Anda di halaman 1dari 20

1.

1 Latar Belakang

Perdarahan epidural adalah 2% komplikasi dari seluruh trauma kepala dan 5-

15% trauma kepala berat dengan rata-rata 40.000 kasus per tahun di USA.

Perdarahan epidural intrakranial merupakan komplikasi serius pada trauma kepala

sehingga membutuhkan diagnosis yang segera dan penanganan secepatnya.

Berdasarkan onsetnya perdarahan epidural dapat dibagi menjadi akut (58%), subakut

(31%) dan kronik (11%). Perdarahan epidural spinal dapat terjadi karena trauma

maupun spontan. Perdarahan epidural spinal terjadi 1 diantara 1.000.000 populasi di

USA. Alkohol dan berbagai macam intoksikasi dikatakan terkait dengan tingginya

insiden perdarahan epidural. Angka kejadian perdarahan epidural secara

internasional tidak diketahui, diduga pararel dengan angka kejadian di USA.(1)

Angka mortalitas yang terkait dengan perdarahan epidural diestimasikan 5-

50% yang dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan dan lokasi. Pada

pasien dengan kesadaran penuh angka mortalitas 0%, pada penurunan kesadaran

ringan sampai sedang 9% dan pada pasien koma 20%. Angka mortalitas pada

perdarahan epidural intrakranial mencapai 15-20% dan pada perdarahan epidural di

fossa posterior mencapai 26%.(1)

Perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal banyak terjadi pada

laki-laki dengan rasio 4:1 namun tidak terkait dengan ras tertentu. Perdarahan

epidural intrakranial jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun dan juga di atas 60

tahun karena pada usia lanjut duramater lebih melekat pada kalvaria. Insiden

perdarahan epidural spinal mencapai puncak pada usia anak-anak dan antara usia 50-

60 tahun sehingga pada usia tersebut cenderung memiliki resiko tinggi mengalami

komplikasi perdarahan epidural setelah menjalani operasi di daerah spinal. (1)

1
2.1 Definisi

Perdarahan epidural adalah adanya darah di ruang epidural, pada perdarahan

epidural intrakranial didapatkan perdarahan antara tabula interna tulang tengkorak

dan duramater. Perdarahan epidural 90% terjadi karena fraktur kranium di regio

temporal dan parietal. Perdarahan epidural atau epidural hematom (EDH) biasanya

disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media, vena atau sinus dural.(1,2)

2.2 Anatomi

Anatomi kepala terdiri dari SCALP, tulang kranium, meningen,

parenkim otak, pembuluh darah otak, cairan serebrospinal (CSF), dan tentorium.

SCALP merupakan singkatan dari susunan skin atau kulit, connective tissue atau

jaringan ikat, aponeurosis, loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar dan

perikranium.(3)

Meningen adalah selaput yang menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri

atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah

selaput yang keras dan tidak melekat pada selaput arakhnoid dibawahnya sehingga

terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan

arakhnoid, dimana sering terjadi perdarahan subdural. Selain itu juga terdapat

ruang potensial diantara duramater dan tulang kranium yang disebut ruang epidural

atau extradural. Lapisan kedua dari meningen di bawah duramter yang tipis dan

tembus pandang disebut arakhnoimater. Lapisan ketiga adalah piamater yang

melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi

dalam ruang subarakhnoid. Parenkim otak dibagi menjadi serebrum (otak besar),

serebelum (otak kecil) dan batang otak. Tentorium merupakan struktur yang

2
membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (fossa kranii anterior dan

fossa kranii media) dan ruang infratentorial (fossa kranii posterior). (3)

Gambar 1 : Lapisan-lapisan meningen

2.3 Patofisiologi

Perdarahan epidural biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal.

Penyebab utamanya adalah trauma kapitis atau fraktur kranium. Fraktur yang

paling ringan adalah fraktur linear namun gaya destruktifnya lebih kuat, bisa

timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan

kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan

sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Perdarahan epidural yang terjadi ketika

pembuluh darah ruptur biasanya arteri meningea media kemudian darah mengalir

ke dalam ruang potensial antara duramater dan tulang kranium sedangkan pada

perdarahan subdural terjadi akibat trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan rupture bridging vein yang terjadi dalam ruangan

subdural.(4)

Fraktur kranium terjadi pada 85-95% kasus dewasa, jarang terjadi pada anak-

anak-anak karena plastisitas pada kranium yang masih imatur. Laserasi arteri

3
maupun vena menyebabkan perluasan perdarahan yang cepat. Manifestasi kronis

atau tertunda dapat terjadi bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan perdarahan

atau hematom tidak melewati suture line karena duramater melekat ketat, hanya

pada sebagian kecil kasus yang sedikit melewati suture line. (4)

Perdarahan epidural intrakranial sebagian besar berasal dari rupturnya arteri

meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa terlibat

dalam cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus sigmoid pada

cedera oksipital, dan sinus sagital superior pada trauma verteks. Perdarahan

epidural intrakranial bilateral terjadi 2-10% dari semua kasus perdarahan epidural

akut pada orang dewasa tetapi sangat jarang terjadi pada anak-anak. Perdarahan

epidural pada fossa posterior mencapai 5% dari semua kasus perdarahan epidural.
(4)

Perdarahan epidural spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor,

seperti pungsi lumbal atau anestesi epidural. Perdarahan epidural spinal dapat

berhubungan dengan antikoagulan, trombolisis, diskrasia darah, koagulopati,

trombositopenia, neoplasma, atau malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural

biasanya terlibat, meskipun perdarahan dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di

daerah thorakal atau lumbal yang paling umum terkena, dengan ekspansi terbatas

pada beberapa tingkat vertebra. (4)

Penyebab perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi

menjadi trauma dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan tumpul

pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-

deselerasi dan gaya melintang. Selain itu perdarahan epidural intrakranial pada bayi

baru lahir dapat terjadi akibat distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium

berlebihan pada jalan lahir. Penyebab non trauma perdarahan epidural diantaranya

4
adalah obat antikoagulan, agen trombolisis, lumbal pungsi, anesthesia epidural,

koagulopati, penyakit hepar dengan hipertensi portal, kanker, alkholisme kronik

malformasi vascular, herniasi diskus, penyakit paget pada tulang, valsava manuever.

Gangguan sinus venosus dura (sinus transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat

menyebabkan perdarahan epidural di fossa posterior sedangkan gangguan sinus

sagitalis superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber

perdarahan epidural yang non arterial diantaranya adalah venous lakes, dipoic veins,

granulatio arachnoid dan sinus petrosus. (4)

2.4.1 Diagnosis

Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran

klinis, pemeriksaan fisik, imaging dan data laboratorium.


Gambar 2 : perdarahan epidural dan perdarahan subdural
2.4.1 Gambaran klinis perdarahan epidural

Kebanyakan perdarahan epidural intrakranial disebabkan oleh trauma yang

sering melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien sering didapatkan bukti

eksternal cidera kepala seperti adanya laserasi kulit kepala, cephalohematoma atau

kontusio. Cedera sistemik juga dapat muncul. Berdasarkan gaya benturan pasien bisa

saja tetap sadar, terjadi hilang kesadaran singkat atau kehilangan kesadaran

berkelanjutan.(4,5)

Interval lucid klasik dapat muncul pada 20-50% pasien perdarahan epidural.

Hal ini dapat terjadi karena pada awal kejadian, tekanan yang mudah-lepas

5
menyebabkan cedera kepala berakibat pada perubahan kesadaran sesaat lalu

kesadaran pulih kembali. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas

sampai efek massa perdarahan epidural menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial sehinggal mulai terjadi penurunan tingkat kesadaran yang progresif dan

sindroma herniasi. Interval lucid bergantung pada luasnya cedera dan merupakan

kunci penting diagnosis perdarahan epidural intrakranial. (4,5)

Gejala yang sangat menonjol pada perdarahan epidural adalah penurunan

tingkat kesadaran yang progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali

tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan

yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala

yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat

dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak: penurunan kesadaran , bisa sampai

koma; bingung; penglihatan kabur; susah bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar

cairan dari hidung dan telingah; mual, pusing dan berkeringat. Pada hipertensi

intrakranial berat, respon Cushing mungkin muncul. Trias Cushing klasik melibatkan

hipertensi sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul

ketika perfusi serebral, terutama sekali karena batang otak mengkompensasi

peningkatan tekanan intra kranial. Terapi anti hipertensi selama ini mungkin

menyebabkan iskemia serebral akut dan kematian sel. Evakuasi lesi massa

mengurangi respon Cushing.(1,4,5)

Penilaian neurologis sangat penting terutama pada tingkat kesadaran,

aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil,

parese nervus kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau

hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini karena berhubungan

dengan keluaran klinis akhir. Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomena

6
pronator drift mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah ekstremitas ketika

pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar dengan kedua telapak tangan

menghadap keatas mengindikasikan efek massa. (4,5)

Pada perdarahan epidural di spinal dapat ditemukan berbagai gambaran klinis

pada pemeriksaan fisik neurologis yang tergantung pada segmen spinal yang terlibat.

Beberapa gambaran klinis yang dapat dijumpai yaitu: kelemahan ekstrimitas

(unilateral atau bilateral), defisit sensoris dengan paresthesia radikular (unilateral

atau bilateral), gangguan refleks tendon dalam, gangguan tonus sfingter kandung

kemih atau anal. (4,5)

2.4.2 Pencitraan Perdarahan Epidural

Foto polos kepala, CT-scan dan kepala MRI penting untuk memberikan

penilaian perdarahan intrakranial akibat trauma kepala

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural

hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral pada sisi yang

mengalami trauma untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus

arteria meningea media.(5,6)

Gambar 3 : Fraktur temporoparietal (panah)


yang berakibat perdarahan epidural

7
Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi

cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)

tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks, paling

sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),

berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur

pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stadium yang akut ( 60 –

90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah. Pada perdarahan

epidural di spinal dapat dikerjakan CT myelografi terutama pada yang tidak

memungkinkan atau kontraindikasi dikerjakan MRI. (5,6)

Gambar 4 : Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital sinistra (A,B), nampak


garis fraktur (C, anak panah)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pada MRI kepala akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang

menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI

kepala juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah

satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis. Pada perdarahan

8
epidural spinal MRI penting untuk memastikan lokasi segmen yang mengalami

perdarahan. (1,5,6)

Gambar 5 : T1 MRI kepala potongan koronal,


didapatkan gambaran perdarahan epidural di
daerah vertex

Gambar 6 : T2 MRI kepala potongan


sagittal, nampak perdarahan epidural pada
region parietoccipital dekstra (kanan)

9
Gambar 7 : Perdarahan epidural di spinal
2.4.3 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya

1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit

terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi

untuk menyingkirkan diagnose banding

2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan

koagulopati

3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah

juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik

perdarahan epidural intrakranial maupun spinal

4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait

penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat

5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif

darurat.(1,5,6)

2.4.4 Pemeriksaan penunjang lain perdarahan epidural

Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan diantaranya angiografi, lumbal

pungsi, electroencephalography (EEG) dan somatosensory evoked potential (SSEP)

pada perdarahan epidural spinal. Angiografi dapat dikerjakan bila ada kecurigaan

adanya malformasi vaskular. Lumbal pungsi tidak rutin dikerjakan karena informasi

yang didapatkan hanya sedikit. SSEP perlu dikerjakan pada perdarahan epidural

spinal untuk penilaian prognosis maupun selama intraoperatif. (1,5,6)

2.4.5 Diagnosis banding perdarahan epidural

10
Diagnosis banding perdarahan epidural intrakranial yang perlu disingkirkan

diantaranya adalah perdarahan subdural, abses epidural, perdarahan intracerebral,

epilepsi post traumatik, ensefalopati karena intoksikasi alkohol. Pada perdarahan

epidural spinal diagnosis banding yang perlu disingkirkan diantaranya perdarahan

medulla spinalis, abses epidural spinal, ankylosing spondylitis, spondilosis,

polineuropati. (1,5)

2.5 Tatalaksana perdarahan epidural

Tatalaksana perdarahan epidural mencakup tatalaksana umum dan

tatalaksana khusus. Tatalaksana khusus mencakup terapi medikamentosa dan terapi

operatif. (6,7)

2.5.1 Tatalaksana umum

Resusitasi pasien trauma kepala bervariasi karena heterogenitas dari penyakit

itu sendiri. Tujuan dari semua upaya resusitasi awal yang baik adalah untuk memulai

sedini mungkin berbagai upaya penanganan pra-rumah sakit, dengan perhatian jalan

napas, pernapasan, dan sirkulasi. Sejak pasien datang ke ruang gawat darurat pasien

segera dipersiapkan evaluasi trauma menyeluruh, dimulai dengam inspeksi fraktur,

evaluasi mekanisme cidera untuk menilai daya benturan baik pada kranium maupun

daerah spinal, imobilisasi spinal khususnya servikal, dan evaluasi defisit neurologis.
(6,7)

Tiga penanda prediktor keluaran klinis yang buruk saat penanganan di

departemen gawat darurat adalah hipotermia, hipoksia, dan hipotensi. Hipotermia

saat awal menjadi penanda resusitasi yang jelek, dan sebaiknya suhu tubuh inti harus

dihangatkan secara pasif selama fase awal resusitasi. Resusitasi volume agresif

untuk hipotensi dan ventilasi yang memadai adalah fokus utama dalam upaya

resusitasi awal. Resusitasi pra-rumah sakit dengan hipertonik salin pada trauma

11
kepala gagal menunjukkan manfaat jangka panjang, Pada sebuah analisis post-hoc

cairan “Saline vs Albumin” , resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan tingkat

kematian lebih tinggi daripada yang resusitasi dengan garam. Oleh karena itu,

administrasi kristaloid isotonik adalah metode yang disukai untuk resusitasi volume.
(6,7)

Semua pasien dengan trauma kepala harus memiliki ventilasi yang baik dan

menjaga PO2 dan PCO2. Suplementasi oksigen diberikan untuk mendapatkan SpO2

> 90%. Selama fase resusitasi awal sangat penting untuk menyadari langkah-langkah

yang sederhana seperti elevasi kepala tidur (30 derajat), posisi kepala yang tepat

untuk mencegah penekanan vena jugularis dan kontrol nyeri yang memadai dan

sedasi merupakan metode yang sangat sederhana dan efektif untuk mengurangi

tekanan intrakranial (ICP). (6,7)

2.5.2 Tatalaksana Khusus

2.5.2.1 Terapi Medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Mempertahankan kontrol jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi yang telah

ditangani saat resusitasi awal. Jalan nafas harus selalu bebas dengan memastikan

tidak ada lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila

perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang

terutama untuk membuka jalur intravena : gunakan cairan NaC10,9% atau Dextrose

in saline.(6,7)

2. Mengurangi tekanan intrakranial

Beberapa cara yang dapat dicoba untuk mengurangi tekanan intrakranial:

a. Hiperventilasi.

12
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah

vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat

membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100

mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg. (7)

b. Cairan hiperosmoler.

Cairan hiperosmoler diberikan untuk “menarik” air secara osmotik

dari jaringan otak (intrasel dan interstitial) ke dalam ruang intra-vaskular lalu

melalui diuresis. Cairan yang umum digunakan adalah Manitol 10-15% 0,25-

1g/KgBB diberikan per infus selama 10-15 menit. Efek ini dapat berhasil

dengan baik jika sawar darah otak dalam keadaan normal. Cara ini berguna

pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus

dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan

kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya. Hati-hati

dengan kontraindikasi pemberian manitol seperti gagal jantung, gagal ginjal

akut (AKI), hiperkalemia dan hipotensi. (7)

Selain manitol dapat diberikan hipertonik salin. Hipertonik salin

merupakan agen osmotik yang telah lama digunakan sebagai tambahan terapi

manitol atau pada individu yang telah menjadi toleran terhadap manitol.

Namun pada studi terbaru ternyata hipertonik salin merupakan sebagai

pengukur utama untuk mengontrol tekanan intrakranial. Hipertonik saline

bertujuan untuk meningkatkan natrium serum dan osmolalitas, sehingga

membentuk gradien osmotik. Air dapat berdifusi secara pasif dari ruang

intraseluler dan interstitial otak ke kapiler sehingga menurunkan tekanan

intrakranial. Meskipun cara kerja mirip dengan manitol, natrium klorida

13
memiliki koefisien refleksi yang lebih baik (1.0) dibandingkan manitol (0,9)

dan membuatnya menjadi zat osmotik yang lebih baik selain itu juga dapat

menormalkan potensial istirahat pada membrane dan volume sel dengan

mengembalikan keseimbangan elektrolit intraseluler pada sel yang rusak.

Dosis hipertonik salin dan administrasinya sangat bervariasi, bolus berkisar

antara 30 mL 23,4% NaCl dan 150 mL 3% NaCl, sedangkan yang lain telah

menganjurkan penggunaan infus kontinu baik 2% atau 3% NaCl hingga

mencapai tujuan Na serum 150 mmol / L. (7)

c. Kortikosteroid.

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak

beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan

bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.

Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar

darah otak. Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus

yang diikuti dengan 4x4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah

digunakan dengan dosis 6x15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6x10 mg. (7)

d. Barbiturat.

Barbiturat digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme

otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga

akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung

dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen

berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.

e. Hipotermia

Terapi hipotermia masih menjadi pilihan untuk mengatasi

peningkatan tekanan intrakranial. Biasanya terapi hipotermia diberikan pada

14
pasien yang inteloran terhadap terapi hipertonik. Adanya perangkat modern

untuk memodulasi suhu tubuh memungkinkan terapi ini akan makin rutin

digunakan. Karena tekanan intrakranial sangat tergantung pada suhu tubuh

inti, setiap penurunan suhu kurang dari 37 ° C akan menurunkan tekanan

intrakranial mengakibatkan pengurangan ICP namun terapi ini umumnya

ditargetkan untuk mendapatkan suhu inti tubuh yang lebih rendah yaitu 32oC

sampai 34°C. Risiko komplikasi infeksi karena terapi hipotermia tergantung

durasi terapi, tingkat komplikasi infeksi meningkat tajam pada terapi lebih

dari 72 jam. Hipotermia juga dapat memicu koagulopati dan peningkatan

risiko pendarahan tapi saat ini belum ada peningkatan yang signifikan

kejadian perdarahan intrakranial karena hipotermia pada banyak Randomized

Controlled Trial (RCT). (7)

3. Terapi tambahan lain

Pasien dengan trauma kepala pasti mengalami nyeri kepala baik oleh karena

trauma jaringan peka nyeri maupun karena peningkatan tekanan intrakranial. Nyeri

harus segera diatasi karena menahan rasa nyeri dapat memberat peningkatan tekanan

intrakranial. Transfusi dapat dikerjakan pada anemia karena kehilangan darah akibat

trauma dengan target Hb 10g/dL. Antikonvulsan dapat diberikan bila ada gejala

klinis kejang, tidak diberikan sebagai profilaksis. (7)

Pemakaian ventilator ditujukan untuk pengaturan kadar CO2 yang memiliki

dampak signifikan pada aliran darah otak (CBF) dan mengontrol volume intrakranial

dan tekanan intrakranial. Pada hiperventilasi ringan, peningkatan ekstrasi oksigen

ekstraksi dapat mengkompensasi penurunan aliran darah dan volume, sehingga

metabolisme sel yang normal dapat tetap berlangsung. Namun, hiperventilasi

berkepanjangan dapat meningkatkan asidosis metabolik sedangkan pada

15
hiperventilasi jangka pendek dapat menurunkan kadar CO2 di pembuluh darah otak

yang menyebabkan peningkatan pH sehingga mengurangi efek merugikan dari

asidosis. Proses ini tergantung pada ketersediaan bikarbonat dalam cairan

serebrospinal. Hiperventilasi berkepanjangan dapat menguras kadar bikarbonat yang

dapat menyebabkan iskemia dan memperburuk keluaran klinis. (7)

2.5.2.2 Terapi Bedah

Servadei dkk melaporkan sebuah studi yang dilakukan oleh ahli bedah saraf

pada 158 pasien yang mengalami trauma kepala minor dan pada hasil CT scan

kepala didapakan perdarahan epidural. Pada CT scan kepala tanpa kontras dinilai

ukuran dari hematom, pergeseran garis tengah dan lokasi untuk menilai keputusan

perlu tidaknya tindakan operatif. Terapi konservatif dikerjakan pada hematom

ketebalan < 10 mm dan pergeseran garis tengah < 5mm. Pada kedua kelompok baik

yang menerima terapi operatif maupun terapi konservatif memiliki keluaran klinis

yang tidak jauh berbeda pada studi ini. Chen Tzu-Yung dkk melaporkan 74 pasien

dengan perdarahan epidural, terapi nonoperatif dikerjakan pada pasien dengan nilai

GCS> 12 sedangkan sisanya mendapat tindakan operatif. Mereka melaporkan bahwa

hanya perdarahan epidural supratentorial dengan volume > 30cc, ketebalan > 15mm

dan pergeseran garis tengah > 5mm yang mendapat tindakan operatif. Sedangkan

Sullivan dkk melaporkan serial kasus 252 pasien dengan perdarahan epidural akut,

160 diantaranya mendapat terapi konservatif dan hasilnya cukup memuaskan.

Offner dkk dalam studinya pada 84 pasien dengan perdarahan epidural di Rumah

Sakit Trauma Saint antony didapatkan bahwa 87% dari 64% pasien yang mendapat

terapi nonoperatif memiliki keluaran klinis yang memuaskan dan dianggap sukses.
(8,9)

16
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang

disarankan Bullock dkk tahun 2006 yaitu :

-Volume hematom > 30 ml

- Keadaan pasien memburuk

- Pendorongan garis tengah > 5 mm

- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan kedalaman

>1 cm

- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan

GCS 8 atau kurang

- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

Tindakan bedah yang dikerjakan dapat berupa kraniotomi dekompresif maupun

prosedur dengan minimal invasif seperti burr hole dengan drainase tekanan negatif.
(1,9)

Perdarahan epidural di spinal spontan maupun traumatik umumnya

dikerjakan laminektomi dekompresi dan evakuasi hematom melalui segmen dorsal.

Menurut beberapa ahli time window terbaik untuk mengerjakan tindakan operatif

maksimal 48 jam setelah onset yang diharapkan dapat memberikan keluaran klinis

yang optimal. Pada beberapa kasus yang cukup jarang perdarahan epidural spinal

dapat membaik dengan terapi konservatif seperti trauma medulla spinalis yaitu

dengan pemberian steroid dosis tinggi.(10,11)

2.5 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan epidural intrakranial adalah

defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena kerusakan kortikal

(biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed effect termasuk postconccusion

17
syndrome seperti nyeri kepala, dizziness, vertigo, restlessness, emosi yang labil dan

kertidakmampuan untuk berkonsentrasi dan kelelahan. Sedangkan komplikasi pada

perdarahan epidural di spinal umumnya adalah spastisitas, nyeri neuropatik dan

komplikasi pada sistem berkemih. (1)

Prognosis pasien dengan perdarahan epidural tergantung pada usia, kesadaran

awal masuk (GCS), perberatan klinis, perberatan yang tertunda antara saat trauma

dan intervensi bedah. Pada perdarahan epidural di spinal prognosis tergantung pada

keterlibatan medulla spinalis. (1)

Bab 3

Penutup

3.1 Kesimpulan

Perdarahan Epidural merupakan komplikasi pada 2% dari seluruh trauma

kepala dan komplikasi pada 5-15% trauma kepala berat dengan rata-rata 40.000

kasus per tahun sedangkan perdarahan epidural spinal terjadi 1 diantara 1.000.000

18
populasi di USA. Angka mortalitas yang terkait dengan perdarahan epidural

diestimasikan 5-50% yang dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan

dan lokasi. Perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal banyak terjadi pada

laki-laki dengan rasio 4:1 namun tidak terkait dengan ras tertentu.

Perdarahan epidural biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal.

Perdarahan epidural atau epidural hematom (EDH) biasanya disebabkan oleh

rupturnya arteri meningea media, vena atau sinus dural. Penyebab perdarahan

epidural baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi menjadi trauma dan non

trauma. Gejala klinis yang sering nampak yaitu: penurunan kesadaran , bisa sampai

koma; bingung; penglihatan kabur; susah bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar

cairan dari hidung dan telingah; mual, pusing dan berkeringat. Selain itu dapat

ditemukan adanya interval lucid dan trias Cushing. Terapi perdarahan epidural

meliputi tatalaksana umum terkait kontrol jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi serta

tatalaksan khusus yang terkait manajemen peningkatan tekanan intrakranial baik

konservatif maupun operatif. Perdarahan epidural intrakranial merupakan

komplikasi serius pada trauma kepala sehingga membutuhkan diagnosis yang segera

dan penanganan secepatnya.

Daftar Pustaka

1. Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency Medicine

www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016

2. Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada cedera

otak traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta. 2015;1-2

19
3. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.).

Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to Brains and

Meningens, NJ : 2012

4. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving

understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013

5. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma:

Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011

6. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head

Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013

7. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section :

Neurotrauma, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012

8. Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of

Post- Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–817:

2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231

9. Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute Epidural

Hematome : 2006, http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8

10. Lo, C., Chen dkk, Spontaneous Spinal Epidural Hematoma : A Case Report

and Review of the Literatures, 21(386), 31–34: 2012

11. Yi, K., Paeng dkk, Spontaneous Resolution of a Traumatic Lumbar Epidural

Hematoma with Transient Paraparesis, 2(October), 71–73: 2016

20

Anda mungkin juga menyukai