
Berdasarkan fakta ini maka tak salah lain. Al-Jâbirî, kata Tarabisî, sering memplintir
kirannya para kritikus pandangan al-Jâbirî tulisan orang lain -secara sadar atau tidak-
menilai kajian al-Jâbirî sangat berdimensi sesuai dengan keinginannya. Sebagai contoh
ideologis dan bertendensius politik. Jadi, al- adalah teori teori al-‘Aql al-mukawwan dan
Jâbirî adalah seorang ideologi, yang telah al-‘Aql al-mukawwin yang diambilnya dari A.
memiliki pola berpikir dan ideologi tertentu, Laland. Al-Jâbirî salah, baik menerjemahkan
yang kemudian dia gunakan untuk menelaah maupun mengaplikasikan teori ini. Itulah
tradisi Islam. Jika ia menuduh sejumlah Imam sebabnya Tarabisî menyebut al-Jâbirî sendiri
besar seperti al-Ghazâlî, terkooptasi dan tidak pernah membaca buku Laland. (bila
terpengaruh oleh kekuasaan ketika itu, maka ia shakkin annahu lam yattali’ ‘ala al-kitâb ashlan),
sendiri pun terbukti terkooptasi oleh ideologi maksudnya La raison et les Normes, karya
tertentu. Jadi, tuduhannya sendiri belum Laland yang merupakan rujukan pokoknya di
tentu benar, namun dirinya sudah menjadi Takwîn al-‘Aql al-’Arabî.29
bukti adanya kooptasi ideologis.28Namun Buku Abdurrahman, Tajdîd al-Manhâj secara
hemat penulis, tuduhan yang dialamatkan al- spesifik menohok bangunan epistemologi
Jabirî sebagaimana di atas terlalu berlebihan, dan metodologi yang digunakan Al-Jâbirî
karena siapa pun penulisnya sulit kiranya mengkritisi turâth. Abdurrahman mengatakan
akan keluar dari jeratan ideologis dan politis, bahwa Al-Jâbirî sendiri tidak memahami
begitu juga mungkin al-Jabiri, hanya saja al- dengan baik methodologi yang dia gunakan.
Jabirî berusaha melakukan kritik membangun Menurut Abdurrahman kekurangpahaman
dengan menawarkan sebuah terobosan yang Al-Jâbirî inilah pada akhirnya membawanya
layak untuk dipertimbangkan Islam pada abad terjatuh kepada sikap inkosisten. Seperti yang
modern ini. diungkapkan diatas bahwa Al-Jâbirî mengajak
Kritikan lebih tajam dilakukan oleh Tarabisî, untuk membaca turâth secara komprehensif,
penulis buku Naqd Naqd al-‘Aql al-’Arabî, tapi pada prakteknya dia telah melakukan
yang hampir seluruh isinya mempreteli dan kajian sangat parsial. Ini terbukti dengan
“menelanjangi” orisinalitas Al-Jâbirî. Dibagian penggalan epistemologi yang dibuatnya
pertama saja Tarabisî dengan terang-terangan sendiri dimana setiap konstruk epistemologi
itu berdiri sendiri dan menghasilkan ilmu
27 Adian Husaini dan Nirwan Syafrin, spesipik pula.
“Hermeneutika Pemikir Kontemporer: Kasus Nasr
Hamid Abu Zaid Dan Mohammad Abid al-Jabiri,”
Epistemologi Bayânî, misalnya, telah
(diakses tanggal 20 Oktober 2009) dari http:// menghasilkan fiqh, Us}ûl fiqh, tafsir, dan
pondokshabran.org/index.php?option=com_content kalam, sementara Irfani melahirkan tasawwuf,
&task=view&id=32&Itemid=1
28 Ibid. 29 Ibid.
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 105
dan burhânî menelurkan filsafat. Bukankah yang sama dari kelompok Sunni dan hanya
dengan demikian Al-Jâbirî telah bersikap memilih buku yang punya kecenderungan
parsial (tajzi’iyyah), padahal dia sendiri percaya salafi Ashariyyah seperti Maqâlat Islamiyyin-nya
bahwa Fiqh, Ushûl al-Fiqh, Tafsîr, Nahw, Imam al-Ash’arî, al-Farq Bayn firaq-nya Abd al-
Balâghah adalah merupakan satu kesatuan Qahar, Mihâya al Aqdam-nya Shahrastanî, al-
yang tak terpisahkan sebagaimana ia tulis dalam Masâil fi al Khilâf bayn al Bashriyyin wa al
Bunyah-nya. Artinya bahwa seorang ahli fiqh Baqdadiyin-nya Ibn Rusyd Naysaburî dan al-
itu bisa berpikir dalam kerangka bayânî, irfani, Fatâwâ-nya Ibn Taymiyyah. 31
dan burhânî. Seorang Ghazâlî adalah pemikir
yang menggunakan epistemologi Bayânî, Analisis
Irfani dan Burhânî sekaligus. Kenyataan Yang dilakukan al-Jâbirî dengan mencoba
ini berlawanan dengan pernyataannya yang membuat jembatan penghubung antara
mengkategorikan pemikiran Ghazâlî kepada realitas tradisi Arab dengan modernitas yang
bentuk Bayânî dan Irfani, dan tidak Burhânî dialami Barat adalah merupakan salah satu
sama sekali. jawaban dari kegelisahan Islam atas kesulitan
Kemudian kesalahan fatal lain yang banyak menghubungkan antara al-nash (teks) dan al-
disinyalir olah para pengkritisi adalah sikap wâqi’ (empiris). Karena nash dan pemahaman
selektif al-Jâbirî dalam membuat kutipan. Ia atasnya yang dilakukan ulama salaf adalah
cenderung memlilih perkataan dan pendapat turâth atau tradisi yang juga dimaksud oleh
orang lain yang hanya sesuai dengan tujuan al-Jâbirî. Dan Ibn Taymiyyah32 (1262-1328
dan ideologinya demi untuk mempertahankan M.), pernah berkata bahwa hakekat atau
pandangannya, meskipun dalam pendapat kebenaran itu terletak pada wilayah empiris
tersebut tidak sesuai dengan konteks yang bukan pada wilayah idealitas (al-haqîqah
diinginkan. Sebagai contoh, menurut Tizini fi al-a’yân la fi al-azhân).33 Ungkapan Ibn
dalam sebuah seminar yang dihadirinya di Taymiyyah ini sebetulnya merupakan kritik
Tunis pada tahun 1982, Al-Jâbirî pernah terhadap arus pemikiran Islam pada waktu
mengungkapkan bahwa pikiran al-fikr dan itu yang mengalami kemacetan, post Imam
akal Arab adalah bayânî. Untuk memperkuat Mazhab. Kemacetan itu terutama disebabkan
argumennya dia telah menyebutkan al- budaya kritik epistemologis yang tidak tumbuh
jâhidh dalam kitab al-bayân wa al-tahyin sebagai secara wajar dan tidak dikembangkan dengan
contoh, kata Tizini dalam hal ini Al-Jâbirî baik dan maksimal dalam budaya muslim.
telah melaksanakan dua kesalahan. Pertama Akibatnya, terjadi apa yang oleh Arkoun
generelasi yang dilakukan atas pemikiran Arab disebut taqdis al-afkar al-Dîniyah (pensakralan
dengan hanya mengambil satu contoh yaitu al- atau pensucian buah pikiran keagamaan34).
jâhidh, kedua sample yang digunakannya yaitu al- 31 Ibid.
jâhidh, tidak dapat mewakili keseluruhan 32 Ialah, Abu al-Abbas-Ahmad bin Abd, Halim
bangunan akal Arab.30 bin Abd. Salam al-Harrani. Seorang ulama terkenal
Contoh lain adalah yang diungkapkan dan tokoh pembaharu di masanya. Hasil karyanya
cukup banyak, diantaranya : Minhâj al-Sunnah, al-Fatâwâ,
oleh Nur al-dîn al-daghir dalam usahanya Majmu’ah al-Rasâ’il, dan lain-lain, wafat 728 H.
untuk membuktikan dan mempertahankan 33 Pertanyaan yang muncul kemudian atas persepsi
rasionalitas mazhab Arab Maghribi, di Ibn Taimiyah adalah: Bagaimana menjembatani
mana ia menjadi bagian dari padanya, dan “idealitas teks” yang sifatnya tetap (eternal), dengan “realitas
selanjutnya membuktikan keterpengaruhan empiris” yang selalu berubah dan dinamis?
34 Bentuk kesakralan teks-teks kitab Fiqh Klasik
Shiah dengan pemikiran asing, ia hanya misalnya, yang oleh sebagian umat Islam Indonesia
merujuk kepada empat buku teks Shiah (baik kalangan awam atau pelajar, bahkan juga sebagian
saja. Sementara untuk membuktikan hal ulama kususnya dari komunitas Nahdiyyin) dianggapp
sakral dan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar.
30 Ibid. Sehingga dapat kita lihat dari cara menetapkan suatu
106 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108
Pemikiran keagamaan (baik aspek fiqh, (al-qarâbah), dan peranan dakwah keagamaan
mistisisme, teologi, dan lain-lain) menjadi dalam formasi sebuah negara dan kekuasaan.
taken for granted; tidak boleh “disentuh”, Maka dari itu, rujukan teoritis al-Jâbirî dalam
meskipun terjadi paradoks anatara teks dan kajiannya ini diperkaya oleh Ibn Khaldûn
relitas empiris.35 yang dapat diabsahkan dan sangat relevan,
Adapun proses adopsi konsep dan khususnya ketika memperhatikan realitas
“penyimpangan-penyimpangan” yang sosial politik yang berlangsung di negara
dilakukan secara sengaja oleh al-Jâbirî Arab dan Islam. Problem-problem Arab dan
tersebut di atas, yang dia ingin hanyalah Islam kontemporer, seperti soal kekerabatan,
agar dia dapat mendekati objek kajiannya etnisitas, dan fundamentalisme keagamaan,
sebagai seorang mujtahid, bukan sebagai yang muncul kembali ke permukaan, seakan
pembebek (muqallid). Konsep-konsep yang memberi legitimasi untuk kembali merujuk
dia pinjam tadi, dia gunakan tak lain hanya kepada Ibn Khaldûn. Juga bermodal
untuk lebih mendekatkan diri, mencerdaskan jargon Marx, “analisis atas masa kini akan
dan menghidupkan tradisi permikiran sosial menyuguhkan kunci-kunci (penjelasan) masa
Islam yang sudah pernah dirintis oleh Ibn silam” (tahlîl al-hâdhir yuqaddim lanâ mafâtîh al-
Khaldûn, khususnya dalam kajiannya tentang mâdhi), al-Jâbirî menganalisis masa kini Arab-
ilmu peradaban manusia (ilmu al-‘umrân al- Islam, untuk kembali menghadirkan beberapa
basharî) telah berjasa mengungkap beberapa kunci penjelasan masa silam Islam, kalau
motif-motif di balik nalar politik sebuah bukan kunci dasarnya (al-mafâtîh al-ra’isiyyah),
peradaban manusia, tak terkecuali peradaban berdasarkan apa yang pernah dikemukakan
Islam. Hal itu paling tidak tergambar dari Ibn Khaldûn secara kurang teoritis. Minimal,
penegasannya tentang pentingnya perananan terdapat tiga kunci penjelasan mendasar yang
fanatisme (al-‘ashhâbiyyah), faktor kekerabatan digunakan Ibn Khaldûn dalam menganalisis
sejarah Arab-Islam, yaitu konsep fanatisme
masalah hukum dalamBahtsul Masail NU selalu
kelompok (al-‘ashâbiyyah al-qabîliyyah) dan
merujuk kepada teks-teks kitab Fiqh tersebut dan
enggan mengembalikan langsung kepada sumber- dakwah keagamaan (al-da’wah al-dîniyyah),
sumber Hukum Islam (terutama Qur’an-Hadîth), sangat eksplisit digunakan oleh penjelasan-
walaupun terkesan dipaksakan dengan qiyas kepada penjelasan Ibn Khaldûn tentang sejarah
bunyi teks kitab-kitab Fiqh Klasik itu. Padahal masalah masyarakat Arab-Islam. Sementara kunci
yang sedang dibahas tergolong kontemporer yang tidak
ketiga, yaitu fakor ekonomi, yang pada masa
mungkin akan didapati jawabannya secara tegas dalam
teks-teks itu, karena zaman antara penulis kitab-kitab Ibn Khaldûn belum hadir sebagai faktor
Fiqh itu dengan kita terlampau jauh, belum lagi sosio penjelas yang berdiri sendiri (apalagi dalam
kultur dan geografis yang jauh berbeda. Hal itu saya masyarakat prakapitalis), dan juga belum
rasakan sendiri saat mengikuti jalannya acara Bahtsul dianggap sebagai faktor determinan dalam
Masail (ketika masih nyantri) dan saat terlibat secara
penjelasan hubungan dalam masyarakat,
langsung dalam Forum atau Lajnah Bahtsul Masail NU
cabang Malang; Ketika saya berusaha mengemukakan sayup-sayup juga sudah dikemukakan oleh
dalil dari Qur’an-Hadîth dengan penafsiran Ibn Khaldûn. Al-Jâbirî kemudian mengangkat
kontemporer plus beberapa Kaidah Fiqhiyah untuk faktor ekonomi itu menjadi faktor penjelas
melandasi jawaban sebuah masalah kontemporer yang dalam analisisnya tentang nalar politik Arab
sedang dibahas saat itu. Lantas beberapa orang dari
dalam bukunya ini. Bagi Al-Jâbirî, secara
anggota Lajnah meminta saya untuk mendatangkan
teks-teks kitabnya: “mana ibarat teksnya ?” Dan implisit Ibn Khaldûn telah menyebut “cara
juga ketika saya menukil pendapat ulama moderat- produksi yang khas dalam masyarakat Arab”;
kontemporer seperti Muhammad Abduh, mereka sistem perekonomian yang bergantung
sebagian besar anggota menolaknya dan berkomentar pada suasana peperangan, atau dengan
:”Itukan tokoh dan rujukannya Muhammadiyah !”
cara menabung surplus produksi melalui
35 Sumanto al-Qurtuby, K.H. MA. Sahal Mahfudh;
Era Baru Fiqh Indonesia, Cermin, Yogyakarta, cet.I, kekuasaan: kekuatan pemimpin, kepala suku,
1999, hlm. 53. atau negara. Sistem ekonomi seperti inilah
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 107
yang disebut Ibn Khaldûn sebagai sumber pada buku al-Dîn wa al-Dawlah itu. Oleh
mata pencarian (ekonomi) yang tidak wajar karena itu, hemat penulis membaca buku
(madhhab fi al- ma‘âsh ghair al-thabî‘î). al-‘Aql al-Siyâsî al-’Arabî tanpa membaca al-
Paparan al-Jâbirî yang cukup mendetil Dîn wa al-Dawlah wa Tat}bîq al-Sharî‘ah adalah
tentang nalar politik Islam dalam bukunya bagai memasak tanpa garam atau bagai orang
di atas merupakan upaya pembacaan ke berlari lomba maraton yang tanpa diketahui di
belakang atas bentuk nalar politik yang mana finishnya.
telah begitu build-in dalam pemikiran politik Penutup dan Saran
Islam dengan menggunakan tiga kata kunci: Upaya pembacaan ulang terhadap turâth
akidah, kabilah dan ghanîmah. Bagi al-Jâbirî, (tradisi) Islam (I’âdah qirâ’ah al-turâth) yang
pembacaan ulang itu perlu dilakukan sebagai telah dilakukan beberapa tokoh pembaharauan
bagian dari pelacakan mendasar (ta’shîl al- Islam seperti al-Jâbirî adalah sebuah niat baik
Ushûl) atas fenomena historis Islam sebagai agar Islam dapat berjalan sesuai dengan
bagian yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan zaman. Namun amat disesalkan
perkembangan pemikiran Islam saat ini. penulis, sebagian dari mereka menyatakan
Karangannya ini merupakan bagian dari bahwa ijtihad para ulama masa dahulu sudah
kerangka permulaan untuk berpikir (isti’nâf outdated, tidak relevan lagi untuk saat sekarang
al-nazar), yang perlu ditindak lanjuti pada level ini dan gagal untuk memberikan respon dan
perbincangan yang lebih lanjut. Hanya saja, jawaban jitu terhadap permasalahan ummat
proses rekonstruksi pemikiran politik dalam manusia hari ini. Walau memang tidak salah,
Islam tidak bisa tidak harus bermula dari ketika mereka menilai bahwa ijtihad ulama
pelacakan paling mendasar (ta’shîl al-ushûl) terdahulu banyak dipengaruhi oleh setting
atas beberapa sampel yang menjadi anutan sosial dan politik saat itu. Bahkan tidak sedikit
dalam sejarah Islam. Karena bagi al-Jâbirî, di antara mereka, seperti Arkoun, Al-Jâbirî,
sebenarnya perbincangan tentang nalar politik Adonis dan Nasr Hâmid dengan terang-
Islam belum bermula. Buku yang ia karang terangan menuduh pikiran ulama terdahulu
ini, tak lain merupakan bagian dari aktualisasi itu telah terkontaminasi kepentingan politik
(tadshîn) sebentuk perbincangan tentang nalar dan ideologi penguasa. Oleh sebab itu,
politik Islam di antara bentuk-bentuk lain menurut mereka, sudah saatnya umat Islam
yang mungkin akan dikemukakannya dalam mendekonstruksinya dan membangun sebuah
karya-karya berikutnya. sistem berpikir baru yang sesuai dengan
Terbukti dengan lahir karyanya yang keperluan umat hari ini. Dengan sistem
berjudul al-Dîn wa al-Dawlah wa Tathbîq al- berpikir baru inilah nantinya dapat dilakukan
Sharî‘ah pada tahun 1996 yang berarti lebih interpretasi ulang terhadap nash-nash al-
kurang 6 tahun dari terbitnya al-‘Aql al-Siyâsî Qur’ân dan Hadîth Nabi Muhammad saw.
al-’Arabî (1990). Yang buku itu memberi Dan hemat penulis, tidak bijaksana jika
kesimpulan bahwa sesungguhnya bentuk kita menaiki sebuah tangga untuk menuju
negara dalam Islam bukanlah termasuk hal- tempat tujuan, lantas kita memotong dan
hal yang diatur oleh Islam, tetapi masalah membuang anak tangga yang sudah kita
yang diserahkan kepada kaum muslimin memanfaatkannya, bahkan itu sebuah
untuk berijtihad sesuai dengan pertimbangan tindakan bodoh dan tidak tahu balas budi.
manfaat dan kemaslahatan serta berbagai Maka, bukankah turâth Islam adalah bagian
standar yang ada pada setiap zaman. Dan dari anak tangga yang telah mengantarkan kita
untuk zaman ini, sepertinya demokrasi adalah sampai tujuan sekarang ini. Lalu untuk apa
pilihan terbaik. Lalu jika kita menggunakan menghujat dan menyalahkan ijtihad ulama-
Negara demokrasi, bagaimana dengan ulama Islam klasik? Memang kritik boleh kita
penerapan Sharî‘ah?. Maka jawabannya ada lakukan namun harus beretika dan tahu balas
108 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108